Anda di halaman 1dari 14

1.

Konsep Dasar Penyakit


A. Definisi Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah prosedur pembedahan yang bertujuan untuk
menempatkan ginjal yang sehat dari donor yang sudah meninggal atau masih hidup
ke orang dengan gangguan ginjal berat yang telah atau belum memulai dialisis
(Kidney Health Australia, 2020)
Transplantasi ginjalmerupakan pengobatan pilihan pada pasien dengan penyakit
ginjal stadiumakhir karena dapat meningkatkan kualitas hidup dan
memilikikelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan dialisis (Naik
&Shawar, 2022).
B. Etiologi Transplantasi Ginjal
Urutan etiologi terbanyak pada resispen transplantasi ginjal adalah sebagai berikut
glomerulonelritis (25%),diabetes melitus (23%\, hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%) (Sudoyo &Aru, 2006).
a. Glomerulonelritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primerdan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila'penyakit dasarnya
berasal dariginjal sendiri sedangkan glomerulonelritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosussistemik (LES), mieloma multiple atau amiloidosis
b. Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo
(2005)diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerjainsulin atau kedua-duanya.
Pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronis stadium akhir merupakan
kandidat untuk kidney pancreas transplantation. Kedua organ ini bisa
dicangkokkan secara simultan atau bertahap (pancreas after kidney [PAK]).
Survival allograft pankreas pada cara terakhir lebih buruk dibandingkan
transplantasi simultan tetapi perbedaan ini tidak menyolok. Lebih jauh PAK
menghasilkan outcome ginjal transplan yang lebih baik dan komplikasi bedah
lebih kecil. Sekarang presentasi transplantasi pankreas dengan prosedur PAK
makin meningkat. Perbaikan teknik bedah dan penggunaan imunosupresan
meningkatkan survival allograft pankreas. Terdapat bukti-bukti bahwa pada
pasien tertentu mortalitas umum dan kardiovaskuler berkurang dengan
transplantsi ginjal-pankreas dibandingkan hanya transplantasi ginjal.
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan
darahdiastolik > 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yangsemisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kistayang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karenakelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh
berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjalpolikistik merupakan kelainan
genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebihdahulu dipakai
adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease),oleh
karena sebagian besar baru bermanilestasi pada usia di atas 30 tahun.
e. Systemic Lupus Erythematous
Penyakit Lupus atau Systemic Lupus Erythematosus merupakan salah satu
penyakit autoimun reumatik, yang bersifat sistemik. Penyakit autoimun
merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem pertahanan tubuh
akibat sistem imun seseorang tidak berfungsi dengan normal sehingga
menyerang sel-sel tubuhnya sendiri dan menyebabkan kerusakan organ tubuh.
Berikut ini penjelasan singkat mengenai penyakit Lupus yang merupakan
salah satu penyakit autoimun reumatik.

C. Komplikasi Pasca Transplantasi Ginjal


Komplikasi yang mungkin terjadi pasca transplantasi ginjal dapat digolongkan
menjadi dua golongan yaitu komplikasi bedah dan medik.
1. Komplikasi Bedah.
Selain komplikasi bedah besar (perdarahan, efek pembiusan), dapat timbul
masalah khusus sehubungan dengan proses transplantasi ginjal. Komplikasi post
operatif tergantung pada prosedur bedah yang digunakan. Komplikasi urologi dan
vaskular mempunyai pengaruh substansial terhadap morbiditas dan mortalitas.
Komplikasi urologi muncul pada 4% - 8% pasien dan komplikasi vaskular 1% - 2
%. Komplikasi vaskular meliputi stenosis arteri renalis, infark, fistula
arteriovenus, pseudoaneurisma, dan trombosis vena renalis. Komplikasi
nonvaskular meliputi obstruksi uretra, kebocoran urin, penimbunan cairan
peritransplan (hematom, limfokel, abses, infeksi), komplikasi gastrointestinal dan
herniasi.
Hampir dua pertiga komplikasi urologi dini (kebocoran urin atau obstruksi)
terjadi pada bulan pertama setelah transplantasi. Ekstravasasi urin bisa terjadi
pada pelvis renalis, ureter, atau dari ureteroneocystostomy site yang berhubungan
dengan nekrosis ureter akibat insufisiensi vaskular atau peningkatan tekanan urin
karena obstruksi. Obstruksi urin terjadi hampir pada 2 % pasien dan biasanya
terjadi dalam 6 bulan pertama paska transplantasi, lokasi yang paling sering
adalah di tempat implantasi ureter ke dalam kandung kencing. Lebih dari 90 %
stenosis ureter terjadi pada ureter 1/3 distal. Penyempitan pada ureterovesical
junction dapat disebabkan oleh jaringan parut akibat iskemia atau rejeksi,
kesalahan teknik dalam ureteroneocystostomy atau akibat kingking.
Stenosis arteri renalis biasanya muncul dalam tahun pertama setelah
transplantasi, bisa berlokasi di daerah sebelum anastomosis, di tempat
anastomosis dan setelah anastomosis. Infark ( trombosis arteri renalis dapat
diakibatkan oleh rejeksi hiperakut, oklusi anastomosis, kingking arteri atau
adanya flap intimal. Penderita menjadi anuri dan terjadi pembengkakan serta
ketegangan di atas graft.
Komplikasi gastrointestinal yang paling sering adalah perdarahan saluran
cerna akibat ulkus peptikum. Disamping itu dapat juga terjadi esofagitis, gastritis
hemoragik, obstruksi dan perforasi usus, serta herniasi. Prevalensi komplikasi ini
bervariasi tergantung dari pendekatan yang diambil saat penempatan graft apakah
intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Perlengketan postoperatif dapat
mengakibatkan obstruksi saluran cerna. Herniasi bisa terjadi melalui defek
peritoneal transplan.
2. Komplikasi Medik.
Komplikasi medik yang paling penting adalah reaksi penolakan atau rejeksi.
Disamping itu, terdapat pula sejumlah komplikasi lain yang perlu mendapat
perhatian pada pasien-pasien paska transplantasi ginjal.
Sistem imun berperan pada proses penolakan. Reaksi penolakan ditimbulkan
oleh sel Th (T helper) resipien yang mengenal antigen MHC allogenic dan
imunitas humoral (antibodi). Sel tersebut akan merangsang sel Tc (T citotoxic)
yang juga mengenal antigen MHC allogenic dan membunuh sel sasaran.
Kemungkinan lain adalah bahwa makrofag dikerahkan ke tempat transplan atas
pengaruh limfokin dari sel Th sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut
serupa dengan yang terjadi pada reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Gell dan
Coombs. Reaksi rejeksi dapat terjadi segera (hiperakut), akut dan kronik.
a. Rejeksi hiperakut
Rejeksi hiperakut adalah destruksi imunologik ginjal transplan
yang terjadi dalam waktu 24 jam paska transplantasi dan sering terjadi
intraoperatif. Rejeksi ini jarang terjadi.
Rejeksi hiperakut disebabkan oleh reaksi antibodi resipien yang
terbentuk pratransplantasi akibat transplantasi/tranfusi darah sebelumnya
dengan antigen sel endotel pembuluh darah ginjal transplan. Antibodi
tersebut mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edema dan
perdarahan interstisial dalam jaringan transplan sehingga mengurangi
aliran darah ke seluruh jaringan. Pasien menderita panas, lekositosis dan
memproduksi sedikit urin atau tidak sama sekali. Urin mengandung
berbagai elemen seluler termasuk eritrosit. Trombosis dengan kerusakan
endotel dan nekrosis sering terlihat pada penolakan hiperakut. Resipien
menunjukkan gangguan imunologik berat dengan koagulasi intravaskular
diseminata. Ginjal transplan edema dan hemoragik, pemeriksaan
histopatologik menunjukkan adanya endapan IgG dan C3 di dalam
dinding kapiler glomerulus dan peritubulus serta agregasi trombosit yang
menyumbat lumen kapiler.
b. Rejeksi Akut
Rejeksi akut terlihat pada resipien yang sebelumnya tidak
tersensitisasi terhadap transplan. Hal ini merupakan penolakan umum
yang sering dialami resipien yang menerima transplan yang mismatch
atau yang menerima allograft dan pengobatan imunosupresif yang kurang
dalam usaha mencegah penolakan. Insiden penolakan akut berkisar 60 -
75 % dari transplantasi ginjal pertama kali.
Penolakan akut dapat terjadi sesudah beberapa hari dan tersering
pada 3 bulan pertama paska transplantasi. Resipien mendadak demam,
badan lemah, hipertensi dan oligouria disertai peninggian kadar kreatinin
darah, dan penurunan nilai test kliren kreatinin. Ginjal transplan menjadi
edema yang mengiritasi selaput peritoneum sehingga menimbulkan rasa
nyeri di daerah pelvis. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan infiltrasi
difus sel mononukleus yang disertai edema dan perdarahan di dalam
jaringan interstisial. Kadangkadang disertai infiltrasi sel
polimorfonukleus, destruksi pembuluh darah, dan proliferasi sel endotel
dengan trombosis mikrovaskular. Kadar interleukin-2 plasma
pratransplantasi berkorelasi positif dengan insiden rejeksi akut, dan
peninggian kadar interleukin-2 paska transplantasi yang bermakna
merupakan prediktor terjadinya rejeksi akut. Chen dan kawan-kawan14
membuktikan bahwa ekspresi reseptor interleukin-2 pada jaringan ginjal
dapat digunakan sebagai petanda rejeksi akut.
Penolakan akut dapat dihambat dengan steroid, antilimfosit
globulin poliklonal, dan antibodi monoklonal OKT3. Rejeksi akut yang
refrakter terhadap obat-obat ini mungkin memerlukan plasma exchange
untuk membersihkan antibodi dari transplan
c. Rejeksi Kronik
Rejeksi kronik adalah hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan
yang terjadi secara perlahan beberapa bulan-tahun sesudah organ
berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap
antigen transplan atau oleh karena timbulnya intoleransi terhadap sel T.
Dalam hubungan ini, yang berperan adalah beberapa faktor seperti
kerusakan iskemik pada saat transplantasi, histokompatibilitas, umur
donor, keseringan dan derajat episode rejeksi akut, hipertensi,
hiperlipidemia dan penyakit ginjal rekuren. Pemeriksaan histopatologik
menunjukkan proliferasi sejumlah besar sel mononuclear, terutama sel T.
Terjadi nefroskelrosis, dengan proliferasi dan fibrosis intima pembuluh
darah ginjal sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh darah.
Hasilnya adalah iskemia renal, hipertensi, atrofi tubuler, fibrosis
interstisial dan atrofi glomeruler. Namun belum ada bukti apakah
penurunan fungsi graft dalam beberapa tahun berdasarkan mekanisme
yang sama pada semua kasus.
Penolakan kronik terjadi perlahan setelah periode waktu yang lama
dan mungkin tidak ada simtom yang tampak. Gejala gagal ginjal terjadi
perlahan-lahan dan progresif. Hal ini kadang-kadang timbul sesudah
pemberian imunosupresan dihentikan. Infeksi yang ada akan
mempermudah timbulnya penolakan kronik. Penolakan kronik juga sulit
diobati, imunosupresi saat ini tidak banyak berguna oleh karena kerusakan
sudah terjadi, dan pencegahan ditujukan terutama untuk mengatasi faktor
risiko yang ada. Jika ginjal berhenti berfungsi, pasien dapat kembali
didialisis dan menunggu transplantasi lain.

3. Infeksi
Infeksi pada pasien paska transplantasi ginjal baik yang berhubungan
dengan prosedur transplantasi maupun yang disebabkan oleh pathogen
oportunis dapat mempengaruhi fungsi ginjal dan hasil transplantasi ginjal.
Keberhasilan transplantasi ginjal bergantung pada keseimbangan antara
immunosupresi yang memadai untuk mencegah terjadinya rejeksi ginjal
transplan dan pemeliharaan kompetensi imune pada taraf yang memadai untuk
melindungi resipien terhadap infeksi. Sebagai akibat pemakaian obat yang
menekan fungsi sel T, resipien transplantasi ginjal menunjukkan peninggian
risiko terhadap infeksi oleh berbagai pathogen intraseluler seperti virus,
protozoa, bakteri dan jamur.

4. Kompilkasi Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian setelah
transplantasi ginjal. (Fazelzadeh et al. 2006) pada sebuah studi observasional
yang melibatkan 1200 pasien transplantasi antara tahun 1988 -2003 di
Southern Iran Transplant Center mendapatkan 215 kematian dimana 28,3 %
penyebabnya adalah komplikasi penyakit jantung koroner. Skrining penyakit
jantung koroner diindikasikan pada semua penderita. Tingginya insiden
penyakit kardiovaskuler paska transplantasi ginjal berhubungan dengan
tingginya prevalensi dan akumulasi dari beberapa faktor risiko sebelum dan
setelah transplantasi. Strategi untuk deteksi dini dan pengobatannya dapat
mengurangi mobiditas dan mortalitas pada populasi dengan risiko tinggi.

5. Anemia
Idealnya, transplantasi ginjal mengembalikan fungsi ginjal sehingga
meningkatkan produksi eritropoitin dan mengurangi anemia. Namun anemia
paska transplantasi justru merupakan masalah yang sering terjadi. Sebuah
analisis cross-sectional dari resipien transplan mendapatkan prevalensi anemia
40 %.1 Prevalensi yang tinggi ini terutama mencerminkan fungsi graft yang
suboptimal dan efek dari obat-obatan yang mengganggu proses erithropoisis
(MMF,SMXTMP, dan ACE inhibitor). Studi-studi observasional menunjukkan
adanya hubungan yang kuat antara anemia dengan terjadinya gagal jantung
kongestif setelah transplantasi. Pengelolaan anemia paska transplantasi sesuai
dengan panduan untuk pasien dengan PGK; difokuskan pada kekurangan besi
dan penggunaan eritropoitin.
6. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu komplikasi yang umum terjadi
pascatransplantasi ginjal, yaitu sebesar 80% pada penerima donor kadaver dan
60% pada penerima donor hidup. Kejadian hipertensi pascatransplantasi dapat
meningkatkan risiko penolakan kronik, menurunkan kesintasan organ donor,
dan meningkatkan risiko komplikasi lain. Pada awal periode
pascatransplantasi, hipertensi dapat disebabkan overload cairan, penolakan
akut, atau efek samping imunosupresan. Setelah fase tersebut, hipertensi dapat
disebabkan oleh efek imunosupresan, stenosis arteri renalis, hipoperfusi ginjal
resipien, kekambuhan penyakit primer, dan obstruksi saluran kemih.
Pemberian antihipertensi dapat dilakukan setelah mempertimbangkan etiologi
hipertensi tersebut. Penggunaan penghambat ACE atau reseptor angiotensin
harus hati-hati, terutama bila dicurigai adanya stenosis arteri renalis.
Komplikasi seperti hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus,
hiperhomosisteinemia, dan obesitas, yang juga dipengaruhi pemberian
imunosupresan, akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. (RA.
McDonald. 2019)

7. Hiperhomosisteinemia
Konsentrasi homosistein dalam darah yang meningkat pada pasien-pasien
yang mendapat dialisis, akan menurun setelah transplantasi tetapi tidak sampai
normal. Sebuah studi prospektif menemukan hiperhomosisteinemia pada 70 %
pasien transplantasi ginjal, dan hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko
independen untuk kejadian kardiovaskular. Tidak ada rekomendasi mengenai
pemberian terapi vitamin B untuk menurunkan hiperhomosisteinemia pada
resipien transplantasi. Efek dari obat immunosupresif terhadap konsenstrasi
homosistein plasma, masih belum jelas.

D. Pemeriksaan Penunjang Transpalntasi Ginjal


Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang, yang
meliputi :
a. Tahap pertama adalah mengecek golongan darah pasien. Tujuannya adalah
untuk mengetahui apakah golongan darah pasien dan pendonor cocok.
b. Cek jaringan untuk mengetahui kecocokan jaringan pendonor dan pasien. Tes
ini dilakukan dengan pemeriksaan human leukocyte antigen (HLA), di mana
gen pendonor akan dibandingkan dengan gen pasien atau resipien
c. Tes kecocokan darah (crossmatch) yakni sampel darah donor dan sampel
darah pasien akan diambil lalu dicampurkan di laboratorium untuk diperiksa
ada atau tidaknya reaksi. Jika tidak terdapat reaksi, darah pendonor dan pasien
dianggap cocok dan risiko penolakan organ oleh tubuh rendah.
E. Pengobatan dan Pemantauan Pasca Transplantasi Ginjal
Segera monitoring kondisi pasien pasca operasi meliputi hemodinamik dan
respirasi, produksi urin setiap jam, penilaian status volume, laboratorium sesuai
indikasi, komplikasi pembedahan dan transfer ke ruang rawat (Pernefri, 2013).:
a. Pemantauan selama minggu pertama.
1) Pantau Tanda Vital dan Kondisi Umum
Pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, frekuensi nadi,
pernapasan, suhu dan tekanan vena pusat) dilakukan setiap jam,
pemeriksaan laboratorium dilakukan per hari (DPL, Ureum/kreatinin,
fungsi hati, elektrolit, urinalisis, albumin/globulin, PT/APTT, glukosa
darah, kalsium, fosfor dan asam urat), pemberian cairan pengganti
intravena berdasarkan produksi urin per jam, dan produksi drain dipantau
secara berkala dan dilepaskan sesuai dengan keputusan dari dokter bedah
(Pernefri, 2013)
2) Pantau tanda komplikasi
Bila terjadi anuria atau oliguria pada ginjal transplan yang sebelumnya
sudah berfungsi, evaluasi kemungkinan penyebab. Pemeriksaan USG
untuk menilai tanda obstruksi ginjal transplan dan doppler untuk menilai
anastomosis. Apabila aliran darah ke ginjal transplan berhenti, lakukan
reoperasi untuk melihat penyebab dan memperbaiki masalah. Bila terjadi
perdarahan, evaluasi kemungkinan penyebab, apakah akibat pembedahan
atau faktor medis. Lakukan evaluasi nilai Hb, fungsi hemostasis, USG
(LeMone et al., 2017)
3) Pantau fungsi graft
Pada akhir minggu pertama, dapat terjadi komplikasi medis seperti rejeksi
akut, namun kemungkinan komplikasi pembedahan tetap harus dipikirkan
dengan melakukan USG dan doppler. Penurunan produksi urin atau
peningkatan kreatinin menunjukkan perlunya evaluasi fungsi graft.
Lakukan evaluasi balance cairan, nyeri pada graft (kecurigaan pada rejeksi
akut). Sebaiknya dilakukan biopsi ginjal transplan untuk memastikan
rejeksi akut (LeMone et al., 2017).
b. Pasca Transplantasi ginjal
Periode pasca transplantasi ginjal meliputi, tahap pemulihan perioperatif,
tahun pertama pasca transplantasi dan penyesuaian adaptasi jangka panjang.
1) Dalam Tiga Bulan Pertama.
Bulan pertama fungsi ginjal transplan dinilai 2 kali seminggu.
Bulan kedua dan ketiga fungsi ginjal transplan dinilai dua minggu
sekali. Evaluasi minimal yang dilakukan pada setiap kunjungan
diantaranya laporan medis singkat termasuk protokol
tacrolimus/siklosporin/mikofenolat mofetil (MMF), pemeriksaan fisik
umum (berat badan, tekanan darah, frekuensi nadi, suhu tubuh),
pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, elektrolit, ureum dan kreatinin
serum, fungsi hati, gula darah, kadar tacrolimus/siklosporin,
urinalisis, kultur urin. Bulan ketiga, jika terpasang kateter CAPD
dicabut, kecuali ada pertimbangan khusus untuk menunda,
pemeriksaan profil lipid dan pemeriksaan PTH (parathyroid), dosis
prednisolon ditetapkan 4 mg (pada pasien yang tanpa pengobatan
rejeksi). Jika terjadi gangguan fungsi ginjal lakukan evaluasi berupa
laporan medik lebih detail, pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan
laboratorium serta pemeriksaan penunjang lengkap (Pernefri, 2013).
2) Setelah Tiga Bulan
Kunjungan dilakukan setiap satu bulan sekali. Pemeriksaan yang
dilakukan di setiap kunjungan meliputi kesehatan umum (tekanan
darah, berat badan dan indeks massa tubuh (IMT) serta gaya hidup).
Pemeriksaan laboratorium (fungsi ginjal, darah lengkap, kimia darah
lengkap, urin lengkap dengan atau tanpa rasio albumin-kreatinin, profil
lipid). Deteksi dini tanda keganasan. Jika terjadi penurunan fungsi
ginjal (sesuai dengan tatalaksana disfungsi ginjal transplan). Dosis
pemeliharaan obat imunosupresan disesuaikan dengan kondisi pasien
dan kadar obat (Pernefri, 2013)
3) Setelah Satu Tahun
Kunjungan dilakukan setiap 2 bulan sekali.

2. Konsep Asuhan Kepenataan Anestesi


A. Pre Operasi
Diagnosa keperawatan :
Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan dari transplantasi ginjal.
Kriteria hasil :
 Rasa cemas berkurang
 Pasien dapat menyebutkan proses transplantasi ginjal
 Wajah rileks.

Intervensi :
a. Gambarkan persiapan praoperasi pada pasien termasuk puasa,
pemberian infuse, dialysis dan obat praoperasi
b. Terangkan bahwa dialysis mungkin perlu secara sementara setelah
transplantasi ginjal
c. Jelaskan prosedur pembedahan termasuk dimana ginjal akan
diletakkan dalam abdomen, dan bagaimana ginjal akan berfungsi dan
lamanya pembedahan
d. Gambarkan adanya infus pasca operasi, drain dan kateter
e. Diskusikan nyeri insisi, pastikan pasien bahwa akan ada metode untuk
menurunkan nyeri termasuk obat dan pembebatan insisi
f. Latih cara batuk, nafas dalam, ganti posisi tidur pasien
g. Dorong keterlibatan dengan kelompok pasien yang telah
menjalani transplantasi
h. Gambarkan pernyataan sederhana, ulangi dan ungkapkan dengan kalimat
lain jika perlu
i. Beri kesempatan pasien untuk mengekspresikan kecemasannya
tentang pembedahan, mengungkapkan berbagai ketidakpastian dan
mengajukan pertanyaan
j. Tawarkan kesempatan pada pasien untuk memperjelas dengan
seseorang yang telah berhasil dan tidak berhasil dalam transplantasi ginjal.

B. Post Operasi

1. Diagnosa Keperawatan
Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan transplantasi
ginjal, penolakan, obat-obatan nefrotoksik, gagal ginjal.

Kriteria hasil :
 Pasien dapat toleransi terhadap rasa nyeri
 Ungkapan rasa nyeri berkurang/hilang
 Ekpresi wajah tenang.
Intervensi :
a. Beri support kepada pasien untuk menggungkapkan raya nyerinya
b. Atur posisi yang nyaman
c. Anjurkan untuk istirahat baring di tempat tidur
d. Pantau skala nyeri nyeri, tentukan lokasi, jenis factor yang
meningkatkan rasa nyeri serta tanda dan gejala yang menunjang
e. Ciptakan lingkungan yang tenang
f. Ajarkan tehnik relaksasi (latih nafas dalam)
g. Longgarkan atau kencangkan bebat daerah yang sakit
h. Beri kesempatan untuk istirahat selama nyeri, buat jadwal aktifitas bila
nyeri berkurang
i. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik, oksigen
dan pemeriksaan penunjang
j. Berikan obat pengurang rasa sakit dan observasi 30 menit kemudian.

2. Diagnosa Keperawatan
Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan transplantasi ginjal,
penolakan, obat-obatan nefrotoksik, gagal ginjal.
Kriteria Hasil :
 Pasien akan mempertahankan keluaran urine yang
adekuat.
Intervensi :
a. Periksa haluaran urine setiap 1 jam pada awalnya
b. Catat warna urine adanya bekuan
c. Amati dan pertahankan terhadap patensi serta drainase urine pada
setiap kateter
d. Pertahankan banyaknya volume cairan intravena untuk membilas
ginjal sesuai program
e. Beritahu dokter terhadap adanya kebocoran urine pada balutan
abdomen, nyeri abdomen hebat atau destensi abdomen
f. Bila pasien oligouri progresif, teliti pemeriksaan fungsi ginjal, kaji status
hidrasi dan beritahu dokter.

3. Diagnosa Keperawatan :
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine,
gagal ginjal, penolakkan tranplantasi, tingginya volume cairan intravena.
Kriteria Hasil :
 Pasien mengeluarkan urine yang adekuat dan tidak
menahan cairan.
Intervensi :
a. Monitor TD dan nadi setiap 1jam
b. Ukur haluaran urine setiap 1jam
c. Timbang BB setiap hari
d. Auskultasi paru-paru setiap pergantian dinas sesuai indikasi
e. Pertahankan keakuratan catatan masuk dan keluarnya cairan f. Beri
banyak cairan sesuai program
f. Beri obat diuritik sesuai program
g. Pertahankan mesukan natrium sesuai program i. Laporkan semua
temuan abnormal.

4. Diagnosa Keperawatan :
Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan resiko dari reaksi imun
transplantasi dan efek samping dari obat-obatan imunosupresi, atau
kebutuhan hemodialisa lanjut.
Kriteria hasil :
 Pasien akan mempertahankan fungsi ginjal.
 Tidak ada tanda dan gejala reaksi imun
 Immunosupresan sesuai toleransi tanpa adanya efek
samping

Intervensi :
a. Pantau dan laporkan tanda dan gejala reaksi imun(kemerahan,
bengkak,nyeri tekan diatas sisi transplantasi, peningkatan suhu,
peningkatan sel darah putih, penurunan haluaran urine, peningkatan
proteinuria, peningkatan BB tiba-tiba, peningkatan BUN dan
kreatinin, eedema)
b. Periksa tanda-tanda vital setiap 2-4 jam.
c. Monitor masukan dan haluaran cairan setiap jam selanjutnya setiap 3
jam.
d. Kaji akses dialysis
e. Pantau dan laporkan efek samping dari obat-obatan immunosupresif
f. Siapkan pasien untuk operasi mengangkat ginjal yang ditolak
jika terjadireaksi hiperakut
g. Berikan dukungan kepada pasien dan keluarga.

5. Diagnosa keperawatan :
Resiko tinggi terhadap penatalaksanaan di rumah berhubungan dengan
kurang pengetahuan tentang perawatan diri, riwayat ketidak patuhan.
Kriteria hasil :
 Menyatakan mengerti tentang instruksi pulang.
Intervensi :
a. Kembangkan rencana penyuluhan bekerja sama dengan
koordinator transplantasi. Pastikan pasien dan anggota keluarga
mengetahui:
- Nama, frekuensi, indikai, dosis, dan efek samping dari semua
obat yang di berikan
- Tanda dan gejala infeksi untuk di laporkan
- Tanda dan gejala reaksi imun untuk di laporkan
- Diet – biasanya pembatasan natrium; atur untuk konsul tentang
diet
- Bagaimana mengumpulkan specimen yang di perlukan,
seperti pengumpulan urine 24 jam dan urine bersih
- Nilai normal laboraturium untuk kreatinin dan BUN.
- Kaji berat badan dan suhu tubuh setiap hari. Pastikan pasien
mempunyai catatan berat badan dan suhu tubuh setiap hari.

b. Tinjau ulang jadwal untuk kunjungan lanjut ke kantor atau


klinik transplantasi. Pastikan pasien mengetahui dimana dan seberapa
sering darah perlu di periksa. Pastikan semua instruksi perawatan
mandiri dan perjanjian evaluasi di tulis.
c. Anjurkan pasien untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan
perawatan diri sejak di rumah sakit (meminum obat sendiri,
mengukur berat badan sendiri, mengukur suhu, memonitor nilai-niali
laboraturium).
d. Anjurkan pasien untuk meningkatkan kegiatan ketika di rumah
sakit. Jika di ijinkan, mungkin pasien dapat melihat fasilitas lain
seperti kafetaria dan toko souvenir.
e. Ingatkan pasien :
- Bahwa agen imunosupresif harus di berikan untuk
mempertahankan cangkokan ginjal
- Memakai gelang waspada-medik untuk identifikasi diri sebagai
seorang dengan cangkok ginjal dan pengguna agen imunosupresif.
- Menghindari diri dari kegiatan olahraga kontak.
f. Rujuk pasien pada bimbingan pekerjaan untuk bantuan rencana
kerja bila pasien merasa siap.
g. Libatkan anggota keluarga dalam semua penyuluhan jika
memungkinkan.
h. Tekankan kembali perlunya melaporkan lebih awal tanda-tanda.
Carpernito, Linda juall, 1995. Nursing Care Plans and Documentation : Nursing
diagnosis and colaborative problems. Second Edition J.B. Lippincott Company.

Engram, Barbara. 1998. Rencana asuhan keperawatan medical bedah. Edisi bahasa
Indonesia. Volume satu.

Hudak, Carolyn, 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Edisi pertama.


Jakarta; EGC.

Hamilton, D. 1984. Kidney Transplantation in P. J. Morris (Ed). Kidney


Transplantation : Principles and Practice. New York : Grune & Stratton.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner


Suddarth. Edisi delapan. Volume dua. Jakarta. EGC.
Susalit E. Transplantasi ginjal. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata K.M, Setiati 91
S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: EGC; 2006.p.601-9.
Transplant rejection. Available from: file://G:/ Transplant rejection - Wikipedia, the free
encyclopedia.htm. Page 1-3
Fazelzadeh A, Mehdizadeh A, Rais-Jalali GA, Ostovan MA. Pretransplant cardiac investigation in
the iranian renal transplant population; finding effective screening techniques in
predicting cardiac events. XLIII Congress of the European Renal Association European
Dialysis and Transplant Association (ERA-EDTA), Glasgow, United Kingdom 2006;21:507.
Magee CC, Pascual M. Update in renal transplantation. Arch Intern Med 2004;164:1373-88.
McDonald RA. General principles of renal transplantation in children [Internet]. Niaudet P, Kim
MS. (penyunting) UpToDate. 2019

Anda mungkin juga menyukai