Anda di halaman 1dari 151

DASAR DASAR

TEKNIK PERCOBAAN
BIOFARMASETIKA

Prof. Dr. Apt. Akhmad Kharis Nugroho, M.Si.


Dr. Apt. Abdul Karim Zulkarnain, M.Si.
Dr. Apt. Marlyn Dian Laksitorini M.Sc.
Dr. Apt. Adhyatmika M.Biotech.
Dr. Apt. Sekar Ayu Pawestri, S.Farm.
DASAR DASAR TEKNIK PERCOBAAN
BIOFARMASETIKA

Laboratorium Farmasi Fisik


Departemen Farmasetika
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
2022
DASAR DASAR TEKNIK PERCOBAAN
BIOFARMASETIKA

Cetakan Pertama, Agustus 2021

Penyusun :
Prof. Dr. Apt. Akhmad Kharis Nugroho, M.Si.
Dr. Apt. Abdul Karim Zulkarnain, M.Si.
Dr. Apt. Marlyn Dian Laksitorini M.Sc.
Dr. Apt. Adhyatmika M. Biotech
Dr. Apt. Sekar Ayu Pawestri, S.Farm.

ISBN: 978-623-6226-68-1

Diterbitkan Oleh:
CV. ISTANA AGENCY
Istana Publishing
Jl. Nyi Adi Sari Gg. Dahlia I, Pilahan KG.I/722 RT 39/12
Rejowinangun-Kotagede-Yogyakarta
085100523476 | whatsapp 0857-2902-2165
istanaagency09@gmail.com | percetakanistana09@gmail.com
istanaagency | istanaagency | www.istanaagency.com

i
KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan ke hadirat Allah SWT


atas terselesaikannya buku ”Dasar-Dasar Teknik Percobaan
Biofarmasetika” ini. Buku ini memaparkan beberapa Teknik
percobaan penting yang seringkali digunakan pada ranah
keilmuan biofarmsetika. Teknik-teknik yang dipaparkan
dalam buku ini disusun sedemikian rupa sehingga sangat
aplikatif untuk diterapkan pada berbagai laboratorium
Biofarmasetika tanpa mengurangi esensi dari hasil
pembelajaran yang diharapkan. Beberapa topik yang
dipaparkan dalam buku ini meliputi, (1) Modeling dan
Analisis Data Biofarmasetika dengan WinSAAM, (2)
Pengenalan Modeling dan Analisis Data Biofarmasetika
Berbasis Populasi, (3) Kecepatan Disolusi Intrinsik, (4)
Studi Absorpsi Obat secara In Vitro, dan (5) Studi Absorpsi
Obat secara In Situ. Buku ini ditujukan bagi mahasiswa
sebagai buku pendamping dalam pembelajaran
Biofarmasetika, khususnya dalam kegiatan praktikum.
Selain itu, pengelola laboratorium terkait di bidang
keilmuan Farmasi dan Farmasetika juga dapat
memanfaatkan buku ini untuk diadaptasi dalam penerapan
di laboratorium masing-masing. Akhirnya, kami berharap
semoga buku ini dapat memberikan kemanfaatan yang
sebesar-besarnya.

Juni 2022
Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Topik 1: Modeling Dan Analisis Data


Biofarmasetika dengan Winsaam ............................. 1
Topik 2 Pengenalan Modeling Dan Analisis Data
Biofarmasetika Berbasis Populasi ............................ 16
Topik 3: Kecepatan Disolusi Intrinsik...................... 22
Topik 4: Studi Absorpsi Obat Secara In Vitro ........ 29
Topik 5: Studi Absorpsi Obat Secara In Situ ........... 39
Topik 6: Studi Absorpsi Perkutan Secara In Vitro ... 47
Topik 7: Suplemen Dasar Teori Modeling ............... 59
Topik 8 Suplemen Dasar Teori Disolusi Intrinsik .... 96
Topik 9: Suplemen Teori Dasar Studi Absorpsi In
Vitro.......................................................................... 120

iii
TOPIK 1: MODELING DAN ANALISIS
DATA BIOFARMASETIKA DENGAN
WINSAAM

Tujuan Percobaan
Mempelajari modeling dan analisis data
penelitian biofarmasetika dengan pengkhususan data in
vivo menggunakan software WinSAAM

Dasar Teori
Modeling merupakan sistem simultan yang
tersusun atas persamaan differensial dan atau
persamaan aljabar yang mendefinisikan peranan
variabel-variabel serta koefisien transpor pada suatu
sistem fisika, kimia dan biologis. Modeling yang
didesain dengan baik dan benar akan menjadi suatu
perangkat/metode yang handal dan dapat dipercaya
dalam analisis data dan mendukung pengambilan
kesimpulan. Metode ini sangat membantu dalam
melakukan summary data, mengeksplorasi mekanisme
proses, serta memprediksikan suatu parameter/variabel
tertentu berdasarkan suatu model
Salah satu bentuk modeling adalah menggunakan
asumsi matematis terjadinya perubahan besaran suatu
variabel (misalnya konsentrasi atau jumlah massa
terhadap waktu) dikarenakan perpindahan materi dari
satu area ke area yang lain. Pendekatan ini disebut
sebagai modeling berbasis kompartemen.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 1


Kompartemen adalah suatu materi karakteristik yang
dapat berupa suatu bentuk kimia tertentu, materi
biologis (organ, bagian organ) yang memiliki ruangan
atau volume tertentu.

K K
a EL
X X X
IGI P U

GI PLASMA URINE

Gambar 1. Skema transpor antar kompartemen


pada pemberian obat secara peroral.

Modeling berbasis kompartemen ini telah


digunakan secara meluas dalam analisis data
biofarmasetika dan farmakokinetika sehingga proses
yang dialami obat di dalam tubuh dapat dijelaskan
berikut mekanismenya. Sebagai contoh obat yang
diberikan secara peroral pada umumnya mengalami
rangkaian proses transpor yang dapat digambarkan
dengan model skema proses antar kompartemen pada
Gambar 1.
Rangkaian blok model tersebut dapat
diterjemahkan menjadi persamaan matematis sebagai
berikut:
(a) Perpindahan obat dari saluran cerna:
dX GI
  K a .X GI [1]
dt
(b) Perpindahan obat dari dan menuju plasma

2 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


dX P
 K a .X GI  K EL .X P [2]
dt
(c) Perpindahan obat ke urine
dX U
  K EL .X P [3]
dt

Sebelum era komputasi canggih dengan


komputer, analisis data tersebut dilakukan dengan
mencari penyelesaian persamaan diferensial tersebut
yang dapat dilakukan dengan metode integrasi ataupun
dengan metode transformasi (misalnya Transformasi
Laplace). Analisis model kemudian ditentukan dengan
serangkaian metode untuk menganalisis data yang
telah ditransformasi (pada umumnya dengan
transformasi logaritmik atau logaritmik natural
sehingga analisis regreasi linear dapat dilakjukan untuk
mengestimasikan parameter model khususnya KEL.
Data konstanta kecepatan absorpsi (Ka) pada umumnya
ditentukan dengan metode residual atau metode
Wagner Nelson, yang juga menggunakan analisis
regresi linear data yang telah tertransformasi.
Kebutuhan analisis data yang cepat dan akurat
membuat metode dengan regresi linear kurang praktis
diterapkan. Lebih jauh, mentransformasi data juga
dimungkinkan dapat mendistorsi error setiap data,
sehingga secara teoritis tidak dianjurkan. Keberadaan
komputer yang menggunakan prosesor canggih dan
cepat serta dipublikasikannya berbagai software
memungkinkan untuk menganalsis data eksperimental
berdasarkan model kompartemen tertentu secara
langsung. Meskipun software semacam ini pada

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 3


umumnya tersedia sebagai software komersial yang
mahal, beberapa software yangt gratis juga sebetulnya
dapat digunakan. Salah satu software tersebut adalah
WinSAAM (Windows Simulation Analysis And
Modeling yang dikembangkan dengan dukungan
National Institute of Health, USA) oleh Dr Ray
Boston, staff peneliti pada School of Veterinary
Medicine the University of Pennsylvania USA.
Dengan program yang berbasis Windows, juga
memberikan keuntungan tambahan dalam
meningkatkan produktivitas pemakaian misalnya:
• Dukungan yang lebih baik dan fleksibel pada sistem
grafik plotting serta sistem expor ke format file
gambar atau langsung ke Word prosesor
• Expor data hasil analisis (fitting) ke sistem
spreadsheet semacam Excel sehingga
memungkinkan eksplorasi lanjut dengan software
statistik atau software untuk data prosessing
Praktikum ini akan memperkenalkan kepada
mahasiswa tantang konsep dasar WinSAAM,
bagaimana menyusun listing program WinSAAM dan
menggunakannya pada analisis data farmakokinetika
pemberian obat secara intra vena dan peroral.

I. Metode Percobaan
1. Alat dan bahan yang digunakan
a. Komputer (sistem operasi Windows)
b. CD installasi software WinSAAM atau
koneksi internet untuk dapat mendownload
secara langsung WinSAAM dari situs
http://www.winsaam.com

4 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


c. Data studi farmakokinetika obat dengan
rute intra vena dan per-oral
2. Cara Kerja

II. Instalasi software


Buka file installer WinSAAM (format .exe). Klik
dua kali pada nama file untuk memulai proses
instalasi, lalu ikuti petunjuk yang ada sampai
keluar pesan bahwa instalasi telah berhasil. File
installer juga dapat diperoleh dengan
mendownload secara langsung WinSAAM dari
situs http://www.winsaam.com setelah mengisi
formulir registrasi online (gratis). Bukalah
software tersebut untuk memastikan instalasi
berlangsung sempurna. Jika semua berjalan
dengan baik Anda akan mendapatkan tampilan
pembuka sebagaimana disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Tampilan pembuka WinSAAM

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 5


III. Pengoperasian program WinSAAM.
1. Penerjemahan blok model kompartemen
menjadi blok WinSAAM
WinSAAM mengenali kompartemen satu
dengan lainnya serta bagaimana proses
perpindahan materi berdasarkan angka (yang
merujuk masing-masing kompartemen) serta
notasi yang digunakan. Salah satu keunggulan
program ini adalah tidak diperlukannya
penulisan persamaan differensial secara utuh
karena software akan dapat mengenali model
yang ditulis berdasarkan konvensi tersebut.
2. Pembuatan listing program
Listing program pada dasarnya memuat 3
komponen yaitu:
a. Kode pengenal bahwa listing tersebut
menggunakan program WinSAAM
b. Parameter-parameter model yang disusun
secara sistematis sesuai dengan konvensi
yang ada. Sebagai contoh: L(2,1)
menggambarkan parameter konstanta
kecepatan perpindahan obat dari
kompartemen 1 menuju kompartemen 2.
Dengan penyebutan parameter ini
memberikan suatu definisi bahwa
transpor antara kompartemen 1 dan 2
diasumsikan mengikuti kinetika orde
pertama. Parameter IC(1) misalnya
mengacu kepada intitial condition untuk
kompartemem 1. Initial condition pada
umumnya mengacu kepada jumlah obat
yang tersedia pada awal proses transpor

6 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


akan terjadi. Pada pemberian obat secara
oral pada umumnya IC(1) diasumsikan
sesuai dengan dosis obat yang diberikan
meskipun WinSAAM juga bisa diminta
untuk memfit atau mengestimasikan
parameter ini. Setiap parameter
diestimasikan dituliskan dengan 3 angka
yang dipisahkan dengan TAB (tabulasi)
dengan rincian angka pertama adalah
prediksi awal, angka kedua adalah nilai
minimal dan angka ketiga adalah batasan
nilai maksimal.
c. Data yang dianalisis. Masukkan data
secara berpasangan antara waktu dengan
Cp dengan pemisah satu TAB

IV. Analisis dengan data eksperimental yang


diberikan.
Proses yang harus diikuti adalah sebagai berikut:
1. Terjemahkan listing dalam bahasa binary
(decking) dengan mengetikkan deck pada
jendela utama.
2. Pemecahan program (solving) dengan
mengetikkan solv pada jendela utama.
3. Iterasi untuk mendapatkan parameter model
fitting yang paling baik merefleksikan data
observasi dengan mengetikkan iter pada
jendela utama.
4. Grafik data dan prediksi model dapat
ditampilkan dengan mengetikkan plot q(1)
pada jendela utama.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 7


V. Tugas
Lakukan analisis data studi biofarmasetika di
bawah ini (data diambil dari situs
www.boomer.org) untuk menentukan parameter
Kel, Vd , T1/2 eliminasi dan clearance beberapa
formula sediaan yang diberikan dalam bentuk
injeksi bolus maupun formula tablet peroral.
Untuk sediaan peroral tentukan pula parameter Ka.
Analisis dilakukan dengan 2 metode yaitu:
1. metode konvensional (Regresi linear data Ln
Cp)
2. metode kompartmental dengan software
WinSAAM.

a. Obat X dosis 500 mg (IV bolus)


Waktu (hr) 1 2 3 4 6 8 10
Cp (mcg/ml) 72 51 33 20 14 9 4

b. Obat Y dosis 500 mg (IV bolus)


Waktu (hr) Cp (mg/L)
1 11.43
2 7.13
3 4.38
4 2.64
6 1.06
10 0.16
12 0.06

8 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


c. Obat Z dosis 300 mg (IV bolus)
Waktu (hr) Cp (mg/L)
1 4.82
2 4.26
3 3.42
4 2.68
6 1.84
10 0.81
12 0.53

d. Obat T dosis 100 mg (peroral)


Waktu Cp Waktu
Cp (mg/L)
(hr) (mg/L) (hr)
0 0.0 3 0.964

0.25 0.901 6 0.384

0.5 1.309 12 0.062

0.75 1.526 18 0.01

1 1.577 24 0.002

1.5 1.429

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 9


e. Obat U dosis 20 mg (peroral)
Cp Time Cp
Time (hr)
(mg/L) (hr) (mg/L)
0 0.0 3 0.309

0.25 0.264 6 0.189

0.5 0.379 12 0.069

0.75 0.406 18 0.026

1 0.414 24 0.009

1.5 0.395

f. Obat V dosis 100 mg (peroral)


Cp Time Cp
Time (hr)
(mg/L) (hr) (mg/L)
0 0.0 3 6.447

0.25 7.514 6 2.633

0.5 10.296 12 0.43

0.75 11.039 18 0.071

1 11.098 24 0.012

1.5 9.957

10 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


g. Obat W dosis 30 mg (peroral)
Cp Time Cp
Time (hr)
(mg/L) (hr) (mg/L)
0 0.0 3 0.616

0.25 0.453 6 0.411

0.5 0.651 12 0.19

0.75 0.705 18 0.088

1 0.759 24 0.041

1.5 0.725

h. Obat A dosis 100 mg (peroral)


Cp Time Cp
Time (hr)
(mg/L) (hr) (mg/L)
0 0.0 3 2.955

0.25 1.098 6 2.379

0.5 1.786 12 1.528

0.75 2.24 18 0.991

1 2.529 24 0.66

1.5 2.863

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 11


i. Obat B dosis 25 mg (peroral)
Time Cp Time
Cp (mg/L)
(hr) (mg/L) (hr)
0 0.0 3 0.847

0.25 0.76 6 0.552

0.5 1.025 12 0.232

0.75 1.123 18 0.098

1 1.118 24 0.041

1.5 1.066

j. Obat C dosis 200 mg (peroral)


Time Cp Time
Cp (mg/L)
(hr) (mg/L) (hr)
0 0.0 3 14.872

0.25 11.858 6 6.88

0.5 17.63 12 1.501

0.75 20.814 18 0.321

1 21.298 24 0.068

1.5 21.071

12 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


k. Obat D dosis 10 mg (peroral)
Time Cp Time Cp
(hr) (mg/L) (hr) (mg/L)
0 0.0 3 0.109

0.25 0.079 6 0.045

0.5 0.122 12 0.007

0.75 0.144 18 0.001

1 0.157 24 0

1.5 0.153

l. Obat E dosis 150 mg (IV Bolus)


Waktu (hr) Cp (mg/L)
1 2.71
2 1.88
3 1.33
4 0.89
6 0.44
10 0.1
12 0.05

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 13


m. Obat F dosis 100 mg (IV Bolus)
Waktu (hr) Cp (mg/L)
1 2.59
2 2.11
3 1.59
4 1.3
6 0.8
10 0.33
12 0.21

VI. Pertanyaan untuk didiskusikan:


1. Bandingkan parameter yang diperoleh dengan
menggunakan metode konvensional yang
sudah sering digunakan.
2. Jelaskan keuntungan dan kerugian
penggunaan WinSAAM dibandingkan dengan
metode konvensional tersebut.
3. Jelaskan mengapa terdapat perbedaan estimasi
paramter yang diperoleh dengan metode
WinSAAM dan metode konvensional dengan
regresi linear. Metode kalkulasi manakah
yang menurut Anda lebih dapat diandalkan.
Jelaskan jawaban Anda.

14 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Referensi :
Anonim, 2009, Situs WinSAAM
(http://www.winsaam.com) diakses tanggal 26
Agustus 2009
Bourne, D. W. A., 2009, Pharmacokinetics and
Biopharmaceutics, (http://www.boomer.org)
diakses tanggal 25 Agustus 2009
Darko Stefanovski, Peter J. Moate and Raymond C.
Boston, 2003, WinSAAM: a windows-based
compartmental modeling system, Metabolism, 52
(9): 1153-1166.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 15


TOPIK 2: PENGENALAN MODELING
DAN ANALISIS DATA
BIOFARMASETIKA BERBASIS
POPULASI

Tujuan
Mempelajari dasar-dasar modeling dan analisis
data penelitian biofarmasetika berbasis populasi serta
pengenalan penggunakan software NONMEM dan
Monolix

Dasar Teori
Modeling merupakan susunan persamaan
differensial dan atau persamaan aljabar yang
mendefinisikan peranan variabel-variabel serta
konstanta kecepatan yang dapat menjadi gambaran
mekanisme suatu proses fisika, kimia dan biologis.
Modeling yang baik dapat menjadi suatu
perangkat/metode yang handal dan dapat dipercaya
dalam analisis data dan mendukung pengambilan
kesimpulan. Metode ini sangat membantu dalam
melakukan summary data, mengeksplorasi mekanisme
proses, serta memprediksikan suatu parameter/variabel
tertentu berdasarkan suatu model
Salah satu bentuk modeling adalah pendekatan
berbasis kompartemen dimana asumsi matematis
diaplikasikan terkait perubahan besaran suatu variabel
(misalnya konsentrasi atau jumlah massa terhadap

16 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


waktu) dikarenakan perpindahan materi dari satu area
ke area yang lain. Kompartemen didefinisikan sebagai
suatu materi karakteristik baik berupa suatu struktur
kimia tertentu atau dapat berupa materi biologis
(organ, bagian organ) yang memiliki ruangan atau
volume tertentu (Wastney, 1999).
Modeling populasi adalah suatu metode untuk
memodelkan, mendidentifikasi dan menjelaskan
hubungan antara karakter fisiologi subyek terhadap
pemejanan obat dan atau respon farmakologi yang
diamati. Metode ini telah dikembangkan sejak era 70-
an, yaitu pada tahun 1972 oleh Sheiner dan kolega
(1972). Pendekatan ini pada awalnya dimaksudkan
untuk mengatasi permasalahan kesulitan analisis ketika
jumlah sampel terbatas sebagaimana pada suatu proses
therapeutic drug monitoring (TDM).
Metode berbasis populasi ini kemudian
dikembangankan lebih lanjut dengan
menghubungkannya dengan respon farmakodimanika
obat yang membuat metode ini menjadi salah satu tool
(piranti) krusial dalam pengembangan sediaan obat
baru (Mould dan Upton, 2012). Berbagai studi yang
lebih baru juga menghubungkan antara studi in vitro –
in vivo – farmakodinamik dengan pendekatan berbasis
populasi (Nugroho dkk., 2006)
Implementasi modeling berbasis populasi dewasa
ini didukung kemajuan teknologi informasi khususnya
keberadaan fasilitas dan dukungan komputasi baik dari
sisi hardware maupun software. Beberapa software
khusus yang dipergunakan dalam modeling berbasis
populasi antara lain adalah NONMEM (Dartois dkk.,
2007), Monolix (Dartois dkk., 2007),

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 17


WinBUGS/PKBUGS (Dartois dkk., 2007), Thermo-
Fisher Kinetica (Jawie dkk., 2008) dan Phoenix NLME
(Feng dkk., 2012). Walaupun piranti lunak tersebut
menggunakan pendekatan algoritma komputasi yang
berbeda namun pada umumnya hasil kalkulasi
berbagai software tersebut memberikan komparabilitas
yang serupa (Dartois dkk., 2007; Jawie dkk., 2008).
Praktikum ini bertujuan memperkenalkan dasar-
dasar metode berbasis populasi dan contoh
penggunaan (Demo) 2 contoh software terkait yaitu
NONMEM dan Monolix. NONMEM merupakan
software pertama yang dipopularkan dalam analisis
modeling berbasis populasi (Sheiner dkk., 1972),
sedangkan Monolix adalah software yang
dikembangkan dengan pendekatan algoritma SAEM
(berbasis MATLAB) (Chan dkk., 2011) yang dapat
digunakan secara bebas untuk penelitian akademik.

I. Metode Percobaan
1. Alat dan bahan yang digunakan
a. Komputer (sistem operasi Windows)
b. Komputer dengan NONMEM yang telah
terinstal sebagai demo
c. Koneksi internet untuk dapat
mendownload secara langsung Monolix
dari situs http://www.lixoft.com
d. Data studi farmakokinetika obat dengan
rute intravena dan per-oral

2. Cara Kerja

18 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


II. Instalasi software
Buka file installer Monolix (tersedia versi 32 dan
64bit). Klik dua kali pada nama file untuk
memulai proses instalasi, lalu ikuti petunjuk yang
ada sampai keluar pesan bahwa instalasi telah
berhasil. File installer juga dapat diperoleh dengan
mengunduh secara langsung dari situs
http://www.lixoft.com setelah mengisi formulir
registrasi online (gratis). Untuk menjalankan
Monolix diperlukan license file yang harus
diajukan secara online. File tersebut akan
dikirimkan ke email yang didaftarkan.

III. Pengoperasian program NONMEM dan


Monolix (demo).
NONMEM merupakan software yang berbasis
command-line sedangkan Monolix merupakan
software yang telah dilengkapi dengan GUI (good
user interface) yang relatif mudah dan praktis
digunakan. Selama praktikum mahasiswa
diharapkan mengikuti demo penggunaan kedua
software dan kemudian berlatih (menggunakan
Monolix) untuk melakukan analisis data yang
diberikan dengan pendekatan berbasis populasi.
IV. Tugas
Diskusikan dalam kelompok tentang peran
strategis aplikasi metode analisis berbasis populasi
dalam upaya terapi yang efektif dan efisien pada
pasien. Jelaskan dengan contoh sebagai ilustrasi!

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 19


Referensi :
Chan, P.L.S., Jacqmin, P., Lavielle, M., McFadyen, L.,
dan Weatherley, B., 2011. The use of the SAEM
algorithm in MONOLIX software for estimation
of population pharmacokinetic-
pharmacodynamic-viral dynamics parameters of
maraviroc in asymptomatic HIV subjects.
Journal of Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics, 38: 41–61.
Dartois, C., Lemenuel-Diot, A., Laveille, C.,
Tranchand, B., Tod, M., dan Girard, P., 2007.
Evaluation of uncertainty parameters estimated
by different population PK software and
methods. Journal of Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics, 34: 289–311.
Feng, S., Jiang, J., Hu, P., Zhang, J., Liu, T., Zhao, Q.,
dkk., 2012. A phase I study on pharmacokinetics
and pharmacodynamics of higenamine in healthy
Chinese subjects. Acta Pharmacologica Sinica,
33: 1353–1358.
Jawie, W., Krypel, L., dan Piekoszewski, W., 2008. A
comparison of computational approaches to the
population pharmacokinetics. An example of
toxicological data. Acta Poloniae
Pharmaceutica, 65: 129–134.
Mould, D.R. dan Upton, R.N., 2012. Basic Concepts in
Population Modeling, Simulation, and Model-
Based Drug Development. CPT:
Pharmacometrics & Systems Pharmacology, 1:
e6.

20 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Nugroho, A.K., Romeijn, S.G., Zwier, R., de Vries,
J.B., Dijkstra, D., Wikström, H., dkk., 2006.
Pharmacokinetics and pharmacodynamics
analysis of transdermal iontophoresis of 5-OH-
DPAT in rats: in vitro-in vivo correlation.
Journal of Pharmaceutical Sciences, 95: 1570–
85.
Sheiner, L.B., Rosenberg, B., dan Melmon, K.L., 1972.
Modelling of individual pharmacokinetics for
computer-aided drug dosage. Computers and
Biomedical Research, 5: 411–459.
Wastney, M.E., 1999. Investigating Biological Systems
Using Modeling: Strategies and Software.
Academic Press, San Diego CA.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 21


TOPIK 3: KECEPATAN DISOLUSI
INTRINSIK

Tujuan Percobaan
Mempelajari pengaruh keadaan bahan (baku)
obat (polimorfi, hidrat, solvat) terhadap kecepatan
disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk
bentuk sediaannya.

Teori
Telah banyak publikasi yang menyatakan adanya
hubungan yang bermakna antara kecepatan disolusi
berbagai bahan obat dari sediaannya dan absorpsinya.
Obat-obat tersebut umumnya meliputi obat-obat yang
kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabkan
oleh kelarutannya yang sangat kecil. Obat-obat yang
memiliki kecepatan disolusi intrinsik kurang dari 0,1
mg menit-1 cm-2 biasanya menimbulkan masalah scrius
pada absorpsinya, sedangkan obat-obat yang memiliki
kecepatan disolusi intrinsik lebih besar dari 1,0 mg
menit-1 cm-2 , pada umumnya kecepatan disolusi bukan
menjadi langkah penentu, tetapi kecepatan absorpsinya
(Kaplan, 1973). Studi kecepatan disolusi intrinsik ini
sudah diawali sejak tahun 1897 oleh Noyes dan
Whitney dengan menggunakan bahan asam benzoat
dan timbal klorida, yang kemudian diperoleh
persamaan Noyes-Whitney sbb :
(1)

22 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


dengan dC/dt = kecepatan disolusi bahan obat
K = tetapan kecepatan disolusi
S = luas permukaan bahan obat
yang berdisolusi
Cs = kelarutan bahan obat (jenuh)
C = kadar bahan obat yang terlarut
dalam cairan medium
Persamaan (1) memperlihatkan bahwa
kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas
permukaan bahan obat dan kelarutannya.
Persamaan ini
sebenarnya merupakan turunan dari persamaan
Fick pertama, yang secara matematik dinyatakan
dengan :
C
J  D (2)
x

dengan J = fluks bahan obat , yaitu jumlah


bahan obat yang lewat per satuan
waktu, melalui suatu satuan luas
dengan arah tegak lurus (mg cm-
2
det-1).
D = koefisien difusi
C
= gradien kadar
x
Pada jarak (x) = h cm dan permukaan bahan obat
yang terdisolusi, akan berlaku persamaan:
(3)
Jika persamaan (3) dimasukkan ke dalam
persamaan (2) diperoleh persamaan :

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 23


(4)
Selanjutnya persamaan (4) dapat diubah menjadi :
(5)

(6)

(7)
Pada persamaan (7), jika D/V.h diganti dcngan K
(karena masing-masing merupakan tetapan), maka
hasilnya akan identik dengan persamaan (1).

I. Metode Percobaan
1. Alat-alat yang digunakan
a. Timbangan analitik
b. Alat-alat gelas
c. Tabung disolusi
d. Thermostat dengan penangas air
e. Penyangga (holder) sampel (berupa pellet)
f. Motor pemutar
g. Stopwatch
h. Spektrofotometer UV

2. Bahan - bahan yang digunakan


a. Pellet bahan obat (misalnya kloramfenikol
palmitat polimorfi A dan B)
b. Lilin kuning murni
c. Medium disolusi

24 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


3. Cara Kerja
Pellet bentuk tablet (dibuat dengan mencetak
kira-kira 300 mg bahan obat dengan tekanan 5
ton selama 5 menit), ditaruh pada penyangga,
lalu bagian atas pellet dituangi lilin cair,
sehingga hanya satu permukaan pellet yang
terbuka, yang langsung dapat bersinggungan
dengan medium disolusi. Diagram alat disolusi
ini dapat dilihat pada gambar 1.1. Penyangga
yang sudah berisi sampel ini lalu ditutup dan
dihubungkan dengan motor pemutar. Tabung
percobaan yang telah diisi 150 ml medium
disolusi, suhunya diatur dengan termostat pada
37 ± 0,5°C. Pellet yang sudah dipasang pada
penyangga dicelupkan dalam medium disolusi,
diatur agar tidak ada gelembung udara di
bawahnya, lalu dipasang pada motor pemutar,
dan segera diputar dengan kecepatan 100
putaran per menit. Jarak antara permukaan
pellet dengan dasar tabung disolusi 2 cm.
Sampel hasil disolusi diambil tiap selang waktu
tertentu (menit ke- 5, 10, 20, 30, 45, dan 60).
Selanjutnya sampel yang diperoleh ditentukan
kadarnya secara spektrofotometrik.

4. Evaluasi Data
a. Dibuat grafik hubungan jumlah obat yang
terdisolusi sebagai fungsi waktu setelah
dikoreksi karena adanya pengurangan
kadar larutan oleh sampel yang diambil,
kecepatan disolusi dihitung dan

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 25


diekspresikan dalam DE60 atau tetapan
kWagner.
b. Kecepatan disolusi intrinsik masing-
masing sampel tiap waktu pengambilan
sampel dihitung dan disusun dalam suatu
tabel, menurut data kecepatan pelarutan.

Gambar 1.1. Bagan alat untuk percobaan


kecepatan pelarutan, 1- Tabung percobaan
yang dilengkapi jaket pengatur temperatur.
2 - Aliran air dari termostat. 3 -
Termometer. 4 - Penyangga. 5 - Tutup
penyangga. 6 - Tablet , 7 - Lilin. 8. Cairan
pelarut. 9 - Motor pemutar. 10 Pipet
volume.

26 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


DATA PERCOBAAN
KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

Nama : ...................................
Tgl. Percobaan : .............................................
No. MHS : ...................................
Golongan : .....................................................

Nama bahan obat :…………………………..


Diameter pellet : .................... cm
Bobot pellet : ........................ mg
Medium disolusi :……………………
pH medium disolusi : ……………… ………
Volume medium disolusi: ..... ml
Kecepatan putar : ………..putaran permenit

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 27


Data penenetuan kadar secara spektrofotometrik
Percobaan dilakukan pada λ maks = … nm

Waktu A (serapan) Faktor


(menit) Sampel I Sampel II pengenceran

Volume sampel tiap kali pengambilan : …………. ml


Mengetahui Yogyakarta, …………
Praktikan

( ……………..……) ( ………………………)

28 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


TOPIK 4: STUDI ABSORPSI OBAT
SECARA IN VITRO

Tujuan
Mempelajari pengaruh pH terhadap absorpsi obat
melalui saluran pencernaan secara in vitro

Dasar Teori
Obat pada umumnya diabsorpsi dari saluran
pencernaan secara pasif. Absorpsi obat adalah suatu
proses pergerakan obat dari tempat pemberian ke
dalam sirkulasi umum dalam tubuh. Absorpsi obat dari
saluran pencernaan ke dalam darah umumnya terjadi
setelah obat tersebut larut dalam cairan di sekeliling
membran tempat terjadinya absorpsi. Obat-obat yang
ditranspor secara difusi pasif hanyalah yang larut
dalam lipida. Makin baik kelarutannya dalam lipida
makin baik absorpsinya, sampai suatu absorpsi optimal
tercapai. Sebagian besar obat merupakan asam atau
basa organik lemah. Absorpsi obat dipengaruhi oleh
derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan
dengan mernbran. Membran sel lebih permeabel
terhadap bentuk obat yang tidak terionkan daripada
bentuk terionkan. Derajat ionisasi tergantung pada pH
larutan dan pKa obat seperti terlihat pada persamaan
Henderson-Hasselbalch sebagai berikut :

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 29


Untuk suatu asam :
fraksi obat yang terionkan
pH  pKa  log
fraksi obat yang tak terionkan
Untuk suatu basa :
fraksi obat yang terionkan
pH  pKa  log
fraksi obat yang tak terionkan

Dengan menyusun kembali persamaan untuk asam :


fraksi obat yang tak terionkan
log  pKa  pH
fraksi obat yang terionkan

maka seseorang dapat secara teoritis menentukan


jumlah relatif dari suatu obat dalam bentuk tidak
terionkan pada berbagai kondisi pH.
Untuk obat yang ditranspor secara difusi pasif,
peranan dinding usus hanya sebagai membran difusi.
Studi absorpsi in vitro dimaksudkan untuk
memperoleh informasi tentang mekanisme absorpsi
suatu bahan obat, tempat terjadinya absorpsi yang
optimal, permeabilitas membran saluran pencernaan
terhadap berbagai obat, serta pengaruh berbagai faktor
terhadap absorpsi suatu obat.
Menurut Turner dkk, permeabilitas membran
biologi terhadap suatu obat dapat digambarkan oleh
koefisien partisinya dan mempunyai hubungan linear
dengan kecepatan transpor atau kecepatan absorpsinya,
yang dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
Qb 1
 Dm. Am.Pm / s (Cg  Cb ).
t Xm

30 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Qb
Dengan = kecepatan transpor obat ke
t
kompartemen dalam (darah)
Dm = tetapan kecepatan difusi obat melalui
membran,
Am =luas membran yang digunakan untuk
berdifusi,
Pm/s =koefisien partisi obat dalam membran
pelarut,
= ketebalan membran,
Cg =Kadar obat dalam kompartemen luar
(usus) pada waktu t,
Cb =kadar obat dalam kompartemen
dalam (darah) pada waktu t.

Untuk obat-obat yang strukturnya tertentu dan tempat


absorpsinya sudah tertentu pula, maka kecepatan
absorpsinya hanya ditentukan oleh gradien kadar obat
di antara kedua permukaan membran, yang
memisahkan lumen saluran pencernaan dengan
(plasma) darah, sehingga persamaan di atas dapat
disederhanakan menjadi:
= Pm (Cg - Cb)

dengan : Pm = Dm . Am. Pm/s


dimana Pm disebut sebagai permeabilitas membran.
Jika Cb, dapat diabaikan karena Cb << Cg, maka
persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi :

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 31


Hasil integrasi persamaan ini adalah :
Qb = Pm . Cg . t
dengan, Qb = jumlah obat yang ditranspor dari
kompartemen luar ke kompartemen dalam, dalam
selang waktu t.
Kurva hubungan jumlah obat yang ditranspor
sebagai fungsi waktu akan memberikan garis linear
dengan angka arah K = Pm. Cg dan lag time, yaitu
harga perpotongan garis dengan sumbu t.
Bahan obat yang memiliki lag time kurang dari 15
menit biasanya tidak menimbulkan masalah pada
proses transpor melalui membran biologis.

I. Metode Percobaan
1. Bahan-bahan yang digunakan
a. Sebagai hewan percobaan digunakan tikus
putih jantan,
b. Cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH
1,2), cairan usus buatan tanpa pankreatin
(pH 7,5)
c. Larutan NaCl 0,9 % b/v
d. Asam salisilat
e. Eter
f. Gas oksigen
g. Alkohol
h. Seng sulfat dan barium hidroksida

2. Alat-alat yang digunakan


a. Tabung Crane dan Wilson yang
dimodifikasi (rancangan Yuwono, dibuat
oleh Bengkel Kimia ITB, dengan skema
pada gambar 2.1)

32 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


b. Spektrofotometer
c. Water-bath (penangas air)
d. Timbangan analitik
e. pH meter
f. Alat-alat untuk operasi,
g. Alat-alat gelas

3. Cara kerja
a. Penentuan λ maksimum
b. Pembuatan kurva baku
c. Penentuan absorpsi pada usus halus tikus

Hewan percobaan dipuasakan selama 20 -


24 jam, tapi diberi minum air masak. Tikus
dibunuh dengan eter, kemudian dibuka
perutnya di sepanjang linea mediana dan usus
dikeluarkan. Usus sepanjang 15 cm di bawah
pilorus dibuang dan 20 cm di bawahnya
dipotong untuk percobaan.
Usus dibagi dua bagian sama panjang,
kemudian dibersihkan. Bagian anal digunakan
sebagai kontrol. Ujung anal dari potongan usus
tersebut diikat dengan benang, kemudian
dengan menggunakan batang gelas yang
berdiameter 2 mm usus tersebut dibalik,
sehingga bagian mukosa terletak di luar.
Kanula dimasukkan ke ujung oral dari usus
yang belum terikat.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 33


Gambar 2.1. Bagan alat untuk percobaan absorpsi
in vitro hasil modifikasi alat Crane dan Wilson.

1 = Tabung gelas. 2 = Kanula yang dibuat dari


gelas. 3 = Pipa gelas untuk oksigenasi. 4 = Pipa
gelas untuk. keluarnya gas. 5 = Tutup karet. 6 =
Usus halus tikus yang dibalik. 7 = Cairan mukosa.
8 = Cairan serosal.

34 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Usus diukur dengan panjang efektif 7 cm
yang sebelumnya diisi dengan cairan serosal
1,4 ml yang terdiri dari larutan natrium klorida
0,9 % b/v. Kantong usus yang sudah diisi
cairan serosal ini dimasukkan ke dalam tabung
yang sudah diisi cairan mukosal 75 ml (yang
mengandung bahan obat) pada suhu 37° C.
Kantong usus untuk kontrol dilakukan dengan
cara yang sama, tetapi dengan menggunakan
cairan mukosal tanpa obat.
Selama percobaan berlangsung, seluruh
bagian usus dijaga agar dapat terendam dalam
cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen
dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per
menit.
Pada waktu tertentu kadar obat dalam
cairan serosal ditentukan. Untuk penentuan ini
seluruh cairan serosal diambil melalui kanula
dan segera dicuci dengan larutan 0,9 % b/v
natrium klorida, kemudian diisi lagi dengan 1,4
ml larutan 0,9 % b/v natrium klorida.

4. Cara analisis
Diambil 1 ml sampel kemudian ditambah
dengan 2 ml larutan seng sulfat 5 % dan 2 ml
barium hidroksida 0,3 N. Larutan dikocok dan
dipusingkan selama 5 menit. Ambil bagian
yang jernih, kemudian dibaca pada panjang
gelombang maksimum.

Catatan: Cairan mukosal terdiri dan : 0,01 M


asam salisilat dalam cairan lambung buatan

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 35


tanpa pepsin (pH 1,2) dan dalam cairan usus
buatan tanpa pankreatin (pH 7,5). Cairan
serosal terdiri dan 1,4 ml larutan 0,9 % b/v
natrium klorida.

5. Evaluasi Data
a. Dibuat grafik hubungan antara jumlah dan
kadar obat yang ditranspor sebagai fungsi
waktu.
b. Dihitung Pm (permeabilitas ) dan lag time
c. Dihitung ka (tetapan kecepatan absorpsi).
d. Bandingkan parameter di atas pada pH 1,2
dan pH 7,5.

36 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


DATA PERCOBAAN
ABSORPSI OBAT SECARA IN VITRO

Nama : ...................................
Tgl. Percobaan.: ...........................
No.Mhs : ..................................
Golongan : ...........................

1. Nama bahan obat:


.......................................................
2. Cairan serosal : ...................................
Volume :
1. .....................ml
2. ..................... ml
3. Medium cairan mukosal :................................
pH : .......
Vol.:
1. .......ml
2. ......ml

Kadar obat:
1...............................
2..............................
4. Berat tikus:
1. .................gram
2...................gram
5. Panjang usus:
1. ................. cm
2. ..................cm

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 37


6. Pengambilan larutan sampel/kontrol setelah menit
ke :
1. ........................ , .........................,
........................., .........................
2. ........................ , .........................,
........................., .........................
7. Data Penentuan kadar obat secara
spektrofotometris.
Percobaan dilakukan pada λ max = .................. nm
Kurva baku dengan persamaan garis
:................................................
Jenis Pengenceran Serapan (A)
larutan
1.a. Sampel a. a.

b. Kontrol b. b.

2.a. Sampel a. a.

b. Kontrol b. b.

38 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


TOPIK 5: STUDI ABSORPSI OBAT
SECARA IN SITU

Tujuan
Mempelajari pengaruh pH terhadap absorpsi
obat, yang diabsorpsi melalui difusi pasif dan
percobaan dilakukan secara in situ.

Dasar Teori
Percobaan absorpsi obat secara in situ melalui
usus halus didasarkan atas penentuan kecepatan
hilangnya obat dan lumen usus halus setelah larutan
obat dengan kadar tertentu dilewatkan melalui lumen
usus halus secara perfusi dengan kecepatan tertentu.
Cara ini dikenal pula dengan nama teknik perfusi,
karena usus dilubangi untuk masuknya ujung kanul,
satu kanul di bagjan ujung atas usus untuk masuknya
sampel cairan percobaan dan satu lagi bagian bawah
untuk keluamya cairan tersebut.
Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa obat yang
dicobakan stabil, tidak mengalami metabolisme dalam
lumen usus, sehingga hilangnya obat dalam lumen
usus akan muncul dalam darah atau plasma darah; atau
dengan perkataan lain hilangnya obat dan lumen usus
tersebut adalah karena proses absorpsi.
Bagi obat-obat yang berupa asam lemah atau
basa lemah, pengaruh pH terhadap kecepatan absorpsi
sangat besar, karena pH akan menentukan besarnya
fraksi obat dalam bentuk tak terionkan. Bentuk ini

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 39


yang dapat terabsorpsi secara baik melalui mekanisme
difusi pasif.
Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari
berbagai faktor yang dapat berpengaruh pada
permeabilitas dinding usus untuk berbagai macam
obat. Pengembangan lebih lanjut dapat digunakan
untuk merancang obat dalam upaya mengoptimalkan
kecepatan absorpsinya melalui pembentukan prodrug,
khususnya untuk obat-obat yang sangat sulit atau
praktis tidak dapat terabsorpsi. Melalui metode ini
akan dapat diungkapkan pula besarnya permeabilitas
membran usus terhadap obat melalui lipoid pathway,
pori, dan aqueous boundary layer.
Metode Through and Through merupakan salah
satu cara percobaan in situ. Cara. ini dilakukan dengan
menentukan fraksi obat yang terabsorpsi, setelah
larutan obat dialirkan melalui lumen intestin yang
panjaringnya tertentu dan kecepatan alirnya tertentu
pula. Dasar percobaan ini dapat dilihat pada gambar
3.1.

ABSORPSI KE DALAM SINK

Gambar 3.1. Penggambaran proses absorpsi obat


dalam lumen intestin dari larutannya, yang dialirkan
rnelalui intestin dalam keadaan tunak (Ho et al.,1977).

40 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Sesuai dengan gambar 3.1, dalam keadaan tunak
proses absorpsi dapat dinyatakan dengan persamaan :
 
 
C (1)  2 .r.l Paq 
1  1  exp  x
C (0)  Q Paq 
 1 
 PoXs  Pp 
C (1)  2 .r.l 
1  1  exp  xPapp 
C (0)  Q 
C (1)   2 .r.l 
ln  ln exp  xPapp 
C (0)   Q 
C (1) 2 .r.l
ln  xPapp
C (0) Q
Q C (1)
Papp   ln
2 .r.l C (0)
dengan, C(0) = kadar larutan obat mula-mula
C(1) = kadar larutan obat setelah dialirkan
melalui lumen intestin sepanjang 1
cm
1 = panjang usus dalam cm
r = jari - jari penampang lintang intestin
Q = kecepatan alir larutan obat dalam ml
menit-1
Papp = tetapan permeabilitas semu

Adapun bagan percobaan absorpsi in situ dengan


metode Through and Through ini dapat dilihat pada
gambar 3.2.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 41


Gambar 3.2. Percobaan absorpsi in situ larutan obat
pada segmen intestin tikus dengan metode Through
and Through (Ho et al., 1977).

I. Metode Percobaan
1. Alat-alat yang digunakan
a. Kanula satu set dengan selang
b. Cutter listrik
c. Timer/jam
d. Spuit injeksi (untuk pemberian anestesi)
e. Spektrofotometer UV
f. Alat/Perlengkapan operasi (meja operasi,
gunting, pinset, benang, penggaris
g. Botol infus
h. Alat-alat gelas
i. Timbangan hewan percobaan

2. Bahan-bahan percobaan
a. Larutan dapar fosfat berbagai pH

42 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


b. Larutan obat dalam dapar fosfat pada
berbagai pH
c. Tikus putih jantan dengan berat 150 -170
gram
d. Larutan uretan 40 % steril
e. Larutan natrium klorida 0,9 % b/v

3. Cara kerja
Hewan percobaan berupa tikus jantan
dengan berat antara 150 - 170 gram, dipuasakan
sehari (kira-kira 24 jam), lalu dianestesi dengan
uretan 40 % b/v secara injeksi sub kutan
dengan takaran 1 ml/200 g berat badan tikus.
Setelah teranestesi ( perlu waktu 45 - 50 menit),
tikus tersebut dibuka rongga perutnya menurut
arah linea mediana dengan cutter listrik.
Setelah dibuka, dicari bagian lambung
dan diukur ke arah anal kira-kira 15 cm dari
lambung dengan pertolongan benang, di situ
dengan hati-hati dibuat lubang dan selang l
dimasukkan dan ditali dengan benang.
Pemasangan selang sedemikian rupa sehingga
ujungnya mengarah ke bagian anal. Dari ujung
selang ini usus diukur lagi dengan pertolongan
benang ke arah anal sepanjang 20 cm, dan di
situ dibuat lubang kedua, selanjutnya dipasang
pula selang kedua dengan ujung selang infus
mengarah ke bagian oral dari usus dengan
benang. Selang pertama dihubungkan dengan
reservoir (botol infus) larutan dapar fosfat
dengan pH yang dikehendaki melalui selang,
dan selang kedua dihubungkan dengan

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 43


penampung melalui selang pula. Botol infus
dipasang pada selang untuk mengalirkan
larutan pada kecepatan 5 cc per menit. Cairan
dari botol infus dijalankan, hingga kotoran
yang terdapat dalam usus bersih dengan cara
menampung larutan dapar yang keluar dari
selang l kedua selama waktu tertentu (5, 10, 20,
30, 40, 50, 60 dan 90), kemudian mengukur
volumenya, dengan kecepatan alir melalui
intestin ditentukan 5 cc per menit. Selanjutnya
larutan dapar diganti dengan larutan obat dan
aliran diteruskan. Lama pengaliran larutan
bahan obat ini 60 menit, lalu kadar obat dalam
larutan ditentukan secara spektroptometris,
sehingga diperoleh data kadar sebelum dan
sesudah dialirkan melalui intestin.
Data lain yang perlu dicatat adalah
panjang usus dan diameter usus. Hal ini dapat
dilakukan dengan memotong usus antara kedua
ujung kanul, satu sisi usus ujungnya ditali
dengan benang, setelah diisi cairan baru
kemudian panjang dan diameter usus dapat
ditentukan.

4. Evaluasi data
Hitung Papp

44 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


DATA PERCOBAAN
ABSORPSI OBAT SECARA IN SITU

Nama : ..................................
Tgl. Percobaan.: ...........................
No.Mhs : ..................................
Golongan : ............................

1. Nama bahan obat : ................................................


2. Medium :..............................................
pH : ...................................
3. Berat tikus :
1. ........................
2. ........................
3. …………….
4. Panjang usus :
1. ........................
2. .........................
3. …………….
5. Diameter usus :
1. ........................
2. .........................
3. …………….
6. Lama alir larutan obat :
.......................................................
7. Kecepatan alir :
1. ....................ml/.................menit = .....................
2......................ml/.................menit = .....................
3. ....................ml/.................menit = .....................
8. Data penentuan kadar obat secara
spektrofotometris
Percobaan dilakukan pada λ maks = ............... nm

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 45


Sampel A ( serapan ) Faktor Pengenceran
1. Larutan
mula-mula

2. Larutan
setelah
dialirkan
melalui
intestin

46 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


TOPIK 6: STUDI ABSORPSI
PERKUTAN SECARA IN VITRO

Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari
absorpsi obat secara perkutan secara in vitro.

Dasar Teori
Berbagai macam cara pemakaian obat telah
dikenal, antara lain: oral, intravena, intramuskular,
intraperitonial, subkutan, sublingual, rektal dan nasal.
Pemakaian obat yang dioleskan pada permukaan kulit
sering disebut sebagai pengobatan secara topikal. Pada
obat yang digunakan secara topikal, untuk dapat
memberikan aksinya obat harus dilepaskan dari
pembawa. Selanjutnya, obat dapat berada pada
permukaan kulit dan atau menembus sampai ke dalam
epidermis serta mungkin dapat sampai peredaran
darah. Penetrasi obat ke dalam kulit ditentukan oleh
berbagai faktor, seperti sifat fisikokimia obat dari
bahan pembawa. Selain faktor fisikokimia tersebut,
faktor kulit juga tidak kalah pentingnya.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 47


Gambar 4.1. Skema penampang melintang kulit
Ket:
1. Epidermis
2. Dermis
3. Jaringan subkutan
4. Folikel rambut
5. Batang rambut
6. Kelenjar sebasea
7. Pembuluh darah vena
8. Kelenjar keringat

Anatomi dan fisiologi kulit


Kulit merupakan organ tubuh terbesar yang tidak
hanya berfungsi sebagai pembungkus tubuh dan
terdapatnya syaraf perasa, tetapi kulit berfungsi untuk
menjaga tubuh dari pengaruh luar, seperti suhu,
tekanan, senyawa kimia, dan menahan masuknya
kuman ke dalam tubuh. Kulit manusia tersusun secara
berlapis-lapis dengan struktur dan fungsi yang
kompleks. Kulit dapat dibagi, secara umum, menjadi 3
lapis yang berbeda, yaitu epidermis, dermis, dan

48 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


jaringan subdermis yang berlemak. Gambar 4.1
memperlihatkan penampang melintang kulit.
Epidermis. Epidermis merupakan lapusan
terluar kulit yang umumnya berfungsi sebagai
penghalang terpenting terhadap hilangnya air,
elektrolit, dan/atau nutrien tubuh, serta penahan
masuknya senyawa asing dari luar. Gambar 4.2
memperlihatkan penampang melintang epidermis dan
terlihat epidermis terdiri dari stratum komeum, stratum
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan
stratum basal (germinativum).

Stratum corneum

Stratum granulosum

Stratum spinosum

Stratum basale

Gambar 4.2. Skema penampang melintang epidermis

Kehidupan jaringan epidermis dimulai dari sel -


sel di stratum germinativum ke arah luar yang
kemudian berkembang menjadi sel-sel bersegi banyak
dan membentuk lapisan - lapisan yang disebut sebagai
stratum spinosum. Sel-sel itu ke arah luar membentuk
lapisan - lapisan menjadi stratum granulosum. Lapisan
terluar epidermis adalah stratum korneum yang terdiri
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 49
dari sel-sel mati yang rata (flat) dan mengandung
sekitar 65 % keratin, yaitu suatu protein yang
dihasilkan selama proses diferensiasi. Sel-sel stratum
korneum saling berdempet satu dengan yang lain dan
bagian epidermis ini merupakan penghalang yang
paling penting kulit terhadap masuknya benda-benda
asing. Umumnya, stratum korneum mempunyai 10-15
lapis sel dan ketebalannya dalam keadaan kering
sekitar 10 μm, tetapi bila kena air akan mengembang
sampai beberapa kalinya. Sel-sel stratum korneum
mempunyai bobot jenis 1,5 g/cm3 dengan ketebalan
tiap-tiap selnya 0,5 - 1,5 μm . Stratum korneum
memegang peranan penting dalam mengontrol absorpsi
perkutan molekul-molekul obat Permeabilitas selektif
stratum korneum merupakan tema sentral dalam
berbagai aspek untuk studi biofarmasetika produk -
produk topikal.
Dermis. Dermis adalah lapisan kulit yang
terletak antara epidermis dan jaringan lemak subkutan.
Tebal lapisan ini sekitar 3 - 5 mm. Dermis ini
mengandung jaringan padat dari serabut protein,
seperti kolagen, retikulum dan elastin yang disimpan
dalam substansi dasar amorf dari mukopolisakarida.
Fungsi dermis ini terutama melindungi tubuh
dari luka, menjadikan epidermis lebih fleksibel,
penghalang terhadap infeksi, dan sebagai organ
pernyimpan air. Dalam dermis terdapat pembuluh-
pembuluh darah, syaraf, limfatik, kelenjar ekrin,
kelenjar apokrin, folikel rambut, dan kelenjar sebasea.
Kelenjar keringat ditemukan di seluruh
permukaan tubuh dan mensekresi suatu larutan encer
50 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
garam dan beberapa komponen lain (95% keringat
berupa air). Keringat mempunyai pH 4,5 - 5,5. Fungsi
utama kelenjar ini untuk mengontrol panas dan
sekresinya dirangsang oleh temperatur luar (yang
tinggi) dan atau proses dalam tubuh yang
menghasilkan panas. Kelenjar keringat merupakan
bagian kecil dari permukaan tubuh yaitu 1/ 10.000 total
permukaan tubuh.
Kelenjar sebasea terdapat pada bagian leher tiap
folikel rambut dengan diameter 200 - 2000 μm.
Kelenjar ini mensekresi material minyak dengan
komposisi : trigliserida 57,5 %, ester-ester lilin 26 %,
squalene 12 %, ester-ester kolesterol 3 %, dan
kolesterol 1,5 %, komposisi sebum ini bervariasi
tergantung umur, jenis kelamin dan bangsa. Sebum ini
menyebabkan terbentuknya lapisan tipis diskontinu
bahan lipofil pada beberapa permukaan kulit. oleh
karenanya sebum dapat merupakan rute absorpsi obat
untuk obat-obat yang larut dalam lemak.

Absorpsi Perkutan
Absorpsi perkutan dapat didefinisikan sebagai
absorpsi obat ke dalam stratum korneum (lapisan
tanduk) dan berlanjut obat menembus lapisan di
bawahnya serta akhirnya obat masuk dalam sirkulasi
darah.
Kulit merupakan perintang yang efektif terhadap
penetrasi perkutan obat atau senyawa eksternal.
Absorpsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia obat pembawa serta kondisi kulit pada
pemakaian obat secara tipikal, obat berdifusi dalam
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 51
pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit
(stratum korneum dan sebum) serta obat selanjutnya
menembus epidermis.

Disolusi obat ke dalam pembawa

Difusi obat melalui pembawa


ke permukaan kulit

rute rute
transepider transfolikule
mal
Partisi ke dalam r ke dalam
Partisi
stratum korneum stratum korneum

difusi melintasi difusi melintasi


matriks protein- lipid dalam pori
lipid dari stratum sebasea
korneum

Partisi ke dalam epidermis

difusi melintasi massa seluler dari epidermis

difusi melintasi massa fibrous ke dermis atas

masuk ke dalam kapiler dan difusi sistemik

Gambar 4.3. Skema absorpsi perkutan

52 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Penetrasi obat melalui kulit dapat terjadi dengan dua
cara :
1. Rute transepidermal, yaitu difusi obat menembus
stratum komeum
2. Rute transfolikular, yaitu difusi obat melewati pori
kelenjar keringat dan sebum.

Gambar 4.3 memperlihatkan skema absorpsi obat


perkutan. Seperti terlihat pada gambar 4.3, proses
absorpsi perkutan terdiri atas tahap-tahap partisi obat
ke dalam stratum komeum dan sebum. Rute yang
merupakan rute penting adalah rute transepidermal
sebab permukaan epidermis mempunyai luas beberapa
kali luas dan rute transfolikular.

Difusi obat melalui membran


Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu
dilepaskan dari basisnya. Setelah obat kontak dengan
stratum komeum maka obat akan menembus epidermis
dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik secara difusi
pasif.
Difusi pasif adalah proses perpindahan massa
dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang
berkonsentrasi rendah. Perbedaan konsentrasi itu
merupakan daya dorong (driving force) sebagai
penyebab terjadinya perpindahan massa. Untuk difusi
dengan melewati membran molekul obat harus masuk
dan melarut dulu dalam membran itu. Selanjutnya,
obat berdifusi meninggalkan membran dan masuk ke
dalam medium reseptor.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 53


Difusi pasif mengikuti hukum Fick, yaitu teori
yang menggambarkan hubungan antara fluks obat
melewati membran sebagai fungsi perbedaan
konsentrasi. Persamaan Fick dapat dituliskan sbb:
J = (KD/h)(Cs-C)
dengan J = fluks per satuan luas; K = koefisien partisi
obat dalam membran dan pembawa; h = tebal
membran; D = koefisien difusi obat; Cs = konsentrasi
obat dalam pembawa; C = konsentrasi obat dalam
medium reseptor.
Bila harga Cs >> C maka persamaan di atas dapat
disederhanakan menjadi:
J = (KD/h) Cs
Kondisi Cs >> C sering disebut sebagai kondisi "sink".
Term (KD/h) sering disebut sebagai koefisien
permeabilitas (P)

I. Metode Percobaan
1. Bahan yang digunakan : asam salisilat,
membran Millipore yang diimpregnasi dengan
isopropyl miristat (atau kulit tikus)
2. Alat yang digunakan : sel difusi tipe
horizontal (side by side) atau sel difusi tipe
vertikal, spektrofotometer.
3. Jalan Percobaan :
3.1. Penyiapan membran lipid buatan
sebagai membran difusi:
a. Membran Millipore dipotong
bentuk lingkaran seukuran dengan
besaran lubang cincin penghubung
antara kompartemen donor dan
54 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
kompartemen aseptor pada sel
difusi.
b. Impregnasikan membran tersebut
selama lebih kurang 15 menit dalam
isopropyl miristat kemudian
tempatkan membrane tersebut pada
kertas saring untuk menghisap
kelebihan lipid selama lebih kurang
5 menit
3.2. Penyiapan kulit tikus segar sebagai
membran difusi:
a. Potonglah rambut pada kulit tikus
(yang telah dikorbankan) dengan
electric clipper secara hati-hati
sehingga tidak menggores stratum
corneum.
b. Pisahkan kulit bagian dorsal
(punggung) dari tubuh tikus dengan
hati-hati mengunakan pisau
bedah/scalpel/gunting bedah. Jika
terdapat lemak subkutan, buanglah
dengan scalpel. Potong kulit bagian
punggung berbentuk lingkaran
sesuai dengan bentuk dan luas
kontak sel difusi.
3.3. Pelaksanaan uji difusi (berlaku untuk
membran kulit buatan maupun kulit
tikus)
a. Rendamlah membran pada larutan
dapar fosfat untuk proses hidrasi
membran selama 30 menit
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 55
b. Ambil membran dan tempatkan
diantara kompartemen donor dan
aseptor. Untuk mencegah
kebocoran tempatkan ring karet
atau silikon diantara kompartemen
donor dan aseptor
c. Pasanglah sel difusi dengan
mengencangkan mur yang ada
sehingga terbentuk suatu sistem sel
side by side (atau tipe vertikal)
d. Tempatkan larutan donor asam
salisilat (konsentrasi 1,5 mg/ml –
dalam air) pada kompartemen
donor
e. Jalankan pengaduk magnetik pada
kecepatan 120 rpm baik pada sisi
donor dan aseptor
f. Lakukan pengukuran transport obat
ke kompartemen aseptor pada
rentang waktu 0, 15, 30, 45, 60, 90
dan 120 menit
g. Buatlah profil hubungan antara
kumulatif transpor terhadap waktu
dan tentukan flux berdasarkan nilai
slope pada daerah linear
berdasarkan persamaan berikut:
Q(t)=Flux * Luas membran * waktu

h. Gunakan data parameter


farmakokinetik asam salisilat sbb:
T0.5 = 2,5 jam, total klirens=1,38
56 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
L/jam (Vree, et al, 1994, Int J Clin
Pharmacol Ther) untuk
memprediksikan profil kadar obat
dalam plasma jika diasumsikan:
i. Lag time kinetik asam salisilat in
vivo dapat diabaikan
j. Flux asam salisilat dari donor ke
aseptor menggambarkan flux asam
salisilat dari donor menembus kulit
menuju plasma
k. Luas area difusi menggambarkan
luas kontak antara sediaan
transdermal dengan permukaan
kulit

Pertanyaan
a. Mengapa uji in vitro perlu dilakukan sebelum
melakukan uji secara in vivo?
b. Bagaimanakah kriteria suatu obat agar
formulasinya secara transdermal memberikan
tingkat transpor yang menjanjikan?

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 57


DATA PERCOBAAN
ABSORPSI PERKUTAN OBAT SECARA IN
VITRO

Mama :……… Tgl. Percobaan.: ............................................


No.Mhs :………. Golongan : .............................................

Nama obat:
Bentuk sediaan:
Bahan pembawa:
Bobot sampel:
Obat yang diberikan:
Jenis membran : Buatan / Hewan*
Hewan percobaan
Bobot hewan:
Luas permukaan kulit:
Persamaan kurva baku:
Harga x dalam mg%/M/ :

Absorpsi perkutan :
Kadar
Waktu Kadar obat kumulatif
Serapan
sampling (μg/ml) terkoreksi
(μg/ml)

* coret yang tidak perlu


58 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
Topik 7: Suplemen Dasar Teori
Modeling dalam Biofarmsetika

Tujuan:
Memperluas pengetahuan mahasiswa mengenai
pendekatan modeling
Biofarmasetika merupakan ilmu yang
mempelajari hubungan antara sifat fisikokimia obat,
bentuk sediaan, dan rute pemberian terhadap kecepatan
dan jumlah obat di dalam darah. Timbulnya efek
terapetik dari suatu produk obat dipengaruhi oleh zat
aktif dan formulasi obat pada proses absorbsi serta
distribusi obat di tempat aksi. Oleh karena itu,
biofarmasetika menjadi dasar ilmiah untuk mendesain
dan mengembangkan produk obat (Shargel dan Yu,
2016).
Sebagian besar pengembangan produk obat
masih sering didasarkan pada trial dan error. Selain
itu, juga sangat tergantung pada pengalaman
formulator dengan sedikit informasi prediksi dari hasil
modeling in vitro dan in silico. Pendekatan modeling
yang sistematis memudahkan pemilihan eksperimen in
vitro yang paling informatif dan membantu
mengidentifikasi kondisi biorelevan yang optimal
untuk produk obat sehingga mempercepat
pengembangan obat secara sistematis. Modeling juga
membantu formulator untuk menilai pengaruh
karakteristik produk obat (ukuran partikel,
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 59
pengendapan obat, dan lain-lain) terhadap parameter
farmakokinetik, yang umumnya tidak dilakukan pada
tahap awal pengembangan produk (Pathak dkk., 2017).
Penerapan modeling pada semua aspek dalam
pengembangan obat yang dimulai dari tahap penemuan
obat hingga ke tahap preklinis, klinis, dan manajemen
siklus hidup obat/ produk obat memiliki banyak
keuntungan. Modeling dapat membantu dalam
mengambil keputusan, merancang studi yang lebih
baik, mengurangi biaya, menghemat waktu, dan
membantu meningkatkan tingkat keberhasilan
pengembangan obat (Kim dkk., 2018).
Adapun beberapa contoh penerapan modeling
dalam proses pengembangan obat. Pada tahap
penemuan obat, modeling dapat digunakan untuk
mengidentifikasi target baru dan mengkarakterisasi
mekanisme target. Pendekatan modeling di tahap pre-
klinis bertujuan mengoptimasi dan menyeleksi
kandidat obat, mengevaluasi potensi in vivo, aktivitas
intrinsik, interaksi obat, mengoptimalisasi bentuk
sediaan dan aturan dosis, mengintegrasi informasi yang
mendukung pengambilan keputusan, ekstrapolasi data
praklinis ke manusia, dan pemilihan dosis pertama
untuk studi ke manusia. Pada tahap klinis, modeling
dapat dimanfaatkan untuk memberikan rekomendasi
aturan dosis untuk populasi khusus (pediatri, geriatri,
dan pasien obesitas), mendesain studi trial klinis
berikutnya, serta mengevaluasi bentuk sediaan dan rute
pemberian. Setelah fase pengembangan obat pre-klinis
dan klinis, penerapan modeling juga membantu selama
siklus hidup obat/produk, yaitu selama peninjauan
60 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
aplikasi obat baru (NDA) dan menyelesaikan masalah
regulasi, selama pengawasan pasca produk dipasarkan
(post-marketing surveillance), serta ketika
pengembangan formulasi baru berikutnya (Kim dkk.,
2018).
Tujuan modeling adalah menemukan suatu
model terbaik yang membantu memprediksi
bagaimana suatu sistem berjalan tanpa dilakukan
pengujian secara nyata. Langkah awal dan penting
ketika melakukan prosedur modeling adalah
mendesain struktur model yang dapat menggambarkan
data yang diperoleh. Kemudian, struktur model
diterjemahkan menjadi serangkaian persamaan
matematis menggunakan berbagai perangkat lunak
modeling, diikuti dengan menemukan parameter-
parameter untuk data yang diamati. Setelah parameter
diestimasi, data yang diprediksi oleh model
dibandingkan dengan data observasi, yang disebut
dengan “validasi model”. Validasi model memberikan
kemampuan untuk memprediksi data secara prospektif.
Apabila data prediksi tidak dapat menggambarkan data
observasi dengan tepat, struktur model harus
dimodifikasi kembali dan proses diulang sampai model
berhasil divalidasi. Validasi model juga dilakukan
dengan mensimulasi data prediksi dengan data lain
(yang tidak diikutkan saat pengembangan model),
selanjutnya kedua data tersebut dibandingkan.
Kriteria khusus diperlukan untuk memutuskan dan
menerima model yang divalidasi. Kriteria tersebut,
antara lain:

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 61


1. Apakah proses validasi menunjukkan kinerja
model yang baik?
2. Apakah ada error atau komponen yang hilang
dalam model?
3. Apakah nilai prediksi cocok dengan nilai
observasi?
4. Apakah model memperhitungkan semua
variabilitas acak?
Jika model lolos validasi, model tersebut dapat
digunakan untuk simulasi dan prediksi (Kim dkk.,
2018; Sherwin dkk., 2012).

Tabel 1. Metode yang digunakan dalam evaluasi atau


validasi model dan diagnostik (Sherwin dkk., 2012).

Evaluasi/validasi
Tujuan
model dan Metode
Penggunaan
diagnostik
Goodness of fit Membuat plot Pemilihan
diagnostic plots antara data antara model
prediksi vs alternatif
observasi (PRED didasarkan pada
vs DV), PRED vs goodness of fit
WRES atau yang diamati
CWRES, dan dalam plot
waktu vs WRES
atau CRWRES

Validasi internal Data splitting: Data dibagi


data dibagi secara untuk
62 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
acak menjadi menunjukkan
populasi indeks bahwa model
dan populasi uji tangguh
(robust)

Reliabilitas Log-likelihood Menggunakan


model: penilaian profiling: the likelihood
terhadap memetakan the profiling untuk
parameter objective meningkatkan
ketidakpastian function; kecocokan
dan efek acak; digunakan model dengan
sebagai metode mengevaluasi
estimasi alternatif untuk model
parameter yang menemukan berdasarkan
dapat diterima parameter CI perubahan the
dan presisi objective
function dan
menentukan
95% CI empiris

Stabilitas model:
menilai
bagaimana
ketahanan model
untuk mengalami
perubahan

Resampling Bootstrapping Digunakan


technique techniques: untuk
mengestimasi memvalidasi
95% CI dan model akhir,

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 63


standar error . 200 bootstrap
dihasilkan
Bootstrap menggunakan
menghasilkan PsN® toolkit
data lain yang dan CI dibuat di
dapat dipercaya sekitar median
dan menilai masing-masing
struktur model parameter.
Estimasi untuk
setiap parameter
dari model akhir
dibandingkan
dengan CI
bootstrap

Jack-knife Cross validation


techniques: digunakan
memperkirakan untuk
standar error mengevaluasi
akurasi model
menggunakan
Jack-knife
techniques dan
memvalidasi
model PK

Cross-validation Untuk
memeriksa
ketahanan
model akhir dan
kemampuannya
64 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
untuk
memprediksi
data. Set data
yang lengkap
secara acak
dibagi menjadi
kelompok
indeks dan
kelompok uji

Case-deletion Mengidentifikasi Model final


diagnostics dan dievaluasi
mengkarakterisasi menggunakan
efek dari outlier case-deletion
yang berpengaruh diagnostics
untuk
mendeteksi
individu yang
berpengaruh
dan
mengeksplorasi
ketahanan
(robustness).
Cross validation
dilakukan
dengan reftting
model dengan
pasien yang
dikeluarkan
(exclude) satu

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 65


per satu

Simulation-based VPC: plot VPC digunakan


diagnostics membandingkan untuk
95% prediction mengevaluasi
interval dengan performa model
data observasi dan akurasi
model dalam
menggambarkan
data (trend dan
variabilitas)

NPC: diigunakan NPC dilakukan


untuk menguji untuk
kesesuaian model mengevaluasi
kerja simulasi
dari model akhir

NPDE Data observasi


dibandingkan
dengan 1000
data prediksi.

PPC menilai
apakah model
PPC: menilai cukup
performa model menggambarkan
prediksi parameter PK
dan kovariat
disposisi

External Model yang Validasi


66 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
validation dikembangkan eksternal
diterapkan ke digunakan
dataset yang baru untuk
(validation mengevaluasi
dataset) dari studi penetapan
yang lain. model akhir

CI=convident interval; CWRES= conditional weighted


residuals; DV= dependent variable; NPC= numerical
predictive checks; NPDE= normalized prediction
distribution error; PK= pharmacokinetic; PPC= posterior
predictive check; PRED= population predictions; VPC=
visual predictive check; WRES= weighted residuals.

Pada analisis data khusususnya di bidang


biofarmasetika dan farmakokinetika, bentuk modeling
yang secara meluas digunakan adalah modeling
berbasis kompartemen dan populasi.

Modeling Kompartemen
Modeling berbasis kompartemen
menggambarkan perpindahan materi dari satu
kompartemen ke kompartemen lain. Model
kompartemen telah digunakan untuk menggambarkan
dan membuat prediksi selama studi farmakokinetik,
metabolik, dan sistem biologis. Banyak sistem biologis
dapat dijelaskan dengan analisis kompartemen dengan
konstanta laju nonlinier yang menggambarkan

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 67


perjalanan material antar kompartemen tertentu.
Contohnya, pada studi Bergman dan kolega (1979)
mengembangkan "model minimal" nonlinier yang
canggih untuk menggambarkan bagaimana glukosa
dan insulin berinteraksi satu sama lain. Membuat
prediksi menggunakan model kompartemen ini
memerlukan pemecahan satu set persamaan diferensial
linear dan/atau nonlinier. Hal ini melibatkan beberapa
aljabar yang cukup kompleks. Sistem kompartemen
yang melibatkan lebih dari 3 kompartemen, maka satu-
satunya pendekatan praktis yaitu dengan melibatkan
penggunaan komputer. Dengan demikian, penggunaan
perangkat lunak untuk menyesuaikan model dengan
data eksperimental menjadi sebuah kebutuhan
(Bergman dkk., 1979; Stefanovski dkk., 2003).
Salah satu perangkat lunak gratis berbasis
Windows yang dapat digunakan untuk menerapkan
modeling berbasis kompartemen adalah WinSAAM.
Perangkat lunak ini merupakan turunan dari SAAM
dan CONSAM. Perangkat lunak SAAM (Simulation,
Analysis, and Modeling) pertama kali dikembangkan
di Laboratory of Experimental and Computational
Biology, National Institutes of Health, Washington
oleh Berman dan Weiss pada lebih dari 40 tahun yang
lalu. Kemudian, selama bertahun-tahun, Boston dan
kolega di National Institutes of Health
mengembangkan SAAM menjadi CONSAM,
SAAMII, dan terakhir WinSAAM. Pada bahasan lebih
lanjut akan dijelaskan mengenai perangkat WinSAAM.

68 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


WinSAAM
WinSAAM adalah perangkat lunak yang
biasanya digunakan untuk mensimulasi data biokinetik
berdasarkan persamaan matematika. Ada dua fungsi
dasar WinSAAM yaitu menyelesaikan persamaan dan
melakukan fitting model dengan data observasi untuk
memperoleh nilai estimasi parameter. WinSAAM juga
memiliki fitur lain yang berkaitan dengan modeling
seperti menampilkan hasil grafik, analisis statistik
kesesuaian model, dan fitur lainnya yang penting
selama proses modeling. Perangkat lunak ini dapat
memodelkan berbagai sistem biologis berdasarkan
pendekatan kompartemen. Penggunaan WinSAAM
sangat sesuai untuk menjelaskan kinetika suatu sistem
kompartemen. Sebuah kompartemen dianggap terdiri
dari material yang homogen atau secara kinetika tidak
dapat dibedakan dari material lain dalam kompartemen
tersebut. Namun, dengan adanya penulisan notasi
parameter model di WinSAAM, proses perpindahan
material dari satu kompartemen ke kompartemen lain
dapat dianalisis dengan perangkat ini (Novotny dkk.,
2003; Stefanovski dkk., 2003).
WinSAAM termasuk perangkat lunak yang
memiliki fitur penting dalam memodelkan data dengan
baik. WinSAAM memiliki kemampuan untuk:
1) mensimulasikan sistem;
2) fitting model ke dalam suatu data;
3) mengukur ketidakpastian saat mengestimasi
parameter; dan
4) mudah digunakan

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 69


Tampilan WinSAAM
Ada beberapa bagian utama WinSAAM, antara lain:

a. the terminal window

Gambar 1. Terminal window WinSAAM

Bagian ini merupakan interface antara pengguna


(user) dan WinSAAM. Pada bagian ini, pengguna
mengetikkan perintah, mengklik pada berbagai
ikon untuk mengakses ke bagian WinSAAM yang
lain, misalnya, pindah ke bagian editor teks,
spreadsheet, jendela grafik, atau sistem bantuan.

b. the text editor, merupakan rute utama yang


digunakan pengguna untuk memodifikasi file
input yang akan dilakukan pemrosesan oleh
program.
70 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
Gambar 2. the text editor WinSAAM

c. charting system atau plot window

Gambar 3. Tampilan Charting/plot window


WinSAAM
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 71
Charting atau plot window di WinSAAM
menyediakan fleksibilitas lengkap terkait dengan
grafik data dan prediksi model untuk pengguna.
Sistem ini memungkinkan pembesaran grafik,
penskalaan ulang, tampilan logaritmik dan linier
dari salah satu sumbu, gaya (style) garis, dan gaya
titik plot. Grafik plot dapat disimpan sebagai file
dalam format EMF, WMF, JPG, atau BMP atau
disalin ke clipboard dan ditempelkan ke program
lain.

d. the spreadsheet manager, yang mana output


spreadsheet mentabulasi data masukan, model
prediksi, estimasi best-fit parameter model, dan
fraksi standar deviasi, matriks kovarians, dan
banyak perhitungan terkait data dan model. Hasil
data di spreadsheet dapat disalin ke clipboard
sehingga dapat digunakan untuk analisis hasil
dengan perangkat lunak statistik lainnya, serta isi
spreadsheet dapat dengan mudah disimpan dalam
format Excel.

e. the project manager,

f. the logger, mengumpulkan semua interaksi


pengguna dengan WinSAAM selama sesi
pemodelan. File log dapat dilihat, disimpan,
ditambahkan, dan di-overwrite.

g. the batch window, mengumpulkan semua output


dari SAAM ke dalam single window.
72 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
h. the help system, secara komprehensif menjelaskan
perintah (commands) dan ketentuan untuk
menggunakan WinSAAM. Selain itu,
menyediakan penjelasan tentang cara
mengoperasikan perangkat lunak secara efisien
dan memiliki bagian untuk menggambarkan
struktur dan penggunaan WinSAAM, blok
pemodelan, unit operasional, perintah, demonstrasi
model, bagian tutorial, dan daftar pertanyaan yang
sering ditanyakan yang telah dilengkapi dengan
jawabannya.

WinSAAM mempertahankan konvensi SAAM


dan CONSAM mengenai nomenklatur unit
operasional, parameter, dan beberapa persyaratan
khusus seperti nama parameter, perkiraan awal, batas
minimal maksimal, dan datanya semua harus
dimasukkan ke tiap bagian tertentu dalam jendela
editor. Nama parameter dan semua data dimasukkan
dengan spesifikasi khusus yang bisa disebut dengan
sintaks “Bahasa WinSAAM.” Sintaks WinSAAM dan
nomenklatur WinSAAM menggambarkan konstruksi
pemodelan. Penggunaan bahasa WinSAAM ini,
pengguna WinSAAM dapat menjelaskan model yang
kompleks secara ringkas. Skema input (file) yang
diperlukan untuk WinSAAM terbukti lebih sederhana
daripada yang diperlukan untuk program perangkat
lunak lain seperti, ACSL, MLAB, dan Scientist.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 73


Komputasi WinSAAM
Dalam aplikasi rutin WinSAAM, ada tiga langkah
pemrosesan agar model kinetik sesuai (fit) dengan data
observasi, antara lain:
a. kompilasi model
Pada tahap kompilasi model, struktur leksikalnya
dikonversi ke persamaan dan bentuk objek yang
sesuai. Kode ekstensif oleh WinSAAM akan
mengkonfirmasi bahwa spesifikasi model dan data
dalam kondisi yang baik untuk analisis
selanjutnya.
b. solusi model
Dalam langkah solusi model, persamaan
ketergantungan (the dependency equation)
diselesaikan, maka persamaan keadaan (the state
equation) diselesaikan, parameter sistem linier
adalah diestimasi, dan solusi steady-state (jika
diperlukan) ditemukan. Pada langkah ini,
pemilihan dan penyetelan otomatis dari integrator
numerik sangat membantu mengurangi kebutuhan
pengguna yang mengharuskan terampil dalam
metode numerik.
c. fitting model

Pada komputasi WinSAAM, parameter linier K(j)


digambarkan dengan persamaan:

di mana QO(j) mewakili data yang diamati di


kompartemen j dan QC(j,θ) adalah parameter yang
dihitung (misalnya, mewakili parameter WinSAAM
74 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
P(j), L(i,j), DT(j), UF(j)). Di WinSAAM, K(j)
diperkirakan
menggunakan generalized atau weighted least squares
yang dipanggil bersama dengan perintah SOLVE:

dimana (J) adalah estimasi dari K(j). Persamaan 2


ditulis dalam notasi matriks dan bagian pertama dari
persamaan mengacu pada invers matriks. Sisi pertama
dalam matriks ini mengacu pada transpos dari QC, di
mana QC menunjukkan solusi untuk persamaan
keadaan, prima (‘ ) menunjukkan transpose, dan W
adalah bobot diagonal matriks. Dalam matriks kedua,
QO menunjukkan nilai yang diamati.

Parameter nonlinier diestimasi menggunakan versi


varian dari the Generalized Least Squares of the Gauss
Newton optimizer yang dapat dipanggil dengan
menggunakan perintah ITER. Langkah-langkah
pengolahan data yang terkait dengan hal ini adalah
sebagai berikut. Pertama, penyesuaian mentah (crude
adjustments), δθ, ke parameter nonlinier,θ, dihitung
menggunakan persamaan:

di mana K adalah transpos dari vektor turunan parsial


QC sehubungan dengan θ, dan δQC’/ δθ adalah
perbedaan antara nilai yang diamati dan diprediksi.
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 75
Selanjutnya, penyempurnaan, atau perbaikan, untuk
penyesuaian sederhana ini ditentukan dengan
meregresi δθ pada data, yaitu:

di mana C adalah faktor yang diterapkan pada


penyesuaian mentah untuk meningkatkan performa.
Selama proses estimasi/iterasi parameter ini,
WinSAAM menggunakan batas atas dan bawah yang
ditentukan untuk membatasi estimasi parameter
dengan tepat.
Untuk menghindari ketidakstabilan dalam proses
fitting data, jika perlu dan sesuai, inversi matriks
umum digunakan dan ini berarti bahwa bahkan ketika
kolinearitas dalam kovarians matriks ada, operasi
inversi matriks tidak akan menyebabkan program
untuk gagal. Fakta bahwa estimasi parameter sistem
linier uncoupled dari langkah estimasi nonlinier
memudahkan proses estimasi nonlinier secara
substansial. Setiap parameter lain termasuk yang
mungkin memiliki konteks linier, misalnya, P(j), juga
diestimasi secara berulang-ulang menggunakan
persamaan 3 dan 4 di atas. Alternatif untuk perintah
ITER adalah perintah FIT. Perintah FIT menggunakan
skema a Nelder-Mead gradient-free optimization untuk
sampai pada parameter model yang paling cocok.
Perintah FIT berguna untuk memulai proses fitting
atau sebagai alternatif, setelah "best-fit" telah diperoleh
dengan menggunakan perintah ITER, perintah FIT
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa fit
memang telah konvergen. Berdasarkan paparan diatas
76 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
bahwa ragam prosedur optimasi yang terpasang dalam
WinSAAM membuat perangkat lunak ini sesuai
sebagai alat estimasi untuk pemodelan nonlinier.

Penggunaan WinSAAM
Dalam banyak kasus, perpindahan material keluar dari
kompartemen sebanding dengan jumlah material di
kompartemen, dan ini dikenal sebagai kinetika orde
pertama. Dalam notasi WinSAAM, ini ditulis sebagai:

(1)

di mana F(1,t) [yang sering ditulis sebagai F(1)],


adalah material dalam kompartemen 1 pada waktu t,
dan L(0,1) adalah konstanta laju fraksional yang
menggambarkan aliran material dari kompartemen 1
ke kompartemen luar. L(i,j) secara default adalah
konstanta kecepatan orde pertama yang
menggambarkan fraksi material dalam kompartemen j
yang bergerak ke kompartemen i dalam satuan waktu.
Oleh karena itu, keberadaan L(i,j) tertentu dalam file
input WinSAAM berfungsi ganda yaitu
mendefinisikan keberadaan kompartemen i dan j dan
juga menegaskan bahwa ada pergerakan material ke
dalam kompartemen i dari kompartemen j.
Selain itu, WinSAAM juga memiliki beberapa notasi
penting lainnya dalam proses membangun model.
Notasi ini juga dapat menggambarkan kondisi serta
alur perpindahan materi antar kompartemen tiap
model, antara lain sebagai berikut:
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 77
1. IC(j) yaitu kondisi awal kompartemen (contoh:
IC(1) yaitu jumlah dosis awal yang tersedia di
kompartemen 1 untuk transpor kinetika orde
pertama).
2. L(i,j) yaitu koefisien transpor obat dari
kompartemen j ke kompartemen i. Contohnya,
L(2,1) menggambarkan koefisien kecepatan
transpor atau perpindahan obat dari kompartemen
1 menuju kompartemen 2.
3. DT(j) merupakan parameter delay. Parameter ini
merupakan fitur yang kuat karena dapat
disesuaikan dan diperkirakan. Oleh karenanya
memungkinkan penentuan waktu lag atau waktu
transit (misalnya, penundaan berhubungan dengan
pengosongan lambung, absorpsi, atau transit usus)
yang mungkin terjadi pada beberapa sistem.
Memang, dalam satu perbandingan dari sejumlah
program pemodelan, hanya WinSAAM yang dapat
menyesuaikan model dengan data yang melibatkan
penundaan.
4. DN(j) yaitu kompartemen semu dalam
kompartemen lag (kompartemen j).
5. F(j), respon kompartemen (contoh: F(1)
menggambarkan jumlah material yang
dipertanyakan pada kompartemen 1 pada waktu t).
6. K(j), scaling factor
7. P(j), parameter yang ditentukan pengguna.
Parameter ini adalah parameter dengan tujuan
umum yang digunakan di mana-mana dalam
skema pemodelan WinSAAM, tidak terkait
dengan apapun pada kompartemen tertentu, dan
78 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
signifikansi modelnya ditentukan oleh pengguna.
P(j) dapat ditetapkan nilainya (fixed in value) atau
bergantung pada parameter yang lain, atau dapat
disesuaikan (adjustable), dan dapat digunakan baik
dalam konteks linear atau nonlinier.

Pada saat fiiting model kinetik ke dalam data, ada tiga


tahapan proses yang dilakukan, antara lain: 1)
kompilasi model; 2) solusi model; 3) fitting model
(Stefanovski dkk., 2003). Oleh karena itu, notasi-notasi
WinSAAM diatas bersamaan dengan data dibuat
listing pada program WinSAAM dan dieksekusi
menggunakan perintah deck, solve, dan iter secara
berurutan (Nugroho dkk., 2014).
Penilaian kelayakan model yang diajukan dengan data
observasi dapat dilakukan berdasarkan evaluasi
terhadap:
1. Goodness of fit (GOF) secara visual
Evaluasi ini dapat dilakukan dengan melihat
kedekatan nilai prediksi (QC) dengan nilai
observasi (QO), sebagai contoh: 1) melihat grafik
korelasi plot antara QC vs QO, 2) melihat residual
data versus waktu 3) korelasi residual versus QO.
Nilai residual diperoleh dari menghitung selisih
antara data prediksi dan data observasi. Model
yang terbaik ditujukkan dengan adanya deviasi
yang kecil antara data model prediksi dengan data
observasi. Selain itu, nilai residual berfluktuasi
secara seragam lebih kurang berada di daerah
sekitar garis nol.
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 79
2. Corrected Akaike's Information Criterion (AICc)
Saat melakukukan komparabilitas model
kompartemen yang berbeda namun dengan satu
set data yang sama, model yang terbaik
merupakan model yang memiliki nilai AICc yang
terkecil. Hal ini menunjukkan bahwa model
tersebut lebih cocok terhadap data observasi
dibandingkan dengan model lain.
(Bewick dkk., 2003; Martin dkk., 2017; Matson dan
Huguenard, 2007; Motulsky dan Christopoulos, 2003;
Nugroho dkk., 2014)

Modeling Populasi
Modeling populasi merupakan metode untuk
mengidentifikasi dan menggambarkan hubungan
antara karakter fisiologi subyek terhadap pemejanan
dan atau respon farmakologi obat yang diobservasi.
Metode ini dikenalkan pertama kali oleh Sheiner dan
kolega pada tahun 1972. Parameter hasil modeling
populasi awalnya diestimasi dengan mem-fitting data
gabungan dari semua individu, mengabaikan
perbedaan/variabilitas individu, atau dengan mem-
fitting setiap data individual secara terpisah dan
menggabungkan hasil estimasi parameter individu
untuk memperoleh nilai parameter rata-rata (populasi).
Namun, kedua metode tersebut memiliki kekurangan
yaitu dapat menghasilkan nilai estimasi parameter
yang bias seperti ketika terjadinya sampel yang hilang,
ketidakpatuhan dalam penggunaan dosis obat oleh
subyek uji, dan kesalahan data lainnya. Kekurangan
80 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
tersebut kemudian diatasi oleh Sheiner dan kolega
sehingga penggunaan pendekatan ini memungkinkan
untuk mengumpulkan data yang jarang (terbatas) dari
banyak subyek uji untuk memprediksi parameter rata-
rata populasi, variabilitas antar-subyek, dan efek
kovariat yang mengukur dan menjelaskan variabilitas
saat pemejanan obat. Pendekatan ini juga dapat
mengukur presisi parameter yang ditujukkan dengan
nilai standar error (Mould dan Upton, 2012). Secara
ringkas, pendekatan model berbasis populasi dapat
memprediksi parameter model dengan data yang
terbatas.
Kelebihan analisis data menggunakan modeling
berbasis populasi, antara lain:
1. hanya membutuhkan sedikit sampel dari tiap
subyek uji;
2. biaya lebih hemat;
3. skrining dan kuantifikasi kovariat menjelaskan
variabilitas;
4. dapat membedakan antara variabilitas
interindividual dan intraindividual; dan
5. perangkat lunak untuk modeling tersedia secara
luas

Namun, adapun beberapa kekurangan menggunakan


pendekatan modeling ini, yaitu sebagai berikut:
1. membutuhkan jumlah subyek uji yang relatif besar
(umumnya >40 subyek);
2. analisis farmakostatistik yang kompleks;

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 81


3. memerlukan pengumpulan, kompilasi, dan
verifikasi jumlah data yang banyak;
4. pembuatan/ membangun model membutuhkan
banyak waktu dan seringkali membosankan;
5. diagonostik model seringkali rumit dan
menghabiskan waktu; dan
6. kesulitan menangani data yang hilang (contohnya,
data semua kovariat di semua subyek uji)
(Charles, 2014)

Analisis pada studi biofarmasetika hingga ke


tahap in vivo tidak terlepas dari analisis farmakokinetik
dan statistik. Penggunaan pendekatan metode
modeling berbasis populasi untuk menganalisis data
membutuhkan informasi yang akurat mengenai
pemberian dosis, data pengukuran, dan kovariat.
Model populasi terdiri dari beberapa komponen: model
struktural, model stokastik, dan model kovariat. Model
struktural adalah fungsi yang menggambarkan respon
terukur tiap waktu dan dapat direpresentasikan sebagai
persamaan aljabar atau diferensial. Model stokastik
menggambarkan variabilitas atau efek acak (random
effects) terhadap data yang diobservasi. Sedangkan
model kovariat menggambarkan pengaruh faktor-
faktor seperti demografi atau penyakit terhadap respon
individu tiap waktu (Mould dan Upton, 2012).
Modeling populasi dikenal sebagai model nonlinear
mixed effect model. Modeling populasi terdiri dari
parameter fixed effect (efek tetap) dan random effect
(efek acak), sehingga disebut model “mixed effect”
82 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
(efek campuran). Pendekatan ini menggunakan regresi
nonlinear. Fixed effect digunakan untuk membangun
model struktural. Fixed effect merupakan elemen atau
parameter yang bernilai tetap atau berubah sebagai
fungsi kovariat seperti bobot, dosis, jenis kelamin atau
fungsi kovariat lainnya yang terkait dengan parameter
populasi. Random effect mengkuantifikasi variabilitas
atau error di model prediksi, antara lain measurement
error (perbedaan antara prediksi individu dan nilai
observasi), variabilitas antarindividual (perbedaan
antara prediksi individu dan prediksi populasi),
variabilitas antar-kejadian, dan faktor yang tidak
diketahui (variabilitas residual) (Gayatri dan
Setiabudy, 2019; Notario, 2018).
Database yang digunakan untuk modeling
seringkali kompleks dan memerlukan informasi yang
akurat terkait waktu, jumlah obat yang diberikan,
pengumpulan sampel, informasi demografis, dan
laboratorium terkait. Unit untuk semua data juga harus
konsisten di database. Umumnya, pengadaan pelatihan
khusus diperlukan untuk menjamin kualitas database
dan hasil akhir (Mould dan Upton, 2012). Beberapa
perangkat lunak yang dipergunakan dalam modeling
populasi antara lain NONMEM, Monolix, Phoenix
NLME, dan R (Sherwin dkk., 2012). Di bawah ini
akan menjelaskan secara cukup ringkas terkait
perangkat lunak NONMEM dan Monolix.
NONMEM
NONMEM merupakan singkatan dari NONlinear
Mixed Effects Modeling. NONMEM merupakan
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 83
program komputer yang diimplementasikan di Fortran
90/95. Perangkat lunak ini menyelesaikan
permasalahan statistik farmasi yang memperhitungkan
variabilitas intrasubjek atau antar subjek ketika
melakukan fitting model (seperti model farmakokinetik
dan atau farmakodinamik) ke data. Perkembangan dan
penerapan model oleh ilmuwan farmasi ilmuwan
menggunakan metodologi statistik yang sesuai dapat
memberikan dasar untuk menentukan strategi dosis
yang optimal untuk produk dan meningkatkan
pemahaman tentang mekanisme dan interaksi obat
dalam studi farmakokinetik-farmakodinamik (Bauer,
2019).
NONMEM diperkenalkan oleh Lewis Sheiner,
Stuart Beal dan NONMEM Project Group di
University of California sebagai perangkat lunak
pertama yang mampu menangani perhitungan
kompleks dalam pendekatan pemodelan efek campuran
nonlinier (nonlinear mixed effect modeling).
NONMEM juga menyediakan perhitungan yang
akurat, tepat, dan robust. Sampai saat ini, NONMEM
masih dianggap sebagai perangkat lunak ‘gold
standard’ dalam pemodelan farmakokinetik-
farmakodinamik populasi. Saat ini, NONMEM
dikelola secara komersial dan dikembangkan lebih
lanjut oleh ICON plc (Nugroho dkk., 2017).
Pada model mixed effect, terdapat masalah
dimana efek acak individu tidak diamati dan dianggap
sebagai data yang hilang. Pendekatan statistik yang
biasa digunakan adalah mengintegrasikan mereka
keluar dari distribusi bersama dari respon dan efek
84 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
acak untuk memungkinkan estimasi kemungkinan
maksimum (maximum likelihood). Metode FO (First-
order) dikembangkan pada NONMEM pada tahun
1977. Metode FOCE (The first order conditional
estimation) merupakan metode parametrik yang paling
signifikan. Davidian dan Giltinan menjelaskan secara
rinci teknis perbedaan antara berbagai pendekatan
FOCE serta implementasi di berbagai aplikasi
perangkat lunak. Pada metode ini standar error
diturunkan dari matriks Fisher, tingkat kepercayaan
berdasarkan normalitas estimator, menggunakan
kriteria Akaike untuk perbandingan model.
Terdapat studi yang telah menggunakan
modeling dengan pendekatan populasi untuk
mengorelasikan antara data transpor in vitro terhadap
transpor in vivo (farmakokinetik) maupun respons
farmakodinamik. Nugroho dan kolega (2006)
menghubungkan antara data transpor in vitro dan in
vivo (farmakokinetik) serta respons farmakodinamik
untuk pemberian suatu senyawa dopamine agonis 5-
OH-DPAT secara transdermal iontoforesis pada tikus
dengan pendekatan analisis berbasis populasi. Model
in vitro dan in vivo menggunakan NONMEM
menghasilkan model prediktif yang memungkinkan
simulasi efek farmakodinamik berdasarkan profil
transpor in vitro (Nugroho dkk., 2006).

Monolix
Monolix dikembangkan semenjak tahun 2003.
Perangkat lunak ini didesain berdasarkan algoritma
SAEM (Stochastic Approximation Effect Model)
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 85
menggunakan sistem MATLAB library. Monolix
dikembangkan berdasarkan teori statistik yang
menyeluruh dan dapat memberikan perhitungan yang
cepat dan efisien dalam kondisi data yang terbatas
dengan variabilitas antar individu yang besar. Saat ini,
Monolix dikelola dan dikembangkan oleh perusahaan
Lixoft. Monolix memiliki graphical user interface yang
memfasilitasi penggunaan perangkat lunak lebih
mudah dan praktis dalam melakukan modeling
populasi. Selain itu, Monolix juga tersedia secara gratis
(free for academic) sehingga menguntungkan dan
membantu akademisi menganalisis data secara luas
menggunakan pendekatan populasi (Nugroho dkk.,
2017; Sun dan Li, 2011).
Tujuan dari perangkat lunak ini:
1. Memperkirakan parameter dengan menggunakan
the maximum likelihood estimator tanpa
pendekatan model apa pun, seperti linearisasi,
pendekatan kuadratur,
2. memilih model dengan membandingkan beberapa
model yang kemudian menggunakan beberapa
informasi kriteria (AIC, BIC), atau hipotesis
pengujian menggunakan likelihood ratio test, atau
menguji parameter dengan uji Wald,
3. plot kesesuaian/kecocokan (goodness of fit),
4. simulasi data
(Lavielle dan Mentré, 2007)

Monolix sekarang menjadi bagian dari MonolixSuite,


satu set aplikasi perangkat lunak yang saling
berhubungan yang mencakup semua tahap
86 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
pengembangan obat. MonolixSuite membantu dalam
visualisasi data (Datxplore), analisis data
nonkompartemen (PKanalix), pengembangan model
NLME dan estimasi parameter (Monolix), simulasi
situasi baru (Simulx), dan manajemen alur kerja
(workflow) (Sycomore). Selain itu, penggunaan
MonolixSuite telah memenuhi persyaratan regulasi
dan telah digunakan secara rutin untuk pengajuan
regulasi. Tampilan Monolix disajikan pada Gambar 2.

Gambar 3 Jendela skenario dengan konvergensi


perkiraan nilai populasi pada Monolix

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 87


Gambar 4 Tabel estimasi parameter populasi beserta
standar error pada Monolix
(Traynard dkk., 2020)

Variabilitas antar individual dimodelkan dengan


exponential error model yang dapat ditulis dengan
persamaan 1.
Pi = θ.exp(ηi)……………………….(1)
dimana θ adalah nilai populasi atau efek tetap. Pi
merupakan nilai estimasi individual dan ηi adalah
variasi antar individual yang nilainya diasumsikan
independen dan terdistribusi normal dengan mean nol
dan varians ω2.
88 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
Kesalahan residual dicirikan oleh model kesalahan
aditif (additive error) pada persamaan 2.
Fpij = Foij + ε1 …………………..(2)
Dimana Fpij merupakan prediksi jth fungsi yang
dievaluasi (konsentrasi, Cp), Foij measured adalah
nilai terukur dari fungsi yang dievaluasi (Cp), dan ε
mewakili deviasi residual yang diprediksi dari nilai
observasi dan diasumsikan independen dan
terdistribusi normal dengan mean nol dan varians σ2.
Analisis parameter populasi θ, ω2, dan σ2 dilakukan
dengan menggunakan algoritma SAEM pada Monolix
dan metode First-order Conditional Estimate (FOCE)
pada NONMEM (Nugroho dkk., 2017).

Selain kedua perangkat lunak di atas, analisis data


menggunakan pendekatan populasi dapat
menggunakan perangkat lunak yang disajikan pada
Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa perangkat lunak yang digunakan


dalam modeling berbasis populasi dan
validasi/evaluasi model dan diagnostic

Perangkat lunak Deskripsi

R® Statistical and graphics


interface; digunakan untuk
analisis eksplorasi data
Tersedia secara gratis

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 89


Phoenix®NLMETM built-in graphical functions;
numerical diagnostics:
numerical predictive check,
log-likelihood profiling dan
nonparametric bootstrap;
visual diagnostics: diagnostic
graphs, visual dan posterior
predictive checks
Memerlukan lisensi

SAS Digunakan untuk analisis


eksplorasi data
Memerlukan lisensi

Xpose® Diagnostic software; Plugs


into R statistical software,
automatic graphs of residuals,
DV vs PRED; numerical
evaluations; visual
diagnostics: wide range of
diagnostic graphs, visual and
posterior predictive checks;
data exploration seperti step-
wise GAM dan tree-based
modelling
Tersedia gratis

PLT Tools® Diagnostic software;


memerlukan instalasi

90 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


NONMEM®; statistical dan
graphics interface: CWRES,
visual predictive checks,
bootstrap/Jack-knife dan
likelihood profile; model
diagnostics menggunakan
Xpose®
Tersedia versi gratis atau
dapat membeli lisensi

Berkeley Madonna Digunakan untuk


mengeksplorasi strukur model
Tersedia versi gratis

CWRES= conditional weighted residuals; DV=


dependent variable; GAM= generalized additive
modelling; NONMEM= nonlinear mixed-effect
modelling; PK= pharmacokinetic; PRED=
population predictions

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 91


Referensi:
Bauer, R.J., 2019. NONMEM Tutorial Part I:
Description of Commands and Options, With
Simple Examples of Population Analysis. CPT:
Pharmacometrics & Systems Pharmacology, 8:
525–537.
Bergman, R.N., Ider, Y.Z., Bowden, C.R., dan Cobelli,
C., 1979. Quantitative estimation of insulin
sensitivity. The American Journal of Physiology,
236: E667-677.
Bewick, V., Cheek, L., dan Ball, J., 2003. Statistics
review 7: Correlation and regression. Critical
Care, 7: 451–459.
Charles, B., 2014. Population pharmacokinetics: an
overview. Australian Prescriber, 37: 210–213.
Gayatri, A. dan Setiabudy, R., 2019. Pharmacometrics:
alternative approach of quantitative
pharmacology. Pharmaceutical Sciences Asia,
46: 63–68.
Kim, T.H., Shin, S., dan Shin, B.S., 2018. Model-
based drug development: application of
modeling and simulation in drug development.
Journal of Pharmaceutical Investigation, 48:
431–441.
Lavielle, M. dan Mentré, F., 2007. Estimation of
Population Pharmacokinetic Parameters of
Saquinavir in HIV Patients with the MONOLIX
Software. Journal of Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics, 34: 229–249.
Martin, J., Adana, D.D.R. de, dan Asuero, A.G., 2017.
Fitting Models to Data: Residual Analysis, a
92 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
Primer, dalam: Hessling, J.P. (Editor),
Uncertainty Quantification and Model
Calibration. InTech, hal. 133–174.
Matson, J.E. dan Huguenard, B.R., 2007. Evaluating
Aptness of a Regression Model. Journal of
Statistics Education, 15: 1–15.
Motulsky, H. dan Christopoulos, A., 2003. Fitting
Models to Biological Data using Linear and
Nonlinear Regression. A practical guide to curve
fitting. GraphPad Software, Inc.., San Diego
CA., 351.
Mould, D.R. dan Upton, R.N., 2012. Basic Concepts in
Population Modeling, Simulation, and Model-
Based Drug Development. CPT:
Pharmacometrics & Systems Pharmacology, 1:
1–14.
Notario, D., 2018. Pemodelan Farmakokinetika
Berbasis Populasi dengan R: Model Dua
Kompartemen Ekstravaskuler. Jurnal Farmasi
Galenika, 4: 26.
Novotny, J.A., Greif, P., dan Boston, R.C., 2003.
WinSAAM: Application and Explanation of Use,
dalam: Novotny, J.A., Green, M.H., dan Boston,
Ray C. (Editor), Mathematical Modeling in
Nutrition and the Health Sciences, Advances in
Experimental Medicine and Biology. Springer
US, Boston, MA, hal. 343–351.
Nugroho, A.K., Binnarjo, A., Hakim, A.H., dan
Ermawati, Y., 2014. Compartmental Modeling
Approach of Losartan Transdermal Transport in

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 93


Vitro. Indonesian Journal of Pharmacy, 25: 31–
38.
Nugroho, A.K., Hakim, A.R., dan Hakim, L., 2017.
Population-Based Approach to Analyze Sparse
Sampling Data in Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics using Monolix and
NONMEM. Indonesian Journal of Pharmacy, 28:
205–212.
Nugroho, A.K., Romeijn, S.G., Zwier, R., de Vries,
J.B., Dijkstra, D., Wikström, H., dkk., 2006.
Pharmacokinetics and Pharmacodynamics
Analysis of Transdermal Iontophoresis of 5-OH-
DPAT in Rats: In vitro–in vivo Correlation.
Journal of Pharmaceutical Sciences, 95: 1570–
1585.
Pathak, S.M., Ruff, A., Kostewicz, E.S., Patel, N.,
Turner, D.B., dan Jamei, M., 2017. Model-Based
Analysis of Biopharmaceutic Experiments To
Improve Mechanistic Oral Absorption Modeling:
An Integrated in Vitro in Vivo Extrapolation
Perspective Using Ketoconazole as a Model
Drug. Molecular Pharmaceutics, 14: 4305–4320.
Shargel, L. dan Yu, A.B.C., 2016. Applied
Biopharmaceutics & Pharmacokinetics, 7th ed.
McGraw-Hill Education, United States.
Sherwin, C.M.T., Kiang, T.K.L., Spigarelli, M.G., dan
Ensom, M.H.H., 2012. Fundamentals of
Population Pharmacokinetic Modelling:
Validation Methods. Clin Pharmacokinet, 1–18.

94 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Stefanovski, D., Moate, P.J., dan Boston, R.C., 2003.
WinSAAM: A windows-based compartmental
modeling system. Metabolism: Clinical and
Experimental, 52: 1153–1166.
Sun, X. dan Li, J., 2011. PKreport: report generation
for checking population pharmacokinetic model
assumptions. BMC Medical Informatics and
Decision Making, 11: 31.
Traynard, P., Ayral, G., Twarogowska, M., dan
Chauvin, J., 2020. Efficient Pharmacokinetic
Modeling Workflow With the MonolixSuite: A
Case Study of Remifentanil. CPT:
Pharmacometrics & Systems Pharmacology, 9:
198–210.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 95


Topik 8: Suplemen Dasar Teori
Disolusi Intrinsik

Tujuan:
Memperluas pengetahuan mahasiswa perihal
disolusi
Intrinsic Zat aktif obat menjadi salah satu
pertimbangan dalam mendesain suatu produk obat.
Sifat fisikokimia obat merupakan faktor utama yang
perlu dikontrol atau dimodifikasi oleh formulator. Sifat
fisikokimia obat tersebut antara lain: solubilitas,
stabilitas, kiralitas, polimorfi, solvat, hidrat, bentuk
garam, ionisasi, dan profil impuritas. Sifat fisikokimia
ini mempengaruhi tipe bentuk sediaan, formulasi, dan
proses manufaktur. Sifat fisik obat seperti kecepatan
disolusi intrinsik, ukuran partikel, dan bentuk kristal
dipengaruhi oleh proses dan manufaktur. Jika obat
memiliki solubilitas dalam air rendah, namun ingin
ditujukkan sebagai sediaan injeksi intravena, maka
dapat dipersiapkan dalam bentuk garamnya yang akan
lebih larut. Ketidakstabilan secara kimia atau interaksi
kimia dengan ekspien tertentu akan mempengaruhi
juga tipe produk dan metode fabrikasi. Ada banyak
pendekatan yang kreatif untuk memperbaiki produk
(Shargel dan Yu, 2016).
Bentuk sediaan umumnya terdiri dari zat aktif
dan eksipien yang membantu memastikan obat
mencapai tempat aksinya, mencegah dekomposisi yang
96 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
tidak diinginkan, dan pada kasus tertentu ditujukkan
untuk pelepasan terkontrol. Untuk memberikan efek,
obat harus: larut dalam saluran cerna, tersedia untuk
diabsorbsi, dan cukup lipofilik untuk diabsorbsi.
Kelarutan dan permeabilitas merupakan sifat penting
obat yang digunakan pada Sistem Klasifikasi
Biofarmasetik (Biopharmaceutics Classification
System, BCS).

Gambar 1. Urutan peristiwa yang terjadi dimulai dari


pemberian obat hingga tercapainya efek (Issa dan

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 97


Ferraz, 2011) yang diapdatasi dari artikel (Martinez
dan Amidon, 2002).

Pada Gambar 1, terjadinya disolusi merupakan syarat


awal agar obat yang diberikan secara oral dapat
diabsorbsi dan memberikan respon klinis. Oleh karena
disolusi tergantung kepada kelarutan obat, dan absorbsi
tergantung permeabilitas intestinal, maka keduanya
merupakan faktor utama yang mengatur laju dan
jumlah penyerapan pada sediaan padat yang diberikan
secara oral yang akan dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya (Issa dan Ferraz, 2011).
1. Disolusi dan Pelepasan Obat
Setelah bentuk sediaan padat seperti tablet
diberikan melalui mulut kepada pasien, obat harus
terlebih dahulu hancur/ mengalami disintegrasi
menjadi kelompok partikel yang lebih besar yang
dikenal sebagai agregat. Deagregasi kemudian
terjadi dan partikel individu mengalami liberasi.
Akhirnya, partikel larut, melepaskan obat aktif ke
dalam larutan. Disolusi adalah proses yang
tergantung waktu (atau kinetik) yang mewakili
langkah terakhir pelepasan obat, yang pada
akhirnya diperlukan sebelum suatu obat dapat
diabsorbsi atau memberikan efek farmakologis.
Untuk bentuk sediaan dengan pelepasan segera
(immediate-release), laju pelepasan dan disolusi
obat relatif terhadap laju transit melalui usus dan
profil permeabilitas usus halus dalam menentukan
kecepatan dan luasnya penyerapan obat. Jika
disolusi obat lebih lambat dibandingkan dengan
98 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
absorbsi obat, obat mungkin lebih sedikit yang
akandiserap, terutama jika obat diserap secara
khusus di lokasi tertentu (“absorption windows")
di saluran pencernaan. Absorbsi yang lebih lambat
karena disolusi yang lebih lambat menghasilkan
konsentrasi obat yang lebih rendah di dalam darah
(Martin dan Sinko, 2011).

Gambar 2. Proses Disolusi (Martin dan Sinko, 2011).

2. Disolusi dan Kelarutan


Kecepatan disolusi dan kelarutan merupakan
aspek yang penting dalam studi preformulasi
dalam pengembangan bentuk sediaan obat.
Karakteristik formulasi termasuk umur simpan
(shelf-life), proses jalannya obat di dalam tubuh,
dan bioavailabilitas dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia obat. Parameter kecepatan disolusi
obat telah digunakan untuk mengakarakterisasi
obat. Contohnya, parameter ini digunakan pada
studi untuk mengetahui hubungan antara
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 99
kecepatan disolusi dengan bentuk kristal obat,
serta studi untuk mengetahui efek surfaktan dan
pH terhadap kelarutan obat yang sukar larut
(Zakeri-Milani dkk., 2009). Kecepatan disolusi
dan kelarutan juga sangat tergantung terhadap pH.
Pengamatan di berbagai pH saluran cerna dapat
menunjukkan pengaruh kedua parameter tersebut
terhadap proses absorbsi (Issa dan Ferraz, 2011).
Kelarutan dan disolusi obat adalah parameter yang
saling terkait yang dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor internal meliputi struktur
kimia obat, ukuran partikel dan bentuk kristal,
serta ionisasi dalam molekul. Faktor eksternal
termasuk lingkungan di saluran pencernaan
(gastrointestinal tract, GI), misalnya adanya
garam empedu, fosfolipid, asam lemak, dan
protein dengan berbagai konsentrasi di saluran
pencernaan. Hal ini dapat berdampak pada
jalannya obat di dalam tubuh. Solubilizer seperti
garam empedu dan lesitin dapat meningkatkan
kelarutan obat lipofilik (Etherson dkk., 2020).
Saluran cerna memiliki pH yang bervariasi antara
lambung (pH 1,5-4) dan intestinal (pH 5-7).
Berdasarkan nilai pKa dan kelarutan obat yang
berbeda-beda serta zat aktif dalam bentuk garam
akan mengakibatkan perbedaan kelarutan obat dan
kecepatan disolusi di cairan saluran cerna
dibandingkan di air murni. Medium biorelevan
seperti FaSSIF (Fasted Stated Simulated Intestinal
Fluid) merupakan medium yang biasa digunakan
untuk menyerupai kondisi in vivo secara akurat,
100 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
sehingga akan memperoleh hasil prediksi yang
lebih baik. Media ini sering digunakan untuk
menyerupai cairan intestinal manusia untuk
mendapatkan biorelevansi yang lebih besar saat
pengujian kelarutan dan disolusi (Etherson dkk.,
2020).

Disolusi Intrinsik
Disolusi merupakan suatu pengujian secara in
vitro yang menyediakan informasi mengenai pelepasan
zat aktif dari sebuah sediaan. Informasi tersebut
kemudian dapat dimanfaatkan sebagai acuan
pengembangan formulasi dan memberikan jaminan
pelepasan obat yang efektif pada manusia (Etherson
dkk., 2020).
Kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan
obat untuk larut di dalam cairan tempat absorbsi dapat
merupakan langkah penentu (rate-limiting step) pada
proses absorbsi. Hal ini biasanya berlaku untuk obat
yang diberikan secara oral seperti tablet, kapsul, dan
suspensi. Ketika kecepatan disolusi menjadi rate-
limiting step, maka apapun yang mempengaruhi
besaran kecepatan disolusi, maka juga akan
mempengaruhi absorbsi. Akibatnya, kecepatan disolusi
dapat mempengaruhi onset, intensitas, dan durasi
respon, serta bioavailabilitas obat dari sediaan (Allen
dkk., 2011)
Kecepatan disolusi intrinsik merupakan
kecepatan disolusi zat aktif murni dimana kondisi luas
permukaan, suhu, pengadukan, dan pH medium
konstan. Kecepatan disolusi intrinsik diekspresikan
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 101
sebagai mg/min/cm2. Nilai ini akan bermanfaat untuk
memprediksi masalah yang mungkin muncul pada
proses absorbsi yang disebabkan oleh kecepatan
disolusi (Allen dkk., 2011). Manfaat lain dari
mengetahui kecepatan disolusi intrinsik yaitu data
tentang kemurnian kimia dan ekivalen obat dari
sumber yang berbeda dapat dibandingkan. Informasi
terkait kecepatan disolusi intrinsik sangat bermanfaat
untuk mengetahui variabilitas bahan baku yang
tersedia di pasaran yang diakibatkan oleh proses
sintesis yang berbeda, terutama pada tahap akhir
kristalisasi, yang dapat menyebabkan perbedaan
ukuran partikel, derajat hidrasi, dan bentuk kristal
suatu zat aktif (Issa dan Ferraz, 2011).
Kecepatan disolusi intrinsik bermanfaat dalam
menentukan kelarutan terkait pengkategorian obat ke
dalam Sistem Klasifikasi Biofarmasetika. Uji dsolusi
tidak berhubungan dengan kesetimbangan namun
kepada kecepatan sehingga diharapkan adanya korelasi
yang lebih besar terhadap disolusi in vivo
dibandingkan dengan menggunakan uji kelarutan. Pada
uji kelarutan, sejumlah obat dikuantifikasi dan
dilakukan pengadukan serta suhu dijaga konstan
hingga larutan menjadi jenuh. Saat penentuan
kelarutan suatu zat perlu adanya penyesuaian karena
adanya kemungkinan terjadinya rekristalisasi yang
mengakibatkan perubahan bentuk kristal, hidrat, dan
pembentukan solvat (Issa dan Ferraz, 2011).
Perubahan pada permukaan material dari obat
yang dikempa selama uji disolusi intrinsik juga dapat
terjadi, seperti konversi bentuk amorf atorvastatin ke
102 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
bentuk kristal atorvastatin, transformasi dari garam
diklofenak ke bentuk asamnya, dan konversi
rifampisim menjadi bentuk polimorfi yang lebih stabil.
Namun, karena kecepatan disolusi intrinsik ditentukan
oleh korelasi antara hasil massa terlarut per satuan luas
dan waktu pengambilan sampel, maka akan
memperoleh profil kurva analisis. Berdasarkan profil
tersebut dimungkinkan untuk melihat dan menentukan
kelarutan sebelum terjadinya transformasi. Uji disolusi
intrinsik juga hanya memerlukan sedikit jumlah obat
saat mengevaluasi kelarutan selama proses
preformulasi (molekuk baru) yang memang hanya
tersedia secara terbatas (Issa dan Ferraz, 2011).
Pengujian untuk parameter kecepatan disolusi
intrinsik diperoleh dengan menggunakan alat tertentu
dimana obat yang telah dikempa dipasang pada alat
dan kemudian dimasukkan ke media disolusi dengan
mempertahankan luas permukaan yang konstan (Issa
dan Ferraz, 2011; Shargel dan Yu, 2016).
Ada dua tipe alat untuk pengujian disolusi
intrisik, yaitu: sistem fixed-disk system dan rotating-
disk system. Karaketristik alat ini yaitu memiliki
rongga untuk menempatkan obat yang telah dikempa.
Selain itu, bentuk geometri dan ukuran permukaan
obat yang nantinya akan dipaparkan ke medium juga
telah diketahui.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 103


Gambar 1. Rotating- disk system (Wood’s apparatus):
(a) detail bagian alat (b) konstruksi alat disolusi (Issa
dan Ferraz, 2011)

Gambar 2. Fixed- disk system: (a) detail bagian alat (b)


konstruksi alat disolusi (Issa dan Ferraz, 2011)

104 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Kecepatan disolusi intrinsik dipengaruhi oleh
beragam faktor internal dan eksternal. Faktor internal
berkaitan dengan sifat obat dalam bentuk padatan,
sedangkan faktor eksternal terkait dengan luas
permukaan, kondisi hidrodinamik, dan komposisi
medium disolusi (viskositas, pH, dan kekuatan ion)
(Issa dan Ferraz, 2011).
Beberapa teori telah digunakan untuk
membangun model matematika yang menggambarkan
disolusi obat dari bentuk sediaan dengan pelepasan
segera dan yang dimodifikasi. Karena disolusi
merupakan proses kinetik, kecepatan disolusi
mencerminkan jumlah obat yang terlarut selama
periode waktu tertentu.
Persamaan singkat dibawah ini digunakan untuk
memahami berbagai faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi dan bagaimana pola disolusi dapat
bervariasi dan pada akhirnya mempengaruhi efikasi
dalam regimen terapi pada pasien. Kecepatan dimana
padatan terlarut didalam solven dirumuskan secara
kuantitatif oleh Noyes-Whitney pada tahun 1897 dan
dielaborasi selanjutnya oleh kolega yang lain.
Persamaan tersebut dapat ditulis:

(1)
atau
(2)

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 105


Keterangan:
M : massa solut yang terlarut pada waktu t
dM/dt : kecepatan disolusi bahan obat (perubahan
massa obat dari waktu ke waktu,
massa/waktu)
D : koefisien difusi (cm2/s)
h : ketebalan lapisan difusi (cm)
S : luas permukaan (cm2)
Cs : Konsentrasi bahan obat saat jenuh (contohnya,
kelarutan termodinamik)
C : konsentrasi bahan obat yang terlarut pada
waktu t
dC/dt : kecepatan disolusi bahan obat (perubahan
konsentrasi obat dari waktu ke waktu)
V : volume larutan

(Issa dan Ferraz, 2011; Martin dan Sinko, 2011).

Persamaan Noyes-Whitney menunjukkan


informasi praktis yang berhubungan dengan proses
disolusi. Persamaan tersebut dapat menggambarkan
hubungan antara kelarutan, difusi, dan kecepatan
disolusi. Berdasarkan persamaan (1), dapat dijelaskan
bahwa kecepatan disolusi meningkat seiring dengan
meningkatnya kelarutan dan luas permukaan. Lebih
jauh, persamaan tersebut dapat memprediksikan :
a. Koefisien difusi, D, yang merupakan bagian yang
berhubungan dengan viskositas solven, maka nilai
ini akan berkurang seiring dengan meningkatnya
viskositas solven sehingga akan mengurangi

106 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


kecepatan disolusi (dM/dT). D berbanding terbalik
terhadap viskositas.
b. Kecepatan disolusi (dM/dT) akan meningkat
dengan ukuran partikel yang lebih kecil karena
luas permukaan (S) meningkat seiring
menurunnya ukuran partikel. Jadi, triturasi,
mikronisasi, ataupun nanonisasi partikel biasanya
akan mempercepat disolusi.
c. Beberapa jenis pengadukan selama proses disolusi
akan mengurangi gradien difusi (h) dengan
menghilangkan solut molekul lebih cepat dari
permukaan partikel, yang akan meningkatkan
kecepatan disolusi.
d. Apabila solut merupakan elektrolit yang
terionisasi atau elektrolit lemah, mengubah pH
solven dapat mempengaruhi konsentrasi
(Cs).Tergantung karakteristik solut dan solven,
perubahan ini dapat Meningkatkan atau
menurunkan Cs, meningkatkan atau menurunkan
gradien konsentrasi, dan meningkatkan atau
menurunkan kecepatan disolusi.
e. Perolehan kecepatan disolusi yang lebih tinggi
dapat menggunakan garam dari zat induk (parent
substance) untuk meningkatkan kelarutan.
Meskipun garam dari obat yang bersifat asam
lemah akan mengendap sebagai asam bebas pada
larutan asam (seperti cairan lambung), namun
ukuran partikel endapan berupa partikel halus
dengan luas permukaan yang besar.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 107


f. Penambahan kosolven dan surfaktan dalam rangka
meningkatkan kelarutan, maka dapat meningkat
pula kecepatan disolusi.

(Allen dkk., 2011; Bergström dkk., 2019; Smith, 2015)

Pada perhitungan kecepatan disolusi intrinsik,


jumlah kumulatif zat terlarut obat pada setiap interval
waktu harus dikoreksi dengan volume sampel yang
diambil untuk analisis. Selanjutnya, grafik dibuat dari
akumulasi jumlah obat terlarut sebagai fungsi waktu,
dan kemudian dilakukan regresi linier. Dengan
perolehan persamaan linier, kecepatan disolusi dalam
satuan massa per waktu diperoleh dari nilai slope
grafik. Nilai ini kemudian dibagi dengan luas
permukaan obat yang dikempa (cm2), maka akan
diperoleh kecepatan disolusi intrinsik dengan satuan
massa/min/cm2 (Issa dan Ferraz, 2011).
Grafik yang diperoleh dari persen obat terlarut
sebagai fungsi waktu bisa saja membentuk
lengkungan. Pada kasus tersebut,hanya daerah linier
awal yang harus dipertimbangkan untuk menghitung
kecepatan disolusi. Bentuk lengkungan positif dapat
menunjukkan adanya masalah selama eksperimen,
sedangkan bentuk lengkungan negatif dapat berkaitan
dengan transisi bentuk kristal pada permukaan obat
yang dikempa atau telah tercapainya titik jenuh pada
media disolusi yang tidak terencana.
Beberapa studi telah dilaporkan bahwa pengujian
kecepatan disolusi intrinsik mampu untuk menentukan
kelas kelarutan di BCS. Yu dan kolega melaporkan
108 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
bahwa nilai disolusi intrinsik yang ditentukan dari
menggunakan Wood’s apparatus dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan senyawa sebagai kelarutan
tinggi atau rendah melalui pengujian dengan kondisi
pH yang berbeda. Hasil klasifikasi cocok dengan
sistem BCS untuk parameter kelarutan berdasarkan
cut-off kecepatan disolusi intrinsik yaitu 0,1
mg/min/cm2. Apabila kecepatan disolusi intrinsik
diatas nilai tersebut, maka senyawa dipertimbangkan
memiliki kelarutan yang tinggi, dan apabila
kecepatannya dibawah nilai cut off tersebut
mengindikasikan bahwa kelaruatan senyawa rendah
(Etherson dkk., 2020; Issa dan Ferraz, 2011; Yu dkk.,
2004). Beberapa obat yang telah dilaporkan memiliki
korelasi yang baik antara pengujian disolusi intrinsik
dengan kelarutan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai disolusi intrinsik dan kategori kelarutan


di BCS dari beberapa obat (Yu dkk., 2004)
Obat Disolusi Intrinsik Kelarutan
(mg/min/cm2)
furosemide 0,50 ± 0,02 Rendah
naproxen 0,26 ± 0,02 Rendah
hydrochlorothiazide 0,11 ± 0,01 Rendah
piroxicam 0,088 ± 0,002 Rendah
ranitidine 43,1 ± 0,1 Tinggi
propranolol 17,8 ± 0,3 Tinggi
atenolol 2,56 ± 0,13 Tinggi

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 109


Pengujian disolusi intrinsik menjadi alternatif untuk
menentukan kelas kelarutan di BCS karena memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan dengan uji
kelarutan (Tabel 2), khususnya yang berkaitan dengan
waktu pengambilan sampel, jumlah bahan, dan
penanganan sampel.

Tabel 2. Kondisi dan faktor yang berkaitan dengan uji


kelarutan dan disolusi intrinsik
(Issa dan Ferraz, 2011)
Kondisi Kelarutan Disolusi Intrinsik
Alat Shaker Dissolution
(Inkubator) equipment
Apparatus Flasks Fixed/rotating
disk
Jumlah material Sejumlah 100-200 mg
tertentu hingga
mencapai
saturasi
Waktu Hingga 72 jam 30 menit-24 jam
pengambilan sampai terjadi sampai garis lurus
sampel saturasi kurva tercapai
Memerlukan Ya Tidak
filtrasi atau
sentrifugasi

3. Sistem Klasifikasi Biofarmasetik


Dalam kebanyakan situasi, hanya obat yang larut
dan dilepaskan dari produk obat akan tersedia
untuk diabsorpsi melalui jaringan intestinal dan
110 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
masuk ke dalam aliran darah. Oleh karena itu,
kecepatan dimana obat larut (dengan kata lain,
kecepatan disolusi) dan kelarutannya menjadi
faktor penting. Permeabilitas adalah ukuran
seberapa cepat suatu obat dapat menembus suatu
jaringan seperti mukosa intestinal dan muncul di
bagian sisi lain (misalnya, darah). Dengan
demikan, obat harus larut dan permeabel agar
terjadi absorpsi. Untuk mengklasifikasikan obat
menurut dua faktor penting ini, maka Sistem
Klasifikasi Biofarmasetik (Biopharmaceutical
Classification System, BCS) diajukan.
BCS dikembangkan untuk membantu
mengevaluasi zat aktif, misalnya memprediksi
perilaku obat dalam kondisi in vivo hingga
membantu badan regulasi yang mengatur approval
obat baru dan registrasi produk industri farmasi.
Tujuan utama BCS adalah menciptakan alat
regulasi untuk menggantikan beberapa uji
bioekivalen seperti menggunakan uji disolusi in
vitro sebagai pengganti, sehingga akan
mengurangi biaya dan waktu selama proses
pengembangan obat-obatan. Dengan demikian,
tidak diperlukan pengujian ke manusia sebagai
subjek uji dalam studi in vivo. Saat ini, BCS
digunakan sebagai biowaiver untuk uji bioekivalen
klinis yang ditujukkan untuk sediaan oral terutama
yang immediate-release, namun untuk sediaan
yang pelepasannya termodifikasi masih dalam
pertimbangan (Issa dan Ferraz, 2011; Martin dan
Sinko, 2011).
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 111
Tabel 1. Sistem Klasifikasi Biofarmasetika
(Martinez dan Amidon, 2002)
Kelarutan Baik Kelarutan Buruk

Permeabilitas Kelas I Kelas II


Baik Senyawa dapat Kecepatan disolusi
diabsorbsi merupakan rate-
dengan sangat limiting step dalam
baik proses absorbsi
Permeabilitas Kelas III Kelas IV
Buruk Permeabilitas Bioavailabilitas
merupakan oral rendah
rate-limiting
step dalam
proses absorbsi
Pada tabel 1, obat dikelompokkan menjadi empat kelas
berdasarkan kelarutan (dosis tertinggi dilarutkan dalam
250 mL air pada pH 1-6,8) dan permeabilitas (>85%
dosis terlarut yang terabsorbsi).
Masing-masing kelas memiliki karakteristik khusus.
a. Kelas I
Obat-obatan di kelas ini memiliki permeabilitas
yang baik (lebih dari 90% diserap), kecuali jika
obat tersebut tidak stabil di saluran cerna atau
mengalami metabolisme lintas pertama (first-pass
metabolism). Obat-obatan di kelas ini juga
memiliki kelarutan yang baik, sehingga limiting
factor pada proses absorbsi adalah waktu
pengosongan lambung. Bentuk sediaan padat
(immediate release) yang termasuk dalam kelas ini

112 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


merupakan kandidat potensial untuk biowaiver
dalam studi bioekivalensi.

b. Kelas II
Banyak senyawa obat yang diidentifikasi termasuk
dalam kelas ini, dengan perkiraan mulai dari 50-
60% hingga 90%. Pada kelas ini, obat-obatan
memiliki permeabilitas yang baik, namun
kelarutannya buruk.Oleh karena itu, disolusi
menjadi limiting factor pada proses absorbsi. Cara
yang dapat menjadi pilihan untuk memperbaiki
disolusi antara lain memodifikasi formula dengan
baik atau menggunakan teknik pembuatan khusus
seperti kompleksasi dengan siklodekstrin atau
dilakukan pengurangan ukuran partikel. Dengan
demikian, memungkinkan bioavailabilitas oral
menjadi meningkat.

c. Kelas III
Kelas ini terdiri dari obat-obatan yang memiliki
kelarutan baik, namun permeabilitas buruk.
Permeabilitas menjadi limiting factor dalam hal
ini. Obat yang termasuk dalam kelas ini sangat
penting untuk memaksimalkan waktu kontak
dengan lapisan intestinal. Proses absorbsi memang
sangat mungkin dipengaruhi oleh variabel
fisiologis, seperti waktu tinggal obat di intestinal
dan isi luminal.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 113


d. Kelas IV
Kelas ini merupakan kelas yang paling menantang
untuk peneliti karena obat ini memiliki masalah
bioavailabilitas oral akibat kelarutan dan
permeabilitas yang buruk.
(Bergström dkk., 2019; Martin dan Sinko, 2011)

Namun, telah diidentifikasi beberapa ketebatasan


penting dari BCS, yaitu:
a. Lebih menekankan proses disolusi di
kompartemen lambung. Senyawa dengan disolusi
terbatas di lambung namun disolusi sempurna
terjadi di usus halus (dimana mayoritas absorbsi
terjadi), bisa saja didefinisikan sebagai senyawa
dengan kelarutan yang buruk dan oleh karenanya
dikategorikan sebagai senyawa yang absorbsinya
terbatas karena kelarutannya.
b. Ketidakcocokan antara kapasitas buffer in vitro
dan in vivo. Kapasitas buffer dari buffer umum
dan medium yang biasa digunakan untuk disolusi
lebih tinggi daripada kapasitas buffer yang diamati
in vivo.
c. Kurangnya bile components( garam empedu,
fosfolipid, lipid, kolesterol) dalam media disolusi
BCS yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa
solubilisasi senyawa yang memiliki sifat lipofilik
tinggi terhadap bile components di cairan
intestinal menjadi tidak diperhatikan. Umumnya,
efek ini diperkirakan terjadi signifikan untuk
senyawa dengan koefisien partisi log P>3.

114 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Metode dalam penentuan kelarutan obat dan
permeabilitas

Kelarutan
Evaluasi kelarutan suatu obat untuk sistem
klasifikasi biofarmasetik didasarkan pada penentuan
kesetimbangan di bawah kondisi pH fisiologis. FDA
(Food and Drug Administration) menyarankan agar tes
dilakukan pada suhu 37 ± 1 ° C dalam media berair,
memvariasikan pH dari 1 sampai 7,5. Metode
kelarutan fase (phase-solubility method) adalah yang
paling direkomendasikan, meskipun mungkin
digantikan dengan metode lain (misalnya, titrasi)
selama mampu menggambarkan kesetimbangan
kelarutan obat.

Permeabilitas
Ada berbagai metode yang dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan obat menurut permeabilitas,
dan beberapa di antaranya melibatkan parameter
farmakokinetik pada manusia dan penentuan
permeabilitas saluran gastrointestinal.
Menurut FDA, ada beberapa metode untuk
mempelajari parameter farmakokinetik, antara lain:
studi kesetimbangan massa menggunakan isotop stabil
atau zat marker dan studi tentang bioavailabilitas
absolut, dengan membandingkan absorbsi dari obat
yang dievaluasi dengan absorbsi dari obat referensi.
Sedangkan untuk mengevaluasi permeabilitas
instestinal, antara lain:
a. studi perfusi intestinal di manusia
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 115
b. studi perfusi intestinal in situ atau in vivo pada
hewan
c. studi permeasi in vitro pada jaringan intestinal
yang berasal dari manusia atau hewan, dan
d. studi permeasi in vitro pada sel epitel monolayer.

Meskipun studi farmakokinetik pada manusia


merupakan metode utama untuk menentukan
permeabilitas, penggunaannya dalam tahap
pengembangan tidak mudah, terutama karena adanya
tingkat variabilitas yang tinggi, diperlukan
pengadministrasian obat ke subjek uji, serta
membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu, studi
permeabilitas intestinal menjadi alternatif yang
menarik.
Teknik in vitro menggunakan kultur sel telah
banyak diselidiki dalam beberapa tahun terakhir. Di
antara jenis sel, sel Caco-2 adalah sel yang paling
banyak digunakan karena kesamaannya dengan sel
intestinal dan memiliki kapasitas dalam ekspresi
transporter dan enzim intestinal.
Sistem Klasifikasi Biofarmasetik telah menjadi
fokus beberapa studi dan diskusi di komunitas ilmiah.
Beberapa saran telah diajukan dalam upaya untuk
membuat pengklasifikasian menjadi lebih longgar dan
dapat diaplikasikan dalam studi yang lebih luas.
Terkait kelarutan, telah disarankan pengubahan
evaluasi pH yang awalnya berada pada rentang dari
1,0-7,5 berubah menjadi 1,0-6,8. Hal ini mengingat
bahwa pH 7,5 berarti menggambarkan daerah ileum
dimana obat yang tiba dalam kondisi sudah larut.
116 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
Selain itu, disarankan pula perubahan pada volume
medium yang awalnya dari 250 mL menjadi 500 mL,
yang merupakan angka rata-rata karena volume
intestinal bervariasi dari 50 hingga 1100 mL.
Perubahan nilai permeabilitas dari 90% menjadi
85% telah disarankan untuk pengkategorian obat
dengan permeabilitas tinggi. Hal ini dikarenakan
setelah melalui evaluasi obat yang berbeda-beda, obat
tersebut dipertimbangkan memiliki absorbsi yang
tinggi, namun fraksi dosis yang terserap dibuktikan
kurang dari 90% yang telah ditentukan secara
eksperimental.
Selain saran-saran diatas, metode baru untuk
mengklasifikasi senyawa telah diajukan, seperti uji
disolusi intrinsik untuk mengevaluasi kelarutan dan
penggunaan sel baru dan tipe membran tertentu untuk
mengevaluasi permeabilitas intestinal, serta
penggunaan metode komputasi atau metode in silico.
Meskipun saran-saran tersebut telah menjadi subjek
dari banyak diskusi di antara para peneliti, FDA masih
menganggap sistem seperti yang awalnya diusulkan,
sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah
menyetujui kriteria evaluasi baru (Issa dan Ferraz,
2011).

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 117


Referensi:
Allen, L.V., Popovich, N.G., dan Ansel, H.C., 2011.
Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and Drug
Delivery Systems, 9th ed. Lippincott Williams &
Wilkins.
Bergström, C.A.S., Box, K., Holm, R., Matthews, W.,
McAllister, M., Müllertz, A., dkk., 2019.
Biorelevant intrinsic dissolution profiling in
early drug development: Fundamental,
methodological, and industrial aspects. European
Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics,
139: 101–114.
Etherson, K., Dunn, C., Matthews, W., Pamelund, H.,
Barragat, C., Sanderson, N., dkk., 2020. An
interlaboratory investigation of intrinsic
dissolution rate determination using surface
dissolution. European Journal of Pharmaceutics
and Biopharmaceutics, 150: 24–32.
Issa, M.G. dan Ferraz, H.G., 2011. Intrinsic
Dissolution as a Tool for Evaluating Drug
Solubility in Accordance with the
Biopharmaceutics Classification System.
Dissolution Technologies, 18: 6–13.
Martin, A.N. dan Sinko, P.J., 2011. Martin’s Physical
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences: Physical
Chemical and Biopharmaceutical Principles in
the Pharmaceutical Sciences. Lippincott
Williams & Wilkins.
Martinez, M.N. dan Amidon, G.L., 2002. A
Mechanistic Approach to Understanding the
Factors Affecting Drug Absorption: A Review of
118 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
Fundamentals. The Journal of Clinical
Pharmacology, 42: 620–643.
Shargel, L. dan Yu, A.B.C., 2016. Applied
Biopharmaceutics & Pharmacokinetics, 7th ed.
McGraw-Hill Education, United States.
Smith, 2015. Remington Education: Physical
Pharmacy, 1st ed. Pharmaceutical Press.
Yu, L.X., Carlin, A.S., Amidon, G.L., dan Hussain,
A.S., 2004. Feasibility studies of utilizing disk
intrinsic dissolution rate to classify drugs.
International Journal of Pharmaceutics, 270:
221–227.
Zakeri-Milani, P., Barzegar-Jalali, M., Azimi, M., dan
Valizadeh, H., 2009. Biopharmaceutical
classification of drugs using intrinsic dissolution
rate (IDR) and rat intestinal permeability.
European Journal of Pharmaceutics and
Biopharmaceutics, 73: 102–106.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 119


TOPIK 9: Suplemen Teori Dasar
Studi Absorpsi In Vitro

Kulit merupakan organ yang terbesar di dalam


tubuh kita. Terhitung berat kulit adalah 10% dari berat
total body mass. Secara umum, fungsi kulit dibagi
dalam beberapa aspek:
1. Fungsi protektif
Kulit memiliki fungsi sebagai barrier melindungi
manusia dari perubahan temperature, kelembaban,
dan bahaya lingkungan seperti zat beracun,
bakteri, allergen, jamur, benda benda tajam dan
radiasi.
2. Menjaga homeostasis tubuh
Dalam menjaga homeostasis, kulit berperan dalam
menjaga suhu tubuh, mengontrol tekanan darah
dan mengontrol system sekresi kelenjar kelenjar
yang ada di kulit.
3. Fungsi panca indra
Kulit berfungsi sebagai indra perasa yang dapat
Mendeteksi tekanan, nyeri (pain) dan sensasi
panas.
Saat ini studi absorpsi obat atau senyawa melewati
kulit menjadi sangat populer untuk beberapa aspek
aplikasi antara lain:
1. Sistem penghantaran obat secara transdermal
2. Assessment zat aktif dan zat tambahan pada
produk kosmetik
120 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
3. Studi toksikologi lingkungan

A. Studi absorpsi in vitro dalam penghantaran obat


secara transdermal.
Kulit merupakan organ yang potensial
dikembangkan menjadi lokasi absorpsi obat degan
beberapa alasan:
1. Absorpsi melalui kulit dapat menghindari
keterbatasan waktu absorpsi di saluran
pencernaan akibat waktu pengosongan lambung
dan gerak peristaltik usus.
2. Menghindari efek perubahan pH lingkungan
seperti yang terjadi di saluran pencernaan. Pada
lambung, pH lingkungan cenderung asam
sedangkan pada usus, pH lingkungan
cenderung netral ke sedikit basa.
3. Menghindari adanya first pass effect akibat
metabolisme obat oleh hati. Setelah diserap
oleh usus halus, obat memasuki mesenteric vein
dan dihantarkan ke hati. Dalam organ ini, obat
mengalami proses metabolism sehingga
sebagian obat mengalami perubahan struktur
molekul. Perubahan struktur molekul, kadang
kala tidak menyebabkan perubahan aktivitas
obat. Namun banyak juga yang merubah obat
menjadi tidak aktif atau bahkan menyebabkan
obat memasuki fase eliminasi karena reaksi
konjugasi yang dialimi selama proses
metabolisme.
4. Aplikasi obat melalui kulit memudahkan dalam
hal pengentian penghantaran obat.
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 121
5. Penghentian penghantaran obat pada
transdermal delivery sangat memungkinkan
dengan cara melepaskan sediaan obat (patch)
atau misalkan dengan menghapus olesan
salep/gel yang sebelumnya telah diaplikasikan.

Walaupun kulit memiliki potensi besar dan


memberikan berbagai macam kelebihan sebagai site
absorpsi obat, penghantaran transdermal memiliki
banyak beberapa tantangan dan keterbatasan antara
lain:
1. Adanya variasi permeabilitas kulit pada lokasi
kulit yang berbeda (misalkan permeabilitas kulit di
punggung berbeda dengan di belakang telinga dan
berbeda dengan kulit paha).
2. Adanya perubahan permeabilitas kulit oleh adanya
penyakit. Penyakit kulit seperti ichythiosis,
psoariasis, atopic dermatitis, allergenic contact
dermatisit meningkatkan permeabilitas kulit secara
bervariasi dibandingkan kulit normal.
3. Perubahan permeabilitas kulit oleh usia
Kulit pada bayi, orang dewasa dan manula
memiliki tangkat permeabilitas yang berbeda
beda. Namun demikian ada beberapa senyawa
seperti testosterone, estradiol, hidrokortison,
kafein dan nikotin yang kecepatan absorpsinya
melalui kulit tidak dipengaruhi oleh usia.
4. Kulit memiliki enzim-enzim yang dapat
melakukan metabolism terhadap obat yang
berpenetrasi

122 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


5. Kulit dapat bersifat sebagai reservoir obat akibat
sifat lipofilisitas dari stratum korneum. Hal ini
menyebabkan obat obat lipofilik dapat tertahan
dan terakumulasi pada statum korneum. Terkait
sifat reservoir dari stratum korneum, penghentian
aplikasi sediaan transdermal tidak akan serta merta
menghentikan input obat ke sirkulasi sistemik
karena masih adanya supply obat di dalam
reservoir stratum korneum.
6. Kemungkinan adanya iritasi pada kulit apabila
produk transdermal diaplikasikan dalam waktu
yang lama.
7. Pada sediaan transdermal, definisi bioekivalensi
obat dapat dikatakan sukar untuk dideterminasikan
karena variabilitas dari subjek maupun lokasi
aplikasi produk.
Pengembangan bentuk sediaan dengan
penghantaran secara transdermal tidak lepas dari studi
absorpsi perkutan. Studi ini dilakukan untuk
mengetahui kecepatan obat menembus kulit dan
memasuki sirkulasi sistemik. Data dari uji absorpsi
perkutan dapat dimanfaatkan untuk mennghitung luas
patch transdermal yang diperlukan untuk mencapai
minimum effect concentratrion. Dalam studi absorpsi
secara perkutan, ada beberapa hal yang umumnya
dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan pola
absorpsi obat menembus kulit, antara lain dengan cara
mengidentifikasi jumlah obat yang masuk ke dalam
kulit secara in vivo. Hal ini dapat dilakukan dengan
berbagai metode misalkan:

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 123


- Melakukan analisis obat/metabolitnya di dalam
darah atau di urine pasca aplikasi sediaan
transdermal.
- Melakukan analisis obat/metabolit pada target
tissue. Hal ini dapat dilakukan dengan cara biopsy
atau microdialysis.
- Melakukan analisis obat pada stratum corneum
dengan cara melakukan tape stripping
- Menganalisis sisa obat yang ada di dalam sediaan
transdermal untuk menentukan jumlah obat yang
berpindah ke kulit.
Selain penentuan kadar obat di dalam system in
vivo, studi penetrasi obat juga dapat dilakukan dengan
mengukur response farmakodinamik pasca aplikasi
sediaan transdermal. Sebagai contoh apabila kita
menghantarkan agonis dopamine melalui penghantaran
transdermal, kita dapat mengukut kadar dopamine di
dalam otak. Hal lain yang dapat dilakukan misalnya
dengan cara melakukan uji klinik pada manusia.
Pelaksanaan uji klinik pada manusia tentunya
telah melewati beberapa tahap antara lain studi
absorpsi in vivo pada hewan coba maupun studi
absorpsi in vitro melibatkan kulit dari cadaver manusia
maupun membrane kulit hewan coba. Terlepas dari
penggunaan kulit cadaver manusia maupun hewan
coba, saat ini, peneliti telah mengembangkan
membrane kulit buatan dengan structure khusus yang
dapat digunakan untuk memprediksi kemampuan
sebuah senyawa untuk melakukan permeasi perkutan.
Tak kalah menarik, membrane kulit buatan saat ini
telah banyak dikembangkan lab lab biomolekuler yang
124 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
membuat stratum corneum dan laposan dermis dengan
cara kultur sel fibroblast dan beberapa matriks
ekstrasellular.
Beberapa senyawa aktif obat dan kosmetik
walaupun ditujukan untuk terapi topical, kadang kala
memiliki kemampuan untuk berpenetrasi menembus
stratum korneum. Hal ini dapat ditemui pada beberapa
obat seperti:
1. Sediaan topical kloramfenikol.

2. Klindamisin. Klindamisin merupakan obat


jerawat. Namun demikian sebanyak 5%
klindamisin yang diaplikasikan dapat diabsorpsi
secara sistemik. Namun demikian, seberapa besar
tingkat absorpsinya sangat tergantung zat zat
pembawa yang digunakan pada formula produk
tersebut.

3. Gentamycin
Beberapa laporan menyebutkan efek tinnitus pasca
penggunaan krim gentamycin sulfat 0.1%.
Gemtamycin sendiri pada pemberian oral memiliki
efek ototoxicity seperti penurunan kemampuan
mendengar mulai tingkat ringan hingga berat.

4. Neomycin.
Nemomycin memiliki efek samping berupa
ototoxicity. Efek ototoxicity ini dilaporkan pada
pemakaian neomicyn dalam bentuk sediaan tetes
telingan dan irigasi pada luka.
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 125
5. Senyawa antihistamin promethazine
Laporan menyebutkan adanya penetrasi sistemik
terhadap promethazine yang diaplikasikan pada
krim. Krim promethazine ini ditujukan untuk
mengatasi eczema pada bayi. Namun demikian
efek samping promethazine pasca aplikasi krim
eczema ditemui pada bayi seperti disorientasi dan
halusinasi.

6. Senyawa antibakteri seperti asam borat dan


povidone iodine. Penggunaan asam borat sebagai
antibakteri saat ini sudah berkurang sehingga
laporan toksisitas sistemiknya tidak banyak
ditemukan. Untuk povidone iodine, toksisitas
systemic ditemui pada aplikasi di area luka yang
luas.

7. Senyawa fenol
Senyawa fenol pada konsentrasi 0.5-2.0% masih
seringkali diresepkan untuk tujuan antipruritic
dalam sediaan topical. Selain itu fenol kadang
digunakan pada sediaan kosmetik untuk tujuan
peeling wajah. Pemakaian fenol memicu adanya
ochronisis.

8. Resorsinol
Senyawa resorsinol bersifar keratolitik dan
digunakan pada pengobatan jerawat. Walaupun
ditujukan untuk terapi topical, resorsinol dapat
berpenetrasi dan memasuki sirkulasi sistemik.
126 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
Selanjutnya, senyawa ini memiliki aktivitas
antitiroid dan menyebabkan anemia. Kasus
keracunan resorsinol sering kali ditemukan pada
bayi yang menggunakan salep resorsinol.

9. Camphor
Champor sering kali ditambahkan pada sediaan
kream atau gel dan memberikan efek dingin ketika
digunakan. Pada sediaan krim untuk terapi dada
sesak atau demam, camphor acap kali
ditambahkan pada konsentrasi 1-20%. Studi
menyebutkan, aplikasi topical camphor dapat
menyebabkan penetrasi ke dalam kulit.

10. Senyawa local anestesia benzokain


Aplikasi benzokain secara topical pada bayi dapat
menyebabkan methemoglobinemia.
11. Lindane
Senyawa lindane digunakan sebagai terapi topical
pada penyakit scabies dan pediculosis (kutu)
dengan konsentrasi 1%. Setelah aplikasi,
larutan/krim dibiarkan menempel selama 24 jam.
Laporan menunjukan potensi toksisitas lindane
yang terabsoprsi secara sistemik terhadap CNS.
Namun para ahli menyataka bahwa resiko tersebut
kecil dibandingkan dengan manfaat.
12. Malation
Malation pada konsentrasi 0.5% sering kali
diaplikasikan di rambut untuk pembasmi kutu

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 127


rambut. Studi menyebutkan kejadian toksisitas
malation topical pada konsentrasi 50%.
13. Asam salisitat
Asam salisitat dipakai sebagai senyawa keratolytic
pada penyakit psoariasis. Beberapa kasus
toksisitas asam salisilat topical terjadi ketika
salep/krim diaplikasikan pada area yang luas dan
dilakukan secara berulang pada bayi dan anak
anak di kasus psoariasis. Hal ini menyebabkan
tingginya kadar asam salisilat di dalam darah.
Beberapa artikel melaporkan kematian akibat
penetrasi asam salisilat ke dalam sirkulasi
sistemik. Selain pada psoariasis, kematian yang
berkaitan dengan asam salisilat topical ditemui
pada kasus scabies (5 kasus), dermatitis (3 kasus),
lupus vulgaris (1 kasus) yang kesemuanya terjadi
pada anak anak.
14. Kortikosteroid
Aplikasi kortikosteroid topical memungkinkan
adanya porsi obat yang terserap dalam sirkulasi
sistemik. Toksisitas kortikosteroid topical ditemui
pada bayi dan pasien yang memiliki penurunan
fungsi hati. Seberapa banyak jumlah pajanan yang
dikatakan aman sukar untuk ditentukan. Namun
hingga saat ini senyawa kortikosteroid poten
klobestol-17-propionate direkomendasikan aman
pada dosis 45gram/minggu.

128 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


15. Estrogen
Sebagai hormone, terkadang estrogen
diaplikasikan untuk tujuan topical. Sebagai contoh
adalah sediaan estrogen topical untuk terapi
kebotakan. Dilaporkan bahwa seorang laki laki
yang mengaplikasikan estrogen ke permukaan
kepala mengalami efek pembesaran payurada dan
pigmentasi pada area areola. Di laporan lain
dikatakan bahwa anak anak yang menggunakan
lotion yang mengandung estrogen mengalami efek
samping berupa percepatan tanda tanda pubertas
sebelum waktunya. Hal ini disebabkan oleh sifat
fisik estrogen yang larut minyak dan mudah
menembus stratum corneum. Berdasarkan uraian
di atas, maka assessment absorpsi obat secara
topical perlu dilakukan untuk memastikan
keamanan dari sebuah sediaan topical agar tidak
memberikan toksisitas ketika senyawa tersebut
terabsorpsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh
oleh pembuluh darah. Hal yang sama perlu
dilakuan kepada polutan dan cemaran cemaran
lingkungan agar diperoleh data seberapa banyak
akumulasi senyawa polutan di dalam kulit dan
potensi disposisinya di peredaran darah. Di sisi
lain, untuk obat obat yang dihantarkan secara
transdermal, assessment penetrasi obat menembus
kulit dibutuhkan untuk menentukan kecepatan
absorpsi obat dan memprediksi kadar tunak obat
dalam darah serta efikasi sebuah sediaan obat.
Dalam melakukan studi absorpsi in vitro ada
beberapa alat alat yang dapat digunakan:
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 129
 Alat difusi side to side
 Alat difusi model Granz
 Alat difusi model flow through
 Transwell insert untuk kultur sel

Membrane yang digunakan pada studi absorpsi


dapat berupa kulit manusia atau hewan dalam kondisi
viable atau non-viable. Di samping itu kulit manusia
atau hewan tersebut dapat juga berupa full thickness
atau preparate lapisan kulit dengan ketebalan tertentu.
Pada umumnya dipilih dengan ketebalan 200-500µm.
Untuk menjaga kondisi sink di sisi acceptor,
terkadang percobaan absorpsi obat in vitro melibatkan
penambahan bovine serum albumin (BSA), surfaktan
atau solubilizer untuk meningkatkan kelarutan
senyawa lipofilik di sisi aseptor. Adapun peningkat
kelarutan yang umum dipakai adalah surfaktan,
organic solvent atau BSA. Kehati hatian perlu
dilakukan ketika menggunakan surfaktan atau organic
solvent di sisi acceptor karena kedua senyawa ini dapat
pula merubah integritas membrane kulit. Pada protocol
yang mempersyaratkan viable human or viable animal
skin, larutan dapar fisiologis digunakan untuk menjaga
viabilitas kulit minimal selama 24 jam.

A. Desain sel difusi


Diffusion cell (sel difusi) sebagai alat uji absorpsi
perkutan menjadi salah satu pilihan utama
dibandingkan dengan uji klinik pada mausia
maupun uji difusi menggunakan transwell insert.

130 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


Hal ini disebabkan oleh kemudahan scientist
dalam mengontrol kondisi difusi dibandingkan
menggunakan pendekatan yang lain. Seperti pada
bab sebelumnya, digambarkan bahwa diffusion
cell memiliki dua compartment yaitu compartment
donor dan compartment acceptor. Alat yang
digunakan untuk pembuatan sel difusi hendaknya
bersifat inert. Umumnya peneliti menggunakan
kaca. Namun ada juga yang memanfaatkan tedlon
maupun stainless steel. Kompartment aseptor
harus dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi
proses mixing yang optimal. Konsentrasi obat di
dekat membrane kulit harus sama dengan
konsentrasi obat di setiap titik sampling. Selain
itu, compartment aseptor harus memiliki tempat
sampling yang mudah dijangkau. Tempat
sampling ini diharapkan menjadi lokasi tempat
pengembalian medium aseptor setiap kali
sampling selesai dilakukan. Hal lain yang penting
dalam desain compartment aseptor adalah
pengadukan yang dilakukan untuk menjaga
homogenitas tidak boleh menyebabkan timbulnya
gelembung udara. Gelembung udara yang
menempel pada sisi kulit dapat menurunkan luas
area kontak. Sel difusi tipe Franz atau model side
to side umumnya memiliki volume aseptor
sebanyak 2-10 ml. Sedangkan luas area kontak
bervariatif mulai dari 0.2-2 cm2. Ketika membuat
sel sendiri, dimensi dari aseptor dan luas area
kontak harus dilakukan dengan teliti karena
nantinya terlibat dalam perhitungan flux. Hal
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 131
kritikal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
studi absorpsi perkutan dengan alat difusi model
Franz antara lain:
 Apabila pada donor larutan lewat jenuh atau
tepat jenuh digunakan, maka tidak diijinkan
apabila ada padatan/partikel yang mengendap
di kulit. Utamanya ketika alat difusi ini berupa
model vertical. Adanya penempelan padatan di
permukaan membrane akan mengurangi luas
kontak sehingga nilai flux tidak dapat
diprediksi dengan akurat. Alat difusi model
Franz juga dapat dimodifikasi sehingga
absorpsi dari senyawa dalam bentuk gas
(volatile substance) dapat dilakukan.
Kompartment donor pada sel difusi model
Franz dapat dimodifikasi menjadi cekung
seperti model leher angsa sehingga padatan
atau cairan yang mudah menguap dapat
ditempatkan di cekungan. Dengan demikian
hanya fase gas saja yang kontak dengan
membran. Sel difusi model Franz juga
memungkinkan peneliti melakukan uji difusi
untuk sediaan semisolid. Bagian compartment
donor dapat ditutup rapat atau dibiarkan
terbuka tergantung tujuan masing masing uji.
Apabila donor berupa cairan, umumnya
compartment donor ditutup untuk menghindari
penguapan dan perubahan kadar donor. Secara
garis besar, apabila kita membuat sel difusi
model Franz sendiri maka ada beberepa kriteria
yang harus kita perhatikan antara lain:
132 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
1. Bahan harus inert
2. Alat harus robust dan mudah dalam
penanganan
3. Memungkinkan menggunaan membrane
dengan berbagai macam ketebalan
4. Memungkinkan adanya proses mixing
yang sempurna di compartment acceptor.
5. Sel difusi harus memastikan kontak
langsung antara membrane dengan cairan
acceptor
6. Proses difusi harus dapat dijaga pada
tempertur tertentu
7. Volume acceptor dan luas area kontak
harus valid dan terkalibrasi
8. Sel yang digunakan memungkinkan
integritas membrane dapat terjaga
9. Mudah dalam sampling maupun proses
pengembalian cairan acceptor
10. Harga terjangkau

B. Kompartment acceptor dan mediumnya


Volume compartment acceptor harus dirancang
sedemikian rupa agar kondisi sink dapat
dipertahankan seiring semakin banyaknya obat
yang memasuki compartment ini. Di sisi lain, hal
yang perlu diperhatikan adalah volume
compartment aseptor tidak boleh terlalu besar
karena dapat menyulitkan dalam analisis
konsentrasi analit. Dengan volume compartment
acceptor yang besar maka otomatis kadar analit
menjadi kecil. Peneliti harus mempertimbangkan
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 133
apakah metode analisis yang dimiliki mampu
mendeteksi konsentrasi kecil. Secara garis besar,
jumlah analit yang masuk ke medium aseptor tidak
boleh melebihi 10% dari kelarutan jenuhnya
(kondisi sink). Apabila konsentrasi analit yang
tertranspor di compartment acceptor melebihi nilai
tersebut, maka kecepatan transport obat
menembus sel juga akan terpengaruh, dalam hal
ini berkurang. PBS pH 7.4 umumnya dipakai
sebagai medium di compartment acceptor. Namun
demikian, adanya dapar/buffer pada medium
acceptor akan memperkecil kelarutan senyawa
senyawa yanag sukar larut. Terlebih ketika dapat
tersebut memiliki kapasitas dapar yang tinggi atau
konsentrasi dapar yang besar. Obat atau senyawa
dengan kelarutan kurang dari 10 µg/ml disarankan
untuk menggunakan aquadest/air daripada PBS
untuk menjaga kemampuan medium aseptor
melarutkan obat yang berdifusi. Selain itu,
medium aseptor perlu ditambah dengan
solubilizer. Terkadang, pengawet/preservatives
juga ditambahkan di medium aseptor untuk
mencegah tumbuhnya bakteri terlebih ketika kita
menggunakan membrane kulit manusia atau
hewan. Selain PBS pH 7.4, ada beberapa contoh
medium compartment acceptor termodifikasi yang
digunakan adalah:
1. 1.5-20% Volpo N20 (senyawa non-ionic
surfaktan, polyethylene glycol-20-oleyl ether)
2. Serum kelinci
3. 3% BSA
134 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
4. 50% larutan ethanol
5. 1.5-6% Triton X-100
6. 6% Poloxamer 188

Pada senyawa yang sangat lipofilik seperti


pestisida, medium di compartment acceptor dapat
diganti menjadi medium non air seperti misalkan
lembaran lembaran karet. Sedangkan pada uji
difusi senyawa yang berada pada fase gas,
medium acceptor juga dapat berupa gas yang
mengalir (flow through).

C. Membrane kulit
Kulit hewan sering kali digunakan dalam studi uji
absorpsi perkutan secara in vitro. Hal ini
dilatarbelakangi oleh sulitnya mendapatkan kulit
manusia. Penggunaan kulit manusia sulit
divalidasi dari sisi lokasi specimen kulit diambil.
Ketika percobaan satu menggunakan kulit
punggung dan percobaan lain menggunakan kulit
paha kemungkinan akan menunjukan nilai flux
yang berbeda. Demikian juga apabil kulit diambil
dari laki laki atau perempuan. Hal yang lain adalah
umur dari donor. Apakah pasien yang
mendonorkan kulit adalah anak anak, dewasa atau
manula. Perbedaan perbedaan yang sulit dikontrol
inilah yang menyebabkan uji studi absorpsi
perkutan yang menggunakan kulit manusia
sebagai membrane menemui banyak tantangan.
Ketika kulit manusia akhirnya dipilih
menggantikan kulit hewan, ada beberapa jenis
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 135
pilihan dalam melakukan preparasi membrane
kulit:
1. Kulit manusia utuh
Praparat ini meliputi lapisan stratum corneum,
epidermis dan dermis

2. Dermatomed skin
Preparate kulit dermatomed menghilangkan
dermis bagian bawah

3. Epidermal membrane
Preparate ini terdiri atas epidermis dan
stratum korneum. Epidermal membrane
dipisahkan dari lapisan dermis dengan metode
panas.

4. Stratum corneum
Penyiapan stratum korneum dan
pemisahannya dari lapisan kulit melibatkan
penggunaan enzyme. Membrane ini sangat
tipis sehingga mudah sobek. Terlebih ketika
digunakan pada uji difusi menggunaan alat
vertikal. Kemungkinan membrane stratum
coruem tidak dapat menahan beban larutan
atau sediaan cair semi padat yang ada di
kompartment donor. Dari keempat jenis
preparat kulit, senyawa lipofilik sebaiknya
tidak menggunakan preparate full thickess
skin melainkan menggunakan dermatomed
skin, epidermal membrane atau stratum
corneumnya saja. Pada system in vitro,
136 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
lingkungan dermis yang bersifat aqueous
dapat menghambat difusi dari senyawa
lipofilik. Dengan demikian, full thinkness skin
tidak disarankan digunakan dalam studi in
vitro absorpsi perkutan.

D. Aplikasi sample/permeant
Pada dasarnya jika uji penetrasi kulit digunakan
untuk melakukan asesmen resiko terkait formula
kosmetik atau pestisida (agrochemical), maka
sample harus berupa produk dari kosmetik atau
agrochemical tersebut dengan range dosis yang
menyerupai penggunaan sehari hati.
Aplikasi permeant di fase donor dibedakan atas
dua cara:
1. Dosis infinit (tak terhingga)
Pada metode ini, dosis yang dipakai di
compartment donor terbilang cukup besar
sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan
konsentrasi donor dapat diabaikan. Hal ini
dilakukan terutama pada percobaan yang
bertujuan untuk menentukan koefisien
permeabilitas dan mekanisme transport.

2. Dosis finite (tertentu)


Pada model ini, dosis yang digunakan adalah
serupa dengan yang biasa diaplikasikan dalam
l kehidupan sehari hari oleh pasien atau
konsumen. Metode ini juga memungkinkan
adanya skenario apabila konsumen atau
pasien melakukan pencucian terharap
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 137
permukaan kontak dan peneliti ingin
mengetahui sejauh mana seyawa dapat
memasuki kulit pasca pencucian pada level
tertentu. Beberapa guideline seperti FDA dan
AAPS menyarankan jumlah sampel di
kopartment donor sebesar 5 µL/cm3 untuk
sampel cair atau 5 mg/cm3 untuk sediaan
semisolid.
E. Penggunaan permeant yang ber-radio label
Senyawa dengan radiolabel memberikan
kemudahan dalam hal proses analisis sample.
Senyawa radiolabel harus mendapatkan
pencampuran yang homogen dengan senyawa non
radiolabel. Selain itu senyawa radiolabel harus
ditambahkan pada stage yang sama seperti
senyawa non radiolabel ketika proses
manufacturing. Ketika yang dianalisis adalah
produk yang sudah beredar di pasar, maka
pencampuran senyawa radiolabel pada proses
manufacturing tidak dimungkinkan. Dengan
demikian, metode spike dapat dilakukan asalkan
senyawa label dipastikan bercampur secara
homogen dalam produk.

F. Durasi eksperimen, ukuran sample, jumlah


repikasi, temperature dan integritas kulit.
Guideline dan beberapa studi meyarankan studi
difusi dilakukan dalam waktu 24-48 jam untuk
menjaga integritas kulit. Namun demikian,
beberapa peneliti menyatakan bahwa 48 jam
138 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
terlalu pendek untuk mengetahui kadar steady
state dari dosis infinite sehingga dapat
menyebabkan misinterpretation. Dengan
demikian, waktu percobaan 72 jam disarankan
pada kasus kasus tertentu, tentunya dengan
menambahkan senyawa antimikroba. Menurut
rekomendasi yang diterima luas, jumlah replikasi
yang direkomendasikan adalah 12. Namun
demikian, replikasi dapat dikurangi atas dasar
efisiensi waktu dan ketersediaan membrane kulit.
Percobaan uji absorpsi perkutan umumnya
dilakukan pada suhu 37oC dengan cara
mencelupkan sel difusi ke dalam waterbath atau
cell jacket yang diperfusi oleh air dengan
temperature tertentu. Integritas kulit dapat
dikontrol dan dimonitor dengan cara mengukur
flux dari tritiated water atau sukrosa. Secara garis
besar, nilai flux dari air yang dapat diterima adalah
kurang dari 1.5 x 10-3 cm/jam. Untuk sampel
dengan nilai flux yang ekstrem tinggi, bisa
dipertimbangkan sebagai outlier ketika integritas
membrane dicurigai terdampak.

G. Analisis permeant.
Metode analisis yang digunakan harapannya
memenuhi persyaratan akurasi dan sensitifitas.
Apabila tidak diperoleh nilai kadar, maka dalam
pelaporan sebaiknya bukan ditulis nilai nol
melainkan jumlah yang tertranspor di bawah nilai
limit of detection. Pada umumnya untuk analisis
menggunakan sample HPLC, sample sebanyak
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 139
200 µL. Umumnya sample yang digunakan tidak
memerlukan preparasi sample atau
pengkonsentrasian. Pada analisis HPLC dengan
detector ultraviolet, interferensi dari bagian
membrane kulit yang terekstrak atau terlarut
selama proses difusi dapat menggangu pembacaan
utamanya pada panjang gelombang rendah. Selain
menganalisis kadar dan akumulasi permean di
kompartent acceptor, kadar obat yang tersisa di
fase donor serta yang tertahan di membrane kulit
perlu dikuantifikasi untuk menjaga kualitas data
dalam hal ini adalah mass balance. Alat yang
digunakan dalam studi absorpsi perkutan dapat
menggunakan beberapa pilihan antara lain:
1. Sel Difusi Model Franz.
Model ini memungkinkan pengujian untuk
sample bervolume kecil dan bersifat semi padat
seperti bentuk sediaan gel, salep, krim maupun
patch transdermal. Tantangan pada sel difusi
model Franz adalah menjaga homogenitas
larutan aseptor karena dimensi dari
kompartment aseptor yang memanjang ke atas.

2. Sel difusi model side to side


Cenderung mulai tidak lagi digunakan karena
memerlukan volume donor yang besar.

3. Sel difusi model flow through


Model ini sangat cocok untuk menjamin
kondisi sink pada kompartment aseptor,

140 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


terutama apabila kelarutan senyawa uji cukup
rendah.

4. Ussing Chamber
Ussing chamber merupakan penyempurnaan
dari model side to side dengan memperbaiki
volume nya yang kecil. Namun demikian
volume yang kecil membatasi kelarutan obat di
kompartment aseptor. Pemasangan Ussing
chamber cukup rumit namun demikian
memungkinkan adanya pengaturan suhu dan
oksigenasi dari media percobaan sehingga
viabilitas kulit dapat dijaga.Ussing chamber
lebih cocok digunakan untuk menguji absorpsi
intestinal dan jarang digunakan untuk menguji
permeabilitas perkutan.

5. Organotypic human skin culture.


Model ini tengah banyak dikembangkan dalam
high throughput screening karena dapat
dilakukan secara simultan pada berbagai
senyawa uji. Namun demikian model studi
absorpsi dengan menggunakan organotypic
skin culture tidak bisa menguji sampel semi
padat seperti gel, salep, krim dan patch
transdermal. Model ini cocok digunakan untuk
uji awal ketika senyawa uji masih dalam bentuk
larutan (penentuan permeabilitas intrinsik).

6. Parralel Artificial Membrane Permeability


Assay.
Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 141
PAMPA merupakan model difusi paling
terjangkau dalam hal biaya dan lebih praktis
karena tidak melibatkan hewan uji maupun sel.
Alat yang digunakan berupa modifikasi dari 96
well plate yang disusun menjadi 3 tingkat dari
bawah ke atas: acceptor plate, donor plate dan
lid (penutup). Karena tidak melibatkan sel
maupun kulit hewan uji, maka percobaan
memerlukan waktu yang relatif singkat.
Volume 96 well plate yang kecil membatasi
kelarutan dan metode analisis dari sampel
larutan aseptor. Pada uji difusi menggunakan
PAMPA, diperlukan adanya perencanaan
terkait metode analisis senyawa uji yang dapat
menggambarkan perubahan kecil konsentrasi
yang masuk ke kompartment aseptor dalam
rentang waktu tertentu. Selain itu, PAMPA
menggambarkan kemampuan difusi pasif
senyawa menembus stratum korneum dan tidak
bisa memberikan gambaran apabila senyawa uji
terlibat difisi aktif. Selain itu, terkadang
terdapat retensi senyawa uji pada membrane.
Contoh artificial membran dalam PAMPA
adalah hexadecane dalam hexana 5% (v/v),
2% larutan dodecane dalam
dioleoylphosphatidylcholine (DOPC) dan lain
sebagainya. Pada studi absorpsi menggunakan
organotypic human skin culture, diggunakan
beberapa komposisi sel. Untuk mendapatkan
structure yang menyerupai stratum korneum
dan epidermis, peneliti dapat melakukan ko-
142 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika
kultur antara keratinosit dan fibroblast pada
Transwell plate yang telah dilapisi dengan
kolagen. Sel di rendam di dalam media
keratinosit selama 3 hari. Setelah itu,
membrane yang ditumbuhi keratinosit dan
fibroblast diangkat ke atas sehingga tidak lagi
terendam medium. Medium kini berada di
bawah membrane penyokong (insert). Kultur
sel dilanjutkan selama 10 hari dalam keadaan
membrane terangkat di atas medium. Pada fase
ini, sel berdifferensiasi menjadi berbagai jenis
sel dan membentuk lapisan stratum corneum.
Model organotypic human skin culture selain
dapat digunakan untuk meng-asses proses
difusi, juga dapat digunakan untuk mengasses
reaksi alergi dan toksikologi exposure sebuah
senyawa terhadap proses fisiologi kulit. Selain
itu, pendekatan ini adalah alternatif yang dapat
ditempuh untuk menganalisis proses
metabolisme sebuah senyawa di kulit.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 143


Sumber bacaan:
Abd, Eman, Shereen A. Yousef, Michael N. Pastore,
Krishna Telaprolu, Yousuf H. Mohammed, Sarika
Namjoshi, Jeffrey E. Grice, and Michael S. Roberts.
2016. “Skin Models for the Testing of Transdermal
Drugs.” Clinical Pharmacology: Advances and
Applications 8: 163–76.
https://doi.org/10.2147/CPAA.S64788.
Benson, Heather A.E., Jeffrey E. Grice, Yousuf
Mohammed, Sarika Namjoshi, and Michael S.
Roberts. 2019. “Topical and Transdermal Drug
Delivery: From Simple Potions to Smart
Technologies.” Current Drug Delivery 16 (5): 444–
60.
https://doi.org/10.2174/156720181666619020114345
7.
Pappinen, Sari, Martin Hermansson, Judith Kuntsche, Pentti
Somerharju, Philip Wertz, Arto Urtti, and Marjukka
Suhonen. 2008. “Comparison of Rat Epidermal
Keratinocyte Organotypic Culture (ROC) with Intact
Human Skin: Lipid Composition and Thermal Phase
Behavior of the Stratum Corneum.” Biochimica et
Biophysica Acta - Biomembranes 1778 (4): 824–34.
https://doi.org/10.1016/j.bbamem.2007.12.019.
Pulsoni, Ilaria, Markus Lubda, Maurizio Aiello, Arianna
Fedi, Monica Marzagalli, Joerg von Hagen, and
Silvia Scaglione. 2022. “Comparison Between Franz
Diffusion Cell and a Novel Micro-Physiological
System for In Vitro Penetration Assay Using
Different Skin Models.” SLAS Technology, no. xxxx.
https://doi.org/10.1016/j.slast.2021.12.006.
Salamanca, Constain H., Alvaro Barrera-Ocampo, Juan C.
Lasso, Nathalia Camacho, and Cristhian J. Yarce.

144 Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika


2018. “Franz Diffusion Cell Approach for Pre-
Formulation Characterisation of Ketoprofen Semi-
Solid Dosage Forms.” Pharmaceutics 10 (3): 1–10.
https://doi.org/10.3390/pharmaceutics10030148.
Walters, Kenneth A. 2002. Dermatological and
Transdermal Formulations. Dermatological and
Transdermal Formulations.
https://doi.org/10.1201/9780824743239.

Dasar Dasar Teknik Percobaan Biofarmasetika 145

Anda mungkin juga menyukai