Anda di halaman 1dari 2

Ahmad Musyaddad

18/433009/PFI/00438

Sejarah Wayang Kulit

Sebelum membahas mengenai sejarah wayang kulit, ada beberapa


terminologi mengenai asal kata wayang yang perlu kita bahas. Pertama, pendapat
yang mengatakan bahwa wayang berasal dari kata wayangan atau bayangan, yang
berarti sumber ilham. Adapun yang dimaksud ilham di sini adalah ide dalam
menggambarkan wujud tokohnya. Kedua, pendapat ini menyebutkan bahwa kata
wayang berasal dari kata wad dan hyang, yang artinya adalah leluhur (Aizid,
2012: 19). Wayang menurut Rizem Aizid (2012: 20) merupakan bentuk tiruan
manusia yang terbuat dari kulit, kardus, seng, atau bahan-bahan lainnya yang
melambangkan berbagai watak manusia.

Aizid (2012: 22) berpendapat bahwa nenek moyang kita percaya bahwa roh
leluhur yang sudah mati merupakan pelindung dalam kehidupan. Mereka juga
beranggapan bahwa roh-roh itu masih tinggal di gunung-gunung, pohon-pohon
besar, dan sebagainya. Lebih kurang 1.500 SM, nenek moyang melakukan
upacara yang ada hubungannya dengan kepercayaan penyembahan roh nenek
moyang yang telah mati, yang kemudian lebih dikenal sebagai bayangan roh
nenek moyang. Orang-orang kemudian meniru bayang-bayang tersebut melalui
bentuk yang kita sebut sebagai wayang.

Perihal asal-usul wayang terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama


menyebutkan bahwa berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di
Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti
Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Alasan mereka
cukup kuat, yaitu bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan
sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Punokawan,
tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong,
hanya ada dalam pewayangan Indonesia dan tidak ada di negara lain. Selain itu,
nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna)
dan bukan bahasa lain (Aizid, 2012: 22-23).

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya
Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah
ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi.
Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis
toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di
Ensiklopedia Indonesia halaman 987 (Pratamayoga, 2018).

Kata `wayang’ diduga berasal dari kata wewayangan, yang artinya


bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit
yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang
memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan
gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu
pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang
terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan
pesinden pada masa itu diduga belum ada (Pratamayoga, 2018).

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi


pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah
wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai
digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada
pergelaran Wayang Kulit (Pratamayoga, 2018)..

Pendapat kedua menyebutkan bahwa ada dugaan wayang berasal dari India,
yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Penganut keyakinan ini
sebagian besar adalah sarjana Inggris, negara Eropa yang pernah menjajah India.
Namun sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa
wayang memang berasal dari Pula Jasa dan sama sekali tidak diimpor dari negara
lain (Aizid, 2012: 23).

Wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman


pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan (976-1012), yakni ketika kerajaan
di Jawa Timur sedang makmur-makmurnya. Wayang sebagai suatu pagelaran dan
tontonan sudah mulai ada sejakzaman Airlangga. Hal tersebut dibuktikan dengan
adanya beberapa prasasti pada masa itu yang sudah menyebutkan kata-kata
mawayang dan aringgit yang berartu pertunjukan wayang (Aizid, 2012: 23-24).

Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang menyatakan bahwa wayang
berasal dari Cina. Dalam buku Chineesche Brauche und Spiele in Europa, Prof.
G. Schlegel menuliskan bahwa dalam kebudayaan Cina Kuno terdapat pagelaran
semacam wayang. Menurutnya pada pemerintahan Kaisar Wu Ti, sekitar tahun
140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang di Cina.
Pertunjukan ini kemudian menyebar ke India. Dari India kemudia dibawa ke
Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Koloniale Studien, seorang
penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah
(Hokian), Wo-yong (Kanton), dan Woying (Mandarin), yang berarti pertunjukan
bayang-bayang, yang sama dengan wayang dalam bahasa Jawa (Aizid, 2012: 28-
29).

Referensi:

Aizid, Rizem. 2012. Atlas Tokoh-Tokoh Wayang. Yogyakarta: Diva Press.

Pratamayoga. 2018. Asal-Usul Wayang Kulit.


http://blog.isi-dps.ac.id/pratamayoga/asal-usul-wayang-kulit (Diakses pada 28
Februari 2019)

Anda mungkin juga menyukai