Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS PERISTIWA

PERUVIAN-COLOMBIAN ASYLUM CASE 1950


Hukum Internasional

Dosen Pengampu:
Hasan Sidik, S.H., M.H.

Oleh:
Allisa Salsabilla Waskita
NPM : 170210180018

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
Jatinangor
2019
BAB 1
LATAR BELAKANG

Peruvian-Colombian Asylum Case adalah sebuah kasus hukum internasional yang


melibatkan negara Peru dan Kolombia dalam hal suaka diplomatik. Kasus ini bermula ketika
seorang politisi Peru bernama Victor Raul Haya de La Torre meminta suaka kepada
Kedutaan Besar Kolombia yang berkedudukan di Kota Lima, Peru, untuk mendapatkan
perlindungan. Kasus ini kemudian dibawa ke Mahkamah Internasional (International Court
of Justice atau ICJ) untuk mengetahui apakah hukum mengenai suaka diplomatik ini memang
dibenarkan secara internasional dan diakui sebagai hukum internasional regional Amerika
Latin.
Haya de La Torre adalah pemimpin sekaligus pendiri kelompok politik bawah tanah
Alianza Popular Revolucionaria Americana atau APRA yang memicu gejolak politik di Peru.
Kelompok ini berusaha membentuk aliansi-aliansi di antara negara-negara Indo-Amerika
untuk melawan dominasi imperialistik yang terjadi di negara-negara tersebut. Pada pemilihan
umum tahun 1945, APRA akhirnya muncul dari gerakan bawah tanahnya dan diakui sebagai
partai politik yang sah. Namun, tiga tahun kemudian, gerakan radikal APRA semakin meluas
dan mencapai puncak ketika APRA muncul sebagai pemimpin gerakan kudeta terhadap
pemerintahan Presiden Jose Luis Bustamante Rivero pada Oktober 1948. Akibat peristiwa
tersebut, pemimpin APRA Haya de La Torre muncul sebagai buronan yang diburu oleh
pemerintah Peru.
Setelah lebih dari dua bulan menjadi buronan, Haya de La Torre akhirnya diketahui
meminta suaka kepada Kedutaan Besar Kolombia yang berkedudukan di Kota Lima, Peru,
pada 3 Januari 1949. Hal ini kemudian dibenarkan oleh Duta Kolombia ketika keesokan
harinya ia melaporkan hal tersebut kepada Menteri Hubungan Luar Negeri dan Agama Peru
disertai permintaan perlindungan diri terhadap buronan. Selama beberapa bulan setelahnya,
kedua negara terus menjalin hubungan diplomatis yang intensif mengenai posisi Haya de La
Torre sebagai suaka diplomatik. Dalam pandangan pemerintah Kolombia, Haya de La Torre
adalah pengungsi politik yang membutuhkan bantuan. Sementara itu, dalam pandangan
pemerintah Peru, Haya de La Torre adalah seorang kriminal dan teroris yang harus diadili.
Pada tanggal 31 Agustus 1949, Peru dan Kolombia sepakat untuk membawa masalah
suaka diplomatik yang melibatkan keduanya ke Mahkamah Internasional. Lalu pada tanggal
15 Oktober 1949, pihak Kolombia mendekati Mahkamah Internasional dengan mengajukan
dua pertanyaan:
1. Apakah Kolombia, sebagai pihak yang memberikan suaka, telah memenuhi seluruh
syarat pelanggaran sehingga bisa memberikan suaka diplomatik terhadap Haya de La
Torre?
2. Apakah Peru, sebagai negara teritorial, terikat dalam suatu perjanjian yang bisa
membuatnya memberikan jaminan bahwa pengungsi diplomatik dapat keluar dari
negaranya dengan aman?
Dalam persengketaan ini, Kolombia mengaku bahwa Haya de La Torre telah
membuat berkas pengajuan sebagai pencari suaka. Selain itu, yang bersangkutan juga telah
memenuhi syarat sebagai pengungsi sebagaimana yang diatur dalam Perjanjian Bolivarian
dan Konvensi Havana sebagai seorang pelaku politik. Dengan begitu, Kolombia berdalih
bahwa yang bersangkutan berhak diberi jaminan keamanan untuk pergi meninggalkan
negaranya. Sementara itu, di lain pihak, Peru menganggap bahwa Haya de La Torre adalah
kriminal umum dan tidak memenuhi syarat sebagai penerima suaka diplomatik sebagaimana
yang diatur dalam Konvensi Havana. Tak hanya itu, menurut Peru, suaka diplomatik baru
bisa diberikan jika situasi yang ada membahayakan pengungsi yang bersangkutan. Dalam hal
ini, Haya de La Torre tidak memenuhi syarat tersebut karena ia baru mengajukan suaka tiga
bulan setelah insiden kudeta di Peru terjadi. Secara keseluruhan, kedua belah pihak sama-
sama mempermasalahkan mengenai apakah Haya de La Torre berhak mendapat suaka atau
tidak. Secara tidak langsung, hal ini juga mempertanyakan instrumen dari Konvensi Havana
sebagai dasar hukum pengaturan pemberian suaka.
Perjanjian Bolivarian 1911 dan Konvensi Havana 1928 adalah dasar hukum yang
mengatur mengenai pemberian suaka terhadap pelaku politik di wilayah Amerika Latin.
Melalui peristiwa Peruvian-Colombian Asylum Case, kedua hukum ini kemudian diuji
sebagai suatu hukum internasional. Selain itu, kedudukan Perjanjian Bolivarian 1911 dan
Konvensi Havana 1928 sebagai dasar hukum pemberian suaka juga mulai dipertanyakan
karena tidak bisa menyelesaikan sengketa yang terjadi antara Peru dan Kolombia.
Berdasarkan hal tersebut, dapat kita tarik dua rumusan masalah:
1. Bagaimana hukum mengenai suaka diplomatik dapat muncul sebagai suatu hukum
internasional (regional)?
2. Bagaimana kedudukan hukum internasional dalam sengketa yang terjadi antara Peru
dan Kolombia dalam Peruvian-Colombian Asylum Case?
BAB 2
PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Pengertian Hukum Internasional


Menurut Oppenheim (1912), Hukum Internasional adalah sebuah nama badan dari
kebiasaan-kebiasaan dan perjanjian-perjanjian yang dianggap mengikat secara hukum oleh
negara-negara beradab dalam menjalani hubungan satu sama lain. Bagian dari hukum
internasional yang mengikat semua negara tanpa terkecuali disebut sebagai Hukum
Internasional Universal. Sementara itu, hukum internasional yang hanya mengikat dua atau
lebih negara disebut dengan Hukum Internasional Tertentu.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja (dalam Aisy, t.thn), Hukum Internasional adalah
keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan
yang melintasi batas-batas negara dan tidak bersifat perdata. Selain itu, Mochtar juga
menambahkan bahwa persoalan atau hubungan yang diatur dalam hukum internasional terjadi
antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum non-negara, dan sesama subjek
hukum non-negara.
Menurut J. G. Starke (1997), Hukum Internasional adalah keseluruhan hukum yang
terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara
merasa dirinya terikat untuk menaati hukum tersebut dalam menjalin hubungan satu sama
lain. Tujuan utama dari hukum internasional mengarah kepada upaya menciptakan ketertiban
dan menjamin secara objektif adanya keadilan di antara negara-negara yang ada di dunia.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa Hukum Internasional adalah
serangkaian kaidah, asas, dan prinsip yang mengikat negara-negara yang ada di dunia dalam
menjalin hubungan antara satu dengan lainnya melalui kebiasaan-kebiasaan yang telah
terbentuk sejak lama maupun melalui perjanjian-perjanjian.

2.2 Sumber Hukum Internasional


Berdasarkan Statuta Mahmakah Internasional (The Statute of the International Court
of Justice) Pasal 38, yang termasuk ke dalam Hukum Internasional adalah:
a. Konvensi internasional
b. Kebiasaan internasional
c. Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa beradab
d. Keputusan yudisial dan ajaran publisis yang paling berkualitas dari berbagai negara
sebagai sarana tambahan untuk menentukan aturan Hukum Internasional

2.3 Fungsi Hukum Internasioanl


Menurut Oxford Public International Law (1995), Hukum Internasional bukanlah
seperangkat aturan, melainkan sebuah sistem normatif yang dibutuhkan oleh semua
kelompok dan struktur yang ada di dunia. Dalam hal ini, Hukum Internasional berfungsi
sebagai suatu perilaku yang dianggap oleh setiap aktor sebagai suatu kewajiban, di mana
suatu pelanggaran memiliki harga. Keberadaan Hukum Internasional memungkinkan adanya
tatanan untuk memaksimalkan kebaikan bersama dan menghindari kekacauan dalam
hubungan bilateral maupun multilateral. Dengan kata lain, hukum internasional memiliki
fungsi penting untuk menjamin keamanan dan kenyamanan setiap aktor dalam menjalin
hubungan internasional.
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Kemunculan Hukum Suaka Diplomatik


Suaka pada mulanya tidak berbentuk suaka diplomatik seperti yang kita kenal
sekarang ini. Sejak zaman dahulu, suaka telah ada dalam bentuk suaka agama. Seorang
pelarian atau buronan dapat mencari perlindungan di tempat-tempat suci atau ibadah seperti
kuil. Fenomena ini kemudian berlanjut menjadi suaka teritorial di mana seorang pelarian atau
buronan dapat mencari perlindungan ke luar negeri. Kedua bentuk awal suaka ini menjadikan
pelaku kriminal dapat menemukan jalan untuk kabur dan menyembunyikan diri.
Dengan berkembangnya sistem negara modern dan sistem diplomasi, bentuk baru dari
suaka juga turut berkembang. Kini, seorang buronan kriminal dapat dengan mudah mencari
suaka ke kedutaan negara asing yang berada di negaranya tanpa harus pergi ke luar negeri.
Hal ini berkaitan dengan Hukum Internasional yang menyatakan bahwa wilayah kedutaan
merupakan bagian dari teritorial negara kedutaan yang bersangkutan dan mendapat
pengecualian hukum dari hukum lokal. Namun, dalam sudut pandang lain, suaka diplomatik
seperti ini juga dapat diinterpretasikan sebagai campur tangan pihak asing dalam urusan
negara teritorial. Hal inilah yang kemudian menimbulkan banyak pertentangan mengenai
apakah suaka diplomatik dibenarkan atau tidak.
Di Amerika Latin, baik pemerintah maupun publisis cenderung menerima suaka
diplomatik sebagai norma hukum dan sebagai prinsip dari Hukum Internasional Amerika.
Pada perkembangannya, Amerika Latin mencoba untuk mendefinisikan dan mengatur praktik
suaka diplomatik melalui Hukum Internasional konvensional (berdasarkan kesepakatan
umum). Kongres Hukum Perdata Internasional 1889 kemudian diselenggarakan dan
menghasilkan perjanjian mengenai hukum pidana internasional yang berkaitan dengan suaka.
Kemudian pada tahun 1911, kembali diadakan perjanjian yang bertajuk Kongres Bolivarian
di Kota Caracas, Venezuela, dan menghasilkan Perjanjian Bolivarian mengenai institusi
suaka yang sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Internasional. Regulasi mengenai suaka
diplomatik mencapai puncaknya pada 1928 ketika Konferensi Pan-Amerika ke-6 digelar di
Kota Havana, Kuba. Konferensi ini menghasilkan Konvensi Havana yang berisi:
1. Membatasi suaka di negara teritorial hanya kepada kedutaan, kapal perang, kamp
militer, dan pesawat militer milik negara asing.
2. Izin suaka hanya diberikan kepada pelaku pelanggar politik dan tidak kepada
penjahat biasa atau kepada pengkhianat angkatan bersenjata negara teritorial.
3. Mensyaratkan pemberian suaka hanya sebagai tindakan darurat.
Beberapa perjanjian internasional terus dibentuk untuk memberikan perlindungan
hukum terhadap suaka diplomatik. Namun, di antara semua perjanjian tersebut, Konvensi
Havana 1928 menjadi satu-satunya peraturan yang berlaku secara umum di negara-negara
Amerika Latin. Pada praktiknya, pemberian suaka diplomatik diatur oleh penggunaan negara.
Apakah kemudian suaka diplomatik dapat dikatakan sebagai hukum kebiasaan yang telah
menjadi Hukum Internasional masih menjadi perdebatan, karena di dalamnya terdapat unsur
intervensi atau motif politik.

3.2 Kedudukan Hukum Internasional dalam Sengketa Antara Peru dan Kolombia
Sengketa yang terjadi antara Peru dan Kolombia mengenai status Haya de La Torre
sebagai seorang pengungsi diplomatik pada akhirnya di bawa ke Mahkamah Internasional
untuk menemui jalan keluar. Kolombia terbukti tidak berkompeten untuk memenuhi syarat
pemberian suaka dan dianggap memberi putusan secara sepihak. Selain itu, Mahkamah
Internasional juga menolak pendapat Kolombia yang mengatakan bahwa Perjanjian
Bolivarian dan perjanjian-perjanjian lainnya, sebagai sebuah kebiasaan Amerika Latin,
membenarkan adanya pembuatan keputusan secara sepihak. Padahal, isi dari Perjanjian
Bolivarian menyatakan bahwa pemberi suaka harus mengikuti prinsip-prinsip Hukum
Internasional, di mana salah satu dari prinsip tersebut adalah tidak dibenarkannya pemberian
keputusan secara sepihak.
Selain Perjanjian Bolivarian¸ Kolombia kembali mencari dukungan hukum dengan
mengusulkan Konvensi Havana 1928 dan Perjanjian Montevideo 1933 sebagai landasan
dasar perbuatan yang dilakukannya. Namun lagi-lagi, kedua dasar hukum tersebut ditolak
oleh Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional menemukan tidak ada satu pun pasal
dalam Konvensi Havana yang memperbolehkan adanya pemberian keputusan secara sepihak.
Selain itu, Perjanjian Montevideo yang diusulkan oleh Kolombia juga ditolak karena Peru
tidak meratifikasi perjanjian tersebut dan dianggap tidak terikat dengan aturan yang berlaku.
Peistiwa Peruvian-Colombian Asylum Case telah menjadi peristiwa yang menguji
dasar hukum pemberian suaka diplomatik sebagai sebuah Hukum Internasional di Amerika
Latin. Melalui peristiwa ini, salah satunya ditemukan fakta bahwa Konvensi Havana tidak
menyediakan sanksi apapun terhadap negara yang memberikan suaka diplomatik tanpa
urgensi yang jelas. Artinya, keberadaan Konvensi Havana dan perjanjian-perjanjian lainnya
masih sangat lemah dalam mengatur praktik suaka diplomatik. Sebagai bukti, dasar hukum
apapun yang digunakan oleh Kolombia dalam memberikan suaka diplomatik terhadap Haya
de La Torre selalu ditolak oleh Mahkamah Internasional. Selain itu, peristiwa ini juga
kembali menguatkan kontroversi terhadap pemberian suaka diplomatik yang aktivitasnya
selalu dicurigai dan sulit untuk dibenarkan.
Di sisi lain, peristiwa Peruvian-Colombian Asylum Case telah memberikan banyak
kontribusi terhadap klarifikasi hukum yang tidak menentu. Melalui peristiwa ini, kekuatan
hukum sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antarnegara dapat diukur dan
diidentifikasi kelemahannya. Sengketa yang terjadi antara Peru dan Kolombia secara tidak
langsung juga telah menunjukkan kelemahan perjanjian-perjanjian terdahulu untuk kemudian
diperbaiki dan disempurnakan. Mengingat suaka diplomatik telah menjadi sebuah kebiasaan
di Amerika Latin dan telah diusahakan untuk mendapat kepastian hukum, keberadaan
peristiwa ini tentu menjadi titik balik untuk kemudian mengembangkan hukum suaka
diplomatik menjadi Hukum Internasional yang utuh.
BAB 4
KESIMPULAN

Suaka diplomatik telah menjadi suatu kebiasaan di tengah masyarakat Amerika Latin
dan telah berusaha dibuat regulasinya sejak tahun 1889. Usaha regulasi ini kemudian
mencapai puncaknya pada tahun 1928 ketika Konvensi Havana berhasil disetujui dan
menjadi landasan hukum bagi pemberian suaka diplomatik. Hukum ini kemudian diuji
melalui peristiwa Peruvian-Colombian Asylum Case pada tahun 1950. Melalui peristiwa
tersebut, keberadaan Konvensi Havana mulai diragukan dan aktivitas pemberian suaka
diplomatik mulai ditentang karena di dalamnya terdapat unsur intervensi serta motif politik
yang kuat.
Selain munculnya pertentangan, kedudukan Konvensi Havana sebagai Hukum
Internasional juga mulai melemah. Banyak instrumen hukum yang dinilai tidak sesuai dan
tidak dapat mengatur pemberian suaka diplomatik ketika terjadi praktik secara nyata. Tidak
hanya Konvensi Havana, perjanjian-perjanjian lainnya pun, seperti Perjanjian Bolivarian dan
Perjanjian Montevideo, mulai diragukan kedudukannya sebagai sebuah Hukum Internasional.
Namun demikian, peristiwa ini berhasil menunjukkan kelemahan dari sebuah instrumen
hukum yang nantinya berguna terhadap pengembangan dan penyempurnaan hukum yang
bersangkutan, dalam hal ini adalah hukum pemberian suaka diplomatik sebagai instrumen
Hukum Internasional.
DAFTAR PUSTAKA

Aisy, A. S. (t.thn.). Hukum Internasional Menurut Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja dan
J.G. Starke. Dipetik Februari 24, 2019, dari Academia:
https://www.academia.edu/29304489/HUKUM_INTERNASIONAL_MENURUT_P
ROF._DR._MOCHTAR_KUSUMAATMADJA_DAN_J.G._STARKE
Evans, A. E. (1952). The Colombian-Peruvian Asylum Case: The Practice of Diplomatic
Asylum. American Political Science Review, 46(01), 142-157. Dipetik Februari 24,
2019
International Court of Justice. (t.thn.). Asylum (Colombia v. Peru). Dipetik Februari 22, 2019,
dari International Court of Justice: https://www.icj-cij.org/en/case/7
International Court of Justice. (t.thn.). Statute of the International Court of Justice. Dipetik
Februari 24, 2019, dari United Nations:
http://legal.un.org/avl/pdf/ha/sicj/icj_statute_e.pdf
Oppenheim, L. (1912). International Law (2 ed., Vol. 1). London: Longmans, Green and Co.
Dipetik Februari 24, 2019
Oxford Public International Law. (1995, Agustus 24). The Nature and Function of
International Law. Dipetik Februari 24, 2019, dari Oxford Public International Law:
http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law/9780198764106.001.0001/law-
9780198764106-chapter-1
Starke, J. G. (1997). Pengantar Hubungan Internasional (10 ed.). Jakarta: Sinar Grafika.
Dipetik Februari 24, 2019

Anda mungkin juga menyukai