Anda di halaman 1dari 36

Per – 9 Keperawatan Kritis

▪ Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia atau infeksi parenkim paru


yang terjadi dalam 48-72 jam setelah pemasangan ventilasi mekanik invasif. VAP
merupakan pneumonia yang paling sering terjadi di ICU di antara pasien-pasien yang
mendapat ventilasi mekanik. VAP ditandai oleh infiltrat baru atau progresif, tanda-tanda
infeksi sistemik, perubahan karakteristik sputum, dan adanya agen kausatif yang
terdeteksi pada pemeriksaan.

▪ Jenis patogen yang paling sering menjadi penyebab VAP adalah bakteri gram negatif,
aerob, dan berbentuk batang (Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa) dan
bakteri kokus gram positif (seperti Staphylococcus aureus, termasuk Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus [MRSA]). Pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik,
mekanisme pembersihan sekret saluran napas berkurang (refleks batuk, mucociliary
action) sehingga memudahkan bakteri menginfeksi saluran napas bagian distal.
Bakteri tersering penyebab VAP berasal dari flora normal mulut dan bacteriemia.
Sumber bakteri lainnya adalah lambung, sirkuit ventilator, humidifier, dan nebuliser.
[3,15]
▪ Saat ini, belum ada standar baku emas kriteria diagnosis VAP. Evaluasi bedside dan
foto polos thorax hanya bersifat sugestif. Studi postmortem menunjukkan kriteria
klinis diagnosis VAP (infiltrat pada foto polos thorax ditambah dua tanda berikut:
demam >38,30C, leukosit >12.000/mL, sekret trakeo bronkial purulen) memiliki
sensitivitas 69% dan spesifisitas 75% dibandingkan temuan autopsi.
▪ Penatalaksanaan utama ventilator-associated pneumonia adalah pemberian
antibiotik empiris sebagai terapi awal, kemudian terapi lanjutan disesuaikan
kondisi klinis pasien. Patogen penyebab VAP umumnya tidak diketahui, sehingga
pemberian antibiotik empiris merupakan pendekatan tatalaksana yang praktis
▪ Pneumonia Terkait Ventilator/ Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan
inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman yang mengalami
inkubasi saat penderita mendapat ventilasi mekanis dengan menggunakan
ventilator mekanik.
▪ Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia atau infeksi parenkim
paru yang terjadi dalam 48-72 jam setelah pemasangan ventilasi mekanik invasif.
VAP merupakan pneumonia yang paling sering terjadi di ICU di antara pasien-
pasien yang mendapat ventilasi mekanik. VAP ditandai oleh infiltrat baru atau
progresif, tanda-tanda infeksi sistemik, perubahan karakteristik sputum, dan
adanya agen kausatif yang terdeteksi pada pemeriksaan.
▪ American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan
dengan gambaran infiltrat paru yang menetap pada foto thoraks disertai salah satu
gejala yaitu ditemukan hasil biakan darah atau pleura sama dengan
mikroorganisme yang ditemukan pada sputum maupun aspirasi trakea, kavitas
pada rongga thoraks, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut,
yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen
▪ VAP merupakan bagian dari pneumonia
nosokomial, yang juga dikenal
sebagai hospital-acquired pneumonia (HAP).
▪ Data epidemiologi menunjukkan
bahwa ventilator-associated
pneumonia (VAP) dan pneumonia
nosokomial merupakan salah satu dari
penyebab infeksi yang didapat di rumah
sakit yang paling sering ditemukan. Sekitar
28% dari total pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik mengalami VAP. Angka
insiden terjadinya VAP meningkat seiring
dengan semakin lamanya durasi
penggunaan ventilasi mekanik.
Diperkirakan VAP terjadi sebanyak 3% per
hari dalam 5 hari pemakaian, 2% per hari
dalam 6-10 hari pemakaian, dan 1% per
hari setelah hari ke 10 pemakaian.
Global
▪ Ventilator-associated pneumonia merupakan infeksi nosokomial tersering kedua
dan penyebab kematian teratas pada pasien dengan penyakit kritis yang terkena
infeksi nosokomial. Di Amerika Serikat, insidensi VAP berkisar antara 2-16 kasus
setiap 1000 hari pemasangan ventilator. Risiko terjadinya VAP diperkirakan 1,5%
per hari, dan menurun menjadi 0,5% per hari setelah 14 hari pasca pemasangan
ventilasi mekanik.
▪ Prognosis ventilator-associated pneumonia (VAP) ditentukan oleh beberapa faktor,
seperti komorbid dan keparahan penyakit ketika diagnosis ditetapkan. Angka
mortalitas ventilator-associated pneumonia (VAP) mencapai 20-50%.
Komplikasi
▪ Studi oleh Othman et al. pada 48 pasien yang mendapat ventilasi mekanik selama
>48 jam menunjukkan bahwa komplikasi yang lebih sering terjadi pada pasien
VAP adalah syok sepsis, acute respiratory distress syndrome (ARDS), atelektasis,
dan infeksi oleh patogen multi-drug resistant (MDR).
▪ Secara patofisiologis, ventilator-associated pneumonia (VAP) dapat disebabkan oleh
berbagai jenis patogen dan dapat bersifat polimikroba. Adapun patogen yang paling
sering menyebabkan VAP adalah bakteri gram negatif, aerob, berbentuk batang
(misalnya Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Enterobacter spp, Pseudomonas
aeruginosa, Acinetobacter spp) dan bakteri kokus gram positif (misalnya Staphylococcus
aureus, termasuk methicillin-resistant S. aureus [MRSA], Streptococcus spp).
▪ Patofisiologi terjadinya VAP juga merupakan perpaduan yang kompleks antara
penggunaan endotracheal tube, faktor risiko penyerta, virulensi dari bakteri yang
menginvasi, dan imunitas host. Penggunaan endotracheal tube dapat merusak
mekanisme defense alami, yaitu refleks batuk dari glotis dan laring untuk mengatasi
mikroaspirasi yang terjadi disekitar cuff endotracheal tube tersebut.
▪ Infeksi bakteri pada saluran pernapasan bagian bawah terjadi secara langsung melalui
beberapa mekanisme, yaitu mikroaspirasi selama prosedur intubasi dilakukan,
berkembangnya bakteri (biasanya gram negatif) dan jamur di dalam endotracheal tube,
bercampurnya sekret di sekitar cuff, dan kurangnya mekanisme pembersihan sekret
oleh mukosiliar saluran napas.
▪ Etiologi dari ventilator-associated pneumonia (VAP) dapat dibedakan berdasarkan durasi
penggunaan ventilasi mekanik, yaitu VAP dengan onset dini dan VAP dengan onset lambat.

VAP dengan Onset Dini


▪ VAP dengan onset dini biasanya disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap antibiotik.
▪ Penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram negatif (Enterobacter spp, Escherichia coli,
Klebsiella spp, Proteus spp, Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus
pneumonia, dan Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA).
▪ Bakteri kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella
pneumophilia dan Methicillin Resistan Staphylococcus Aureus (MRSA).
▪ Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter spp, dan MRSA.
1. Profilaksis stress ulcer
2. Intubasi
3. Lama/durasi penggunaan ventilator mekanik
4. Aspirasi dan nutrisi
5. Posisi supin
6. Nutrisi enteral
7. Modulasi oleh kolonisasi
8. Antibiotik sistemik (resistensi antibiotic)
9. Pembedahan
▪ Diagnosis ventilator-associated pneumonia (VAP) dapat ditegakkan berdasarkan
gejala dan tanda infeksi saluran napas bawah yang terjadi >48 jam setelah pasien
mendapatkan ventilasi mekanik. VAP dibagi menjadi early onset yang terjadi <4
hari dan late onset yang terjadi >4 hari setelah mendapatkan ventilasi mekanik.
▪ VAP dicurigai pada pasien yang memiliki tanda infeksi sistemik, misalnya demam,
batuk berdahak, dan leukositosis, dan pada pemeriksaan rontgen nya ditemukan
infiltrat paru yang baru atau progresif. Konfirmasi diagnosis VAP dapat dilakukan
dengan menemukan patogen pada pengambilan sampel di saluran pernapasan
bagian bawah. Patogen yang paling sering ditemukan pada pasien VAP adalah
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan bakteri batang gram negatif
lainnya.
Gangguan Pertukaran Gas
▪ Ventilator-associated pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai jenis patogen dan
bisa bersifat polimikrobial, dimana pada umumnya adalah bakteri batang gram negatif,
aerob (Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Enterobacter spp, Pseudomonas
aeruginosa, Acinetobacter spp), dan kokus gram positif (Staphylococcus aureus,
Methicillin-resistant S. aureus, Streptococcus spp).
▪ Pada anamnesis ventilator-associated pneumonia akan didapatkan manifestasi klinis
berupa demam, batuk produktif, dan sesak napas, setelah penggunaan ventilasi
mekanik selama >48 jam, dengan early onset VAP terjadi dalam <4 hari pemakaian
dan late onset VAP terjadi dalam >4 hari pemakaian.
▪ Ketika anamnesis dilakukan, diperlukan penilaian faktor risiko yang berkaitan dengan
patogen multidrug-resistant (MDR) yang berpotensi menjadi etiologi VAP. Faktor-faktor
tersebut berupa durasi opname lebih dari 5 hari, riwayat opname lebih dari 2 hari
dalam 90 hari terakhir, konsumsi antibiotik dalam 90 hari terakhir, mendapatkan terapi
infus dan perawatan luka di rumah, menjalani dialisis jangka panjang dalam 30 hari
terakhir, dan pasien immunocompromised.
▪ Pada pemeriksaan fisik ventilator associated-pneumonia akan ditemukan tanda
infeksi sistemik seperti demam >38°C, takikardi dan takipnea. Temuan
lain pemeriksaan fisik thorax pada VAP ditentukan oleh distribusi pneumonia di
paru-paru. Lesi lobar yang disebabkan pneumonia mengakibatkan rhales pada
lokasi lesi.
▪ Gejala VAP juga dapat mencakup komponen sistem skoring CURB-65,
yakni confusion, urea >7/mmol/L, frekuensi napas >30 kali/menit, tekanan darah
sistolik <90 mmHg atau diastolik <60 mmHg, dan usia >65 tahun. Total skor lebih
dari atau sama dengan 3 mengindikasikan pasien risiko tinggi.
▪ Saat ini, belum ada standar baku emas kriteria diagnosis ventilator-associated
pneumonia. Evaluasi bedside dan foto polos thorax hanya bersifat sugestif. Studi
postmortem menunjukkan kriteria klinis diagnosis VAP berupa infiltrat pada foto
polos thorax ditambah dua tanda berikut, yaitu demam >38,30C, leukosit
>12.000/mL, sekret trakeo bronkial purulen, memiliki sensitivitas 69% dan
spesifisitas 75% dibandingkan temuan autopsi.
▪ Berdasarkan guideline dari Infectious Diseases Society of America/American
Thoracic Society 2016, diagnosis HAP dan VAP ditegakkan berdasarkan adanya
infiltrat paru baru dan bukti klinis bahwa infiltrat tersebut disebabkan infeksi
(demam onset baru, sputum purulen, leukositosis, dan penurunan saturasi
oksigen).
Pemeriksaan penunjang pada ventilator-associated pneumonia (VAP) meliputi
pemeriksaan darah, radiologi, dan sekret. Terdapat beberapa metode khusus untuk
mengambil sekret sampel pada pasien VAP. Hasil dari pemeriksaan sekret menjadi
landasan dalam memilih terapi antibiotik, untuk memaksimalkan terapi antibiotik
empiris.
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
▪ Pemeriksaan radiologi yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis VAP
adalah foto polos thorax menggunakan alat portabel. Foto polos memiliki akurasi
hingga 68%. Pada pasien-pasien ICU, terdapat kondisi lain yang dapat
mengakibatkan penampakan infiltrat pada foto polos. Namun, tidak adanya infiltrat
dapat membantu menyingkirkan diagnosis VAP.
▪ Pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah CT scan paru untuk
mengevaluasi adanya penyakit parenkim paru lain yang mendasari dan efusi
pleura. USG thorax juga dapat dilakukan untuk membantu mengevaluasi adanya
efusi pleura dan menjadi guide pada proses drainase cairan pleura.
▪ Para ahli merekomendasikan pemeriksaan sampel sekret saluran pernapasan
bagian bawah dan kultur darah perifer pada pasien yang dicurigai
mengalami ventilator-associated pneumonia sebelum terapi antibiotik dimulai atau
diganti. Namun, hingga saat ini masih menjadi perdebatan terkait metode
pengambilan sampel sekret yang digunakan (invasif atau non-invasif) dan kultur
sebaiknya kuantitatif atau non kuantitatif.
▪ Pemeriksaan kultur dapat dilakukan secara semi-kuantitatif dan/atau kuantitatif.
Pemeriksaan semi kuantitatif dengan metode non-invasif, seperti aspirasi
endotrakeal, dapat dipertimbangkan daripada pemeriksaan kuantitatif.
Pemeriksaan ini didapatkan lebih murah dan memiliki risiko yang lebih rendah
dibandingkan pemeriksaan kuantitatif dan invasive. Beberapa studi menyatakan
bahwa pemeriksaan invasive tidak menunjukkan hasil yang lebih baik pada angka
mortalitas, durasi rawat inap ICU maupun durasi penggunaan ventilasi mekanis.
KULTUR DARAH
▪ Pemeriksaan kultur darah direkomendasikan pada semua pasien dengan pneumonia
nosokomial. Sekitar 15% dari pasien dengan ventilator-associated pneumonia (VAP)
didapatkan bakteremia sehingga pemeriksaan ini penting untuk menentukan patogen
penyebab dari pneumonia nosokomial yang tidak teridentifikasi pada pemeriksaan
kultur respiratorik. Pemeriksaan kultur darah bernilai spesifik bila patogen respiratorik
ditemukan pada hasil kultur, namun pemeriksaan ini kurang sensitif. Pemeriksaan
kultur darah juga bermanfaat untuk mengidentifikasi adanya infeksi sekunder yang
menyertai pneumonia.
▪ Pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan hematologi rutin untuk mengevaluasi adanya
infeksi (hitung leukosit), pemeriksaan fungsi ginjal dan hati untuk menentukan dosis
antibiotik, dan kultur darah untuk mencari etiologi infeksi.

KULTUR DARAH
▪ Pemeriksaan kultur darah direkomendasikan pada semua pasien dengan pneumonia
nosokomial. Sekitar 15% dari pasien dengan ventilator-associated pneumonia (VAP)
didapatkan bakteremia sehingga pemeriksaan ini penting untuk menentukan patogen
penyebab dari pneumonia nosokomial yang tidak teridentifikasi pada pemeriksaan
kultur respiratorik. Pemeriksaan kultur darah bernilai spesifik bila patogen respiratorik
ditemukan pada hasil kultur, namun pemeriksaan ini kurang sensitif. Pemeriksaan
kultur darah juga bermanfaat untuk mengidentifikasi adanya infeksi sekunder yang
menyertai pneumonia.
▪ Edukasi dan promosi kesehatan terkait ventilator-associated pneumonia (VAP)
meliputi edukasi tenaga kesehatan mengenai pencegahan VAP. Strategi
pencegahan VAP yang paling efektif yang dapat diterapkan institusi adalah
mengurangi paparan faktor risiko, yang disebabkan oleh prosedur intubasi.

Edukasi Tenaga Kesehatan


▪ Dalam studi oleh Babcock et al, dilakukan program edukasi pada perawat ICU dan
terapis pernapasan mengenai praktik pencegahan VAP yang meliputi pemberian
modul dan pemasangan poster-poster terkait pencegahan VAP di ICU dan
departemen respiratory care. Studi tersebut menunjukkan intervensi edukasi
berkaitan dengan penurunan angka VAP di ICU.
▪ Penatalaksanaan utama ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah pemberian
antibiotik empiris yang tepat dan disesuaikan berdasarkan durasi penggunaan
ventilasi mekanik. Antibiotik empiris harus segera diberikan pada pasien dengan
tanda syok septik atau disfungsi organ progresif cepat. Sedangkan antibiotik
definitif diberikan setelah ada hasil kultur sputum atau darah.
▪ Pada VAP late onset (>4 hari) diperlukan pemberian antibiotik spektrum luas dan
pada VAP early onset (<4 hari) diperlukan pemberian antibiotik spektrum spesifik.
Direkomendasikan penggunaan antibiogram setiap RS berdasarkan pola kuman
setempat untuk memilih regimen antibiotik empiris yang akan digunakan. Peluang
terjadinya resistensi dapat dihindari dengan prinsip de-eskalasi.
▪ Patogen penyebab VAP umumnya tidak diketahui, sehingga pemberian antibiotik
empiris merupakan pendekatan tatalaksana yang praktis.
Berdasarkan guideline dari The Infectious Disease Society of America and American
Thoracic Society di tahun 2016, direkomendasikan penggunaan antibiogram pada
setiap RS untuk mengoptimalkan pemilihan antibiotik dan mengurangi
kemungkinan terjadinya resistensi antibiotik.
▪ Jika pasien sudah mendapat terapi antibiotik adekuat selama 2 minggu dan tidak
ada perbaikan, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab non-
bakteri (misalnya pneumonitis akibat HSV-1) atau penyakit non-infeksius yang
menyerupai pneumonia, seperti karsinoma bronkogenik.
1. Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna:
2. Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu
3. Membatasi profilaksis stress ulcer pada penderita risiko tinggi
4. Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis stress ulcer
5. Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna secara selektif
6. Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut
7. Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi
8. Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita
9. Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR
1. Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal segera
mungkin
2. Posisi penderita semirecumbent atau setengah duduk
3. Menghindari distensi lambung berlebihan
4. Intubasi oral atau non-nasal
5. Pengaliran subglotik
6. Pengaliran sirkuit ventilator
7. Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan
8. Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea
9. Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan
A. Pengkajian Fokus (Menurut Muttaqin (2014):
▪ Breathing
▪ Blood
▪ Brain
▪ Bladder
▪ Bowel
▪ Bone

B. Pengkajian pola Fungsional


1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas
2. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolar kapiler
3. Hepertermia b.d proses penyakit (infeksi)
4. Gangguan penyapihan ventilator bd ketidakcukupan energi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas
❑ Bersihan Jalan Napas
a) Produksi sputum menurun
b) Wheezing menurun
c) Pola napas membaik

2. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolar kapiler


❑ Pertukaran Gas
a) PCo2 membaik
b) PO2 membaik
c) Ph Arteri Membaik
❑ Keseimbangan asam basa
a) Tingkat kesadaran membaik
b) Kadar bikarbonat membaik
❑ Perfusi paru
a) Saturasi oksigen normal
b) Gangguan pertukaran gas membaik
3. Hepertermia b.d proses penyakit (infeksi)
❑ Termoregulasi
a) Suhu tubuh membaik
b) Takikardi menurun
c) Tekanan darah membaik
❑ Status cairan
a) Output urine meningkat
b) Intake cairan membaik
c) Suhu tubuh membaik

4. Gangguan penyapihan ventilator bd ketidakcukupan energy


❑ Penyapihan ventilator
a) Kesinkronan bantuan ventilator meningkat
b) Upaya napas membaik
❑ Konservasi energy
a) Pembatasan energy meningkat
b) Pembatasan aktifitas menurun
❑ Status neurologis
a) Tingkat kesadaran meningkat
b) Reaksi pupil meningkat
❑ Status nutrisi
a) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
b) Bising usus membaik
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas
1. Manajemen Jalan Nafas
2. Managemen Ventilasi Mekanik
3. Penghisapan jalan napas
4. Pengaturan posisi
5. Pemberian obat inhalasi
6. Fisioterapi dada
Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolar kapiler
1. Monitor Pernafasan
2. Terapi oksigen
3. Pengambilan sampel darah arteri
4. Managemen asam basa
Hipertermia b.d Proses Penyakit
1. Managemen hipertermia
2. Managemen cairan
3. Kompres dingin
4. Pemberian obat
Gangguan Penyapihan Ventilator b.d ketidakcukupan energy
1. Penyapihan Ventilasi Mekanik
2. Managemen energy
3. Managemen jalan napas buatan
4. Terapi relaxsasi
Buatlah menjadi 5 Kelompok mencari dan dibuat power point artikel tersebut terkait kasus di bawah ini:
1. Prinsip pengelolaan pasien dengan ARDS (acute respiratory distress syndrome) berdasarkan EBP
2. Prinsip pengelolaan pasien dengan ALO (Acute Lung Oedem) berdasarkan EBP
3. Prinsip pengelolaan pasien dengan GBS (Guillain-Barre Syndrome) berdasarkan EBP
4. Prinsip pengelolaan pasien dengan KAD (Ketoasidosis Diabetik) berdasarkan EBP
5. Prinsip pengelolaan pasien dengan HONK (hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik ) berdasarkan
EBP

Anda mungkin juga menyukai