TESIS
Helmi Kasim
1206183312
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER PASCA SARJANA
JAKARTA
2015
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum (M.H.)
Helmi Kasim
1206183312
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER PASCASARJANA
JAKARTA
2015
Tesis ini mengkaji putusan ICSID dalam sengketa antara Rafat Ali Rizvi
melawan Republik Indonesia yang diputus berdasarkan Bilateral Investment Treaty
(“BIT”) antara negara Indonesia dan negara Inggris, Agreement between the
Government of United Kingdom and Northern Ireland and the Government of the
Republic of Indonesia for the Promotion and Protection of Investments, yang
ditandatangani pada tanggal 27 April 1976 dan mulai berlaku tanggal 24 Maret 1977.
Permasalahan utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah (i) apakah yang
menjadi pokok sengketa antara Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia dan (ii)
bagaimana pendapat majelis arbitrase ICSID yang memeriksa dan mengadili perkara
tersebut dikaitkan dengan penafsiran atas ketentuan BIT dalam sengketa penanaman
modal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum
normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pokok sengketa yang terjadi adalah
masalah proses dan prosedur masuknya penanaman modal asing (admission process)
yang harus dilalui investor berdasarkan BIT. Proses tersebut menentukan legalitas
penanaman modal yang dilakukan. Tidak terpenuhinya admission process tersebut
menjadikan Majelis Arbitrase ICSID tidak memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan
mengadili sengketa tersebut sehingga pokok perkara tidak dapat diperiksa. Penafsiran
atas ketentuan-ketentuan dalam BIT utamanya menggunakan Pasal 31 ayat (1)
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, khususnya penafsiran berdasarkan
makna biasa dari rumusan ketentuan BIT. Kajian tesis ini menyimpulkan bahwa
penanaman modal yang dilakukan Penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat
(1) BIT mengenai admission process sehingga Majelis Arbitrase menyatakan tidak
memiliki yurisdiksi untuk memeriksa perkara tersebut. Majelis Arbitrase menafsirkan
frasa “granted admission in accordance with” dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT
antara Indonesia dan Inggris berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang hukum
perjanjian khususnya Pasal 31 ayat (1). Penggunaan aturan penafsiran tersebut juga
ditemukan dalam putusan-putusan ICSID lainnya yang menafsrikan ketentuan BIT
yang serupa dengan ketentuan BIT antara Indonesia dan Inggris.
Kata Kunci:
This thesis analyzes the decision of ICSID tribunal in the case between Rafat
Ali Rizvi v. Republic of Indonesia based on Bilateral Investment Treaty (“BIT”)
between Indonesia and United Kingdom, Agreement between the Government of
United Kingdom and Northern Ireland and the Government of the Republic of
Indonesia for the Promotion and Protection of Investments, signed on 27 April 1976
and entered into force on 24 March 1977. The research questions of this thesis are (i)
what is the subject matter of the case between Rafat Ali Rizvi v. Republic of
Indonesia; (ii) how is the opinion of the Tribunal in examining and adjudicating the
case related to the interpretation of BIT provisions in investment disputes. The
method used in analyzing the problems is normative legal research method. Research
result shows that the subject matter of the case is the admission process of foreign
investment. There is admission process that should be followed based on BIT in that
process which determines the legality of the investment. This legality requirement is
related to ICSID jurisdiction. If these processes are unfulfilled, the ICSID tribunal
will not have jurisdiction on the case. Thus, the merit of the case will not be
examined. The rule of interpretation used is mainly the provision of Article 31 (1) of
the 1969 Vienna Covention on the Law of Treaty especially interpretation based on
the ordinary meaning of the BIT provision. This study concludes that the Claimant’s
investment does not fulfil the provision of Article 2 (1) of BIT between Indonesia and
United Kingdom concerning the admission process that the Tribunal does not have
jurisdiction on the case. The Tribunal inbterprets the phrase “granted admission in
accordance with” in the provision of Article 2 (1) of the BIT based on the 1969
Vienna Convension on the Law of Treaty especially Article 31 (1) concerning
interpretation based on the ordinary meaning of the BIT provision. The use of this
rule of interpretation is also found in other ICSID decisions which interpret similar
phrase of BIT as that in the BIT between Indonesia and United Kingdom.
Key Words:
xi
HALAMAN SAMPUL......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iv
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH......................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS............................................ ix
ABSTRAK ............................................................................................................. x
ABSTRACT........................................................................................................... xi
DAFTAR ISI........................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang…………………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………...... 14
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………... 15
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………..... 15
E. Landasan Teori………………………………………………………….. 15
F. Kerangka Konsep……………………………………………………….. 18
G. Metode Penelitian……………………………………………………….. 20
H. Sistematika Penulisan Hasil Penelitian………………………………...... 22
BAB II PENANAMAN MODAL DAN PENYELESAIAN SENGKETA
PENANAMAN MODAL........................................................................ 24
A. Perkembangan Penanaman Modal Internasional....................................... 24
B. Aktor Penanaman Modal........................................................................... 27
1. Perusahaan Multinasional................................................................. 28
C. Perjanjian Penanaman Modal.................................................................... 31
1. Perjanjian Multilateral Penanaman Modal....................................... 38
2. Perjanjian Bilateral Penanaman Modal............................................ 40
D. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal............................................... 49
xii
xiii
xiv
A. Latar Belakang
1
Stephan W. Schill, The Multilateralization of International Investment Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 1.
2
OECD, OECD Benchmark Definition of Foreign Direct Investment. Fourth Edition, 2008, hlm. 14.
3
Indonesia (a), Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 67, TLN No.
4724, Alinea Kedua Penjelasan Umum.
4
UNCTAD, “World Investment Report 2012”, hlm. iii, www.unctad.org.\, diakses 27 Oktober 2012.
5
Ibid. hlm. xi.
6
Ibid.
7
BKPM, “Press Release Realisasi Penanaman Modal PMDN-PMA Triwulan III dan Januari –
September Tahun 2012”. hal.4, Jakarta, 22 Oktober 2012, www.bkpm.go.id, diakses 25 Oktober 2012.
8
Ibid. hlm. 6.
9
Ibid. hlm. 19.
10
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investments, Third Edition, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), hlm. 61-62.
11
Ibid. hlm. 63-64. Bandingkan juga dengan konsep yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang
termaktub dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
12
Berbagai definisi penanaman modal juga banyak disebutkan dalam perjanjian penanaman modal
bilateral (Bilateral Investment Treatise) yang biasanya dibuat oleh negara-negara yang akan
menanamkan modalnya dengan maksud untuk melindungi penanaman modal mereka di suatu negara.
Terkadangdefinisi itu tidak berlaku umum namun hanya pada sektor di mana investasi dilakukan. Ibid.,
hlm. 8.
13
Leon E. Trakman, Foreign Direct Investment: Hazard or Opportunity?, George Washington
International Law Review, 2009. www.westlaw.com. Diunduh 17 Desember 2013.
14
UNCTAD, op. cit. hlm. 107.
20
Ibid., Ps. 18 ayat (4).
21
Ibid., Ps. 21.
22
Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, (Cambridge: Cambridge University Press,
2003), hlm. 747.
23
Ibid. hlm. 748.
24
Menurut Sornarajah, beberapa resiko yang terjadi dalam penanaman modal adalah persoalan
ideologi (ideological hostility), Nasionalisme (nationalism), faktor etnis (ethnicity as a factor),
perubahan pola industri (changes in industry patterns), kontrak yang dibuat oleh rezim sebelumnya
(contracts made by previous regime), kontrak yang merugikan (onerous contract), peraturan di bidang
ekonomi (regulation of the economy), masalah hak asasi manusia dan lingkungan (human rights and
environmental concerns), dan situasi hukum dan ketertiban (the law and order situation). Untuk
penjelasan lebih mendalam tentang resiko ini lihat Sornarajah, Ibid. hlm. 71-79.
25
Sengketa administartif atau biasa juga disebut sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang
timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara. Dalam hal ini misalnya terkait dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan
Koordiasi Penanaman Modal. Sebastian Pompe, et. al., ed., Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal,
(Jakarta: NLRP, 2010), hlm. 454. Lihat juga ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan TataUsaha Negara.
26
Sengketa hukum biasanya timbul karena tidak diakomodasikannya kepentingan salah satu pihak atau
pihak ketiga lainnya dalam suatu kegiatan penanaman modal. Ibid. hlm. 455.
27
Sengketa teknis biasanya terkait dengan hubungan kontraktual. Sengketa ini dapat terjadi karena
adanya pelanggaran terhadap ketentuan kontrak kerjasama yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak yang berkerjasama, pada saat implementasi kontrak. Ibid.
28
Sengketa antar negara pada umumnya menyangkut perbedaan interpretasi dan implementasi atas
perjanjian bilateral di bidang promosi dan perlindungan penanaman modal serta perjanjian lain seperti
ketentuan-ketentuan TRIMS dari WTO Agreement, perjanjian tentang pencegahan pajak berganda dan
penghindaran pajak, perjanjian kemitraan ekonomi, dll. Ibid.
29
Sengketa antar negara dengan subyek hukum bukan negara pada umumnya timbul antara host-
country dengan investor asing yang melakukan penanaman modal pada host-country. Ibid.
30
Sengketa antara subyek hukum bukan negara satu sama lain adalah sengketa di antara para mitra
usaha (counter-parts) yang biasanya ditimbulkan oleh perbedaan interpretasi dan pelaksanaan kontrak
antara investor dengan mitra lokalnya. Ibid. hlm. 456
31
Sengketa antara investor dengan masyarakat setempat pada umumnya ditimbulkan oleh
ketidakpuasan masyarakat setempat terhadap kegiatan investor pada wilayah mereka yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai faktor, antara lain: kegiatan investasi yang dapat menimbulkan dampak
kerugiuan kepada msyarakat setempat; terjadinya pelanggaran HAM oleh investor; ganti rugi lahan
yang sangat rendah; tidak terserapnya masyarakat pada lapangan kerja yang disediakan oleh investor,
dll. Ibid.
32
Penyelesaian sengketa melalui proses non-ajudikasi yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, jasa baik
(good offices), komisi pencari fakta (commission of inquiry) dan board rules. Ibid. hlm. 458-460.
10
33
Penyelesaian melalui proses gabungan ajudikasi dan non-ajudikasi yaitu court-annexed mediation,
mediation-arbitration, dan conciliation-arbitration. Ibid. hlm. 460.
34
Ibid. hlm. 458.
35
Indonesia (b), Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 Tahun
1999, LN No. 138, TLN No. 3872.
36
Erman Rajagukguk, “Keputusan Arbitrase Asing mulai dapat dilaksanakan di Indonesia”, Suara
Pembaharuan, (7 Juni 1990), hlm. 11, sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, Arbitrase, Edisi
Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 4.
37
Erman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan,
cetakan pertama, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hlm. 5.
11
38
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Edisis Ke-2 Revisi,
(Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), hlm. 53-54.
12
Pasal 25 tersebut merupakan parameter umum dari kegiatan ICSID yang mengatur
tentang sifat sengketa (ratione materiae) dan para pihak yang bersengketa (ratione
personae).42 Ketentuan ini menegaskan bahwa maksud dibentuknya ICSID adalah
untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa di bidang penanaman modal yang terjadi
antara satu negara yang merupakan anggota dalam Konvensi ICSID dengan warga
negara negara anggota lainnya sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam konvensi
tersebut.
ICSID merupakan forum yang paling umum digunakan apabila pihak swasta
atau warga negara asing menuntut suatu negara dalam sengketa penanaman modal.43
Sengketa yang diajukan ke ICSID adalah sengketa penanaman modal yang
didasarkan pada perjanjian penanaman modal baik perjanjian penanaman modal
multilateral ataupun perjanjian penanaman modal bilateral. Di dalam perjanjian-
perjanjian tersebut terdapat ketentuan yang mengatur kesepakatan untuk
39
OECD, International Investment Law. Understanding Concepts and Tracking Innovations, (USA:
OECD, 2008), hlm. 8.
40
Christopher H. Schreuer, et. Al., The ICSID Convention: A Commentary, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 10.
41
Ibid, hlm. 71.
42
Ibid. hlm. 72.
43
Stephen W. Schill, “System-Building in Investment Treaty Arbitration and Lawmaking”, German
Law Journal, 1 Mei 2011. 12 German L.J. 1083.
13
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, penelitian ini akan
mengkaji dua pokok permasalahan yakni:
1. Apakah yang menjadi pokok sengketa dalam perkara antara Rafat Ali Rizvi
melawan Republik Indonesia?
2. Bagaimanakah pandangan majelis arbitrase ICSID dalam memeriksa dan
mengadili perkara tersebut dikaitkan dengan penafsiran atas ketentuan BIT
Indonesia dan Inggris dan BIT lainnya dalam sengketa penanaman modal?
44
ICSID, “ICSID 2012 Annual Report”
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDPublicationsRH&actionVal=View
AnnualReports#, diunduh 17 Desember 2013.
14
D. Manfaat Penelitian
1. Dengan mengkaji putusan-putusan ICSID, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman tentang pentingnya BIT dan bagaimana pandangan
majelis arbitrase ICSID dalam mempertimbangkan BIT sebagai dasar hukum
penyelesaian sengketa.
2. Memberikan pemahaman tentang bagaimana ketentuan BIT ditafsirkan dan
diberi makna sehingga dapat dijadikan rujukan dalam merumuskan BIT atau
perjanjian penanaman modal lainnya yang di kemudian hari, bila terjadi
perselisihan, dijadikan sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa.
E. Landasan Teori
Penelitian ini akan menggunakan teori penafsiran hukum namun lebih khusus
pada penafsiran perjanjian (treaty interpretation) sebagai alat untuk menganalisis
permasalahan penelitian. Penafsiran perjanjian digunakan untuk menafsirkan
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam suatu perjanjian. Penafsiran perjanjian pada
dasarnya telah dikodifikasikan dalam Vienna Convention on the Law of Treaties
(“VCLT”). Pasal 31 ayat (1) VCLT menyatakan bahwa suatu perjanjian harus
ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan makna biasa yang diberikan pada istilah-
15
45
Pasal 31 ayat (1) VCLT berbunyi: “A Treaty shall be interpreted in good faith in accordance with
the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object
and purpose.”
46
Pembahasan lengkap tentang penafsiran ini dapat dilihat dalam Christoph Schreur, “Diversity and
Harmonization of Treaty Interpretation in Investment Arbitration”, dalam Malgosia Fitzmaurice,
Olufemi Elias, Panos Merkourishal, eds., Treaty Interpretation and the Vienna Convention on the Law
of Treaties: 30 Years on, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2010), hlm. 129 s.d. hlm. 138.
16
17
47
VCLT diadopsi pada tanggal 22 Mei 1969. Pengertian treaty sebagaimana disebutkan diatas
termaktub dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a yang berbunyi, ““treaty” means an international
agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether
embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular
designation.”
48
Ronald Dworkin, Law’s Empire, (Cambridge, Massachussets, London, England: The Belknap Press
of Harvard University Press, 1986), hlm. 54.
18
49
Ibid. hlm. 65-66.
50
Ulf Linderfalk, On The Interpretation of Treaties. The Modern International Law as Expressed in
the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, (Netherland: Springer, 2007), hlm. 12.
51
http://www.unctadxi.org/templates/Page____1006.aspx, diakses tanggal 16 Desember 2013.
19
G. Metode Penelitian
52
D. Carreau, P. Juillard, Droit international économique (3e édition, Dalloz, Paris, 2007),
sebagaimana dikutip dalam OECD, op.cit., hlm. 46.
53
Ibid. hlm. 47.
54
Indonesia (a), op.cit., Ps. 1 angka 1.
20
21
22
23
1
Globalization 101, “What is Globalization?”, http://www.globalization101.org/what-is-globalization/,
diunduh tanggal 17 April 2014.
2
Donald J. Boudreaux, Globalization, (Westport: Greenwood Press, 2008), hlm. 1.
3
Stephan W.Schill, The Multilateralization of International Investment Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 2.
24
4
Julio Faindez dan Celine Tan, ed., International Economic Law, Globalization and Developing
Countries, (Cheltenham: Edward Elgar, 2010), hlm. 1.
5
ICSID, 2012 Annual Report,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDPublicationsRH&actionVal=View
AnnualReports&year=2012_Eng, diunduh tanggal 24 April 2014.
25
26
8
Ibid., hlm. 3-4.
9
Ibid.
10
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, 3rd Ed., (Cambridge: Cambridge
University Press, 2010), hlm. 61.
27
11
Untuk keperluan penulisan ini perusahaan multinasional tidak dibedakan dengan perusahaan
transnasional. Merujuk pada Draft Code of Conduct on Transnational Corporation, perusahaan
multinasional atau perusahaan transnasional didefinisikan sebagai ...enterprises, irrespective of their
country of origin and their ownership, including private, public or mixed, comprising entities in two or
more countries, regardless of the legal forms and fields of activities of this entity, which operate under
a system of decision-making, permitting coherent policies and a common strategy through one or more
decision-making centres, in which the entities are so linked, by ownership or otherwise, that one or
more of them may be able to exercise a significant influence over the activities of others and, in
particular, to share knowledge, resources and responsibilities with the others. UNCTAD, “Proposed
Text of the Draft Code of Conduct on Transnational Corporations”,
http://unctc.unctad.org/data/e90iia11k.pdf, diunduh 23 September 2014. Sementara itu, Report on the
Impacts of Multinational Corporations on Development and on International Relations yang
dikeluarkan Economic and Social Council PBB menyatakan bahwa multinational corporations are
enterprises which own or control production or service facilities outside the country in which they are
based. Laporan ini juga menyebutkan bahwa kata “transnasional” lebih disarankan daripada kata
“multinasional” karena kata transnasional lebih tepat menggambarkan bekerjanya perusahaan yang
melintasi batas-batas negara di luar negara asal perusahaan tersebut. Lihat United Nations, “ The
Impacts of Multinational Corporations on Development and on International Relations”,
http://unctc.unctad.org/data/e74iia5a.pdf, diunduh tanggal 25 September 2014.
12
M. Sornarajah, loc.cit.
28
13
Ibid., hlm. 62.
14
OECD, International Investment Perspectives, (Paris, France: OECD Publishinh, 2006), hlm. 52.
15
UNCTAD, World Investment Report 2009. Transnational Corporations, Agricultural Production
and Development, (New York and Geneva: United Nations, 2009), hlm. 17.
16
Alice de Jonge, Transnational Corporations and International Law. Accountability in the Global
Business Environment, (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2011), hlm. 1.
17
Karsten Nowrot, “Transnational Corporations as Steering Subjects in International Economic Law:
Two Competing Visions of the Future?”, Indiana Journal of Global Studies, Summer, 2011, 18 Ind. J.
Global Legal Studies. 803.
29
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Lihat https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=ListCases,
terakhir diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.
21
Lihat
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=GenCaseDtlsRH&actionVal=ListPendin
g, terakhir diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.
30
22
Karsten Nowrot, loc. cit.
23
Alice de Jonge, Transnational Corporations and..., op.cit., hlm. 73-74.
24
Jeswald W. Salacuse, “The Emerging Global Regime for Investment,” Harvard International Law
Journal, Vol. 51, No. 2 (Summer 2010), hlm. 427.
31
25
Ibid., hlm. 428.
26
Kenneth J. Vandevelde, “A Brief History of International Investment Agreements”, dalam Karl P.
Sauvant dan Lisa E. Sachs, eds., The Effect of Treaties on Foreign Direct Investment: Bilateral
Investment Treaties, Double Taxation Treaties, and Investment Flows, (New York: Oxford University
Press, 2009), hlm. 3.
27
Saat ini Energy Charter Treaty memiliki lima puluh tiga anggota. Indonesia sendiri menjadi
observer pada Energy Charter Converence dan sebagai penandatangan 1991 Energy Charter,
http://www.encharter.org/index.php?id=61, diunduh tanggal 12 Mei 2014.
28
Jeswad W. Salacuse, loc. cit., hlm. 428-429.
29
Kenneth J. Vandevelde, loc.cit.
30
Ibid.
32
33
34
37
Ibid., hlm. 9-10.
38
Kenneth J. Vandevelde, op.cit., hlm. 10-11.
39
M. Sornarajah, op.cit., hlm. 22.
40
Ibid.
35
41
Kenneth J. Vandevelde, loc.cit.
42
Deklarasi ini diadopsi dengan Resolusi Majelis Umum PBB A/Res/S-6/3201 pada tanggal 1 Mei
1974 dengan judul Declaration on the Establishment of a New International Economic Order,
http://www.un-documents.net/s6r3201.htm, diunduh tanggal 1 Mei 2014.
43
Ketentuan ini termuat dalam Pasal 4 huruf e deklarasi NIEO yang selengkapnya berbunyi, “Full
permanent sovereignty of every State over its natural resources and all economic activities. In order to
safeguard these resources, each State is entitled to exercise effective control over them and their
exploitation with means suitable to its own situation, including the right to nationalization or transfer
of ownership to its nationals, this right being an expression of the full permanent sovereignty of the
State. No State may be subjected to economic, political or any other type of coercion to prevent the
free and full exercise of this inalienable right”, http://www.un-documents.net/s6r3201.htm, diunduh
pada tanggal 1 Mei 2014.
44
Sornarajah, loc.cit.
36
45
Charter of Economic Rights and Duties of States diadopsi Resolusi Majelis Umum PBB
A/RES/29/3281 pada tanggal 12 Desember 1974, http://www.un-documents.net/a29r3281.htm,
diunduh pada tanggal 1 Mei 2014.
46
Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c CERDS yang menyatakan, “To nationalize,
expropriate or transfer ownership of foreign property, in which case appropriate compensation should
be paid by the State adopting such measures, taking into account its relevant laws and regulations and
all circumstances that the State considers pertinent. ......”, http://www.un-
documents.net/a29r3281.htm, diunduh pada tanggal 1 Mei 2014.
47
Vandevelde, op.cit., hlm. 13.
37
48
Ibid., hlm. 20.
49
Ibid., hlm. 21.
50
Ibid.
51
Stephan W. Schill, The Multilateralization of International Investment Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 9.
52
Ibid., hlm. 23.
53
Ibid., hlm. 28.
54
Pada dasarnya, aturan yang ingin dimasukkan dalam perjanjian ini adalah mengenai hubungan
antara negara dan penanam modal. Aturan ini menyangkut kesepakatan secara multilateral tentang
38
pembatasan kewenagan otoritas publik negara tempat penanaman modal, diantaranya tentang
ekspropriasi. Ibid., hlm. 23.
55
Havana Charter merupakan hasil dari UN Conference on Trade and Employment yang
diselenggarakan di Havana, Kuba antara tanggal 21 November 1947 dan 24 Maret 1948. Konferensi
ini sebenarnya dimaksudkan untuk membentuk organisasi perdagangan internasional multilateral yang
disebut International Trade Organisation. Surya P. Subedi, International Investment Law. Reconciling
Policy and Principle, (Portland: Hart Publishing, 2008), hlm. 19.
56
Ibid.
57
Stephan W. Schill, op.cit., hlm. 32-33.
58
Surya P Subedi, op.cit., hlm. 20.
39
59
Abs-Shawcross Draft juga digambarkan sebagai Magna Carta nya investor swasta. Draf ini
mengatur standar perlindungan yang lebih kuat terhadap investor asing, definisi ekspropriasi yang
lebih luas serta mekanisme penyelesaian sengketa antara investor dan negara. Draf ini gagal disepakati
juga karena resistensi negara-negara berkembang. Ibid., hlm. 21.
60
Negosiasi Multilateral Agreement on Investment (MAI) mulai dilakukan pada pertemuan tahunan
Dewan OECD tingkat menteri pada tahun 1995. Tujuannya adalah untuk memberikan kerangka yang
luas secara multilateral dalam penanaman modal internasional dengan merumuskan standar yang tinggi
untuk liberalisasi rezim penanaman modal, perlindungan penanaman modal serta prosedur
penyelesaian sengketa yang efektif. Pertemuan Tim Negosiasi pertama kalinya dilakukan pada tanggal
27 September 1995 yang diikuti 25 negara anggota OECD pada saaat itu serta Komisi Eropa.
Negosiasi ini dihentikan pada tahun 1998 dan tidak dilanjutkan lagi.
http://www.oecd.org/investment/internationalinvestmentagreements/multilateralagreementoninvestme
nt.htm, diunduh tanggal 16 Mei 2004.
61
Grant D. Aldonas, “Multilateral Investment Agreements,” The International Lawyer, Vol. 31, No. 2,
(1997), hlm. 447.
62
Andreas L. Lowenfeld, “Investment Agreements and International Law,” Columbia Journal of
Transnational Law, Vol. 42, ( 2003-2004), hlm. 123.
40
63
Stephan W. Schill, op.cit., hlm. 24.
64
P.T. Muchlinski, Multinational Enterprises and the Law, (Oxford: Blackwell, 1999), hlm. 617.
65
Kenneth J. Vandevelde menyebut FCN yang dibuat pada masa ini sebagai FCN modern yang
berlangsung selama 20 tahun dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1966 dan merupakan FCN
gelombang terakhir. FCN pertama kalinya dibuat selama dan setelah Perang Kemerdekaan Amerika
Serikat oleh Thomas Jefferson, John Adams dan Benjamin Franklin atas perintah Kongres. Ini
merupakan FCN gelombang pertama antara Amerika Serikat dengan berbagai kekuatan Eropa
termasuk Prancis, Spanyol, Prusia, Belanda. Setelah perang, Amerika Serikat juga menyepakati FCN
dengan Inggris. FCN gelombang kedua dibuat di ahkir abad ke-19 oleh Amerika khususnya dengan
negara-negara Amerika Latin yang baru merdeka sedangkan FCN gelombang ketiga dibuat antara
Perang Dunia I dan II. FCN gelombang keempat dan terakhir dibuat setelah Perang Dunia kedua.
Kenneth J. Vandevelde, “The BIT Program: A Fifteen Year Appraisal”, American Society of
International Law Proceeding, Vol. 86, (1992), hlm. 533.
66
Ibid.
67
Andrew T. Guzman, “Why LDCs Sign Treaties that Hurt Them: Explaining the Popularity of
Bilateral Investment Treaties,” Virgina Journal of International Law, Vol. 38, (1997-1998), hlm. 653.
41
68
Ibid.
69
Vandevelde, op.cit., hlm. 14.
70
Ibid., hlm. 16.
71
UNCTAD, World Investment Report 1992. Transnational Corporations as Engines of Growth, (New
York: United Nations, 1992), hlm. 3.
72
UNCTAD, World Investment Report 1993. Transnational Corporations and Integrated International
Production, (New York: United Nations, 1993), hlm. 2.
73
UNCTAD, World Investment Report 2000. Cross-border Mergers and Acquisitions and
Development, (New York: United Nations, 2000), hlm. xv.
74
UNCTAD, World Investment Report 2002. Transnational Corporations and Export Competitiveness,
(New York: United Nations, 2002), hlm. 8.
75
UNCTAD, World Investment Report 2003. FDI Polices for Development: National and International
Perspectives, (New York and Geneva: United Nations, 2003), hlm. xv.
76
UNCTAD, World Investment Report 2004. The Shift Towards Services, (New York and Geneva:
United Nations, 2004), hlm. 6.
42
77
UNCTAD, World Investment Report 2005. Transnational Corporations and the Internationalization
of R&D, (New York and Geneva: United Nations, 2005), hlm. xx.
78
UNCTAD, World Investment Report 2006. FDI from Developing and Transition Economy:
Implications for Development, (New York and Geneva, 2006), hlm. xix.
79
UNCTAD, World Investment Report. Transnational Corporations, Extractive Industries and
Development, (New York and Geneva: United Nations, 2007), hlm. xvii.
80
UNCTAD, World Investment Report 2008. Transnational Corporations and the Infrastructure
Challenge, (New York and Geneva: United Nations, 2008), hlm. xvii.
81
UNCTAD, World Investment Report 2009..., op.cit., hlm. xxii.
82
UNCTAD, World Investment Report 2010. Investing in a Low-Carbon Economy, (New York and
Geneva: United Nations, 2010), hlm. xxv.
83
UNCTAD, World Investment Report 2012. Towards a New Generation of Investment Policies, (New
York and Geneva: United Nations, 2012), hlm. xx.
84
UNCTAD, World Investment Report 2013. Global Vaule Chains: Investment and Trade for
Development, (New York and Geneva: United Nations, 2013), hlm. x.
85
UNCTAD, World Investment Report 2014. Investing in the SDGs: An Action Plan, (New York and
Geneva: United Nations, 2014), hlm. 114.
43
86
Sornarajah, op.cit., hlm. 172.
87
Jeswald W. Salacuse dan Nicholas P. Sullivan, “Do BITs Really Work?: An Evaluation of Bilateral
Investment Treaties and Their Grand Bargain,” Harvard International Law Journal, Vol. 46, No. 1,
(Winter, 2005), hlm. 77.
88
Raul Emilio Vinuesa, ““Bilateral Investment Treaties and The Settlement of Investment Disputes
Under ICSID: The Latin American Experience”, Law and Business Review of the Americas, Fall,
2002, 8 L. & Bus. Rev. Am. 501.
89
Sornarajah, op.cit., hlm. 173-174.
44
90
Jeswald W. Salacuse, loc.cit., hlm. 440-441.
91
Zachary Elkins, Andrew T. Guzman and Beth Simmons, “Competing for Capital: The Diffusion of
Bilateral Investment Treaties, 1960-2000, University of Illinois Law Review, Vol. 2008 , No. 1, hlm.
266.
92
UNCTAD, Bilateral Investment Treaties 1995-2006: Trends in Investment Rulemaking, (New York
and Geneva: United Nations, 2007), hlm. 141.
45
93
UNCTAD, International Investment Agreements: Key Issues, (New York and Geneva: United
Nations, 2004), hlm. 77-92.
94
Sury P. Subedi, op.cit., hlm. 120.
95
UNCTAD, International Investment..., op.cit., hlm. 257.
46
96
UNCTAD, World Investment Report 2013...op.cit., hlm. 102-103.
97
UNCTAD, Worl Investment Report 2012...op.cit., hlm 135-136.
47
98
Ada 11 prinsip inti dalam IPFSD yakni (1) investment for sustainable development yang
mengetengahkan pentingnyamemajukan penanaman modal yang bukan hanya demi pertumbuhan
ekonomi semata tetapi juga pertumbuhan yang meguntungkan semua termasuk masyarakat miskin
serta tidak hanya berorientasi pada perkembangan saat ini tetapi juga untuk generasi mendatang; (2)
policy coherence yang menekankan bahwa kebijakan penanaman modal haendaknya didasarkan pada
keseluruhan strategi pembangunan yang dilakukan oleh negara dan bahwa harus ada koherensi seluruh
kebijkana penanaman modal secara nasional dan internasional; (3) public governance and institutions
yang menegaskan bahwa kebijakan penanaman modal harus dikembangkan dengan melibatkan semua
pemangku kepentingan dan dituangkan dalam suatu kerangka kebijakan institusional. Institusi
pemerintahan harus bekerja berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik seperti transparansi,
akuntabilitas dan prediktabilitas yang didasarkan pada hukum (rule of law) serta jauh dari praktek
korupsi sebagai faktor penting dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif; (4) dynamic
policymaking. Prinsip ini menunjukkan bahwa kebijakan penanaman modal harus bersifat dinamis
dalam arti bisa berubah sesuai dengan perkembangan baik secara nasional maupun dengan merujuk
pada dinamika yang terjadi di level global. Dengan kebijakan penanaman odal yang idnamis juga
negara-negara dapat secara terus menerus mengevaluasi efektifitas kebijakan penanaman modal
mereka. Bila kebijakan itu tidak membawa hasil yang diinginkan atau membawa keberhasilan tetapi
dengan biaya yang sangat tinggi, maka kebijakan tersebut bisa diperbaiki; (5) balanced rights and
48
obligations yang menekankan tentang pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban negara dan
hak serta kewajiban investor. Iklim dan kebijakan penanaman modal yang ditentukan negara harus
berada pada posisi yang seimbang dengan perlakuan yang diberikan kepada investor. Negara dapat
mengatur keseimbangan ini melalui perturan perundang-undangan dalam negeri; (6) right to regulate,
prinsip ini menekankan tentang hak negara untuk melakukan pengaturan atas kegiatan penanaman
modal dengan tetap memeperhatikan komitmen-komitmen yang telah disepakati secara internasional
dengan mengedepankan kepentingan umum dan meminimalisir efek negatif penanaman modal. Negara
harus mempertahankan ruang bebas untuk mengeluarkan regulasi sebagai hak negara dan sebagai
keniscayaan yang harus dilakukan negara agar ruang itu tidak dipersempit oleh komitmen dan
kesepakatan yang dibuat secara bilateral, regional dan internasional; (7) openness to investment,
prinsip ini menekankan perlunya penciptaan iklim investasi yang terbuka dengan membuat syarat dan
prosedur masuknya investasi yang transparan dan jelas untuk menarik penanaman modal demi
pembangunan berkelanjutan. Meskipun demikian, negara juga memiliki hak untuk melakukan
pembatasan dengan alasan strategi pembangunan nasional serta alasan keamanan nasional; (8)
investment protection, prinsip ini menekankan pada perlunya perlindungan kepada investor diberikan
dan diatur dalam kebijakan penanaman modal berdasarkan prinsip nondiskriminasi; (9) investment
promotion and facilitation. Ada dua komponen kunci yang terkandung dalam prinsip ini yakni
pertama dalam upaya meningkatkan iklim investasi negara selayaknya tidak mengesampingkan tujuan
pembangunan berkelanjutan, misalnya dengan menurunkan standar isu lingkungan dan sosial dalam
aturan yang dibuat atau dengan memberikan insentif yang menghilangkan sebagian besar keuntungan
ekonomi yang seharusnya diperoleh negara penerima penanaman modal. Yang kedua, prinsip ini
mengakui bahwa karena semakin banyak negara yang mendorong peningkatan penanaman modal dan
menyasar jenis ivestasi yang spesifik maka resiko timbulnya kompetisi tidak sehat dalam kegiatan
penanaman modal juga meningkat seperti dengan melonggarkan aturan investasi serta memberikan
insentif penanaman modal yang tinggi yang berdampak buruk pada persoalan sosial dan lingkungan.
Oleh karena itu negara harus berupaya untuk meminimalisir resiko ini; (10) corporate governance and
responsibility. Prinsip ini menegaskan bahwa kebijakan penanaman modal harus mengadopsi standar
terbaik yang berlaku secara internasional dalam hal tanggung jawab sosial perusahaan serta tata kelola
perusahaan yang baik; (11) international cooperation. Prinsip ini menganjurkan perlunya kerjasama
internasional dalam peningkatan penanaman modal serta dalam menghadapi tantangan bersama di
bidang penanaman modal untuk pembangunan khususnya untuk negara-negara yang paling
terbelakang termasuk dengan menggalakkan upaya kolektif untuk menghindari terjadinya
proteksionisme dalam kegiatan penanaman modal. UNCTAD, “Investment Policy Framework for
Sustainable Development”, http://unctad.org/en/PublicationsLibrary/webdiaepcb2012d6_en.pdf,
diunduh tanggal 7 Agustus 2014.
99
UNCTAD, World Investment Report 2014...op.cit., hlm. 117-118.
100
Kate Miles, The Origins of International Investment Law. Empire, Environment and the
Safeguarding of Capital, (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), hlm. 372.
49
101
Raul Emilio Vinuesa, loc.cit., 8 L. & Bus. Rev. Am. 501.
102
UNCTAD, Investor-State Dispute Settlement and Impact on Investment Rulemaking, (New York
and Geneva: United Nations, 2007), hlm. 8.
103
Thomas L. Brewer, “International Investment Dispute Settlement Procedures: The Evolving Regime
for Foreign Direct Investment”, Law and Policy in International Business, Spring, 1995, 26 Law &
Pol'y Int'l Bus. 633.
104
Ibrahim F.I. Shihata, “The Settlement of Disputes Regarding Foreign Investment: The Role of the
World Bank with Particular Reference to ICSID and MIGA”, American University Journal of
International Law and Policy, Summer, 1986, 1 Am. U. J. Int'l L. & Pol'y 97.
105
Gabriel Egli, “Don,t Get BIT: Addressing ICSID’s Inconsistent Application of Most Favoured-
Nation Clauses to Dispute Resolution Provisions”, Pepperdine Law Review, 2007, 34 Pepp. L. Rev.
1045.
50
106
UNCTAD, Investor-State Dispute..., op.cit., hlm. 7.
107
UNCTAD, World Investment Report 2007..., op.cit., hlm. 18.
108
UNCTAD, World Investment Report 2010..., op.cit., hlm. 82.
109
UNCTAD, World Investment Report 2014..., op.cit., hlm. 124.
110
Informasi selengkapnya tentang ICC International Court of Arbitration dapat dilihat di
http://www.iccwbo.org/about-icc/organization/dispute-resolution-services/icc-international-court-of-
arbitration/, diakses terakhir tanggal 28 Agustus 2014.
111
Informasi selengkapnya dapat dilihat di http://www.lcia.org/, diakses pada tanggal 28 Agustus
2014.
112
Brewer, loc. cit., 26 Law & Pol'y Int'l Bus. 633.
51
113
Ibironke T. Odumosu, “The Law and Politics of Engaging Resistance in Investment Dispute
Settlement”, Penn State International Law Review, Fall, 2007, 26 Penn St. Int'l L. Rev. 251.
52
114
Lisa L. Bhansali, “New Trends in International Dispute Settlement”, American Society of
International Law Proceedings, March/April, 1993, 87 Am. Soc'y Int'l L. Proc. 2.
115
Raul Emilio Vinuesa, “Bilateral Investment Treaties and The Settlement of Investment Disputes
Under ICSID: The Latin American Experience”, Law and Business Review of the Americas, Fall,
2002, 8 L. & Bus. Rev. Am. 501.
116
Ibrahim F.I. Shihata, loc.cit., 1 Am. U. J. Int'l L. & Pol'y 97.
117
Gabriel Egli, loc.cit., 34 Pepp. L. Rev. 1045.
53
118
Lisa L. Bhansali, loc.cit., 87 Am. Soc'y Int'l L. Proc. 2.
119
Roberto Pirozzi, “The ICSID Jurisdiction: An Issue Already Solved or a Question Still Open”,
Vindobona Journal of International Commercial Law and Arbitration, 2013, 17 VJ 33. Persoalan
kesepakatan ini juga merupakan inti dari Report of the Executive Director on ICSID Convention terkait
yurisdiksi ICSID. Pada bagian V mengenai Jurisdiction of the Centre poin 23 perihal Consent
disebutkan bahwa, “Consent of the parties is the cornerstone of the jurisdiction of the Centre. Consent
to jurisdiction must be in writing and once given cannot be withdrawn unilaterally”. Lihat ICSID,
“ICSID Convention, Regulations and Rule”,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/StaticFiles/basicdoc/CRR_English-final.pdf, diunduh tanggal 4
September 2014.
120
Ibid.
121
Bab II Konvensi ICSID berjudul jurisdiction of the center. Lihat ICSID, “ICSID Convention,
Regulations and Rules”, https://icsid.worldbank.org/ICSID/StaticFiles/basicdoc/CRR_English-
final.pdf, diunduh tanggal 10 September 2014.
122
Pasal 25 Konvensi ICSID menyatakan, “(1) The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal
dispute arising directly out of an investment, between a Contracting State (or any constituent
subdivision or agency of a Contracting State designated to the Centre by that State) and a national of
another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the
Centre.When the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally; (2)
“National of another Contracting State” means: (a) any natural person who had the nationality of a
Contracting State other than the State party to the dispute on the date on which the parties consented
to submit such dispute to conciliation or arbitration as well as on the date on which the request was
registered pursuant to paragraph (3) of Article 28 or paragraph (3) of Article 36, but does not include
any person who on either date also had the nationality of the Contracting State party to the dispute;
and (b) any juridical person which had the nationality of a Contracting State other than the State party
to the dispute on the date on which the parties consented to submit such dispute to conciliation or
arbitration and any juridical person which had the nationality of the Contracting State party to the
dispute on that date and which, because of foreign control, the parties have agreed should be treated
as a national of another Contracting State for the purposes of this Convention; (3) Consent by a
constituent subdivision or agency of a Contracting State shall require the approval of that State unless
that State notifies the Centre that no such approval is required; (4) Any Contracting State may, at the
time of ratification, acceptance or approval of this Convention or at any time thereafter, notify the
Centre of the class or classes of disputes which it would or would not consider submitting to the
54
jurisdiction of the Centre. The Secretary-General shall forthwith transmit such notification to all
Contracting States. Such notification shall not constitute the consent required by paragraph (1), Ibid.
123
Pasal 26 Konvensi ICSID berbunyi, “Consent of the parties to arbitration under this Convention
shall, unless otherwise stated, be deemed consent to such arbitration to the exclusion of any other
remedy. A Contracting State may require the exhaustion of local administrative or judicial remedies as
a condition of its consent to arbitration under this Convention, Ibid.
124
Pasal 27 Konvensi ICSID menyatakan, “(1) No Contracting State shall give diplomatic protection,
or bring an international claim, in respect of a dispute which one of its nationals and another
Contracting State shall have consented to submit or shall have submitted to arbitration under this
Convention, unless such other Contracting State shall have failed to abide by and comply with the
award rendered in such dispute; (2) Diplomatic protection, for the purposes of paragraph (1), shall
not include informal diplomatic exchanges for the sole purpose of facilitating a settlement of the
dispute.” Ibid.
125
Christoph H. Chreuer, et al., The ICSID Convention: A Commentary, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 82.
55
A. Kasus Posisi1
Perkara ini diajukan oleh Rafat Ali Rizvi yang memposisikan diri sebagai
pemegang saham Bank Century pada 5 April 2011. Rafat mendalilkan
pemerintah telah melakukan pelanggaran atas ketentuan perjanjian penanaman
modal bilateral (BIT) antara Indonesia dan Inggris dalam upaya penyelamatan
Bank Century yang menyebabkannya kehilangan saham dan menuntut pemerintah
membayar ganti rugi US$ 75 juta.2
Perkara ini diajukan berdasarkan the 1997 Agreement between the
Government of the United Kingdom of Great Britain and Northerrn Ireland and
the Government of Republic of Indonesia for the Promotion and Protection of
Investments yang merupkan perjanjian bilateral penanaman modal (BIT) antara
Indonesia dan Inggris. Isu hukum yang menjadi pokok sengketa dalam perkara ini
adalah apakah penanaman modal yang dilakukan oleh penggugat dilindungi
berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT3. Pertanyaan lainnya adalah apakah
tindakan penanaman modal yang dilakukan penggugat diizinkan berdasarkan
Undang-Undang Penanaman Modal Asing No. 1 Tahun 19674 (UU PMA).
1
ICSID Case No. ARB/11/13,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC4512_En&caseId=C1560, diunduh tanggal 15 Juni 2014.
2
http://kabar24.bisnis.com/read/20130719/16/151840/kasus-bank-century-investasi-rafat-ali-tidak-
ada-izin, diunduh tanggal 15 Juni 2014.
3
Pasal 2 ayat (1) BIT antara Indonesia dan Inggris, the 1997 Agreement between the Government
of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of Republic of
Indonesia for the Promotion and Protection of Investments, menyatakan, “This agreement shall
only apply to investments by nationals or companies of the United Kingdom in the territory of the
Republic of Indonesia which have been granted admission in accordance with the Foreign Capital
Investment Law No. 1 of 1967 or any law amending or replacing it”.
4
Indonesia, Undang-Undang Penanaman Modal Asing, UU No. 1 Tahun 1967, LN No. 1 Tahun
1967, TLN No. 2818.
56
5
Pasal 1 Undang-Undang 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyatakan,
“Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman
modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-
undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa
pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut.”
57
Di sisi lain tergugat menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT
Indonesia dan Inggris menunjukkan kewenangan negara untuk membatasi
cakupan perjanjian pada jenis-jenis penanaman modal dan penanam modal
tertentu. Tergugat secara khusus menunjukkan bahwa Pasal 2 ayat (1) BIT secara
sangat jelas dan spesifik membatasi cakupan BIT dengan merujuk secara khusus
pada undang-undang tertentu yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing. Oleh karena, dalam pandangan tergugat,
penggugat harus menegaskan bahwa penanaman modal yang dilakukannya di
Indonesia bukan hanya diberi izin tetapi juga memastikan bahwa pemberian izin
tersebut sesuai dengan UU PMA. Penggugat lebih lanjut mendalilkan bahwa
pembatasan cakupan penerapan perjanjian penanaman modal dikenal dan diakui
dalam praktek.
Untuk menguatkan dalilnya, tergugat merujuk pada kasus Desert Line v.
Yemen.10 Dalam kasus tersebut, majelis arbitrase memberikan komentarnya
tentang teknik yang berbeda dalam membatasi cakupan sebuah perjanjian dalam
hal yang terkait dengan penanaman modal yang mana yang diberi perlindungan
berdasarkan perjanjian tersebut. Majelis arbitrase dalam kasus tersebut
10
Desert Line Projects LLC v. The Republic of Yemen, Award of 29 January 2008, ICSID Case
No. ARB/05/17. Pendekatan berbeda yang dimaksud dinyatakan dalam paragraf 108 putusan kasus
Desert Line v. Yemen yang selengkapnya berbunyi, “Some States sign BITs without any regard to
the ex ante identification of investors who may be covered by the treaty in question. This option
ensures broader coverage, and may be thought to maximize the stimulation of investment flows
between the two countries. Others require that investors wishing to be protected must identifY
themselves, on the footing that only specifically approved investments will give rise to benefits
under the relevant treaty. This is a different approach, but it too has a legitimate policy rationale,
in the sense that the Governments of such States evidently wish to exercise a qualitative control on
the types of investments which are indeed to be promoted and protected,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC791_En&caseId=C62, terakhir diunduh tanggal 25 November 2014.
60
11
Philippe Gruslin v. Malaysia, Award of 27 November 2000, ICSID Case No. ARB/99/3.
Putusan tersebut dapat diunduh di http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0385.pdf. Diunduh terakhir tanggal 25 November 2014.
12
Yaung Chi Oo Trading Pte Ltd. v. Government of the Union of Myanmar, Award of 31 March
2003, ASEAN I.D. Case No. ARB/01/1. Pendapat Majelis Arbitrase yang dirujuk Penggugat
dalam kasus ini merupakan tafsir atas Majelis ketentuan Pasal II Asean Agreement 1987. Dalam
tafsirnya Majelis Arbitrase menyatakan bahwa ketentuan Pasal II Asean Agreement 1987
menyatakan secara jelas adanya syarat persetujuan secara tertulis atas penanaman modal serta
didaftarkannya sebuah penanaman modal agar penanaman modal tersebut masuk dalm cakupan
perjanjian. Dalam pendapatnya Majelis Arbitrase juga membandingkan dengan praktek yang
terjadi di negara anggota ASEAN lainnya yang merupakan pihak pada ASEAN Agreement 1987
yang juga menentukan syarat yang spesifik bahwa suatu penanaman modal harus mendapatkan
persetujuan dan harus didaftarkan sesuai dengan perrundang-undangan dalam negeri mereka. Hal
yang sama juga berlaku di Myanman yang menjadi pihak dalam perkara ini di mana penanaman
modal asing tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan khusus dari pemerintah Myanmar. Pendapat
Majelis Arbitrase tersebut tertuan dalam paragraf 58 putusan Yaung Chi Oo yang selengkapnya
berbunyi, “The Tribunal notes that under Article II of the 1987 ASEAN Agreement, there is an
express requirement of approval in writing and registration of a foreign investment if it is to be
covered by the Agreement. Such a requirement is not universal in investment protection
agreements: it does not apply, for example, under the 1998 Framework Agreement. In this respect
61
Article II goes beyond the general rule that for a foreign investment to enjoy treaty protection it
must be lawful under the law of the host State. The Tribunal noted that a requirement of specific
approval and registration already existed under the legislation of certain parties to the 1987
Agreement, especially those with centrally-managed economies. This was, and remains, the
situation in Myanmar where no foreign investment can be made without specific approval of the
Government of Myanmar acting through the FIC. Under the Foreign Investment Law this
approval is given in writing after a thorough process. In the Tribunal's view, this process is in
substance that described in Article 1I(l) of the 1987 ASEAN Agreement. In its Procedural Order
no. 2, the Tribunal indicated that on the information currently available as to the practice of the
various parties to the 1987 ASEAN Agreement, including the Respondent, it was not inclined to
interpret the Agreement as requiring a special procedure for registration for the purposes of
Article II. The Tribunal is reinforced in this view by the further information provided. It appears
that no party to the Agreement which has a general legal requirement for the approval of foreign
investment has felt it necessary to set up, in addition, a special procedure for the purposes of
Article II. It is true that there is such a procedure in Singapore. But even there it was not
specifically designed exclusively for the purposes of the 1987 ASEAN Agreement. Moreover the
situation in Singapore is different because foreign investments can be made freely there without
any requirement of approval or registration,” http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0909.pdf, diunduh terakhir tanggal 26 November 2014.
62
13
Pertimbangan tersebut tertuang dalam paragraf 41 putusan yang berbunyi, “The Court would
recall that, in accordance with customary international law, reflected in Article 31 of the 1969
Vienna Convention on the Law of Treaties, a treaty must be interpreted in good faith in
accordance with the ordinary meaning to be given to its terms in their contextand in the light of its
object and purpose. Interpretation must be based above all upon the text of the treaty. As a
supplementary measure recourse may be hati to means of interpretation such as the preparatory
work of the treaty and the circumstances of its conclusion,” Territorial Dispute (Libya/Chad),
Judgement, I.C.J. Reports 1994, http://www.icj-cij.org/docket/files/83/6897.pdf, diunduh terakhir
tanggal 26 November 2014.
14
Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina menyatakan, “A treaty shall be interpreted in good faith in
accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in
the light of its object and purpose.”
63
64
Isu hukum kedua yang menjadi pertentangan dalam kasus ini adalah
persoalan bahwa hanya penanaman modal yang dilakukan berdasarkan prosedur
yang ditetapkan BKPM yang merupakan proses yang dimaksudkan dalam frasa
“granted admission in accordance with” UU PMA. Penggugat setuju dengan
argumentasi bahwa hanya penanaman modal yang telah diberi izin (granted
admission) yang tercakup dalam lingkup BIT. Terhadap hal tersebut ada dua
perbedaan mendasar antara tafsir penggugat dan tergugat.
Pertama, Tergugat berpandangan bahwa tafsir kedua atas frasa izin “in
accordance with” UU PMA merujuk semata-mata pada penanaman modal yang
diberi izin oleh BKPM. Sebaliknya, penggugat mendasarkan dalilnya pada
ketentuan Pasal 5 UU PMA yang menyatakan bahwa pemerintah akan
menentukan bidang-bidang yang terbuka untuk penanaman modal asing serta
syarat yang mesti dipenuhi penanam modal asing pada masing-masing bidang
15
Dalam putusan kasus Desert Line tersebut dinyatakan bahwa definisi investasi adalah “every
kind of asset owned or invested by an investor of one Contracting Party, in the territory of another
Contracting Party, as an investment according to its laws and regulations, and for which an
investment certificate is issued”.
65
16
Hal ini disebutkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU PMA yang menyatakan, “Pemerintah
menetapkan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing menurut urutan
prioritas, dan menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanam modal asing dalam
tiap-tiap usaha tersebut.”
66
20
Kasus ini diputus berdasarkan BIT antara Amerika Serikat dan Estonia yang mulai berlaku pada
tanggal 16 Februari 1997. Definisi investasi diatur dalam Pasal I BIT tersebut. Alex Genin, Easter
Credit Limited, and A.S. Baltoil v. Republic of Estonia, Award of 25 June 2001, ICSID Case No.
ARB/99/2. Putusan dapat diunduh di
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC592_En&caseId=C178. Diunduh terakhir tanggal 26 November 2014.
21
Kasus tersebut diputus berdasarkan BIT antara Belanda dan Venezuela. Definisi investasi diatur
dalam ketentuan Pasal 1 huruf a BIT tersebut. Cemex Caracas Investments B.V. and Cemex
Caracas II Investments B.V. v. Bolivarian Republic of Venezuela, Decision on Jurisdiction of 30
December 2010, ICSID Case No. ARB/08/15. Putusan dapat diunduh di
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC1831_En&caseId=C420, diunduh tanggal 26 November 2014.
22
Kasus ini juga diputus berdasarkan BIT antara Belanda dan Venezuela. Mobil Corporation,
Venezuela Holdings B.V. and others v. Bolivarian Republic of Venezuela, Decision on Jurisdiction
of 10 June 2010, ICSID Case No. ARB/07/27.
23
Kasus ini diputus berdasarkan dengan BIT antara Amerika Serikat dan Argentina. Definisi
investasi diatur dalam Pasal 1 huruf a BIT tersebut. Azurix Corp. v. The Argentine Republic,
Decision on Jurisdiction of 8 December 2003, ICSID Case No. ARB/01/12. Putusan dapat diunduh
di
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC506_En&caseId=C5, diunduh tanggal 27 November 2014.
72
Mengenai isu hukum yang disebutkan dalam poin A.3 tersebut di atas,
majelis arbitrase menyatakan bahwa isu tersebut tidak relevan lagi diperdebatkan
sebab penanaman modal yang dilakukan oleh Penggugat masuk ke Indonesia
setelah melalui proses yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sehingga pertanyaan
tentang apakah yang dimaksud penanaman modal itu adalah penanaman modal
langsung, bukan penanaman modal tidak langsung ataukah penanaman modal
yang dimaksud tidak boleh dilakukan melalui negara ketiga atau perusahaan yang
didirikan di negara ketiga dikesampingkan.
74
26
Dalam kasus ini Undang-Undang Perbankan yang dirujuk adalah Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Lihat Paragraf
50 putusan.
75
27
BIT antara Indonesia dan Belanda ditandatangani pada tanggal 6 April 1994 dan mulai berlaku
pada tanggal 1 Juli 1995. Lihat
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu, diunduh pada 18
November 2014. Saat ini Indonesia telah memberitahu pemerintah Belanda bahwa pemerintah
Indonesia akan mengakhir BIT tersebut mulai 1 Juli 2015. Lihat
http://indonesia.nlembassy.org/organization/departments/economic-affairs/termination-bilateral-
investment-treaty.html, diakses pada 18 November 2014. Dalam BIT tersebut most-favoured
nation diatur dalam ketentuan Pasal 3 mengenai Treatment and Most Favoured Nations Provisions
yang selengkapnya berbunyi, “(1) Each Contracting Party shall ensure fair and equitable
treatment of the investments of nationals of the other Contracting Party and shall not impair, by
unreasonable or discriminatory measures, the operation, management, maintenance, use,
enjoyment or disposal thereof by those nationals. Each Contracting Party shall accord to such
investments adequate physical security and protection; (2) More particularly, each Contracting
Party shall accord to such investments treatment which in any case shall not be less favourable
than that accorded to investments of nationals of any third State; (3) If a Contracting Party has
accorded special advantages to nationals of any third State by virtue of agreements establishing
customs unions, economic unions, monetary unions or similar institutions, or on the basis of
interim agreements leading to such unions or institutions, that Contracting Party shall not be
obliged to accord such advantages to nationals of the other Contracting Party; (4) Each
Contracting Party shall observe any obligation it may have entered into with regard to
77
33
BIT antara Indonesia dan Singapura, Agreement between the Government of the Republic of
Singapore and the Government of the Republic of Indonesia on the Promotion and Protection of
Investments ditandatangani pada tanggal 16 Februari 2005 dan mulai berlaku pada tanggal 21 Juni
2006.
79
34
Pasal 2 ayat (2) BIT Indonesia-Inggris selengkapnya berbunyi, “In the event of the law of United
Kingdom making provisions regarding the admission of foreign investment, investments by
nationals or companies of the Republic of Indonesia in the territory of the United Kingdom made
after the entry into of force of such provisions shall only enjoy protection under this Agreement if
they have been admitted in accordance with such provisions.”
80
81
“The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising
directly out of an investment, between a Contracting State (or any
constituent subdivision or agency of a Contracting State designated to the
Centre by that State) and a national of another Contracting State, which
the parties to the dispute consent in writing to submit to the Centre. When
the parties have given their consent, no party may withdraw its consent
unilaterally.”
83
38
Dalam BIT Indonesia-Inggris definisi penanaman modal tertuang dalam ketentuanPasal 1 huruf
a yang berbunyi, “For the purpose of this Agreement: (a) ‘investment’ means every kind of asset
and in particular, though not exclusively, includes: (i) movable and immovable property and any
other property rights such as mortgages, liens or pledges; (ii) shares, stock and debentures of
companies wherever incorporated or interests in the property of such companies; (iii) claims to
money or to any performance under contract having a financial value; (iv) intellectual property
rights and goodwill ; (v) business concessions conferred by law or under contract, including
concessions to search for, cultivate, extract or exploit natural resources.
39
Ibid., hlm. 117.
40
Ibid., hlm. 145.
41
Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang
Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal.
Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara
Asing mengenai Penanaman Modal, UU No. 5 Tahun 1968, LN No. 32. Konvensi tersebut mulai
berlaku di Indonesia tanggal 28 Oktober 1968. Di Inggris Konvensi ICSID mulai berlaku tanggal
18 Januari 1967,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDDocRH&actionVal=ShowDo
cument&language=English, diunduh tanggal 8 Desember 2014.
84
42
Christoph H. Schreuer, et.al., op.cit., hlm. 149.
85
Harus ada persetujuan dari para pihak yang bersengketa untuk menyerahkan
penyelesaian atas sengketa yang terjadi di antara mereka ke forum arbitrase ICSID
dan persetujuan itu harus dalam bentuk persetujuan tertulis. Kesepakatan ini bisa
tertuang dalam perjanjian.43 Dalam kasus aquo, dasar hukum penyelesaian
sengketa melalui ICSID adalah ketentuan Pasal 7 ayat (1) BIT Indonesia-Inggris.
Unsur kesembilan (when the parties have given their consent, no party
may withdraw its consent unilaterally) diturunkan dari prinsip pacta sunt
servanda yang menegaskan bahwa para pihak tidak bisa menarik diri atau
mengesampingkan kesepakatan yang telah dicapai, dalam hal ini kesepakatan
untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ke dalam yurisdiksi ICSID.
Penghargaan terhadap kesepakatan yang telah dicapai juga ditegaskan dalam
pembukaan Konvensi ICSID yang berbunyi:44
“Recognizing that mutual consent by the parties to submit such disputes to
conciliation or to arbitration through such facilities constitutes a binding
agreement which requires in particular that due consideration be given to
any recommendation of conciliators, and that any arbitral award be
complied with.”
43
Ibid., hlm. 190.
44
Ibid., hlm. 254.
86
87
A. Penafsiran Perjanjian
Putusan yang menjadi bahan kajian dalam tesis ini adalah putusan
mengenai kewenangan Majelis Arbitrase (Award on Jurisdiction). Putusan kasus
ini menyatakan bahwa Majelis Arbitrase tidak berwenang mengadili perkara
sebab syarat masuknya penanaman modal sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 2 ayat (1) BIT antara Indonesia dan Inggris tidak terpenuhi. Dengan kata
lain tata cara masuknya penanaman modal (admission) yang merupakan salah satu
syarat yang harus ada dalam kegiatan penanaman modal tidak terpenuhi. Putusan
ini diambil oleh Majelis setelah menafsirkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT.
Pembahasan pada bab ini akan difokuskan pada tafsir Majelis Arbitrase mengenai
ketentuan tersebut dengan mengulasnya dari sudut penafsiran perjanjian dalam
pengertian operative interpretation sebagaimana yang tertuang dalam putusan-
putusan ICSID yang menafsirkan ketentuan BIT yang serupa dengan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) BIT Indonesia dan Inggris.
Perbedaan tafsir1 atas ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT ini memang menjadi
pokok sengketa dalam perkara tersebut. Baik pihak Penggugat maupun Tergugat
menghadirkan tafsir yang berbeda atas ketentuan ini.2 Masing-masing tafsir yang
diajukan para pihak tentu dipahami sebagai dalil untuk menguatkan posisi
masing-masing.
Dalam menafsirkan ketentuan tersebut, Majelis Arbitrase secara jelas
merujuk pada ketentuan Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina yang juga digunakan
1
Sebagian besar sengketa yang diajukan ke pengadilan internasional menyangkut persoalan yang
terkait dengan penafsiran perjanjian. Seberapa hati-hati pun sebuah perjanjian dirumuskan dan
seberapa baik pun pengalaman mereka yang merumuskannya, tidak ada perjanjian yang tidak
menimbulkan persoalan penafsiran, Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), hlm.184.
2
Tafsir yang berbeda-beda dari masing-masing pihak atas ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT tersebut
dituangkan dalam paragraf 52 putusan.
88
3
Dalam kasus Libya v. Chad tersebut ICJ menyatakan bahwa prinsip-prinsip penafsiran perjanjian
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina merupakan hukum kebiasaan
internasional. Lihat Anthony Aust, op.cit., hlm. 186. Putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi
ICJ dalam hal penafsiran perjanjian, Oliver Dörr dan Kirsten Schmalenbach, eds., Vienna
Convention on the Law of Treaties. A Commentary, (Heidelberg: Springer, 2012), hlm. 542.
4
Lihat paragraf 64 dan 65 putusan Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia.
5
Oliver Dörr dan Kirsten Schmalenbach, eds., op.cit., hlm. 541.
89
6
Pasal 26 Konvensi Wina berada di bawah judul Pacta Sunt Servanda. Pasal tersebut berbunyi,
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good
faith.”
7
Anthony Aust, op.cit., hlm. 187.
8
Ibid., hlm. 188.
9
Oliver Dörr and..., eds., loc.cit.
10
Christoph Schreuer, “Diversity and harmonization of Treaty Interpretation in Investment
Arbitration”,http://www.univie.ac.at/intlaw/wordpress/pdf/diversity_harmoniz_neu.pdf, diunduh
29 November 2014.
90
11
Siemens v Argentina, Decision on Jurisdiction, 3 August 2004. Putusan dapat diunduh di
http://www.italaw.com.cases/10, diunduh tanggal 29 November 2014.
12
AAPL v Sri Lanka. Final Award, 27 June 1990, http://italaw.com/documents/AsianAgriculture-
Award.pdf, diunduh tanggal 1 Desember 2014.
13
Putusan lainnya yang juga merujuk pada ketentuan Pasal 31 Konvensi Wina yakni putusan
Enron v. Argentina, Decision on Jurisdiction (Ancilliary Claim), 2 August 2004, para. 32; Salini v.
Jordan, Decision on Jurisdicion, 29 November 2004, para. 75; Plama v. Bulgaria, Decision on
Jurisdiction, 8 February 2005, paras. 117, 147-165; Sempra Energy Intnl. v. Argentina, Decision
on Jurisdiction, 11 May 2005, para. 141; Camuzzi v. Argentina, Decision on Jurisdiction, 11 May
2005, para. 133; Methanex v. United States, Award, 3 Agustus 2005, Part II, Chapter B, paras. 15-
23, Part IV, Chapter B, para. 29; Eureko v. Poland, Partial Award, 19 August 2005, para. 247;
Aguas del Tunari, S.A. v. Bolivia, Decision on Jurisdiction, 21 October 2005, paras. 88-93, 226,
230, 239; National Grid v. Argentine Republic, Decision on Jurisdiction, 20 June 2006, paras. 51,
80; Canfor v. United States, Tembec v. United States, Terminal Forest Product v. United States,
Order of the Consolidation Tribunal, 7 September 2005, paras. 59, 86, 95, 113; Bogdanov v.
Moldova, Award, 22 September 2005, section 4.2.4; Saluka v. Czech Republic, Partial Award, 17
March 2006, para. 296 dst; Suez v. Argentina, Decision on Jurisdiction, 16 May 2006, ICSID Case
No. ARB/03/17, para. 54; Azurix v. Argentina, Award, 14 July 2006, paras. 307, 360, 391. Lihat
Christoph Schreuer, loc. cit., catatan kaki no. 2. Putusan-putusan tersebut dapat diunduh di
91
Dalam perkara Rafat Ali Rizvi ini pun Majelis Arbitrase telah menentukan
aturan penafsiran (rules of interpretation) yang disepakati yakni berdasarkan
ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 Konvensi Wina. Indonesia bukan merupakan
negara pihak Konvensi Wina, namun sepakat bahwa Konvensi Wina merupakan
hukum kebiasaan internasional dalam hal penafsiran perjanjian (customary
international law of treaty interpretation). Aturan inilah yang disepakati oleh
majelis arbitrase dalam menafsirkan ketentuan BIT yang menjadi pokok sengketa.
Paragraf 41 putusan menyatakan:15
“41. Indonesia is not a party to the Vienna Convention on the Law of
Treaties (VCLT). Nonetheless, the Parties agree that Articles 31 and 32 of
the VCLT reflect customary international law. The Tribunal applies those
provisions in these proceedings.”
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&reqFrom=Main&actionV
al=OnlineAward atau http://italaw.com/.
14
MTD v Chile, ICSID Case No. ARB/01/7, Award of 25 May 2004,
http://italaw.com/documents/MTD-Award_000.pdf, diunduh tanggal 1 Desember 2014.
15
Lihat paragraf 41 putusan.
16
Tokios Tokeles v. Ukraine, Decision on Jurisdiction, 29 April 2004,
http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0863.pdf, diunduh tanggal 29
November 2014.
92
Terhadap lima isu hukum yang dijawab dalam putusan secara singkat
dapat dijabarkan bahwa Majelis Arbitrase pada dasarnya berpendapat bahwa
penanaman modal yang dilakukan Penggugat harus memenuhi syarat yang
ditentukan berdasarkan UU PMA. UU PMA disebutkan secara spesifik dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT. Hal ini berbeda dengan apabila BIT tidak merujuk
secara spesifik kepada undang-undang tertentu sebab bila demikian maka
dimungkinkan adanya tafsir bahwa penanaman modal itu diberi izin apabila
penanaman modal itu dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di dalam negara penerima penanaman modal sebagaimana didalilkan
Penggugat dalam perkara ini. Dengan kata lain makna ketentuan Pasal 2 ayat (1)
BIT tersebut adalah bahwa masuknya penanaman modal itu harus sesuai dengan
UU PMA, tidak sekedar sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT pada dasarnya mengatur masalah syarat
masuknya penanaman modal (admission). Dalam penanaman modal, syarat masuk
ini merupakan hal yang mendasar sebab terpenuhi atau tidaknya syarat yang telah
ditentukan akan menentukan berwenang atau tidaknya Majelis Arbitrase dalam
memutus perkara. Apabila Majelis menyatakan tidak berwenang maka pokok
perkara tidak akan diperiksa.17
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam perkara ini Majelis
Arbitrase berpandangan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT mengatur prosedur
pemberian izin penanaman modal berdasarkan undang-undang yang disebut
secara spesifik yakni UU PMA. Apabila proses masuknya penanaman modal
asing dilakukan berdasarkan UU PMA, maka berarti masuknya penanaman modal
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT dan oleh karena itu berada
dalam cakupan BIT sehingga harus dilindungi.
17
Lihat Zachary Douglas, International Law of Investment Claims, (Cambrigde: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 134.
93
Dalam BIT tersebut selain merujuk pada UU No. 1 Tahun 1967 juga merujuk
pada peraturan perundang-undangan lain yang relevan.
Rumusan kalimat yang sedikit berbeda terdapat dalam BIT antara
Indonesia dan India. Pasal 2 BIT tersebut menyebutkan:20
18
Ketentuan mengenai hal tersebut dengan rumusan kalimat yang sama dapat ditemukan dalam
BIT antara Indonesia dengan negara-negara: Australia (Pasal 3 ayat (1) huruf a), Cili (Pasal 2 ayat
(1), Bangladesh (Pasal X), Kamboja (Pasal X), Cina (Pasal 3), Kuba (Pasal X), Ceko (Pasal 10),
Mesir (Pasal 10), Finlandia (Pasal XII), Hongaria (Pasal 3), Yordania (Pasal X), Korea (Pasal 3),
Kirgistan (Pasal 10), Laos (Pasal X), Malaysia (Pasal X), Mongolia (Pasal X), Mozambik (Pasal
XI), Pakistan (Pasal X), Rumania (Pasal 3 ayat (1)), Singapura (Pasal X huruf b), Slovakia (Pasal
X), Spanyol (Pasal 3), Sri Lanka (Pasal X), Swedia (Pasal 10), Syria (Pasal X), Turki (Pasal X),
Ukraina (Pasal X), Uzbekistan (Pasal X), Vietnam (Pasal 3 ayat (3)) dan Yaman (Pasal X). Naskah
BIT tersebut masing-masing dapat diunduh di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu, diunduh tanggal 4
Desember 2014.
19
UNCTAD, Agreement Between the Kingdom of Belgium and the Republic of Indonesia on the
Encouragement and Reciprocal Protection of Investments,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/370, diunduh tanggal 3 Desember
2014.
20
UNCTAD, Agreement Between the Governent of the Republic of Indonesia and the Government
of the Republic of India for the Promotion and Protection of Investments,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1563, diunduh terakhir tanggal 3
Desember 2014.
94
BIT tersebut menggunakan frasa “accepted as such in accordance with its laws
and regulations in force concerning foreign investments” yang merujuk pada
peraturan perundang-undangan mengenai penanaman modal asing meskipun tidak
menyebutkan secara spesifik peraturan perundang-undangan yang mana yang
dimaksudkan. Rumusan dalam BIT tersebut serupa dengan rumusan dalam BIT
antara Indonesia dengan Maroko21 serta Indonesia dengan Thailand.22
Rumusan yang berbeda ditemukan dalam BIT antara Indonesia dan
Jerman. Dalam BIT tersebut tidak ditemukan ketentuan yang jelas tentang
cakupan penanaman modal yang merujuk pada UU PMA ataupun peraturan
perundang-undangan yang lain. Cakupan keberlakuan BIT disebutkan dalam
ketentuan Pasal 8 khususnya ayat (2) yang menyatakan:23
“In respect of the Republic of Indonesia the present Agreement shall
apply to investments made prior to its entry into force by nationals or
companies of the Federal Republic of Germany only if a document of
admission is granted on application. The Government of the Republic of
Indonesia shall accord sympathetic consideration to such applications.”
21
Pasal X ayat (1) BIT Indonesia-Maroko menyatakan, “This Agreement shall apply to investments
by investors of the Republic of Indonesia in the territory of the Kingdom of Morocco which have
been previously granted admission in accordance with the law concerning foreign investment and
any law amending or replacing it, and to investments by investors of the Kingdom of Morocco in
the territory of the Republic of Indonesia which have been granted admission in accordance with
the Law concerning Foreign Investment and any law amending or replacing it”,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1627, diunduh tanggal 4 Desember
2014.
22
Pasal 2 ayat (1) BIT Indonesia-Thailand berbunyi, “This Agreement shall apply to investments
by investors of the Kingdom of Thailand in the territory of the Republic of Indonesia which have
been previously granted admission in accordance with the Indonesian law on foreign investment
and any law amending or replacing it,...”,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1642, diunduh tanggal 4 Desember
2014.
23
UNCTAD, http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1341, diunduh tanggal
4 Desember 2014.
95
24
Berdasarkan data UNCTAD, saat ini Indonesia menjadi pihak pada 47 BIT yang masih berlaku
yakni BIT Indonesia-Argentina, BIT Indonesia-Australia, BIT Indonesia-Bangladesh, BIT Indonesia-
Bleu (Belgium Luxembourg Economic Union), BIT Indonesia-Cili, BIT Indonesia-Tiongkok, BIT
Indonesia-Kuba, BIT Indonesia-Ceko, BIT Indonesia-Denmark, BIT Indonesia Mesir, BIT Indonesia-
Finlandia, BIT Indonesia-Prancis, BIT Indonesia-Jerman, BIT Indonesia-Hongaria, BIT Indonesia-
India, BIT Indonesia-Iran, BIT Indonesia-Italia, BIT Indonesia-Yordania, BIT Indonesia-Korea, BIT
Indonesia-Kirgistan, BIT Indonesia-Laos, BIT Indonesia-Malaysia, BIT Indonesia-Mongolia,
Indonesia-Maroko, BIT Indonesia-Mozambiq, BIT Indonesia-Belanda, BIT Indonesia-Pakistan, BIT
Indonesia-Polandia, BIT Indonesia-Rumania, BIT Indonesia-Rusia, BIT Indonesia-Arab Saudi, BIT
Indonesia-Singapura, BIT Indonesia-Slovakia, BIT Indonesia-Spanyol, BIT Indonesia-Sri Lanka, BIT
Indonesia-Swedia, BIT Indonesia-Swiss, BIT Indonesia-Syria, BIT Indonesia-Thailand, BIT
Indonesia-Tunisia, BIT Indonesia-Turki, BIT Indonesia-Ukraina, BIT Indonesia-Inggris, BIT
Indonesia-Uzbekistan, BIT Indonesia Venezuela, dan BIT Indonesia-Vietnam,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu, diunduh tanggal 4
Desember 2014.
96
97
Dalam kasus Rafat Ali Rizvi, persoalan pokoknya adalah pada penafsiran
atas frasa “granted admission in accordance with” dalam ketentuan Pasal 2 ayat
(1) BIT. Pasal 2 BIT Indonesia-Inggris mengatur mengenai cakupan perjanjian
(scope of agreement) di mana salah satu ketentuan di dalamnya adalah ayat (1)
yang mengatur bahwa penanaman modal yang berada dalam cakupan perjanjian
ini adalah penanaman modal yang telah diberi izin masuk sesuai dengan UU
PMA.
Dalam perjanjian penanaman modal, ketentuan yang demikian pada
dasarnya mempersyaratkan legalitas sebuah penanaman modal yang harus
dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam negeri negara
penerima penanaman modal. Adanya ketentuan demikian dalam sebuah perjanjian
menunjukkan bahwa syarat legalitas merupakan prasyarat adanya yurisdiksi
majelis arbitrase memeriksa perkara.27 Dalam kasus Rafat Ali Rizvi, undang-
undang yang dirujuk disebutkan secara spesifik yakni UU PMA.
27
Rahim Moloo dan Alex Khachaturian, “The Compliance with the Law Requirement in
International Investment Law”, Fordham International Law Journal, June, 2011, 34 Fordham Int'l
L.J. 1473.
98
28
Fraport AG Frankfurt Airport Services Worldwide v.Republic of the Philippines., ICSID Case
No. ARB/03/25, Award, 16 August 2007, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0340.pdf, diunduh tanggal 8 Desember 2014.
29
Paragraf 84 putusan tersebut menyatakan, “The requirement in Article 1(1) of the Ukraine-
Lithuania BIT that investments be made in compliance with the laws and regulations of the host
state is a common requirement in modern BITs, Tokios Tokeles v. Ukraine, ICSID Case No.
ARB/02/18, Decision on Jurisdiction, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0863.pdf, diunduh tanggal 8 Desember 2014.
99
30
Pendapat majelis arbitrase tersebut tertuang dalam paragraf 195 putusan yang berbunyi, “The
above communication indicates, without any doubt, that the will of the parties to the BIT was to
exclude from the scope of application and protection of the Agreement disputes originating from
investments which were not made in accordance with the laws of the host State,” Inceysa
Vallisoletana, S.L. v. Republic of El Salvador, ICSID Case No. ARB/03/26, Award, 2 August
2006, http://italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0424_0.pdf, diunduh tanggal 8
Desember 2014.
31
Christoph Schreuer, “Jurisdiction and Applicable Law in Investment Treaty Arbitration”, McGill
Journal of Dispute Resolution, Volume 1:1, 2014,
http://www.univie.ac.at/intlaw/wordpress/pdf/0101001_Schreuer_Jurisdiction-and-Applicable-
Law-in-Investment-Treaty-Arbitration.pdf, diunduh tanggal 8 Desember 2014.
32
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, Third Edition, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), hlm. 318.
100
“The Tribunal cannot follow the Kingdom of Morocco in its view that
paragraph 1 of Article 1 refers to the law of the host State for the
definition of "investment". In focusing on "the categories of invested
assets ( ... ) in accordance with the laws and regulations of the
aforementioned party," this provision refers to the validity of the
investment and not to its definition. More specifically, it seeks to prevent
the Bilateral Treaty from protecting investments that should not be
protected, particularly because they would be illegal.”
Maksud lainnya terkait dengan pembangunan ekonomi suatu negara. Dengan frasa
tersebut negara ingin memastikan bahwa hanya penanaman modal yang akan
memajukan pembangunan ekonomi dan kepentingannya yang akan masuk ke
negara tersebut.35
Namun dalam praktek juga majelis arbitase menolak memberikan
perlindungan terhadap penanaman modal yang bertentangan dengan hukum dalam
negeri negara penerima penanaman modal meskipun dalam BIT yang menjadi
dasar penyelesaian sengketa tidak terdapat frasa “in accordance with host state
law.36 Pendapat demikian misalnya dapat dilihat dalam perkara Palma v. Bulgaria
yang diputus berdasarkan Energy Charter Treaty (ECT) yang di dalamnya tidak
terdapat frasa “in accordance with host state law”. Dalam kasus tersebut majelis
arbitrase memutuskan bahwa keberadaan frasa yang demikian bukan merupakan
prasyarat mutlak bagi majelis untuk memberikan perlindungan terhadap
33
Ursula Kriebaum, “Investment Arbitration: Illegal Investments”,
http:llwww.yale.edu/documents/pdf/sela/Kriebaum_Illegal_investments.pdf, diunduh tanggal 5
Desember 2014.
34
Salini Costruttori S.P.A. and Italstrade S.P.A. v. Kingdom of Morocco, ICSID Case No.
ARB/00/4, Decision on Jurisdiction, 23 July 2001, http://www.italaw.com/cases/documents/959,
diunduh tanggal 9 Desember 2014.
35
M. Sornarajah, op.cit., hlm. 317.
36
Ursula Krienbaum, loc.cit.
101
37
Ibid.
38
Plama Consortium Limited v. Bulgaria, ICSID Case No. ARB/03/24, Award, 27 August 2008.
Putusan dapat diunduh di http://ita.law.uvic.ca/documents/PlamaBulgariaAward.pdf, diunduh
tanggal 9 Desember 2014.
39
Rahim Moloo dan Alex Khachaturian, loc.cit
40
Ibid.
102
41
Stephen W. Schill, “Illegal Investments in International Arbitration”,
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1979734&download=yes, diunduh tanggal 9
Desember 2014.
42
Christoph Schreuer, loc.cit.
43
Rumeli Telekom A.S. and Telsim Mobil Telekomikasyon Hizmetleri A.S v. Republic of
Kazakhstan, ICSID Case No. ARB/05/16, Award, 29 July 2008,
http://italaw.com/documents/Telsimaward.pdf, diunduh tanggal 11 Desember 2014.
103
44
Mr. Saba Fakes v. Republic of Turkey, ICSID Case No. AR B/07/20, Award, 14 July 2010,
http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0314.pdf, diunduh 11 Desember
2014.
104
“175. The Tribunal first observes that, although thr Respondent contends
that the Claimants’ investment was “executed and/or managed” contrary
to the Slovak Republic’s laws, its complaints relate primarily to the
Claimants’ conduct after the investment has been made, i.e., the
Respondent argues that “BCT in the long run breached its duty to pay
taxes”, that the Claimants did not respect their “obligations resulting from
their financial situation” but rather “intentionally misled the tax
authority” and thus breached their obligation to manage BCT with due
care as required by the Respondent’s Commercial Code.
176. These allegations relating to the management of the investment
during the course of the project are matters for the merits. They have no
impact on the Tribunal’s jurisdiction, which merely requires the
investment to be legal. The rationale behind this requirement is that illegal
investments, made contrary to the applicable local laws or, for example,
through the exercise of fraud, have to be disqualified from the protection
of the BIT already at the jurisdictional stage.”
45
Jan Oostergetel and Theodora Laurentius v The Slovak Republic, Decision on Jurisdiction, 30
April 2010, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita1073_0.pdf, diunduh
tanggal 11 Desember 2014.
105
106
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pokok sengketa dalam perkara Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia
terletak pada proses masuknya penanaman modal yang dilakukan oleh
Penggugat. Proses masuknya penanaman modal asing di Indonesia diatur
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT Indonesia-Inggris mengenai cakupan
perjanjian. Frasa yang menjadi pokok sengketa adalah, “granted admission in
accordance with the Foreign Capital Investment Law No. 1 of 1967...”. Majelis
Arbitrase berpendapat bahwa penanaman modal yang dilakukan Rafat Ali
Rizvi tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh UU PMA sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT. Penanaman modal yang tidak
dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT tidak termasuk dalam
cakupan BIT. Tidak terpenuhinya admission process penanaman modal
tersebut menimbulkan masalah yurisdiksi. Dalam putusannya, Majelis
Arbitrase menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara tersebut.
107
B. Saran
1. Indonesia merupakan negara pihak pada Konvensi ICSID serta juga menjadi
pihak pada banyak BIT. Sengketa di bidang penanaman modal mejadi sebuah
keniscayaan yang dapat dihadapi Indonesia di forum arbitrase internasional
khususnya yang berada di bawah yurisdiksi ICSID. BIT selalu menjadi dasar
penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, semua BIT di mana Indonesia menjadi
pihak perlu dikaji kembali untuk kemudian meneliti setiap ketentuan di
dalamnya. Ketentuan-ketentuan BIT tersebut dapat dipilah dalam dua kategori.
Kategori pertama berisi ketentuan yang dapat menjawab pertanyaan tentang
masalah yurisdiksi ICSID bila terjadi sengketa. Kategori kedua berisi ketentuan
yang dapat menjawab pertanyaan tentang pokok perkara yang mungkin
menjadi isu dalam sengketa penanaman modal.
108
109
Buku:
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Edisis
Ke-2 Revisi. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011.
Aust, Anthony. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge: Cambridge University
Press, 2000.
Boudreaux, Donald J.. Globalization. Westport: Greenwood Press, 2008.
Dörr, Oliver and Kirsten Schmalenbach. Eds. Vienna Convention on the Law of
Treaties. A Commentary. Heidelberg: Springer, 2012.
Douglas, Zachary. International Law of Investment Claims. Cambrigde: Cambridge
University Press, 2009.
Dworkin, Ronald. Law’s Empire. Cambridge, Massachussets, London, England: The
Belknap Press of Harvard University Press, 1986.
Faindez, Julio dan Celine Tan. ed. International Economic Law, Globalization and
Developing Countries. Cheltenham: Edward Elgar, 2010.
Fitzmaurice, Malgosia Olufemi Elias, Panos Merkourishal, eds. Treaty Interpretation
and the Vienna Convention on the Law of Treaties: 30 Years on. Leiden:
Martinus Nijhoff Publishers, 2010.
Harahap,Yahya M. Arbitrase. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Jonge, Alice de. Transnational Corporations and International Law. Accountability
in the Global Business Environment. Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2011.
Linderfalk, Ulf On The Interpretation of Treaties. The Modern International Law as
Expressed in the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, Netherland:
Springer, 2007.
Miles, Kate. The Origins of International Investment Law. Empire, Environment and
the Safeguarding of Capital. Cambridge: Cambridge University Press, 2013.
Muchlinski, P.T. Multinational Enterprises and the Law. Oxford: Blackwell, 1999.
OECD. OECD Benchmark Definition of Foreign Direct Investment. Fourth Edition.
USA: OECD, 2008.
--------. International Investment Law. Understanding Concepts and Tracking
Innovations. USA: OECD, 2008.
--------. International Investment Perspectives. Paris, France: OECD Publishing,
2006.
Pompe, Sebastian. Et. al., ed., Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal. Jakarta: NLRP,
2010.
110
111
Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia. Undang-Undang Penanaman Modal. UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 67,
TLN No. 4724.
------------. Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU No.
30 Tahun 1999, LN No. 138, TLN No. 3872.
------------. Undang-Undang Penanaman Modal Asing, UU No. 1 Tahun 1967, LN
No. 1 Tahun 1967, TLN No. 2818.
------------. Undang-Undang Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992, LN No. 31 Tahun
1992, TLN No. 3473.
------------. Undang-Undang Pokok-Pokok Perbankan, UU No. 14 Tahun 1967, LN
No. 34 Tahun 1967, TLN No. 2842.
------------. Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No.
3790.
112
113
114
115
Internet:
BKPM. “Press Release Realisasi Penanaman Modal PMDN-PMA Triwulan III dan
Januari – September Tahun 2012”, Jakarta, 22 Oktober 2012. www.bkpm.go.id,
diakses 25 Oktober 2012.
Hansen, Henrik and John Rand. “On the Causal Links between FDI and Growth in
Developing Countries”. http://www.econ.ku.dk/wpa/pink/2004/0430.pdf,
diunduh tanggal 14 April 2014.
116
117
118
119