Anda di halaman 1dari 4

JANE (Jurnal Administrasi Negara), Februari 2022 Volume xx Number x Hal.

xx - xx

Evaluasi Kebijakan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 72 tahun 2021 tentang


Percepatan Penurunan Stunting

Muhammad Fajar Rizki Djubaedi


Department of Public Administration, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Padjadjaran,
Bandung, Indonesia
muhammad20304@mail.unpad.ac.id

ABSTRAK
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengevaluasi sejauh mana implementasi Peraturan Presiden (Perpres)
nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, untuk menunjukkan dan menganalisis faktor-faktor
apa yang menjadi hambatan dalam implementasi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 72 tahun 2021 tentang
Percepatan Penurunan Stunting. Model CIPP yang digunakan adalah konteks, masukan, proses, dan produk karena
model ini lebih komprehensif dalam evaluasi karena evaluasi dilakukan dari awal proses hingga akhir proses.
Evaluasi konteks menguji apakah tujuan telah diformulasikan dengan jelas dan spesifik, atau tidak. Evaluasi
masukan dilakukan dengan menguji apakah masukan untuk mencapai tujuan sudah cukup dan bagaimana
kualitasnya. Evaluasi proses terkait dengan bagaimana prosedur pelaksanaan program dilakukan, serta apakah
ditemukan kelemahan dalam mendukung proses kerja. Evaluasi produk terkait dengan hasil yang dicapai dari
program/policy, serta apakah program tersebut perlu dilanjutkan, dilanjutkan dengan revisi, atau tidak dilanjutkan.
Penulisan ini adalah penulisan studi kepustakaan, dalam bentuk penelitian evaluasi, karena penelitian ini dilakukan
untuk mengkaji program/policy. Berdasarkan evaluasi konteks, ini berarti bahwa implementasi program
pencegahan stunting masih diformulasikan secara sederhana, sehingga tidak sepenuhnya dipahami dan tidak
sepenuhnya dipahami oleh aparatur pengawas. Dari evaluasi masukan, disimpulkan bahwa aparatur pengawas
belum sepenuhnya mengalokasikan dana, infrastruktur, dan fasilitas, serta sumber daya yang cukup untuk
melakukan pembinaan. Berdasarkan Evaluasi Output, target belum sepenuhnya tercapai.

Keywords: Evaluasi Kebijakan Publik, Stunting, Peraturan Presiden

PENDAHULUAN

Seperti yang kita semua ketahui, kekurangan gizi telah menyebar di hampir semua segmen masyarakat.
Jika tidak segera diatasi atau dipecahkan, maka mungkin kita akan menghadapi fenomena masyarakat yang
mengalami kerdilan (yang sering disebut sebagai Fenomena negeri liliput). Stunting adalah kondisi gagal
pertumbuhan pada anak balita yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis. Akibatnya, anak-anak ini menjadi
lebih pendek daripada seharusnya sesuai dengan usia mereka. Kekurangan gizi ini dimulai sejak bayi dalam
kandungan dan berlanjut pada masa awal kehidupan setelah lahir, meskipun gejalanya baru terlihat setelah anak
mencapai usia 2 tahun. Gizi adalah suatu proses di mana organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi
secara normal melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran
zat-zat yang tidak diperlukan untuk menjaga kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal organ-organ dalam
tubuh serta menghasilkan energi (Supariasa, dkk, 2002). Status gizi adalah kondisi yang timbul akibat
keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi
biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya (Suyatno,
2009).
Kekurangan gizi adalah salah satu masalah serius di seluruh dunia, namun sering kali kurang
mendapatkan perhatian yang seharusnya. Padahal, dampak kemanusiaan dan ekonomi dari kurang gizi sangat
besar, terutama karena kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah yang termiskin, perempuan, dan anak-
anak. Ada alasan kuat mengapa gizi harus menjadi prioritas, yaitu bahwa kekurangan gizi dapat dicegah, dan telah
terbukti melalui berbagai intervensi langsung yang memberikan hasil positif terhadap pembangunan. Perbaikan
dalam status gizi sering kali berkaitan dengan perbaikan ekonomi, namun ini bukanlah hubungan sebab-akibat
yang pasti. Beberapa contoh dari berbagai negara menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi dan status gizi
masyarakat tidak selalu berjalan sejalan. Sebagai contoh, kita bisa melihat negara Sri Lanka, yang meskipun
sangat miskin, memiliki status kesehatan dan gizi yang lebih baik daripada beberapa negara yang jauh lebih kaya,
seperti Indonesia.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 yang menetapkan strategi untuk
mempercepat penurunan angka stunting sebesar 14%. Dalam upaya mencapai target ini, pemerintah menargetkan
agar prevalensi stunting harus berkurang sebesar 2,7% setiap tahunnya, dengan harapan mencapai angka yang
diinginkan pada tahun 2024 (presidenri.go.id, 2021). Presiden sangat memperhatikan permasalahan stunting di
Indonesia, dan inisiatif nasional telah dibuat untuk mempercepat penurunan angka stunting. Inisiatif ini
eISSN : 2597-758X 1
pISSN : 2086-1338
JANE (Jurnal Administrasi Negara), Februari 2022 Volume xx Number x Hal. xx - xx

melibatkan berbagai sektor, termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, masyarakat filantropi, dan media
massa. Semua pihak didorong untuk bekerja sama dalam upaya menurunkan angka stunting hingga mencapai
target 14% pada tahun 2024 mendatang, dengan koordinasi dari wakil presiden (Yayuk, 2020).
Masalah stunting kini menjadi sangat serius karena memiliki dampak yang signifikan terhadap tingkat
kecerdasan dan produktivitas generasi bangsa. Dalam konteks kebijakan kesehatan, pemerintah Indonesia telah
memprioritaskan penanganan masalah stunting. Berdasarkan hasil Studi Kasus Gizi Indonesia 2021, prevalensi
stunting di Indonesia saat ini sebesar 24,4 persen, yang mengalami penurunan signifikan dari 27,7 persen pada
tahun 2019. Meskipun angka ini lebih baik dibandingkan dengan Myanmar (35 persen), namun masih lebih tinggi
dibandingkan dengan negara seperti Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%).
Dalam catatan riset kesehatan, Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat stunting tertinggi
pada anak balita, dengan angka mencapai 37,2% pada tahun 2013. Namun, angka tersebut mengalami penurunan
menjadi 30,8% pada tahun 2018, kemudian turun lagi menjadi 26,9% pada tahun 2020, dan kembali menurun
menjadi 24,4% pada tahun 2021. Bahkan, pada tahun 2022, angka stunting kembali turun menjadi 21,6% menurut
hasil SGGI (Budi G. Sadikin, 2021). SGGI (Stunting Growth Gap Index) merupakan alat pengukuran untuk
mengevaluasi angka stunting di Indonesia. Awalnya, pengukuran SGGI dilakukan setiap 3-5 tahun sekali. Namun,
sejak stunting menjadi fokus perhatian pemerintah Indonesia, pengumpulan data SGGI dilakukan setiap tahun.
Oleh karena itu, pemerintah optimis bahwa dengan mempertegas regulasi terkait stunting dan menangani masalah
ini sejak masa kelahiran, mereka dapat mencapai target penurunan stunting sebesar 14% pada tahun 2024 (Rokom,
2023).

METODE

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan studi kepustakaan dengan metode evaluasi, penelitian
kepustakaan yaitu penelitian dengan membaca buku atau majalah dan sumber informasi lainnya untuk
mengumpulkan informasi tentang berbagai literatur, baik di perpustakaan maupun ditempa tlain, selain itu metode
evaluasi diharapkan peneliti mampu memberi penilaian terhadap pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres)
nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Penulisan ini untuk mengetahui tingkat
kecenderungan pelaksanaan kebijakan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan
Penurunan Stunting pada tujuan kebijakan tersebut dibuat. Dalam penulisan makalah ini penulis berharap
mampu memberikan kondisi keadaan yang sebenarnya (naturalistik) di lapangan. Meskipundilakukan lebih
dahulu sebagai pembuka awal dalam mencari data, akan tetapi digunakan juga untuk mendukung analisis.
Untuk membandingkan suatu kejadian, kegiatan yang diharapkan pada tujuan awal kebijakan ini dibuat
pada kondisi yang seharusnya dicapai dengan kenyataan dilapangan (kejadian sebenarnya).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 mengenai percepatan penurunan stunting merupakan salah
satu komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah stunting. Peraturan ini juga membentuk tim promosi
percepatan penurunan stunting yang terdiri dari direksi dan manajemen senior. Wakil presiden menjadi panitia
pengarah utama, dengan pendampingan dari Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta
menteri-menteri lainnya. Saat ini, kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana menjabat sebagai
direktur utama tim ini. Tim percepatan penurunan stunting juga dibentuk di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan
kecamatan. Upaya percepatan ini akan dilakukan secara komprehensif dan sinergis antara pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten/kota.
Pemerintah berusaha meningkatkan gizi dan kesehatan anak dan ibu hamil melalui berbagai langkah,
seperti penyediaan air bersih, perbaikan sanitasi, pendidikan anak usia dini (PAUD), pemenuhan makanan bergizi,
dan promosi pola hidup bersih dan sehat. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan
Stunting menjadi dasar hukum untuk berbagai kegiatan yang telah dimulai sejak tahun 2018. Diatur di dalam
pasal 17 Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 bahwa Pelaksana bertugas:
1. Menyiapkan perumusan rencana aksi nasional penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting;
2. Melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi program dan kegiatan Percepatan Penurunan
Stunting kementerian dan lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah
kabupaten/kota, Pemerintah Desa, dan Pemangku Kepentingan;
3. Menyiapkan perumusan penyelesaian kendala dan hambatan penyelenggaraan Percepatan Penurunan
Stunting;
4. Mengoordinasikan Pemantauan dan Evaluasi penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting:
5. Mengoordinasikan peningkatan kapa-sitas kelembagaan dan sumber daya manusia
kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan
Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting; dan

eISSN : 2597-758X 2
pISSN : 2086-1338
JANE (Jurnal Administrasi Negara), Februari 2022 Volume xx Number x Hal. xx - xx

6. Mengoordinasikan peningkatan kerja sama dan kemitraandengan Pemangku Kepentingan dalam


penyelenggaraan Percepatan Penuru nan Stunting.
Dalam upaya untuk mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia, Pemerintah telah menetapkan
Strategi Nasional. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 5 Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021, Strategi Nasional
Percepatan Penurunan Stunting adalah serangkaian langkah-langkah yang terdiri dari 5 (lima) pilar yang
mencakup berbagai kegiatan untuk mempercepat penurunan angka stunting. Langkah-langkah ini bertujuan untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dengan mencapai target nasional prevalensi stunting yang diukur
pada anak-anak yang berusia di bawah 5 (lima) tahun. Adapun lima pilar tersebut adalah:
1. Komitmen Politik dan Kepemimpinan Nasional dan Daerah;
2. Kampanye Nasional dan Komunikasi Perubahan Perilaku;
3. Konvergensi Program Pusat, Daerah, dan Masyarakat;
4. Ketahanan Pangan dan Gizi; dan
5. Monitoring dan Evaluasi.
Penelitian ini mengungkap bahwa Pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, telah menjalankan
program percepatan pencegahan stunting sebagai bagian dari implementasi Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021
tentang strategi percepatan penurunan stunting. Namun, pemerintah daerah terutama hanya mengadopsi program
ini tanpa banyak penyesuaian dengan kondisi khusus di wilayah mereka. Penelitian juga menemukan bahwa,
meskipun ada upaya dari beberapa pemerintah daerah untuk mencapai hasil optimal, terdapat kendala terkait
kurangnya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan profesionalisme dalam pelaksanaan program
percepatan pencegahan stunting. Terutama, tenaga penyuluh yang khusus untuk pencegahan stunting masih
kurang jumlahnya dibandingkan dengan jumlah kasus yang harus ditangani, sehingga penanganannya seringkali
hanya bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Selain itu, cakupan wilayah yang luas juga menjadi masalah
yang membatasi daya jangkauan program. Dalam penulisan ini juga terlihat bahwa pemerintah daerah telah
mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pencegahan stunting, tetapi jumlah anggaran yang tersedia sangat
terbatas dan tidak memadai jika dibandingkan dengan tingginya prevalensi stunting pada anak balita dan luasnya
wilayah, terutama di daerah-daerah terpencil. Akibatnya, pelaksanaan program pencegahan stunting hanya
berjalan secara sporadis dan lebih banyak memenuhi anggaran daripada mencapai hasil optimal. Di samping itu,
program pencegahan stunting yang dijalankan memiliki daya jangkau yang sangat terbatas, dengan lebih banyak
berfokus pada sosialisasi pencegahan stunting. Pada saat yang sama, akses ke layanan kesehatan bagi anak balita,
makanan bergizi, air bersih, dan sanitasi masih sangat kurang, menggambarkan tantangan yang masih harus diatasi
dalam upaya mengatasi masalah stunting ini.
Dalam penelitian ini tidak menemukan kebijakan yang diimplementasikan terhadap pemerintah
daerah apabila gagal melakukan pencegahan stunting akibat tidak kompetennya menangani pencegahan stunting
misalnya tidak melakukan program dan pelaksanakan program dengan baik dan benar. Penelitian ini
tidak menemukan kebijakan yang diimplementasikan secara implisit maupun eksplisit bagaimana bila
terjadi stunting pada daerah tertentu siapa yang harus bertanggung jawab apa pada desa/kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kota atau provinsi, ini yang tidak jelas apa hukuman pada mereka yang telah
lalai tidak memprogram pencegahan stunting atau pelaksanaan program stunting tidak benar atau ketidak
pedulihan mereka pada pencegahan stunting.
Tampaknya implementasi strategi nasional pencegahan stunting di tingkat pemerintah daerah
menghadapi kesulitan karena pemahaman yang masih kurang. Kekeliruan dalam pemahaman terhadap kebijakan
tersebut menjadi salah satu alasan mengapa masalah stunting belum dapat diatasi dengan baik hingga saat ini.
Masalah stunting sangat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang ada dalam berbagai aspek kehidupan.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, stunting masih menjadi masalah yang terus ada. Oleh
karena itu, perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam, terutama di tingkat pemerintah daerah, terhadap
masalah pencegahan stunting. Nugroho (2012) mencatat bahwa dalam pembuatan kebijakan yang bijaksana,
diperlukan berbagai pendekatan untuk menganalisis situasi bersama, baik dari bawah ke atas (bottom-up) maupun
dari atas ke bawah (top-down). Kemampuan kunci dalam proses ini adalah kemampuan untuk memahami para
pemangku kepentingan (stakeholders) secara menyeluruh, termasuk situasi mereka, perspektif mereka, nilai-nilai
yang mereka anut, strategi yang mereka terapkan, serta hasil-hasil yang mereka harapkan dari kebijakan tersebut.
Pemerintah juga perlu memahami bahwa implementasi kebijakan seringkali melibatkan negosiasi dan tawar-
menawar dengan berbagai pihak, karena sistem kebijakan kesehatan yang ada cenderung kompleks dan
melibatkan banyak aktor. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah, terutama pemerintah daerah, untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih dalam terhadap kompleksitas masalah stunting dan berusaha untuk
mengatasi akar masalahnya melalui program pencegahan stunting yang lebih holistik. Hal ini juga mencakup
kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan berbagai pihak yang terlibat dalam upaya pencegahan
stunting, termasuk organisasi profesi yang memiliki pengaruh besar. Dengan demikian, proses persuasi dan
negosiasi akan menjadi bagian penting dalam strategi implementasi kebijakan yang berhasil.
Kegagalan dalam program pencegahan stunting disebabkan oleh dua faktor penting. Pertama, program-
program pencegahan stunting masih mengalami kesulitan dalam menciptakan kesinambungan antara program

eISSN : 2597-758X 3
pISSN : 2086-1338
JANE (Jurnal Administrasi Negara), Februari 2022 Volume xx Number x Hal. xx - xx

pusat dan program di daerah. Kurangnya terobosan program dari tingkat daerah yang dapat memiliki dampak luas
menyebabkan pertumbuhan stunting masih terjadi di daerah-daerah tertentu, terutama di kantong-kantong
kemiskinan. Selain itu, alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah seringkali
hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan tanpa adanya target yang jelas, baik dalam jangka pendek maupun
jangka menengah. Faktor kedua adalah kurangnya pemahaman dari berbagai pihak tentang pentingnya
pencegahan stunting itu sendiri. Hal ini mengakibatkan program pencegahan stunting seringkali hanya berfokus
pada pemenuhan kebutuhan daripada berlandaskan pada isu-isu kesehatan yang penting. Akibatnya, program ini
kehilangan target yang jelas. Hasil penelitian melalui model CIPP mengindikasikan bahwa teori top-down yang
digunakan dalam pelaksanaan pencegahan stunting tidak efektif. Model ini mencerminkan pendekatan
psikolinguistik dalam membaca, di mana logika berfikir dimulai dari atas dan kemudian turun ke bawah untuk
melihat keberhasilan atau kegagalan suatu implementasi kebijakan. Namun, dalam konteks pencegahan stunting,
pendekatan top-down tidak efektif karena beberapa alasan. Pertama, pelaksanaan pendekatan top-down tidak
dapat ditangkap dengan baik oleh birokrat di daerah dan kelompok sasaran, karena mereka cenderung memiliki
kepentingan sendiri. Kedua, pendekatan top-down terlalu reaktif karena tidak semua informasi dari pusat sama
dengan yang dipahami oleh daerah. Ketiga, karena semua kebijakan, program, dan kegiatan dibuat oleh
pemerintah pusat, sehingga hasilnya tidak selalu sesuai dengan konsep, ekspektasi, dan memori daerah tersebut.
Sebagai implikasi praktis, keberhasilan dalam pencegahan stunting ke depan harus didasarkan pada peningkatan
sumber daya manusia baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang sesuai dengan kondisi di daerah tersebut.
Ukuran keberhasilan pencegahan stunting adalah menurunnya prevalensi stunting dengan drastis di daerah
tersebut. Dengan demikian, diperlukan perbaikan dalam pendekatan, pemahaman, dan pelaksanaan program
pencegahan stunting untuk mencapai hasil yang lebih baik.

SIMPULAN
Evaluasi terhadap kebijakan publik untuk mencegah stunting dan tingginya tingkat prevalensi stunting
di berbagai wilayah masih menunjukkan beberapa tantangan. Salah satunya adalah kurangnya tenaga manusia
yang memiliki kompetensi di tingkat daerah. Selain itu, keterbatasan dana untuk sektor kesehatan, terutama di
wilayah-wilayah dengan cakupan yang luas dan sulit dijangkau, juga menjadi salah satu kendala. Sarana dan
prasarana yang tersedia seringkali tidak memadai untuk melakukan pemantauan terhadap kelompok sasaran
seperti ibu hamil dan balita, terkait dengan aspek kecukupan gizi dan perilaku sehat.
Hasil penulisan ini juga mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan program
pencegahan stunting. Faktor internal mencakup budaya masyarakat yang tidak peduli terhadap kesehatan dan
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Faktor eksternal mencakup kelemahan dalam birokrasi yang tidak
memiliki kompetensi terkait isu stunting, sehingga masalah ini sering dianggap sebagai proyek rutin yang harus
dilaksanakan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap ekonomi, sosial, politik, dan keamanan negara.
Tingginya angka stunting atau peningkatan stunting dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
faktor budaya, di mana budaya masyarakat yang secara turun-temurun merupakan keluarga miskin dapat
menyebabkan anak-anak keturunan mereka juga menjadi miskin dan kurang peduli terhadap kecukupan gizi.
Kedua, rendahnya tingkat pendidikan yang membuat mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang. Ketiga, birokrasi yang tidak memiliki kompetensi dapat mengakibatkan
kelemahan dalam pengawasan serta pelaksanaan program yang tidak tepat sasaran, tidak efisien, dan tidak efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Lailiyah, K. (2023). PERAN BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL


(BKKBN) DALAM PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING PERSPEKTIF PERPRES NOMOR
72 TAHUN 2021. Mendapo: Journal of Administrative Law, 4(1), 16-33.
Peraturan PresidenNomor 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Rahmadani, S., & Lubis, S. (2023). Evaluasi peran pemerintah dalam menentukan angka stunting berdasarkan
perpres 72 tahun 2021.
Rokom, R. S. N. (2023, January 25). Prevalensi Stunting di Indonesia Turun ke 21,6% dari 24,4%.
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230125/3142280/prevalensi-stunting-di
indonesia-turun-ke-216-dari-244/
Yayuk Sri Rahayu, A. (2020). Tantangan Pencegahan Stunting Pada Era Adaptasi Baru “New Normal” Melalui
Pemberdayaan Masyarakat Di Kabupaten Pandeglang The Challenges Of Preventing Stunting In
Indonesia In The New Normal Era Through Community Engagement.

eISSN : 2597-758X 4
pISSN : 2086-1338

Anda mungkin juga menyukai