Anda di halaman 1dari 15

KONSEP MURU’AH ( HARGA DIRI ) SEORANG MUSLIM

MENURUT IBNU QAYYIM AL JAUZIYYAH

Muhammad Raafi Zazuli Muflihu


Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, UNIDA Gontor
Email : muhammadraafijazuli425@gmail.com

Abstrak

Self-esteem atau harga diri merupakan salah satu cara pembentukan konsep diri yang
akan memiliki pengaruh yang luas terhadap sikap dan perilaku seseorang . Menurut Maslow,
kebutuhan harga diri remaja sangat penting. Harga diri seseorang mencakup pengakuan
terhadap orang lain. Harga diri bukanlah faktor lahir saat lahir, tetapi factor pembelajaran
dan pembentukan dalam pengalaman pribadi. Hal ini sejalan dengan pandangan Klass dan
Hodge yang meyakini bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi yang dilakukan dan
dipelihara oleh individu, evaluasi tersebut bersumber dari interaksi antara individu dengan
lingkungan dan penerimaan, penghargaan dan perlakuan orang tersebut oleh orang lain. Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah menyampaikan bahwa muru’ah artinya sifats-sifat kemanusiaan yang
dimiliki jiwa seseorang, yang dengannya dia berbeda dengan binatang dan syetan yang
terkutuk. Di dalam jiwa manusia ada tiga faktor yang saling Tarik menarik, pertama yaitu
faktor yang menariknya memenuhi ajakan syetan sperti kesombongan, hasad, atau iri. Faktor
kedua menariknya untuk berakhlak dengan sifat binatang. Dan fakto ketiga menariknya untuk
berakhlak dengan sifat-sifat malaikat, berupa kebajikan, nasehat, taat dan berbuat baik.

Kata kunci : harga diri, Al Jauziyyah, muruu’ah, self-esteem

A. PENDAHULUAN

Islam turun sebagai pembawa Rahmat kepada seluruh alam dengan membawa ajaran-
ajarannya yang diantaranya yaitu akhlak yang mulia dan dibawa serta di contohkan
langsung oleh Nabi Muhammad SAW. karena sesuai dengan tujuan yang diamanatkan
kepadanya yaitu untuk menyempurnakan akhlak manusia. Maka sudah sepatutnya orang-
orang untuk memperbaiki akhlak mereka dalam upaya mengikuti ajaran Nabinya dan juga

1
manusia adalah makhluk Allah yang paling baik penciptaannya bila dibandingkan dengan
makhluk lainnya, hal ini seperti yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an. 1

Manusia sebagai makhluk yang baik penciptaannya diberikan beberapa kelebihan dari
pada makhluk yang lainnya, diantaranya manusia memiliki akal yang berperan sebagai alat
pembeda yang hak dan batil.2 Sehingga manusia bisa menjaga tingkah laku mereka untuk
tetap mengutamakan berada dalam kebaikan dan tidak menimbulkan keburukan dari dalam
dirinya dan meningkatkan ibadah serta menjadikan mereka orang yang paling takwa
diantara yang lainnya dan memiliki harga diri (muru’ah) karna telah dekat dengan
penciptanya.

Konsep harga diri sendiri sudah banyak dibahas di dalam dunia modern ataupun Islam
terlebih lagi dalam dunia psikologi. Menurut psikologi modern harga diri (self esteem)
dinilai melalui pengalaman yang diraih, berupa pengakuan, penghormatan, penghargaan
terhadapnya.3 Konsep harga diri ilmuwan psikologi modern yang bersifat egosentris,
menekankan pada kepribadian yang teridiri dari komponen afektif, kognitif, evaluative dan
interaksi sosial. Dalam hal tersebut meniadkan aspek ketuhanan maupun spiritual
dikarnakan perbedaan cara pandang ilmuwan psikologi modern dengan Islam yang segala
sesuatunya tidak terlepas dari unsur ketuhanan. 4

Namun sebagian dari ummat muslim masih belum bisa menemukan harga diri mereka
sebagai seorang muslim dan lebih condong mengikuti barat. Masyarakat barat memang
sudah mampu menggunakan kemampuan mereka untuk mencapai kemajuan yang begitu
pesat di berbagai bidang kehidupan, terutama dalam sains dan teknologi sehingga
kemajuannya tak dapat dibendung lagi. Tetapi sayang kemajuan tersebut tidak diimbangi
dengan aspek ketuhanan sehingga melahirkan sains dan teknologi sekuler yang
mengesampingkan etika dan moral. 5

Masalah ini tidak sepatutnya dilihat sebelah mata karna ini menyangkut tentang
kehormatan dan kemuliaan agama Islam. Bagi seorang muslim yang tidak dapat
mengontontrol tingkah laku mereka dan terjerumus dalam kehidupan yang buruk seperti

1
QS. At-Tin, 95:4
2
Suherman S.& Nurhayati, “Metode Pembinaan Akhlak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi”, Al-
Mutharahah : Jurnal Penelitian dan Kajian Sosial Keagamaan, Vol. 18, No. 2 (2021) h. 115
3
Jarman Arroisi & Syamsul Badi’, “Konsep Harga Diri : Komparasi Perspektif Psikologi Modern
dan Islam”, Jurnal Psikologika, Vol. 27, No. 1 (2022) h.93
4
Ibid
5
M. Imam Pamungkas, “Akhlak Muslim: Membangun Karakter Generasi Muda”, Jurnal
Pendidikan Universitas Garut, Vol. 08, No. 01 (2014) h. 39

2
terjebak dalam pergaulan bebas, pacaran, hamil diluar nikah dan aborsi yang mana hal
tersebut tidak sesuai dengan maqashid shari’ah yaitu menjaga kehormatan dan keturunan. 6

Tak hanya itu saja, dengan kemajuan teknologi media sosial saat ini para pengendali
media yang dengan sengaja melecehkan kehormatan dan harga diri agama Islam demi
kepentingan mereka pribadi dengan seruan ajaran Islam yang radikal, ekstrim, agama
teroris sehingga munculnya islamophobia.7 Sehingga membuat orang muslim sendiri
menjadi takut dan ikut-ikutan dalam melecehkan agama Islam karna pandangan masyarakat
barat sendiri menganggap hal ini sebagai tindakan yang keren bagi mereka seperti yang
dikatakan Felix Yanwar Siauw dalam acara TV Indonesia dalam tema pelecehan nama nabi
Muhammad dan Maria oleh salah satu perusahaan pengedar minuman keras. 8

Sebab itu perlunya kajian lebih mendalam lagi tentang bagaimana manusia bisa
mengontrol tingkah laku mereka supaya tetap dalam jalan yang baik dan bukannya di jalan
yang bisa menyesatkan dan menjeremuskan mereka kepada keburukan, iri hati, dengki dan
ajakan syaiton yang lainnya demi menjaga kehormatan (izzah), harga diri (muru’ah) dan
menahan diri (iffah).9

Dalam penulisan ini, tokoh yang ingin dikaji adalah Ibnu Qayyim Al- Jauziyyah yang
menuliskan pendapatnya tentang muru’ah di dalam bukunya dengan judul Madarijus
Salikin yang menjelaskan sepenggal ayat Al qur’an “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”
namun merupakan tujuan dari kehidupan manusia. Ia juga adalah seorang ulama besar yang
melahirkan ulama yang terkenal seperti Al Dzahaby (w.748), Ibnu Katsir (w.774), Ibnu
Rajab (w. 795).10 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah juga menguasai berbagai macam disiplin ilmu,
sebagai mana yang telah diketahui oleh masyarakat luas lewat tulisan-tulisannya.

B. METODELOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan peneliti dalam kajian ini adalah penelitian kualitatif.6Dalam
hal ini analisis muatan lebih dekat dengan analisis wacana yang dimaksudkan sebagai

6
M. Lutfi Khakim, “Menjaga Kehormatan Sebagai Perlindungan Nasab Perspektif Maqashid
Syari’ah”, Jurnal NIZHAM, Vol. 8, No. 01 (2020) h.33
7
Al Wazir Abdusshomad, “Metode Hiwar Sebagai Salah Satu Cara Mencegah Islamophobia”,
Jurnal Islam Nusantara, Vol. 05, No. 02, (2021), h. 30
8
TVOne News. 2022, 29 Juni, Dituduh Penistaan Agama Haruskah Hollywings Ditutup, Catatan
Demokrasi tv One. https://www.youtube.com/watch?v=0ZHdTTwPtgg , ditonton pada tanggal 30 Juni 2022
9
Dadan Nurulhaq, Miftahul Fikri, dkk. “Urgensi Iffah Bagi Masyarakat Sekolah”, Jurnal Atthulab
: Islamic Religion Teaching & Learning Journal, Vol. 6, No. 1 (2021), h. 55
10
Sudarto, “Konsep Pendidikan Jiwa Menurut Ibnu Al Qayyim Al Jauziyah”, Jurnal Al-Lubab: Jurnal
Penelitian Pendidikan dan Keagamaan Islam, Vol. 7, No. 1 (2021), h. 71

3
metode analisis data dan metode tafsir teks.7Artinya dalam analisis data pada hakikatnya
peneliti memberikan penafsiran terhadap gagasan primer dan dikonfrontasikan dengan
gagasan primer lainnya atau gagasan sekunder.

Selain itu, kajian ini juga menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research).
Dalam kontek ini metode kepustakaan yang digunakan lebih menekankan pada aspek
tekstual seperti buku, makalah, jurnal, catatan, maupun laporan hasil penulisan dari
penulisan terdahulu10 dan sumber-sumber pustaka lainnya. Berdasarkan subjek matter-nya,
menurut M. Atho Mudzar, kajian ini dapat dikategorikan dalam kajian budaya. Kajian
budaya merupakan sebuah model penulisan yang memiliki konsen terhadap pemikiran,
nilai-nilai dan ide budaya sebagai produk berpikir manusia. Disamping itu berdasarkan
rumusan masalah, kajian ini berkaitan dengan fenomena sosial, budaya, seni dan filsafat
secara interdisipliner.

Dalam menganalisa data penulis menggunakan metode deskriptif untuk mengelola data
secara sistematis menguraikan keadaan suatu komunitas. Penganalisaan data dilakukan
secara seksama dan diklasifikasikan menurut variable yang dibutuhkan. Analisa data
menggunakan metode deskriptif dirasa sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui
konsep kebahagiaan al-Attas dalam bentuk sistem pemikirannya16dan pengaruhnya
terhadap sikap dan pandangan suatu kelompok.

C. PEMBAHASAN
1. MAKNA MURUAH

Dalam upaya mempermudah untuk memahami arti dari kata muru’ah (harga diri),
peneliti akan menyampaikan makna muru’ah dalam berbgai perspektif. Secara luas arti
muru’ah diambil dari kata ( ‫ )المرأ‬yang berarti manusia, orang. Yang dalam kamus Al
Ma’ani berartikan harga diri, keluhuran budi, kedermawanan, kehormatan, keperwiraan,
kewibawaan.11 Dalam kamus Bahasa Indonesia kata harga diri dapat diartikan sebagai
kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri. 12

11
Lihat https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/‫المروءة‬
12
Lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/harga diri

4
Harga diri (self esteem) menurut Santrock adalah dimensi penilaian yang menyeluruh
dari diri. Self esteem juga sering disebut dengan self-worth atau self -image.13 Harga diri
juga adalah evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi
individu tersebut terlihat dari penghargaan yang ia berikan terhadap eksistensi dan
keberartian dirinya, individu yang memiliki harga diri positif akan menerima dan
menghargai dirinya sendiri sebagaimana adanya serta tidak cepat-cepat menyalahkan
dirinya atas kekurangan atau ketidak sempurnaan dirinya. 14

Menurut Abraham Maslow, Harga diri dilihat dari dua bentuk ; individu dan
kelompoknya.15 Penghargaan terhadap individu akan dinilai ketika seseorang merasa
bahwa dirinya memiliki kekuatan, prestasi, kemampuan dan keunggulan daripada yang
lainnya, sedangkan bentuk kedua adanya hasrat akan memperoleh status, dominasi atau
apresiasi dari orang lain yang dilihat dari pengalaman dan relasi kebutuhan sebelumnya.

Sebenarnya beberapa Ulama Islam sudah ada yang menjelaskan tentang menjaga harga
diri, seperti Imam Mawardi berpendapat bahwa muru’ah sebagai penjagaan tingkah laku
mengutamakan agar tetap berada dalam kebaikan, dan diusahakan untuk tidak melahirkan
keburukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Hakikat muru’ah adalah membenci ajakan
syahwat dan ajakan emosi, tetapi memenuhi ajakan akal dan hati.16

Dalam kitab Taisiiru Al Kholaq fi Ilmi Al Akhlaq karya Syaikh Hafiz Hasan Al Mas’udi
mengatakan

“Muru’ah adalah sifat yang mendorong kita senantiasa berpegang teguh kepada
akhlaq yang baik. Sebab-sebab muruah antara lain itu cita-cita yang tinggi dan
kemuliaan diri. Maka sesungguhnya barang siapa yang memliki cita-cita tinggi dan
memliki kemuliaan diri, di akhir hayatnya dia akan mendapatkan sesuatu yang bisa
menjaga keluhurannya tersebut dan menemukan beberapa keutamaan pada dirinya
serta membangun paradigma di masyarakat menjadi orang yang mulia kemudian
senantiasa murah hati dan mencegah bahaya yang mengitarinya.” 17

13
Desmita. “Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Panduan BagiOrang Tua Dan Guru Dalam
Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP,Dan SMA”.(Bandung :PT. Remaja Rosdakarya, 2012), 43
14
Ibid
15
Jarman Arroisi & Syamsul Badi’, “Konsep Harga Diri : Komparasi Perspektif Psikologi Modern dan
Islam”, Jurnal Psikologika, Vol. 27, No. 1 (2022) h.94
16
Jarman Arroisi & Syamsul Badi’, “Konsep Harga Diri : Komparasi Perspektif Psikologi Modern
dan Islam”, Jurnal Psikologika, Vol. 27, No. 1 (2022) h.97
17
Syaikh Hafiz Hasan Al Mas’udi, Taisiiru Al Kholaq fi Ilmi Al Akhlaq, p. 31

5
Menurut Al-Ghazali muru’ah adalah akhlak kepribadian yang telah tertanam dalam
jiwa dan digambarkan dari tingkah laku tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran.
Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tersebut adalah sifat yang telah teresap dalam jiwa dan
terpatri dalam hati, menjadi sebuah kebiasaan, kesadaran dan tidak ada unsur
pemaksaaan.18 Dan juga Al-Ghazali berpendapat bahwa menjaga muru’ah lebih penting
daripada menjaga hartanya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyampaikan bahwa muru’ah artinya sifats-sifat


kemanusiaan yang dimiliki jiwa seseorang, yang dengannya dia berbeda dengan binatang
dan syetan yang terkutuk.19 Di dalam jiwa manusia ada tiga faktor yang saling Tarik
menarik, pertama yaitu faktor yang menariknya memenuhi ajakan syetan sperti
kesombongan, hasad, atau iri. Faktor kedua menariknya untuk berakhlak dengan sifat
binatang. Dan fakto ketiga menariknya untuk berakhlak dengan sifat-sifat malaikat, berupa
kebajikan, nasehat, taat dan berbuat baik.20

2. PENGARUH MURUAH

Self-esteem atau harga diri merupakan salah satu cara pembentukan konsep diri yang
akan memiliki pengaruh yang luas terhadap sikap dan perilaku seseorang . Menurut Maslow,
kebutuhan harga diri remaja sangat penting. Harga diri seseorang mencakup pengakuan
terhadap orang lain. Harga diri bukanlah faktor lahir saat lahir, tetapi factor pembelajaran
dan pembentukan dalam pengalaman pribadi. Hal ini sejalan dengan pandangan Klass dan
Hodge yang meyakini bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi yang dilakukan dan
dipelihara oleh individu, evaluasi tersebut bersumber dari interaksi antara individu dengan
lingkungan dan penerimaan, penghargaan dan perlakuan orang tersebut oleh orang lain. 21

Dan hal itu berpengaruh juga pada kebahagiaan manusia, menurut Sukidi, hidup
bahagia adalah dambaan setiap orang, dan banyak faktor untuk mencapai tujuan tersebut

18
Jarman Arroisi & Syamsul Badi’, “Konsep Harga Diri : Komparasi Perspektif Psikologi Modern
dan Islam”, Jurnal Psikologika, h.97
19
Ibnu Qayyim Al- Jauziyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah) Penjabaran Kongkret
“Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”. Cet. 1, ed. (terjemahan Kathur Suhardi), Jakarta : Pustaka Al Kautsar,
1998, h. 273
20
Manshur bin Muhammad Al Muqrin, Ensiklopedia Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Cet. 1, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2014,h. 250
21
Very Julianto, “Hubungan antara Harapan dan Harga Diri Terhadap Kebahagiaan pada Orang
yang Mengalami Toxic Relationship dengan Kesehatan Psikologis”, Jurnal Psikologi Integratif Prodi
Psikologi UIN Sunan Kalijaga Vol. 8, Nomor 1, 2020 Halaman 105

6
dapat menciptakan kebahagiaan dalam hidup manusia. Faktor-faktor tersebut antara lain:
uang, materi, kesehatan, kekuatan, dan bahkan kenikmatan seksual. Namun, semua factor
ini hanya bisa mendatangkan kebahagiaan yang langgeng. Kebahagiaan yang dihasilkan
terbatas pada kebahagiaan palsu. Schimmel menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah
penilaian pribadi terhadap kualitas hidup secara keseluruhan.

Menurut Schimmel, kebahagiaan terkadang disebut kebahagiaan subjektif. Sedangkan


menurut penelitian Diener & Ryan, kebahagiaan mengacu pada emosi positif, sedangkan
kesejahteraan subjektif mencakup emosi positif dan emosi negatif. Namun, kedua istilah ini
merujuk pada penilaian seseorang terhadap kualitas hidup. Selain itu, Diener et al.
menunjukkan bahwa kebahagiaan atau kebahagiaan subjektif dapat dilihat dari emosi
menyenangkan, emosi tidak menyenangkan, kepuasan hidup secara keseluruhan dan
kepuasan dalam aspek tertentu. Dari berbagai teori di atas tentang kebahagiaan, dapat
disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah penilaian seseorang terhadap kualitas hidup yang
ditandai dengan emosi yang menyenangkan dan kepuasan terhadap hidup. 22

Disisi lain Al-attas mengisyaratkan bahwa kebahagiaan yang di dapatkan manusia itu
merupakan sebuah pengamalan dari pandangan Islam (islamic worldview) sehingga
pengamalan ini berlandaskan oleh ilmu dalam pandangan islam dan kemudian berimplikasi
pada tercapainya kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian worldview
Islam merupakan asas dalam kebahagiaan. Kebahagiaan yang dijelaskan oleh Al-Attas
memberikan arti bahwa antara dunia dan akhirat memiliki ikatan yang erat yakni
diperuntukan bagi orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan dan berpegang erat pada
hidayah-Nya. Hal penting yang harus digaris bawahi adalah agama menjadi asas penting
dalam mencapai kebahagiaan yang diperoleh dari akal dan wahyu. Kebahagiaan yang
dijelaskan oleh al-Attas adalah kebahagiaan yang berdasarkan pada ilmu, iman dan
perbuatan yang berupa akhlak yang baik. ilmu dan iman merupakan kebenaran yang akan
membawa manusia untuk membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk
sehingga manusia mampu menghasilkan sebuah kondisi yang disebut dengan adil. 23

Konsep kebahagiaan Al Attas sejalan dengan konsep muru’ah yang terbangun dari
ilmu, iman dan perbuatan yang merupakan akhlaq yang baik. Pengaruhnya adalah jika

22
Ibid
23
Jarman Arroisi & Novita Sari, “Bahagia Perspektif Syed Naquib Al Attas”, Jurnal Kajian Agama,
Sosial dan Budaya, Vol. 5, No. 2, 2020 hal. 192

7
seseorang memiliki sifat muru’ah yang dilandaskan atas ketiga usnur tadi maka niscaya
dalam hayatnya dia akan dapat menjaga harga dirinya, menemukan keutamaan pada dirinya
membangun image yang bagus dalam masyarakat, kemudian senantiasa murah hati dan
mencegah bahaya yang mengitarinya.24 Yang kemudian mengarahkan kepada kehidupan
yang harmonis serta menciptakan emosi bahagia pada diri seseorang.

3. MENJAGA MURUAH

Ibnul Qayyim mengatakan, “Hakikat muru’ah adalah menjauhi hal-hal rendahan dan
hina, baik dalam perkataan, akhlak, maupun perbuatan. 25Ibnu ‘Arafah menambahkan,

“Muru’ah adalah penjagaan terhadap suatu perbuatan yang mubah, yang jika
ditinggalkan akan mendapat celaan menurut ‘urf (kebiasaan)… atau tidak melakukan
suatu perbuatan yang mubah, yang jika dilakukan akan mendapat celaan menurut
‘urf.” 26

Maka dalam strategi menjaga sikap muru’ah bisa ditempuh dengan berbagai cara yang
pertama yaitu menjaga tingkah laku kita, menjauhi apa yang dilarang oleh agama dan
mentaati perintahnya. Tapi tak hanya sebatas akhlaq kita kepada Allah SWT, kita sepatutnya
menjaga tingkah kita ke sesama makhluk Allah SWT. Dalam upaya menjaga muru’ah kita
kepada sesame manusia bisa dilihat dari bentuk-bentuk muru’ah dan adab-adabnya di bawah
ini :

1. Hendaknya tenang dan santun, tidak menampakkan ketergesa-gesaan dan kegaduhan


dalam gerak-geriknya, seperti banyak menoleh di jalan dan berjalan cepat di luar
kebiasaan orang.
2. Berbicara dengan pelan dan jelas, tidak nyerocos (tidak ada titik dan koma).
Menjelaskan sesuatu dengan baik, dengan bahasa terang dan tidak membingungkan
pendengar.

24
Syaikh Hafiz Hasan Al Mas’udi, Taisiiru Al Kholaq fi Ilmi Al Akhlaq, p. 31
25 25
Ibnu Qayyim Al- Jauziyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah) Penjabaran Kongkret
“Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”. Cet. 1, ed. (terjemahan Kathur Suhardi), Jakarta : Pustaka Al Kautsar,
1998, h. 273

26
Syarh Hudud Ibnu ‘Arafah hal.591

8
3. Menahan diri dari ledakan amarah dan luapan kegembiraan yang berlebihan.
Hendaknya pertengahan tatkala senang maupun susah.
4. Memiliki pendirian yang jelas, tidak menampakkan persaudaraan kepada musuh atau
merekomendasikan seseorang itu baik, padahal orang tersebut menyeleweng.
5. Tidak melakukan sesuatu di tempat yang sunyi, yang jika dinampakkan di depan orang
akan dianggap sebagai bentuk ketergelinciran atau
6. Bertemu orang lain dengan wajah yang cerah, lisan yang baik dan tidak mencari-cari
apa yang ada di dalam hati orang lain, apakah suka ataukah benci.
7. Pelit dengan waktunya jika hanya untuk menggunjing orang lain atau menyinggung
kehormatan orang lain.
8. Menjauhi dari membebani orang yang berkunjung ke rumahnya. Umar bin Abdul Aziz
berkata, “Bukan termasuk muru’ah jika seseorang mempekerjakan tamunya.”
9. Mendengarkan dengan saksama orang yang menceritakan kepadanya sesuatu,
sekalipun ia mungkin lebih mengetahui cerita tersebut.
10. Berusaha menanggung beban hidup; tidak menghalanginya rasa malu dan
kedudukannya di masyarakat untuk mencari kelapangan rezeki.
11. Menjauhi persangkaan yang tidak baik terhadap kejadian-kejadian yang menimpanya.
12. Menjaga amanah, baik berupa rahasia maupun harta dan tidak memperlihatkannya
kecuali kepada pemiliknya.
13. Berusaha menyerasikan antara ucapan dengan perbuatannya, sesuai dengan ‘urf yang
berlaku di masyarakat yang tidak menyimpang dari syariat.
14. Memperlakukan orang lain sebagaimana ia senang diperlakukan oleh orang. Dan masih
banyak yang lainnya. (Al–Muru’ah wa Zhawahiruha ash–Shadiqah, Muhammad
Khudri Husain, dinukil dari “Al-Muru’ah al-Gha’ibah”, Muhammad Ibrahim hal. 120-
123 dengan ringkas)

Muru’ah dapat rusak pada seseorang karena rusaknya akal, kurangnya agama dan rasa
malu.27).Rusaknya muru’ah terbagi dua macam; ada yang menurut syar’i dan menurut ‘urf
(adat kebiasaan). Karena syariat tidak dapat berubah dan diganti, maka ia tidak terpengaruh
oleh tempat maupun zaman. Siapa saja yang menerjang syariat maka ia dikatakan telah
rusak muru’ahnya, seperti ketika berkata kasar atau berbuat tidak senonoh, karena setiap
muslim tidak pantas seperti itu. Adapun ‘urf sangat bergantung kepada waktu dan tempat.

27
‘Adalatus Syahid fil Qadha’ al–Islami, Syuwaisy Hazza’ hal. 356-357

9
Sebagai contoh: membuka penutup kepala (peci atau lainnya), di sebagian tempat, itu
termasuk tercela dan mempengaruhi ‘adalah (kredibilitas) seseorang, namun di tempat lain
termasuk hal yang wajar saja, sehingga tidak mengurangi ‘adalah seseorang. Karena itu
hendaknya adat istiadat di tempat tersebut diperhatikan.28.

Para ulama sepakat, bahwa seseorang yang rusak muru’ahnya tidak dapat diterima
persaksiannya. Adapun perkataan dan perbuatan yang dapat merusak muru’ah adalah:

1. Perbuatan haram yang termasuk dosa besar, baik haram zatnya maupun karena sebab
yang lain.
2. Perbuatan makruh yang dianggap dosa kecil, jika terus menerus dilakukan.
3. Perbuatan mubah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan haram atau terus menerus
dikerjakan, sehingga menjadi makruh atau menyerupai orang fasik.

Termasuk juga seseorang yang sering memakai celana panjang tatkala shalat, terlalu
sering keluar rumah memakai baju dalam, sering nongkrong di warung, sering menunjuk
memakai tangan kiri -di daerah tertentu-, termasuk mengurangi muru’ah seseorang. Oleh
karena itu hendaknya jeli dalam melihat ‘urf yang baik pada suatu tempat, agar jangan
sampai dilanggar.

4. TINGKATAN MURUAH

Adapun muruu'ah atau keluhuran budi dalam meninggalkan, yaitu meninggalkan


perbantahan atau permusuhan, meninggalkan celaan, perdebatan, menutup mata dari aib
orang yang mengambil hakmu, tidak mengejamya dengan funtutan, berpura-pura tidak tahu
tentang kesalahan orang lain, membuat mereka merasa bahwa engkau tidak mengetahui
tentang kesalahan seorang pun dari mereka, menghormati yang tua, menjaga kehormatan
orang yang sebaya, dan memperhatikan adab pada orang yang lebih kecil. 29 Dan ini
memiliki tiga tingkatan:

Tingkatan pertama: Muruu'ah atau keluhuran budi seseorang terhadap dirinya


sendiri, yaitu dengan memaksanya untuk bersifat dengan hal-hal yang mempercantik dan
memperindahnya, meninggalkan hal-hal yang mengotori dan menodainya, agar sifat-sifat

28
Jarhu ar–Ruwat wa Ta’diluhum, oleh Mahmud ‘Aidan hal. 108
29
Manshur bin Muhammad Al Muqrin, Ensiklopedia Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Cet. 1, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2014,h. 250

10
yang baik itu menjadi kebiasaan baginya dalam kehidupan nyata. Maka barangsiapa yang
membiasakan sesuatu dalam kesendirian dan khalwatnya, maka hal itu akan menguasainya
pada saat dia berada di hadapan umum. Maka janganlah dia membuka auratnya pada saat
sendiri, tidak bersendawa dengan suara yang mengganggu selama dia bisa menghindarinya,
tidak mengeluarkan kentut dengan suara keras sementara dia bisa menyembunyikannya, dan
jangan pula makan dengan rakus pada saat dia makan sendirian.30

Secara umum, janganlah dia melakukan sesuatu pada saat dia sendirian, yang dia akan
merasa malu jika dia melakukannya di hadapan banyak orang, kecuali hal-hal yang tidak
dilarang oleh syariat dan akal, dan tidak bisa dilakukan kecuali pada saat berkhalwat seperti
melakukan hubungan badan, menyendiri, dan lain sebagainya.

Tingkatan kedua: Keluhuran budi terhadap makhluk, yaitu dengan menggunakan syarat-
syarat adab, malu, dan akhtak yang baik terhadap mereka. Tidak memperlihatkan kepada
mereka hal-hal yang tidak dia sukai jika orang lain melakukannya kepada dirinya.
Hendaknya dia menjadikan orang lain sebagai cermin bagi dirinya sendiri. segala hal yang
tidak disukainya dari perkataan, perbuatan, atau akhlak, hendaknya dia menjauhinya. Dan
apa-apa yang dia sukai dari semua ifu maka hendaknya dia melakukannya.

Orang yang memiliki kearifan ini akan dapat mengambil manfaat dari setiap orang yang
bergaul dan berteman dengannSla, baik itu orang yang sempuma akhlaknya, atau yang
kurang akhlaknya, atau orang yang buruk perangainya atau yang baik perangainya, atau
yang tidak memiliki muruu'arl (keluhuran budi) maupun yang penuh dengannya.

Banyak orang yang mempelajari muruu'ah ini, juga mempelajari akhlak yang terpuji
dari orang-orang yang memiliki sifat yang bertentangan dengan apa yang dipelajarinya,
sebagaimana yang didapati pada seorang budak dari seorang tokoh yang buruk akhlaknya,
kasar, dan tidak layak menjadi budak dari seorang tokoh, lalu ditanyakan kepada budak itu
dan dia berkata, "Aku belajar akhlak yang terpuji darinya (tuannya)."

Dan ini hanya bisa dengan mengetahui tentang akhlak yang terpuji dari kebalikannya,
dan juga dengan melatih diri untuk berteman dan bergaul dengannya, serta bersabar
menghadapinya.

30
Ibid

11
Tingkatan ketiga: Keluhuran budi terhadap Allah SWT, dengan merasa malu karena Dia
melihatmu. Dia dapat mengetahui apapun yang engkau lakukan pada setiap wakfu dan
setiap hembusan nafas, unfuk kemudian memperbaiki kekurangan dirimu sekuat tenaga.
Sesungguhnya Dia telah membelinya darimu, dan engkau berusaha unfuk menyerahkan
barang yang dijual itu dan mengambil harganya. Bukanlah bagian dan muruu 'ah (keluhuran
budi) jika engkau menyerahkannya dengan banyak aib di dalamnya, sementara engkau
menuntut harga yang sempurna.31 Hendaknya engkau melihat bahwa perbaikan yang
dilakukan itu sesungguhnya merupakan nikmat dari-Nya, dan meyakini bahwa Dialah yang
berkuasa atas dirimu, bukan dirimu. Maka rasa malu terhadapNya akan membuatmu sibuk
memperbaiki aib dan kekurangan dirimu, tidak sempat menoleh kepada aib orang lain. Rasa
malu iuga membuatmu dapat melihat hakikat dan tidak lagi memandang bahwa perbuatan
dan perbaikan yang engkau lakukan itu berasal dari dirimu sendiri.

5. MURUAH SEORANG MUSLIM

Untuk dapat melihat tingkatan muru’ah seorang muslim, Ibnu Qayyim menilai dari
empat bagian penting yang harus berada dalam koridor kebaikan, yaitu: lisan, akhlak, harta
dan kedudukan. Kebaikan dalam empat bagian tersebut akan menunjukkan tiga tingkatan.
Pertama, terkait dirinya sendiri yang mampu membuat kondisi kesendiriannya dalam
keadaan baik dan benar tidak dikotori oleh dorongan sifat syaithoniyyah. Kedua,
hubungannya dengan manusia senantiasa dihiasi oleh adab, rasa malu dan akhlak mulia,
serta tidak terpancar dalam dirinya benih-benih kebencian. Ketiga, muru’ah bersama Allah
yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui, yang kapanpun dan di manapun mengawasi
setiap kelakuan makhluk-Nya. Nilai-nilai etis dalam akhlak bersumber pada tata nilai yang
lebih tinggi, yaitu nilai ketuhanan. 32
Dengan demikian, tiga tingkatan tersebut bisa juga disebut dengan orientasi dalam
berbuat. Jika perbuatan kita berorientasi ketuhanan, maka tingkatan pertama dan kedua akan
mudah untuk dilalui, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa harga diri seseorang itudapat
ditelusuri dengan baik untuk ditingkatkan.

31
Manshur bin Muhammad Al Muqrin, Ensiklopedia Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Cet. 1, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2014,h. 252

32
Jarman Arroisi & Syamsul Badi’, “Konsep Harga Diri : Komparasi Perspektif Psikologi
Modern dan Islam”, Jurnal Psikologika, Vol. 27, No. 1 (2022) h.99

12
Berdasarkan konsep-konsep muru’ah menurut ulama-ulama terkemuka tersebut terlihat
perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan konsep harga diri ala psikologi modern. James
yang mengatakan bahwa harga diri ditentukan dengan perbandingan antara kesuksesan dan
akumulasi pengalaman, sesuai dengan apa yang disampaikan Imam Mawardi, dimana
ketinggian cita-cita merupakan penyebab terbentuknya muru’ah manusia. Akan tetapi, tidak
hanya pengalaman saja, kemuliaan jiwa juga menjadi hal yang penting dalam muru’ah. 33
Hal ini yang membedakannya dengan ide empirisme radikal. Sedangkan Maslow,
melihat harga diri sebagai sebuah kebutuhan yang dilandasai oleh kepemilikan dan cinta,
sehingga ‘the esteem needs’ adalah kejayaan, ketenaran yang datang dari penghormatan
orang lain. Berbeda dengan pandangan Imam Ghazali, bahwa muru’ah tidak hanya soal
kejayaan, ketenaran ataupun kehormaatan, tetapi kemanfaatannya juga menjadi penting,
yakni kemanfaatan dunyawiyyah dan diniyyah. Begitu juga Rosenberg, skala harga diri
yang disusunnya memiliki konsep harga diri global yang berdampak pada kesejahteraan
psikologis, dinilai dari perihal emosi positif dan negatif. Berbeda dengan pandangan Ibnu
Qayyim, yang melalui teori nafs kecondongan jiwa manusia tergolong dalam sifat-sifat
setan, binatang atau malaikat. Tiga golongan sifat ini yang menjadi tolak ukur dalam
peningkatan harga diri. Tidak hanya itu, pembahasan tingkatan dan derajat muru’ah juga
menarik untuk dapat dijadikan landasan dalam melihat harga diri setiap individu.

D. KESIMPULAN

Harga diri merupakan topic kajian tentang kekuatan individu dalam memahami dan
berinteraksi dengan realitas. Bilamana kekuatan tersebut hanya berlandasakan
pertimbangan empiris (empirical consideration) yang sifatnya relatif, maka dapat dipastikan
cara melihat realitas dan cara berinteraksi dengannya akan rancu. Individu akan terombang
ambing dan kebingungan untuk menilai sebuah kebenaran. Berbeda dengan Islam yang telah
memiliki pedoman hidup Al- Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an sebagai pedoman dari pencipta
manusia dan Sunnah adalah contoh aplikasinya melalui perbuatan keseharian Nabi
Muhammad SAW. Begitu juga dalam hal penelitian, hendaknya ada cara pandang atau
pemikiran berlandaskan dua sumber ini.
Pembahasan tentang harga diri dalam Islam adalah pembahasan muru’ah yang
konsepnya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah dan yang memberikan indicator tambahan

33
Ibid

13
dalam pengukuran harga diri. Dari kajian para ulama muslim klasik, penilaian harga diri
tidak hanya bersifat egosentris, atau hanya menyetujui kesuksesan, pertimbangan empiris,
reaksi emosional ataupun emosi positif, akan tetapi lebih mementingkan hubungannya
dengan Allah. Kadar keimanan, ketakwaan, kejujuran dan keikhlasan yang harus diukur dan
dibandingkan dengan kadar kekufuran, kebohongan, kesyirikan dan kesombongan lahir
maupun batin merupakan indicator penting dalam menilai harga diri manusia. Hasil yang
diperoleh tidak hanya kesejahteraan psikologis, melainkan kesejahteraan yang lebih holistik
lagi, yaitu kesejahteraan spiritual. Tidak cukup dengan empat indikator tersebut, kesabaran
dan kesyukuran merupakan dua sayap penting dalam menjaga konsistensi kesejahteraan
psikologis maupun spiritual.

E. DAFTAR PUSTAKA
Abdusshomad, A. (2021). Metode Hiwar Sebagai Salah Satu Cara Mencegah
Islamophobia. Jurnal Islam Nusantara, 05, 45-56.
Arroisi, J. (2019). Bahagia dalam Perspektif al-Ghazali. Kalimah: Jurnal Studi Agama-
Agama dan Pemikiran Islam.
Arroisi, J., & Rifa Da'i, R. A. (2020, Maret). Psikologi Islam Ibnu Sina (Studi Analisis
Kritis Tentang Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina). PROSIDING KONFERENSI
INTEGRASI INTERKONEKSI ISLAM DAN SAINS, 2.
Arroisi, J., & SAri, N. (2020, Desember 2 ). BAHAGIA PERSPEKTIF SYED
MUHAMMAD NAQUIB. Fikri: Jurnal Kajian Agama,Sosial dan Budaya, 5 .
Arroisi, J., & Syamsul Badi'. (2022). Konsep Harga Diri : Komparasi Perspektif Psikologi
Modern dan Islam. Jurnal Psikologika, Vol. 21, No. 1, 89-106.
Arroisi, J., Alfiansyah, I. M., & Perdana, M. P. (2021, Maret). Psikologi Modern
Perspektif Malik Badri (Analisis Kritis atas Paradigma Psikoanalisa dan
Behaviourisme). Jurnal Psikologi Islam Al Qalb, Vol. 12.
Astuti, W. (2013). Upaya Meningkatkan Self Esteem Pada Siswa yang Mengalami
Pengabaian Orang Tua Melalui Konseling Realitas Pada Siswa Kelas VIII G SMP
Negri 13 Semarang Tahun Ajaran 2012/2013. Semarang: Universitas Negri
Semarang.
Brandon, N. (2005). Kekuatan Harga Diri. (A. Natanael, Trans.) Batam: Interaksara.
Daud, W. M. (2003). Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib Al Attas.
Bandung: Mizan.
Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Panduan Bagi Orang Tua dan
Guru Dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP dan SMA. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.

14
Elisa, F. (2021). Syukur Dan Upaya Meningkatkan Self Esteem Perspektif Al Ghazali .
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Jauziyyah, I. Q. (1998). Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah) Penjabaran
Kongkret "Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in. In K. Suhardi, Madarijus Salikin
(Pendakian Menuju Allah) Penjabaran Kongkret "Iyyaka Na'budu wa Iyyaka
Nasta'in (p. 356). Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Khakim, M. L. (2020). Menjaga Kehormatan Sebagai Perlindungan Nasab Perspektif
Maqashid Syari'ah. Jurnal NIZHAM, Vol. 8, No. 1, 45-60.
M.S, K. (2005). Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Penerbit
Paradigma.
Mubaroq, H. (2008). Pengaruh Maksiat Terhadap Penyakit Hati Menurut Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Muqrin, M. b. (2014). Ensiklopedia Ibnul Qayyim Al Jauziyyah (Vol. Cet. I). Jakarta:
Pustaka Azzam.
News, T. O. (2022, Juni 29). Dituduh Penistaan Agama Haruskah Holywings Ditutup .
Retrieved from Catatan Demokrasi TV One:
http://www.youtube.com/watch?=0ZHdTTwPtgg
Nurulhaq, D., & Fikri, M. (2021). Urgensi Iffah Bagi Masyarakat Sekolah. Jurnal Atthulab
: Islamic Religion Teaching & Learning Journal, 06, No. 1, 33-48.
Pamungkas, M. I. (2014). Akhlak Muslim : Membangun Karakter Generasi Muda. Jurnal
Pendidikan Universitas Garut , 78-95.
S., S., & Nurhayati. (2021). Metode Pembinaan Akhlak Menurut Ibnu Al Qayyim Al-
Jauziyah. Jurnal Penelitian dan Kajian Sosial Keagamaan, Vol. 7, No. 1, 56-70.
Sudarto. (2021). Konsep Pendidikan Jiwa Menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Jurnal Al
Lubab : Jurnal Penelitian Pendidikan dan Keagamaan Islam, Vol.7, No.1, 30-46.
Supiana. (2012). Metodologi Studi Islam . Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam.

15

Anda mungkin juga menyukai