Anda di halaman 1dari 5

Hak Imunitas vis a vis Hak Asasi Manusia: Kasus Jamal Khashoggi dan Respon

Amerika Serikat

Hukum diplomatik, seperti yang tertuang dalam Konvensi Wina tahun 1965,
merupakan aturan dan juga petunjuk yang berisi tentang bagaimana membuka
hubungan antarnegara, pengiriman perwakilan diplomatik, dan juga hak imunitas
yang didapatkan oleh seorang perwakilan negara tersebut atau diplomat. Tentunya,
terdapat dinamika yang sangat panjang hingga terciptanya sebuah rezim ini. Dimulai
dari perkembangan diplomasi yang awalnya dilaksanakan secara terutup dan hanya
terbatas pada hubungan bilateral antar dua negara saja, sampai sekarang berubah
menjadi bersifat terbuka dengan adanya digitalisasi. Wodrow Wilson dalam pidatonya
yang dikenal dengan empat belas poin Wodrow, menjadi titik tolak awal bahwa
praktik negosiasi seharusnya dijalankan dengan cara terbuka dan pelarangan
perjanjian dijalankan secara rahasia. Hal ini kemudian dipertegas oleh Lenin, setelah
terjadinya Revolusi Bolshevik dan pembentukan Federal Soviet, yang
mengembangkan ide dimana diplomasi yang bersifat rahasia harus dihapuskan dan
perlunya keterbukaan atas dokumen-dokumen kenegaraan. Seperti yang telah
dijelaskan di awal bahwa hukum diplomatik mengatur tentang, salah satunya adalah
hak imunitas dimana tulisan ini bermaksud untuk menganalisis tumpang tindihnya
antara hak imunitas diplomat dan hak asasi manusia dengan melihat kasus Jamal
Khashoggi. Penulis melihat bahwa dalam kasus Khashoggi menunjukkan adanya
pertentangan hak imunitas dan HAM yang kemudian berimplikasi pada adanya
kepentingan dari Amerika Serikat dalam memberikan dukungan kepada Pangeran
Mohammed, yang dituduh sebagai otak dibalik pembunuhan Khashoggi, untuk
menghentikan proses penyeledikan kasus tersebut sampai ke ranah pengadilan
internasional.
Dalam menjalankan tugasnya, Diplomat akan dibekali oleh hak imunitas baik
pada yurisdiksi atas pidana maupun yurisdiksi sipil dan administratifnya seperti yang
termuat pada Konvensi Vienna tahun 1961 tentang hubungan diplomatik (United
Nations, 1961:9). Sementara itu, menurut Hugo Grotius menyatakan bahwa ada tiga
teori yang bisa digunakan untuk menjawab, kenapa hak imunitas diperlukan oleh
seorang diplomat. Pertama, Teori “Sacredness of Ambassadors yang mempercayai
bahwa seorang duta besar dilindungi oleh hukum ilahi dan hukum manusia sehingga
pelanggaran terhadap hukum tersebut tidak hanya dianggap tidak adil tetapi juga tidak
beriman. Kedua, Teori Ekstrateritorialitas yakni dimanapun seorang Duta Besar atau
diplomat berada tetap dianggap seperti berada di negara dimana ia berasal sehingga
tidak tunduk pada hukum negara lain. Ketiga, Teori “Functional Necessity” yang
menyatakan bahwa seorang diplomat tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya
tanpa perlindungan imunitas tersebut (Goldenberg, 1995:199-200). Namun dalam
dinamikanya, seringkali hak imunitas ini disalahgunakan oleh para diplomat dan staf
kedutaan untuk melakukan tindak kriminal seperti menyelundupkan obat-obatan
terlarang, barang ilegal atau bahkan menutupi tindakan kejahatan yang berlangsung di
teritorial kedutaan seperti halnya yang terjadi pada kasus pembunuhan Jamal
Khasogghi. Situasi seperti ini kemudian seringkali menimbulkan perdebatan tentang
apakah hak imunitas ini bisa menjadi tidak valid apabila sudah memasuki ranah
tindak kejahatan terhadap HAM. Beberapa literatur juga telah meneliti topik serupa
seperti Aldo Ingo Sitepu yang membahas tentang “Application of Extraterritorial
Jurisdiction European Convention on Human Rights, Case Study: Al-Skeini and
Others vs UK” dan juga Elise Blandin yang membahas tentang “Extraterritoriality: A
Core Element in the Fight Against Transnational Corporations’ Impunity with
Respect to Human Rights”
Pada 2 Oktober 2018, terjadi peristiwa pembunuhan di Kedutaan Besar
Kerajaan Arab Saudi, Turki. Pembunuhan ini melibatkan seorang jurnalis
berkebangsaan Arab Saudi bernama Jamal Khashoggi. Jamal Khashoggi merupakan
seorang wartawan veteran Arab Saudi yang karena kedekatannya dengan Osama bin
Laden dan sekaligus dicap “pembangkang” oleh Pemerintah Arab Saudi, kemudian ia
harus diasingkan ke luar negeri. Selama di luar negeri, Khashoggi menuangkan
pandangan kritisnya terhadap kebijakan Pemerintah Arab Saudi di bawah Raja
Salman melalui kolom di Washington Post maupun akun twitternya yang sangat
populer dengan pengikut berjumlah 1,6 juta (BBC, 2018). Menurut keterangan dari
koran BBC, Khashoggi dibunuh dan dimutilasi jasadnya ketika ia sedang berkunjung
ke Kedubes Arab Saudi di Turkey untuk mengurus berkas pernikahannya bersama
tunangannya, Cengiz. Khashoggi terakhir terlihat di rekaman CCTV memasuki
gedung pada 13.14 waktu setempat dan sebelum itu, ia sempat menitipkan dua telepon
kepada Cengiz dan berpesan untuk menelpon penasihat Presiden Turki, Recep Tayyip
Erdogan jika dirinya tidak kembali (BBC, 2018).
Pemerintah Arab Saudi memberikan respon yang tidak konsisten atas dugaan
keterlibatan mereka dalam kasus tersebut, setelah dua minggu hilangnya Khashoggi.
Pangeran Mohammed, ketika diwawancari oleh Bloomberg News, menjelaskan
bahwa Khashoggi telah meninggalkan konsulat setelah beberapa menit atau satu jam
dia memasuki gedung. Namun pada tanggal 20 Oktober, Pemerintah Arab Saudi
memberikan keterangan berbeda setelah diadakannya penyelidikan awal, menyatakan
bahwa Khashoggi meninggal ketika dalam kondisi melawan setelah menolak untuk
dipulangkan ke Arab Saudi. Bahkan menurut seorang pejabat Saudi mengaitkan
kematian itu dengan proses dicekik. Pada 15 November 2018, Wakil Jaksa Penuntut
Umum Arab Saudi, Shalaan al-Shalaan mengatakan bahwa pembunuhan
diperintahkan oleh kepala bagian negosiasi yang dikirim ke Turki oleh wakil kepala
intelijen Arab Saudi untuk memulangkan Khashoggi ke kerjaan dengan cara persuasif
atau jika gagal, dengan cara dipaksa. Di bulan Desember 2019, pengadilan Arab
Saudi memvonis lima terdakwa hukuman mati dan tiga lainnya dihukum penjara
selama 24 tahun. Akan tetapi, pada akhirnya Pengadilan Kriminal Riyadh
meringankan hukuman mati yang sebelumnya dijatuhkan kepada lima terdakwa
menjadi 20 tahun penjara. Tiga lainnya dijatuhi hukuman antara tujuh dan 10 tahun
dan menutup kasus tersebut setelah empat bulan sebelumnya, Salah Khashoggi selaku
anak korban mengumumkan untuk memaafkan orang-orang yang membunuh
ayahnya.
Disisi lain, kasus Khashoggi ini dipersepsikan berbeda oleh beberapa pihak
seperti dari Pemerintah Turkey dan Agnes Callamard, seorang reporter yang
berafiliasi dengan PBB. Keduanya sepakat bahwa proses hukum kasus Khashoggi
yang dilakukan oleh pengadilan dan Pemerintah Arab Saudi cacat karena terkesan
tidak transparan karena tidak membuka identitas delapan pelaku pembunuhan dan
tidak berhasil mengungkap siapa dalang dibaliknya. Presiden Erdogan bahkan
memberikan gestur keras dalam merespon kasus ini yang dibuktikan dengan secara
formal menetapkan Saad al-Qahtani dan Ahmad Asiri sebagai pembunuh. Tidak
hanya itu, pada November 2020, pengadilan di Turki menetapkan enam orang yang
terdiri dari seorang wakil konsul dan atase dituduh melakukan pembunuhan berencana
dan empat lainnya didakwa merusak, menyembunyikan, atau merusak barak bukti.
Hal ini direspon oleh Pemerintah Arab Saudi sebagai bentuk pelanggaran terhadap
hak imunitas dan ekstrateritorial terhadap staf konsuler mereka disana.
Sementara itu, Callamard menyimpulkan bahwa kematian Khashoggi
merupakan pembunuhan di luar proses hukum yang menjadi tanggung jawab negara
Kerajaan Arab Saudi seperti yang dikutip dari laporan yang dirilisnya pada Juni 2019.
Bahkan ia juga menyatakan telah menemukan bukti kredibel guna menjamin
penyelidikannya terhadap Pangeran Mohammed dan pejabat tinggi Saudi lainnya
serta meminta Pangeran Mohammed harus tunduk pada sanksi yang dijatuhkan oleh
beberapa negara anggota PBB terhadap orang-orang, yang disebutkan namanya,
diduga terlibat dalam pembunuhan tersebut. Namun, Amerika Serikat selaku salah
satu negara yang dilibatkan dalam kasus ini menolak dugaan yang tidak mendasar
kepada Pangeran Mohammed dan Pemerintah Arab Saudi. Presiden Donald Trump,
pada saat itu masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, terkesan untuk
melindungi Arab Saudi dari kasus pembunuhan Jamal Khashoggi (DW, n.d.). Tidak
hanya itu, respon tersebut juga diikuti oleh Presiden Biden yang juga tidak akan
menghukum putra mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman karena ongkos yang
harus dikorbankan sangat besar. Meskipun ia terkesan untuk menarik ludahnya sendiri
setelah apa yang ia ungkapkan pada kampanye 2020 silam dengan menyebut Arab
Saudi sebagai negara “pariah” dengan tidak adanya nilai-nilai kebebasan sosial. Ia
juga berencana untuk melarang dan menuntut pidana kepada Pangeran Mohammed
atas tindakan yang diperbuatnya dalam kasus Jamal Khashoggi (Sanger, 2021).
Menurut Hall Gardner, profesor di Universitas Amerika Paris dan penulis World War
Trump, tindakan pembelaan yang diambil oleh Pemerintah Amerika Serikat terhadap
Arab Saudi di kasus Khashoggi didorong oleh motivasi ekonomi yakni investasi
miliaran dolar oleh Riyadh di AS sangat penting bagi keamanan nasional AS dan
penciptaan lapangan pekerjaan.
Daftar Pustaka
BBC, 218, “Jamal Khashoggi: All you need to know about Saudi journalist’s death”
https://www.bbc.com/news/world-europe-45812399 diakes 28 September
2021
BBC, 2018, “Siapa Jamal Khashoggi? Wartawan Saudi yang hilang di Turki dan
kenal Osama bin Laden” https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45804374
diakses 28 September 2021
DW, n.d., “Khashoggi murder reveals power games in US administration”
https://www.dw.com/en/khashoggi-murder-reveals-power-games-in-us-
administration/a-46435227 diakses 28 September 2021
Goldenberg, Rina, 1995, Abuse of Diplomatic Immunity: Is The Government Doing
Enough?, ILSA Journal of International & Comparative Law, Vol. 1 (1)
Sanger, David. E, 2021, “Biden Won’t Penalize Saudi Crown Prince Over
Khashoggi’s Killing, Fearing Relations Breach”
https://www.nytimes.com/2021/02/26/us/politics/biden-mbs-khashoggi.html
diakses 28 September 2021

Anda mungkin juga menyukai