1
Perkembangan Keberagamaan Peserta Didik Juni 2022
PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN
MENURUT PSIKOLOGI ISLAMI
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui psikologi islami. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif yang datanya didapat dengan melakukan penelitian
pustaka (library research).
Temuan dalam penelitian ini yaitu dimensi keberagamaan manusia diantaranya
Ideologi, Ritualistik, Eksperensial, Intelektual, Konsekuensial. perbedaan
keberagamaan berdasarkan kategori periode yaitu Embrio, Masa Kecil, Masa
Dewasa dan Tua.
Terakhir adalah hubungan antara agama dan kesehatan psikis diantaranya Religion
as a Coping Behaviour (agama sebagai penjagaan kehidupan), mengatasi depresi,
menekan angka bunuh diri, mengurangi kecemasan, mengurangi gangguan psikotik.
I. PENDAHULUAN
Kajian akan manusia berawal dari sejarah manusia itu sendiri. Beberapa
referensi Alqur’an mengungkapkan relevansi psikologis dalam narasi al-
Qur’an tentang kisah dua putera Adam, dimana salah seorang dari mereka
(Qabil) melakukan pembunuhan atas saudaranya (Habil).
Selain itu, penulis juga mengambil data-data yang memiliki tema relevan dan
berkesinambungan agar dapat diambil materinya dalam rangka sebagai penunjang
sumber-sumber tersebut supaya lebih akuntabel yang mana kemudian ditarik
kesimpulan mengenai data yang sudah di dapat oleh penulis.
III. PEMBAHASAN
A. Konsep Perkembangan Keagamaan
Agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) kepada Tuhan, tata peribadatan, dan tata akidah yang bertalian
dengan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan tersebut.
Beragama merupakan kebutuhan dasar manusia. Menurut Clinebell dalam
Ramayulis manusia memiliki 9 kebutuhan dasar spiritual yaitu kebutuhan akan1:
1. Kepercayaan dasar (basic trust)
2. Makna hidup
3. Komitmen
4. Keimanan
5. Bebas dari rasa bersalah dan berdosa
6. Penerimaan diri dan harga diri
7. Rasa aman
8. Terpeliharanya interaksi dengan manusia dan alam
9. Bermasyarakat yang sarat dengan nilai-nilai religiusitas
1
Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), hlm. 47-48.
2
Bustamnuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 60.
3
Ancok dan Suroso, Psikologi Islami Solusi atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 80-81.
4
Thohari Musnamar, dkk, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Konseling Islami,
(Yogyakarta: UII Press, 1992), hlm. 139.
5
Ramayulis, Psikologi ..., hlm. 58-60.
6
Zakiah Darajat, Pembinaan Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 10-17.
7
Surawan dan Mazrur, Psikologi Perkembangan Agama: Sebuah Tahapan Perkembangan
Agama Manusia, (Yogyakarta: K-Media, 2020), hlm. 96-99.
8
Hadari Nawawi. Hakekat Manusia Menurut Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm: 118.
sejak ibu positif berisi; terutama setelah dia merasakan bayinya bergerak
sebagai tanda mendapatkan semangat atau kehidupan, upaya untuk
membangun dan mendidik itu bisa dilakukan. Berkat penelitian yang
mendorongnya para ahli pendidikan untuk berpikir dalam menyusun
beberapa stimulant edukasi untuk bayi dalam kandungan agar setelah
dirangsang memunculkan respons yang diharapkan.9
Untuk memberikan persiapan sebagai prasyarat untuk penciptaan
keturunan yang baik, Islam telah memberikan formula atau petunjuk
praktis yang substansinya mendukung pendidikan anak dalam kandungan.
Sejak periode zigot atau pembuahan sudah dianjurkan untuk selalu
berdo’a setiap waktu melakukan persetubuhan atau pembuahan,
sebagaimana diungkapkan dalam hadits berikut ini:10
9
Baihaki AK. Mendidik Anak dalam Kandungan. (Jakarta: Sri-Gunting, 1995), hlm: 31.
10
Imam Bukhori. Shahih Bukhori. (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1992), Cet. I, Juz 5,
hlm: 468.
11
Zakiah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm: 109.
12
Hadari Nawawi. Hakekat Manusia Menurut Islam., hlm: 237.
13
Elizabeth B. Hurlock. Developmental Psychologi, Terj. Isitwidayanti, Psikologi
Perkembangan. (Surabaya: Erlangga, 1991), Cet. II, hlm: 35.
14
Jalaluddin Abdur Rahman Ibnu Abi Bakar As-Suyuti. Jami’ al-Saghir. (Bandung: Syirkah
Ma’arif), Cet. I, Juz. II, t.t., hlm: 155.
didengar oleh anak-anak adalah kalimat panggilan yang bagus yang berisi
kebesaran dan keagungan Allah dan kesaksian pertama yang masuk Islam.
Tidak bisa dipungkiri pengaruh adzan akan mencapai hatinya sehingga
akan mempengaruhi jiwanya meskipun dia sendiri tidak menyadarinya.
Setelah anak berusia 7 tahun, perlu diperhatikan melaksanakan
ritual keagamaan. Al-Hakim dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu
Amr bin al-As dan Rasulullah:
15
Ibid..., hlm: 183.
16
Ibid..., hlm: 68.
dipengaruhi oleh faktor eksternal atau faktor dari luar mereka. Hal ini
dapat dimaklumi karena anak-anak sejak kecil telah melihat dan mengikuti
apa yang dilakukan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka
tentang sesuatu yang berhubungan untuk kepentingan atau kemaslahatan
agama. Sehingga sesuai dengan level dalam perkembangan seperti itu,
anak-anak membutuhkan latihan verbalis (menghafal) dan upacara
keagamaan ritualitas (amalan) sebagaimana yang diungkapkan dalam
intisari hadits sebelumnya.
Meskipun anak-anak menerima ajaran agama tidak hanya
berdasarkan apa yang telah mereka terima sejak kecil tetapi pendidikan
agama (religious pedagogical) sangat mempengaruhi terwujudnya
perilaku religius melalui peniruan itu.
Setelah anak melewati usia 10 tahun, secara psikologis telah
tumbuh berpikir kritisnya, yang dikenal sebagai masa remaja. Masa ini
dibagi menjadi dua tahap. Pertama, masa remaja pertama kira-kira dari 13
tahun sampai 16 tahun, yang ditandai dengan pertumbuhan fisik dan
intelektual yang cepat. Kedua, masa remaja terakhir, kira-kira dari usia 17
hingga 21 tahun, yang ditandai dengan perubahan terakhir dalam
pembinaan pribadi dan sosial.17
Islam juga memberikan beberapa pedoman untuk pembinaan
watak atau kepribadian remaja, sesuai dengan perkembangannya
psikologis. Ada perintah berhijab bagi remaja putri (Q.S. Al-Ahzab ayat
59), mencari teman dari kalangan yang baik-baik, nasehat nikah untuk
anak muda yang mampu dan jika tidak mampu dianjurkan untuk berpuasa.
Semua perintah ini mengarah ke tujuan menjaga psikis agar selalu
suci/murni dalam pandangan agama.
3. Masa Dewasa dan Tua
17
Zakiah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama., hlm: 122.
18
Abdullah Ulwan. Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam. (Beirut: Darus Salam, 1976), hlm: 179.
kehidupan sosial yang lebih luas dan memikirkan masalah agama yang
sesuai dengan latar belakang mereka.
Selanjutnya pada tahap kedewasaan menengah (usia 40-65 tahun)
manusia mencapai puncak periode usia paling produktif. Namun
sehubungan dengan kejiwaan, pada usia ini ada krisis akibat atau
konsekuensi konflik batin antara keinginan untuk bangkit dan kemunduran
diri.19 Adapun usia selanjutnya yaitu setelah usia di atas 65 tahun akan
mengalami beberapa masalah. Masalah utamanya adalah penurunan
kemampuan fisik, aktivitas berkurang, sering mengalami masalah
kesehatan yang membuat mereka kehilangan semangat.
Sikap religius orang dewasa memiliki perspektif yang luas
berdasarkan nilai-nilai yang mereka miliki. Terlepas dari sikap itu,
keberagaman ini secara umum juga dilandasi oleh pendalaman
pengetahuan atau pemahaman dan perluasan pemahaman terhadap ajaran
agama yang dianutnya. Agama bagi orang dewasa adalah sikap hidup dan
bukan sekedar ikut-ikutan.
Rasulullah sendiri mengkritik seseorang yang telah memasuki usia
40 tahun tetapi belum memiliki kemantapan/stabilitas beragama dengan
bukti kebaikan belum mengalahkan kejahatannya. Tipe orang ini siap-siap
untuk dibuang ke neraka.
Seperti yang pernah dicontohkan Muhammad ketika berusia 40
tahun tahun, beliau melakukan lebih banyak mengerjakan tahannuts
daripada waktu sebelumnya. Dengan kemantapan jiwanya menunjukkan
bahwa belaiu siap untuk dianggap sebagai Rasul. Akhirnya, Surah Al-
Alaq ayat 1-5 turun sebagai lambang bi'sah (diangkat sebagai Rasul,
tepatnya pada usia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut tahun qomariyah).20
Jalaluddin Abdur Rahman Ibnu Abi Bakar As-Suyuti. Jami’ al-Saghir., hlm: 97.
19
R.H.A. Soenardjo. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm: 59.
20
21
Ahmad Mustafa al-Maraghy. Tafsir al-Maraghy, Terj. Bahrun Abu Bakar lt.al. (Semarang:
Toha Putra, 1987), Cet. I., Jilid 7, hlm: 296-297.
22
Achmad Mubarok. “Psikologi Politik Telaah Dinamika Sejarah Bangsa Indonesia dalam
Perspektip Psikologi Islam”. Makalah disampaikan dalam Kuliah Iftitah di Auditorium STAIN
Bengkulu. 22 Oktober 2012, hlm: 10.
23
Ibid..., hlm: 10.
24
Muhtar Gojali. “Psikologi Islami (Sebuah Pendekatan Al-ternatif Terhadap Teori-teori
Psikologi Barat)”, Dimuat dalam www.tasawufpsikoterapi.web.id, Dipublikasikan 8 Mei 2012,
http://www.tasawufpsikoterapi.web.id/2012/05/psikologi-islami-sebuah-pendekatan.html.
Satu survei sistematis terhadap pasien medis yang dirawat di rumah sakit (n
= 330) menemukan bahwa 90 % melaporkan bahwa mereka menggunakan
agama untuk mengatasi, setidaknya sampai tingkat sedang, dan lebih dari
40% menunjukkan bahwa agama adalah faktor terpenting yang membuat
mereka bertahan.
Pasien psikiatri juga sering menggunakan agama untuk mengatasinya.
Sebuah survei pasien (n = 406) dengan penyakit mental persisten di
Fasilitas kesehatan mental Los Angeles County menemukan lebih banyak
lagi dari 80% menggunakan agama untuk mengatasinya.
Faktanya, sebagian besar pasien menghabiskan setengah dari total waktu
mereka dalam praktik keagamaan seperti berdoa. Para peneliti
menyimpulkan bahwa agama berfungsi sebagai “metode yang dapat
meresap dan berpotensi efektif untuk mengatasi orang-orang dengan
penyakit mental, sehingga menjaminnya. integrasi ke dalam praktik
psikiatri dan psikologis.
Dalam penelitian lain, yang dilakukan oleh Center for Psychiatric
Rehabilitasi di Universitas Boston, orang dewasa dengan gangguan jiwa
berat penyakit ditanya tentang jenis praktik perawatan kesehatan alternatif
yang mereka gunakan.17 Sebanyak 157 orang dengan skizofrenia,
gangguan bipolar, atau MDD menanggapi survei. Orang dengan
skizofrenia dan MDD melaporkan bahwa yang paling umum praktik
kesehatan alternatif yang bermanfaat adalah kegiatan RS (lebih dari
setengah melaporkan ini); bagi mereka yang memiliki gangguan bipolar,
hanya meditasi yang melampaui aktivitas RS (54%, dibandingkan dengan
41%).
2. Depresi
Dalam sebuah penelitian menarik yang meneliti hubungan spiritualitas
dengan pengikatan 5-HT1A otak menggunakan tomografi emisi positif,
para peneliti menemukan bahwa pengikatan 5-HT1A lebih rendah pada
3. Bunuh diri
Dalam tinjauan sistematis Koenig atas penelitian yang dilakukan sebelum
tahun 2000, 68 penelitian diidentifikasi yang meneliti hubungan agama-
bunuh diri. Di antara studi tersebut, ditemukan lebih sedikit bunuh diri atau
lebih banyak sikap negatif terhadap bunuh diri di antara yang lebih religius,
9 tidak menunjukkan hubungan, dan melaporkan hasil yang beragam.
Tujuh dari penelitian dilakukan di Kanada, dan dari mereka, ditemukan
lebih sedikit bunuh diri atau lebih banyak sikap negatif terhadap bunuh diri
di antara yang lebih religius, 1 tidak menemukan hubungan, dan 1
melaporkan hasil yang beragam.
Sementara penelitian terbaru menunjukkan bahwa agama mencegah bunuh
diri terutama melalui doktrin agama yang melarang bunuh diri,
ada juga bukti bahwa kenyamanan dan makna yang diperoleh dari
keyakinan agama mungkin relevan dan mungkin sangat penting pada orang
dengan penyakit medis lanjut. Keterlibatan agama juga dapat membantu
mencegah bunuh diri dengan mengelilingi orang yang berisiko dengan
komunitas yang peduli dan suportif.
4. Kecemasan
Ketika Ajaran agama mengajarkan tentang rasa bersalah saat seseorang
melakukan dosa dan ketakutan yang mengurangi kualitas hidup atau
mengganggu jalannya kehidupan, kecemasan yang ditimbulkan oleh
keyakinan agama dapat mencegah perilaku yang merugikan orang lain dan
memotivasi perilaku pro-sosial. Keyakinan dan praktik keagamaan juga
dapat menghibur orang yang takut atau cemas, meningkatkan rasa kontrol,
meningkatkan perasaan aman, dan meningkatkan kepercayaan diri (atau
kepercayaan pada makhluk Ilahi).
5. Gangguan psikotik
Penelitian dari Inggris Raya, Eropa, Timur Tengah, dan Timur Jauh,
membantu memperjelas hubungan ini. Salah satu studi terbesar dan terinci
dari Inggris Raya meneliti prevalensi delusi agama di antara pasien rawat
inap (n = 193) dengan skizofrenia.59 Subyek dengan delusi agama (24%)
memiliki gejala yang lebih parah, terutama halusinasi dan delusi aneh,
fungsi yang lebih buruk, durasi penyakit yang lebih lama, dan pada dosis
obat antipsikotik yang lebih tinggi, dibandingkan dengan pasien dengan
jenis obat lain delusi.
IV. SIMPULAN
Dimensi keberagamaan pada manusia dibagi dalam beberapa jenis
diantaranya Ideologi, Ritualistik, Eksperensial, Intelektual, Konsekuensial.
Tingkatan erbedaan keberagamaan berdasarkan kategori periode yaitu Embrio,
Masa Kecil, Masa Dewasa dan Tua.
Terkait adanya hubungan antara agama dan kesehatan psikis diantaranya
sebagai berikut Religion as a Coping Behaviour (agama sebagai penjagaan
kehidupan), mengatasi depresi, menekan angka bunuh diri, mengurangi
kecemasan, mengurangi gangguan psikotik.
DAFTAR PUSTAKA