Anda di halaman 1dari 3

REVIEW ARTIKEL HAM DAN KELUARGA

Nama : Praja Zaqhlul Zahidha

Nim : 05020121086

Judul Artikel: Wacana hak asasi manusia dan hukum islam: konstruksi epistemology
Abul A’la Al-Maududi, Abdullah Ahmed An-Naim, dan Mashood
A.Baderin
Penulis: Siti Rohmah, Moh. Anas Kholis, Andi Muhammad Galib
Jurnal: Justicia Islamica: Jurnal Kajian Hukum dan Sosial
Volume: Volume 19
Nomor: No.1
Tahun: 2022
Halaman: 152-170

Riview Artikel

Penegakan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia selalu menjadi topik hangat yang
diperbincangkan dan menjadi salah satu perhatian penting saat ini. Hal ini tidak lagi terjadi
secara tiba tiba, padahal agama kerap dijadikan kambing hitam dalam beberapa kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia di seluruh dunia. Namun, agama juga mengklaim sebagai pionir
dalam penegakan hak asasi manusia di berbagai tingkatan. Jazim Hamidi bahkan pernah
menyatakan bahwa hampir semua negara telah meratifikasi konsep hak asasi manusia dalam
kerangka konstitusinya. Negara Barat menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai konstitusi paying,
sedangkan negara Timur menyebut Hak Asasi Manusia sebagai negara yang tidak mau
ketinggalan dalam hal meratifikasi kosep Hak Asasi Manusia. Dalam deklarasi universal Hak
Asasi Manusia ada beberapa isu kontroversial antara lain kebebasan berpindah agama,
pernikahan agama sejenis, demokrasi dan deskriminasi gender. Deklarasi inijuga elemen pertama
dari undang-undang hak legislative, sebuah tabulasi hak-hak dan kebebasan internasional yang
mendasar.

Untuk memahami konsep dasar hak asasi manusia ada empat teori hak asasi manusia
yang telah disebutkan oleh Todung Mulya Lubis, yaitu; pertama, hak kodrati yang
berpandangan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh seluruh umat manusia
pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia. Kedua, teori positivis
berpendapat bahwa karena hak harus terkandung dalam hukum dasar, maka hak tersebut
dipandang sebagai hak melalui jaminan konstitusional (hak harus diciptakan dan diberikan oleh
konstitusi, undang-undang, dan kontrak). Yang ketiga adalah teori relativis budaya (cultural
relativis theory). Teori ini merupakan salah satu bentuk antitesis terhadap teori hak kodrati
(natural right). Teori ini berpandangan bahwa anggapan bahwa hak bersifat universal melanggar
dimensi budaya yang satu terhadap yang lain atau imperialisme budaya.

Dalam konstruksi epistimologi ortodoksi islam dan hak asasi manusia oleh Al-Maududi
konstruksi epistimologi ini didasarkan pada tiga prinsip, yaitu Monoteisme (keesaan Tuhan),
selebaran (kerasulan), dan Khilafah (Khalifah). Menurut Al-Maududi, Allah berhak memberi
perintah atau melarangnya. Hanya Allah sajalah yang patut disembah dan ditaati. Oleh karena
itu, dalam konsepsi Al-Maududi, tidak ada seorang pun yang berhak membuat konsensus HAM
berdasarkan antroposentrisseorang dirinya sendiri. Hak ini hanya milik Tuhan. Tidak ada
individu, keluarga, golongan, atau ras yang dapat menempatkannya di atas otoritas Tuhan. Tuhan
adalah Penguasa, dan perintahnya menjadi hukum Islam. Al-Maududi juga menegaskan,
kedaulatan mutlak ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Menurut Al-Maududi, kata-
kata “kedaulatan rakyat” seringkali hanya sekedar kata-kata kosong karena partisipasi rakyat di
sebagian besar negara demokrasi hanya dilakukan sekali dalam empat atau lima tahun dalam
bentuk pemilu. Al-Maududi mengungkapkan beberapa prinsip, yaitu; Pertama, tidak seorangpun,
sekelompok orang atau bahkan seluruh penduduk suatu negara dapat mengklaim kedaulatan
(sovereignty). Kedua, Tuhan adalah pemberi hukum yang obyektif, sehingga hanya Dia yang
mempunyai hak mutlak untuk membuat peraturan perundang-undangan. Ketiga, pemerintahan
yang menjalankan aturan-aturan dasar dari Tuhan sebagaimana dijelaskan oleh nabi-Nya akan
mendapat ketaatan masyarakat karena pemerintah pada prinsipnya bertindak sebagai badan
politik yang menegakkan aturan-aturan Tuhan.

Dalam konstruksi epistimologi liberalism islam dan HAM oleh An-Na’im. Dalam
konstruksi ini ada konfrontasi antara dua “ideologi”, yaitu universalisme dan relativisme budaya.
Kedua ideologi ini menjadi perdebatan paling panas dalam dua dekade terakhir. Prinsip HAM
internasional ini, menurut An-Na’im, dinilai merupakan prinsip yang benar dan tidak
bertentangan dengan prinsip syariah yang sebenarnya. Karena prinsip-prinsip hak asasi manusia
internasional didasarkan pada sisi nilai-nilai humanisme sebagaimana Islam ketika diturunkan di
Mekkah, maka dalam poin ini An-Na'im menyatakan bahwa ilmu hukum Islam klasik
sebenarnya tidak bisa menghormati hak asasi manusia yang universal karena didasarkan pada
nilai-nilai kemanusiaan. An-Na’im menegaskan, dari varian standar konsep hak asasi manusia
yang dimiliki negara-negara di kawasan timur, harus diselaraskan dengan konsep hak asasi
manusia internasional. Menurut An-Na’im, hak asasi manusia internasional berupaya
mendekonstruksi diskriminasi laki-laki terhadap perempuan dan diskriminasi agama satu
terhadap agama lain. Namun ironisnya, menurut An-Na’im, hal tersebut bersifat diskriminatif.
Bahkan secara epistemologis, An-Na’im juga pada akhirnya mengkritik konsep kedaulatan yang
dianut Islam – yang banyak dianut dan diyakini oleh banyak negara Timur, dalam hal ini Islam –
adalah ajaran kedaulatan Tuhan.

Kelebihan pada artikel ini yaitu pembahasan yang cukup intens dan kritis untuk
permasalahan kali ini, di sisi lain pembaca pasti akan dibuat berpikir berulang kali dan menalar
akar permasalahan tersebut. Dimana ada kelebihan, disitu ada kekurangan. Seperti biasa, Bahasa
terlalu ilmiah untuk dipahami dan terkesan memaksa paham mahasiswa.

Anda mungkin juga menyukai