Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHASAN

1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan langkah pertama proses keperawatan
dengan mengadakan kegiatan mengumpulkan data atau mendapatkan data yang
akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan (Hidayat, 2021).
Pengkajian yang dilakukan pada Ny. S, usia 25 tahun, dengan diagnosa
skizoafektif. Skizoafektif adalah gejala psikotik yang persisten dan terjadi
bersama-sama dengan masalah suasana hati (mood disorder) dengan gejala
campuran seperti depresi ataupun manik (Rades & Wulan, 2016). Ny. S masuk
rumah sakit sejak tanggal 10 November 2023. Klien diantar keluarga ke rumah
sakit dengan keluhan gelisah sejak 2 minggu yang lalu dengan gejala marah-
marah tanpa sebab, mudah tersinggung, emosi labil, merasa sedih dan menangis
tanpa sebab, dan mendengar suara-suara bisikan. Sebelum masuk rumah sakit,
klien memecahkan kaca dengan parang. Menurut Rades & Wulan (2016) gejala
yang khas pada skizoafektif berupa waham, halusinasi, perubahan dalam berpikir
disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan, baik itu manik maupun
depresif.
Etiologi gangguan skizoafektif belum diketahui pasti. Namun, kondisi ini
diduga bersifat multifaktorial dan melibatkan faktor genetik, trauma, dan stres.
Berdasarkan hasil pengkajian ditemukan bahwa ibu klien juga mengalami
gangguan jiwa. Penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan erat antara
faktor genetik dan lingkungan dengan skzofrenia, gangguan afektif, dan
skizoafektif. Selain itu, faktor lain seperti trauma dan stres juga berkontribusi
terhadap timbulnya penyakit skizoafektif dimana klien mengalami kecacatan
pada jari telunjuk sebelah kanan akibat terbakar, klien pernah tinggal di panti
asuhan dari SMA hingga kuliah semester 2, klien harus mengakhiri
pendidikannya karena alasan biaya, klien baru saja ditinggal oleh ayahnya yang
meninggal dunia, dan klien dipecat di tempat. Pengalaman-pengalaman yang
tidak menyenangkan tersebut berkontribusi sebagai faktor predisposisi timbulnya
gangguan jiwa pada klien.
Berdasarkan riwayat kesehatan dahulu, klien telah sakit sejak tahun 2020 dan
telah dirawat di rumah sakit jiwa sebanyak 4 kali, terakhir dirawat 1 tahun yang
lalu, selama di rumah klien tidak rutin minum obat dan telah putus obat selama 10
bulan. Hasil penelitian Syarif, et.al (2020) ditemukan adanya hubungan antara
kepatuhan minum obat dengan kekambuhan pasien gangguan jiwa. Pemberian
terapi farmakologi pada pasien skizoafektif berfokus untuk mengurangi gejala
psikosis dengan cepat pada fase akut dan memperpanjang masa relaps serta
mencegah munculnya gejala yang lebih buruk (Naafo, 2016). Kekambuhan
penyakit pada pasien skizoafektif juga dipicu karena klien tidak rutin kontrol ke
rumah sakit, kurangnya dukungan keluarga atau masyarakat, serta adanya
masalah hidup yang berat. Berdasarkan kasus Ny. S, kekambuhan penyakit dapat
disebabkan karena klien telah putus obat selama 10 bulan dan baru saja dipecat
dari pekerjaan.
Pada konsep diri, klien mengalami gangguan pada gambaran diri dan harga
diri. Pada aspek gambaran diri klien mengatakan tidak suka dengan jari
telunjuknya sebelah kanan karena ada bekas luka bakar dan membuatnya tidak
percaya diri. Kemudian pada aspek harga diri klien merasa tidak disukai dan
dibicarakan oleh orang-orang di sekitar klien karena klien pernah dirawat di
rumah sakit jiwa. Sehingga dalam hal ini klien mengalami gangguan pada konsep
diri. Gangguan konsep diri merupakan suatu kondisi dimana individu mengalami
kondisi perubahan perasaan, pikiran, atau pandangan terhadap dirinya sendiri
(Bakhari, Halis, & Utami, 2019).
Pada status mental, klien mengalami gangguan pada aspek penampilan,
pembicaraan, aktivitas motorik, alam perasaan, persepsi, proses pikir, dan isi
pikir. Data yang ditemukan berupa penampilan klien tampak kurang rapi dengan
rambut aca-acakkan, pembicaraan cepat, mendominasi pembicaraan, gelisah, dan
pembicaraan sirkumtansial, klien mendengar suara-suara bisikkan, klien
mengatakan bahwa ada perawat di ruangan yang merupakan seorang dukun jahat,
dan klien beranggapan bahwa orang-orang disekitarnya merasa iri karena
kesuksesannya. Sesuai dengan teori Rades & Wulan (2016) bahwa gejala yang
khas pada skizoafektif berupa waham, halusinasi, perubahan dalam berpikir
disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu keputusan klinis mengenai individu,
keluarga dan kumnitas sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual dan potensial (Hidayat, 2021). Berdasarkan pengkajian
yang telah dilakukan maka ditegakkan diagnosa yang sesuai dengan SAK (2016)
yaitu waham, harga diri rendah, dan defisit perawatan diri.
Waham merupakan keyakinan atau kepercayaan yang salah terhadap suatu
objek yang dipertahankan secara kokoh atau terus-menerus, namun tidak dapat
divalidasi dengan informasi yang nyata atau tidak sesuai realita (Keliat, 2009).
adapun data yang ditemukan pada saat pengkajian meliputi data subjektif dan
data objektif. Data subjektif yang ditemukan yaitu klien mengatakan bahwa salah
seorang perawat diruangan Melati adalah seorang dukun yang jahat dan bisa
membahayakan dirinya dan orang lain, klien beranggapan bahwa orang-orang
tidak suka dengan dirinya yang sukses menjadi guru tahfiz karna memiliki
riwayat keluar masuk RSJ, dan klien mencurigai ibu pemilik pesantren yang
menghasut pengurus lain untuk memecat dirinya seagai guru tahfiz. Sedang data
objektif yang ditemukan yaitu klien banyak bicara, bicara cepat, pembicaraan
mendominasi dan sirkumtansial.
Gangguan proses pikir : waham merupakan gejala positif dari gejala
skozofrenia dan biasanya orang yang memiliki gejala tersebut akan melakukan
hal-hal yang sesuai dengan jenis wahamnya yaitu dengan memiliki rasa curiga
yang tinggi terhadap diri sendiri dan orang lain, merasa memiliki kekuasaan
besar, merasa memiliki kekuatan luar biasa, merasa dirinya sakit parah atau dapat
menularkan ke orang lain, dan merasa dirinya sudah meninggal (Sutini & Yosep,
2019).
Masalah keperawatan kedua yang diangkat adalah harga diri rendah. Harga
diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri dan kemampuan diri (Stuart,
2019). Data subjektif yang ditemukan adalah klien mengatakan tidak suka dengan
jari telunjuknya sebelah kanan karna ada bekas luka bakar dan membuatnya tidak
percaya diri, semenjak klien diberhentikan sebagai guru tahfidz klien merasa
banyak orang-orang yang membicarakannya sehingga klien merasa tidak nyaman
dan menjadi kepikiran apakah karna dia sering keluar masuk RSJ makanya dia
diperlakukan tidak adil di tempat kerja, klien merasa malu atau malas untuk
berhubungan dengan orang luar karena klien merasa dibicarakan dan
digunjingkan. Data objektif yang ditemukan yaitu produktivitas menurun dan
alam perasaan sedih.
Masalah keperawatan yang ketiga yaitu defisit perawatan diri. Defisit
perawatan diri adalah keadaan seseorang tidak mampu merawat diri dengan benar
meliputi mandi, berhias, makan/minum dengan benar, dan BAB/BAK dengan
baik dan benar (Laia & Pardede, 2022). Adapun data yang ditemukan yaitu
penampilan klien kurang rapi dengan rambut yang kusut dan dikucir
sembarangan, terdapat belekan di kedua mata, dan klien berpakaian tidak rapi,
sering menggunakan selimut sebagai bawahan.

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan atau perencanaan merupakan keputusan awal yang
memberi arah bagi tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan, termasuk
bagaimana, kapan dan siapa yang akan melakukan tindakan keperawatan.
Karenanya, dalam menyusun rencana tindakan keperawatan untuk pasien,
keluarga dan orang terdekat perlu dilibatkan secara maksimal (Asmadi,
2008). .Intervensi keperawatan adalah segala pengobatan yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan 25 penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Intervensi keperawatan atau rencana tindakan keperawatan berupa terapi
modalitas keperawatan, konseling, pendidikan kesehatan, perawatan mandiri dan
ADL, kolaborasi terapi somatis dan psikofaraka (Arisandy & Juniarti, 2020).
Perencanaan intervensi pada Ny. S bertujuan untuk membantu klien agar
mampu berhubungan dengan realitas secara bertahap. Adapun tindakan yang
akan dilakukan adalah bina hubungan saling percaya, ciptakan lingkungan yang
tenang dan nyaman dalam berkomunikasi, tidak membantah dan mendukung
waham klien, orientasikan klien terhadap waktu, tempat, dan orang-orang sekitar,
mengidentifikasi kebutuhan yang belum terpenuhi, membantu memenuhi
kebutuhan klien, mendiskusikan tentang penggunaan obat, dan membantu klien
melakukan aktivitas yang disenangi, serta mengatur jadwal kegiatan harian klien
selama di rumah sakit.
Penatalaksanaan terhadap masalah waham perlu adanya aktivitas yang
memberi stimulus secara konsisten kepada pasien tentang realitas disekitarnya.
Stimulus tersebut meliputi stimulus tentang realita lingkungan yang dimulai dari
diri sendiri, orang lain, waktu, dan tempat (Laily.2016). Beberapa penelitian
menjelaskan bahwa orientasi realita dapat meningkatkan fungsi perilaku
(Eriawan, 2019; Prakarsa & Millkhatun, 2020; Priasmoro, 2016). Pasien perlu
dikembalikan pada realita bahwa hal-hal yang dikemukakan tidak berdasarkan
fakta dan belum dapat diterima orang lain dengan tidak mendukung ataupun
membantah waham. Tidak jarang dalam proses ini pasien mendapatkan
konfrontasi dari lingkungan terkait pemikiran dan keyakinannya yang tidak
realistis. Hal tersebut akan memicu agresifitas pasien waham. Reaksi agresif ini
merupakan efek dari besarnya intensitas waham yang dialami pasien (Keliat,
2019). Penanganan yang komprehensif perlu dilakukan dengan upaya pemberian
asuhan keperawatan berdasarkan standar asuhan keperawatan jiwa terhadap
gangguan proses pikir waham. Tindakan keperawatan yang diberikan
meningkatkan kemampuan kognitif, psikomotor dan afektif pasien secara lebih
baik (Vyctorina, 2020) sehingga diharapkan intensitas waham yang dialami
pasien dapat menurun.

4. Implementasi
Implementasi yang dilakukan pada tanggal 10 November 2023 terhadap Ny.
S adalah SP 1 waham dan SP 1 defisit perawatan diri. Adapun kegiatan yang
dilakukan pada SP 1 waham adalah mengidentifikasi tanda dan gejala waham,
membantu oribtasi realitas : panggil nama, orientasi waktu, orang lain dan tempat
tinggal/lingkungan, mendiskusikan kebutuhan kebutuhan pasien yang tidak
terpenuhi, membantu pasien memenuhi kebutuhannya yang realistis,
memaasukkan ke dalam jadwal harian pemenuhan kebutuhan. Pada SP 1 defisit
perawatan diri, kegiatan yang dilakukan meliputi mengidentifikasi masalah
perawatan diri: kebersihan diri, berdandan, makan/minum, BAB/BAK,
menjelaskan pentingnya kebersihan diri, menjelaskan cara dan alat kebersihan
diri, melatih cara menjaga kebersihan diri: mandi dan ganti pakaian, sikat gigi,
cuci rambut, potong, memasukan pada jadual kegiatan untuk latihan mandi, sikat
gigi (2 kali per hari), cuci rambut (2 kali per minggu), potong kuku (satu kali per
minggu).
Pada tanggal 13 November 2023 diberikan SP 2 defisit perawatan diri dan SP
2 waham. Pada SP 2 defisit perawatan diri, tindakan yang dilakukan berupa
mengevaluasi kegiatan kebersihan dir dan beri pujian, menjelaskan cara dan alat
untuk berdandan, melatih cara berdandan setelah kebersihan diri: sisiran, rias
muka untuk perempuan; sisiran, cukuran untuk pria memasukkan pada jadual
kegiatan untuk kebersihan diri dan berdandan. Sedangkan pada SP 2 waham,
tindakan yang dilakukan adalah mengevaluasi kegiatan pemenuhan kebutuhan
pasien dan berikan pujian, mendiskusikan kemampuan yang dimiliki, melatih
kemampuan yang dipilih, berikan pujian, dan memasukkan pada jadwal
pemenuhan kebutuhan.
Pada 14 November 2023 dilakukan SP 3 defisit perawatan diri dan SP 3
waham. Penerapan SP 3 defisit perawatan diri meliputi mengevaluasi kegiatan
kebersihan diri dan berdandan, beri pujian, menjelaskan cara dan alat makan dan
minum, melaatih cara makan dan minum yang baik, memasukkan pada jaduwl
kegiatan untuk latihan kebersihan diri, berdandan dan makan & minum yang
baik. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian SP 3 waham, dengan kegiatan
berupa mengevaluasi kegiatan pemenuhan kebutuhan pasien, kegiatan yang
dilakukan pasien dan berikan pujian, menjelaskan tentang obat yang diminum (6
benar: jenis, guna, dosis, frekuensi, cara, kontinuitas minum obat) dan tanyakan
manfaat yang dirasakan klien, memasukkan pada jadwal pemenuhan kebutuhan,
kegiatan yang telah dilatih dan obat.
Dalam mengimplementasikan perencanaan yang telah disusun, perawat perlu
menjalin hubungan dan komunikasi yang hangat dengan cara membina hubungan
saling percaya dengan klien yaitu dengan cara memberikan salam dan
memperkenalkan diri, menyapa klien dengan sopan dan senyuman menanyakan
nama lengkap klien dan nama panggilan kesukaan klien atau yang biasa
digunakan sehari-hari, menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan, menanyakan
kesediaan klien, menunjukkan sikap menerima klien apa adanya, memberikan
kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan yang dialami klien,
mengidentifikasi masalah yang dialami dan perasaan klien, melatih kemampuan
yang dimiliki, menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal harian klien,
melakukan kontrak yang akan datang dengan klien. Klien mampu
mengungkapkan perasaannya, klien bersedia memasukkan kegiatan yang sudah
diajarkan dalam jadwal harian klien, dan klien bersedia melakukan kontak yang
akan datang.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses asuhan keperawatan dengan
cara mengidentifikasi respon klien dan mengidentifikasi tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak (Arisandy & Juniarti, 2020). Sehingga dengan
dilakukannya evaluasi penulis mengetahui apakah implementasi yang sudah
dilakukan dapat membantu mengatasi masalah klien atau tidak. Dan apabila
masalah tidak teratasi penulis dapat memberikan rencana tindak lanjut yang dapat
dilakukan klien secara mandiri dirumah.
Pada tanggal 10 November 2023, hasil evaluasi SP 1 waham diperoleh klien
mengatakan namanya Sofia dan sedang berada di RSJ HB Saanin Padang, klien
mampu menyebutkan tanggal sekarang yaitu 10 november 2023, dan klien
mampu mengenal orang yang berada di sekitar klien saat itu, klien mampu
melakukan latihan orientasi realita : panggil nama, waktu orang lain, dan
lingkungan dengan mandiri, anjurkan untuk memasukkan ke dalam jadwal
kegiatan harian. Hasil evaluasi SP 1 defisit perawatan diri yaitu klien mengatakan
bisa melakukan perawatan diri seperti mandi, gosok gigi dan cuci rambut, dan
klien tampak mampu melakukan perawatan diri secara mandiri dan bersih. SP 1
dapat dilakukan secara madiri dan dilanjukan SP 2.
Hasil evaluasi SP 2 waham pada tanggal 11-13 November 2023 ditemukan
bahwa klien mengatakan memiliki hoby bernyanyi dan akan dilakukan setiap hari
untuk menghilangkan kebosanan, serta klien mampu melakukan hobynya yaitu
bernyanyi secara mandiri, sehing. Sedangkan hasil SP 2 defisit perawatan diri
didapatkan klien mengatakan bisa berhias diri seperti memakai bedak dan
menyisir rambut serta klien tampak mampu berdandan secara mandiri.
Berdasarkan data, maka SP 2 dapat dilakukan secara mandiri dan lanjutkan SP 3.
Pada tanggal 10 November 2023, hasil evaluasi SP 3 waham klien
mengatakan tahu tentang cara minum obat yang benar dan klien minum obat
diawasi. Hasil evaluasi SP 3 defisit perawatan diri yaitu klien mengatakan tahu
cara makan dan minum yang baik, dan klien mampu makan dan minum secara
mandiri. Sehingga SP 3 dapat dilakukan secara mandiri dan lanjutkan SP 4.
REFERENSI :
Andira, S & Nuralita, N.S. (2018). Pengaruh Perbedaan Jenis Kelamin terhadap
Simptom Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. M. Ildrem Kota
Medan Sumatera Utara. Jurnal Umsu Farmatera. 3(2). 97-108
Lero, L & Avelina, Y. (2023). Penerapan Strategi Pelaksanaan 1 dan 2 Pada Pasien
dengan Gangguan Proses Pikir : Waham Kebesaran di UPTD Puskesmas Kopeta.
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan Masyarakat. 10(1). 103-112
Oktaviani, F.T & Apriliyani, I. (2022). Asuhan Keperawatan Pasien Skizofrenia
dengan Masalah Waham Kebesaran : Studi Kasus. Jurnal Keperawatan Merdeka.
2(2). 151-158
Prihanto, et.al. (2018). Faktor Somatogenik, Psikogenik, Sosiogenik yang Merupakan
Faktor Risiko Kejadian Skizofrenia Usia <25 Tahun (Studi Kecamatan Kepil,
Kabupaten Wonosobo). Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas. 3(2). 68-79
Rades, M & Wulan, A.J. (2018). Skizoafektif Tipe Campuran. Jurnal Medula Unila.
5(2). 58-62
Wahyudi, A & Fibriana, A.I. (2016). Faktor Risiko Terjadinya Skizofrenia (Studi
Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Pati II). Public Health Perspective Journal.
1(1). 1-12
Wijoyo & Mustika Sari. (2020). Asuhan Keperawatan pada Klien Skizofrenia
(Waham) dalam Manajemen Pelayanan Rumah Sakit : Studi Kasus. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Indonesia. 4(1). 63-72

Anda mungkin juga menyukai