Anda di halaman 1dari 41

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN

PENYAKIT HEPAR DAN


PERNAFASAN
DR. MUDZAKKIR SP.AN
PENDAHULUAN

 Pasien dengan penyakit hati sering kali harus


menjalani operasi. Diperkirakan 1 di antara 700
pasien yang masuk ke rumah sakit untuk menjalani
operasi elektif memiliki gambaran fungsi hati yang
abnormal. Sekitar 10% pasien penyakit hati akan
menjalani operasi pada dua tahun terakhir masa
hidupnya.
 Manajemen perioperatif yang optimal pada pasien
dengan penyakit hati yang akan menjalani operasi
sangat penting karena dapat menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas.
OBAT-OBAT DALAM ANESTESI

OBAT ANESTESI INTRAVENA


 1.Barbiturat
 2.Benzodiazepine
 3.Anestesi analgesic opioid
 4.Propofol
 5.Etomidat 
 6.Ketamin 
Mekanisme kerja 
 Kerja neurofisiologik yang penting pada obat
anestesi umum adalah dengan meningkatkan
ambang rangsang sel. Dengan meningkatnya
ambang rangsang, akan terjadi penurunan aktivitas
neuronal.

Efek terhadap hati


 Efek terhadap hati
 Semua obat anestetik inhalasi akan menurunkan
aliran darah ke hati dan umumnya berkisar antara
15 sampai 45% dari aliran darah sebelum anestesi
dilakukan.
 Toksisitas 
Hepatotoksisitas(halotan). Biasanya hepatitis
pascabedah selalu dikaitkan dengan factor lain
seperti transfuse darah, syok hipovolemik, atau
stress bedah lainnya dibandingkan dengan
toksisitas obat anestetik. Akan tetapi, obat
halocarbon dapat menyebabkan kerusakan hati
sedangkan kloroform telah dikenal sebagai
anestetik hepatotoksik pada dasawarsa abad ini.
Halotan telah diperkenalkan mulai tahun 1956 dan
sampai tahun 1963 telah banyak dilaporkan
berbagai kasus ikterus pascabedah dan nekrosis
hati yang berhubungan dengan pemakaian halotan.
Penyakit hepar adalah setiap gangguan fungsi hati
yang menyebabkan penyakit. Hepar bertanggung
jawab untuk fungsi-fungsi kritis dalam tubuh dan saat
ia menjadi sakit atau terluka, dapat menyebabkan
hilangnya fungsi-fungsi dan kerusakan yang signifikan
pada tubuh. Penyakit hepar adalah istilah yang luas
yang mencakup semua masalah potensial yang
menyebabkan hepar gagal untuk berfungsi dengan
baik. Biasanya, lebih dari 75% atau tiga perempat dari
jaringan hati perlu mengalami kerusakkan sebelum
terjadi penurunan fungsi.
Pengaruh operasi dan
anestesi pada hepar
 Pada pasien yang tidak memiliki gangguan
fungsi hati, pemberian obat anestesi,
analgetik, sedatif, dan tindakan pembedahan
dapat meningkatkan kadar transaminase,
alkali fosfatase, dan kadar bilirubin, namun
umumnya bersifat sementara. Sebaliknya
pasien dengan penyakit hati penurunan
pasokan darah ke hati akibat tindakan operasi
maupun anestesi dapat memicu
dekompensasi hati.
 Kerusakan hati yang berat (pada sirosis hati
atau hepatitis fulminan) dapat menimbulkan
hipoalbuminemia, trombositopenia,
koagulopati, menurunnya imunitas,
intoksikasi, perubahan hemodinamik,
ensefalopati dan sindrom hepatorenal.
Keadaan tersebut menjadi faktor penyulit
pada saat tindakan operasi dan anestesi.
 Hipoalbuminemiamenghambat proses
penyembuhan luka
 Penurunan sintesis globulin di hati rentan
terhadap infeksi
 Gangguan metabolisme glukosaintoleransi
glukosa
 Penurunan produksi faktor pembekuan darah
yang diproduksi di hati mengalami penurunan
pada pasien yang mengalami disfungsi hati.
Koagulopati dan trombositopenia (akibat
hipertensi portal) meningkatkan risiko
perdarahan baik pre maupun pasca-operasi.
Penyakit hepar

HEPATITIS
 AKUT 1) virus
2) obat-obatan
 KRONIS

SIROSIS HEPATIS
 Hepatitis virus

Hepatitis virus seringkali disebabkan oleh virus hepatitis A, B,


atau C ( sebelumnya dinamakan enteric non A, non B). Akhirnya
telah ditemukan juga 2 virus hepatitis lainnya : hepatitis D (delta
virus) dan hepatitis E (enteric non A, non B). Hepatitis tipe A dan
E ditansmisikan melalui rute feco-oral, sedangkan tipe B dan C
ditransmisikan utamanya dengan cara perkutaneus dan melalui
kontak dengan cairan tubuh. Hepatitis D sendiri unik karena
dapat ditransmisikan oleh salah satu rute dan memerlukan virus
hepatitis B dalam host untuk jadi tidak efektif. Virus lainnya,
termasuk Epstein-Barr, herpes simpleks, cytomegalovirus, dan
coxackivirus, juga bias menyebabkan hepatitis.
 Hepatitis karena obat-obatan dapat disebabkan oleh
ketergantungan terhadap racun obat-obatan secara
langsung atau metabolit, atau oleh reaksi khusus obat-
obatan , atau oleh kombinasi dari keduanya
 Penggunaan asetaminofen 25 gr atau lebih menyebabkan
hepatitis fulminan yang fatal. Beberapa jenis obat seperti
Chlorpromazine dan kontrasepsi oral menyebabkan
reaksi type cholestatic .Ingesti hepatoksin kuat, seperti
carbon tetrachlorida dan jenis jamur tertentu (amanita,
galerina) seringkali berhubungan dengan kegagalan
hepatic akut. Anestesi cair, terutama halotan,
berhubungan dengan reaksi khas hepatitis.
Pertimbangan Preoperatif
 Operasi harus ditunda sampai hepatitis
akutnya sembuh, yang diindikasikan dengan
normalnya tes fungsi hepar.
 Pasien hepatitis mempunyai resiko
penurunan fungsi hepar dan berkembangnya
komplikasi kegagalan hepar, seperti
encephalopathy, coagulopathy, atau
hepatorenal syndrom.
 Operasi emergensi, evaluasi praanastesi
harus difokuskan untuk menentukan jenis
dan tingkat kerusakan hepar.

Pertimbangan intraoperatif
 Tujuan penanganan intraoperatif adalah
untuk mengembalikan fungsi hepar dan
menghindari factor-faktor yang dapat
merugikannya
 Anestesi inhalasi biasanya lebih disukai untuk
agent intravenous karena kebanyakan yang lain
bergantung pada hepar untuk metabolisme dan
eliminasi.
 Isofluran adalah anastesi inhalasi yang dipilih
karena mempunyai efek yang paling sedikit
pada aliran darah hepar.
 Anastesi regional dapat digunakan pada tidak
terdapatnya koagulopati, hipotensi, yang ada
harus dicegah
HEPATITIS KRONIS
 Hepatitis Kronik didefinisikan sebagai radang hepar
yang terjadi lebih dari 6 bulan, yang dibuktikan
dengan meningkatnya serum aminotransferase
 Penanganan anestesi Pasien dengan hepatitis
kronik persisten atau hepatitis kronik lobuler harus
diobati dengan cara yang sama terhadap pasien
hepatitis akut. Sebaliknya mereka dengan hepatitis
kronik aktif dapat diperkirakan telah menderita
sirosis dan diobati sesuai dengan penyakit tersebut.
SIROSIS HEPATIS
 Sirosis adalah penyakit  yang serius dan progresif yang
disebabkan oleh kegagalan hepar. Penyebab sirosis yang
paling umum di Amerika adalah alcohol (Lachnac’s
cirrhosis).
 Tiga komplikasi utama sirosis hepatis, yaitu ; (1)
perdarahan varises, akibat hipertensi portal, (2) retensi
cairan, dalam bentuk asites dan sindrom hepatorenal, (3)
encephalopathy hepatic atau koma. + 10% pasien juga
mengalami setidaknya satu rangkaian peritonitis bakteri
spontan, dan beberapa akan mengalami carcinoma
hepatoseluler pada akhirnya.
Pertimbangan preoperatif
 Pasien dengan sirosis memiliki resiko tinggi
mengalami penurunan fungsi hepar karena
terbatasnya reservasi fungsional
 Manifestasi gastrointestinal  hipertensi portal 
varices esophagus  perdarahan
 Penanganan perdarahan varises umumnya secara
suportif. Darah yang hilang harus digantikan dengan
cairan intravena. Penanganan non bedah termasuk
didalamnya vasopressin (0,1-0,9 u/min. secara
intravena), propanolol, balloon tamponade (dengan
tube Sengstaken Blakorhore), somatostatin (250 ug
diikuti dengan 250 ug/jam), dan sclerosis endoskopik
dari varises.
 Manifestasi hematologi  anemia,
trombositopenia, koagulopati, dll.
 Transfusi darah, Faktor-faktor pembekuan
harus digantikan dengan produk darah yang
tepat misalnya FFP (Fresh Frozen Plasma)
dan kriopresipitat. Transfusi platelet harus
dipertimbangkan segera dan utama untuk
pembedahan dengan hitungan < 100.000/uL.
 Manifestasi respiratory  foto thorax dan
pengukuran gas darah arteri
 Manifestasi Renal dan Keseimbangan Cairan
 Terapi cairan preoperative,diuresis pre
operasi yang sangat berlebihan harus
dihindari, dan deficit cairan intravaskuler akut
harus dikoreksi denagn infuse koloid
 Manifestasi Sistem Saraf Pusat perubahan pada
status mental dengan tanda-tanda neurologist yang
tidak tetap (asterixis, hiperfleksi, atau refleks plantar
yang abnormal) dan perubahan
electroencephalographie khusus ( tekanan tinggi-
simetris, aktivitas gelombang yang lemah), TIK
meningkat.
 Laktulosa oral 30-50 ml 98h atau neomycin 500 mg
96h berguna untuk menurunkan penyerapan ammonia
intestinal. Laktulosa berperan sebagai osmotic laxative
dan seperti neomycin mungkin menghalangi produksi
ammonia dan bakteri intestinal. Pencegahan sedative
pada pasien dengan encephalopathy dianjurkan.
Pertimbangan intraoperatif
A.  Respon Obat
 Respon terhadap obat anestesi tidak dapat ditebak
pada pasien dengan sirosis. Perubahan pada kepekaan
system saraf pusat, volume distribusi, ikatan protein,
metabolisme obat, dan eliminasi obat sudah umum.
 Peningkatan volume distribusi untuk obat-obatan
dengan ion tinggi, misalnya neuromuscular blocking
agent (disebut juga muscle relaxan), disebabkan oleh
meluasnya tempat cairan ekstraseluler
B. Teknik Anestesi
 Aliran darah vena porta berkurang pada kasus sirosis.
Hepar menjadi sangat bergantung pada perfusi arteri
hepatic. Pemeliharaan aliran darah arteri hepatic dan
pencegahan terhadap agen yang memiliki
kemungkinan memberikan efek yang merugikan
fungsi hepar harus kritis.
 Anestesi regional bisa dilakukan pada pasien tanpa
trombositopenia atau koagulopati, tapi perawatan
yang lebih diatas normal harus diarahkan untuk
menghindari hipotensi.
 Induksi barbiturate diikuti dengan isofluran dalam
oksigen atau campuran oksigen-nitrous oxide adalah
yang paling umum digunakan dalam anestesi pada
umumnya
 Mual sebelum operasi, muntah, perdarahan
gastrointestinal atas, distensi abdomen yang
diakibatkan oleh asites yang sangat banyak,
membutuhkan induksi yang terencanakan dengan baik
 Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering
dengan tekanan cricoid sangat sering dijalankan.
 Untuk pasien yang tidak stabil dan mereka dengan
perdarahan aktif sangat disarankan, intubasi sadar atau
induksi yang sering dengan tekanan cricoid
menggunakan ketamine (ethiomidate) dan
succyniocholine.
C.  Monitoring
  Monitoring yang teliti terhadap system
respirasi dan kardiovaskular penting bagi
pasien yang menjalani prosedur abdominal.
 Oksimetri denyut nadi harus ditambahkan
dengan pengukuran gas darah arteri untuk
mengevaluasi status asam basa
 Urinary output juga harus diawasi dengan
cermat
D.  Pemberian  cairan
  Sebelum operasi, sebagian besar pasien
mengalami retriksi natrium, namun pada
intraoperatif, perawatan terhadap volume
intravascular dan urinary output lebih
diprioritaskan. Penggunaan cairan koloid
intravena lebih dipilih untuk menghindari
berlebihnya muatan natrium dan untuk
meningkatkan tekanan onkotik
 Karena sebagian besar pasien mengalami
anemia dan koagulopati sebelum operasi,
transfusi merupakan hal yang sering
dilakukan.
KESIMPULAN
 Pasien dengan penyakit hati, yang mengalami gangguan sintesis,
metabolisme, perubahan hemodinamik dan koagulopati memiliki
risiko tinggi mengalami morbiditas dan mortalitas akibat stres
tindakan bedah dan anestesi. Tipe operasi dan luasnya disfungsi
hati menentukan tingkat morbiditas dan mortalitas pasien
dengan gangguan fungsi hati. Pasien dengan operasi abdomen
terbuka dan bersifat emergensi memiliki risiko mortalitas yang
tinggi. Penilaian preoperatif dan persiapan yang optimal pada
pasien penyakit hati dapat menurunkan risiko komplikasi atau
kematian pascaoperasi. Penanganan faktor penyulit (malnutrisi,
koagulopati, asites, ensefalopati, hipoalbuminemia, perdarahan
varies) dan pemantauan pasca-operasi harus dilakukan secara
optimal agar dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian
pascaoperasi.
ANESTESI PADA
GANGGUAN PERNAPASAN
Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi
saluran nafas atas yang akut (ISPA) masih
kontroversial. Studi menunjukkan bahwa hal
tersebut kurang jelas. Walaupun beberapa studi
mengatakan bahwa tindakan anestesi pada
pasien dengan ISPA memiliki resiko terjadinya
laringospasme, bronkospasme dan desaturasi
pada postoperative, pendapat lain mengatakan
bahwa pasien ISPA akut dan carries ISPA tanpa
komplikasi, tidak menurunkan angka kesakitan.
Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting
untuk menentukan apakah pasien sedang
mengidap suatu proses infeksi atau tidak. Evaluasi
pasien akan adanya demam, batuk, produksi
sputum, dispnu dan letargi. Tentukan apakah gejala
tersebut terjadi secara akut atau musiman.
Shreiner dan kawan-kawan mengatakan bahwa
sangat penting untuk memprediksikan
kemungkinan yang akan terjadi. Thorax foto harus
dipertimbangkan jika dipikirkan bahwa saluran
nafas bawah ikut terlibat
Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi
pada beberapa kasus RLD yang dalam pengobatan
seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia
interstisial. Fungsi paru dapat dievaluasi dengan
spirometer untuk mendeteksi penurunan volume
paru dan adanya obstruksi serta restriktif fisiologis.
Pada beberapa kasus, dalam beberapa studi
tentang fungsi paru, kurva volume aliran udara
diperlukan untuk menilai berat tidaknya RLD (lihat
bagan).
Total lung capacity dan diffusing capacity
juga diperlukan. Pada beberapa kasus, nilai
ABG preoperative berguna untuk prognosis
postoperative apakah dibutuhkan tambahan
ventilator setelah operasi. Pada kasus yang
berat echo jantung atau kateterisasi jantung
kanan preoperative berguna untuk
mengevaluasi hipertensi pulmonal atau
kegagalan ventrikel. Komponen reversible
harus diobati sebelum tindakan
pembedahan elektif.
Perkiraan pembedahan yang urgency.
Pembedahan yang nonurgency dengan adanya
asma telah dinyatakan sebagai faktor yang paling
sering mempengaruhi keputusan para ahli anestesi
untuk menunda operasi elektif pada pasien
dengan ISPA. Jika pembedahan urgent,
pertimbangan tekhnik regional untuk menghindari
manipulasi jalan nafas. Jika hal ini gagal atau tidak
dapat dilakukan, alihkan pada anestesi umum
dengan mempertimbangkan lamanya pasien
puasa. Kelembaban dan hidrasi dapat menolong
mobilisasi sekresi.
Jika pembedahan elektif, perkirakan kemungkinan
infeksi. Dengan waktu yang singkat, hal ini
tidaklah mudah; walaupun demikian, informasi
bisa didapatkan dari data tentang riwayat dan
pemeriksaan fisik pasien. Walaupun 95% pasien
dengan gejala ISPA mendapatkan infeksi virus,
beberapa pasien memperlihatkan sekresi atau
sputum yang mukopurulen, demam, atau sepsis.
Jika diduga infeksi bakteri, pasien harus diberikan
antibiotik dan pembedahan harus ditunda paling
kurang 4 minggu. Pasien dengan nasofaringitis
berat, wheezing, demam lebih dari 38oC, batuk
yang produktif atau flu atau gejala batuk yang
disertai sesak nafas harus dijadwal ulang. 
Jika terjadi pneumonia pada pasien dengan resiko
tinggi atau pasien yang tidak respon terhadap
antibiotik atau adanya kontak pada kasus yang
aktif. Observasi pernafasan sebagai pencegahan
termasuk pasien yang diintubasi. Ruang khusus
dengan tekanan ventilasi negatif dan 6-10 kali/jam
perubahan udara, pencegahan gejala pada saluran
nafas yang membahayakan dan masker atau alat
bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam
ruangan.
Tipe masker berguna untuk kesehatan kerja
(HCW) dan alat bantu pernafasan yang
diakui oleh NIOSH : fitted air-filtering mask,
powered air purifying respirators (PAPR),
atau respirator tekanan positif dengan
tambahan udara. Selama pemindahan
pasien ketempat lain, gunakan masker pada
pasien. Jika pasien diintubasi dan dilakukan
ventilasi, gunakan masker selama
pemindahan pasien.
Pasien tanpa infeksi, alergi, rhinitis vasomotor
kronis atau penyakit-penyakit tingkatan sedang,
tidak berkomplikasi, gejala “cold” akut dimana
tidak terdapat sekresi dapat dilakukan
pembedahan. Jika pasien – pasien ini akan
dioperasi, pertimbangkan resiko dan keuntungan
tindak operasi (misalnya operasi yang telah
berulangkali ditunda, dan tidak diperlukannya
pembedahan yang menambah resiko komplikasi
pada pasien dengan ISPA). Jika perbandingan
resiko dan keuntungan baik, operasi dapat
dilakukan; jika tidak baik atau ragu-ragu, operasi
ditunda paling kurang 4 minggu.
Jika tekhnik regional cocok, operasi dapat
dilakukan. Jika dilakukan anestesi umum,
gunakan mask jika memungkinkan. Jika biasa
menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA),
pertimbangkan penggunaannya untuk tindakan
yang normalnya memerlukan intubasi tracheal.
Antisialogoque dapat digunakan pada anak-
anak untuk mengurangi stimulasi vagal pada
manupulasi jalan nafas. Gunakan pulse
oxymetri pada semua pasien.
Jika pasien telah diintubasi, suction trachea
sebelum dilakukan extubasi. Lanjutkan pulse
oxymetri selama pemindahan pasien dan dalam
ruang pemulihan. Pasien dengan ISPA
memperlihatkan tingkat saturasi terbesar
selama masa pemulihan. Diperlukan
penggunaan oksigen dengan menggunakan
facemask.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai