diapit oleh lautan yang luas, menyebabkan perbedaan budaya di setiap daerah. Perbedaan tersebut
berkaitan dengan asal usul suku bangsa dan waktu kedatangan mereka ke wilayah Indonesia.
Beberapa teori, seperti teori Kern dan Von Heine Geldern, menyatakan bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia adalah bangsa Austronesia yang datang ke Nusantara sekitar 3000 tahun SM pada zaman
Neolithikum.
Zaman Neolithikum ditandai dengan masyarakat yang sudah menetap, berbeda dengan sebelumnya
yang hidup berpindah-pindah. Bangsa Austronesia datang ke Nusantara tanpa penolakan signifikan
dari masyarakat lokal, menunjukkan sikap keterbukaan terhadap budaya luar. Pada bagian barat
Indonesia, para pemukim baru mendapatkan keuntungan atas populasi lokal yang terdiri dari
kelompok kecil orang Veddoid dan Papua-Melanesoid.
Asal usul bangsa Austronesia masih menjadi perdebatan, dengan teori Kern dan Von Heine Geldern
yang menyebutkan bahwa mereka bermigrasi dari Cina melalui jalur darat ke Indo-Cina dan
kemudian ke Semenanjung Malaya, sementara K.C. Chang mengusulkan bahwa tempat asal mereka
adalah Taiwan. Meskipun perbedaan pandangan ini, kehadiran bangsa Austronesia telah
memberikan dasar bagi berbagai hasil budaya di Indonesia.
Proses masuk bangsa Austronesia ke Nusantara terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama
melibatkan bangsa Proto-Melayu, diperkirakan terjadi sekitar tahun 3000 SM melalui jalur barat.
Tahap kedua melibatkan bangsa Deutero-Melayu, diperkirakan terjadi sekitar tahun 300-200 SM
melalui jalur timur, yang pada akhirnya menyebar ke berbagai wilayah Indonesia.
Dengan latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian adalah tentang bagaimana proses
masuk dan persebaran peninggalan kebudayaan Proto-Deutero Melayu di Indonesia. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui proses masuk dan persebaran peninggalan kebudayaan
Proto-Deutero Melayu di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian historis. Metode
ini dipilih karena penelitian ini berfokus pada objek peristiwa-peristiwa masa lampau. Menurut
Nugroho Notosusanto (1984: 11), langkah-langkah dalam metode penelitian historis adalah sebagai
berikut:
Heuristik adalah tahap pencarian untuk menemukan sumber-sumber sejarah yang relevan
dengan objek penelitian.
Peneliti mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang diperlukan. Fokus
heuristik termasuk mencari buku-buku dan literatur yang ditulis oleh sejarawan, baik dalam
bentuk buku maupun tulisan lainnya.
2. Kritik Sumber:
Kritik Sumber terbagi menjadi dua, yaitu kritik intern dan kritik ekstern.
Kritik intern merupakan penilaian terhadap keaslian dan kebenaran isi data yang telah
diperoleh. Ini dilakukan dengan membandingkan berbagai sumber sejarah.
Kritik ekstern adalah proses penilaian terhadap keaslian bahan-bahan yang digunakan untuk
membuat kisah sejarah.
3. Interpretasi:
Historiografi merupakan kegiatan penulisan dalam bentuk laporan hasil penelitian yang
menggunakan keterampilan dalam mengutip dari berbagai buku dan sumber yang ada.
Penyusunan dan penulisan dilakukan dengan pemikiran yang kritis dan analisis sehingga
membentuk sebuah narasi sejarah yang sistematis.
Dengan menggunakan metode penelitian historis ini, peneliti dapat menggali dan merekonstruksi
peristiwa masa lalu dengan memahami konteks, sumber-sumber, dan interpretasi yang bersifat kritis
dan analitis. Peneliti juga melakukan kritik terhadap sumber-sumber sejarah yang digunakan untuk
memastikan keaslian dan kebenaran informasi yang disajikan.
Proto-Melayu membawa kebudayaan neolitikum ke Indonesia, terlihat dari peralatan yang terbuat
dari batu yang dihaluskan. Mereka membentuk pemukiman yang mirip dengan gerabah Cina Kuno.
Bukti-bukti arkeologis, seperti beliung persegi dan tembikar, menunjukkan interaksi dan perkawinan
silang antara Proto-Melayu dengan penduduk lokal.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan Proto-Melayu, mereka mulai terdesak
oleh kedatangan Deutero-Melayu. Keturunan Proto-Melayu akhirnya menyingkir ke pelosok negeri,
dan proses ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Proto-Melayu memiliki ciri fisik seperti rambut lurus, kulit kuning kecoklatan, dan mata sipit. Mereka
mendiami berbagai wilayah di Indonesia, seperti Batak, Dayak, Toraja, Borneo, Alfur, Gayo, dan Alas.
Menurut teori Sarasin, keturunan Proto-Melayu kemudian terdesak ke pedalaman oleh kedatangan
imigran baru, yakni Deutero-Melayu. Kedatangan Deutero-Melayu diidentifikasi dengan pengenalan
perkakas dan senjata besi ke kepulauan Indonesia. Studi tentang peradaban di Indocina
menunjukkan bahwa imigrasi ini terjadi antara 300 dan 200 SM.
Jalur Masuk Deutero-Melayu:
Berdasarkan bukti sejarah, diketahui bahwa Deutero-Melayu memasuki Indonesia melalui jalur barat.
Mereka menempuh rute dari Yunan (Teluk Tonkin), Vietnam, Malaysia, dan akhirnya tiba di
Indonesia. Setelah itu, mereka menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia.
Deutero-Melayu membawa kebudayaan perunggu yang dikenal sebagai Kebudayaan Dong Son. Dong
Son adalah tempat asal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Artefak perunggu yang ditemukan di
Indonesia serupa dengan Dong Son, dan Deutero-Melayu mampu membuat barang-barang dari
perunggu yang masih ditemui hingga saat ini.
Saat ini, membedakan antara Proto-Melayu dan Deutero-Melayu menjadi sulit karena keduanya
telah berbaur dengan bebas. Keturunan Deutero-Melayu dapat ditemui di hampir seluruh wilayah
Indonesia, kecuali beberapa daerah tertentu di Sumatra, Sulawesi, dan Papua.
Ciri-ciri fisik Deutero-Melayu mencakup kulit antara kuning langsat dan coklat hitam, dengan bentuk
rambut antara lurus dan keriting. Mereka berasal dari Indocina Utara dan masuk ke wilayah
Indonesia sekitar tahun 300-200 SM. Keturunan Deutero-Melayu meliputi suku Melayu, Makassar,
Jawa, Sunda, Bugis, dan Minang, dengan penyebaran di berbagai pulau di Indonesia.
Dengan berbaur bebasnya Proto-Melayu dan Deutero-Melayu, membedakan keduanya menjadi sulit,
menjelaskan kesulitan membedakan kedua kelompok rasial ini di antara orang Indonesia. Hampir
semua orang di Indonesia, kecuali orang Papua dan pulau-pulau di sekitarnya, dimasukkan dalam
kelas Deutero-Melayu. Ciri-ciri fisik dan sebaran geografis keduanya menjadi faktor utama dalam
kesulitan identifikasi.
Penutur Austronesia, termasuk Proto-Melayu, datang ke Nusantara pada zaman Neolithikum, yang
ditandai oleh revolusi besar dalam peradaban manusia dari food gathering menjadi food producing.
Persebaran kebudayaan Proto-Melayu selaras dengan perubahan ini, mencakup alat dan cara hidup
yang mencerminkan perubahan signifikan dalam masyarakat.
Kedatangan penutur Austronesia menghasilkan interaksi adaptasi dengan populasi lokal, terutama
dengan masyarakat Veddoid atau Melanesoid. Interaksi ini tidak hanya budaya, tetapi juga
melibatkan perkawinan campuran. Bukti percampuran ras ditemukan pada sisa manusia di situs
protosejarah di Anyer (Jawa Barat) dan Gilimanuk (Bali).
Interaksi sosial yang terjadi mencakup baik interaksi damai maupun konflik. Jumlah penutur
Austronesia yang datang ke Nusantara lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat lokal,
menyebabkan konflik dan penindasan terhadap penduduk lokal. Komunitas Austronesia perlahan
menduduki lahan-lahan terbaik dan terus melakukan pengembangan territorial.
Zaman Mesolithikum ditandai oleh masyarakat yang hidup dengan food gathering di gua-gua.
Sebaliknya, kedatangan penutur Austronesia pada zaman Neolithikum membawa perubahan
signifikan, di mana masyarakat mulai tinggal di rumah-rumah sederhana bertiang kayu dengan atap
dedaunan.
Pada zaman Mesolithikum, peralatan masih kasar, sedangkan pada Neolithikum, peralatan sudah
mulai halus, menunjukkan kemahiran masyarakat dalam mengasahnya. Corak alat-alat Neolithikum
mencakup kapak persegi dan kapak lonjong, dan zaman ini sering disebut sebagai Proto-Melayu.
Kapak persegi, pendukung kebudayaan Proto-Melayu, tersebar di Nusantara bagian barat, sedangkan
kapak lonjong, yang mendukung kebudayaan Papua-Melanesoide, tersebar di Nusantara bagian
timur.
Warisan kebudayaan Proto-Melayu mencakup cara hidup menetap, bersawah, bercocok tanam padi,
berternak babi-sapi-kerbau, membuat barang tembikar, kain dari kulit kayu, dan pengembangan gaya
seni tertentu. Budaya ini telah menjadi dasar kebudayaan Nusantara, dan beberapa ciri khasnya
masih dapat ditemui hingga saat ini.
8. Zaman Megalithikum:
1. Zaman Logam:
Rumpun Deutero-Melayu, sebagai kelompok kedua yang memasuki wilayah Nusantara dari penutur
bahasa Austronesia, membawa perubahan signifikan pada zaman prasejarah Indonesia. Kedatangan
mereka menandai awal Zaman Logam, yang mencakup perkembangan dalam penggunaan logam,
terutama perunggu dan besi.
Hasil kebudayaan Deutero-Melayu memiliki kemiripan dengan budaya Dongson di Indocina Vietnam.
Zaman ini sering disebut sebagai "Bronze-Iron Age" oleh H.R. van Heekeren. Kebudayaan perunggu
ini mencakup sekelompok masyarakat yang memiliki keahlian dalam pembuatan perhiasan,
peralatan, dan barang-barang logam lainnya.
Dalam Zaman Logam, ditemukan kapak perunggu atau kapak corong di berbagai wilayah Nusantara
seperti Sumatera Selatan, Jawa, Bali, hingga pulau Selayar. Selain itu, terdapat perhiasan dan manik-
manik yang terbuat dari logam, yang semakin menggambarkan perkembangan status sosial di
masyarakat Nusantara pada masa itu.
Teknik pembuatan logam dan sistem pembagian kerja yang berkembang membentuk masyarakat
yang tertata secara status sosial dan ekonomi. Nekara, perhiasan, dan kapak perunggu menjadi
lambang kebudayaan Deutero-Melayu yang memberikan kejelasan terhadap struktur masyarakat
pada periode tersebut.
Bangsa Proto-Melayu dan Deutero-Melayu masuk ke wilayah Indonesia melalui jalur laut
yang berbeda. Proto-Melayu melalui jalur barat dari Yunan, Cina Selatan, dengan titik masuk
melalui Selat Malaka menuju Pulau Sumatra dan Jawa. Di sisi lain, Deutero-Melayu
melakukan imigrasi melalui jalur barat dari Yunan, Vietnam, Malaysia, hingga tiba di
Indonesia. Setelah itu, mereka menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia.
2. Peninggalan Kebudayaan Proto-Melayu:
Bangsa Proto-Melayu hidup pada zaman Neolithikum, yang ditandai dengan perubahan
besar dari gaya hidup "food gathering" menjadi "food producing." Peralatan yang digunakan
oleh Proto-Melayu pada masa ini sudah halus, termasuk gerabah, beliung persegi, kapak
persegi, dan tembikar.
3. Peninggalan Kebudayaan Deutero-Melayu:
DAFTAR PUSTAKA
Aris, Daud Tanudirjo. 2011. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Cecep, R Eka Permana. 2012. "Tinggalan Budaya Proto-Melayu dan Deutero-Melayu di Indonesia dan
Malaysia dan Dampaknya pada Penguatan Kebudayaan Melayu Kini" dalam Seminar Artarabangsa
Perantauan Sumatera Semanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak di Universiti Sains Malaysia.
Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Budha. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).
Gede, I Pitana. 2011. Austonesia Melanesia di Nusantara: Mengungkap Asal-usul dan Jati Diri Temuan
Arkeologis. Yogyakarta: Ombak
Heekeren, H.R. Van. 1958. The Bronze-Iron Age of Indonesia. s-Gravenhage: KITLV, Verhandelingen.
Idi, Adullah. 2011. Bangka: Sejarah Soial Cina-Melayu. Yogyakarta: Tiara Wacana. Michel, Paul
Munoz. 2009. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia:
Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara
Zaman Prasejarah-Abad XVI. Yogyakarta: Mitra Abadi. Philippe, Bernard Groslier. 2002. Indocina
Persilangan Kebudayaan, Jakarta: Gramedia.
Soekmono R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius. Vlekke, Bernard
H.M. 2010. Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.