Anda di halaman 1dari 132

UNIVERSITAS INDONESIA

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL


BERDASARKAN BILATERAL INVESTMENT TREATY
MELALUI ARBITRASE INTERNATIONAL CENTRE FOR
SETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTES
(Studi Kasus Sengketa Penanaman Modal
Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia)

TESIS

Helmi Kasim
1206183312

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER PASCA SARJANA

JAKARTA
2015

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


UNIVERSITAS INDONESIA

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL


BERDASARKAN BILATERAL INVESTMENT TREATY
MELALUI ARBITRASE INTERNATIONAL CENTRE FOR
SETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTES
(Studi Kasus Sengketa Penanaman Modal
Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia)

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum (M.H.)

Helmi Kasim
1206183312

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER PASCASARJANA

JAKARTA
2015

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015
Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas


limpahan rahmat, hidayah, petunjuk dan bimbingan serta ridhaNya penulis dapat
menyelesaikan tesis ini sebagai akhir dari proses studi magister penulis pada program
Magister Hukum, kekhususan Hukum Ekonomi, Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Pilihan topik yang penulis hadirkan dalam tesis ini merupakan refleksi dari
ketertarikan penulis atas persoalan hukum penanaman modal khususnya penyelesaian
sengketa penanaman modal dalam forum arbitrase internasional. Posisi Indonesia
sebagai negara berkembag dengan jumlah penduduk yang besar serta kekayaan alam
berlimpah menjadi Indonesia sebagai magnet bagi negara-negara pengekspor modal
(capital exporting countries) untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebagai
negara berkembang, Indonesia pun berkepentingan terhadap penanaman modal asing
sebagai salah satu cara untuk membangun perekonomian dalam negeri. Dalam tahap
ini perlu terbangun hubungan saling membutuhkan antara negara penerima
penanaman modal (host country) dan investor asing.
Salah satu perhatian investor dalam melakukan penanaman modal adalah
perlindungan atas penanaman modal yang mereka lakukan mengingat penanaman
modal ini terkadang dilakukan di negara dengan rezim hukum yang berbeda. Salah
satu cara melindungi penanaman modal yang mereka lakukan adalah dengan
membuat perjanjian yang memuat berbagai macam ketentuan tentang penanaman
modal di antaranya perlindungan penanaman modal. Perjanjian penanaman modal
lazim dilakukan antara dua negara secara bilateral yang disebut dengan Bilateral
Investment Treaty (BIT). Di dalam perjanjian penanaman modal ini diatur kewajiban
atas perlindunga terhadap penanaman modal. Perjanjian penanaman modal juga
mengatur mekanisme penyelesaian sengketa yang biasanya dilakukan melalui
arbitrase internasional.
Penyelesaian sengketa penanaman modal berdasarkan BIT yangterjadi antara
negara dan penanam modal dilakukan melalui arbitrase yang dbentuk berdasarkan
yurisdiksi International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID).

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


ICSID merupakan lembaga yang berada di bawah naungan Bank Dunia yang
dibentuk berdasarkan Convention on the Settlement of Investment Disputes Between
States and Nationals of Another State (ICSID Convention) atau Konvensi ICSID.
Dalam menyelesaika sengketa, Majelis Arbitrase akan menafsirkan ketentuan BIT
yang menjadi dasar penyelesaian sengketa yang diajukan para pihak.
Salah satu kasus yang terjadi adalah sengketa antara Rafat Ali Rizvi melawan
Republik Indonesia yang menjadi pokok bahasan ddalam tesis ini. Dalam putusannya,
Majelis Arbitrase menyatakan tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut sehingga
pemeriksaan tidak memasuki pokok perkara. Putusan ini tentu merupakan
kemenangan bagi Indonesia. Oleh karena itu, penulis menganggap sangat penting
memahami pokok sengketa dalam perkara tersebut serta pendapat Majelis Arbirase
dalam putusan sebagai salah satu rujukan yang dapat digunakan apabila Indonesia
menghadapi kasus serupa di masa yang akan datang.
Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala
kemudahan yang diberikan selama proses studi dan penyelesaian tesis ini. Penulisan
tesis ini juga dapat terlaksana atas dukungan berbagai pihak.
Terima kasih tak terhingga Penulis haturkan kepada Ibunda tercinta Kasia
yang telah menunjukkan keindahan hidup, yang dengan kesabaran tak bertepi
membesarkan penulis sampai pada titik ini dalam hidup, yang selalu menasehati
untuk selalu bersabar dalam menghadapi semua tantangan. Menjadi lentera dalam
perjalanan karir dan studi penulis. Kepada Ayahanda La Ima (alm.) yang tak pernah
lelah menyemangati, yang telah menunjukkan wujud sabar yang sesungguhnya, yang
telah mengajarkan nilai-nilai keikhlasan kepada penulis. Teriring doa semoga Allah
SWT menganugerahkan tempat terbaik untuk ayahanda di sisiNya.
Untuk anakku Zaydan Aqila Yafi, yang hadir ke bumi bertepatan dengan
masa-masa awal penulis menempuh studi. Keberadaan, keceriaan anakku adalah
penghapus letih. Mimpi-mimpi untuk anakku adalah dorongan dan semangat yang tak
pernah padam untuk selalu melakukan yang terbaik. Besarkan hatimu anakku,
besarkan jiwamu, besarkan pikiranmu, besarkan ragamu, besarkan hidupmu. Ayah
akan selalu ada untukmu.

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Untuk saudara-saudaraku Kakanda Mira (alm.), kakanda Salmi, adik-adikku
Lukman, Damril, Dulfi Sawal Kasim atas semua dorongan, dukungan dan kasih
penulisng yang tak pernah putus untuk penulis.
Kepada pimpinan Mahkamah Konstitusi, para Hakim Konstitusi, Pimpinan
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi atas semua dukungan
baik moril maupun materiil, atas semua pengertian dan kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk menyelesaikan studi di tengah-tengah menjalankan tugas.
Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat menjadi sumbangsih
penulis terhadap perkembangan ilmu hukum khususnya di bidang penyelesaian
sengketa penanaman modal dan dapat membawa manfaat baik bagi penulis sendiri,
para pelajar dan sarjana hukum serta bangsa dan negara.

Jakarta, 13 Januari 2015

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015
ABSTRAK

Nama : Helmi Kasim


NPM : 1206183312
Program Studi : Pasca Sarjana Hukum Ekonomi
Fakultas : Hukum
Judul : Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Berdasarkan
Bilateral Investment Treaty Melalui Arbitrase International
Centre for the Settlement of Investment Dispute (Studi Kasus
Sengketa Penanaman Modal antara Rafat Ali Rizvi melawan
Republik Indonesia)

Tesis ini mengkaji putusan ICSID dalam sengketa antara Rafat Ali Rizvi
melawan Republik Indonesia yang diputus berdasarkan Bilateral Investment Treaty
(“BIT”) antara negara Indonesia dan negara Inggris, Agreement between the
Government of United Kingdom and Northern Ireland and the Government of the
Republic of Indonesia for the Promotion and Protection of Investments, yang
ditandatangani pada tanggal 27 April 1976 dan mulai berlaku tanggal 24 Maret 1977.
Permasalahan utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah (i) apakah yang
menjadi pokok sengketa antara Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia dan (ii)
bagaimana pendapat majelis arbitrase ICSID yang memeriksa dan mengadili perkara
tersebut dikaitkan dengan penafsiran atas ketentuan BIT dalam sengketa penanaman
modal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum
normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pokok sengketa yang terjadi adalah
masalah proses dan prosedur masuknya penanaman modal asing (admission process)
yang harus dilalui investor berdasarkan BIT. Proses tersebut menentukan legalitas
penanaman modal yang dilakukan. Tidak terpenuhinya admission process tersebut
menjadikan Majelis Arbitrase ICSID tidak memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan
mengadili sengketa tersebut sehingga pokok perkara tidak dapat diperiksa. Penafsiran
atas ketentuan-ketentuan dalam BIT utamanya menggunakan Pasal 31 ayat (1)
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, khususnya penafsiran berdasarkan
makna biasa dari rumusan ketentuan BIT. Kajian tesis ini menyimpulkan bahwa
penanaman modal yang dilakukan Penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat
(1) BIT mengenai admission process sehingga Majelis Arbitrase menyatakan tidak
memiliki yurisdiksi untuk memeriksa perkara tersebut. Majelis Arbitrase menafsirkan
frasa “granted admission in accordance with” dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT
antara Indonesia dan Inggris berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang hukum
perjanjian khususnya Pasal 31 ayat (1). Penggunaan aturan penafsiran tersebut juga
ditemukan dalam putusan-putusan ICSID lainnya yang menafsrikan ketentuan BIT
yang serupa dengan ketentuan BIT antara Indonesia dan Inggris.

Kata Kunci:

Penanaman Modal, BIT, Penyelesaian Sengketa, ICSID

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


ABSTRACT

Name : Helmi Kasim


NPM : 1206183312
Study Program : Postgraduate Program, University of Indonesia
Faculty : Law
Department : Economic Law
Title : Settlement of Investment Dispute Based on Bilateral Investment
Treaty through the Arbitration of the International Centre for
Settlement of Investment Disputes (A Study on the Investment
Disputes Case between Rafat Ali Rizvi Versus Republic of
Indonesia)

This thesis analyzes the decision of ICSID tribunal in the case between Rafat
Ali Rizvi v. Republic of Indonesia based on Bilateral Investment Treaty (“BIT”)
between Indonesia and United Kingdom, Agreement between the Government of
United Kingdom and Northern Ireland and the Government of the Republic of
Indonesia for the Promotion and Protection of Investments, signed on 27 April 1976
and entered into force on 24 March 1977. The research questions of this thesis are (i)
what is the subject matter of the case between Rafat Ali Rizvi v. Republic of
Indonesia; (ii) how is the opinion of the Tribunal in examining and adjudicating the
case related to the interpretation of BIT provisions in investment disputes. The
method used in analyzing the problems is normative legal research method. Research
result shows that the subject matter of the case is the admission process of foreign
investment. There is admission process that should be followed based on BIT in that
process which determines the legality of the investment. This legality requirement is
related to ICSID jurisdiction. If these processes are unfulfilled, the ICSID tribunal
will not have jurisdiction on the case. Thus, the merit of the case will not be
examined. The rule of interpretation used is mainly the provision of Article 31 (1) of
the 1969 Vienna Covention on the Law of Treaty especially interpretation based on
the ordinary meaning of the BIT provision. This study concludes that the Claimant’s
investment does not fulfil the provision of Article 2 (1) of BIT between Indonesia and
United Kingdom concerning the admission process that the Tribunal does not have
jurisdiction on the case. The Tribunal inbterprets the phrase “granted admission in
accordance with” in the provision of Article 2 (1) of the BIT based on the 1969
Vienna Convension on the Law of Treaty especially Article 31 (1) concerning
interpretation based on the ordinary meaning of the BIT provision. The use of this
rule of interpretation is also found in other ICSID decisions which interpret similar
phrase of BIT as that in the BIT between Indonesia and United Kingdom.

Key Words:

Investment, BIT, Dispute Settlement, ICSID

xi

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iv
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH......................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS............................................ ix
ABSTRAK ............................................................................................................. x
ABSTRACT........................................................................................................... xi
DAFTAR ISI........................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang…………………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………...... 14
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………... 15
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………..... 15
E. Landasan Teori………………………………………………………….. 15
F. Kerangka Konsep……………………………………………………….. 18
G. Metode Penelitian……………………………………………………….. 20
H. Sistematika Penulisan Hasil Penelitian………………………………...... 22
BAB II PENANAMAN MODAL DAN PENYELESAIAN SENGKETA
PENANAMAN MODAL........................................................................ 24
A. Perkembangan Penanaman Modal Internasional....................................... 24
B. Aktor Penanaman Modal........................................................................... 27
1. Perusahaan Multinasional................................................................. 28
C. Perjanjian Penanaman Modal.................................................................... 31
1. Perjanjian Multilateral Penanaman Modal....................................... 38
2. Perjanjian Bilateral Penanaman Modal............................................ 40
D. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal............................................... 49

xii

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


BAB III POKOK SENGKETA DALAM PERKARA RAFAT ALI RIZVI
MELAWAN REPUBLIC OF INDONESIA.......................................... 56
A. Kasus Posisi............................................................................................... 56
1. Apakah Frasa “granted admission in accordance with” UU PMA
Semata-mata Mempersyaratkan Bahwa Penanaman Modal yang
Dilakukan Telah Sesuai Dengan Hukum?........................................ 59
1.1. Dalil Penggugat......................................................................... 59
1.2. Jawaban Tergugat...................................................................... 60
1.3. PendapatMajelis Arbitrase......................................................... 63
2. Pertentangan Tentang Persoalan Bahwa Hanya Penanaman Modal
Yang Dilakukan Berdasarkan Prosedur Yang Ditetapkan Oleh
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yang Merupakan
Proses Yang Dimaksudkan Dalam Frasa “granted admission in
accordance with” UU PMA………………………………………. 65
2.1. Pandangan Penggugat dan Tergugat…………………….......... 65
2.2. Dalil Tergugat…………………………………………............ 66
2.3. Dalil Penggugat…………………………………………......... 67
2.4. Pendapat Majelis Arbitrase……………………………........... 68
3. Perbedaan Pendapat Tentang Persoalan Bahwa Hanya Penanaman
Modal Langsung YangTercakup Dalam Ketentuan BIT
Pasal 2 ayat (1)…………………………………………………....... 69
3.1. Dalil Tergugat………………………………………….............. 69
3.2. Dalil Penggugat…………………………………………............ 71
3.3. Pendapat Majelis Arbitrase………………………………........... 74
4. Apakah Penanaman Modal Yang Dilakukan Penggugat “diberi izin”
Melalui Proses Yang Ditetapkan Oleh Bank Indonesia?.................... 75
4.1. Dalil Penggugat…………………………………………............. 75
4.2. Dalil Tergugat………………………………………………........ 76
4.3. Pendapat Majelis Arbitrase………………………………............ 76

xiii

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


5. Klausula “Most-Favoured Nation”…………………………………... 77
B. Persoalan Yang Menjadi Pokok Sengketa………………………………. 81
C. Kewenangan Majelis Arbitrase Berdasarkan Konvensi ICSID................. 82

BAB IV PANDANGAN MAJELIS ARBITRASE DITINJAU DARI SEGI


PENAFSIRAN PERJANJIAN……………………………………….. 88
A. Penafsiran Perjanjian……………………………………………………. 88
B. Pandangan Majelis Arbitrase……………………………………………. 93
C. Penafsiran Atas Frasa “granted admission in accordance with”………. 98
BAB V PENUTUP........…………………………………………..................... 107
A. Simpulan ................................................................................................ 107
B. Saran ...................................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA

xiv

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia semakin meningkatkan hubungan antar negara-negara


satu sama lain. Hubungan ini terjadi baik dalam bidang publik antara pemerintah
suatu negara dan pemerintah negara lainnya, maupun dalam bidang privat antara
badan hukum privat yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda di negara
berbeda. Termasuk di dalamnya adalah hubungan antara negara dan swasta.
Terjadinya hubungan ini banyak didorong oleh adanya kepentingan ekonomi yang
dimiliki oleh negara-negara tersebut dan kepentingan ini dapat dipenuhi dengan
melakukan kerja sama dengan negara lain. Oleh karena itu, dalam kemajuan seperti
ini kerja sama yang dibangun melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Keadaan ini
disebut dengan globalisasi yang salah satu cirinya adalah berkembangnya kegiatan
ekonomi yang melintasi batas wilayah negara. Kegiatan ekonomi yang dilakukan
meliputi kegiatan yang terkait dengan barang, jasa dan modal.1
Penanaman modal asing memegang peranan penting dalam peningkatan
perekonomian. Penanaman modal asing membawa masuk dana dan keahlian dari luar
yang akan turut memperkaya, membangun dan memperkuat kapasitas ekonomi dan
pembangunan dalam negeri serta menciptakan hubungan yang langsung, stabil dan
dalam jangka panjang antara perekonomian dunia. Dengan kebijakan yang benar,
penanaman modal asing secara langsung dapat membawa manfaat ekonomi bagi
negara penerima (host) maupun investor. Dengan kata lain, penanaman modal asing
secara langsung mendorong terjadinya transfer teknologi dan keahlian antara negara
yang berbeda. Negara penerima modal juga mendapatkan kesempatan untuk
mempromosikan produk mereka ke seluruh dunia. 2

1
Stephan W. Schill, The Multilateralization of International Investment Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 1.
2
OECD, OECD Benchmark Definition of Foreign Direct Investment. Fourth Edition, 2008, hlm. 14.

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Negara-negara di dunia memiliki pemahaman yang sama bahwa kegiatan
penanaman modal asing penting untuk meningkatkan perekonomian mereka. Begitu
pula halnya dengan Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (“UU Penanaman Modal”) mengamanatkan bahwa penanaman
modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan
ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,
meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan,
meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong
pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. 3
Meskipun penanaman modal asing terus dibayangi dengan krisis dan
ketidakpastian namun dalam tahun 2012 saja jumlah penanaman modal asing
diperkiran sebesar USD 1,6 triliun yang lebih tinggi dari 2011 sebesar USD 1,5
triliun.4 United Nations Conference on Trade and Development (“UNCTAD”)
memperkirakan terjadi peningkatan arus penanaman modal yang tidak signifikan
namun tetap dengan perkiraan tahun 2013 sebesar USD 1,8 triliun dan USD 1,9
triliun pada tahun 2014.5
UNCTAD juga mencatat pada tahun 2011 terjadi peningkatan arus
penanaman modal pada negara-negara yang dikelompokkan berdasarkan kondisi
perekonomian mereka. Arus penanaman modal pada negara maju meningkat sebesar
21% dengan nilai investasi USD 748 miliar, negara berkembang meningkat 11%
dengan nilai investasi USD 684 miliar dan negara yang berada dalam transisi
ekonomi sebesar USD 92 miliar, meningkat 25%.6
Di Indonesia sendiri, Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”)
mencatat realisasi penanaman modal asing untuk Januari sampai September 2012

3
Indonesia (a), Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 67, TLN No.
4724, Alinea Kedua Penjelasan Umum.
4
UNCTAD, “World Investment Report 2012”, hlm. iii, www.unctad.org.\, diakses 27 Oktober 2012.
5
Ibid. hlm. xi.
6
Ibid.

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


sebesar Rp 164,2 triliun.7 Pada triwulan III tahun 2012 ini, BKPM mencatat realisasi
penanaman modal asing sebesar Rp 56,6 triliun meningkat dibanding periode yang
sama pada tahun 2011 yakni sebesar Rp 46,4 triliun.8 Pada periode yang sama juga
penanaman modal asing menyerap 126. 864 tenaga kerja. 9
Salah satu aktor penting dalam penanaman modal adalah perusahaan-
perusahaan multinasional atau MNCs (multinational corporations). Perusahaan
multinasional merupakan pihak yang sangat berpengaruh karena kekuatan sumber
daya finansial yang mereka miliki ditambah dengan dukungan negara asalnya yang
berada di belakang mereka. Perusahaan-perusahaan ini mengelola dana yang
jumahnya bisa lebih besar dari anggaran sebuah negara khususnya negara-negara
berkembang yang sangat membutuhkan penanaman modal. Perusahaan multinasional
bahkan dianggap sanggup mempengaruhi hukum penanaman modal internasional ke
arah yang menguntungkan mereka. Selain kemampuan untuk mempengaruhi negara
tempat mereka menanamkan modal, mereka juga sanggup mempengaruhi proses
penyusunan norma hukum internasional.10
Selain perusahaan multinasional, pelaku penanaman modal lainnya adalah
perusahaan milik negara (state corporations). Ini merupakan cara negara untuk
masuk ke dalam bidang perdagangan yang di negara berkembang biasanya
dikhususkan pada sektor-sektor yang penting untuk publik. Konsep ini banyak terjadi
di negara berkembang. Teori yang berlaku di negara berkembang adalah bahwa
sektor-sektor yang menguntungkan perekonomian harus dikelola oleh negara
sehingga keuntungannya tidak jatuh ke tangan swasta tetapi masuk ke kas negara
sehingga bisa dipergunakan untuk kepentingan rakyat. 11

7
BKPM, “Press Release Realisasi Penanaman Modal PMDN-PMA Triwulan III dan Januari –
September Tahun 2012”. hal.4, Jakarta, 22 Oktober 2012, www.bkpm.go.id, diakses 25 Oktober 2012.
8
Ibid. hlm. 6.
9
Ibid. hlm. 19.
10
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investments, Third Edition, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), hlm. 61-62.
11
Ibid. hlm. 63-64. Bandingkan juga dengan konsep yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang
termaktub dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Kebutuhan negara-negara untuk meningkatkan perekonomian mereka dan
dengan adanya globalisasi dan liberalisasi telah mempertemukan berbagai
kepentingan itu dalam sebuah rezim penanaman modal yang melibatkan banyak
pihak. Ada saling kebutuhan, ada penawaran dan penerimaan dari satu sama lain yang
memunculkan kerjasama. Lazimnya sebuah kerjasama didasarkan atas sebuah
kesepakatan. Begitu pula dalam penanaman modal.
Negara-negara di dunia berlomba untuk menjadi target investasi asing.
Penanaman modal asing merupakan transfer aset baik berwujud maupun tak
berwujud dari satu negara ke negara lain dengan maksud untuk digunakan di negara
tujuan agar dapat menghasilkan kekayaan yang baik seluruhnya atau pun sebagaian
berada di dalam kendali pemilik asset tersebut.12 Penanaman modal asing terjadi
ketika sebuah badan hukum, biasanya korporasi dari suatu negara (home state)
melakukan investasi fisik di negara lain (host state). Umumnya investasi ini berupa
pembangunan pabrik, pengadaan mesin-mesin, peralatan aset perusahaan lainnya.13
Berbagai kebijakan dibuat untuk memberikan fasilitas dan insentif serta
kemudahan bagi investor agar bersedia menanamkan modal. Banyak negara yang
terus melakukan liberalisasi dan mempromosikan penanaman modal asing di berbagai
industri untuk mendorong pertumbuhan. Di tingkat internasional perumusan
kebijakan penanaman modal terus menerus dikembangkan. UNCTAD telah
mengembangkan 11 area prinsip inti perumusan kebijakan penanaman modal sebagai
berikut:14
1. Penanaman modal untuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip intinya adalah
bahwa tujuan utama dari perumusan kebijakan penanaman modal adalah untuk
memajukan penanaman modal demi pertumbuhan yang inklusif dan
pembangunan berkelanjutan;

12
Berbagai definisi penanaman modal juga banyak disebutkan dalam perjanjian penanaman modal
bilateral (Bilateral Investment Treatise) yang biasanya dibuat oleh negara-negara yang akan
menanamkan modalnya dengan maksud untuk melindungi penanaman modal mereka di suatu negara.
Terkadangdefinisi itu tidak berlaku umum namun hanya pada sektor di mana investasi dilakukan. Ibid.,
hlm. 8.
13
Leon E. Trakman, Foreign Direct Investment: Hazard or Opportunity?, George Washington
International Law Review, 2009. www.westlaw.com. Diunduh 17 Desember 2013.
14
UNCTAD, op. cit. hlm. 107.

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


2. Koherensi kebijakan. Prinsip inti yang terkandung di dalamnya adalah bahwa
kebijakan penanaman modal harus berdasar pada strategi pembangunan sebuah
negara secara menyeluruh. Semua kebijakan yang mempengaruhi penanaman
modal harus koheren dan sinergis baik pada tingkat nasional maupun
internasional;
3. Institusi dan tata kelola publik. Kebijakan penanaman modal harus
dikembangkan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan dimuat
dalam kerangka kerja institusional yang berdasarkan pada aturan hukum yang
mengandung standar tata kelola publik dan memastikan adanya prosedur yang
dapat diprediksi, efisien dan transparan untuk investor;
4. Penyusunan kebijakan publik yang dinamis. Ini dimaksudkan agar kebijakan
penanaman modal harus secara teratur ditinjau kembali keefektifan dan
relevansinya dan disesuaikan dengan dinamika pembangunan yang selalu
berubah;
5. Keseimbangan hak dan kewajiban. Prinsip inti yang terkandung di dalamnya
adalah bahwa di dalam kebijakan penanaman modal harus terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi negara dan investor dengan
menjunjung tinggi kepentingan pembangunan untuk semua;
6. Hak untuk mengatur. Setiap negara memiliki hak berdaulat untuk syarat-syarat
masuk dan beroperasinya penanaman modal asing dengan memperhatikan
komitmen-komitmen internasional demi kepentingan masyarakat dan untuk
meminimalkan potensi timbulnya efek negatif;
7. Keterbukaaan terhadap investasi. Sejalan dengan strategi pembangunan masing-
masing negara, kebijakan penanaman modal harus menetapkan syarat-syarat
masuknya penanaman modal yang terbuka, stabil dan dapat diperkirakan;
8. Perlindungan dan perlakuan atas investasi. Kebijakan penanaman modal harus
memberikan perlindungan yang cukup terhadap investor. Perlakuan yang
diberikan terhadap investor tidak boleh mengandung diskriminasi;

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


9. Promosi dan Fasilitas Investasi. Kebijakan untuk promosi dan pemberian fasilitas
penanaman modal harus disesuaikan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan
dan dirancang untuk meminimalkan resiko perasingan investasi yang merugikan;
10. Tata kelola dan tanggungjawab perusahaan. Kebijakan penanaman modal harus
memajukan dan memfasilitasi pengadopsian dan kepatuhan terhadap praktek-
praktek tanggung jawab sosial perusahaan dan tata kelola perusahaan yang baik
yang lazim berlaku secara internasional; dan
11. Kerja sama internasional. Komunitas internasional harus bekerja sama dalam
menghadapi tantangan bersama kebijakan penanaman modal untuk
pembangunan. Upaya-upaya bersama harus dilakukan untuk menghindari
proteksionisme penanaman modal.
Bila dipandang dari sisi hukum, kesebelas prinsip inti tersebut dapat
ditemukan akarnya pada beberapa instrumen hukum internasional. Piagam PBB,
diantaranya dalam Pasal 55, menyebutkan tentang tujuan pembanguanan ekonomi
dan kemajuan sosial. Milenium Development Goal yang dicanangkan PBB
menghimbau adanya Kemitraan Global untuk Pembangunan. Tujuan kedelapan
misalnya mendoron pengembangan lebih lanjut atas sistem keuangan dan
perdagangan yang terbuka, berdasar pada aturan, dapat diprediksi serta tidak
diskriminatif yang di dalamnya termasuk komitmen atas tata kelola yang baik,
pembangunan, dan pengurangan kemiskinan baik secara nasional maupun
internasional. Konsep yang sama juga diterapkan dalam sistem penanaman modal.
Monterrey Consensus yang dicapai dalam Konferensi PBB untuk Pendanaan
Pembangunan (UN Conference on Financing for Development) tahun 2002
menyatakan bahwa negara-negara perlu terus melanjutkan upaya mereka untuk
mencapai iklim investasi yang transparan, stabil dan dapat diprediksi dengan
penghargaan atas kontrak serta property rights yang tertuang dalam kebijakan
makroekonomi serta institusi yang memungkinkan dunia usaha, baik nasional
maupun internasional, berjalan secara efisien dan menguntungkan serta memberi
dampak yang besar terhadap pembangunan. Johannesburg Plan of Implementation
tahun 2002 yang menindaklanjuti Deklarasi Rio menyerukan formulasi dan elaborasi

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


kebijakan nasional untuk pembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek
ekonomi, sosial dan pembangunan. The 4th UN Conference on LDCs pada bulan Mei
2011 mengadopsi Istanbul Programme of Action for the LDCs for the 2011-2020
pembangunan kapasitas yang produktif dan transformasi struktural sebagai unsur inti
dalam mencapai pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan yang lebih kuat,
berimbang, merata serta inklusif. UNCTAD sendiri pada konferensinya yang ke-13
tahun 2012, sebagaimana juga pada konferensi-konferensi sebelumnya, mengakui
peranan investasi asing dalam proses pembangunan dan mengajak negara-negara di
dunia untuk merancang kebijakan yang ditujukan untuk penguatan dampak investasi
asing bagi pembangunan berkelanjutan serta pertumbuhan inklusif dengan tetap
menekankan pentingnya iklim investasi yang stabil, dapat diprediksi dan
membangun.15
Instrumen hukum internasional yang disebutkan di atas menjadi cikal bakal
lahirnya kesebelas prinsip inti perumusan kebijakan penanaman modal. Selain itu,
secara terpisah, masing-masing prinsip juga memiliki rujukan sendiri-sendiri pada
beberapa instrumen hukum internasional lainnya seperti Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, the UN Guiding Principles on Business and Human Rights, the
Convention on the Establishment of the Multilateral Investment Guarantee Agency,
the World Bank Guidelines on the Treatment of Foreign Direct Investment, the UN
Global Compact, the OECD Guidelines for Multinational Enterprises and the ILO
Tripartite Declaration of Principles concerning Multinational Enterprises and Social
Policy, dan beberapa perjanjian yang terkait dengan WTO seperti GATS, TRIMs
Agreement dan Kesepakatan tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.16
Sebagai pedoman bagi negara-negara, di tingkat nasional, berdasarkan prinsip
inti tersebut di atas, perumusan kebijakan penanaman modal difokuskan pada tiga
tingkatan:17
1. Pada tataran strategis pembuat kebijakan harus mendasarkan pada kebijakan
penanaman modal pada road map pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
15
Ibid., hlm. 106.
16
Ibid., hlm. 107.
17
Ibid., hlm. 111.

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


berkelanjutan yang luas sebagaimana strategi formal pembangunan ekonomi dan
industri di banyak negara;
2. Pada tataran normatif melalui penyusunan peraturan perundang-undangan tentang
penanaman modal dan dalam serangkaian kebijakan lainnya, para pengambil
kebijakan dapat memajukan dan mengatur penanaman modal yang ditujukan pada
pembangunan berkelanjutan;
3. Pada tingkat administratif, melalui penerapan dan mekanisme institusional yang
tepat, para pengambil kebijakan dapat terus memastikan relevansi keefektifan
kebijakan penanaman modal.
Di Indonesia sendiri, kebijakan penanaman modal asing telah dituangkan
dalam UU Penanaman Modal. Pada ketentuan Pasal 1 angka 3 dikatakan bahwa
penanaman modal asing adalah kegiatan enanam modal untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik
yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan
penanam modal dalam negeri.18 Kebijakan dasar penanaman modal Indonesia
ditujukan untuk mendorong tercipatanya iklim usaha nasional yang kondusif serta
meningkatkan daya saing perekonomian19 dengan memberikan perlakuan yang sama
antara penanam modal asing dan dalam negeri serta memberikan perlindungan dan
jaminan keamanan dan kepastian hukum.
Dalam UU Penanaman Modal diatur berbagai fasilitas bagi penanam modal di
antaranya fasilitas fiskal seperti yang terkait dengan pajak penghasilan, pembebasan
atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, pembebasan atau keringanan
bea masuk bahan baku atau bahan penolong, pembebasan atau penangguhan Pajak
18
Indonesia (a), op. cit., Ps. 1 angka 3.
19
Kebijakan dasar penanaman modal di Indonesia dituangkan dalam ketentuan Pasal 4 khususnya ayat
(1) da ayat (2) UU Penanaman Modal yang selengkapnya berbunyi, “(1). Pemerintah menetapkan
kebijakan dasar penanaman modal untuk: a). mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang
kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan b).
mempercepat peningkatan penanaman modal; (2). Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah: a). memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam
negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; b). menjamin
kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses
pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan membuka kesempatan bagi perkembangan dan
memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Pertambahan Nilai, penyusutan atau amortisasi yang dipercepat serta keringanan
Pajak Bumi dan Bangunan.20 Selain fasilitas fiskal, pemerintah juga memberikan
fasilitas non-fiskal berupa kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada
perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, fasilitas pelayanan
keimigrasian dan fasilitas perizinan impor.21
Penanaman modal oleh sebuah negara atau korporasi dilakukan atas dasar
perjanjian. Salah satu instrumen hukum penting yang dibutuhkan dalam penanaman
modal adalah perjanjian investasi bilateral atau Bilateral Investment Treatise yang
berisi kesepakatan antara negara dengan negara terkait penanaman modal. BIT ini
akan menjadi payung hukum apabila ada penanam modal dari masing-masing negara
pihak yang menanamkan modalnya di negara lain yang memiliki kesepakatan dalam
bentuk perjanjian investasi bilateral selain tentu saja berbagai kontrak investasi yang
ditandatangani masing-masing pihak. BIT dimaksudkan untuk mendorong terjadinya
penanaman modal dan untuk melindungi kepentingan-kepentingan dasar negara-
negara penanam modal serta negara yang menjadi tempat penanaman modal.22
Beberapa materi muatan yang umum terdapat dalam BIT adalah tentang
konsep investasi yang biasanya didefinisikan secara umum, komitmen masing-
masing pihak untuk sma-sama menciptakan iklim investasi yang sehat, memberikan
perlakuan yang adil dan sama serta menghindarkan diri dari tindakan diskriminatif
pada kegiatan penanaman modal di negara masing-masing serta tidak memberikan
perlakuan berbeda antara penanam modal yang satu dengan yang lainnya. 23
Sebagai ajang tempat bertemunya banyak kepentingan yang berbeda, kegiatan
penanaman modal selalu mengandung resiko24 dan tidak jarang menimbulkan

20
Ibid., Ps. 18 ayat (4).
21
Ibid., Ps. 21.
22
Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, (Cambridge: Cambridge University Press,
2003), hlm. 747.
23
Ibid. hlm. 748.
24
Menurut Sornarajah, beberapa resiko yang terjadi dalam penanaman modal adalah persoalan
ideologi (ideological hostility), Nasionalisme (nationalism), faktor etnis (ethnicity as a factor),
perubahan pola industri (changes in industry patterns), kontrak yang dibuat oleh rezim sebelumnya
(contracts made by previous regime), kontrak yang merugikan (onerous contract), peraturan di bidang
ekonomi (regulation of the economy), masalah hak asasi manusia dan lingkungan (human rights and

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


sengketa sehingga membutuhkan penyelesaian yang juga didasarkan pada
kesepakatan. Oleh karena itu, para pihak yang melakukan kesepakatan penanaman
modal selalu membekali diri dengan ketentuan tentang penyelesaian sengketa yang
akan dijadikan dasar penyelesaian apabila di kemudian hari terjadi sengketa baik
sengketa administratif25, sengketa hukum26 maupun sengketa teknis27.
Sengketa penanaman modal bisa terjadi antar negara28, negara dengan subyek
hukum bukan negara29, subyek hukum bukan negara satu sama lain 30 serta antara
investor dengan masyarakat setempat31.
Penyelesaian sengketa penanaman modal dapat dilakukan melalui berbagai
cara baik melalui proses ajudikasi, non-ajudikasi32 atau gabungan antara ajudikasi dan

environmental concerns), dan situasi hukum dan ketertiban (the law and order situation). Untuk
penjelasan lebih mendalam tentang resiko ini lihat Sornarajah, Ibid. hlm. 71-79.
25
Sengketa administartif atau biasa juga disebut sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang
timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara. Dalam hal ini misalnya terkait dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan
Koordiasi Penanaman Modal. Sebastian Pompe, et. al., ed., Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal,
(Jakarta: NLRP, 2010), hlm. 454. Lihat juga ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan TataUsaha Negara.
26
Sengketa hukum biasanya timbul karena tidak diakomodasikannya kepentingan salah satu pihak atau
pihak ketiga lainnya dalam suatu kegiatan penanaman modal. Ibid. hlm. 455.
27
Sengketa teknis biasanya terkait dengan hubungan kontraktual. Sengketa ini dapat terjadi karena
adanya pelanggaran terhadap ketentuan kontrak kerjasama yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak yang berkerjasama, pada saat implementasi kontrak. Ibid.
28
Sengketa antar negara pada umumnya menyangkut perbedaan interpretasi dan implementasi atas
perjanjian bilateral di bidang promosi dan perlindungan penanaman modal serta perjanjian lain seperti
ketentuan-ketentuan TRIMS dari WTO Agreement, perjanjian tentang pencegahan pajak berganda dan
penghindaran pajak, perjanjian kemitraan ekonomi, dll. Ibid.
29
Sengketa antar negara dengan subyek hukum bukan negara pada umumnya timbul antara host-
country dengan investor asing yang melakukan penanaman modal pada host-country. Ibid.
30
Sengketa antara subyek hukum bukan negara satu sama lain adalah sengketa di antara para mitra
usaha (counter-parts) yang biasanya ditimbulkan oleh perbedaan interpretasi dan pelaksanaan kontrak
antara investor dengan mitra lokalnya. Ibid. hlm. 456
31
Sengketa antara investor dengan masyarakat setempat pada umumnya ditimbulkan oleh
ketidakpuasan masyarakat setempat terhadap kegiatan investor pada wilayah mereka yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai faktor, antara lain: kegiatan investasi yang dapat menimbulkan dampak
kerugiuan kepada msyarakat setempat; terjadinya pelanggaran HAM oleh investor; ganti rugi lahan
yang sangat rendah; tidak terserapnya masyarakat pada lapangan kerja yang disediakan oleh investor,
dll. Ibid.
32
Penyelesaian sengketa melalui proses non-ajudikasi yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, jasa baik
(good offices), komisi pencari fakta (commission of inquiry) dan board rules. Ibid. hlm. 458-460.

10

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


non-ajudikasi33. Arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa dengan cara
ajudikasi sebagaimana halnya litigasi.
Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa melalui proses pemeriksaan dan
pengambilan putusan oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter dari lembaga arbitrase,
baik oleh lembaga arbitrase yang berlingkup nasional maupun internasional,
demikian pula lembaga arbitrase yang bersifat permanent maupun sementara (ad-
hoc).34
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”) menyebutkan arbitrase adalah “cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.35
Arbitrase menjadi pilihan cara penyelesaian sengketa khususnya oleh pihak
asing yang melakukan perjanjian karena beberapa alasan. Pertama, pada umunya
pihak asing kurang mengenal sistem tata hukum negara lain. Kedua, adanya keraguan
akan sikap objektifitas pengadilan setempat dalam memeriksa dan memutus perkara
yang di dalamnya terlibat unsur asing. Ketiga, pihak asing masih ragu akan kualitas
dan kemampuan pengadilan negara berkembang dalam memeriksa dan memutus
perkara yang berskala internasional. Keempat, timbulnya dugaan dan kesan,
penyelesaian sengketa melalui jalur formal lembaga peradilan memakan waktu yang
lama.36
Para pihak dalam sebuah perjanjian juga memilih arbitrase karena proses yang
cepat, terjamin kerahasiaanya, ditangani oleh arbiter yang ahli di bidangnya, sehingga
sengketanya dapat diputuskan menurut keadilan dan kepatutan.37 Senada dengan

33
Penyelesaian melalui proses gabungan ajudikasi dan non-ajudikasi yaitu court-annexed mediation,
mediation-arbitration, dan conciliation-arbitration. Ibid. hlm. 460.
34
Ibid. hlm. 458.
35
Indonesia (b), Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 Tahun
1999, LN No. 138, TLN No. 3872.
36
Erman Rajagukguk, “Keputusan Arbitrase Asing mulai dapat dilaksanakan di Indonesia”, Suara
Pembaharuan, (7 Juni 1990), hlm. 11, sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, Arbitrase, Edisi
Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 4.
37
Erman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan,
cetakan pertama, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hlm. 5.

11

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


alasan-alasan tersebut, Priyatna Abdurrasyid, menyatakan bahwa arbitrase banyak
dipilih karena beberapa alasan yaitu:38
a. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiternya sendiri dan untuk ini
tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai memiliki integritas, kejujura,
keahlian, dan profesionalisme di bidangnya masing-masing dan sama sekali tidak
mewakili pihak yang memilihnya. Ia seorang yang independen dan bukan
penasehat hukumnya;
b. Proses majelis arbitrase konfidensial dan oleh karena itu dapat menjamin rahasia
dan publisitas yang tidak dikehendaki;
c. Putusan arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak merupakan putusan
final dan mengikat para pihak bagi sengketanya. Lain lagi dengan putusan
pengadilan yang terbuka bagi peninjauan yang memakan waktu lama;
d. Karena putusannya final dan mengikat, tata caranya biasanya cepat, dengan biaya
terukur serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam
proses pengadilan;
e. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu
terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan
dan damai (amicable), memberi kesempatan luas untuk meneruskan hubungan
komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian
sengketa.
Dalam bidang penanaman modal penyelesaian sengketa biasanya dilakukan
melalui arbitrase internasional dan apabila sengketa itu terjadi antara negara dengan
entitas hukum dengan negara lain maka mekanisme penyelesaiannya dilakukan
melalui arbitrase International Convention for the Settlement of Investment Dispute
(ICSID) yang berkedudukan di Washington. Konvensi ICSID yang merupakan
instrumen utama penyelesaian sengketa penanaman modal memang membatasi
yurisdiksi ICSID hanya antara satu negara pihak dengan warga negara negara pihak

38
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Edisis Ke-2 Revisi,
(Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), hlm. 53-54.

12

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


lainnya.39 Pasal 1 ayat (2) Konvensi ICSID menyatakan, “The purpose of the Centre
shall be to provide facilities for conciliation and arbitration of investment disputes
between Contracting States and nationals of other Contracting States in accordance
with the provisions of this Convention”.40 Sengketa yang diajukan ke ICSID tersebut
adalah sengketa hukum di bidang penanaman modal dan penyelseaiannya juga
merupakan penyelesaian hukum. Penegasan ini disebutkan dalam ketentuan Pasal 25
ayat (1) Konvensi ICSID yang menyatakan bahwa:
The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising directly
out of an investment, between a Contracting State (or any constituent subdivision
or agency of a Contracting State designated to the Centre by that State) and a
national of another Contracting State, which the parties to the dispute consent in
writing to submit to the Centre. When the parties have given their consent, no
party may withdraw its consent unilaterally.41

Pasal 25 tersebut merupakan parameter umum dari kegiatan ICSID yang mengatur
tentang sifat sengketa (ratione materiae) dan para pihak yang bersengketa (ratione
personae).42 Ketentuan ini menegaskan bahwa maksud dibentuknya ICSID adalah
untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa di bidang penanaman modal yang terjadi
antara satu negara yang merupakan anggota dalam Konvensi ICSID dengan warga
negara negara anggota lainnya sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam konvensi
tersebut.
ICSID merupakan forum yang paling umum digunakan apabila pihak swasta
atau warga negara asing menuntut suatu negara dalam sengketa penanaman modal.43
Sengketa yang diajukan ke ICSID adalah sengketa penanaman modal yang
didasarkan pada perjanjian penanaman modal baik perjanjian penanaman modal
multilateral ataupun perjanjian penanaman modal bilateral. Di dalam perjanjian-
perjanjian tersebut terdapat ketentuan yang mengatur kesepakatan untuk

39
OECD, International Investment Law. Understanding Concepts and Tracking Innovations, (USA:
OECD, 2008), hlm. 8.
40
Christopher H. Schreuer, et. Al., The ICSID Convention: A Commentary, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 10.
41
Ibid, hlm. 71.
42
Ibid. hlm. 72.
43
Stephen W. Schill, “System-Building in Investment Treaty Arbitration and Lawmaking”, German
Law Journal, 1 Mei 2011. 12 German L.J. 1083.

13

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


menyerahkan sengketa yang terjadi di antara mereka kepada yurisdiksi ICSID.
Ketentuan semacam ini paling banyak terdapat dalam perjanjian penanaman modal
bilateral atau BIT. Menurut laporan ICSID pada tahun 2012 saja jumlah kasus yang
didasarkan pada ketentuan BIT mencapai 68% dari keseluruhan kasus yang
didaftarkan di ICSID.44
Oleh karena itu, menarik untuk mengkaji bagaimana kedudukan BIT tersebut
dalam proses penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase ICSID
terkait kedudukannya sebagai dasar hukum dan apakah digunakan untuk menentukan
yurisdiksi ICSID dalam menyelesaikan sengketa tertentu sebagai persoalan yang akan
dibahas dalam tesisi ini. Dalam pembahasannya, tesis ini akan mengkaji putusan
ICSID di mana Indonesia sebagai pihak dan satu putusan lainnya yang di dalamnya
mengandung pertimbangan terkait BIT.
Untuk keperluan penelitian ini putusan yang dianalisis adalah putusan ICSID
No.ARB/11/13 antara Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia. Kasus ini
dianalisis karena menguntungkan Indonesia sebab Majelis Arbitrase memutuskan
perkara tersebut bukan kewenangan ICSID. Tiadanya kewenangan maka pokok
perkara tidak dapat diperiksa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, penelitian ini akan
mengkaji dua pokok permasalahan yakni:
1. Apakah yang menjadi pokok sengketa dalam perkara antara Rafat Ali Rizvi
melawan Republik Indonesia?
2. Bagaimanakah pandangan majelis arbitrase ICSID dalam memeriksa dan
mengadili perkara tersebut dikaitkan dengan penafsiran atas ketentuan BIT
Indonesia dan Inggris dan BIT lainnya dalam sengketa penanaman modal?

44
ICSID, “ICSID 2012 Annual Report”
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDPublicationsRH&actionVal=View
AnnualReports#, diunduh 17 Desember 2013.

14

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang akan diteliti, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengkaji putusan ICSID dalam perkara antara Rafat Ali Rizvi melawan Republik
Indonesia untuk mengetahui apa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara
tersebut.
2. Menganalisis pertimbangan hukum putusan ICSID dalam perkara antara Rafat Ali
Rizvi melawan Republik Indonesia untuk mengetahui bagaimana pandangan
majelis arbitrase dalam perkara tersebut serta mengkajinya lebih lanjut dengan
mengaitkannya dengan penafsiran atas ketentuan BIT dalam perkara-perkara
lainnya.

D. Manfaat Penelitian
1. Dengan mengkaji putusan-putusan ICSID, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman tentang pentingnya BIT dan bagaimana pandangan
majelis arbitrase ICSID dalam mempertimbangkan BIT sebagai dasar hukum
penyelesaian sengketa.
2. Memberikan pemahaman tentang bagaimana ketentuan BIT ditafsirkan dan
diberi makna sehingga dapat dijadikan rujukan dalam merumuskan BIT atau
perjanjian penanaman modal lainnya yang di kemudian hari, bila terjadi
perselisihan, dijadikan sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa.

E. Landasan Teori
Penelitian ini akan menggunakan teori penafsiran hukum namun lebih khusus
pada penafsiran perjanjian (treaty interpretation) sebagai alat untuk menganalisis
permasalahan penelitian. Penafsiran perjanjian digunakan untuk menafsirkan
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam suatu perjanjian. Penafsiran perjanjian pada
dasarnya telah dikodifikasikan dalam Vienna Convention on the Law of Treaties
(“VCLT”). Pasal 31 ayat (1) VCLT menyatakan bahwa suatu perjanjian harus
ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan makna biasa yang diberikan pada istilah-

15

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


istilah yang terdapat dalam perjanjian berdasarkan konteksnya dan menurut maksud
serta tujuannya.45
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa penafsiran perjanjian
berdasarkan VCLT dilakukan dengan:
1). Memberikan makna biasa, sebagaimana adanya, pada naskah perjanjian yang
ditafsirkan (ordinary meaning);
2). Memperhatikan konteks dibuatnya perjanjian tersebut; dan
3). Memberikan penafsiran sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya perjanjian
atau dirumuskannya norma dalam perjanjian tersebut.
Penafsiran perjanjian berdasarkan VCLT merupakan salah satu metode
penafsiran yang diadopsi oleh majelis arbitrase dalam menyelesaikan sengketa
penanaman modal. Metode penafsiran lainnya adalah:46
1. Penafsiran yang dilakukan berdasarkan maksud dan tujuan perjanjian
(interpretation in accordance with the treaty’s object and purpose). Metode
penafsiran ini pun merupakan salah satu prinsip penafsiran yang terkandung
dalam Pasal 31 VCLT dan merupakan salah satu metode penafsiran yang
populer digunakan. Maksud dan tujuan suatu perjanjian biasanya terdapat
dalam pembukaan (preamble) suatu perjanjian.
2. Penafsiran Restriktif atau Efektif (restrictive or effective interpretation).
Penafsiran ini dilakukan terhadap apa yang disebut sebagai klausula payung
(umbrella clause) dari suatu perjanjian. Pada prakteknya penafsiran ini
dilakukan dengan merujuk pada maksud dan tujuan dari dibuatnya perjanjian
serta juga dengan tetap merujuk pada ketentuan VCLT. Metode peanfsiran ini
diterapkan dengan pemahaman bahwa ketentuan dalam perjanjian harus diberi
makna yang efektif.

45
Pasal 31 ayat (1) VCLT berbunyi: “A Treaty shall be interpreted in good faith in accordance with
the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object
and purpose.”
46
Pembahasan lengkap tentang penafsiran ini dapat dilihat dalam Christoph Schreur, “Diversity and
Harmonization of Treaty Interpretation in Investment Arbitration”, dalam Malgosia Fitzmaurice,
Olufemi Elias, Panos Merkourishal, eds., Treaty Interpretation and the Vienna Convention on the Law
of Treaties: 30 Years on, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2010), hlm. 129 s.d. hlm. 138.

16

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


3. Penafsiran yang dilakukan dengan aturan-aturan khusus yakni:
a. Expressio Unius est Exclusio Alterius. Aturan ini mengandung pengertian
bahwa apa yang telah dinyatakan secara jelas dalam suatu perjanjian
berarti mengesampingkan kemungkinan penafsiran lain atas pernyataan
tersebut yang tidak disebutkan dalam rumusan perjanjian yang ditafsirkan.
b. Interpretation in the light of other treaties. Cara penafsiran ini
menyatakan bahwa dengan banyakanya jumlah BIT yang disepakati maka
terdapat banyak persamaan dalam rumusan ketentuan BIT tersebut. Oleh
karena itu, kesamaan rumusan atau kata yang digunakan antara BIT yang
satu dengan BIT lainnya kemungkinan mengandung pengetian yang sama
dan dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penafsiran atau mengambil
kesimpulan.
c. The significance of model treaties for interpretation. BIT terkadang
mengadopsi model BIT tertentu. Diikutinya model BIT tertentu tersebut
menjadi argumentasi para pihak yang bersengketa agar model BIT yang
diikuti dijadikan sebagai dasar untuk melakukan penafsiran.
4. The Use of Travaux Preparatoires. Salah satu rujukan untuk melakukan
interpretasi adalah riwayat pembahasan BIT yakni semacam original intent
tentang apa yang dimaksudkan para pihak tentang rumusan norma dalam
perjanjian yang mereka sepakati dilihat dari proses pembahasan yang dilakukan
atas BIT tersebut.
Teori penafsiran perjanjian ini digunakan sebab yang menjadi obyek
penelitian adalah BIT yang ditafsirkan dalam putusan-putusan ICSID mneyangkut
kasus tertentu. Teori dan metode penafsiran sebagaimana mana digambarkan di atas
telah digunakan dalam berbagai kasus sehingga menjadi relevan untuk digunakan
dalam menganalisis kasus lain menyangkut penafsiran atas BIT dalam putusan ICSID
yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Pada dasarnya teori penafsiran yang akan
digunakan adalah sebagaimana yang telah dikodifikasikan dalam VCLT mengingat
BIT merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional.

17

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


F. Kerangka Konsep
Konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini dan diberikan
definisi pada subbagian ini adalah Treaty, Penafsiran, Bilateral Investment Treaty,
Penanaman Modal, dan Arbitrase.
a. “Treaty”. Treaty dalam tesis ini dimaksudkan sebagai perjanjian internasional.
Menurut Vienna Convention on the Law of Treaty (VCLT)47, Treaty berarti
perjanjian yang diepakati negara-negara secara tertulis dan tunduk pada hukum
internasional, baik yang termuat dalam satu perjanjian atau dalam dua atau lebih
perjanjian yang saling terkait terlepas dari apapun tujuan dibuatnya perjanjian
tersebut. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4012), perjanjian internasional adalah adalah perjanjian, dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
b. Penafsiran. Penafsiran menurut Ronald Dworkin48 berarti dua hal. Pertama,
menafsir berarti mencoba memahami sesuatu dengan cara tertentu. Ini berarti
mencoba menemukan maksud pembuat obyek yang akan ditafsirkan. Kedua,
menafsir berarti menghadirkan obyek yang ditafsirkan secara akurat sebagaimana
adanya, bukan sebagaimana yang dikehendaki oleh penafsirnya. Hal ini
mengandung pengertian mencoba menggali kembali maksud dari pembuat obyek
yang ditafsirkan, bukan melekatkan nilai-nilai yang diyakini oleh penafsir pada
objek yang telah diciptakan oleh pembuatnya. Dworkin juga menyatakan bahwa
terdapat tiga tahap yang harus ada dalam proses penafsiran. Pertama,
preinterpretive stage di mana dalam tahap ini ada aturan dan standar yang harus

47
VCLT diadopsi pada tanggal 22 Mei 1969. Pengertian treaty sebagaimana disebutkan diatas
termaktub dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a yang berbunyi, ““treaty” means an international
agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether
embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular
designation.”
48
Ronald Dworkin, Law’s Empire, (Cambridge, Massachussets, London, England: The Belknap Press
of Harvard University Press, 1986), hlm. 54.

18

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


ditentukan terlebih dulu untuk digunakan pada konten yang akan ditafsirkan.
Kedua, interpretive stage di mana pada tahap ini penafsir sudah bisa memberikan
justifikasi secara umum terhadap unsur-unsur utama yang ada dalam naskah yang
ditafsirkan yang sudah diidentifikasi pada tahap preinterpretive. Ketiga,
postinterpretive stage di mana dalam tahap tersebut penafsir menyesuaikan
pemahamannya akan apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh obyek yang
ditafsirkan sehingga memperkuat justifikasi yang sudah dilakukannya pada tahap
interpretive.49
Dalam hal penafsiran perjanjian, dalam literatur juga dikenal apa yang disebut
sebagai operative interpretation dan doctrinal interpretation. Operative
interpretation dilakukan oleh pengadilan nasional, polisi, pejabat imigrasi,
pegawai negeri, pejabat militer, diplomat, pengadilan internasional, majelis
arbitrase, organisasi internasional dan pihak lain yang diberi kewenangan untuk
memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan penerapan perjanjian internasional.
Doctrinal interpretation dilakukan oleh ahli hukum baik dalam kapasitasnya
sebagai peneliti independen atau dalam menjalankan fungsinya sebagai penasehat
hukum pemerintah.50 Dalam tesis ini, konsep penafsiran yang akan digunakan
adalah operative interpretation yang dilakukan oleh majelis arbitrase dalam
forum arbitrase internasional melalui putusannya.
c. Bilateral Investment Treaty. United Nation Commission on Trade and
Development mendefinisikan Bilateral Investment Treaty atau Perjanjian
Penanaman Modal Bilateral sebagai perjanjian antara dua negara untuk
melakukan tindakan timbal balik dalam hal mendorong, memajukan dan
melindungi kegiatan penanaman modal yang dilakukan di wilayah masing-masing
negara oleh perusahaan yang berkedudukan dimasing-masing dari kedua negara
tersebut.51

49
Ibid. hlm. 65-66.
50
Ulf Linderfalk, On The Interpretation of Treaties. The Modern International Law as Expressed in
the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, (Netherland: Springer, 2007), hlm. 12.
51
http://www.unctadxi.org/templates/Page____1006.aspx, diakses tanggal 16 Desember 2013.

19

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


d. Penanaman Modal. Tidak terdapat satu definisi tunggal tentang apa yang
dimaksud dengan penanaman modal. Tiadanya definisi hukum yang seragam
tentang investasi ini disebabkan karena pengertian investasi bergantung pada
maksud dan tujuan instrumen investasi di dalamnya mengatur tentang definisi
investasi.52 Menurut UNCTAD, secara tradisional penanaman modal
dikategorikan sebagai baik penanaman modal langsung maupun penanaman
modal portfolio.53 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Penanaman Modal menyatakan
bahwa penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik
oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.54
e. Arbitrase. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3872) arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sementara
pengaturan tentang arbitrase internasional terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka
9 yang menyatakan bahwa Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang
dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah
hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai
suatu putusan arbitrase internasional.

G. Metode Penelitian

Untuk menganalisis dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di


atas, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum

52
D. Carreau, P. Juillard, Droit international économique (3e édition, Dalloz, Paris, 2007),
sebagaimana dikutip dalam OECD, op.cit., hlm. 46.
53
Ibid. hlm. 47.
54
Indonesia (a), op.cit., Ps. 1 angka 1.

20

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


normatif. Metode ini digunakan sebab penelitian tersebut mengacu pada norma
perjanjian internasional yang tertuang dalam BIT dan bagaimana norma itu
ditafsirkan dalam putusan-putusan ICSID.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan
mengkaji dokumen hukum yakni putusan ICSID yang di dalamnya memuat
pertimbangan tentang BIT. Secara umum akan digambarkan isu penanaman modal
baik secara nasional maupun secara internasional termasuk kedudukan dan peran BIT
sebagai instrumen penanaman modal yang melibatkan penanam modal asing.
Penggambaran secara deskriptif ini juga dilakukan terhadap masalah penyelesaian
sengketa dalam penanaman modal. Titik berat penjelasan akan menguraikan
penyelesaian sengketa penanaman modal melalui ICSID.
Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian deskriptif dan
eksplanatoris. Secara umum akan digambarkan isu penanaman modal baik secara
nasional maupun secara internasional termasuk kedudukan dan peran BIT sebagai
instrumen penanaman modal yang melibatkan penanam modal asing. Penggambaran
secara deskriptif ini juga dilakukan terhadap masalah penyelesaian sengketa dalam
penanaman modal. Titik berat penjelasan akan menguraikan penyelesaian sengketa
penanaman modal melalui ICSID. Putusan ICSID akan dikaji secara eksplanatoris
untuk menerangkan bagaimana pertimbangan majelis arbitrase ICSID tentang BIT
yang dimiliki masing-masing negara para pihak sebagai dasar dalam kegiatan
penanaman modal yang mereka lakukan. Penjelasan secara mendalam akan dilakukan
terhadap aspek BIT sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kasus (case approach) yang
dilakukan untuk mengkaji putusan-putusan ICSID yang mengandung pertimbangan
atau penafsiran tentang BIT.
Peneliti dalam penelitian ini akan melakukan studi dokumen yakni
mempelajari dan menganalisis bahan-bahan hukum yang terkait dalam rangka
menjawab permasalahan penelitian. Adapun bahan-bahan hukum yang akan dikaji
dalam penelitian ini yakni:

21

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


a. Bahan hukum primer berupa putusan-putusan ICSID dan dokumen BIT
yang terkait.
b. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks (text books), jurnal-jurnal
ilmiah ilmu hukum, kasus-kasus hukum terkait srta yurisprudensi dan hasil
simposium serta seminar yang terkait dengan pokok bahasan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier yang sifatnya memberikan penjelasan atas bahan
hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-
lain.
Bahan hukum yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara kualitatif untuk
selanjutnya hasil analisis akan diuraikan secara deskriptif dan eksplanatoris untuk
menjawab permasalahan penelitian.

H. Sistematika Penulisan Hasil Penelitian

Untuk mempermudah penulisan hasil penelitian, penelitian ini, yang berjudul


“Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Berdasarkan Bilateral Investment Treaty
melalui Arbitrase International Center for the Settlement of Investment Dispute (Studi
Kasus Sengketa Penanaman Modal Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia)”
dibagi dalam lima bab sebagai berikut:
Bab Pertama, Pendahuluan yang berisi uraian tentang latar belakang
dilakukannya penelitian ini. Di dalamnya akan dibahas masalah perkembangan global
khususnya dalam transaksi bisnis atau hubungan ekonomi termasuk penanaman
modal. Dalam bagian ini juga akan dibahas secara singkat tentang instrumen
perjanjian penanaman modal serta pilihan forum dalam menyelesaikan sengketa yang
terjadi.
Bab Kedua akan membahas secara luas perkembangan penanaman modal
secara internasional, peran negara dan swasta serta hubungan antara keduanya. Peran
para aktor penanaman modal juga akan diulas. Selain itu, perkembangan perjanjian
penanaman modal baik perjanjian multilateral dan bilateral akan dideskripsikan
secara luas. Penekanan pembahasan secara luas dan mendalam akan difokuskan pada

22

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


BIT sesuai dengan judul penelitian ini. Topik selanjutnya yang akan dibahas pada bab
ini adalah penyelesaian sengketa dalam penanaman modal khususnya melalui ICSID.
Sejarah, perkembangan dan konvensi ICSID serta konvensi-konvensi lainnya akan
dipaparkan secara komprehensif.
Bab Ketiga akan membahas putusan ICSID dalam perkara Rafat Ali Rizvi
versus Indonesia sebagai bentuk penyelesaian sengketa penanaman modal antara
negara dan swasta. Kajian atas putusan ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan
penelitian mengenai apa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara tersebut.
Bab Keempat akan menganalisis pertimbangan hukum putusan untuk
mengetahui pandangan majelis arbitrase dalam perkara ini. Pandangan majelis
tersebut selanjutnya dikaji dari sudut penafsiran atas klausula BIT yang dijadikan
sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa.
Bab Kelima Penutup yang berisi simpulan dan saran. Simpulan memuat
jawaban-jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan pada Bab Pertama . Saran
memuat usulan atau hal-hal yang harus diperhatikan tentang bagaimana ketentuan
BIT ditafsirkan. Selain itu dalam subbab ini juga akan disampaikan hal-hal yang
harus diperhatikan oleh para pihak dalam BIT ketika merumuskan ketentuan-
ketentuan yang disepakati dalam BIT dan bagaimana memberi makna pada ketentuan
serta istilah-istilah yang digunakan.

23

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


BAB II
PENANAMAN MODAL DAN
PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL

A. Perkembangan Penanaman Modal Internasional

Penanaman modal internasional berkembang seiring dengan perkembangan


yang dialami negara-negara di dunia. Perkembangan ini mencakup berbagai bidang
utamanya sosial ekonomi yang menjangkau banyak negara dengan melintasi batas-
batas wilayah. Globalisasi menghilangkan sekat dan batas wilayah negara serta
membawa negara-negara di dunia semakin terintegrasi. Integrasi ini terjadi antara
perusahaan, orang dan pemerintahan dari berbagai bangsa yang didorong oleh
kegiatan perdagangan, penanaman modal dan perkembangan teknologi informasi. 1
Integrasi dan interaksi ini membawa satu definisi sederhana tentang globalisasi yakni
majunya kerjasama antar manusia yang melintasi batas dan sekat negara.2
Globalisasi sebagai proses formatif yang membentuk perkembangan ekonomi,
sosial dan budaya lintas negara menihilkan batas dan mendekatkan jarak dalam
interaksi negara-negara di dunia satu sama lain. Salah satu karakteristiknya adalah
arus barang, jasa serta modal bergerak secara bebas melewati batas-batas negara serta
mempengaruhi kehidupan budaya, politik dan ekonomi. Sebagai akibatnya, timbul
saling ketergantungan secara ekonomi serta terjadinya integrasi sistem ekonomi
nasional ke dalam sistem ekonomi global. Selain terintegrasinya ekonomi, integrasi
hukum pun menjadi sebuah keniscayaan. 3 Dalam konteks inilah hukum berfungsi
mengatur hubungan ekonomi secara global.
Peran utama hukum dalam ekonomi global terwujud dalam bentuk kodifikasi
hukum dagang internasional secara komprehensif, proliferasi perjanjian penanaman
modal, menguatnya peran pengadilan internasional serta pEran dominan yang

1
Globalization 101, “What is Globalization?”, http://www.globalization101.org/what-is-globalization/,
diunduh tanggal 17 April 2014.
2
Donald J. Boudreaux, Globalization, (Westport: Greenwood Press, 2008), hlm. 1.
3
Stephan W.Schill, The Multilateralization of International Investment Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 2.

24

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


dimainkan institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF 4. Salah satu
pengaturan yang dilakukan adalah yang terkait dengan penanaman modal
internasional.
Kegiatan penanaman modal merupakan akibat dari terjadinya ketergantungan
secara ekonomi di antara negara-negara di dunia. Di era globalisasi tidak ada satu
negara pun yang bisa bergerak sendiri secara terisolir. Semua saling terhubung dan
bekerja sama. Wujud dari globalisasi ini adalah berkembangnya perdagangan bebas
dalam pasar global serta semakin tumbuhnya saling ketergantungan masing-masing
negara di dunia untuk mencapai pertumbuhan bersama dengan mekanisme pasar
bebas.
Investasi memang tidak dapat dipisahkan dari pasar bebas. Terhubungnya
negara-negara dalam globalisasi ini memunculkan kebutuhan akan perlunya sebuah
sistem global, bukan hanya yang menyangkut hubungan antara negara-negara tetapi
lebih pada terciptanya sistem hukum global yang mengatur hubungan hukum yang
terjadi antar negara-negara yang saling terkait.
Sebagai akibatnya banyak negara yang bertindak sebagai importir dan
eksportir sekaligus sehingga mendorong mereka untuk memperbaharui perjanjian
penanaman modal mereka, mengadopsi model-model perjanjian yang berkembang
serta melakukan perjanjian-perjanjian baru secara luas baik dengan negara maupun
dengan pihak swasta.5 Saling ketergantungan ini menjadi pendorong utama terjadinya
penanaman modal.
Perkembangan investasi global juga tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
yang terjadi dalam hukum dagang internasional. Perkembangan ini ditandai dengan
hadirnya dua institusi global yakni Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade
Organization (WTO) yang memungkinkan terjadinya pertukaran ekonomi secara
lintas batas negara dan Organisasi Moneter Internasional atau International Monetary

4
Julio Faindez dan Celine Tan, ed., International Economic Law, Globalization and Developing
Countries, (Cheltenham: Edward Elgar, 2010), hlm. 1.
5
ICSID, 2012 Annual Report,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDPublicationsRH&actionVal=View
AnnualReports&year=2012_Eng, diunduh tanggal 24 April 2014.

25

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Fund (IMF) untuk mengatur rezim hukum keuangan internasional guna menciptakan
stabilitas nilai tukar dan stabilitas moneter sebagai basis terjadinya transaksi finansial
internasional dan pasar modal internasional.
Derasnya arus penanaman modal asing sejak akhir perang dunia kedua dan
tidak lama setelah berakhirnya perang dingin menimbulkan tuntutan adanya hukum
investasi internasional serta kerjasama internasional.6 Instrumen hukum ini
dibutuhkan sebab sifat penanaman modal internasional adalah melintasi batas-batas
negara dengan sistem hukum yang berbeda. Oleh karena itu dalam hukum
internasional terkait penanaman modal dibutuhkan integrasi hukum nasional agar
terjadi sinkronisasi dengan hukum internasional. Sehingga, kegiatan penanaman
modal akan diatur dengan satu rezim hukum yang sama yakni hukum penanaman
modal internasional.
Tuntutan akan perlunya rezim hukum penanaman modal internasional muncul
pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua. Tuntutan ini semakin berkembang setelah
berakhirnya Perang Dingin. Adanya rezim hukum investasi internasional dibutuhkan
untuk adanya kepastian hukum. Dengan adanya satu rezim hukum internasional maka
negara-negara di dunia juga bisa melakukan harmonisasi dengan membuat
infrastruktur-infrastruktur hukum mengakomodir aturan internasional sehingga ada
jaminan kepastian hukum bagi investor asing dalam melakukan kegiatan penanaman
modal. Aspek kepastian hukum ini memang menjadi pertimbangan investor dalam
melakukan investasi khususnya pada negara-negara dengan rezim hukum yang
berbeda.
Kegiatan penanaman modal asing dianggap memiliki dampak positif pada
perekonomian negara tempat penanaman modal (host country). Aspek utama dari
penanaman modal yang meningkatkan perekonomian ini adalah alih pengetahuan dan
diadopsinya teknologi baru.7 Adopsi teknologi baru terjadi dalam proses produksi
yang merupakan akibat dari derasnya arus modal yang masuk sementara alih
pengetahuan dilakukan melalui pelatihan tenaga kerja, diperolehnya keterampilan
6
W. Schill, op.cit., hlm. 3.
7
Henrik Hansen and John Rand, “On the Causal Links between FDI and Growth in Developing
Countries”, http://www.econ.ku.dk/wpa/pink/2004/0430.pdf, diunduh tanggal 14 April 2014, hlm. 3.

26

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


baru serta degan diperkenalkanya pilihan-pilihan lain dalam praktek manajeman dan
pengelolaan prilaku organisasi yang lebih baik.8
Observasi yang dilakukan OECD atas studi tentang pengaruh foreign direct
investment (FDI) atau penanaman modal asing secara langsung bagi perkembangan
ekonomi menemukan bahwa 11 dari 14 studi yang dilakukan mengemukakan tentang
pengaruh positif FDI terhadap perkembangan ekonomi. Satu pemahaman penting
yang diperoleh dari keseluruhan studi yang dipelajari adalah bahwa pengaruh positif
FDI sangat bergantung pada keadaan ekonomi dan teknologi negara penerima
penanaman modal. Negara-negara berkembang harus berupaya untuk mencapai level
tertentu dalam perkembangan pendidikan dan infrastruktur agar dapat mengambil
manfaat dari FDI.9

B. Aktor Penanaman Modal

Menurut Sornarajah, terdapat enam kelompok penting yang menjadi pelaku


penanaman modal internasional serta memberi pengaruh pada hukum penanaman
modal internasional.10 Keenam kelompok tersebut adalah perusahaan multinasional,
perusahaan milik negara, lembaga internasional, organisasi non pemerintah, aktor-
aktor lainnya seperti kamar dagang privat, serta sovereign wealth fund. Untuk
keperluan penulisan tesis ini, penulis akan mengkhususkan pembahasan pada
perusahaan multinasional sebagai aktor yang terlibat aktif dalam kegiatan penanaman
modal dan sengketa penanaman modal.

8
Ibid., hlm. 3-4.
9
Ibid.
10
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, 3rd Ed., (Cambridge: Cambridge
University Press, 2010), hlm. 61.

27

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


1. Perusahaan Multinasional

Perusahaan multinasional11 menjadi salah satu aktor penting penanaman


modal. Ada beberapa faktor yang menjadikan perusahaan multinasional sebagai salah
satu aktor utama dalam penanaman modal seperti sumber daya finansial yang mereka
miliki, pengaruhnya terhadap pembentukan hukum penanaman modal termasuk
penyelesaian sengketa penanaman modal dan kesepakatan yang terbentuk
berdasarkan perjanjian penanaman modal.
Pengaruh yang mereka timbulkan bermula ketika perusahaan multinasional
melakukan investasi di negara lain (host state). Sumber daya keuangan yang besar
serta dukungan kekuasaan negara asal mereka menjadi kekhawatiran tersendiri bahwa
kiprah perusahaan multinasional akan mempengaruhi politik dalam negeri negara
penerima penanaman modal.12 Perusahaan multinasional juga memiliki pengaruh
untuk membentuk hukum penanaman modal yang menguntungkan posisi mereka.
Penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase dianggap sebagai gagasan
perusahaan multinasional yang dirancang oleh para penasehatnya. Perusahaan
multinasional juga melakukan tekanan melalui lobi untuk memastikan bahwa
perjanjian yang dibuat menguntungkan kegiatan penanaman modal. Bahkan,

11
Untuk keperluan penulisan ini perusahaan multinasional tidak dibedakan dengan perusahaan
transnasional. Merujuk pada Draft Code of Conduct on Transnational Corporation, perusahaan
multinasional atau perusahaan transnasional didefinisikan sebagai ...enterprises, irrespective of their
country of origin and their ownership, including private, public or mixed, comprising entities in two or
more countries, regardless of the legal forms and fields of activities of this entity, which operate under
a system of decision-making, permitting coherent policies and a common strategy through one or more
decision-making centres, in which the entities are so linked, by ownership or otherwise, that one or
more of them may be able to exercise a significant influence over the activities of others and, in
particular, to share knowledge, resources and responsibilities with the others. UNCTAD, “Proposed
Text of the Draft Code of Conduct on Transnational Corporations”,
http://unctc.unctad.org/data/e90iia11k.pdf, diunduh 23 September 2014. Sementara itu, Report on the
Impacts of Multinational Corporations on Development and on International Relations yang
dikeluarkan Economic and Social Council PBB menyatakan bahwa multinational corporations are
enterprises which own or control production or service facilities outside the country in which they are
based. Laporan ini juga menyebutkan bahwa kata “transnasional” lebih disarankan daripada kata
“multinasional” karena kata transnasional lebih tepat menggambarkan bekerjanya perusahaan yang
melintasi batas-batas negara di luar negara asal perusahaan tersebut. Lihat United Nations, “ The
Impacts of Multinational Corporations on Development and on International Relations”,
http://unctc.unctad.org/data/e74iia5a.pdf, diunduh tanggal 25 September 2014.
12
M. Sornarajah, loc.cit.

28

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


perusahaan multinasional sering dianggap memiliki sumber daya finansial yang lebih
besar dari yang dimiliki oleh banyak negara khususnya negara berkembang. 13
Jumlah perusahaan multinasional yang berkiprah secara aktif terus
berkembang. Pada tahun 1970an terdapat sekitar 7000 perusahaan multinasional.
Jumlah ini berkembang mendekati angka 70000 pada tahun 2006 dengan rata-rata
tiap perusahaan memiliki sepuluh afiliasi asing. 14 Menurut World Investment Report
2009, pada tahun 2009 diperkirakan terdapat sebanyak 82000 perusahaan
transnasional dengan 810000 afiliasi asing. Nilai ekspor yang dilakukan afiliasi ini
setara dengan sepertiga dari keseluruhan ekspor barang dan jasa dunia. Sampai
dengan tahun 2008, perusahaan multinasional ini juga mempekerjakan sekitar 77 juta
tenaga kerja di seluruh dunia.15
Perusahaan transnasional ini memainkan peran besar dan memberikan
dampak pada perekonomian dalam segala tingkatan. Pemerintahan di seluruh dunia
juga mengakui peran perusahaan transnasional dalam perkembangan ekonomi
khususnya melalui penanaman modal langsung secara global. Mereka pun menyadari
dan mempersiapkan diri untuk melakukan negosiasi berdasarkan BIT yang jumlahnya
terus berkembang yang di dalamnya juga mengandung ketentuan yang memberikan
kewenangan kepada perusahaan transnasional untuk menempuh mekanisme
penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional.16
Dalam lapangan hukum ekonomi internasional, perusahaan transnasional juga
menjadi aktor non negara (non state actor) pelaku hubungan ekonomi internasional
yang sangat berpengaruh. Keberadaannya secara progresif mendorong pengembangan
dan penegakan regulasi sistem ekonomi internasional.17

13
Ibid., hlm. 62.
14
OECD, International Investment Perspectives, (Paris, France: OECD Publishinh, 2006), hlm. 52.
15
UNCTAD, World Investment Report 2009. Transnational Corporations, Agricultural Production
and Development, (New York and Geneva: United Nations, 2009), hlm. 17.
16
Alice de Jonge, Transnational Corporations and International Law. Accountability in the Global
Business Environment, (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2011), hlm. 1.
17
Karsten Nowrot, “Transnational Corporations as Steering Subjects in International Economic Law:
Two Competing Visions of the Future?”, Indiana Journal of Global Studies, Summer, 2011, 18 Ind. J.
Global Legal Studies. 803.

29

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Setidaknya terdapat tiga peran utama perusahaan transnasional yang
menjadikannya sebagai salah satu faktor penentu dalam kegiatan penanaman modal
internasional. Pertama,18 perusahaan transnasional memainkan peran dalam
perumusan aturan di bidang penanaman modal. Peran ini dilakukan terkait dengan
kepentingan perusahaan terhadap perlindungan kegiatan penanaman modal yang
dianggap sebagai tujuan utama pembentukan hukum penanaman modal. Perumusan
klausula perjanjian bilateral penanaman modal atau Bilateral Investment Treaty (BIT)
serta bentuk perjanjian penanaman modal lainnya tidak terlepas dari pengaruh
perusahaan transnasional.
Kedua, dalam bidang penyelesaian sengketa, pengakuan dan partisipasi
investor khususnya perusahaan transnasional turut memberi sumbangsih
berkembangnya rezim hukum penyelesaian sengketa penanaman modal melalui
arbitrase internasional. Hal ini terjadi karena pengakuan yang diberikan oleh
perusahaan transansional terhadap rezim penyeleseaian sengketa tersebut. Bila
memperhatikan perkembangan data perkara-perkara di ICSID maka dapat dilihat
bahwa pada periode tahun 1966 ketika Konvensi ICSID mulai berlaku sampai dengan
tahun 1993, hanya terdapat 27 kasus arbitrase penanaman modal yang diproses.19
Apabila dibandingkan dengan data terkini, sampai dengan 1 Oktober 2014, sebanyak
294 perkara telah diputus20 dan 193 perkara sementara dalam penanganan.21
Ketiga, akses langsung terhadap penyelesaian sengketa melalui arbitrase
internasional menunjukkan kuatnya pengaruh perusahaan transnasional atas
penegakan dan perkembangan hukum penanaman modal internasional.
Perkembangan hukum dalam bidang penyelesaian sengketa antara investor dan
negara melalui arbitrase menunjukkan meningkatnya pengakuan secara normatif atas

18
Ibid.
19
Ibid.
20
Lihat https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=ListCases,
terakhir diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.
21
Lihat
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=GenCaseDtlsRH&actionVal=ListPendin
g, terakhir diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.

30

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


perusahaan transnasional sebagai pelaku non negara dalam kerangka hukum
penanaman modal internasional.22
Hubungan antara perusahaan transnasional dengan negara penerima
penanaman modal selalu berada pada dua aspek. Aspek pertama menyangkut
kewajiban korporasi untuk menjaga properti perusahaan dan mengawal perusahaan
untuk mencapai target investasi yang dilakukan. Upaya ini biasanya mengerucut pada
perumusan ketentuan hukum penanaman modal asing sebab baik negara penerima
penanaman modal maupun negara asal investor sama-sama memiliki kepentingan
untuk mengendalikan perusahaan transnasional tersebut. Kedua, negara penerima
penanaman modal juga punya kepentingan untuk membuat peraturan yang
melindungi warga negara dan kekayaan alamnya.23 Hubungan ini menggambarkan
adanya dua kepentingan yang berpotensi saling berbenturan dan berujung pada
timbulnya sengketa. Berdasarka berbagai perjanjian yang telah dibuat, dalam hukum
penanaman modal internasional, rujukan forum penyelesaian sengketa yang lazim
digunakan adalah arbitrase internasional.

C. Perjanjian Penanaman Modal

Perjanjian penanaman modal merupakan instrumen penting yang mendorong


majunya penanaman modal internasional. Meningkatnya jumlah perjanjian
penanaman modal yang disepakati merupakan fenomena luar biasa dalam hukum
internasional. Perjanjian penanaman modal setidaknya memuat dua hal yakni
pertama komitmen suatu negara kepada negara lainnya terkait dengan perlakuan yang
akan diberikan negara tersebut kepada penanamam modal dan kegiatan penanaman
modal yang dilakukan oleh negara pihak lainnya dalam perjanjian yang disepakati;
kedua kesepakatan tentang mekanisme untuk menegakkan komitmen yang telah
dibuat.24 Aspek penting yang tercakup dalam perjanjian penanaman modal adalah

22
Karsten Nowrot, loc. cit.
23
Alice de Jonge, Transnational Corporations and..., op.cit., hlm. 73-74.
24
Jeswald W. Salacuse, “The Emerging Global Regime for Investment,” Harvard International Law
Journal, Vol. 51, No. 2 (Summer 2010), hlm. 427.

31

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


perlindungan serta pemajuan penanaman modal25 dan liberalisasi penanaman
modal.26
Peningkatan terbesar jumlah perjanjian penanaman modal terjadi pada tahun
1990. Sejak itu jumlah perjanjian penanaman modal mencapai lebih dari 2800 buah
yang terdiri atas hampir 2600 perjanjian bilateral penanaman modal atau bilateral
investment treaties (BIT) serta hampir 250 perjanjian perdagangan yang di dalamnya
memuat ketentuan tentang penanaman modal. Sejak akhir Perang Dunia II, perjanjian
penanaman modal berkembang dalam tiga bentuk dasar yakni perjanijian bilateral
penanaman modal, perjanjian kerja sama ekonomi bilateral yang di dalamnya memuat
ketentuan tentang penanaman modal serta perjanjian lainnya yang terkait dengan
penanaman modal yang para pihak di dalamnya terdiri atas lebih dari dua negara
seperti North American Free Trade Agreement (NAFTA) antara Amerika, Meksiko
dan Kanada serta Energy Charter Treaty27 yang merupakan konvensi multilateral
yang memuat aturan tentang perdagangan dan investasi di bidang energi.28 Meskipun
demikian, perjanjian penanaman modal yang berkembang sampai saat ini memiliki
sejarah panjang yang dapat dirunut sejak abad ke-18. Perjanjian tersebut berupa
perjanjian tentang perlindungan akan hak milik di luar negeri.29
Secara historis, perkembangan perjanjian penanaman modal dapat dibagi
dalam tiga masa yakni era kolonial yang dimulai sejak akhir abad ke-18 sampai akhir
Perang Dunia II, era pasca kolonial yang bermula sejak berakhirnya perang sampai
dengan sekitar tahun 1990 seiring dengan jatuhnya Uni Soviet serta era global yang
berlangsung mulai sekitar tahun 1990 sampai sekarang.30

25
Ibid., hlm. 428.
26
Kenneth J. Vandevelde, “A Brief History of International Investment Agreements”, dalam Karl P.
Sauvant dan Lisa E. Sachs, eds., The Effect of Treaties on Foreign Direct Investment: Bilateral
Investment Treaties, Double Taxation Treaties, and Investment Flows, (New York: Oxford University
Press, 2009), hlm. 3.
27
Saat ini Energy Charter Treaty memiliki lima puluh tiga anggota. Indonesia sendiri menjadi
observer pada Energy Charter Converence dan sebagai penandatangan 1991 Energy Charter,
http://www.encharter.org/index.php?id=61, diunduh tanggal 12 Mei 2014.
28
Jeswad W. Salacuse, loc. cit., hlm. 428-429.
29
Kenneth J. Vandevelde, loc.cit.
30
Ibid.

32

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Pada abad ke-18 dan ke-19, penanaman modal dilakukan dalam konteks
penjajahan. Penanaman modal terjadi seiring dengan ekspansi wilayah yang
dilakukan negara-negara terhadap negara lain sebagai wilayah jajahan. Dalam
konteks ini, instrumen hukum perlindungan penanaman modal tidak terlalu
diperlukan sebab hukum negara penjajahlah yang berlaku dalam melindungi penaman
modal yang dilakukan di negara koloni.31 Era ini merupakan era kolonial. Di era ini,
penanaman modal tidak hanya dilakukan oleh negara-negara kolonial. Negara lain
juga melakukan kegiatan penanaman modal di luar konteks kolonial. Dalam era ini,
sumber utama norma yang digunakan sebagai dasar hukum dalam melindungi
penanaman modal internasional adalah hukum kebiasaan internasional yang
mewajibkan negara tempat penanaman modal memberikan perlakuan kepada
kegiatan penanaman modal berdasarkan standar minimum internasional. Namun,
hukum kebiasaa internasional ini tidak memberikan mekanisme perlindungan yang
cukup terhadap penanaman modal.32 Oleh karena itu, negara-negara pengekspor
modal mencari cara agar penanaman modal yang mereka lakukan tetap terlindungi.
Pada era itu, cara yang paling banyak digunakan adalah dengan kekuatan dan
diplomasi.33
Pada intinya, ada beberapa karakteristik yang menjadi ciri rezim penanaman
modal internasional di era kolonial. Pertama, ketentuan tentang perdagangan dan
perlindungan hak milik diatur dalam perjanjian yang sama. Negara-negara, dalam era
ini, pada umumnya tidak memisahkan negosiasi yang dilakukan antara perlindungan
hak milik dan penanaman modal. Kedua, tujuan utama dibuatnya perjanjian adalah
untuk membentuk hubungan dagang. Perlindungan terhadap hak milik memang diatur
dalam perjanjian yang disepakati tetapi dari sisi pentingnya menempati posisi kedua
setelah tujuan untuk membentuk hubungan dagang. Ketiga, cakupan perjanjian sangat
terbatas, perlindungan yang diberikan berdasarka perjanjian tersebut juga lemah. Hal
ini disebabkan karena dalam perjanjian yang disepakati tidak diatur mekanisme untuk
menegakkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan perlindungan tersebut. Titik
31
M. Sornarajah, op.cit., hlm. 19.
32
Kenneth J. Vandevelde, op.cit., hlm. 4-5.
33
M. Sornarajah, op.cit., hlm. 20.

33

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


lemah ini menyebabkan perlindungan terhadap hak milik dilakukan melalui kekuatan
militer serta cara-cara diplomasi.34
Setelah era kolonial, era pasca kolonial berlangsung mulai akhir Perang Dunia
Kedua sampai dengan jatuhnya Uni Soviet. Perkembangan perjanjian penanaman
modal internasional pada era ini dipengaruhi oleh tiga kejadian penting yakni proses
liberalisasi perdagangan yang mengarah pada terbentuknya General Agreement on
Tariffs and Trades (GATT), dekolonisasi yang muncul setelah perang yang ditandai
dengan hadirnya banyak negara-negara yang baru merdeka namun secara ekonomi
masih belum maju dan peristiwa ketiga adalah munculnya blok sosialis yang
dipimpin oleh Uni Soviet.
Lahirnya GATT menjadi peristiwa pertama yang mewarnai perkembangan
rezim perjanjian penanaman modal di era pasca kolonial. Meskipun demikian, fokus
GATT adalah pada perdgangan, bukan penanaman modal. Pada masa itu sempat
dibahas Havana Charter yang dimaksudkan untuk meliberalisasi perdagangan dan
penanaman modal namun tidak pernah disepakati untuk diberlakukan. GATT
melahirkan berbagai organisasi multilateral yang memiliki kompetensi untuk
melakukan perdagangan tetapi bukan penanaman modal.35
Ketentuan Penanaman modal banyak dilakukan Amerika Serikat. Amerika
Serikat pada masa ini menyepakati banyak Friendship, Commerce and Navigation
Agreements (FCN Agreement) yang didalamnya sudah memuat ketentuan tentang
perlindungan hak milik yang sebenarnya juga telah dimasukkan dalam FCN pada era
kolonial. Pada era ini, FCN memasukkan ketentuan tentang perlakuan yang sama
(equitable treatment) dan jaminan akan perlindungan dan keamanan (most constant
protection and secuirity) atas hak milik dan perusahaan asing. Ketentuan dalam FCN
juga memberikan perlakuan yang sama kepada negara pihak dengan warga negara
dalam hal penanaman modal.36 FCN juga sudah memuat ketentuan tentang
penyelesaian sengketa. Ketentuan FCN mengakui yurisdiksi Mahkamah Internasional
dalam menyelesaikan sengketa penanaman modal. Aspek penting FCN yang
34
Kenneth J. Vandevelde, op.cit., hlm. 6-7.
35
Ibid., hlm. 7.
36
Ibid., hlm. 8.

34

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


disepakati dalam era pasca kolonial ini adalah adanya ketentuan tentang perlindungan
penanaman modal.37
Bangkitnya negara-negara yang baru merdeka juga turut mewarnai
perkembangan perjanjian penanaman modal. Meskipun masih terbelakang secara
ekonomi, negara-negara tersebut bersikap sangat protektif terhadap kedaulatan
mereka. Nasionalisme yang muncul sebagai setelah berakhirnya kolonialisme
mengakibatkan penanaman modal pada masa ini diwarnai oleh sifat permusuhan dan
antagonisme negara-negara yang baru merdeka. Negara-negara tersebut menganggap
bahwa penanaman modal asing merupakan bentuk neoliberalisme. Terbit
kekhawatiran bahwa rezim penanaman modal akan membawa asing memegang
kendali produksi serta akan mencampuri urusan dalam negeri mereka. Sehingga,
kecenderungan yang terjadi adalah ketika negara-negara ini ingin membangun
hubungan ekonomi maka hal itu akan dilakukan dengan negara berkembang lainnya
yang setara.38 Sifat ini diikuti dengan kehendak untuk mengambil alih kendali atas
sektor-sektor vital perekonomian mereka dari para inevstor asing yang umumnya
berasal dari negara-negara yang sebelumnya menjajah mereka menasionalisasi aset-
aset asing.39 Pengambilalihan ini menyebabkan terjadinya nasionalisasi besar-besaran
atas seluruh aset-aset asing. Tindakan nasionalisasi ini menimbulkan perdebatan
bagaimana hukum internasional terkait perlindungan ats penanaman modal asing.
Dalam perdebatan ini, dua kubu bertahan pada pendapat sendiri-sendiri.
Negara-negara maju sebagai pengekspor modal menekankan standar eksternal yang
ditentukan berdasarkan hukum internasional untuk memberikan perlindungan
terhadap penenanaman modal asing sedangkan negara-negara berkembang yang baru
merdeka menghendaki kendali penuh oleh negara dalam proses penanaman modal
asing serta nasionalisasi sebagai cara untuk mengakhiri kegitan penanaman modal
yang dilakukan oleh asing.40

37
Ibid., hlm. 9-10.
38
Kenneth J. Vandevelde, op.cit., hlm. 10-11.
39
M. Sornarajah, op.cit., hlm. 22.
40
Ibid.

35

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Munculnya blok sosialis yang dipimpin Uni Soviet juga turut menyertai
perkembangan perjanjian penanaman modal internasional. Pasca perang, negara-
negara sosialis melakukan pegambilalihan sektor swasta serta termasuk aset yang
dimiliki asing. Negara-negara sosialis ini juga mendorong negara berkembang untuk
tidak melakukan kerja sama ekonomi dengan negara-negara maju seperti Eropa Barat
dan Amerika Utara dengan dalih mereka akan rentan dieksploitasi. Menurut paham
sosialis cara terbaik dalam membangun eknomi adalah dengan pengaturan yang luas
oleh negara atas perekonomian dan tidak menyerahkannya pada mekanisme pasar. 41
Resistensi negara berkembang dan negara sosialis dibawa ke Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam forum PBB, mereka memperjuangkan pengakuan atas
hak yang dimiliki negara untuk mengambil alih penanaman modal asing tanpa
kewajiban untuk memberikan kompensasi berdasarkan harga pasar. Perjuangan ini
membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Declaration of a New International
Economic Order (NIEO)42 yang menyatakan bahwa negara memiliki kedaulatan
penuh atas sumber daya alam yang dimilikinya serta atas aktifitas ekonomi yang
dilakukan di negaranya. Kedaulatan ini termasuk hak untuk melakukan nasionalisasi
atau pengambilalihan kepemilikan.43 Deklarasi ini tidak merumuskan ketentuan
tentang kewajiban untuk membayar kompensasi. Pada masa ini nasionalisasi menjadi
semakin diterima dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum internasional
sepanjang dilakukan untuk kepentingan reformasi atau untuk menata ulang
perekonomian negara.44

41
Kenneth J. Vandevelde, loc.cit.
42
Deklarasi ini diadopsi dengan Resolusi Majelis Umum PBB A/Res/S-6/3201 pada tanggal 1 Mei
1974 dengan judul Declaration on the Establishment of a New International Economic Order,
http://www.un-documents.net/s6r3201.htm, diunduh tanggal 1 Mei 2014.
43
Ketentuan ini termuat dalam Pasal 4 huruf e deklarasi NIEO yang selengkapnya berbunyi, “Full
permanent sovereignty of every State over its natural resources and all economic activities. In order to
safeguard these resources, each State is entitled to exercise effective control over them and their
exploitation with means suitable to its own situation, including the right to nationalization or transfer
of ownership to its nationals, this right being an expression of the full permanent sovereignty of the
State. No State may be subjected to economic, political or any other type of coercion to prevent the
free and full exercise of this inalienable right”, http://www.un-documents.net/s6r3201.htm, diunduh
pada tanggal 1 Mei 2014.
44
Sornarajah, loc.cit.

36

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Dalam perkembangannya, Majelis Umum PBB kemudian mengadopsi
Charter of Economic Rights and Duties (CERDS)45 yang memuat ketentuan yang
menyatakan bahwa setiap negara memiliki hak untuk melakukan nasionalisasi,
ekspropriasi, serta mengambil alih kepemilikan asing dengan membayar kompensasi
yang sesuai (approppriate compensation). Tindakan ini dilakukan dengan
memperhatikan peraturan perundangan yang ada serta keadaan yang dihadapi oleh
negara bersangkutan.46
Tiadanya ketentuan yang mengharuskan pembayaran kompensasi bila terjadi
nasionalisasi, ekspropriasi atau pengambil alihan, menimbulkan reaksi di kalangan
negara-negara maju. Negara-negara maju menanggapi ancaman tiadanya kompensasi
ini dengan menciptakan perjanjian penanaman modal atau Bilateral Investment
Treaties (BIT). Perjanjian penanaman modal dianggap sebagai cara yang paling
efektif untuk mencegah terjadinya ekspropriasi tanpa kompensasi.47
Era selanjutnya disebut sebagai era global. Era ini dimulai pada akhir tahun
1980an dan ditandai dengan beberapa karakteristik seperti berubahnya konteks di
mana perjanjian penanaman modal dinegosiasikan, tertintegrasinya ketentuan
perdagangan dengan ketentuan penanaman modal sebagai akibat dari disepakatinya
General Agreement on Tariffs and Trades (GATT) yang kemudian melahirkan WTO
pada tahun 1995. Terintegrasinya ketentuan penanaman modal dengan ketentuan
perdagangan semakin nyata terlihat setelah disepakatinya General Agreement on
Trade in Services (GATS) yang dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan
perdagangan di bidang jasa secara lintas negara. Jasa ini diberikan secara
internasional sebagai akibat dari kehadiran penanaman modal asing di suatu negara.
Lahirnya Trade Related Investment Measures (TRIMS) juga menegaskan

45
Charter of Economic Rights and Duties of States diadopsi Resolusi Majelis Umum PBB
A/RES/29/3281 pada tanggal 12 Desember 1974, http://www.un-documents.net/a29r3281.htm,
diunduh pada tanggal 1 Mei 2014.
46
Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c CERDS yang menyatakan, “To nationalize,
expropriate or transfer ownership of foreign property, in which case appropriate compensation should
be paid by the State adopting such measures, taking into account its relevant laws and regulations and
all circumstances that the State considers pertinent. ......”, http://www.un-
documents.net/a29r3281.htm, diunduh pada tanggal 1 Mei 2014.
47
Vandevelde, op.cit., hlm. 13.

37

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


keterpaduan ketentuan perdagangan dengan penanaman modal 48 termasuk kewajiban
untuk memberikan perlindungan pada hak atas kekayaan intelektual melalui Trade-
Related Intellectual Property Rights (TRIPS) yang juga merupakan bentuk
investasi.49
Selain lahirnya perjanjian-perjanjian tersebut, era global dalam perkembangan
perjanjian penanaman modal juga ditandai dengan melonjaknya jumlah perjanjian
penanaman modal, khususnya perjanjian bilateral penanaman modal, yang
disepakati.50

1. Perjanjian Multilateral Penanaman Modal

Multilateralisme dalam penanaman modal merupakan praktek


mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam kelompok yang terdiri atas lebih dari
tiga negara. Multilateralisme ini diatur berdasarkan prinsip umum prilaku yang
mengikat negara-negara anggotanya dalam melakukan tindakan tertentu tanpa
merujuk pada kepentingan salah satu anggota. 51 Perjanjian multilateral penanaman
modal merupakan bentuk perjanjian yang turut mewarnai perkembangan hukum
penanaman modal internasional sejak era pasca Perang Dunia II.52 Bahkan, pada
awalnya perjanjian multilateral merupakan bentuk awal upaya perlindungan yang
dilakukan terhadap kegiatan penanaman modal.53 Namun, upaya untuk membuat
perjanjian multilateral penanaman modal yang telah dilakukan sejak Tahun 1945
dalam berbagai forum selalu menemui kegagalan yang diakibatkan oleh resistensi
negara-negara berkembang yang menganggap bahwa aturan yang akan dituangkan
dalam perjanjian tersebut akan membatasi kedaulatan mereka.54

48
Ibid., hlm. 20.
49
Ibid., hlm. 21.
50
Ibid.
51
Stephan W. Schill, The Multilateralization of International Investment Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 9.
52
Ibid., hlm. 23.
53
Ibid., hlm. 28.
54
Pada dasarnya, aturan yang ingin dimasukkan dalam perjanjian ini adalah mengenai hubungan
antara negara dan penanam modal. Aturan ini menyangkut kesepakatan secara multilateral tentang

38

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Catatan sejarah menunjukkan bahwa perjanjian multilateral dalam penanaman
modal selalui menemui kegagalan baik dalam perumusannya maupun persetujuannya.
Pada akhir Perang Dunia Kedua, Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam konferensi di
Havana, Kuba mencoba merumuskan ketentuan perlindungan penanaman modal
dalam draf kesepaktan yang disebut sebagai Havana Charter.55 Draf Havana Charter
yang dibahas dalam konferensi ini sebenarnya tidak mengandung pengaturan tentang
penanaman modal. Namun, ketika bab tentang pembangunan ekonomi dimasukkan
pada draf awal piagam tersebut dengan dukungan Amerika Serikat, di dalamnya
terdapat ketentuan yang terkait dengan penanaman modal asing. 56 Meskipun
demikian draf ini hanya memuat embrio ketentuan tentang perlindungan penanaman
modal namun tidak memuat ketentuan substantif perihal kewajiban negara dalam
melindungi kegiatan penanaman modal di negaranya. Negara-negara berkembang pun
rsisten terhadap ketentuan mengenai perlindungan penanaman modal ini. Negara-
negara berkembang sebagai pengimpor modal (capital-importing countries)
menghendaki adanya perlindungan lebih yang diberikan kepada mereka dibanding
dengan perlindungan yang diberikan kepada negara-negara pengekspor modal
(capital-exporting countries) dalam kegiatan investasi. Sebuah pendapat yang
berseberangan dengan negara-negara maju. Tiadanya titik temu ini menyebabkan
Havana Charter gagal disetujui57. Alasan lain kegagalan tersebut adalah karena pada
tahun 1950 Amerika Serikat memutuskan meninggalkan piagam ini. 58
Di awal pertengahan tahun 1960an, Organisation for Economic Cooperation
and Development (OECD) bahkan gagal meraih kesepakatan di kalangan negara-
negara industri untuk kode prilaku penanaman modal transnasional (code of conduct

pembatasan kewenagan otoritas publik negara tempat penanaman modal, diantaranya tentang
ekspropriasi. Ibid., hlm. 23.
55
Havana Charter merupakan hasil dari UN Conference on Trade and Employment yang
diselenggarakan di Havana, Kuba antara tanggal 21 November 1947 dan 24 Maret 1948. Konferensi
ini sebenarnya dimaksudkan untuk membentuk organisasi perdagangan internasional multilateral yang
disebut International Trade Organisation. Surya P. Subedi, International Investment Law. Reconciling
Policy and Principle, (Portland: Hart Publishing, 2008), hlm. 19.
56
Ibid.
57
Stephan W. Schill, op.cit., hlm. 32-33.
58
Surya P Subedi, op.cit., hlm. 20.

39

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


for transnational investment) yang dikenal denga Abs-Shawcross Draft,59 United
Nations Commission on Transnational Corporation juga gagal menyepakati kode
prilaku perusahaan transnasional, dan pada tahun 1990an upaya OECD untuk
menyepakati perjanjian multilateral penanaman modal atau yang dikenal dengan
Multilateral Agreement on Investment (MAI)60 yang dianggap sebagai rancangan
perjanjian multilateral penanaman modal pertama dengan cakupan terluas61 juga
menemui kegagalan.62
Berdasarkan catatan tersebut dapat dilihat bahwa kegagalan disepakatinya
perjanjian multilateral penanaman modal utamanya terletak pada perbedaan
pandangan antara negara berkembang dan negara maju tentang perlindungan
penanaman modal.

2. Perjanjian Bilateral Penanaman Modal

Berbeda dengan perjanjian multilateral penanaman modal yang pihaknya


terdiri dari lebih dari dua negara, perjanjian bilateral penanaman modal atau Bilateral
Investment Treaty (BIT), sesuai namanya, merupakan perjanjian penanaman modal
yang disepakati oleh dua negara. Bila upaya untuk membentuk perjanjian multilateral
penanaman modal selalu berakhir dengan kegagalan, tidak demikian halnya dengan
perjanjian bilateral penanaman modal. Perjanjian bilateral penanaman modal

59
Abs-Shawcross Draft juga digambarkan sebagai Magna Carta nya investor swasta. Draf ini
mengatur standar perlindungan yang lebih kuat terhadap investor asing, definisi ekspropriasi yang
lebih luas serta mekanisme penyelesaian sengketa antara investor dan negara. Draf ini gagal disepakati
juga karena resistensi negara-negara berkembang. Ibid., hlm. 21.
60
Negosiasi Multilateral Agreement on Investment (MAI) mulai dilakukan pada pertemuan tahunan
Dewan OECD tingkat menteri pada tahun 1995. Tujuannya adalah untuk memberikan kerangka yang
luas secara multilateral dalam penanaman modal internasional dengan merumuskan standar yang tinggi
untuk liberalisasi rezim penanaman modal, perlindungan penanaman modal serta prosedur
penyelesaian sengketa yang efektif. Pertemuan Tim Negosiasi pertama kalinya dilakukan pada tanggal
27 September 1995 yang diikuti 25 negara anggota OECD pada saaat itu serta Komisi Eropa.
Negosiasi ini dihentikan pada tahun 1998 dan tidak dilanjutkan lagi.
http://www.oecd.org/investment/internationalinvestmentagreements/multilateralagreementoninvestme
nt.htm, diunduh tanggal 16 Mei 2004.
61
Grant D. Aldonas, “Multilateral Investment Agreements,” The International Lawyer, Vol. 31, No. 2,
(1997), hlm. 447.
62
Andreas L. Lowenfeld, “Investment Agreements and International Law,” Columbia Journal of
Transnational Law, Vol. 42, ( 2003-2004), hlm. 123.

40

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


mengalami perkembangan yang sangat besar sebagai instrumen hukum dalam
kegiatan penanaman modal. Berkembangnya perjanjian bilateral penanaman modal
bahkan juga disebabkan karena kegagalan yang dialami dalam upaya membentuk
perjanjian multilateral.63
BIT dapat definisikan sebagai perjanjian internasional yang mengikat secara
hukum antara dua negara di mana masing-masing negara berjanji satu sama lain
untuk menerapkan standar perlakuan yang tertuang dalam perjanjian terkait dengan
penanaman modal yang dilakukan masing-masing negara pihak.64 Sebelum BIT,
perjanjian bilateral pertama yang mengatur tentang perlindungan penanaman modal
adalah perjanjian friendship, commerce and navigation (FCN) yang mulai dibuat oleh
Amerika Serikat pada masa setelah Perang Dunia Kedua sampai dengan akhir tahun
1960an.65 FCN dibuat oleh Amerika Serikat dengan rekan dagangnya yang pada
umumnya juga merupakan negara-negara maju.66 Pada dasarnya, FCN bukan
merupakan perjanjian perlindungan penanaman modal di luar negeri sebagaimana
BIT. Namun, di dalam FCN termuat sejumlah kecil ketentuan tentang perlindugan
bagi para penanam modal dari Amerika Serikat yang menanamkan modalnya di
negara lain. Di antara ketentuan tersebut adalah larangan melakukan ekspropriasi
tanpa kompensasi. Tujuan utama dari FCN, sebenarnya, adalah untuk memajukan
perdagangan dan hubungan internasional. Pada saat lahirnya GATT, pengaturan
tentang perdagangan internasional dalam FC juga mulai berkhir. 67

63
Stephan W. Schill, op.cit., hlm. 24.
64
P.T. Muchlinski, Multinational Enterprises and the Law, (Oxford: Blackwell, 1999), hlm. 617.
65
Kenneth J. Vandevelde menyebut FCN yang dibuat pada masa ini sebagai FCN modern yang
berlangsung selama 20 tahun dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1966 dan merupakan FCN
gelombang terakhir. FCN pertama kalinya dibuat selama dan setelah Perang Kemerdekaan Amerika
Serikat oleh Thomas Jefferson, John Adams dan Benjamin Franklin atas perintah Kongres. Ini
merupakan FCN gelombang pertama antara Amerika Serikat dengan berbagai kekuatan Eropa
termasuk Prancis, Spanyol, Prusia, Belanda. Setelah perang, Amerika Serikat juga menyepakati FCN
dengan Inggris. FCN gelombang kedua dibuat di ahkir abad ke-19 oleh Amerika khususnya dengan
negara-negara Amerika Latin yang baru merdeka sedangkan FCN gelombang ketiga dibuat antara
Perang Dunia I dan II. FCN gelombang keempat dan terakhir dibuat setelah Perang Dunia kedua.
Kenneth J. Vandevelde, “The BIT Program: A Fifteen Year Appraisal”, American Society of
International Law Proceeding, Vol. 86, (1992), hlm. 533.
66
Ibid.
67
Andrew T. Guzman, “Why LDCs Sign Treaties that Hurt Them: Explaining the Popularity of
Bilateral Investment Treaties,” Virgina Journal of International Law, Vol. 38, (1997-1998), hlm. 653.

41

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


FCN yang digagas Amerika Serikat berhenti pada pertengahan tahun 1960an.
Menjelang berakhirnya FCN, negara-negara Eropa sudah mulai melakukan
perundingan dan menandatangani BIT dengan negara-negara berkembang. Tidak
seperti FCN, BIT merupakan perjanjian yang fokus pada perlindungan penanaman
modal.68
Perjanjian bilateral penanaman modal pertama dibuat dan disepakati oleh
Jerman dan Pakistan pada tahun 1959 yang kemudian diikuti oleh negara-negara
Eropa Barat lainnya yakni Prancis pada tahun 1960, Swiss pada tahun 1961, Belanda
pada tahun 1963, Italia dan Uni Belgia Luxembourg pada tahun 1964, Swedia dan
Denmark pada tahun 1965 serta Norwegia pada tahun 1966. 69 Perjanjian bilateral
penanaman modal terus lahir. Dari tahun 1970-1979 terdapat 92 BIT yang disepakati
dan jumlah tersebut terus bertambah sampai tahun 1980an.70 Peningkatan BIT dalam
jumlah besar terjadi pada tahun 1990an. Dalam 18 bulan pertama tahun 1990an
terdapat 64 BIT yang disepakati dibandingkan dengan 199 BIT yang disepakati
sepanjang tahun 1980an,71 506 BIT disepakati oleh negara-negara anggota OECD
sampai dengan akhir tahun 1992.72 Jumlah ini terus meningkat. Pada kahir tahun
1999 jumlah BIT yang disepakati mencapai 1856 perjanjian.73 Jumlah tersebut
meningkat menjadi 1941 BIT pada akhir tahun 2000 dan pada thaun 2001 sebanyak
97 negara menyepakati 158 BIT dan menjadikan jumlah BIT di akhir tahun 2001
tersebut sebanyak 2099.74 Selanjutnya pada tahun 2002 terdapat sebanyak 82 BIT
yang disepakati oleh 76 negara75 dan 86 BIT pada tahun 2003.76 Sampai dengan

68
Ibid.
69
Vandevelde, op.cit., hlm. 14.
70
Ibid., hlm. 16.
71
UNCTAD, World Investment Report 1992. Transnational Corporations as Engines of Growth, (New
York: United Nations, 1992), hlm. 3.
72
UNCTAD, World Investment Report 1993. Transnational Corporations and Integrated International
Production, (New York: United Nations, 1993), hlm. 2.
73
UNCTAD, World Investment Report 2000. Cross-border Mergers and Acquisitions and
Development, (New York: United Nations, 2000), hlm. xv.
74
UNCTAD, World Investment Report 2002. Transnational Corporations and Export Competitiveness,
(New York: United Nations, 2002), hlm. 8.
75
UNCTAD, World Investment Report 2003. FDI Polices for Development: National and International
Perspectives, (New York and Geneva: United Nations, 2003), hlm. xv.
76
UNCTAD, World Investment Report 2004. The Shift Towards Services, (New York and Geneva:
United Nations, 2004), hlm. 6.

42

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


tahun 2004, keseluruhan jumlah BIT yang disepakati mencapai 2392 perjanjian,77
meningkat menjadi 2495 BIT pada tahun 2005,78 2573 BIT sampai dengan akhir
tahun 2006,79 dan meningkat lagi menjadi 2608 BIT sampai dengan akhir tahun
2007.80 Selama tahun 2008, 59 BIT baru disepakati sehingga total jumlah BIT
menjadi 2676. Namun, sampai dengan akhir tahun 2008 juga terdapat enam BIT yang
dihentikan.81 Pada tahun 2009 sejumlah 82 BIT baru disepakati sementara dalam lima
bulan pertama tahun 2010 sebanyak enam BIT baru disepakati. 82 Pada tahun 2011
sebanyak 33 BIT disepakati dan sampai akhir tahun keseluruhan jumlah BIT
mencapai 2833 perjanjian.83 Jumlah ini meningkat menjadi 2857 BIT pada tahun
2012.84 Pada tahun 2013 44 BIT baru disepakati sehingga keseluruhan jumlah BIT
pada tahun tersebut mencapai 2902.85
Ada berbagai alasan yang mendasari dibentuknya BIT. Alasan utama yang
biasa digunakan negara untuk membentuk BIT adalah bahwa BIT dapat
meningkatkan arus penanaman modal asing. Selain itu, dibentuknya BIT juga
menjadi pertanda bahwa terjadi pergeseran ideologi dalam sebuah negara. Negara
yang sebelumnya memiliki kebijakan menentang penanaman modal asing, dengan
penandatanganan BIT menunjukkan bahwa negara tersebut menerima standar
perlindungan penanaman modal serta pola penyelesaian sengketa pennaman modal
melalui arbitrase internasional. Contoh kasusnya dapat dilihat pada negara-negara
seperti Tiongkok dan Vietnam serta negara-negara Eropa Timur yang sebelumnya

77
UNCTAD, World Investment Report 2005. Transnational Corporations and the Internationalization
of R&D, (New York and Geneva: United Nations, 2005), hlm. xx.
78
UNCTAD, World Investment Report 2006. FDI from Developing and Transition Economy:
Implications for Development, (New York and Geneva, 2006), hlm. xix.
79
UNCTAD, World Investment Report. Transnational Corporations, Extractive Industries and
Development, (New York and Geneva: United Nations, 2007), hlm. xvii.
80
UNCTAD, World Investment Report 2008. Transnational Corporations and the Infrastructure
Challenge, (New York and Geneva: United Nations, 2008), hlm. xvii.
81
UNCTAD, World Investment Report 2009..., op.cit., hlm. xxii.
82
UNCTAD, World Investment Report 2010. Investing in a Low-Carbon Economy, (New York and
Geneva: United Nations, 2010), hlm. xxv.
83
UNCTAD, World Investment Report 2012. Towards a New Generation of Investment Policies, (New
York and Geneva: United Nations, 2012), hlm. xx.
84
UNCTAD, World Investment Report 2013. Global Vaule Chains: Investment and Trade for
Development, (New York and Geneva: United Nations, 2013), hlm. x.
85
UNCTAD, World Investment Report 2014. Investing in the SDGs: An Action Plan, (New York and
Geneva: United Nations, 2014), hlm. 114.

43

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


berideologi komunis yang menganut konsep kepemilikan publik yang kemudian
membentuk banyak BIT. 86
Alasan inilah yang banyak digunakan negara berkembang yang meyakini
bahwa akibat ikutan dari meningkatnya penanaman modal asing adalah meningkatnya
arus modal serta masuknya teknologi baru ke dalam negara mereka. Asumsi yang
mendasarinya adalah bahwa perjanjian bilateral yang memuat ketentuan yang jelas
dan dapat dilaksanakan untuk melindungi dan memfasilitasi penanaman modal asing
akan mengurangi resiko. Berkurangnya resiko yang dihadapi investor asing akan
berakibat pada meningkatnya penanaman modal.87 Proliferasi BIT ini merupakan
konsekwensi langsung dari kecenderungan baru terhadap ekonomi pasar di mana
penanaman modal asing di negara-negara berkembang merupakan kunci utama yang
menyebabkan masuknya negara-negara tersebut ke dalam hubungan ekonomi global
yang menguntungkan.88
Dari sisi negara maju, resiko investasi inilah yang menjadi pendorong
dibuatnya banyak BIT. Sebagaiman telah dijelaskan bahwa dibuatnya BIT merupakan
reaksi negara maju terhadap terbentuknya New International Economic Order yang
diupayakan oleh negara-negara berkembang. Negara-negara maju beranggapan
bahwa hadirnya gerakan ini membuat hukum, khususnya, di bidang investasi menjadi
tidak pasti. BIT dibuat untuk memasukkan prinsip-prinsip hukum investasi yang oleh
negara-negara maju ingin dijadikan sebagai hukum kebiasaan internasional. Prinsip-
prinsip ini coba dipertahankan melalui BIT. Aturan-aturan yang disepakati dalam BIT
berperan untuk menjaga investasi mereka di negara-negara dengan resiko politik yang
besar.89

86
Sornarajah, op.cit., hlm. 172.
87
Jeswald W. Salacuse dan Nicholas P. Sullivan, “Do BITs Really Work?: An Evaluation of Bilateral
Investment Treaties and Their Grand Bargain,” Harvard International Law Journal, Vol. 46, No. 1,
(Winter, 2005), hlm. 77.
88
Raul Emilio Vinuesa, ““Bilateral Investment Treaties and The Settlement of Investment Disputes
Under ICSID: The Latin American Experience”, Law and Business Review of the Americas, Fall,
2002, 8 L. & Bus. Rev. Am. 501.
89
Sornarajah, op.cit., hlm. 173-174.

44

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Setidaknya ada lima alasan yang mendasari dibentuk dan ditandatanganinya
BIT yakni:90 (1) untuk mendorong penanaman modal asing di negara-negara
berkembang; (2) untuk menjalin hubungan; (3) dalam rangka liberalisasi ekonomi;
(4) untuk mendorong penanaman modal dalam negeri; dan (5) untuk memperbaiki
tata pemerintahan dan menegakkan rule of law.
Hampir semua BIT mencakup empat substansi utama yakni mengenai
masuknya penanaman modal asing (FDI admission), perlakuan atas penanaman
modal asing (FDI treatment), expropriasi penanaman modal asing (FDI
expropriation) dan penyelesaian sengketa (dispute settlemnt).91 Ada beberapa aturan
inti yang umum terdapat pada sebagian besar BIT yaitu mengenai scope of
application, entry and establishment of investment, fair and equitable treatment,
national treatment and MFN treatment, exproptiation and compensation, transfer of
funds dan dispute settlement.92
Scope of application menyangkut definisi dan cakupan investasi yang diatur
dalam BIT. Cakupan pelaksanaan BIT sangat tergantung pada definis penanaman
modal yang diatur dalam BIT. Definisi ini akan menentukan jenis investasi yang
mana yang termasuk dalam cakupan BIT dan mana yang tidak. Entry and
establishment atau admission terkait dengan kebijakan negara tentang industri apa
saja yang dapat dimasuki penanaman modal asing. Aspek ini terkait dengan tanggung
jawab negara tentang aspek ekonomi dan politik dalam negeri dengan menentukan
pembatasan-pembatasan yang diterapkan dalam penanaman modal asing.
Pembatasan-pembatasan ini dituangkan dalam BIT. Fair ad equitable treatment
merupakan jaminan hukum yang diberikan oleh negara tempat penanaman modal
yang dituangkan dalam BIT bahwa penanam modal akan diperlakukan secara adil dan
setara. Negara tempat penanaman modal tidak akan bertindak sewenang-wenang.
Dengan adanya ketentuan ini dalam BIT maka suatu negara berkewajiban secara

90
Jeswald W. Salacuse, loc.cit., hlm. 440-441.
91
Zachary Elkins, Andrew T. Guzman and Beth Simmons, “Competing for Capital: The Diffusion of
Bilateral Investment Treaties, 1960-2000, University of Illinois Law Review, Vol. 2008 , No. 1, hlm.
266.
92
UNCTAD, Bilateral Investment Treaties 1995-2006: Trends in Investment Rulemaking, (New York
and Geneva: United Nations, 2007), hlm. 141.

45

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


hukum untuk memperlakukan penanam modal secara adil dan setara. Ketentuan ini
merupakan bentuk perlindungan kepada penanam modal. National treatment berarti
bahwa negara akan memberikan perlakuan yang sama kepada investor asing
sebagaimana perlakuan yang diberikan kepada penanam modal dalam negeri. MFN
treatment berarti negara memberikan perlakuan yang sama antara satu penanam
modal asing dengan penanam modal asing lainnya.93
Expropriation adalah pengambilalihan aset perusahaan asing atau investor
asing yang dilakukan oleh negara tanpa persetujuan perusahaan atau penanam modal
yang bersangkutan.94 Atas pengambil alihan ini, negara memiliki kewajiban untuk
memberikan kompensasi (compensation) kepada investor. BIT juga memuat
ketentuan tentang transfer of funds. Ketentuan ini menyangkut jaminan bagi investor
oleh negara tempat penanaman modal untuk dapat melakukan repatriasi modal atau
keuntungan ke luar negeri. Dengan kata lain, tidak ada larangan bagi investor untuk
mentransfer keuntungan yang mereka peroleh dari kegiatan penanaman modal ke
negara asalnya atau negara lain.95
Masalah penyelesaian sengketa (dispute settlement) juga merupakan aspek
substansi yang diatur dalam BIT. Ketentuan ini mengatur tentang kesepakatan untuk
menyelesaikan perselisihan penanaman modal melalui arbitrase internasional.
Ketentuan BIT sejak masa awal pembentukannya menitikberatkan pada
perlindungan atas kegiatan penanaman modal yang dilakukan investor termasuk aset-
asetnya. Perlindungan ini terangkum dalam beberapa aturan inti yang umumnya
tedapat dalam BIT sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dalam perjalanannya,
timbul beberapa perkembangan yang turut mempengaruhi ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam klausul BIT. Beberapa diantaranya adalah adanya kesadaran untuk
memasukkan ketentuan yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan serta

93
UNCTAD, International Investment Agreements: Key Issues, (New York and Geneva: United
Nations, 2004), hlm. 77-92.
94
Sury P. Subedi, op.cit., hlm. 120.
95
UNCTAD, International Investment..., op.cit., hlm. 257.

46

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


perlindungan atas hak asasi manusia. Termasuk di dalamnya adalah perlindungan
terhadap kesehatan, hak-hak pekerja serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.96
Perkembangan lainnya adalah muncul kesadaran baru di kalangan negara
pihak terhadap ketentuan-ketentuan BIT yang lebih menekankan pada perlindungan
penanam modal yang menjadi kewajiban negara pihak. Sementara tidak banyak
kewajiban yang dibebankan kepada investor terhadap negara tempat penanaman
modal dilakukan. Perkembangan yang terjadi dirangkum dalam upaya untuk
memperjuangan perjanjian penanaman modal, dalam hal ini BIT yang berpihak pada
pembangunan berkelanjutan. Setidaknya ada empat pokok pikiran yang
diperjuangkan yakni:97
(1) Adanya komitmen untuk memajukan dan memfasilitasi penanaman modal yang
berpihak pada pembangunan yang berkelanjutan. Bukan hanya dengan
menekankan kewajiban pada negara tempat penanaman modal tetapi negara
sumber penanaman modal pun harus memiliki komitmen untuk mewujudkan
kegiatan penanaman modal yang bertanggungjawab.
(2) Menyeimbangkan komitmen negara dan kewajiban investor untuk memajukan
penanaman modal yang bertanggungjawab. Sebagai perwujudannya, dalam
ketentuan BIT perlu diatur persyaratan agar investor mematuhi hukum nasional
yang terkait dengan penanaman modal pada saat menjalankan kegiatan
penanaman modal atau pun setelahnya yang diantaranya terkait dengan
pelestarian lingkungan. Namun, hukum nasional ini pun juga harus sejalan
dengan kewajiban internasional negara tempat penanaman modal termasuk
dengan apa yang telah disepakati dalam BIT.
(3) Harus ada keseimbangan antara komitmen negara untuk melindungi penanaman
modal dengan kebebasan negara untuk membuat aturan untuk pembangunan
dalam negeri. Ketentuan pelrindungan penanaman modal yang terdapat dalam
BIT membatasai kebebasan negara dalam membuat aturan. Apabila negara
mengeluarkan kebijakan dan kebijakan itu secara negatif mempengaruhi

96
UNCTAD, World Investment Report 2013...op.cit., hlm. 102-103.
97
UNCTAD, Worl Investment Report 2012...op.cit., hlm 135-136.

47

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


penanaman modal, investor akan mempersoalkan kebijakan semacam ini di
forum arbitrase. Negara dapat melindungi pengambilan kebijakan dalam negeri
semacam ini dengan sejak awal secara hati-hati merumuskan struktur BIT serta
memperjelas cakupan dan makan ketentuan BIT ketentuan tentang fair and
equitable treatment dan expropriation dengan memasukkan beberapa
pengecualian yang terkait dengan kepentingan nasional.
(4) Ketentuan BIT juga harus dapat melindungi negara dari tingginya biaya yang
harus ditanggung dalam penyelesaian sengketa termasuk termasuk biaya yang
timbul dari prosedur penyelesaian sengketa. Ada pemikiran agar penyelesaian
sengketa melalui arbitrase menjadi forum terakhir ketika semua upaya hukum
dalam negeri telah selesai ditempuh termasuk penggunana alternatif penyelesaian
sengketa yang lain.
Perjanjian penanaman modal yang disepakati kemudian semakin
menunjukkan keberpihakan terhadap sasaran pembangunan berkelanjutan. Peninjauan
atas sebanyak 11 BIT yang disepakati pada tahun 2013 menunjukkan bahwa sebagian
besar BIT memuat ketentuan yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan
dengan prinsip-prinsip penanaman modal untuk pembangunan berkelanjutan
sebagaimana yang dikenal dalam Investment Policy Fraework for Sustainable
Development (IPFSD)98 yang dikeluarkan UNCTAD.99

98
Ada 11 prinsip inti dalam IPFSD yakni (1) investment for sustainable development yang
mengetengahkan pentingnyamemajukan penanaman modal yang bukan hanya demi pertumbuhan
ekonomi semata tetapi juga pertumbuhan yang meguntungkan semua termasuk masyarakat miskin
serta tidak hanya berorientasi pada perkembangan saat ini tetapi juga untuk generasi mendatang; (2)
policy coherence yang menekankan bahwa kebijakan penanaman modal haendaknya didasarkan pada
keseluruhan strategi pembangunan yang dilakukan oleh negara dan bahwa harus ada koherensi seluruh
kebijkana penanaman modal secara nasional dan internasional; (3) public governance and institutions
yang menegaskan bahwa kebijakan penanaman modal harus dikembangkan dengan melibatkan semua
pemangku kepentingan dan dituangkan dalam suatu kerangka kebijakan institusional. Institusi
pemerintahan harus bekerja berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik seperti transparansi,
akuntabilitas dan prediktabilitas yang didasarkan pada hukum (rule of law) serta jauh dari praktek
korupsi sebagai faktor penting dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif; (4) dynamic
policymaking. Prinsip ini menunjukkan bahwa kebijakan penanaman modal harus bersifat dinamis
dalam arti bisa berubah sesuai dengan perkembangan baik secara nasional maupun dengan merujuk
pada dinamika yang terjadi di level global. Dengan kebijakan penanaman odal yang idnamis juga
negara-negara dapat secara terus menerus mengevaluasi efektifitas kebijakan penanaman modal
mereka. Bila kebijakan itu tidak membawa hasil yang diinginkan atau membawa keberhasilan tetapi
dengan biaya yang sangat tinggi, maka kebijakan tersebut bisa diperbaiki; (5) balanced rights and

48

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


D. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal

Timbulnya sengketa merupakan keniscayaan dalam kegiatan penanaman


modal. Penyelesaian sengketa penanaman modal memainkan peran penting dalam
perkembangan hukum penanaman modal internasional. 100 Dalam hal ini,
penyelesaian sengketa penanaman modal yang dimaksud adalah penyelesaian
sengketa penanaman modal yang dilakukan melalui forum arbitrase internasional,

obligations yang menekankan tentang pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban negara dan
hak serta kewajiban investor. Iklim dan kebijakan penanaman modal yang ditentukan negara harus
berada pada posisi yang seimbang dengan perlakuan yang diberikan kepada investor. Negara dapat
mengatur keseimbangan ini melalui perturan perundang-undangan dalam negeri; (6) right to regulate,
prinsip ini menekankan tentang hak negara untuk melakukan pengaturan atas kegiatan penanaman
modal dengan tetap memeperhatikan komitmen-komitmen yang telah disepakati secara internasional
dengan mengedepankan kepentingan umum dan meminimalisir efek negatif penanaman modal. Negara
harus mempertahankan ruang bebas untuk mengeluarkan regulasi sebagai hak negara dan sebagai
keniscayaan yang harus dilakukan negara agar ruang itu tidak dipersempit oleh komitmen dan
kesepakatan yang dibuat secara bilateral, regional dan internasional; (7) openness to investment,
prinsip ini menekankan perlunya penciptaan iklim investasi yang terbuka dengan membuat syarat dan
prosedur masuknya investasi yang transparan dan jelas untuk menarik penanaman modal demi
pembangunan berkelanjutan. Meskipun demikian, negara juga memiliki hak untuk melakukan
pembatasan dengan alasan strategi pembangunan nasional serta alasan keamanan nasional; (8)
investment protection, prinsip ini menekankan pada perlunya perlindungan kepada investor diberikan
dan diatur dalam kebijakan penanaman modal berdasarkan prinsip nondiskriminasi; (9) investment
promotion and facilitation. Ada dua komponen kunci yang terkandung dalam prinsip ini yakni
pertama dalam upaya meningkatkan iklim investasi negara selayaknya tidak mengesampingkan tujuan
pembangunan berkelanjutan, misalnya dengan menurunkan standar isu lingkungan dan sosial dalam
aturan yang dibuat atau dengan memberikan insentif yang menghilangkan sebagian besar keuntungan
ekonomi yang seharusnya diperoleh negara penerima penanaman modal. Yang kedua, prinsip ini
mengakui bahwa karena semakin banyak negara yang mendorong peningkatan penanaman modal dan
menyasar jenis ivestasi yang spesifik maka resiko timbulnya kompetisi tidak sehat dalam kegiatan
penanaman modal juga meningkat seperti dengan melonggarkan aturan investasi serta memberikan
insentif penanaman modal yang tinggi yang berdampak buruk pada persoalan sosial dan lingkungan.
Oleh karena itu negara harus berupaya untuk meminimalisir resiko ini; (10) corporate governance and
responsibility. Prinsip ini menegaskan bahwa kebijakan penanaman modal harus mengadopsi standar
terbaik yang berlaku secara internasional dalam hal tanggung jawab sosial perusahaan serta tata kelola
perusahaan yang baik; (11) international cooperation. Prinsip ini menganjurkan perlunya kerjasama
internasional dalam peningkatan penanaman modal serta dalam menghadapi tantangan bersama di
bidang penanaman modal untuk pembangunan khususnya untuk negara-negara yang paling
terbelakang termasuk dengan menggalakkan upaya kolektif untuk menghindari terjadinya
proteksionisme dalam kegiatan penanaman modal. UNCTAD, “Investment Policy Framework for
Sustainable Development”, http://unctad.org/en/PublicationsLibrary/webdiaepcb2012d6_en.pdf,
diunduh tanggal 7 Agustus 2014.
99
UNCTAD, World Investment Report 2014...op.cit., hlm. 117-118.
100
Kate Miles, The Origins of International Investment Law. Empire, Environment and the
Safeguarding of Capital, (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), hlm. 372.

49

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


khususnya ICSID, sebagai forum penyelesaian sengketa antara negara dan penanam
modal.
Sebagian besar sengketa penanaman modal yang diajukan ke ICSID
merupakan konsekuensi dari kesepakatan yang tertuang dalam BIT di mana para
negara pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal di antara
mereka melalui arbitrase ICSID.101 Sengketa ini menjangkau hampir semua jenis
investasi. Persoalan yang menjadi pokok sengketa misalnya menyangkut regulasi
dalam negeri, pajak, alih fungsi lahan, penanganan limbah berbahaya, serta divestasi
saham. Ketentuan dalam BIT yang biasa dijadikan dasar pengajuan sengketa seperti
mengenai fair and equitable treatment, non-discrimination, expropriation dan scope
and definition of agreement.102 Ketentuan tentang penyelesaian sengketa melalui
arbitrase yang terdapat dalam BIT dianggap sebagai cara yang efektif yang dapat
digunakan negara calon penerima penanaman modal untuk mempromosikan iklim
penanaman modal yang kondusif kepada investor.103 Penyelesaian sengketa
penanaman modal juga merupakan cara untuk memperbaiki kondisi penanaman
modal yang selanjutnya akan berakibat pada meningkatnya arus penanaman modal
internasional.104
Salah satu tujuan penyelesaian sengketa penanaman modal melalui arbitrase
internasional adalah untuk menjaga agar penyelesaian sengketa berada di luar
lembaga peradilan negara para pihak yang bersengketa sekaligus untuk menjaga agar
para pihak tidak perlu megeluarkan biaya yang besar untuk menyelesaikan sengketa
mereka melalui jalan panjang jalur birokrasi pengadilan nasional.105

101
Raul Emilio Vinuesa, loc.cit., 8 L. & Bus. Rev. Am. 501.
102
UNCTAD, Investor-State Dispute Settlement and Impact on Investment Rulemaking, (New York
and Geneva: United Nations, 2007), hlm. 8.
103
Thomas L. Brewer, “International Investment Dispute Settlement Procedures: The Evolving Regime
for Foreign Direct Investment”, Law and Policy in International Business, Spring, 1995, 26 Law &
Pol'y Int'l Bus. 633.
104
Ibrahim F.I. Shihata, “The Settlement of Disputes Regarding Foreign Investment: The Role of the
World Bank with Particular Reference to ICSID and MIGA”, American University Journal of
International Law and Policy, Summer, 1986, 1 Am. U. J. Int'l L. & Pol'y 97.
105
Gabriel Egli, “Don,t Get BIT: Addressing ICSID’s Inconsistent Application of Most Favoured-
Nation Clauses to Dispute Resolution Provisions”, Pepperdine Law Review, 2007, 34 Pepp. L. Rev.
1045.

50

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Sejak ketentuan tentang penyelesaian sengketa antara investor dan swasta
dimasukkan dalam perjanjian penanaman modal pada tahun 1960an, hanya terdapat
sedikit sengketa penanaman modal yang diajukan ke arbitrase. Antara tahun 1987
sampai 1998 hanya terdapat 14 sengketa penanaman modal berdasarkan BIT yang
diajukan penyelesaiannya ke ICSID.106 Pada tahun 1990an jumlah ini meningkat
pesat dan sampai akhir tahun 2006, secara kumulatif, terdapat 161 sengketa
penanaman modal yang penyelesaiannya diajukan ke ICSID.107 Jumlah tersebut
108
meningkat menjadi 225 kasus pada tahun 2009 dan sampai dengan tahun 2013
keseluruhan sengketa penanaman modal antara negara dan penanam modal berjumlah
568 kasus dan lebih dari 300 kasus merupakan sengketa yang diajukan ke ICSID. 109
ICSID, dalam tesis ini, merupakan forum utama dalam penyelesaian sengketa
penanaman modal yang akan dijadikan obyek kajian. Selain ICSID, lembaga arbitrase
lain yang cukup dikenal untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal adalah the
International Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce
(ICC)110 dan the London Court of International Arbitration (LCIA)111 di samping juga
lembaga-lembaga arbitrase lainnya. Lembaga arbitrase tersebut pada umumnya
menyelesaikan sengketa antara badan privat meskipun ICC terkadang menangani
sengketa antar negara dan swasta.112
Berdirinya ICSID merupakan bentuk institusionalisasi arbitrase antara
investor dan negara untuk pertama kalinya yang mewakili upaya untuk menyediakan
mekanisme institusional penyelesaian sengketa penenaman modal antara negara-
negara dunia ketiga yang baru merdeka dan negara maju sebagai mekanisme

106
UNCTAD, Investor-State Dispute..., op.cit., hlm. 7.
107
UNCTAD, World Investment Report 2007..., op.cit., hlm. 18.
108
UNCTAD, World Investment Report 2010..., op.cit., hlm. 82.
109
UNCTAD, World Investment Report 2014..., op.cit., hlm. 124.
110
Informasi selengkapnya tentang ICC International Court of Arbitration dapat dilihat di
http://www.iccwbo.org/about-icc/organization/dispute-resolution-services/icc-international-court-of-
arbitration/, diakses terakhir tanggal 28 Agustus 2014.
111
Informasi selengkapnya dapat dilihat di http://www.lcia.org/, diakses pada tanggal 28 Agustus
2014.
112
Brewer, loc. cit., 26 Law & Pol'y Int'l Bus. 633.

51

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


depolitisasi peyelesaian sengketa.113 Lahirnya ICSID tidak bisa dilepaskan dari peran
Bank Dunia. Peran Bank Dunia dalam membantu negara-negara dalam
menyelesaiakn sengketa di antara mereka telah menimbulkan kesadaran baru bahwa
belum terdapat mekanisme yang spesifik dalam menyelesaikan sengketa penanaman
modal selain dari peran sporadis yang dilakukan Bank Dunia atau Presiden Bank
Dunia sendiri yang bertindak setelah diminta oleh negara-negara yang bersengketa.
Beberapa peran yang dilakukan oleh Bank Dunia atau Presiden Bank Dunia
sendiri seperti meletakkan dasar penyelesaian sengketa kasus nasionalisasi aset
Anglo-Iranian Oil Company oleh pemerintah Iran pada tahun 1951-1952 dan pada
tahun 1956 Bank Dunia berhasil melakukan mediasi penyelesaian sengketa antara
pemegang saham Suez Canal Company dan pemerintah Mesir menyusul nasionalisasi
perusahaan tersebut oleh pemerintah Mesir. Contoh lainnya adalah Bank Dunia, pada
tahun 1985, setuju memberikan nasehat teknis untuk menjembatani perbedaan antara
perusahaan gas negara Argentina dan perusahaan Belanda. Namun, dalam membantu
penyelesaian kasus ini Bank Dunia tidak bertindak sebagai arbiter yang berwenang
mengeluarkan putusan yang mengikat. Bank Dunia hanya memberikan nasehat
kepada para pihak yang bersengketa dalam mencapai penyelesaian atas persoalan
mereka. Atas keadaan ini, Presiden Bank Dunia menyadari bahwa Bank Dunia
sebagai institusi pembangunan tidak dilengkapi dengan perangkat untuk menjalankan
peran seperti ini di samping peran rutinnya sendiri.
Sementara itu, adanya forum konsiliasi atau arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa akan mendorong meningkatnya arus penanaman modal yang masuk ke
negara-negara berkembang. Kenyataan bahwa baik pemerintah maupun pihak swasta
meminta Bank Dunia untuk membantu penyelesaian sengketa mereka menunjukkan
bahwa tidak ada mekanisme spesifik sebagai forum penyelesaian sengketa yang dapat
digunakan.
Atas dasar pemahaman ini kemudian Bank Dunia mengkaji kemungkinan
dibentuknya sebuah mekanisme khusus penyelesaian sengketa penanaman modal.

113
Ibironke T. Odumosu, “The Law and Politics of Engaging Resistance in Investment Dispute
Settlement”, Penn State International Law Review, Fall, 2007, 26 Penn St. Int'l L. Rev. 251.

52

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Sebuah komisi yang terdiri atas para ahli yang merupakan perwakilan dari 61 negara
dan para akademisi merumuskan Konvensi ICSID (ICSID Convention) yang
diserahkan kepada negara-negara anggota Bank Dunia pada bulan Maret 1965.
Konvensi ICSID, atau yang biasa juga dikenal dengan Washington Convention adalah
konvensi multilateral114 yang mulai berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966 setelah
diratifikasi oleh dua puluh negara. Konvensi ini, Convention on the Settlement of
Investment Disputes between States and Nationals of Other States yang disepakati di
Washington pada tahun 1965115, mengukuhkan ICSID sebagai organisasi
internasional yang otonom yang memfasilitasi penyelesaian snegketa penanaman
modal melalui konsiliasi dan arbitrase.116
Dalam posisinya sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang sifatnya
otonom, pembentukan ICSID juga dilakukan dengan maksud untuk meyakinkan
investor bahwa apabila terjadi sengketa investor akan terlindungi dari tindakan
unilateral yang dilakukan oleh negara penerima penanaman modal. Dengan kata lain,
keberadaan ICSID menyeimbangkan kekuatan yang tidak sama antara penanam
modal dan negara penerima penanaman modal dengan menyediakan forum yang
murni untuk penyelesaian sengketa internasional.117
Para pihak dalam sengketa yang diselesaikan melalui ICSID adalah negara
anggota ICSID dan warga negara atau badan hukum negara lain yang juga merupakan
anggota ICSID. Kedua pihak yang bersengketa harus merupakan anggota ICSID.
Meskipun demikian, sejak tahun 1978, ICSID juga memiliki additional facility rules
di mana dengan aturan tersebut ICSID juga dapat bertindak meyelesaikan sengketa
antara pihak yang merupakan anggota ICSID dengan pihak lain yang bukan

114
Lisa L. Bhansali, “New Trends in International Dispute Settlement”, American Society of
International Law Proceedings, March/April, 1993, 87 Am. Soc'y Int'l L. Proc. 2.
115
Raul Emilio Vinuesa, “Bilateral Investment Treaties and The Settlement of Investment Disputes
Under ICSID: The Latin American Experience”, Law and Business Review of the Americas, Fall,
2002, 8 L. & Bus. Rev. Am. 501.
116
Ibrahim F.I. Shihata, loc.cit., 1 Am. U. J. Int'l L. & Pol'y 97.
117
Gabriel Egli, loc.cit., 34 Pepp. L. Rev. 1045.

53

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


merupakan anggota ICSID. Dalam kasus demikian, salah satu pihak harus merupakan
anggota ICSID.118
Agar suatu sengketa dapat diajukan ke ICSID maka harus ada kesepakatan
yang dituangkan secara tertulis dari para pihak untuk pengajuan sengketa tersebut.
Kesepakatan ini memang menjadi pertimbangan penting untuk menentukan pakah
ICSID berenang memeriksa sengketa atau tidak.119Kesepakatan untuk mengajukan
penyelesaian sengketa ke ICSID dapat termuat dalam perjanjian, kontrak, atau
peraturan perundang-undangan nasional.120
Secara substantif kewenangan ICSID diatur dalam Bab II121 Pasal 25122, Pasal
26123 dan Pasal 27124 Konvensi ICSID. Pasal 25 memberi parameter secara umum

118
Lisa L. Bhansali, loc.cit., 87 Am. Soc'y Int'l L. Proc. 2.
119
Roberto Pirozzi, “The ICSID Jurisdiction: An Issue Already Solved or a Question Still Open”,
Vindobona Journal of International Commercial Law and Arbitration, 2013, 17 VJ 33. Persoalan
kesepakatan ini juga merupakan inti dari Report of the Executive Director on ICSID Convention terkait
yurisdiksi ICSID. Pada bagian V mengenai Jurisdiction of the Centre poin 23 perihal Consent
disebutkan bahwa, “Consent of the parties is the cornerstone of the jurisdiction of the Centre. Consent
to jurisdiction must be in writing and once given cannot be withdrawn unilaterally”. Lihat ICSID,
“ICSID Convention, Regulations and Rule”,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/StaticFiles/basicdoc/CRR_English-final.pdf, diunduh tanggal 4
September 2014.
120
Ibid.
121
Bab II Konvensi ICSID berjudul jurisdiction of the center. Lihat ICSID, “ICSID Convention,
Regulations and Rules”, https://icsid.worldbank.org/ICSID/StaticFiles/basicdoc/CRR_English-
final.pdf, diunduh tanggal 10 September 2014.
122
Pasal 25 Konvensi ICSID menyatakan, “(1) The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal
dispute arising directly out of an investment, between a Contracting State (or any constituent
subdivision or agency of a Contracting State designated to the Centre by that State) and a national of
another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the
Centre.When the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally; (2)
“National of another Contracting State” means: (a) any natural person who had the nationality of a
Contracting State other than the State party to the dispute on the date on which the parties consented
to submit such dispute to conciliation or arbitration as well as on the date on which the request was
registered pursuant to paragraph (3) of Article 28 or paragraph (3) of Article 36, but does not include
any person who on either date also had the nationality of the Contracting State party to the dispute;
and (b) any juridical person which had the nationality of a Contracting State other than the State party
to the dispute on the date on which the parties consented to submit such dispute to conciliation or
arbitration and any juridical person which had the nationality of the Contracting State party to the
dispute on that date and which, because of foreign control, the parties have agreed should be treated
as a national of another Contracting State for the purposes of this Convention; (3) Consent by a
constituent subdivision or agency of a Contracting State shall require the approval of that State unless
that State notifies the Centre that no such approval is required; (4) Any Contracting State may, at the
time of ratification, acceptance or approval of this Convention or at any time thereafter, notify the
Centre of the class or classes of disputes which it would or would not consider submitting to the

54

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


tentang apa yang menjadi kewenangan ICSID. Pasal 25 tersebut memberi jawaban
substantif tentang kewenangan ICSID. Pasal 26 menyebutkan tentang
dikesampingkannya cara penyelesaian lain apabila para pihak telah menyepakati
penyelesaian melalui arbitrase ICSID Pasal 27 mengatur tentang larangan kepada
negara untuk menempuh cara diplomatik dalam memberikan perlindungan terhadap
kegiatan penanaman modal yang mereka lakukan apabila telah menyepakati cara
penyelesaian berdasarkan Konvesni ICSID.125

jurisdiction of the Centre. The Secretary-General shall forthwith transmit such notification to all
Contracting States. Such notification shall not constitute the consent required by paragraph (1), Ibid.
123
Pasal 26 Konvensi ICSID berbunyi, “Consent of the parties to arbitration under this Convention
shall, unless otherwise stated, be deemed consent to such arbitration to the exclusion of any other
remedy. A Contracting State may require the exhaustion of local administrative or judicial remedies as
a condition of its consent to arbitration under this Convention, Ibid.
124
Pasal 27 Konvensi ICSID menyatakan, “(1) No Contracting State shall give diplomatic protection,
or bring an international claim, in respect of a dispute which one of its nationals and another
Contracting State shall have consented to submit or shall have submitted to arbitration under this
Convention, unless such other Contracting State shall have failed to abide by and comply with the
award rendered in such dispute; (2) Diplomatic protection, for the purposes of paragraph (1), shall
not include informal diplomatic exchanges for the sole purpose of facilitating a settlement of the
dispute.” Ibid.
125
Christoph H. Chreuer, et al., The ICSID Convention: A Commentary, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 82.

55

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


BAB III

POKOK SENGKETA DALAM PERKARA ANTARA RAFAT ALI RIZVI


MELAWAN REPUBLIK INDONESIA

A. Kasus Posisi1

Perkara ini diajukan oleh Rafat Ali Rizvi yang memposisikan diri sebagai
pemegang saham Bank Century pada 5 April 2011. Rafat mendalilkan
pemerintah telah melakukan pelanggaran atas ketentuan perjanjian penanaman
modal bilateral (BIT) antara Indonesia dan Inggris dalam upaya penyelamatan
Bank Century yang menyebabkannya kehilangan saham dan menuntut pemerintah
membayar ganti rugi US$ 75 juta.2
Perkara ini diajukan berdasarkan the 1997 Agreement between the
Government of the United Kingdom of Great Britain and Northerrn Ireland and
the Government of Republic of Indonesia for the Promotion and Protection of
Investments yang merupkan perjanjian bilateral penanaman modal (BIT) antara
Indonesia dan Inggris. Isu hukum yang menjadi pokok sengketa dalam perkara ini
adalah apakah penanaman modal yang dilakukan oleh penggugat dilindungi
berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT3. Pertanyaan lainnya adalah apakah
tindakan penanaman modal yang dilakukan penggugat diizinkan berdasarkan
Undang-Undang Penanaman Modal Asing No. 1 Tahun 19674 (UU PMA).

1
ICSID Case No. ARB/11/13,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC4512_En&caseId=C1560, diunduh tanggal 15 Juni 2014.
2
http://kabar24.bisnis.com/read/20130719/16/151840/kasus-bank-century-investasi-rafat-ali-tidak-
ada-izin, diunduh tanggal 15 Juni 2014.
3
Pasal 2 ayat (1) BIT antara Indonesia dan Inggris, the 1997 Agreement between the Government
of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of Republic of
Indonesia for the Promotion and Protection of Investments, menyatakan, “This agreement shall
only apply to investments by nationals or companies of the United Kingdom in the territory of the
Republic of Indonesia which have been granted admission in accordance with the Foreign Capital
Investment Law No. 1 of 1967 or any law amending or replacing it”.
4
Indonesia, Undang-Undang Penanaman Modal Asing, UU No. 1 Tahun 1967, LN No. 1 Tahun
1967, TLN No. 2818.

56

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Dalam perkara ini para pihak berbeda pendapat tentang tafsir frasa
“granted admission in accordance with the Foreign Capital Investment Law No. 1
of 1967 or any law amending or replacing it” yang terdapat dalam ketentuan
Pasal 2 ayat (1) BIT. Masing-masing pihak memberikan tafsirnya sebagai berikut:
1. Tergugat menyatakan bahwa frase tersebut merujuk hanya pada penanaman
modal langsung yang diberi izin berdasarkan proses yang dilakukan oleh
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan penanaman modal tersebut
dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perusahaan Penanaman Modal Asing
(Perusahaan PMA). Menurut Tergugat, hanya penanaman modal yang diberi
izin berdasarkan proses yang dilakukan BKPM yang wajib dilindungi
berdasarkan BIT. Selain itu, Tergugat juga berpendapat bahwa hanya
penanaman modal langsung yang termasuk dalam cakupan BIT berdasarkan
syarat yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT yang menyatakan
bahwa penanaman modal tersebut harus dilakukan “oleh” (by) warga negara
Inggris serta dengan merujuk pada penanaman modal langsung yang
disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 UU PMA.5
2. Di lain sisi Penggugat memberikan dua penafsiran atas ketentuan Pasal 2 ayat
(1) BIT. Tafsir pertama adalah bahwa sebuah penanaman modal diberi izin
berdasarkan UU PMA apabila penanaman modal tersebut dilakukan dengan
cara yang tidak bertentangan dengan UU PMA.
3. Tafsir kedua menekankan pada ketentuan Pasal 5 UU PMA yang menyebutkan
hak Indonesia untuk menentukan bidang-bidang usaha yang terbuka bagi
penanaman modal asing dan syarat-syarat yang harus dipenuhi penanam modal
asing dalam bidang-bidang yang ditentukan tersebut. Dalam pandangan
Tergugat ketentuan tersebut memberikan fleksibilitas bagi Indonesia untuk
menugaskan instansi lain selain BKPM untuk menangani proses perizinan
penanaman modal asing dan untuk sektor perbankan syarat-syarat perizinan
tersebut ditetapkan oleh Bank Indonesia.

5
Pasal 1 Undang-Undang 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyatakan,
“Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman
modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-
undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa
pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut.”

57

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


4. Penggugat menyatakan bahwa rujukan terhadap penanaman modal langsung
dalam ketentuan Pasal 1 UU PMA tidak mengubah cakupan istilah
“penanaman modal” sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 BIT.
Penanaman modal dalam ketentuan Pasal 1 BIT tidak terbatas pada penanman
modal langsung.6
Berdasarkan ketentuan tersebut perizinan penanaman modal ini dilihat
berdasarkan UU PMA atau UU lain yang mengubah atau menggantikannya.
Selain UU PMA, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 19677 tentang Perbankan
yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 19928 dan selanjutnya
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 19989 (UU Perbankan) juga
digunakan dalam memeriksa dan memutus kasus ini.
Dalam pemeriksaan ini, majelis arbitrase akan memberikan tafsirnya atas
ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT selanjutnya menjawab pertanyaan apakah
penanaman modal yang dilakukan Penggugat diberi izin berdasarkan BIT.
Ada lima persoalan yang menjadi isu hukum yang dipertimbangkan dalam
perkara ini yakni:
1. Apakah frasa “granted admission in accordance with” UU PMA hanya
semata-mata mempersyaratkan bahwa penanaman modal yang dilakukan
telah sesuai dengan hukum?
2. Pertentangan tentang persoalan bahwa hanya penanaman modal yang
dilakukan berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) yang merupakan proses yang dimaksudkan dalam
frasa “granted admission in accordance with” UU PMA.
6
Pasal 1 BIT memuat definisi penanaman modal. Ketentuan tersebut menyatakan, “For the
purpose of this agreemnt: a). “invetsment” means every kind of asset and in particular, though not
exclusively, includes: (i). Movable and immovable property and any other property rights such as
mortgages, liens and pledges; (ii) shares, stocks and debentures of companies whereever
incorporated or interests in the property of such companies; (iii) claims to money or to any
performance under contract having a financial value; (iv) intellectual property rights and
goodwill; (v) business concessions conferred by law or under contract, including concessions to
search for, cultivate, extract or exploit natural resources.
7
Indonesia, Undang-Undang Pokok-Pokok Perbankan, UU No. 14 Tahun 1967, LN No. 34 Tahun
1967, TLN No. 2842.
8
Indonesia, Undang-Undang Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992, LN No. 31 Tahun 1992, TLN
No. 3473.
9
Indonesia, Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790.
58

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


3. Ketidaksepakatan tentang persoalan bahwa hanya penanaman modal langsung
yang termasuk dalam cakupan ketentuan BIT Pasal 2 ayat (1).
4. Pertanyaan apakah penanaman modal yang dilakukan Penggugat telah diberi
izin dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
5. Penggunaan klausula Most-Favoured Nation.
Kelima persoalan hukum tersebut akan diuraikan satu per satu dengan
memaparkan dalil Penggugat, dalil Tergugat serta pendapat Majelis Arbitrase.

1. Apakah Frasa “granted admission in accordance with” UU PMA Semata-


mata Hanya Mempersyaratkan Bahwa Penanaman Modal yang
Dilakukan Telah Sesuai dengan Hukum?

1.1. Dalil Penggugat

Terhadap persoalan apakah frasa “granted admission in accordance with”


UU PMA semata-mata hanya mempersyaratkan bahwa penanaman modal yang
dilakukan telah sesuai dengan hukum penggugat mendalilkan bahwa yang
dimaksud penanaman modal yang telah diberi izin berdasarkan UU PMA adalah
penanaman modal yang secara hukum telah sah dilakukan di Indonesia.
Penggugat menyatakan bahwa frasa “in accordance with” semata-mata bermakna
bahwa penanaman modal yang dilakukan bukan tidak konsisten atau tidak
bertentangan dengan UU PMA. Penggugat mendasarkan pemahaman ini pada
penafsiran berdasarkan makna biasa dari frasa “in accordance with” yang berarti
sesuatu itu “telah sesuai” atau “sejalan dengan” atau “bersesuaian dengan”
sesuatu. Penggugat dengan menerapkan tafsir atas dasar makna biasa ini pada
ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT mendalilkan bahwa penanaman modal yang
“granted admission in accordance with” UU PMA adalah penanaman modal yang
bersesuaian atau tidak bertentangan dengan UU PMA. Penggugat menafsirkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT sebagai ketentuan yang memperkenalkan standar
izin penanaman modal berdasarkan hukum nasional tanpa merujuk pada prosedur
tertentu sebagai proses perizinan. Berdasarkan penafsiran demikian maka maksud
dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT adalah semata-mata memastikan bahwa
penanaman modal asing di Indonesia tunduk pada hukum dalam negeri termasuk,
59

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


dalam beberapa hal, persyaratan untuk memperoleh izin. Bila tidak terdapat
prosedur berdasarkan hukum Indonesia yang harus diikuti investor asing untuk
memperoleh izin maka penanaman modal yang dilakukannya dianggap telah
sesuai dengan UU PMA asalkan telah dilakukan sesuai dengan hukum.

1.2. Jawaban Tergugat

Di sisi lain tergugat menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT
Indonesia dan Inggris menunjukkan kewenangan negara untuk membatasi
cakupan perjanjian pada jenis-jenis penanaman modal dan penanam modal
tertentu. Tergugat secara khusus menunjukkan bahwa Pasal 2 ayat (1) BIT secara
sangat jelas dan spesifik membatasi cakupan BIT dengan merujuk secara khusus
pada undang-undang tertentu yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing. Oleh karena, dalam pandangan tergugat,
penggugat harus menegaskan bahwa penanaman modal yang dilakukannya di
Indonesia bukan hanya diberi izin tetapi juga memastikan bahwa pemberian izin
tersebut sesuai dengan UU PMA. Penggugat lebih lanjut mendalilkan bahwa
pembatasan cakupan penerapan perjanjian penanaman modal dikenal dan diakui
dalam praktek.
Untuk menguatkan dalilnya, tergugat merujuk pada kasus Desert Line v.
Yemen.10 Dalam kasus tersebut, majelis arbitrase memberikan komentarnya
tentang teknik yang berbeda dalam membatasi cakupan sebuah perjanjian dalam
hal yang terkait dengan penanaman modal yang mana yang diberi perlindungan
berdasarkan perjanjian tersebut. Majelis arbitrase dalam kasus tersebut

10
Desert Line Projects LLC v. The Republic of Yemen, Award of 29 January 2008, ICSID Case
No. ARB/05/17. Pendekatan berbeda yang dimaksud dinyatakan dalam paragraf 108 putusan kasus
Desert Line v. Yemen yang selengkapnya berbunyi, “Some States sign BITs without any regard to
the ex ante identification of investors who may be covered by the treaty in question. This option
ensures broader coverage, and may be thought to maximize the stimulation of investment flows
between the two countries. Others require that investors wishing to be protected must identifY
themselves, on the footing that only specifically approved investments will give rise to benefits
under the relevant treaty. This is a different approach, but it too has a legitimate policy rationale,
in the sense that the Governments of such States evidently wish to exercise a qualitative control on
the types of investments which are indeed to be promoted and protected,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC791_En&caseId=C62, terakhir diunduh tanggal 25 November 2014.

60

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


menyatakan bahwa pendekatan berbeda yang ada dalam praktek adalah berupa
tiadanya syarat yang ditentukan lebih dulu terkait penanam modal yang akan
dilindungi berdasarkan BIT atau bisa juga ada kontrol kualitatif yang diterapkan.
Tergugat mendalilkan bahwa pembatasan cakupan BIT sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dibuat secara “sangat spesifik dan jelas” sebab
ketentuan tersebut mempersyaratkan penanaman modal harus diberi izin yang
pemberian izinnya merujuk secara jelas pada peraturan perundang-undangan
tertentu yang berlaku dalam negeri yang di dalamnya juga secara jelas mengatur
prosedur perizinan tertentu. Untuk memenuhi persyaratan ini dan agar penanaman
modal dimaksud berada dalam cakupan BIT, tidak cukup hanya dengan
menunjukkan bahwa penanaman modal yang dilakukan Penggugat sesuai dengan
hukum.
Untuk memperkuat dalilnya penggugat juga merujuk pada kasus Gruslin11
untuk menjelaskan bahwa meskipun penanaman modal yang dilakukan penggugat
disetujui berdasarkan hukum nasional, hal ini tidak harus dimaknai bahwa
persetujuan yang diberikan adalah persetujuan yang dikehendaki oleh BIT dan
bahwa persyaratan yang diberikan tidak harus dinyatakan secara jelas dalam BIT
tetapi bisa merujuk pada konteks dan hukum nasional. Argumentasi ini juga
diperkuat oleh Tergugat dengan merujuk pada kasus Yaung Chi Oo12 di mana

11
Philippe Gruslin v. Malaysia, Award of 27 November 2000, ICSID Case No. ARB/99/3.
Putusan tersebut dapat diunduh di http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0385.pdf. Diunduh terakhir tanggal 25 November 2014.
12
Yaung Chi Oo Trading Pte Ltd. v. Government of the Union of Myanmar, Award of 31 March
2003, ASEAN I.D. Case No. ARB/01/1. Pendapat Majelis Arbitrase yang dirujuk Penggugat
dalam kasus ini merupakan tafsir atas Majelis ketentuan Pasal II Asean Agreement 1987. Dalam
tafsirnya Majelis Arbitrase menyatakan bahwa ketentuan Pasal II Asean Agreement 1987
menyatakan secara jelas adanya syarat persetujuan secara tertulis atas penanaman modal serta
didaftarkannya sebuah penanaman modal agar penanaman modal tersebut masuk dalm cakupan
perjanjian. Dalam pendapatnya Majelis Arbitrase juga membandingkan dengan praktek yang
terjadi di negara anggota ASEAN lainnya yang merupakan pihak pada ASEAN Agreement 1987
yang juga menentukan syarat yang spesifik bahwa suatu penanaman modal harus mendapatkan
persetujuan dan harus didaftarkan sesuai dengan perrundang-undangan dalam negeri mereka. Hal
yang sama juga berlaku di Myanman yang menjadi pihak dalam perkara ini di mana penanaman
modal asing tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan khusus dari pemerintah Myanmar. Pendapat
Majelis Arbitrase tersebut tertuan dalam paragraf 58 putusan Yaung Chi Oo yang selengkapnya
berbunyi, “The Tribunal notes that under Article II of the 1987 ASEAN Agreement, there is an
express requirement of approval in writing and registration of a foreign investment if it is to be
covered by the Agreement. Such a requirement is not universal in investment protection
agreements: it does not apply, for example, under the 1998 Framework Agreement. In this respect
61

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


dinyatakan bahwa perjanjian yang dipersoalkan menghendaki penanam modal
untuk mendapatkan persetujuan khusus sesuai dengan maksud perjanjian. Syarat-
syarat khusus mengenai proses persetujuan ini juga tidak diatur dalam perjanjian
itu sendiri.
Merujuk kembali pada kasus Desert Line, tergugat menyatakan bahwa
bahasa perjanjian yang dipersoalkan dalam kasus tersebut jauh lebih longgar
dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam BIT. Menurut tergugat,
tergugat dalam kasus desert Line tidak dijelaskan arti dari istilah “accepted” dan
“certificate”. Tidak jelas apakah istilah tersebut memiliki makna khusus
berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam negeri negara penerima
penanaman modal. Pneggugat dalam hal ini membandingkan kata “acceptance”
yang sangat umum dalam kasus Desert Line dengan frasa “granted admission”
yang digunakan dalam BIT sehingga pemaknaannya juga harus dibedakan. Kata
“acceptance” dalam perjanjian yang menjadi obyek sengketa pada kasus Desert
Line tidak terkait secara spesifik dengan peraturan perundang-undangan dalam
negeri sehingga penafsirannya pun bisa lebih luas sehingga dalam kasus ini
majelis arbitrase pun bisa menafsirkan bahwa tindakan seorang pejabat tinggi
negara yang menandatangani kontrak antara penanam modal dengan negara sudah

Article II goes beyond the general rule that for a foreign investment to enjoy treaty protection it
must be lawful under the law of the host State. The Tribunal noted that a requirement of specific
approval and registration already existed under the legislation of certain parties to the 1987
Agreement, especially those with centrally-managed economies. This was, and remains, the
situation in Myanmar where no foreign investment can be made without specific approval of the
Government of Myanmar acting through the FIC. Under the Foreign Investment Law this
approval is given in writing after a thorough process. In the Tribunal's view, this process is in
substance that described in Article 1I(l) of the 1987 ASEAN Agreement. In its Procedural Order
no. 2, the Tribunal indicated that on the information currently available as to the practice of the
various parties to the 1987 ASEAN Agreement, including the Respondent, it was not inclined to
interpret the Agreement as requiring a special procedure for registration for the purposes of
Article II. The Tribunal is reinforced in this view by the further information provided. It appears
that no party to the Agreement which has a general legal requirement for the approval of foreign
investment has felt it necessary to set up, in addition, a special procedure for the purposes of
Article II. It is true that there is such a procedure in Singapore. But even there it was not
specifically designed exclusively for the purposes of the 1987 ASEAN Agreement. Moreover the
situation in Singapore is different because foreign investments can be made freely there without
any requirement of approval or registration,” http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0909.pdf, diunduh terakhir tanggal 26 November 2014.
62

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


merupakan penerimaan (acceptance) sebagaimana yang dimaksudkan dalam
perjanjian penanaman modal.

1.3. Pendapat Majelis Arbitrase

Atas dalil Penggugat dan jawaban tergugat Tersebut, Majelis Arbitrase


berpendapat dengan merujuk pertimbangan dalam kasus Libya/Chad13 pada
International Court of Justice yang menyatakan bahwa penafsiran utamanya harus
didasarkan pada bunyi naskah perjanjian. Majelis Arbitrase menyatakan bahwa
sebagaimana yang tergambar dalam aturan umum penafsiran yang diatur dalam
ketentuan Pasal 31 Vienna Convention on the Law of Treaty (VCLT) atau
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (Konvensi Wina), tugas majelis adalah
untuk menelaah arti perjanjian yang telah disepakati negara pihak sebagaimana
tertuang dalam BIT. BIT tersebut harus dibaca dengan itikad baik, dengan
mempertimbangkan makna biasa dari frase yang dipersengketakan berdasarkan
konteksnya dan sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri.14 Dengan
menerapkan pendapat ini, majelis arbitrase mempertimbangkan bunyi ketentuan
Pasal 2 ayat (1) BIT.
Majelis arbitrase berpendapat bahwa dalil penggugat yang menyatakan
bahwa makna biasa dari frasa “in accordance with” adalah sama dengan “not in
contradiction with” tidak cukup meyakinkan. Tafsir Penggugat yang demikian
mengabaikan fakta bahwa frase dimaksud selengkapnya berbunyi “granted
admission in accordance with”. Menurut Majelis Arbitrase, dalam pengertiannya
yang sederhana, ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT secara eksplisit menyatakan

13
Pertimbangan tersebut tertuang dalam paragraf 41 putusan yang berbunyi, “The Court would
recall that, in accordance with customary international law, reflected in Article 31 of the 1969
Vienna Convention on the Law of Treaties, a treaty must be interpreted in good faith in
accordance with the ordinary meaning to be given to its terms in their contextand in the light of its
object and purpose. Interpretation must be based above all upon the text of the treaty. As a
supplementary measure recourse may be hati to means of interpretation such as the preparatory
work of the treaty and the circumstances of its conclusion,” Territorial Dispute (Libya/Chad),
Judgement, I.C.J. Reports 1994, http://www.icj-cij.org/docket/files/83/6897.pdf, diunduh terakhir
tanggal 26 November 2014.
14
Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina menyatakan, “A treaty shall be interpreted in good faith in
accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in
the light of its object and purpose.”
63

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


adanya prosedur perizinan (admission procedure) yang bertujuan pada
diberikannya atau ditolaknya sebuah permohonan izin penanaman modal.
Berdasarkan syarat yang dinyatakan secara eksplisit ini, majelis arbitrase
berpendapat bahwa penanam modal tidak cukup hanya menunjukkan bahwa
investasi yang dilakukannya tidak bertentangan dengan UU PMA. Selain itu,
ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan
Indonesia secara umum namun merujuk secara spesifik pada satu undang-undang
tertentu yakni UU PMA atau undang-undang lain yang mengubah atau
menggantikannya.
Dengan demikian maka agar suatu penanaman modal itu memenuhi unsur
frasa, “granted admission in accordance with” UU PMA (diberi izin sesuai
dengan UU PMA), penanaman modal tersebut tidak cukup hanya dengan secara
umum sah menurut hukum atau bahwa penanaman modal tersebut tidak
bertentangan dengan UU PMA. Namun, penanaman modal tersebut
dipersyaratkan diberi izin sesuai dengan undang-undang tertentu yakni, dalam hal
ini, UU PMA.
Berdasarkan pertimbangan tersebut majelis arbitrase berpendapat bahwa
syarat yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT khususnya frasa “granted
admission in accordance with” UU PMA bermakna lebih dari sekedar memenuhi
syarat secara umum sesuai dengan atau tidak melanggar peraturan perundang-
undangan nasional sebagai syarat diberikannya perlindungan berdasarkan BIT.
Dalam hal ini majelis arbitrase sependapat dengan Tergugat bahwa syarat yang
disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT adalah spesifik yang merujuk
pada ketentuan tertentu dalam hukum nasional.
Mengikuti alur berpikir Tergugat yang mengutip kasus Desert Line,
Majelis Arbitrase menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT lebih spesifik
dari ketentuan perjanjian yang dipertimbangkan dalam kasus Desert Line yang
mendefinisikan investasi sebagai “setiap jenis aset yang dimiliki atau
diinvestasikan oleh penanam modal dari satu Negara Pihak di dalam wilayah
Negara Pihak lainnya sebagai investasi yang dilakukan sesuai dengan peraturan

64

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


perundang-undangan negara tersebut yang atas penanaman modal tersebut
diberikan sebuah sertifikat.15
Pasal 2 ayat (1) BIT juga merujuk pada izin (admission) bukan proses
pemberian persetujuan yang berlaku baik untuk penanaman modal asing maupun
penanaman modal nasional. Majelis Arbitrase, dengan demikian, menolak tafsir
yang didalilkan Penggugat atas ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT.

2. Pertentangan Tentang Persoalan Bahwa Hanya Penanaman Modal Yang


Dilakukan Berdasarkan Prosedur Yang Ditetapkan Oleh Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yang Merupakan Proses Yang
Dimaksudkan Dalam Frasa “granted admission in accordance with” UU
PMA

2.1. Pandangan Penggugat dan Tergugat

Isu hukum kedua yang menjadi pertentangan dalam kasus ini adalah
persoalan bahwa hanya penanaman modal yang dilakukan berdasarkan prosedur
yang ditetapkan BKPM yang merupakan proses yang dimaksudkan dalam frasa
“granted admission in accordance with” UU PMA. Penggugat setuju dengan
argumentasi bahwa hanya penanaman modal yang telah diberi izin (granted
admission) yang tercakup dalam lingkup BIT. Terhadap hal tersebut ada dua
perbedaan mendasar antara tafsir penggugat dan tergugat.
Pertama, Tergugat berpandangan bahwa tafsir kedua atas frasa izin “in
accordance with” UU PMA merujuk semata-mata pada penanaman modal yang
diberi izin oleh BKPM. Sebaliknya, penggugat mendasarkan dalilnya pada
ketentuan Pasal 5 UU PMA yang menyatakan bahwa pemerintah akan
menentukan bidang-bidang yang terbuka untuk penanaman modal asing serta
syarat yang mesti dipenuhi penanam modal asing pada masing-masing bidang

15
Dalam putusan kasus Desert Line tersebut dinyatakan bahwa definisi investasi adalah “every
kind of asset owned or invested by an investor of one Contracting Party, in the territory of another
Contracting Party, as an investment according to its laws and regulations, and for which an
investment certificate is issued”.
65

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


tersebut.16 Penggugat berpendapat bahwa penentuan ini telah dilakukan
pemerintah Indonesia dengan memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia
untuk menentukan syarat yang harus dipenuhi penanam modal asing di sektor
perbankan.
Kedua, Tergugat menegaskan bahwa penanaman modal yang dilakukan
Penggugat bukan penanaman modal langsung (direct investment) dan oleh karena
itu berada di luar cakupan BIT. Argumentasi ini didasarkan pada dua hal yakni (i)
Tergugat menyatakan bahwa BIT tidak berlaku pada penanaman modal yang
dilakukan melalui negara ketiga yang bukan merupakan negara pihak BIT
sebagaimana penanaman modal yang dilakukan penggugat; (ii) Tergugat
menegaskan bahwa Pasal 1 UU PMA merujuk pada penanaman modal langsung
dan setiap penanaman modal yang bukan merupakan penanaman modal langsung,
sebagaimana yang dilakukan penggugat, berada di luar UU PMA dan di luar
cakupan BIT. Penggugat tidak setuju atas dua hal tersebut.
Dalam kasus ini, para pihak sama-sama mengetahui bahwa masuknya
penanaman modal yang dilakukan Penggugat di Indonesia tidak berdasarkan
proses yang dilakukan BKPM. Namun, para pihak berbeda pendapat tentang
persoalan apakah BKPM hanya satu-satunya lembaga yang diberi wewenang
untuk menyelenggarakan proses perizinan penanaman modal asing sesuai dengan
UU PMA.

2.2 Dalil Tergugat

Tergugat mendalilkan bahwa penanaman modal yang diberi izin sesuai


dengan UU PMA hanya penanaman modal yang diberi izin oleh BKPM.
Penanaman modal tidak langsung tidak termasuk kewenangan BKPM, begitu juga
penanaman modal di sektor perbankan. BKPM merupakan lembaga tunggal yang
diberi wewenang untuk melaksanakan UU PMA. UU PMA mempersyaratkan
penanaman modal dilakukan dengan membentuk badan hukum tertentu yakni

16
Hal ini disebutkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU PMA yang menyatakan, “Pemerintah
menetapkan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing menurut urutan
prioritas, dan menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanam modal asing dalam
tiap-tiap usaha tersebut.”
66

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


perusahaan Penanaman Modal Asing. Bank, di Indonesia, tidak bisa berbentuk
perusahaan PMA. Menurut Tergugat, perusahaan PMA merupakan satu-satunya
wadah yang dapat digunakan untuk melakukan penanaman modal berdasarkan
UU PMA. Deangan wadah ini perusahaan PMA mendapatkan berbagai manfaat.
Salah satunya adalah bila perusahaan tersebut berasal dari negara yang bersama
Indonesia merupakan negara pihak dalam suatu perjanjian, maka penanaman
modal yang dilakukannya dilindungi berdasarkan BIT yang berarti juga termasuk
akses terhadap arbitrase ICSID apabila terjadi sengketa.
Menurut Tergugat alasan tidak disebutnya BKPM dalam UU PMA adalah
karena BKPM belum lahir pada saat UU PMA mulai berlaku. Namun,
kesepahaman tentang BKPM ini tercatat dalam korespondensi internal antara para
perunding BIT dari pihak Indonesia dan Inggris. Dalam risalah perundingan telah
secara jelas ditunjukkan kepada para perunding dari pihak Inggris bahwa BKPM,
bukan lembaga lain, yang menangani aplikasi penanaman modal asing serta
memberikan izin sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT.

2.3 Dalil Penggugat

Dalam pandangannya penggugat menerima argumentasi bahwa


penanaman modal yang dilakukan penggugat tidak melalui proses perizinan di
BKPM. Namun, penggugat membantah dalil yang menyatakan bahwa proses
perizinan di BKPM merupakan satu-satunya proses yang harus dilalui untuk
diberikannya izin penanaman modal sesuai dengan UU PMA. Menurut penggugat
Pasal 2 ayat (1) BIT tidak merujuk pada lembaga tertentu atau prosedur tertentu
tetapi hanya menyatakan ‘diberi izin sesuai dengan UU PMA’. Dengan demikian
ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT membuka ruang bebas penentuan tata cara
perizinan. Pemberian izin melalui BKPM merupakan salah satu rezim perizinan
dalam hal penanaman modal asing namun bukan satu-satunya pintu perizinan.
Penggugat menyatakan bahwa UU PMA tidak merujuk kepada BKPM atau
prosedur perizinan tertentu. Prosedur semacam ini ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan di bawahnya dan tidak ada ketentuan dalam UU PMA yang
membatasi pengaturan pemberian izin dalam peraturan yang lebih rendah hanya
melalui BKPM.
67

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Penggugat juga menanggapi penjelasan Tergugat mengenai korespondensi
internal perunding BIT dari Inggris yangmerujuk pada BKPM dengan
menyatakan bahwa meskipun saat itu BKPM merupakan satu-satunya lembaga
yang diberi wewenang untuk melaksanakan ketentuan UU PMA, namun kata-kata
yang digunakan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT cukup fleksibel dan
memungkinkan terjadinya perkembangan. Dalam kenyataannya terjadi
perkembangan dengan munculnya lembaga lain yang memiliki wewenang
menangani penanaman modal asing.
Para Penggugat juga mendasarkan argumentasinya pada ketentuan Pasal 5
UU PMA yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan
bidang-bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal asing serta syarat yang
harus dipenuhi. Para penggugat mengemukakan bahwa UU PMA merupakan
payung hukum untuk semua penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia.
Ketentuan Pasal 5 UU PMA membuka kemungkinan tentang syarat perizinan dan
oleh karena itu ketentuan tersebut menjadi jembatan yang memungkinkan
Indonesia memberikan izin penanaman modal bukan hanya yang tercakup dalam
kewenangan BKPM tetapi juga untuk jenis penanaman modal asing tertentu
dengan persyaratan tertentu pula. Menurut penggugat ketentuan ini juga
mencakup penanaman modal asing di sektor perbankan. Sektor perbankan tidak
dikesampingkan oleh UU PMA. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, yang menggantikan UU PMA, secara tegas mendefinisikan
penanaman modal sebagai semua penanaman modal baik penanaman modal asing
maupun penanaman modal nasional.

2.4 Pendapat Majelis Arbitrase

Terkait persoalan hukum sebagaimana didalilkan oleh Penggugat dan


Tergugat di atas, dalam pertimbangannya majelis arbitrase berpendapat bahwa
majelis arbitrase memahami bahwa rezim BKPM dan pengaturan mengenai sektor
perbankan dilakukan secara terpisah. Namun, baik BIT maupun UU PMA tidak
menyatakan bahwa semua penanaman modal asing di Indonesia tunduk pada
rezim BKPM. Sebaliknya, penanaman modal asing di beberapa sektor tidak
tunduk pada prosedur yang ditentukan oleh BKPM. Pasal 5 UU PMA yang
68

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


dijadikan dalil terkait persoalan ini merupakan bagian dari UU PMA pada saat
BIT disepakati. Ketentuan ini memberikan penegasan bahwa Indonesia memiliki
kebebasan untuk menentukan pada sektor mana saja dan dengan syarat apa saja
penanaman modal asing diperbolehkan. Ketentuan Pasal 5 UU PMA tersebut juga
tidak menyebutkan bahwa syarat-syarat dimaksud hanyalah syarat yang terdapat
dalam UU PMA. Penyebutan sektor perbankan dalam Daftar Negatif Investasi
berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal yang baru memperkuat
kesimpulan bahwa Undang-Undang Penanaman Modal itu sendiri cukup luas
untuk mencakup sektor perbankan tanpa persyaratan bahwa penanaman modal di
bidang ini harus mendapatkan izin dari BKPM.
Penjelasan ini dianggap cukup oleh majelis arbitrase untuk menunjukkan
bahwa sektor perbankan di Indonesia diatur oleh Bank Indonesia dan semua
prosedur yang terkait dengan penanaman modal asing di sektor perbankan
ditetapkan oleh Bank Indonesia. Berdasarkan pertimbangan tersebut majelis
arbitrase berkesimpulan bahwa dengan merujuk pada ketentuan bahwa
penanaman modal diberi izin sesuai dengan UU PMA, ketentuan Pasal 2 ayat (1)
BIT dapat mencakup bukan hanya penanaman modal yang diberi izin oleh BKPM
atau oleh otoritas yang diberi wewenang oleh BKPM tetapi juga mencakup
penanaman modal yang diberi izin sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan
oleh Indonesia untuk sektor-sektor yang terbuka bagi penanaman modal namun
tidak tunduk pada prosedur yang ditetapkan oleh BKPM. Untuk sektor perbankan,
syarat perizinan ditentukan oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, majelis arbitrase
tidak mengesampingkan argumentasi Penggugat yang menyatakan bahwa
penanaman modal yang dilakukannya diberi izin sesuai dengan prosedur yang
berbeda dari yang ditentukan oleh BKPM.

3. Perbedaan Pendapat tentang Persoalan Bahwa Hanya Penanaman Modal


Langsung yang Termasuk dalam Cakupan Ketentuan BIT Pasal 2 ayat (1)

3.1 Dalil Tergugat

Terhadap perbedaan pendapat tersebut, Tergugat mengemukakan dua


alasan. Pertama, Tergugat menafsirkan BIT hanya berlaku pada penanaman
69

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


modal langsung. Kedua, Tergugat mendasarkan dalilnya pada ketentuan Pasal 1
UU PMA17 yang memberikan batasan pada penanaman modal langsung.
Untuk memperkuat dalilnya tergugat merujuk pada istilah yang spesifik
digunakan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT yakni bahwa penanaman modal
dilakukan “by nationals or companies of the United Kingdom”. Menurut
Tergugat, preposisi by menunjukkan hubungan dan kedekatan langsung dengan
kata benda dan kata lain dalam kalimat tersebut. Ini menegaskan bahwa
penanaman modal tersebut dilakukan secara langsung (directly) atau dimiliki oleh
(owned by) negara atau perusahaan yang dimaksud dalam BIT. Tergugat juga
merujuk pada kasus Standard Chartered v. Tanzania18 yang menyatakan bahwa
kata “by” menyiratkan adanya peran yang aktif dari penanam modal pada kegiatan
penanaman modal yang dilakukannya.
Dalam penjelasannya Tergugat juga merujuk pada ketentuan lain dalam
BIT yakni frasa “wherever incorporated” dalam ketentuan Pasal 1 huruf a poin
(ii)19 yang menyiratkan bahwa warga negara Inggris bisa melakukan penanaman
modal langsung di Indonesia (sebagai individu) melalui perusahaan yang
17
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyatakan, “Pengertian
penanaman modal asing di dalam Undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing
secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini
dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal
secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut.”
18
Dalam kasus ini, Standard Chartered menggugat Tanzania berdasarkan Agreement between the
Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of
the United Republic of Tanzania for the Promotion and Protection of Investments yang merupakan
BIT antara Inggris dan Tanzania. Majelis arbitrase dalam perkara ini menafsirkan preposisi by
yang digunakan dalam BIT khususnya pada bagian pembukaan. Pada pembukaan BIT Inggris dan
Tanzania terdapat kalimat yang berbunyi, “desiring to create favorable conditions for greater
investment by nationals and companies of one State in the territory of the other State”. Majelis
arbitrase menafsirkan kata “by” yang terdapat pada frasa “investment by nationals and companies
of one State in the territory of the other State”. Menurut majelis arbitrase, kata by tersebut
menunjukkan bahwa perusahaan pada negara pertama merupakan pelaku dan menyiratkan adanya
peran yang aktif yang dilakukan untuk perusahaan tersebut. Paragraf 228 putusan tersebut
menyatakan, “Several elements in the object and purpose set out in the preamble are instructive.
First, as noted above, the Contracting Parties’ focus was on increasing “investment by nationals
and companies of one State in the territory of the other State.” “By” here signifies that the
company of the first State is the actor, and implies an active role of some kind for that company.”
Standard Chartered Bank v. United Republic of Tanzania, Award of 2 November 2012, ICSID
Case No. ARB/10/12.
19
Pasal 1 huruf a poin ii BIT Indonesia-Inggris menyebutkan, “a. “investment” means every kind
of asset and in particular, though not exclusively, includes: ii. Shares, stocks and debentures of
companies whereever incorporated or interests in the property of such companies.”
70

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


didirikan di Indonesia atau perusahaan yang didirikan di Inggris yang berati
penanaman modal tersebut harus dilakukan oleh warga negara Inggris atau
perusahaan yang didirikan di Inggris. Karena penanaman modal dalam kasus ini
dilakukan oleh Tergugat melalui negara ketiga (Bahamas) maka penanaman
modal tersebut tidak termasuk yang dilindungi berdasarkan BIT. Tergugat
menegaskan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT menggambarkan pilihan
kebijakan Indonesia untuk membatasi perlindungan terhadap penanaman modal
asing. Pilihan kebijakan ini diperjelas oleh Indonesia kepada perunding yang
mewakili Inggris dan juga ditunjukkan dalam ketentuan Pasal 1 UU PMA yakni
berlaku hanya untuk penanaman modal secara langsung.
Atas dasar pertimbangan tersebut Tergugat sampai pada kesimpulan
bahwa penanaman modal yang dilakukan Penggugat berada di luar cakupan BIT
sebab merupakan penanaman modal tidak langsung yang dilakukan melalui
Chinkara, sebuah perusahaan yang berbadan hukum Kepulauan Bahama.

3.2 Dalil Penggugat

Terkait hal tersebut Penggugat mendalilkan bahwa Pasal 1 huruf a BIT


mengandung pengertian yang sangat luas yang secara eksplisit membolehkan
penanaman modal tidak langsung. Penggugat mendefinisikan penanaman modal
tidak langsung sebagai penanaman modal yang dilakukan melalui dua atau tiga
perusahaan. Penggugat juga menyatakan bahwa kata-kata dalam ketentuan BIT
Pasal 1 huruf a poin ii mencakup penanaman modal yang dilakukan Penggugat.
Penggugat menegaskan bahwa pengertian penanaman modal merujuk pada setiap
aset atau saham perusahaan di manapun didirikan. Frasa “di manapun didirikan”
(wherever incorporated), menurut Penggugat, merujuk pada kepemilikan saham
pada perusahaan di mana pun perusahaan itu didirikan oleh warga negara atau
perusahaan Inggris. Atas alasan itu maka ketentuan tersebut juga berlaku bagi
penanaman modal yang dilakukan Penggugat secara tidak langsung melalui
sebuah perusahaan yang didirikan di Kepulauan Bahama yang kemudian
perusahaan tersebut melakukan penanaman modal di Indonesia.
Kesimpulan ini diambil dengan alasan bahwa Penggugat membaca frase
‘wherever incorporated’ mengandung kehendak para pihak dalam perjanjian
71

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


untuk memperluas jangkauan BIT ke “companies incorporated anywhere” juga
termasuk perusahaan yang didirikan di wilayah yang tidak dicakup BIT. Dengan
demikian istilah ‘penanaman modal’ menurut Penggugat juga mencakup
penanaman modal tidak langsung. Penggugat juga menegaskan bahwa penanaman
modal yang dilakukan melalui perusahaan yang didirikan di negara ketiga dapat
dianggap sebagai penanaman modal sebagaimana maksud BIT. Penggugat
menyatakan bahwa penanaman modal yang demikian tercakup dalam pengertian
luas penanaman modal sebagai ‘any kind of asset’ sebab dalam pandangan
Penggugat penanaman modal tidak langsung yang menguntungkan adalah aset
sehingga ia termasuk penanaman modal.
Untuk mendukung dalilnya Penggugat merujuk pada penafsiran atas
definisi investasi dalam perjanjian penanaman modal lainnya yang menjadi bahan
pertimbangan dalam perkara Alex Genin v. Estonia,20 Cemex v. Venezuela,21
Mobil v. Venezuela,22 dan Azurix v. Argentina.23 Menurut Penggugat perkara-
perkara tersebut mengandung prinsip hukum penanaman modal internasional yang
sudah diakui.
Penggugat menerjemahkan frasa ‘every kind of asset’ (setiap jenis aset)
sesuai dengan maksud dan tujuan BIT yang menurut Penggugat menunjukkan

20
Kasus ini diputus berdasarkan BIT antara Amerika Serikat dan Estonia yang mulai berlaku pada
tanggal 16 Februari 1997. Definisi investasi diatur dalam Pasal I BIT tersebut. Alex Genin, Easter
Credit Limited, and A.S. Baltoil v. Republic of Estonia, Award of 25 June 2001, ICSID Case No.
ARB/99/2. Putusan dapat diunduh di
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC592_En&caseId=C178. Diunduh terakhir tanggal 26 November 2014.
21
Kasus tersebut diputus berdasarkan BIT antara Belanda dan Venezuela. Definisi investasi diatur
dalam ketentuan Pasal 1 huruf a BIT tersebut. Cemex Caracas Investments B.V. and Cemex
Caracas II Investments B.V. v. Bolivarian Republic of Venezuela, Decision on Jurisdiction of 30
December 2010, ICSID Case No. ARB/08/15. Putusan dapat diunduh di
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC1831_En&caseId=C420, diunduh tanggal 26 November 2014.
22
Kasus ini juga diputus berdasarkan BIT antara Belanda dan Venezuela. Mobil Corporation,
Venezuela Holdings B.V. and others v. Bolivarian Republic of Venezuela, Decision on Jurisdiction
of 10 June 2010, ICSID Case No. ARB/07/27.
23
Kasus ini diputus berdasarkan dengan BIT antara Amerika Serikat dan Argentina. Definisi
investasi diatur dalam Pasal 1 huruf a BIT tersebut. Azurix Corp. v. The Argentine Republic,
Decision on Jurisdiction of 8 December 2003, ICSID Case No. ARB/01/12. Putusan dapat diunduh
di
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=showDoc&do
cId=DC506_En&caseId=C5, diunduh tanggal 27 November 2014.
72

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


bahwa kehendak para pihak dalam perjanjian adalah memasukkan semua bentuk
dan ukuran investasi dan dalam sektor apa pun. Untuk memperkuat dalil tersebut
Penggugat juga merujuk pada kata-kata yang digunakan dalam ketentuan Pasal 3
BIT24 yang mengandung pengertian bahwa tidak ada pembatasan terkait cakupan
modal serta pembukaan BIT25 yang mengandung pengertian tiadanya pembatasan
dalam hal investasi.
Penggugat mendalilkan bahwa tidak ada inkonsistensi antara ketentuan
Pasal 1 BIT yang mencakup penanaman modal tidak langsung dan Pasal 2 ayat
(1) BIT yang merujuk pada UU PMA yang di dalamnya merujuk pada penanaman
modal langsung yang merupakan dua ketentuan yang harus ditafsirkan secara
harmonis. Kedua ketentuan tersebut merujuk pada aspek yang berbeda dalam BIT,
yakni Pasal 1 mendefinisikan penanaman modal yang dilindungi dan Pasal 2 ayat
(1) menentukan syarat bahwa penanaman modal harus diberi izin sesuai dengan
peraturan perundang-undangan negera penerima penanaman modal. Penggugat
menegaskan bahwa Pasal 1 menentukan definisi istilah ‘penanaman modal’ dan
definisi tersebut tidak bisa diabaikan dalam memahami ketentuan Pasal 2 ayat (1)
BIT.
Penggugat juga menanggapi dalil yang menyatakan bahwa karena Pasal 1
UU PMA merujuk pada penanaman modal langsung, ketentuan Pasal 2 ayat (1)
BIT hanya menentukan izin untuk penanaman modal langsung. Menurut
Penggugat, UU PMA berlaku pada level yang berbeda dari BIT. Pasal 1 BIT
mendefinisikan penanaman modal secara luas yang memuat daftar panjang
tentang apa saja yang dimaksud dengan aset. Termasuk dalam daftar panjang ini
adalah penanaman modal tidak langsung misalnya kepemilikian pada perusahaan
di mana pun perusahaan itu berada. Meskipun demikian agar suatu penanaman
24
Pasal 3 ayat (1) BIT berbunyi, “Each Contracting Party shall encourage and create favourable
conditions for nationals or companies of the Other Contracting Party to invest capital in its
territory and, subject to its rights to exercise powers conferred by its laws, shall admit such
capital”.
25
Pembukaan BIT Indonesia-Inggris menyatakan, “The Government of the United Kingdom of
Great Britain and Northern Ireland and the Government of the Republic of Indonesia; Desiring to
create favourable conditions for greater economic co-operation between them and in particular
for investments by nationals and companies of one State in the territory of the other State;
Recognising that the encouragement and reciprocal protection under international agreement of
such investments will be conducive to the stimulation of individual business initiative and will
increase prosperity in both States.
73

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


modal mendapatkan manfaat dari BIT, berdasakan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT
penanaman modal tersebut harus mendapatkan izin sesuai dengan UU PMA.
Karena UU PMA terbatas hanya untuk penanaman modal langsung maka semua
jenis penanaman modal yang diberi izin harus beradas pada level penanaman
modal langsung.
Pembatasan hanya pada penanaman modal langsung dalam hukum
Indonesia tidak dapat mengubah definisi penanaman modal menurut BIT. Selama
syarat perizinan telah dipenuhi untuk penanaman modal langsung, penanaman
modal tidak langsung (berdasarkan definisi yang disebutkan dalam ketentuan
Pasal 1 BIT) juga dilindungi.
Terhadap dalil Tergugat yang menyatakan bahwa penggunaan kata “by”
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT untuk merujuk pada penanaman modal by
(oleh) warga negara Inggris atau perusahaan Inggris mengandung pengertian
bahwa penaman modal yang masuk ke Indonesia harus berupa penanaman modal
langsung, Penggugat menyatakan bahwa ketentuan substantif dalam BIT merujuk
pada penanaman modal yang dilakukan oleh investor sehingga penggunaan
preposisi “by” tidak memiliki makna khusus yang sifatnya membatasi.

3.3 Pendapat Majelis Arbitrase

Mengenai isu hukum yang disebutkan dalam poin A.3 tersebut di atas,
majelis arbitrase menyatakan bahwa isu tersebut tidak relevan lagi diperdebatkan
sebab penanaman modal yang dilakukan oleh Penggugat masuk ke Indonesia
setelah melalui proses yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sehingga pertanyaan
tentang apakah yang dimaksud penanaman modal itu adalah penanaman modal
langsung, bukan penanaman modal tidak langsung ataukah penanaman modal
yang dimaksud tidak boleh dilakukan melalui negara ketiga atau perusahaan yang
didirikan di negara ketiga dikesampingkan.

74

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


4. Apakah Aplikasi Penanaman Modal yang dilakukan Penggugat “diberi
izin” Melalui Proses yang Ditetapkan oleh Bank Indonesia?

4.1 Dalil Penggugat

Penggugat menyatakan bahwa penanaman modal yang dilakukannya telah


melalui proses perizinan yang panjang dan melelahkan yang berlangsung sejak
tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Proses ini berawal dari persetujuan Bank
Indonesia atas pembelian daham Bank Danpac dan Bank Pikko oleh Chinkara
yang kemudian juga berujung pada merger Bank Century pada Desember 2004.
Penggugat mendalilkan bahwa proses persetujuan formal yang
26
dipersyaratkan Undang-Undang Perbankan berlaku pada tahap kepemilikan
hukum dan terbatas pada Chinkara. Penggugat mengakui bahwa proses ini bukan
merupakan proses pemberian izin. Namun, ujungnya merupakan proses
pemberian izin atas penanaman modal yang dilakukan Penggugat di Indonesia
sebab kenyataannya ototritas Indonesia mengetahui bahwa Penggugat merupakan
pemegang saham di Chinkara dan oleh karena itu juga merupakan pemegang
saham di Danpac, Pikko dan Bank Century. Proses perizinan yang terjadi secara
de facto ini dirancang oleh Bank Indonesia dan itu termasuk interogasi kepada
Penggugat mengenai kepemilikan sahamnya pada bank-bank dimaksud.
Penggugat menyatakan bahwa penanaman modal yang dilakukannya di
Indonesia melalui Chinkara telah diberi izin sesuai dengan UU PMA sebab
Penggugat merupakan pemegang saham Chinkara yang mengikuti prosedur yang
telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia tidak hanya menyelidiki
Chinkara tetapi juga pemegang saham Chinkara. Pada kenyataannya, Penggugat
telah melalui proses menyeluruh yang dilakukan Bank Indonesia yang sangat
menyadari posisi Penggugat sebagai pemegang saham.

26
Dalam kasus ini Undang-Undang Perbankan yang dirujuk adalah Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Lihat Paragraf
50 putusan.

75

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Menurut Penggugat ada tiga unsur yang menunjukkan bahwa proses yang
dijalani Penggugat merupakan proses pemberian izin secara ad hoc yakni:
1. Persetujuan yang diberikan Bank Indonesia atas pembelian saham Danpac dan
Pikko oleh Chinkara;
2. Persetujuan atas merger Bank Century;
3. Fit and proper test yang dijalani Penggugat.

4.2 Dalil Tergugat

Terhadap persoalan tersebut Tergugat menyatakan Tergugat mengakui


bahwa keberadaan Penggugat dan Chinkara memenuhi persyaratan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Bank
Indonesia untuk melakukan penanaman modal di bidang perbankan. Namun,
menurut Tergugat, proses itu tidak dilaksanakan oleh BKPM sebab tidak ada
permohonan yang dimasukkan ke BKPM dan UU PMA tidak mencakup sektor
perbankan sehingga penanaman modal yang dilakukan Pemohon tidak diberi izin
berdasarkan UU PMA sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT
sehingga tidak termasuk jenis penanaman modal yang dilindungi berdasarkan
BIT.
Menurut Tergugat, proses yang dimaksud Penggugat bukan merupakan
proses pemberian izin penanaman modal kepada penanam modal asing. Proses itu
berlaku terhadap siapa pun yang membeli saham sebuah bank baik orang asing
maupun warga negara Indonesia. Prosedur yang dilewati Penggugat tersebut
bukan merupakan proses pemberian izin terhadap investasi asing yang akan
masuk ke Indonesia.

4.3. Pendapat Majelis Arbitrase

Terhadap permasalahan ini, Majelis Arbitrase berpendapat bahwa bukti-


bukti yang disampaikan Penggugat untuk menegaskan bahwa Bank Indonesia
mengetahui posisi Penggugat sebagai pemegang sahm Bank Century tidak cukup
meyakinkan bagi Majelis. Demikian juga dengan dalil Penggugat yang
menyatakan bahwa tuduhan tindak pidana yang dikenakan ditujukan kepada
76

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Penggugat dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham Bank Century. Namun,
menurut Majelis Arbitrase, bukti-bukti yang disampaikan tidak mendukung dalil
tersebut. Dalam pandangan Majelis Arbitrase, keseluruhan dalil yang disampaikan
Penggugat tidak menunjukkan bahwa penanaman modal yang dilakukan
Penggugat telah memenuhi proses perizinan berdasarkan UU PMA.

5. Klausula Most-Favoured Nation

Penggugat dalam perkara ini juga mencoba menggunakan klausula most-


favoured nation yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) BIT yang berbunyi:
“Neither Contracting Party shall in its territory subject investments or
returns of nationals or companies of the other Contracting Party to
treatment less favourable than that which it accords to investments or
returns of nationals or companies of any third State.”

Menurut Penggugat, ketentuan ini memberikan kemungkinan untuk merujuk pada


ketentuan BIT lain yang lebih menguntungkan di mana Indonesia sebagai pihak.
BIT yang dirujuk mengandung ketentuan tentang kriteri perizinan penanaman
modal yang lebih longgar atau sama sekali tidak mengatur ketentuan tentang
cakupan perjanjian. Dalam hal ini Penggugat merujuk pada BIT antara Indonesia
dan Belanda27, antara Indonesia dan Swiss,28 Indonesia dan Organisasi Konferensi

27
BIT antara Indonesia dan Belanda ditandatangani pada tanggal 6 April 1994 dan mulai berlaku
pada tanggal 1 Juli 1995. Lihat
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu, diunduh pada 18
November 2014. Saat ini Indonesia telah memberitahu pemerintah Belanda bahwa pemerintah
Indonesia akan mengakhir BIT tersebut mulai 1 Juli 2015. Lihat
http://indonesia.nlembassy.org/organization/departments/economic-affairs/termination-bilateral-
investment-treaty.html, diakses pada 18 November 2014. Dalam BIT tersebut most-favoured
nation diatur dalam ketentuan Pasal 3 mengenai Treatment and Most Favoured Nations Provisions
yang selengkapnya berbunyi, “(1) Each Contracting Party shall ensure fair and equitable
treatment of the investments of nationals of the other Contracting Party and shall not impair, by
unreasonable or discriminatory measures, the operation, management, maintenance, use,
enjoyment or disposal thereof by those nationals. Each Contracting Party shall accord to such
investments adequate physical security and protection; (2) More particularly, each Contracting
Party shall accord to such investments treatment which in any case shall not be less favourable
than that accorded to investments of nationals of any third State; (3) If a Contracting Party has
accorded special advantages to nationals of any third State by virtue of agreements establishing
customs unions, economic unions, monetary unions or similar institutions, or on the basis of
interim agreements leading to such unions or institutions, that Contracting Party shall not be
obliged to accord such advantages to nationals of the other Contracting Party; (4) Each
Contracting Party shall observe any obligation it may have entered into with regard to
77

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Islam (OKI),29 Indonesia dan Belgia,30 BIT antara Indonesia dan Jerman,31 BIT
antara Indonesia dan India,32 serta BIT antara Indonesia dan Singapura.33

investments of nationals of the other Contracting Party.


http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1629, diunduh tanggal 18 November
2014.
28
BIT antara Indonesia dan Swiss ditandatangani pada tanggal 6 Juni 1974 dan mulai berlaku pada
tanggal 9 April 1976, http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu,
diakses tanggal 18 November 2014.
29
Indonesia menjadi anggota OKI sejak 1969, http://www.oic-oci.org/oicv2/states/, diakses
tanggal 18 November 2014. Perjanjian penanaman modal OKI, Agreement on Promotion,
Protectiton and Guarantee of Investments amongst the Member States of the Organization of the
Islamic Conference, ditandatangani pada tanggal 5 Juni 1981 dan mulai berlaku pada tanggal 23
September 1986, http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/country/76/treaty/3092, diakses
tanggal 18 November 2014.
30
BIT antara Indonesia dan Belgia, Agreement on the Encouragement and Reciprocal Protection
of Investments (with protocol), ditandatangani pada tanggal 15 Januari 1970 dan mulai berlaku
pada tanggal 17 Juni 1972. Pasal 9 BIT tersebut menegenai perlindungan penanaman modal
berbunyi, “The protection accorded to investors by the provisions of the present Agreement shall
apply: (a) in the territory of the Republic of Indonesia only to investments which have been
approved by the Government of the Republic of Indonesia pursuant to the stipulations contained in
the Foreign Investment law No.1 of 1967 or other relevant laws and regulations of the Republic of
Indonesia; (b) in the territory of the Kingdom of Belgium only to investments which have been
made consistent with the relevant laws and regulations of the Kingdom of Belgium,”
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/370, diunduh tanggal 18 November
2014.
31
BIT antara Indonesia dan Jerman, Agreement between the Federal Republic of Germany and the
Republic of Indonesia concerning the Encouragement and Reciprocal Protection of Investments,
ditandatangani pada tanggal 14 Mei 2003 dan mulai berlaku pada tanggal 2 Juni 2007. Dalam BIT
tersebut pemberian izin dan perlindungan penanaman modal diatur dalam ketentuan Pasal 2 yang
menyatakan, “(1) Each Contracting Party shall in its territory promote as far as possible the
investment of capital by nationals or companies of the other Contracting Party and admit such
investments in accordance with its legislation and administrative practice. It shall in any case
accord such investment fair and equitable treatment; (2) Investment made in accordance with the
laws and regulations of each Contracting Party within the area of application of that Party’s legal
system by nationals or companies of the other Contracting Party, shall enjoy the full protection of
the present Agreement. To the extent that an admission procedure is required for making an
investment, such investment shall enjoy this protection as from the date of the granting of the
admission, http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1341, diunduh tanggal 18
November 2014.
32
BIT antara Indonesia dan India, Agreement between the Government of the Republic of
Indonesia and the Government of the Republic of India for the Promotion and Protection of
Investments, ditandatangani pada tanggal 10 Februari 1999 dan mulai berlaku pada tanggal 22
Januari 2004. Pasal 2 BIT tersebut mengatur cakupan perjanjian (scope of agreement) yang
berbunyi, “This Agreement shall apply to all investments made by investors of either Contracting
Party in the territory of the other Contracting Party, accepted as such in accordance with its laws
and regulations in force concerning foreign investments, whether made before or after the coming
into force of this Agreement,” http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1563,
diunduh tanggal 18 November 2014.
78

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Dalam pandangan Penggugat, BIT tersebut mengandung ketentuan yang
lebih longgar dalam hal proses masuknya penanaman modal asing ke Indonesia.
Oleh karena itu, dengan merujuk pada klausula MFN sebagaimana ketentuan
Pasal 4 ayat (1) BIT Indonesia-Inggris, Penggugat haurs diberi kelonggaran yang
sama sebagaimana yang dinikmati negara lain yang memiliki BIT dengan
Indonesia.
Tergugat membantah dalil tersebut. Tergugat mengajukan argumentasi
yang pada intinya menyatakan bahwa Penggugat hanya bisa menggunakan
kalusula MFN apabila syarat masuknya penanaman modal sebagaimana yang
diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT telah terpenuhi. Ketentuan Pasal 4
ayat (1) BIT hanya dapat digunakan apabila penanaman modal dilakukan sesuai
dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT. Hanya apabila syarat itu telah terpenuhi,
klausula MFN bisa digunakan.
Dalam pertimbangannya, Majelis Arbitrase sependapat dengan dalil
Tergugat. Majelis Arbitrase berpendapat bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT
telah secara jelas menentukan syarat yang harus dipenuhi agar suatu penanaman
modal mendapatkan perlindungan berdasarkan BIT. Majelis Arbitrase juga
berpendapat bahwa Pasal 2 BIT yang erjudul “Cakupan Perjanjian” (scope of the
agreement) mengandung aspek yurisdiksi baik dari sisi definisi penanaman modal
maupun syarat masuknya penanaman modal. Apabila tidak terdapat penanaman
modal, atau apabila penanaman modal tidak diberi izin sebagaimana UU PMA,
maka tidak ada yurisdiksi.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT secara jelas menyebutkan bahwa BIT
“hanya berlaku” pada penanaman modal yang dilakukan Inggris yang telah diberi
izin di Indonesia sesuai dengan UU PMA. Karena Inggris juga mengenakan syarat
yang sama maka ketentuan Pasal 2 ayat (2) BIT menyatakan bahwa penanaman
modal yang dilalukan Indonesia akan mendapatkan perlindungan hanya apabila

33
BIT antara Indonesia dan Singapura, Agreement between the Government of the Republic of
Singapore and the Government of the Republic of Indonesia on the Promotion and Protection of
Investments ditandatangani pada tanggal 16 Februari 2005 dan mulai berlaku pada tanggal 21 Juni
2006.

79

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


telah memenuhi syarat masuknya penanaman modal sebagaimana diatur dalam
ketentuan tersebut.34
Atas pertimbangan demikian, majelis arbitrase berpendapat bahwa
diberinya izin merupakan conditio sine qua non berlakunya BIT pada seluruh
penanaman modal yang dilakukan Inggris di Indonesia. Oleh karena itu baik
kegiatan maupun aset warga negara Inggris di wilayah Indonesia harus memenuhi
definisi penanaman modal sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a BIT serta harus
memenuhi syarat masuknya penanaman modal sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT agar mendapatkan manfaat dari kwajiban yang
harus dilakukan Indonesia berdasarkan BIT termasuk kewajiban untuk
melaksanakan kalusula MFN yang tertuang dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) BIT.
Karena Majelis Arbitrase telah menyatakan bahwa penanaman modal yang
dilakukan Penggugat tidak memenuhi syarat tersebut, maka Majelis tidak perlu
menguji kandungan ketentuan MFN terkait perlakuan seperti apa yang harus
diberikan sesuai dengan ketentuan tersebut. Ketentuan MFN tidak berlaku pada
penanaman modal yang tidak diberi izin berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
BIT.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Majelis Arbitrase
memutuskan:
1. Menerima keberatan Tergugat terkait yurisdiksi yang menyatakan bahwa
penanaman mdal yang dilakukan Penggugat tidak diberi izin sesuai dengan
UU PMA Indonesia sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat
(1) BIT dan oleh karena itu tidak termasuk dalam cakupan BIT.
2. Menolak dalil Penggugat terkait penggunaan klausula MFN dalam untuk
menentukan cakupan BIT dalam kasus ini.
3. Menyatakan ICSID dan Majelis Arbitrase tidak memiliki yurisdiksi dalam
kasus ini.

34
Pasal 2 ayat (2) BIT Indonesia-Inggris selengkapnya berbunyi, “In the event of the law of United
Kingdom making provisions regarding the admission of foreign investment, investments by
nationals or companies of the Republic of Indonesia in the territory of the United Kingdom made
after the entry into of force of such provisions shall only enjoy protection under this Agreement if
they have been admitted in accordance with such provisions.”

80

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


B. Persoalan yang Menjadi Pokok Sengketa

Putusan dalam perkara ini adalah putusan tentang kewenangan (decision


on jurisdiction). Dalam amar putusan dinyatakan bahwa Majelis Arbitrase tidak
memiliki kewenangan dalam mengadili perkara.
Mempertimbangkan kasus posisi dalam perkara tersebut baik dalil
Penggugat, jawaban Tergugat maupun pertimbangan serta putusan Majelis
Arbitrase, maka dapat ditemukan bahwa pokok sengketa yang menjadi persoalan
dalam kasus ini adalah mengenai masuknya (admission) penanaman modal asing,
dalam hal ini kegiatan penanaman modal yang dilakukan Rafat Ali Rizvi selaku
Penggugat. Dalil yang diajukan para pihak dalam perkara ini semuanya ditujukan
untuk meyakinkan majelis bahwa penanaman modal yang dilakukan telah
memenuhi syarat masuknya penanaman modal sebagaimana ketentuan Pasal 2
ayat (1) BIT atau untuk membantah bahwa penanaman modal yang dilakukan
tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT. Ujung dari perdebatan tentang
terpenuhi atau tidaknya syarat masuknya penanaman modal tersebut adalah
perlindungan (protection).
Terpenuhinya syarat masuknya penanaman modal sebagaimana ketentuan
Pasal 2 ayat (1) BIT menjadi dasar dilindunginya kegiatan penanaman modal
yang dilakukan sebab hal ini berarti bahwa penanaman modal yang dilakukan
Penggugat termasuk dalam cakupan BIT. Dalam perkara ini syarat tersebut tidak
terpenuhi sehingga Majelis Arbitrase menyatakan tidak memiliki yurisdiksi.
Tiadanya yurisdiksi yang dimiliki majelis arbitrase menyebabkan pemeriksaan
tidak memasuki pokok perkara.
Oleh karena itu, persoalan kewenangan yang tidak dimiliki Majelis
Arbitrase dikarenakan penanaman modal yang dilakukan Penggugat tidak
memenuhi syarat masuknya penanaman modal sebagaimana ketentuan Pasal 2
ayat (1) BIT. Dalam hal ini masalah kewenangan (jurisdiction) bertalian dengan
syarat masuknya penanaman modal (admission).

81

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


C. Kewenangan Majelis Arbitrase berdasarkan Konvensi ICSID

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ICSID didasarkan atas


kesepakatan para pihak dalam BIT yang terjadi antara mereka, dalam konteks
penanaman modal antara penanam modal satu negara pihak dengan negara pihak
lainyya ke arbitrase internasional yang berada dalam yurisdiksi ICSID. Dalam
kasus a quo, kesepakatan untuk menyerahkan sengketa ke forum arbitrase ICSID
diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) BIT yang menyatakan:

“The Contracting Party in the territory of which a national or company of


the other Contracting Party makes or intends to make any investment shall
assent any request on the part of such national or company to submit, for
conciliation or arbitration, to the Centre established by the Convention on
the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of
Other States opened for signature at Washington on 18 March 1965 any
disputes that may arise in connection with the investment.”

Dalam Konvensi ICSID sendiri masalah yurisdiksi diatur dalam ketentuan


Pasal 25 ayat (1) yang berbunyi:

“The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising
directly out of an investment, between a Contracting State (or any
constituent subdivision or agency of a Contracting State designated to the
Centre by that State) and a national of another Contracting State, which
the parties to the dispute consent in writing to submit to the Centre. When
the parties have given their consent, no party may withdraw its consent
unilaterally.”

Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID tersebut di atas mengandung beberapa


unsur tentang yurisdiksi ICSID yakni: (i) shall extend to any legal dispute, (ii)
arising directly, (iii) out of an investment, (iv) between a contracting state, (v) (or
any constituent subdivision or agency of a contracting state designated to the
Centre by that State, (vi) and national of another Contracting State, (vii) which
the parties to the dispute, (viii) consent in writing to submit to the Centre, dan
(vix) when the parties have given their consent, no party may withdraw its
consent unilaterally.
Unsur pertama (shall extend to any legal dispute) dari yurisdiksi ICSID
tersebut adalah bahwa sengketa yang terjadi merupakan sengketa hukum bukan
sengketa politik atau sengketa moral. Terdapat perbedaan pandangan tentang
82

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


definisi sengketa hukum tersebut. Negara-negara pengekspor modal keberatan
terhadap rumusan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa rujukan terhadap
sengketa hukum sangat menbatasi dan membigungkan. Negara-negara tersebut
menyarankan agar ketentuan tersebut dihapus. Negara lain menghendaki adanya
penjelasan lebih lanjut.35 Sebagian mencoba merumuskan bahwa yang dimaksud
dengan sengketa hukum adalah yang terkait dengan kewajiban hukum atau hak
hukum.36 Dalam kasus yang menjadi pokok sengketa, persoalan yang dimintakan
oleh Penggugat adalah perlindungan atas kegiatan penanaman modal yang
dilakukannya yang menurutnya termasuk dalam cakupan BIT. Majelis Arbitrase
menyatakan bahwa penanaman modal yang dilakukan Penggugat tidak termasuk
dalam cakupan BIT.
Unsur kedua (arising directly) menyebutkan bahwa sengketa tersebut
harus merupakan sengketa yang disebabkan secara langsung oleh kegiatan
penanaman modal. Tentang pengertian ketentuan ini, Majelis Arbitrase dalam
kasus Fedax v. Venezuela menerangkan bahwa yurisdiksi ICSID juga mencakup
bukan hanya penanaman modal langsung tetapi juga penenaman modal tidak
langsung sepanjang sengketa itu terjadi secara langsung sebagai akibat dari
transaksi yang dilakukan.37 Dalam perkara yang menjadi pokok sengketa,
Tergugat mendalilkan bahwa berdasarkan BIT penanaman modal yang dilindungi
hanya penanaman modal langsung sedangkan penanaman modal yang dilakukan
tergugat merupakan penanaman modal tidak langsung tetapi merupakan
penanaman modal yang dilakukan melalui negara ketiga. Majelis Arbitrase
mengesampingkan pernyataan ini. Meskipun demikian, dalam pertimbangannya
tentang dalil Penggugat yang Majelis Arbitrase menunjukkan bahwa penanaman
modal yang dilakukan Penggugat memang masuk ke Indonesia. Hanya saja,
proses masuknya tidak berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT.
Unsur ketiga (out of an investment) adalah tentang pengertian penanaman
modal. Tentang hal ini sebagian besar majelis arbitrase menrapkan alat uji ganda
yang biasa disebut sebagai doube keyhole approach atau double barrelled test.
35
Christoph H. Schreuer, et.al., The ICSID Convention: A Commentary, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 98.
36
Ibid., hlm. 100.
37
Ibid., hlm. 108.

83

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Berdasarkan alat uji tersebut, untuk menentukan apakah syarat adanya kegiatan
penanaman modal sudah terpenuhi maka harus diuji apakah kegiatan yang
dimaksud tercakup dalam kesepakatan para pihak dan apakah telah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dalam Konvensi ICSID. Apabila kewenangan
didasarkan pada perjanjian yang dilakukan para pihak maka apa yang disebut
penanaman modal dapat dilihat dari definisi penanaman modal38 yang telah
disepakati para pihak dalam perjanjian tersebut. Selain itu, majelis arbitrase juga
harus menentukan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan penanaman
modal menurut Konvensi ICSID.39
Unsur keempat (between a Contracting State) adalah bahwa sengketa
yang atasnya ICSID memiliki yurisdiksi harus sengketa yang terjadi antara negara
pihak pada Konvensi ICSID. Dalam beberapa putusan, majelis arbitrase ICSID
menyatakan bahwa penentuan tanggal kapan sebuah negara disebut sebagai
negara pihak adalah waktu diajukannya sengketa bukan saat para pihak
melakukan kesepakatan penanaman modal. Dengan demikian meskipun para
pihak membuat kesepakatan penanaman modal jauh sebelum menjadi negara
pihak pada Konvensi ICSID namun apabila sengketanya diajukan setelah negara
tersebut menjadi pihak maka negara tersebut tetap dianggap sebagai negara
pihak.40 Dalam kasus a quo, jauh sebelum sengketa tersebut diajukan, Indonesia
telah menjadi negara pihak pada Konvensi ICSID.41

38
Dalam BIT Indonesia-Inggris definisi penanaman modal tertuang dalam ketentuanPasal 1 huruf
a yang berbunyi, “For the purpose of this Agreement: (a) ‘investment’ means every kind of asset
and in particular, though not exclusively, includes: (i) movable and immovable property and any
other property rights such as mortgages, liens or pledges; (ii) shares, stock and debentures of
companies wherever incorporated or interests in the property of such companies; (iii) claims to
money or to any performance under contract having a financial value; (iv) intellectual property
rights and goodwill ; (v) business concessions conferred by law or under contract, including
concessions to search for, cultivate, extract or exploit natural resources.
39
Ibid., hlm. 117.
40
Ibid., hlm. 145.
41
Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang
Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal.
Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara
Asing mengenai Penanaman Modal, UU No. 5 Tahun 1968, LN No. 32. Konvensi tersebut mulai
berlaku di Indonesia tanggal 28 Oktober 1968. Di Inggris Konvensi ICSID mulai berlaku tanggal
18 Januari 1967,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDDocRH&actionVal=ShowDo
cument&language=English, diunduh tanggal 8 Desember 2014.
84

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Unsur kelima (or any subdivision or agency of a Contracting State
designated to the Centre by that State) dari cakupan yurisdiksi ini adalah bahwa
yang menjadi pihak dalam sengketa baik sebagai penggugat maupun tergugat
tidak harus pemerintah pusat tetapi bisa juga pemerintah daerah atau badan usaha
milik negara.42 Dalam kasus a quo, pihak yang menjadi Tergugat adalah
pmerintah Republik Indonesia sebab yang disoal adalah tindakan pemerintah yang
mem-bail out Bank Century.
Unsur keenam (and a national of another Contracting State)
menerangkan tentang kewarganegaraan pihak yang bersengketa yang merujuk
baik peroarangan maupun badan hukum. Definisi kewarganegaraan tersebut
disebutkan dalam ketentuan Pasal 25 Konvensi ICSID yang berbunyi:
“(2) “National of another Contracting State” means:
(a) any natural person who had the nationality of a Contracting State
other than the State party to the dispute on the date on which the parties
consented to submit such dispute to conciliation or arbitration as well as
on the date on which the request was registered pursuant to paragraph (3)
of Article 28 or paragraph (3) of Article 36, but does not include any
person who on either date also had the nationality of the Contracting State
party to the dispute; and
(b) any juridical person which had the nationality of a Contracting
State other than the State party to the dispute on the date on which the
parties consented to submit such dispute to conciliation or arbitration and
any juridical person which had the nationality of the
Contracting State party to the dispute on that date and which, because of
foreign control, the parties have agreed should be treated as a national of
another Contracting State for the purposes of this Convention.”

Ketentuan ini menentukan bahwa “national of another contracting state”


bermakna bahwa pihak yang bersengketa adalah warga negara dari negara yang
menjadi pihak pada Konvensi ICSID baik perorangan warga negara maupun
badan hukum. Namun, dalam hal ini ditegaskan bahwa pihak tersebut bukan
warga negara dari negara yang menjadi pihak dalam sengketa. Dalam kasus a quo,
Penggugat adalah Rafat Ali Rizvi yang merupakan warga negara Inggris dengan
Tergugat Pemerintah Indonesia.
Unsur ketujuh (which the parties to the dispute) mengandung pengertian
bahwa para pihak yang bersengketa harus telah menyepakati bahwa sengketa akan

42
Christoph H. Schreuer, et.al., op.cit., hlm. 149.
85

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


diserahkan ke yurisdiksi ICSID. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
dalam kasus aquo, penyelesaian sengketa melalui ICSID telah diatur dalam
ketentuan Pasal 7 ayat (1) BIT Indonesia-Inggris.
Unsur kedelapan (consent in writing to submit to the Centre) menerangkan
bahwa kesepakatan para pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ke
ICSID adalah syarat yang tidak bisa dikurangi. Bahwa negara asal para pihak
merupakan negara pihak pada Konvensi ICSID tidak cukup untuk menjadi alasan
timbulnya kewajiban untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ke ICSID.
Penegasan demikian dinyatakan dalam paragraf terakhir Pembukaan Konvensi
ICSID yang berbunyi:
“Declaring that no Contracting State shall by the mere fact of its
ratification, acceptance or approval of this Convention and without its
consent be deemed to be under any obligation to submit any particular
dispute to conciliation or arbitration.”

Harus ada persetujuan dari para pihak yang bersengketa untuk menyerahkan
penyelesaian atas sengketa yang terjadi di antara mereka ke forum arbitrase ICSID
dan persetujuan itu harus dalam bentuk persetujuan tertulis. Kesepakatan ini bisa
tertuang dalam perjanjian.43 Dalam kasus aquo, dasar hukum penyelesaian
sengketa melalui ICSID adalah ketentuan Pasal 7 ayat (1) BIT Indonesia-Inggris.
Unsur kesembilan (when the parties have given their consent, no party
may withdraw its consent unilaterally) diturunkan dari prinsip pacta sunt
servanda yang menegaskan bahwa para pihak tidak bisa menarik diri atau
mengesampingkan kesepakatan yang telah dicapai, dalam hal ini kesepakatan
untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ke dalam yurisdiksi ICSID.
Penghargaan terhadap kesepakatan yang telah dicapai juga ditegaskan dalam
pembukaan Konvensi ICSID yang berbunyi:44
“Recognizing that mutual consent by the parties to submit such disputes to
conciliation or to arbitration through such facilities constitutes a binding
agreement which requires in particular that due consideration be given to
any recommendation of conciliators, and that any arbitral award be
complied with.”

43
Ibid., hlm. 190.
44
Ibid., hlm. 254.
86

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Dalam kasus Rafat Ali Rizvi tidak ada perdebatan tentang yurisdiksi ICSID
berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID. Ketentuan BIT,
khususnya tafsir atas ketentuan Pasal 2 ayat (1), yang membawa Majelis Arbitrase
pada kesimpulan bahwa Majelis tidak memiliki yurisdiksi dalam perkara tersebut.

87

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


BAB IV
PANDANGAN MAJELIS ARBITRASE DITINJAU DARI SEGI
PENAFSIRAN PERJANJIAN

A. Penafsiran Perjanjian

Putusan yang menjadi bahan kajian dalam tesis ini adalah putusan
mengenai kewenangan Majelis Arbitrase (Award on Jurisdiction). Putusan kasus
ini menyatakan bahwa Majelis Arbitrase tidak berwenang mengadili perkara
sebab syarat masuknya penanaman modal sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 2 ayat (1) BIT antara Indonesia dan Inggris tidak terpenuhi. Dengan kata
lain tata cara masuknya penanaman modal (admission) yang merupakan salah satu
syarat yang harus ada dalam kegiatan penanaman modal tidak terpenuhi. Putusan
ini diambil oleh Majelis setelah menafsirkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT.
Pembahasan pada bab ini akan difokuskan pada tafsir Majelis Arbitrase mengenai
ketentuan tersebut dengan mengulasnya dari sudut penafsiran perjanjian dalam
pengertian operative interpretation sebagaimana yang tertuang dalam putusan-
putusan ICSID yang menafsirkan ketentuan BIT yang serupa dengan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) BIT Indonesia dan Inggris.
Perbedaan tafsir1 atas ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT ini memang menjadi
pokok sengketa dalam perkara tersebut. Baik pihak Penggugat maupun Tergugat
menghadirkan tafsir yang berbeda atas ketentuan ini.2 Masing-masing tafsir yang
diajukan para pihak tentu dipahami sebagai dalil untuk menguatkan posisi
masing-masing.
Dalam menafsirkan ketentuan tersebut, Majelis Arbitrase secara jelas
merujuk pada ketentuan Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina yang juga digunakan

1
Sebagian besar sengketa yang diajukan ke pengadilan internasional menyangkut persoalan yang
terkait dengan penafsiran perjanjian. Seberapa hati-hati pun sebuah perjanjian dirumuskan dan
seberapa baik pun pengalaman mereka yang merumuskannya, tidak ada perjanjian yang tidak
menimbulkan persoalan penafsiran, Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000), hlm.184.
2
Tafsir yang berbeda-beda dari masing-masing pihak atas ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT tersebut
dituangkan dalam paragraf 52 putusan.
88

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


sebagai pertimbangan dalam putusan Libya/Chad3 yang sudah dibahas
sebelumnya yang secara jelas menyatakan bahwa penafsiran harus didasarkan
utamanya pada bunyi naskah perjanjian. Dalam putusan Rafta Ali Rizvi, Majelis
Arbitrase menyatakan dalam paragraf 64 dan 65:4

“64. The International Court of Justice states the obvious in its


Libya/Chad reasons:
“[i]nterpretation must be based above all upon the text of the treaty”
As reflected in the general rule of interpretation of VCLT Article 31, here
the function of the Tribunal is to discern the meaning of the agreement
that the contracting States reached in the BIT. The BIT must be read in
good faith, upon consideration of the ordinary meaning of the disputed
phrases in their context and in light of the object and purpose of the
treaty.
65. Applying this approach, the Tribunal begins by examining the text of BIT
Article 2(1).”

Sementara berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina dapat diketahui


bahwa setidaknya terdapat tiga faktor yang harus diperhatikan dalam menafsirkan
BIT yakni bahwa BIT tersebut harus dibaca dengan itikad baik (must be read in
good faith), dengan mempertimbangkan makna biasa dari frasa yang
dipersengketakan sesuai dengan konteksnya (upon consideration of the ordinary
meaning of the disputed phrases in their context) dan sesuai dengan maksud dan
tujuan perjanjian tersebut (in light of the object and purpose of the treaty).
Artinya, Pasal 31 ayat (1) tersebut mengandung tiga unsur penafsiran yakni
penafsiran berdasarkan itikad baik, rujukan kepada makna umum, bukan makna
khusus, dari bahasa perjanjian serta penafsiran berdasarkan konteks. Adanya tiga
unsur tersebut bukan menggambarkan hirarki penafsiran tetapi ketiga unsur
tersebut harus digunakan sebagai satu kesatuan dalam menafsirkan perjanjian.5
Penafsiran berdasarkan itikad baik merupakan prinsip pertama dalam
penafsiran perjanjian. Penafsiran tersebut merupakan turunan dari ajaran pacta

3
Dalam kasus Libya v. Chad tersebut ICJ menyatakan bahwa prinsip-prinsip penafsiran perjanjian
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina merupakan hukum kebiasaan
internasional. Lihat Anthony Aust, op.cit., hlm. 186. Putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi
ICJ dalam hal penafsiran perjanjian, Oliver Dörr dan Kirsten Schmalenbach, eds., Vienna
Convention on the Law of Treaties. A Commentary, (Heidelberg: Springer, 2012), hlm. 542.
4
Lihat paragraf 64 dan 65 putusan Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia.
5
Oliver Dörr dan Kirsten Schmalenbach, eds., op.cit., hlm. 541.
89

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


sunt servanda yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 26 Konvensi Wina.6 Prinsip
itikad baik merupakan prinsip penting dalam penafsiran perjanjian sebab
penafsiran itu sendiri merupakan bagian dari pelaksanaan perjanjian sehingga
pemeriksaan dan penilaian atas semua dokumen terkait pun harus dilakukan
dengan itikad baik.7
Menafsirkan sebuah perjanjian berdasarkan maknanya yang biasa
(ordinary meaning) juga merupakan sesuatu hal yang penting sebab, sampai
dibuktikan sebaliknya, dapat dikatakan bahwa makna biasa dari sebuah perjanjian
sangat mungkin menggambarkan kehendak para pihak. Hal yang harus
diperhatikan adalah pemberian makna biasa ini harus disesuaikan dengan konteks
perjanjian dan sejalan dengan maksud serta tujuan perjanjian tersebut. Dalam hal
ini, meskipun maksud dan tujuan perjanjian dipertimbangkan namun fungsinya
hanya untuk menyelaraskan tafsir atas suatu ketentuan perjanjian dengan maksud
dan tujuan perjanjian tersebut. Apabila tafsir yang dibuat tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan perjanjian, maka sangat mungkin tafsir tersebut salah. 8
Pasal 31 Konvensi Wina yang merupakan aturan umum penafsiran ini
didasarkan pada pendekatan tekstual. Pendekatan ini berarti bahwa suatu rumusan
kalimat perjanjian harus dianggap sebagai pernyataan kehendak para pihak yang
paling otentik. Oleh karena itu titik awal penafsiran sebuah naskah perjanjian
adalah menguraikan makna rumusan kalimat perjanjian itu sendiri bukan
kehendak para pihak yang berada di luar cakupan bunyi kalimat perjanjian.9
Pasal 31 Konvensi Wina umum digunakan sebagai dasar penafsiran
perjanjian dalam pengadilan internasional khususnya terkait sengketa penanaman
modal.10 Ada beberapa putusan sengketa penanaman modal yang dapat dikutip

6
Pasal 26 Konvensi Wina berada di bawah judul Pacta Sunt Servanda. Pasal tersebut berbunyi,
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good
faith.”
7
Anthony Aust, op.cit., hlm. 187.
8
Ibid., hlm. 188.
9
Oliver Dörr and..., eds., loc.cit.
10
Christoph Schreuer, “Diversity and harmonization of Treaty Interpretation in Investment
Arbitration”,http://www.univie.ac.at/intlaw/wordpress/pdf/diversity_harmoniz_neu.pdf, diunduh
29 November 2014.
90

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


dalam hal ini. Putusan Siemens v. Argentina11 misalnya dalam paragraf 80
menyatakan:
“Both parties have based their arguments on the interpretation of the
Treaty in accordance with article 31(1) of the Vienna Convention. This
Article provides that a Treaty be “interpreted in good faith in accordance
with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their
context and in the light of its object and purpose.” The Tribunal will
adhere to these rules of interpretation in considering the disputed
provisions of the Treaty.”

Rujukan pada ketentuan Pasal 31 Konvensi Wina sebagai aturan


penafsiran juga dinyatakan dalam kasus AAPL v. Sri Lanka.12 Pada paragraf 38,
Majelis Arbitrase dalam kasus tersebut menyatakan:
“...Therefore, the task of the Tribunal is to rule on the controversies
existing in this respect by indicating what constitutes the true construction
of the Treaty’s relevant provision in conformity with the soiund
universally accepted rules of treaty interpretation as established in
practice, adequately formulated by I’Institut de Droit International in its
General Session in 1956, and as codified in Article 31 of the Vienna
Convention on the Law of Treaties.”

Putusan lainnya13 yang menyatakan penafsiran berdasarkan ketentuan


Pasal 31 Konvensi Wina yakni putusan dalam kasus MTD v Chile.14 Paragraf 112
putusan tersebut menyebutkan:

11
Siemens v Argentina, Decision on Jurisdiction, 3 August 2004. Putusan dapat diunduh di
http://www.italaw.com.cases/10, diunduh tanggal 29 November 2014.
12
AAPL v Sri Lanka. Final Award, 27 June 1990, http://italaw.com/documents/AsianAgriculture-
Award.pdf, diunduh tanggal 1 Desember 2014.
13
Putusan lainnya yang juga merujuk pada ketentuan Pasal 31 Konvensi Wina yakni putusan
Enron v. Argentina, Decision on Jurisdiction (Ancilliary Claim), 2 August 2004, para. 32; Salini v.
Jordan, Decision on Jurisdicion, 29 November 2004, para. 75; Plama v. Bulgaria, Decision on
Jurisdiction, 8 February 2005, paras. 117, 147-165; Sempra Energy Intnl. v. Argentina, Decision
on Jurisdiction, 11 May 2005, para. 141; Camuzzi v. Argentina, Decision on Jurisdiction, 11 May
2005, para. 133; Methanex v. United States, Award, 3 Agustus 2005, Part II, Chapter B, paras. 15-
23, Part IV, Chapter B, para. 29; Eureko v. Poland, Partial Award, 19 August 2005, para. 247;
Aguas del Tunari, S.A. v. Bolivia, Decision on Jurisdiction, 21 October 2005, paras. 88-93, 226,
230, 239; National Grid v. Argentine Republic, Decision on Jurisdiction, 20 June 2006, paras. 51,
80; Canfor v. United States, Tembec v. United States, Terminal Forest Product v. United States,
Order of the Consolidation Tribunal, 7 September 2005, paras. 59, 86, 95, 113; Bogdanov v.
Moldova, Award, 22 September 2005, section 4.2.4; Saluka v. Czech Republic, Partial Award, 17
March 2006, para. 296 dst; Suez v. Argentina, Decision on Jurisdiction, 16 May 2006, ICSID Case
No. ARB/03/17, para. 54; Azurix v. Argentina, Award, 14 July 2006, paras. 307, 360, 391. Lihat
Christoph Schreuer, loc. cit., catatan kaki no. 2. Putusan-putusan tersebut dapat diunduh di
91

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


“This being a tribunal established under the BIT, it is obliged to apply the
provisions of the BIT and interpret them in accordance with the norms of
interpretation established by the Vienna Convention on the Law of
Treaties, which is binding on the state parties to the BIT. Article 31 (1) of
the Vienna Convention requires that a treaty be “interpreted in good faith
in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the
treaty in their context and in light of its object and purpose.”

Dalam perkara Rafat Ali Rizvi ini pun Majelis Arbitrase telah menentukan
aturan penafsiran (rules of interpretation) yang disepakati yakni berdasarkan
ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 Konvensi Wina. Indonesia bukan merupakan
negara pihak Konvensi Wina, namun sepakat bahwa Konvensi Wina merupakan
hukum kebiasaan internasional dalam hal penafsiran perjanjian (customary
international law of treaty interpretation). Aturan inilah yang disepakati oleh
majelis arbitrase dalam menafsirkan ketentuan BIT yang menjadi pokok sengketa.
Paragraf 41 putusan menyatakan:15
“41. Indonesia is not a party to the Vienna Convention on the Law of
Treaties (VCLT). Nonetheless, the Parties agree that Articles 31 and 32 of
the VCLT reflect customary international law. The Tribunal applies those
provisions in these proceedings.”

Pandangan bahwa ketentuan dalam Konvensi Wina merupakan hukum


kebiasaan internasional juga ditemukan dalam putusan Tokios Tokeles v Ukraine
yang menyatakan:16
“27. As have other tribunals, we interpret the ICSID Convention and the
treaty between the Contracting Parties according to the rules set forth in
the Vienna Convention on the Law of Treaties, much of which reflects
customary international law. Article 31 of the Vienna Convention
provides that “[a] treaty shall be interpreted in good faith in accordance
with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their
context and in light of its object and purpose.””

https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&reqFrom=Main&actionV
al=OnlineAward atau http://italaw.com/.
14
MTD v Chile, ICSID Case No. ARB/01/7, Award of 25 May 2004,
http://italaw.com/documents/MTD-Award_000.pdf, diunduh tanggal 1 Desember 2014.
15
Lihat paragraf 41 putusan.
16
Tokios Tokeles v. Ukraine, Decision on Jurisdiction, 29 April 2004,
http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0863.pdf, diunduh tanggal 29
November 2014.
92

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Majelis Arbitrase menafsirkan ketentuan BIT sebagai dasar hukum pengajuan
sengketa berdasarkan Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya.

B. Pandangan Majelis Arbitrase

Terhadap lima isu hukum yang dijawab dalam putusan secara singkat
dapat dijabarkan bahwa Majelis Arbitrase pada dasarnya berpendapat bahwa
penanaman modal yang dilakukan Penggugat harus memenuhi syarat yang
ditentukan berdasarkan UU PMA. UU PMA disebutkan secara spesifik dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT. Hal ini berbeda dengan apabila BIT tidak merujuk
secara spesifik kepada undang-undang tertentu sebab bila demikian maka
dimungkinkan adanya tafsir bahwa penanaman modal itu diberi izin apabila
penanaman modal itu dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di dalam negara penerima penanaman modal sebagaimana didalilkan
Penggugat dalam perkara ini. Dengan kata lain makna ketentuan Pasal 2 ayat (1)
BIT tersebut adalah bahwa masuknya penanaman modal itu harus sesuai dengan
UU PMA, tidak sekedar sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT pada dasarnya mengatur masalah syarat
masuknya penanaman modal (admission). Dalam penanaman modal, syarat masuk
ini merupakan hal yang mendasar sebab terpenuhi atau tidaknya syarat yang telah
ditentukan akan menentukan berwenang atau tidaknya Majelis Arbitrase dalam
memutus perkara. Apabila Majelis menyatakan tidak berwenang maka pokok
perkara tidak akan diperiksa.17
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam perkara ini Majelis
Arbitrase berpandangan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT mengatur prosedur
pemberian izin penanaman modal berdasarkan undang-undang yang disebut
secara spesifik yakni UU PMA. Apabila proses masuknya penanaman modal
asing dilakukan berdasarkan UU PMA, maka berarti masuknya penanaman modal
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT dan oleh karena itu berada
dalam cakupan BIT sehingga harus dilindungi.
17
Lihat Zachary Douglas, International Law of Investment Claims, (Cambrigde: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 134.
93

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Pandangan demikian diambil oleh Majelis Arbitrase sebab bunyi
ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT tersebut secara spesifik menyebut masuknya
penanaman modal asing di Indonesia harus berdasarkan UU PMA. UU PMA
disebut secara langsung dalam rumusan kalimat BIT.
Penggunaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing sebagai alat ukur masuknya kegiatan penanaman modal dalam
cakupan BIT lazim digunakan dalam hampir semua ketentuan BIT antara
Indonesia dengan negara lain.18
Rujukan yang sedikit berbeda terdapat dalam BIT antara Indonesia dan
Belgia. Pasal 9 huruf a BIT tersebut menyatakan:19
“The protection accorded to investors by the provisions of the present
Agreement shall apply: (a) in the territory of the Republic of Indonesia
only to investments which have been approved by the Government of the
Republic of Indonesia pursuant to the stipulations contained in the
Foreign Investment law No. 1 of 1967 or other relevant laws and
regulations of the Republic of Indonesia.”

Dalam BIT tersebut selain merujuk pada UU No. 1 Tahun 1967 juga merujuk
pada peraturan perundang-undangan lain yang relevan.
Rumusan kalimat yang sedikit berbeda terdapat dalam BIT antara
Indonesia dan India. Pasal 2 BIT tersebut menyebutkan:20

18
Ketentuan mengenai hal tersebut dengan rumusan kalimat yang sama dapat ditemukan dalam
BIT antara Indonesia dengan negara-negara: Australia (Pasal 3 ayat (1) huruf a), Cili (Pasal 2 ayat
(1), Bangladesh (Pasal X), Kamboja (Pasal X), Cina (Pasal 3), Kuba (Pasal X), Ceko (Pasal 10),
Mesir (Pasal 10), Finlandia (Pasal XII), Hongaria (Pasal 3), Yordania (Pasal X), Korea (Pasal 3),
Kirgistan (Pasal 10), Laos (Pasal X), Malaysia (Pasal X), Mongolia (Pasal X), Mozambik (Pasal
XI), Pakistan (Pasal X), Rumania (Pasal 3 ayat (1)), Singapura (Pasal X huruf b), Slovakia (Pasal
X), Spanyol (Pasal 3), Sri Lanka (Pasal X), Swedia (Pasal 10), Syria (Pasal X), Turki (Pasal X),
Ukraina (Pasal X), Uzbekistan (Pasal X), Vietnam (Pasal 3 ayat (3)) dan Yaman (Pasal X). Naskah
BIT tersebut masing-masing dapat diunduh di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu, diunduh tanggal 4
Desember 2014.
19
UNCTAD, Agreement Between the Kingdom of Belgium and the Republic of Indonesia on the
Encouragement and Reciprocal Protection of Investments,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/370, diunduh tanggal 3 Desember
2014.
20
UNCTAD, Agreement Between the Governent of the Republic of Indonesia and the Government
of the Republic of India for the Promotion and Protection of Investments,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1563, diunduh terakhir tanggal 3
Desember 2014.
94

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


“This Agreement shall apply to all investments made by investors of either
Contracting Party in the territory of the other Contracting Party,
accepted as such in accordance with its laws and regulations in force
concerning foreign investments, whether made before or after the coming
into force of this Agreement.”

BIT tersebut menggunakan frasa “accepted as such in accordance with its laws
and regulations in force concerning foreign investments” yang merujuk pada
peraturan perundang-undangan mengenai penanaman modal asing meskipun tidak
menyebutkan secara spesifik peraturan perundang-undangan yang mana yang
dimaksudkan. Rumusan dalam BIT tersebut serupa dengan rumusan dalam BIT
antara Indonesia dengan Maroko21 serta Indonesia dengan Thailand.22
Rumusan yang berbeda ditemukan dalam BIT antara Indonesia dan
Jerman. Dalam BIT tersebut tidak ditemukan ketentuan yang jelas tentang
cakupan penanaman modal yang merujuk pada UU PMA ataupun peraturan
perundang-undangan yang lain. Cakupan keberlakuan BIT disebutkan dalam
ketentuan Pasal 8 khususnya ayat (2) yang menyatakan:23
“In respect of the Republic of Indonesia the present Agreement shall
apply to investments made prior to its entry into force by nationals or
companies of the Federal Republic of Germany only if a document of
admission is granted on application. The Government of the Republic of
Indonesia shall accord sympathetic consideration to such applications.”

Dengan mempertimbangkan perkembangan hukum penanaman modal


baik nasional maupun internasional maka BIT di mana Indonesia menjadi pihak

21
Pasal X ayat (1) BIT Indonesia-Maroko menyatakan, “This Agreement shall apply to investments
by investors of the Republic of Indonesia in the territory of the Kingdom of Morocco which have
been previously granted admission in accordance with the law concerning foreign investment and
any law amending or replacing it, and to investments by investors of the Kingdom of Morocco in
the territory of the Republic of Indonesia which have been granted admission in accordance with
the Law concerning Foreign Investment and any law amending or replacing it”,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1627, diunduh tanggal 4 Desember
2014.
22
Pasal 2 ayat (1) BIT Indonesia-Thailand berbunyi, “This Agreement shall apply to investments
by investors of the Kingdom of Thailand in the territory of the Republic of Indonesia which have
been previously granted admission in accordance with the Indonesian law on foreign investment
and any law amending or replacing it,...”,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1642, diunduh tanggal 4 Desember
2014.
23
UNCTAD, http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1341, diunduh tanggal
4 Desember 2014.

95

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


perlu dikaji kembali. Hampir seluruh BIT yang disepakati dan berlaku merujuk
pada UU PMA. Meskipun dalam ketentuan BIT juga dinyatakan bahwa undang-
undang yang menggantikan atau mengubah UU PMA menjadi rujukan, namun
digantinya UU PMA dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 perlu
menjadi bahan pertimbangan untuk mengkaji kembali semua BIT yang masih
berlaku yang mengikat Indonesia untuk disinkronkan dengan perkembangan
kepentingan dan kebutuhan Indonesia dalam hal penanaman modal.24
Aspek hukum penanaman modal internasional juga menjadi pertimbangan
penting dalam mengkaji BIT. Merujuk pada sengketa yang terjadi secara umum
pada negara-negara yang menjadi pihak pada Konvensi ICSID, khususnya
sengketa yang melibatkan Indonesia seperti dalam kasus Rafat Ali Rizvi, rumusan
ketentuan BIT yang mengikat Indonesia juga perlu dikaji kembali dengan
memperhatikan putusan-putusan ICSID dalam sengketa penanaman modal.
Pertimabangan majelis arbitrase dalam putusan dapat memberikan gambaran
bagaimana ketentuan BIT ditafsirkan. Tafsir tersebut dapat menjadi pertimbangan
apabila Indonesia ingin menegosiasikan kembali rumusan ketentuan pada semua
BIT yang telah disepakati atau ketika ingin mengikatkan diri pada BIT baru.
Rumusan norma BIT yang berbeda dapat menimbulkan tafsir yang
berbeda. Dalam hal dasar keberlakuan BIT, tafsir yang berbeda dapat terjadi pada
rumusan BIT yang merujuk pada perundang-undangan tertentu secara spesifik
dengan rumusan yang merujuk peraturan perundang-undangan secara umum.

24
Berdasarkan data UNCTAD, saat ini Indonesia menjadi pihak pada 47 BIT yang masih berlaku
yakni BIT Indonesia-Argentina, BIT Indonesia-Australia, BIT Indonesia-Bangladesh, BIT Indonesia-
Bleu (Belgium Luxembourg Economic Union), BIT Indonesia-Cili, BIT Indonesia-Tiongkok, BIT
Indonesia-Kuba, BIT Indonesia-Ceko, BIT Indonesia-Denmark, BIT Indonesia Mesir, BIT Indonesia-
Finlandia, BIT Indonesia-Prancis, BIT Indonesia-Jerman, BIT Indonesia-Hongaria, BIT Indonesia-
India, BIT Indonesia-Iran, BIT Indonesia-Italia, BIT Indonesia-Yordania, BIT Indonesia-Korea, BIT
Indonesia-Kirgistan, BIT Indonesia-Laos, BIT Indonesia-Malaysia, BIT Indonesia-Mongolia,
Indonesia-Maroko, BIT Indonesia-Mozambiq, BIT Indonesia-Belanda, BIT Indonesia-Pakistan, BIT
Indonesia-Polandia, BIT Indonesia-Rumania, BIT Indonesia-Rusia, BIT Indonesia-Arab Saudi, BIT
Indonesia-Singapura, BIT Indonesia-Slovakia, BIT Indonesia-Spanyol, BIT Indonesia-Sri Lanka, BIT
Indonesia-Swedia, BIT Indonesia-Swiss, BIT Indonesia-Syria, BIT Indonesia-Thailand, BIT
Indonesia-Tunisia, BIT Indonesia-Turki, BIT Indonesia-Ukraina, BIT Indonesia-Inggris, BIT
Indonesia-Uzbekistan, BIT Indonesia Venezuela, dan BIT Indonesia-Vietnam,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu, diunduh tanggal 4
Desember 2014.

96

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Majelis Arbitrase dalam kasus Rafat Ali Rizvi menunjukkan perbedaan ini
dengan merujuk pada kasus lain yang disebut dalam putusan yakni kasus Desert
Line v. Yemen. Dalam paragraf 68 putusan Majelis Arbitrase menyatakan sebagai
berikut:25
“Here the Tribunal agrees with the Respondent that BIT Article 2(1) is
quite specific. It refers to a particular provision of national law, rather
than making a general reference to national law. In this respect, BIT
Article 2(1) is more specific than the provision considered by the Tribunal
in Desert Line, which defined ‘investment’ as “every kind of assets owned
and invested by an investor of one Contracting Party, in the territory of
other Contracting Party, as an investment according to its laws and
regulations, and for which an investment certificate is issued.” BIT Article
2(1) also refers to “admission,” rather than to an approval process that
applies both to foreign and local investments.”

Dalam pandangan tersebut, Majelis Arbitrase menunjukkan perbedaan pada


ketentuan yang digunakan Majelis Arbitrase dalam kasus Desert Line yang lebih
umum dibandingkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT dalam kasus Rafat Ali
Rizvi.
Dalam kasus Rafat Ali Rizvi, Majelis Arbitrase tidak menyangkal bahwa
ada proses tertentu yang diikuti oleh Penggugat dalam melakukan kegiatan yang
didalilkannya sebagai penanaman modal berdasarkan hukum Indonesia. Namun,
proses yang dilewati bukan berdasarkan UU PMA tetapi berdasarkan UU
Perbankan. Pandangan Majelis Arbitrase tersebut diberikan dalam menjawab
pertanyaan hukum tentang apakah hanya penanaman modal yang diberi izin
melalui proses yang dilakukan BKPM yang dianggap telah diberi izin dan apakah
penanaman modal yang dilakukan Penggugat diberi izin berdasarkan proses yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.26
Majelis arbitrase menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan
memang ada prosedur masuknya penanaman modal yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan lainnya misalnya peraturan perundang-undangan di bidang
perbankan. Namun, dalam kasus tersebut Penggugat tidak memberikan bukti yang
cukup untuk meyakinkan Majelis bahwa penanaman modal yang dilakukan
25
Lihat paragraph 68 putusan.
26
Pandangan Majelis Arbitrase mengenai dua pertanyaan tersebut dituangkan dalam paragraf 139
dan paragraf 197-198 putusan.

97

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Penggugat telah diterima secara de facto melalui proses yang dilakukan Bank
Indonesia. Dengan argumentasi demikian maka secara a contrario dapat
dikatakan bahwa cukupnya bukti dapat membawa pada kesimpulan bahwa secara
de facto penanaman modal yang dilakukan Penggugat diterima berdasarkan
proses yang dilakukan Bank Indonesia. Meskipun demikian, dalam pandangannya
Majelis Arbitrase menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) BIT menentukan syarat
yang spesifik dalam hal masuknya penanaman modal asing.
Dengan pandangan yang demikian maka Majelis Arbitrase menggunakan
penafsiran berdasarkan rumusan kalimat perjanjian yang berarti berdasarkan
makna biasa dari naskah perjanjian itu sendiri. Penafsiran ini lah yang disebut
dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1) Konvensi Wina yang telah menjadi hukum
kebiasaan internasional berdasarkan putusan IJC dalam kasus Libya v. Chad.

C. Penafsiran Atas Frasa “granted admission in accordance with...”

Dalam kasus Rafat Ali Rizvi, persoalan pokoknya adalah pada penafsiran
atas frasa “granted admission in accordance with” dalam ketentuan Pasal 2 ayat
(1) BIT. Pasal 2 BIT Indonesia-Inggris mengatur mengenai cakupan perjanjian
(scope of agreement) di mana salah satu ketentuan di dalamnya adalah ayat (1)
yang mengatur bahwa penanaman modal yang berada dalam cakupan perjanjian
ini adalah penanaman modal yang telah diberi izin masuk sesuai dengan UU
PMA.
Dalam perjanjian penanaman modal, ketentuan yang demikian pada
dasarnya mempersyaratkan legalitas sebuah penanaman modal yang harus
dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam negeri negara
penerima penanaman modal. Adanya ketentuan demikian dalam sebuah perjanjian
menunjukkan bahwa syarat legalitas merupakan prasyarat adanya yurisdiksi
majelis arbitrase memeriksa perkara.27 Dalam kasus Rafat Ali Rizvi, undang-
undang yang dirujuk disebutkan secara spesifik yakni UU PMA.

27
Rahim Moloo dan Alex Khachaturian, “The Compliance with the Law Requirement in
International Investment Law”, Fordham International Law Journal, June, 2011, 34 Fordham Int'l
L.J. 1473.
98

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Ada beberapa kasus yang menyatakan tidak adanya kewenangan karena
tidak terpenuhinya atau tidak dipatuhinya ketentuan yang mengandung frasa “in
accordance with the law” dari negara penerima penanaman modal. Frasa ini juga
mengandung pengertian akan adanya keharusan untuk mematuhi hukum dalam
negeri suatu negara pihak. Pentingnya kepatuhan terhadap hukum nasional negara
pihak misalnya dinyatakan dalam putusan Fraport AG Frankfurt Airport Serv.
Worldwide v. Republic of the Philippines:28

“The BIT is to be sure an international instrument but its Articles... effect a


renvoi to national law, a mechanism which is hardly unusual in treaties... . A
failure to comply with the national law to which a treaty refers will have an
international legal effect.”

Dikatakan bahwa meskipun BIT merupakan instrumen hukum internasional


namun dalam ketentuan BIT dapat saja mengandung rujukan terhadap hukum
nasional dan hal ini lumrah terdapat dalam perjanjian. Kegagalan mematuhi
hukum nasional yang dirujuk dalam perjanjian memiliki konsekuensi hukum
secara internasional.
Hal yang sama juga dinyatakan dalam putusan Tokios Tokeles v.
Ukraine29 yang menyatakan bahwa syarat yag ditentukan dalam BIT antara
Ukraina dan Lithuania bahwa penanaman modal harus dilakukan sesuai dengan
hukum nasional negara penerima penanaman modal merupakan hal yang umum
terdapat dalam BIT modern.
Kasus lain di mana majelis arbitrase menyatakan tidak berwenang
memeriksa perkara karena penanaman modal yang dilakukan tidak memenuhi
syarat yang ditentukan dalam hukum nasional negara penerima penanaman modal
yakni kasus Inceysa Vallisoletana, S.L. v. Republic of El Salvador di mana majelis

28
Fraport AG Frankfurt Airport Services Worldwide v.Republic of the Philippines., ICSID Case
No. ARB/03/25, Award, 16 August 2007, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0340.pdf, diunduh tanggal 8 Desember 2014.
29
Paragraf 84 putusan tersebut menyatakan, “The requirement in Article 1(1) of the Ukraine-
Lithuania BIT that investments be made in compliance with the laws and regulations of the host
state is a common requirement in modern BITs, Tokios Tokeles v. Ukraine, ICSID Case No.
ARB/02/18, Decision on Jurisdiction, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0863.pdf, diunduh tanggal 8 Desember 2014.

99

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


arbitrase menyatakan bahwa rumusan BIT dan riwayat pembahasan BIT tersebut
menunjukkan bahwa kehendak para pihak adalah untuk mengesampingkan dari
cakupan penerapan dan perlindungan berdasarkan perjanjian semua sengketa yang
timbul dari penanaman modal yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum negara
penerima penanaman modal.30
Frasa “in accordance with host state law” umum digunakan dalam BIT.
Penggunaan frasa ini berkaitan dengan legalitas penanaman modal. Formula
kalimat demikian banyak digunakan sebagai cakupan atas definisi penanaman
modal yang dirumuskan dalam BIT. Konsekuensinya, apabila tindakan
penanaman modal yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum dalam negeri
negara penerima penanaman modal maka penanaman modal tersebut tidak
tercakup dalam definisi penanaman modal yang ditentukan berdasarkan BIT dan
tidak mendapat perlindungan.31 Legalitas menjadi prasyarat dilindunginya
penanaman modal.32
Keadaan demikian terjadi dalam kasus Rafat Ali Rizvi. Bahkan formula
kalimat yang digunakan dalam BIT antara Indonesia dan Inggris lebih spesifik
lagi. Rumusan kalimat yang digunakan adalah “granted admission in accordance
with the Foreign Capital Investment Law No. 1 of 1967....” yang lebih spesifik
dibandingkan dengan rumusan kalimat “in accordance with host state law”.
Dalam sengketa penanaman modal frasa “in accordance with host state
law” atau yang lebih spesifik sebagaimana ketentuan dalam BIT Indonesia-
Inggris menjadi salah satu alasan majelis arbitrase dalam memutuskan tiadanya
kewenangan memeriksa perkara. Sebab dengan tidak terpenuhinya ketentuan

30
Pendapat majelis arbitrase tersebut tertuang dalam paragraf 195 putusan yang berbunyi, “The
above communication indicates, without any doubt, that the will of the parties to the BIT was to
exclude from the scope of application and protection of the Agreement disputes originating from
investments which were not made in accordance with the laws of the host State,” Inceysa
Vallisoletana, S.L. v. Republic of El Salvador, ICSID Case No. ARB/03/26, Award, 2 August
2006, http://italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0424_0.pdf, diunduh tanggal 8
Desember 2014.
31
Christoph Schreuer, “Jurisdiction and Applicable Law in Investment Treaty Arbitration”, McGill
Journal of Dispute Resolution, Volume 1:1, 2014,
http://www.univie.ac.at/intlaw/wordpress/pdf/0101001_Schreuer_Jurisdiction-and-Applicable-
Law-in-Investment-Treaty-Arbitration.pdf, diunduh tanggal 8 Desember 2014.
32
M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, Third Edition, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), hlm. 318.

100

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


tersebut maka legalitas penanaman modal yang dilakukan menjadi bermasalah.
Tujuan dimasukkannya rumusan ketentuan semacam ini adalah untuk mencegah
BIT melindungi penanaman modal yang tidak seharusnya dilindungi karena tidak
sah berdasarkan ketentuan BIT sebagaimana yang dinyatakan dalam putusan
Salini v. Morocco.33 Paragraf 46 putusan tersebut menyatakan:34

“The Tribunal cannot follow the Kingdom of Morocco in its view that
paragraph 1 of Article 1 refers to the law of the host State for the
definition of "investment". In focusing on "the categories of invested
assets ( ... ) in accordance with the laws and regulations of the
aforementioned party," this provision refers to the validity of the
investment and not to its definition. More specifically, it seeks to prevent
the Bilateral Treaty from protecting investments that should not be
protected, particularly because they would be illegal.”

Maksud lainnya terkait dengan pembangunan ekonomi suatu negara. Dengan frasa
tersebut negara ingin memastikan bahwa hanya penanaman modal yang akan
memajukan pembangunan ekonomi dan kepentingannya yang akan masuk ke
negara tersebut.35
Namun dalam praktek juga majelis arbitase menolak memberikan
perlindungan terhadap penanaman modal yang bertentangan dengan hukum dalam
negeri negara penerima penanaman modal meskipun dalam BIT yang menjadi
dasar penyelesaian sengketa tidak terdapat frasa “in accordance with host state
law.36 Pendapat demikian misalnya dapat dilihat dalam perkara Palma v. Bulgaria
yang diputus berdasarkan Energy Charter Treaty (ECT) yang di dalamnya tidak
terdapat frasa “in accordance with host state law”. Dalam kasus tersebut majelis
arbitrase memutuskan bahwa keberadaan frasa yang demikian bukan merupakan
prasyarat mutlak bagi majelis untuk memberikan perlindungan terhadap

33
Ursula Kriebaum, “Investment Arbitration: Illegal Investments”,
http:llwww.yale.edu/documents/pdf/sela/Kriebaum_Illegal_investments.pdf, diunduh tanggal 5
Desember 2014.
34
Salini Costruttori S.P.A. and Italstrade S.P.A. v. Kingdom of Morocco, ICSID Case No.
ARB/00/4, Decision on Jurisdiction, 23 July 2001, http://www.italaw.com/cases/documents/959,
diunduh tanggal 9 Desember 2014.
35
M. Sornarajah, op.cit., hlm. 317.
36
Ursula Krienbaum, loc.cit.
101

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


penanaman modal yang bertentangan dengan hukum nasional.37 Paragraf 138
putusan tersebut menyatakan:38

“Unlike a number of Bilateral Investment Treaties, the ECT does not


contain a provision requiring the conformity of the Investment with a
particular law.This does not mean, however, that the protections provided
for by the ECT cover all kinds of investments, including those contrary to
domestic or international law.”

Ditegaskan dalam putusan ini bahwa perlindungan penanaman modal yang


diberikan berdasarkan ECT tidak mencakup penanaman modal yang bertentangan
dengan hukum dalam negeri atau hukum internasional. Syarat kepatuhan terhadap
hukum nasional merupakan syarat yang ada secara implisit meskipun tidak
dinyatakan secara langsung dalam BIT.39
Dalam kasus Palma majelis arbitrase juga menjelaskan bahwa ECT sejak
awal dirancang untuk diterapkan dan ditafsirkan sesuai dengan aturan-aturan dan
prinsip-prinsip yang umum dikenal dalam pelaksanaan dan penafsiran perjanjian.
Majelis juga menjelaskan dengan mengesampingkan perlindungan atas
penanaman modal yang dilakukan dengan tidak berdasarkan hukum nasional
berarti mengedepankan tujuan ECT untuk memperkuat penegakan hukum di
bidang energi.40
Pertimbangan demikian menunjukkan bahwa prinsip-prinsip umum yang
terkandung dalam ECT seperti maksud dan tujuan diadopsinya ECT menjadi
dasar hukum untuk menilai apakah suatu penanaman modal masuk dalam cakupan
perlindungan perjanjian atau tidak. Apabila sebuah penanaman modal tidak
dilakukan menurut hukum nasional, maka penanaman modal tersebut tidak
dilindungi.
Frasa “in accordance with host state law” umumnya dirumuskan dalam
hubungannya dengan dua aspek. Aspek pertama, frasa tersebut dirumuskan dalam
klausula yang menghubungkan kepatuhan terhadap hukum dalam negeri dengan

37
Ibid.
38
Plama Consortium Limited v. Bulgaria, ICSID Case No. ARB/03/24, Award, 27 August 2008.
Putusan dapat diunduh di http://ita.law.uvic.ca/documents/PlamaBulgariaAward.pdf, diunduh
tanggal 9 Desember 2014.
39
Rahim Moloo dan Alex Khachaturian, loc.cit
40
Ibid.
102

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


definisi penanaman modal yang diatur dalam BIT. Aspek kedua, frasa tersebut
dirumuskan dalam klausula yang menghubungkan antara kepatuhan terhadap
hukum dalam negeri dengan ketentuan mengenai masuknya penanaman modal
serta batasan cakupan pelaksanaan perjanjian terhadap penanaman modal yang
dilakukan sesuai dengan hukum dalam negeri tersebut.41 Kasus Rafat Ali Rizvi
relevan dengan aspek kedua. Pasal 2 ayat (1) BIT mengatur mengenai masuknya
penanaman modal yang berada dalam cakupan BIT. Proses masuknya penanaman
modal yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT tersebut
mneyebabkan penanaman modal yang dilakukan Penggugat tidak termasuk dalam
cakupan BIT sehingga tidak mendapat perlindugan.
Dalam praktek, majelis arbitrase juga mempertimbangkan konsekuensi
dari pertimbangan atas legalitas pennaman modal yang merujuk pada peraturan
perundang-undangan dalam negeri negara penanaman modal. Untuk
mengantisipasi timbulnya konsekuensi yang terlalu jauh majelis arbitrase dalam
beberapa putusan menentukan kriteria dalam menentukan keterkaitan antara
legalitas penanaman modal dengan pelanggaran atas hukum nasional. Tiga kriteria
yang dikembangkan terkait dengan (1) tingkat keseriusan pelanggaran, (2)
pertanyaan mengenai apakah hukum nasional yang dimaksud merupakan rezim
hukum penanaman modal di negara bersangkutan dan (3) apakah legalitas itu
terkait dengan masuknya penanaman modal atau tindakan penanam modal dalam
pelaksanaan penanaman modal tersebut.42
Mengenai tingkat keseriusan pelanggaran misalnya disebutkan dalam
putusan Rumele Telekom AS v. Kazakhstan. Paragraf 168 putusan tersebut
menyatakan:43

“To defeat the Tribunal’s jurisdiction based on a BIT’s requirement that


the disputed investments be in conformity with the host State’s laws and
regulations, a certain level of violation is required. As determined by the

41
Stephen W. Schill, “Illegal Investments in International Arbitration”,
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1979734&download=yes, diunduh tanggal 9
Desember 2014.
42
Christoph Schreuer, loc.cit.
43
Rumeli Telekom A.S. and Telsim Mobil Telekomikasyon Hizmetleri A.S v. Republic of
Kazakhstan, ICSID Case No. ARB/05/16, Award, 29 July 2008,
http://italaw.com/documents/Telsimaward.pdf, diunduh tanggal 11 Desember 2014.
103

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Arbitral Tribunal in the LESI case, such a provision will exclude the
protection of investments only if they have been made in breach of
fundamental legal principles of the host country (“en violation des
principes fondamentaux en vigueur ”).”

Berdasarkan putusan ini dapat dipahami bahwa Majelis Arbitrase menyatakan


dibutuhkan pelanggaran sampai pada tingkat tertentu untuk menyatakan bahwa
penanaman modal telah tidak sesuai dengan hukum nasional sebagaimana yang
ditentukan dalam BIT. Bahkan merujuk pada kasus lain (LESI v. Algeria),
pelanggaran yang dilakukan harus merupakan pelanggaran terhadap prinsip-
prinsip hukum negara yang fundamental.
Tentang kriteria bahwa hukum nasional yang dimaksud harus termasuk
dalam rezim hukum penanaman modal dapat dilihat dalam paragraf 119 putusan
Fakes v. Turkey yang menyatakan:44

“The Tribunal is not convinced by the Respondent’s position that any


violation of any of the host State‟s laws would result in the illegality of
the investment within the meaning of the BIT and preclude such
investment from benefiting from the substantive protection offered by the
BIT. As to the nature of the rules contemplated in Article 2(2) of the
Netherlands-Turkey BIT, it is the Tribunal‟s view that the legality
requirement contained therein concerns the question of the compliance
with the host State’s domestic laws governing the admission of
investments in the host State. This is made clear by the plain language of
the BIT, which applies to “investments . . .established in accordance with
the laws and regulations . . ..” The Tribunal also considers that it would
run counter to the object and purpose of investment protection treaties to
deny substantive protection to those investments that would violate
domestic laws that are unrelated to the very nature of investment
regulation. In the event that an investor breaches a requirement of
domestic law, a host State can take appropriate action against such
investor within the framework of its domestic legislation. However,
unless specifically stated in the investment treaty under consideration, a
host State should not be in a position to rely on its domestic legislation
beyond the sphere of investment regime to escape its international
undertakings vis-à-vis investments made in its territory.”

44
Mr. Saba Fakes v. Republic of Turkey, ICSID Case No. AR B/07/20, Award, 14 July 2010,
http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0314.pdf, diunduh 11 Desember
2014.

104

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Dalam putusan tersebut Majelis Arbitrase menolak dalil penggugat yang
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap setiap perundang-undangan dalam
negeri akan berakibat pada tidak sahnya penanaman modal menurut BIT. Majelis
Arbitrase menegaskan bahwa apabila tidak disebutkan secara spesifik dalam BIT,
maka hukum dalam negeri dimaksud harus terkait dengan penanaman modal.
Penjelasan mengenai kriteria apakah legalitas itu terkait dengan masuknya
penanaman modal atau tindakan penanam modal dalam pelaksanaan penanaman
modal dapat dilihat di antaranya dalam putusan Jan Oostergetel and Theodora
Laurentius v The Slovak Republic khususnya paragraf 175 dan 176 yang
menyatakan:45

“175. The Tribunal first observes that, although thr Respondent contends
that the Claimants’ investment was “executed and/or managed” contrary
to the Slovak Republic’s laws, its complaints relate primarily to the
Claimants’ conduct after the investment has been made, i.e., the
Respondent argues that “BCT in the long run breached its duty to pay
taxes”, that the Claimants did not respect their “obligations resulting from
their financial situation” but rather “intentionally misled the tax
authority” and thus breached their obligation to manage BCT with due
care as required by the Respondent’s Commercial Code.
176. These allegations relating to the management of the investment
during the course of the project are matters for the merits. They have no
impact on the Tribunal’s jurisdiction, which merely requires the
investment to be legal. The rationale behind this requirement is that illegal
investments, made contrary to the applicable local laws or, for example,
through the exercise of fraud, have to be disqualified from the protection
of the BIT already at the jurisdictional stage.”

Majelis Arbitrase dalam perkara tersebut berpandangan bahwa dalil penggugat


mengenai pengelolaan penanaman modal selama pelaksanaan penanaman modal
tersebut merupakan dalil yang terkait dengan pokok perkara dan tidak terkait
dengan masalah yurisdiksi. Masalah yurisdiksi hanya terkait dengan sah tidaknya
penanaman modal berdasarkan hukum nasional negara pihak penerima
penanaman modal.

45
Jan Oostergetel and Theodora Laurentius v The Slovak Republic, Decision on Jurisdiction, 30
April 2010, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita1073_0.pdf, diunduh
tanggal 11 Desember 2014.

105

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Putusan dalam kasus tersebut di atas menunjukkan keseragaman pendapat
di kalangan majelis arbitrase dalam berbagai perkara bahwa frasa “in accordance
with host state law” merupakan syarat yang harus dipenuhi apabila penanaman
modal ingin dilakukan di suatu negara. Syarat tersebut terkait dengan legalitas
suatu kegiatan penanaman modal. Syarat legalitas ini terkait dengan ada tidaknya
yurisdiksi majelis arbitrase untuk memeriksa perkara. Berbagai kasus tersebut di
atas menunjukkan dengan jelas bahwa majelis arbitrase, dalam putusannya,
menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang tidak memenuhi syarat
legalitas tersebut.
Dalam kasus Rafat Ali Rizvi, rujukan kepada UU PMA yang disebutkan
secara spesifik dalam BIT Indonesia-Inggris mempersempit ruang penafsiran
mengenai masuknya penanaman modal asing. Ukuran satu-satunya adalah UU
PMA. Hal ini bisa menguntungkan Indonesia dalam mempersoalkan masuknya
penanaman modal ketika terjadi sengketa bila Indonesia berposisi sebagai
tergugat. Dalam hal masuknya penanaman modal dianggap tidak memenuhi syarat
berdasarkan UU PMA maka dalam putusan majelis arbitrase menyatakan tidak
berwenang. Terbukti dalam kasus tersebut, Majelis Arbitrase menyatakan tidak
menampik proses yang dilalui Penggugat dalam proses pembelian saham yang
dilakukannya. Namun, proses tersebut dijalani berdasarkan UU Perbankan melalui
Bank Indonesia, bukan berdasarkan UU PMA sebagaimana diatur dalam BIT.
Atas alasan itu Majelis Arbitrase menyatakan kegiatan penanaman modal yang
dilakukan Penggugat tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam BIT
dan Majelis Arbitrase menyatakan tidak memiliki yurisdiksi atas perkara tersebut.

106

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisis atas permasalahan-permasalahan


sebagaimana tersebut dalam Bab I, maka dapat ditarik dua kesimpulan sebagai
jawaban atas permasalahan-permasalahan tersebut berikut:

1. Pokok sengketa dalam perkara Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia
terletak pada proses masuknya penanaman modal yang dilakukan oleh
Penggugat. Proses masuknya penanaman modal asing di Indonesia diatur
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT Indonesia-Inggris mengenai cakupan
perjanjian. Frasa yang menjadi pokok sengketa adalah, “granted admission in
accordance with the Foreign Capital Investment Law No. 1 of 1967...”. Majelis
Arbitrase berpendapat bahwa penanaman modal yang dilakukan Rafat Ali
Rizvi tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh UU PMA sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT. Penanaman modal yang tidak
dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT tidak termasuk dalam
cakupan BIT. Tidak terpenuhinya admission process penanaman modal
tersebut menimbulkan masalah yurisdiksi. Dalam putusannya, Majelis
Arbitrase menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara tersebut.

2. Pandangan Majelis Arbitrase yang menyatakan tidak berwenang memeriksa


perkara tersebut yang diakibatkan oleh tidak terpenuhinya admission process
penanaman modal didasarkan pada tafsir atas ketentuan Pasal 2 ayat (1) BIT.
Majelis arbitrase menafsirkan ketentuan BIT berdasarkan Pasal 31 dan 32
Konvensi Wina. Dalam pembahasan perkara, Majelis Arbitrase juga merujuk
pada putusan sengketa Libya v. Chad dalam menentukan aturan penafsiran
yang ditetapkan. Berdasarkan putusan tersebut, sebagaimana juga ketentuan
Pasal 31 ayat (1) BIT, penafsiran utamanya didasarkan pada makna biasa dari

107

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


rumusan perjanjian. Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, Majelis
Arbitrase menafsirkan bahwa frasa “granted admission in accordance with...”.
Frasa tersebut lazim digunakan dalam BIT modern. Lazimnya menentukan “in
accordance with host state law”. Tafsir atas frasa tersebut banyak ditemukan
dalam putusan-putusan ICSID. Frasa tersebut mengandung pengertian bahwa
masuknya penanaman modal harus mematuhi hukum dalam negeri negara
penerima penanaman modal. Ketentuan tersebut merupakan syarat legalitas
penanaman modal. Jika syarat legalitas tersebut tidak terpenuhi, maka
penanaman modal yang dilakukan dianggap tidak sah dan tidak termasuk
dalam cakupan BIT sehingga tidak mendapatkan perlindungan oleh negara
tempat penanaman modal. Putusan-putusan ICSID dalam sengketa penanaman
modal berdasarkan BIT antara investor dengan negara tempat penanaman
modal menyatakan majelis arbitrase tidak memiliki yurisdiksi memeriksa
perkara penanaman modal yang tidak memenuhi syarat berdasarkan hukum
dalam negeri negara tempat penanaman modal sebagaimana dimaksudkan frasa
“in accordance whit host state law” tersebut dalam BIT.

B. Saran

Berdasarkan hal-hal yang ditemukan dalam pembahasan penelitian,


terdapat setidaknya dua saran yang perlu diperhatikan:

1. Indonesia merupakan negara pihak pada Konvensi ICSID serta juga menjadi
pihak pada banyak BIT. Sengketa di bidang penanaman modal mejadi sebuah
keniscayaan yang dapat dihadapi Indonesia di forum arbitrase internasional
khususnya yang berada di bawah yurisdiksi ICSID. BIT selalu menjadi dasar
penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, semua BIT di mana Indonesia menjadi
pihak perlu dikaji kembali untuk kemudian meneliti setiap ketentuan di
dalamnya. Ketentuan-ketentuan BIT tersebut dapat dipilah dalam dua kategori.
Kategori pertama berisi ketentuan yang dapat menjawab pertanyaan tentang
masalah yurisdiksi ICSID bila terjadi sengketa. Kategori kedua berisi ketentuan
yang dapat menjawab pertanyaan tentang pokok perkara yang mungkin
menjadi isu dalam sengketa penanaman modal.

108

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


2. Sebagai tindak lanjut atas saran pertama, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang putusan-putusan ICSID yang berisi penafsiran atas ketentuan-ketentuan
yang dikategorikan sebagai persoalan yurisdiksi dan penafsiran atas ketentuan-
ketentuan yang dapat menjadi pokok perkara dalam sengketa penanaman
modal seperti nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan. Penelitian
tentang penafsiran atas ketentuan BIT dalam putusan arbitrase ICSID dapat
menjadi langkah antisipatif yang berguna dalam menghadapi sengketa
penanaman modal yang melibatkan pemerintah sebagai tergugat.

109

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Edisis
Ke-2 Revisi. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011.
Aust, Anthony. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge: Cambridge University
Press, 2000.
Boudreaux, Donald J.. Globalization. Westport: Greenwood Press, 2008.
Dörr, Oliver and Kirsten Schmalenbach. Eds. Vienna Convention on the Law of
Treaties. A Commentary. Heidelberg: Springer, 2012.
Douglas, Zachary. International Law of Investment Claims. Cambrigde: Cambridge
University Press, 2009.
Dworkin, Ronald. Law’s Empire. Cambridge, Massachussets, London, England: The
Belknap Press of Harvard University Press, 1986.
Faindez, Julio dan Celine Tan. ed. International Economic Law, Globalization and
Developing Countries. Cheltenham: Edward Elgar, 2010.
Fitzmaurice, Malgosia Olufemi Elias, Panos Merkourishal, eds. Treaty Interpretation
and the Vienna Convention on the Law of Treaties: 30 Years on. Leiden:
Martinus Nijhoff Publishers, 2010.
Harahap,Yahya M. Arbitrase. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Jonge, Alice de. Transnational Corporations and International Law. Accountability
in the Global Business Environment. Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2011.
Linderfalk, Ulf On The Interpretation of Treaties. The Modern International Law as
Expressed in the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, Netherland:
Springer, 2007.
Miles, Kate. The Origins of International Investment Law. Empire, Environment and
the Safeguarding of Capital. Cambridge: Cambridge University Press, 2013.
Muchlinski, P.T. Multinational Enterprises and the Law. Oxford: Blackwell, 1999.
OECD. OECD Benchmark Definition of Foreign Direct Investment. Fourth Edition.
USA: OECD, 2008.
--------. International Investment Law. Understanding Concepts and Tracking
Innovations. USA: OECD, 2008.
--------. International Investment Perspectives. Paris, France: OECD Publishing,
2006.
Pompe, Sebastian. Et. al., ed., Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal. Jakarta: NLRP,
2010.

110

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Sauvant, Karl P. and Lisa E. Sachs, Ed. The Effect of Treaties on Foreign Direct
Investment. Bilateral Investment Treaties, Double Taxation Treaties and
Investment Flows, Oxford: Oxford University Press, 2009.
Schill, Stephan W. The Multelateralization of International Investment Law.
Cambridge: Cambridge University Press, 2009.
Schreuer, Christopher H. Et., al. The ICSID Convention: A Commentary. Cambridge:
Cambridge University Press, 2009.
Shaw, Malcolm N. International Law. Fifth Edition. Cambridge: Cambridge
University Press, 2003.
Sornarajah, M. The International Law on Foreign Investments. Third Edition.
Cambridge: Cambridge University Press, 2010.
Subedi, Surya P. International Investment Law. Reconciling Policy and Principle
Oxford: Hart Publishing, 2008.
Suparman, Erman. Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk
Penegakan Keadilan. cetakan pertama. Jakarta: Tatanusa, 2004.
UNCTAD. Investor-State Dispute Arising from Investment Treaties: A Review. New
York and Geneva: United Nations, 2005.
-------------. World Investment Report 1992. Transnational Corporations as Engines
of Growth. New York: United Nations, 1992.
-------------. World Investment Report 1993. Transnational Corporations and
Integrated International Production. New York: United Nations, 1993.
-------------. World Investment Report 2000. Cross-border Mergers and Acquisitions
and Development. New York: United Nations, 2000.
-------------. World Investment Report 2002. Transnational Corporations and Export
Competitiveness. New York: United Nations, 2002.
-------------. World Investment Report 2003. FDI Polices for Development: National
and International Perspectives. New York and Geneva: United Nations, 2003.
-------------. World Investment Report 2004. The Shift Towards Services. New York
and Geneva: United Nations, 2004.
-------------. World Investment Report 2005. Transnational Corporations and the
Internationalization of R&D. New York and Geneva: United Nations, 2005.
-------------. World Investment Report 2006. FDI from Developing and Transition
Economy: Implications for Development. New York and Geneva, 2006.
-------------. World Investment Report. Transnational Corporations, Extractive
Industries and Development. New York and Geneva: United Nations, 2007.
-------------. World Investment Report 2008. Transnational Corporations and the
Infrastructure Challenge. New York and Geneva: United Nations, 2008.

111

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


-------------. World Investment Report 2009. Transnational Corporations, Agricultural
Production and Development. New York and Geneva: United Nations, 2009.
-------------. World Investment Report 2010. Investing in a Low-Carbon Economy.
New York and Geneva: United Nations, 2010.
-------------. World Investment Report 2012. Towards a New Generation of Investment
Policies. New York and Geneva: United Nations, 2012.
-------------. World Investment Report 2013. Global Vaule Chains: Investment and
Trade for Development. New York and Geneva: United Nations, 2013.
-------------. World Investment Report 2014. Investing in the SDGs: An Action Plan.
New York and Geneva: United Nations, 2014.
-------------. Bilateral Investment Treaties 1995-2006: Trends in Investment
Rulemaking. New York and Geneva: United Nations, 2007.
------------. International Investment Agreements: Key Issues. New York and Geneva:
United Nations, 2004.
------------. Investor-State Dispute Settlement and Impact on Investment Rulemaking.
New York and Geneva: United Nations, 2007.

Vandevelde, Kenneth J. “A Brief History of International Investment Agreements”,


dalam Karl P. Sauvant dan Lisa E. Sachs, eds., The Effect of Treaties on Foreign
Direct Investment: Bilateral Investment Treaties, Double Taxation Treaties, and
Investment Flows. New York: Oxford University Press, 2009. Hlm. 3-35.
Voss, Jan Ole. The Impact of Investment Treaties on Contracts between Host States
and Foreign Investors. Leiden: Martinus Nijhoff, 2011.

Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia. Undang-Undang Penanaman Modal. UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 67,
TLN No. 4724.
------------. Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU No.
30 Tahun 1999, LN No. 138, TLN No. 3872.
------------. Undang-Undang Penanaman Modal Asing, UU No. 1 Tahun 1967, LN
No. 1 Tahun 1967, TLN No. 2818.
------------. Undang-Undang Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992, LN No. 31 Tahun
1992, TLN No. 3473.
------------. Undang-Undang Pokok-Pokok Perbankan, UU No. 14 Tahun 1967, LN
No. 34 Tahun 1967, TLN No. 2842.
------------. Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No.
3790.

112

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Putusan Arbitrase:

AAPL v Sri Lanka. Final Award, 27 June 1990,


http://italaw.com/documents/AsianAgriculture-Award.pdf, diunduh tanggal 1
Desember 2014.
Alex Genin, Easter Credit Limited, and A.S. Baltoil v. Republic of Estonia, Award of
25 June 2001, ICSID Case No. ARB/99/2. Putusan dapat diunduh di
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionV
al=showDoc&docId=DC592_En&caseId=C178. Diunduh terakhir tanggal 26
November 2014.
Azurix Corp. v. The Argentine Republic, Decision on Jurisdiction of 8 December
2003, ICSID Case No. ARB/01/12.
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionV
al=showDoc&docId=DC506_En&caseId=C5, diunduh tanggal 27 November
2014.
Cemex Caracas Investments B.V. and Cemex Caracas II Investments B.V. v.
Bolivarian Republic of Venezuela, Decision on Jurisdiction of 30 December
2010, ICSID Case No. ARB/08/15. Putusan dapat diunduh di
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionV
al=showDoc&docId=DC1831_En&caseId=C420, diunduh tanggal 26 November
2014.
Desert Line Projects LLC v. The Republic of Yemen, Award of 29 January 2008,
ICSID Case No. ARB/05/17.
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionV
al=showDoc&docId=DC791_En&caseId=C62, terakhir diunduh tanggal 25
November 2014.
Fraport AG Frankfurt Airport Services Worldwide v.Republic of the Philippines.,
ICSID Case No. ARB/03/25, Award, 16 August 2007,
http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0340.pdf, diunduh
tanggal 8 Desember 2014.
Inceysa Vallisoletana, S.L. v. Republic of El Salvador, ICSID Case No. ARB/03/26,
Award, 2 August 2006, http://italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0424_0.pdf, diunduh tanggal 8 Desember 2014.
Jan Oostergetel and Theodora Laurentius v The Slovak Republic, Decision on
Jurisdiction, 30 April 2010, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita1073_0.pdf, diunduh tanggal 11 Desember 2014.
Mobil Corporation, Venezuela Holdings B.V. and others v. Bolivarian Republic of
Venezuela, Decision on Jurisdiction of 10 June 2010, ICSID Case No.
ARB/07/27.

113

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


MTD v Chile, ICSID Case No. ARB/01/7, Award of 25 May 2004,
http://italaw.com/documents/MTD-Award_000.pdf, diunduh tanggal 1 Desember
2014.
Philippe Gruslin v. Malaysia, Award of 27 November 2000, ICSID Case No.
ARB/99/3. http://www.italaw.com/sites/default/files/case-
documents/ita0385.pdf. Diunduh terakhir tanggal 25 November 2014.
Plama Consortium Limited v. Bulgaria, ICSID Case No. ARB/03/24, Award, 27
August 2008. Putusan dapat diunduh di
http://ita.law.uvic.ca/documents/PlamaBulgariaAward.pdf, diunduh tanggal 9
Desember 2014.
Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia. ICSID Case No. ARB/11/13,
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionV
al=showDoc&docId=DC4512_En&caseId=C1560, diunduh tanggal 15 Juni
2014.
Rumeli Telekom A.S. and Telsim Mobil Telekomikasyon Hizmetleri A.S v. Republic of
Kazakhstan, ICSID Case No. ARB/05/16, Award, 29 July 2008,
http://italaw.com/documents/Telsimaward.pdf, diunduh tanggal 11 Desember
2014.
Saba Fakes v. Republic of Turkey, ICSID Case No. AR B/07/20, Award, 14 July
2010, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0314.pdf,
diunduh 11 Desember 2014.
Salini Costruttori S.P.A. and Italstrade S.P.A. v. Kingdom of Morocco, ICSID Case
No. ARB/00/4, Decision on Jurisdiction, 23 July 2001,
http://www.italaw.com/cases/documents/959, diunduh tanggal 9 Desember 2014.
Siemens v Argentina, Decision on Jurisdiction, 3 August 2004. Putusan dapat diunduh
di http://www.italaw.com.cases/10, diunduh tanggal 29 November 2014.
Standard Chartered Bank v. United Republic of Tanzania, Award of 2 November
2012, ICSID Case No. ARB/10/12.
Territorial Dispute (Libya/Chad), Judgement, I.C.J. Reports 1994, http://www.icj-
cij.org/docket/files/83/6897.pdf, diunduh terakhir tanggal 26 November 2014.
Tokios Tokeles v. Ukraine, Decision on Jurisdiction, 29 April 2004,
http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0863.pdf, diunduh
tanggal 29 November 2014.
Yaung Chi Oo Trading Pte Ltd. v. Government of the Union of Myanmar, Award of
31 March 2003, ASEAN I.D. Case No. ARB/01/1.
http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita0909.pdf, diunduh
terakhir tanggal 26 November 2014.

114

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Artikel:

Aldonas, Grant D. “Multilateral Investment Agreements.” The International Lawyer.


Vol. 31. No. 2, 1997.
Bhansali, Lisa L. “New Trends in International Dispute Settlement”. American
Society of International Law Proceedings. March/April, 1993, 87 Am. Soc'y Int'l
L. Proc. 2.
Brewer, Thomas L. “International Investment Dispute Settlement Procedures: The
Evolving Regime for Foreign Direct Investment”. Law and Policy in
International Business, Spring, 1995. 26 Law & Pol'y Int'l Bus. 633.
Egli, Gabriel. “Don,t Get BIT: Addressing ICSID’s Inconsistent Application of Most
Favoured-Nation Clauses to Dispute Resolution Provisions”. Pepperdine Law
Review. 2007. 34 Pepp. L. Rev. 1045.
Elkins, Zachary, Andrew T. Guzman and Beth Simmons. “Competing for Capital:
The Diffusion of Bilateral Investment Treaties, 1960-2000. University of Illinois
Law Review. Vol. 2008 , No. 1.
Guzman, Andrew T. “Why LDCs Sign Treaties that Hurt Them: Explaining the
Popularity of Bilateral Investment Treaties.” Virgina Journal of International
Law. Vol. 38, 1997-1998.
Leon E. Trakman, Foreign Direct Investment: Hazard or Opportunity?, George
Washington International Law Review (2009). www.westlaw.com. Diunduh 17
Desember 2013.
Lowenfeld, Andreas L. “Investment Agreements and International Law.” Columbia
Journal of Transnational Law. Vol. 42, 2003-2004.
Moloo, Rahim and Alex Khachaturian, “The Compliance with the Law Requirement
in International Investment Law”, Fordham International Law Journal, June,
2011, 34 Fordham Int'l L.J. 1473.
Nowrot, Karsten. “Transnational Corporations as Steering Subjects in International
Economic Law: Two Competing Visions of the Future?”, Indiana Journal of
Global Studies, Summer, 2011, 18 Ind. J. Global Legal Stud. 803.
Odumosu, Ibironke T. “The Law and Politics of Engaging Resistance in Investment
Dispute Settlement”. Penn State International Law Review. Fall, 2007. 26 Penn
St. Int'l L. Rev. 251.

115

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Pirozzi, Roberto. “The ICSID Jurisdiction: An Issue Already Solved or a Question
Still Open”, Vindobona Journal of International Commercial Law and
Arbitration, 2013, 17 VJ 33.
Salacuse, Jeswald W. “The Emerging Global Regime for Investment,” Harvard
International Law Journal, Vol. 51. No. 2. Summer 2010.
--------------------------- and Nicholas P. Sullivan. “Do BITs Really Work?: An
Evaluation of Bilateral Investment Treaties and Their Grand Bargain.” Harvard
International Law Journal. Vol. 46, No. 1. Winter, 2005.
Schill, Stephen W. “System-Building in Investment Treaty Arbitration and
Lawmaking”, German Law Journal. 1 Mei 2011. 12 German L.J. 1083.
Shihata, Ibrahim F.I. “The Settlement of Disputes Regarding Foreign Investment:
The Role of the World Bank with Particular Reference to ICSID and MIGA”.
American University Journal of International Law and Policy, Summer, 1986. 1
Am. U. J. Int'l L. & Pol'y 97.
Vandevelde, Kenneth J. “The BIT Program: A Fifteen Year Appraisal”. American
Society of International Law Proceeding. Vol. 86, 1992.
Vinuesa, Raul Emilio. “Bilateral Investment Treaties and The Settlement of
Investment Disputes Under ICSID: The Latin American Experience”. Law and
Business Review of the Americas. Fall, 2002. 8 L. & Bus. Rev. Am. 501.

Internet:

BKPM. “Press Release Realisasi Penanaman Modal PMDN-PMA Triwulan III dan
Januari – September Tahun 2012”, Jakarta, 22 Oktober 2012. www.bkpm.go.id,
diakses 25 Oktober 2012.

Globalization 101, “What is Globalization?”, http://www.globalization101.org/what-


is-globalization/, diunduh tanggal 17 April 2014.

Hansen, Henrik and John Rand. “On the Causal Links between FDI and Growth in
Developing Countries”. http://www.econ.ku.dk/wpa/pink/2004/0430.pdf,
diunduh tanggal 14 April 2014.

ICSID. “ICSID 2012 Annual Report”


https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDPublications
RH&actionVal=ViewAnnualReports#, diunduh 17 Desember 2013.

--------. “ICSID Convention, Regulations and Rule”,


https://icsid.worldbank.org/ICSID/StaticFiles/basicdoc/CRR_English-final.pdf,
diunduh tanggal 4 September 2014.

116

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


Kriebaum, Ursula. “Investment Arbitration: Illegal Investments”,
http:llwww.yale.edu/documents/pdf/sela/Kriebaum_Illegal_investments.pdf,
diunduh tanggal 5 Desember 2014.

Schill, Stephen W. “Illegal Investments in International Arbitration”,


http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1979734&download=yes,
diunduh tanggal 9 Desember 2014.

Schreuer, Christoph. “Diversity and harmonization of Treaty Interpretation in


Investment
Arbitration”,http://www.univie.ac.at/intlaw/wordpress/pdf/diversity_harmoniz_n
eu.pdf, diunduh 29 November 2014.

------------------------. “Jurisdiction and Applicable Law in Investment Treaty


Arbitration”, McGill Journal of Dispute Resolution, Volume 1:1, 2014,
http://www.univie.ac.at/intlaw/wordpress/pdf/0101001_Schreuer_Jurisdiction-
and-Applicable-Law-in-Investment-Treaty-Arbitration.pdf, diunduh tanggal 8
Desember 2014.

UNCTAD. “Proposed Text of the Draft Code of Conduct on Transnational


Corporations”. http://unctc.unctad.org/data/e90iia11k.pdf, diunduh 23
September 2014.
------------. “Investment Policy Framework for Sustainable Development”.
http://unctad.org/en/PublicationsLibrary/webdiaepcb2012d6_en.pdf, diunduh
tanggal 7 Agustus 2014.
------------. “Agreement Between the Kingdom of Belgium and the Republic of
Indonesia on the Encouragement and Reciprocal Protection of Investments.”
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/370, diunduh
tanggal 3 Desember 2014.
-----------. “Agreement Between the Governent of the Republic of Indonesia and the
Government of the Republic of India for the Promotion and Protection of
Investments.” http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1563,
diunduh terakhir tanggal 3 Desember 2014.
United Nations. “ The Impacts of Multinational Corporations on Development and on
International Relations”. http://unctc.unctad.org/data/e74iia5a.pdf, diunduh
tanggal 25 September 2014.
http://www.encharter.org/index.php?id=61, diunduh tanggal 12 Mei 2014.
http://www.iccwbo.org/about-icc/organization/dispute-resolution-services/icc-
international-court-of-arbitration/, diakses terakhir tanggal 28 Agustus 2014.
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=L
istCases, terakhir diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.

117

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=GenCaseDtlsRH&actio
nVal=ListPending, terakhir diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=ICSIDDocRH&action
Val=ShowDocument&language=English, diunduh tanggal 8 Desember 2014.
https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&reqFrom=M
ain&actionVal=OnlineAward.
http://indonesia.nlembassy.org/organization/departments/economic-
affairs/termination-bilateral-investment-treaty.html, diakses pada 18 November
2014.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/97#iiaInnerMenu, diakses
pada 18 November 2014.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1629, diunduh tanggal
18 November 2014.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/country/76/treaty/3092, diakses tanggal 18
November 2014.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/370, diunduh tanggal 18
November 2014.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1341, diunduh tanggal
18 November 2014.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1563, diunduh tanggal
18 November 2014.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1627, diunduh tanggal 4
Desember 2014.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1642, diunduh tanggal 4
Desember 2014.
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Download/TreatyFile/1341, diunduh tanggal 4
Desember 2014.
http://italaw.com/
http://kabar24.bisnis.com/read/20130719/16/151840/kasus-bank-century-investasi-
rafat-ali-tidak-ada-izin, diunduh tanggal 15 Juni 2014.
http://www.lcia.org/, diakses pada tanggal 28 Agustus 2014.
http://www.oecd.org/investment/internationalinvestmentagreements/multilateralagree
mentoninvestment.htm, diunduh tanggal 16 Mei 2004.
http://www.oic-oci.org/oicv2/states/, diakses tanggal 18 November 2014.
http://www.unctadxi.org/templates/Page____1006.aspx, diakses tanggal 16 Desember
2013.

118

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015


http://www.un-documents.net/s6r3201.htm, diunduh tanggal 1 Mei 2014.
http://www.un-documents.net/a29r3281.htm, diunduh pada tanggal 1 Mei 2014.

119

Penyelesaian sengketa..., Helmi Kasim, FH UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai