Sejarah Desain
Abstract Kompetensi
Pembahasan mengenai Mahasiswa mengetahui pembabakan
perkembangan seni dan kebudayaan perkembangan seni, ragam dan gaya,
Mesir Kuno ciri khas seni Mesir Kuno serta
pengaruhnya terhadap seni/desain
modern dan kontemporer
Seni Mesir Kuno
Seni Mesir secara umum dapat dibagi menjadi masa Kerajaan Lama, Tengah, Baru, dan
periode Hellenistik, ketika gaya seni Mesir menunjukkan ciri percampuran dengan budaya
Hellenisme pasca-takluknya Mesir di bawah kekuasaan Yunani-Macedonia dan
bertakhtanya para firaun dari Dinasti Ptolemaic. Masa-masa tersebut adalah masa Mesir
Bersatu, ketika Mesir Atas dan Mesir Bawah berada di bawah satu kekuasaan tunggal. Pada
periode di antaranya, terdapat Periode Peralihan yang ditandai dengan penguasaan
bangsa-bangsa asing seperti Libya dan Nubia atas Mesir. Perubahan politik tersebut juga
menunjukkan pengaruh terhadap seni Mesir.
Bahkan sejak era prasejarah, hingga runtuhnya Kerajaan Mesir Hellenistik pada 31 SM,
Sungai Nil menjadi sentral peradaban Mesir. Sungai Nil bukan hanya menghubungkan Mesir
Atas dan Mesir Bawah, selain melalui perdagangan, sungai ini juga menjadi pilar yang
penting bagi peradaban bangsa Mesir. Setiap tahunnya, sungai ini meluap, dan lumpurnya
yang subur menjadi penopang utama pertanian dan perladangan. Kota-kota dan pemukiman
Mesir dibangun di sekitar sungai ini. Delta Mesir, daerah berbentuk segitiga seperti bunga
lotus di tepian Laut Mediterania, yang pusat perdagangan sekaligus pusat peradaban paling
penting pada masa itu, dibangun di atas tanah paling subur di kawasan tersebut. Arti penting
Sungai Nil bagi peradaban Mesir juga bersinergi dalam kebudayaan Mesir, sebagaimana
diperlihatkan dalam sistem kepercayaan, upacara, bahkan dalam karya-karya seni seperti
lukisan, patung, relief, dan puisi.
MASA PRADINASTI
Nekhen, adalah ibukota religius dan politik Mesir Hulu/Mesir Atas pada akhir periode Mesir
Pradinasti. dan kemungkinan juga pada masa Periode Dinasti Awal Mesir. Pada masa kini,
kota ini disebut sebagai Kawn Al-Ahmar. Bangsa Yunani menyebut kota ini sebagai
Hierakonpolis, yang secar aharfiah berarti “Hawk City”, karena kota ini merupakan pusat
pemujaan Dewa Horus, yang dilambangkan dengan burung elang. Masa puncak kejayaan
Nekhen adalah pada sekitar 3400 SM hingga 2575 SM, yakni pada awal berdirinya Kerajaan
Baru.
Di Hierakonpolis, ditemukan contoh lukisan dinding tertua. Lukisan yang menghiasi dinding
makam ini menyingkap cara pemakaman yang sangat mempengaruhi kehidupan bangsa
Ekskavasi yang dilakukan oleh J.E. Quibell pada 1898 menemukan bangunan-bangunan
bersejarah seperti palet upacara Raja Narmer dan batu berhias yang menggambarkan
kepala Raja Scorpion, yang sekarang berdiam di Museum Kebudayaan Mesir di Kairo.
Ekskavasi itu juga mengungkap besarnya ukuran kota tersebut, dengan tempat pemakaman
terdekat yang berjarak sekitar 3 km.
Pada akhir era Pradinasti dan awal Era Dinasti, para raja Mesir membangun kuil yang
terbuat dari batu dan bata lumpur, serta gerbang yang terbuat dari bata lumpur. Terdapat
pula patung tembaga besar yang menggambarkan Raja Pepi I dan Merenre (raja dinasti ke-
6, 2325 – 2150 SM). Kendati pada era dinasti, kota ini tidak lagi dijadikan sebagai pusat
pemerintahan Mesir, bukan berarti kota ini diabaikan sepenuhnya. Thutmose III membangun
kembali kuil kuno yang sebelumnya sempat hancur. Pada periode Kerajaan Baru (1539 –
1075 SM), arti penting kota ini secara ekonomi mulai tergantikan oleh kota El-Kab yang
berada di seberang sungai, tetapi Nekhen tetap bertahan sebagai pusat religi dan historis.
Sepanjang kejayaan Mesir Kuno, wilayah ini secara geografis maupun kepemerintahan
terbagi menjadi dua, yakni Mesir Atas dan Mesir bawah. Mesir atas beriklim kering, berbatu-
batu, dan memiliki kebudayaan yang sederhana dan terbelakang. Sebaliknya, Mesir bawah
kaya, urbanis dan berpenduduk banyak. Kedua daerah itu saling bermusuhan sebelum
dinasti Firaun berkuasa di Mesir.
Periode Kerajaan Lama di Mesir (Dinasti ke-3 – 6) bermula sejak Raja Narmer
mempersatukan Mesir Atas dan Mesir Bawah yang penuh gejolak di bawah satu payung
yang dinamakan Kerajaan Mesir Bersatu. Periode yang berlangsung antara 2649 – 2150 SM
ini merupakan salah satu masa yang paling dinamis dalam perkembangan seni Mesir. Pada
Relief
Pada sebuah palet batu untuk menyiapkan obat mata, terdapat relief yang
melukiskan penguasaan raja Narmer terhadap Mesir Atas dan Mesir Bawah serta
peranannya sebagai raja dewata.
Palet Raja Narmer (kiri) dan Panel dari Hesire, Saqqara, Kayu, 2.750 SM (kanan)
Relief tersebut tidak hanya penting artinya sebagai catatan sejarah, tetapi juga
sebagai contoh formula rumus penggambaran bentuk tubuh manusia yang menjadi
kanon (pedoman) dari seni rupa Mesir selama 3.000 tahun. Pada Gambar 1.3a,
terlihat raja Narmer mengenakan mahkota yang tinggi dari Mesir Atas sedang
bersiap menggorok seorang musuh yang akan dikorbankan. Di depan sang raja
adalah Horus, burung yang melambangkan dewa langit pelindung raja yang sedang
menangkap seseorang berkepala tanah tempat pohon-pohon papirus tumbuh
(sebuah simbol dari Mesir Bawah). Di bawah sang raja ada dua orang musuh,
sedang di bagian atas terdapat dua kepala dari Hethor, dewa yang selalu
dihubungkan dengan raja Narmer. Pada sisi lain dari palet itu sang raja dilukiskan
mengenakan mahkota ular kobra, lambang Mesir bawah.
Tidak semua relief menggambarkan raja atau penaklukan. Adegan pada relief batu
kapur yang dicat menghiasi dinding kuburan seorang pejabat dari Kerajaan Tua;
Ti menampilkan subjek adegan yang berhubungan dengan perburuan dan pertanian.
Relief yang dicat pada kuburan Ti, tinggi 48 inci, 2.500 SM, Saqqara
Pelbagai stuktur bangunan dan citra yang menghiasi peradaban Mesir masa itu hadir
untuk menggenapi dua fungsi utama, yakni memastikan keteraturan dan untuk
mengalahkan kematian. Bangsa Mesir percaya bahwa kematian adalah “malam
menuju kehidupan” (Malam, 2003), bahwa ada hidup yang nyata dan abadi sesudah
kematian, dan bahwa segala yang dilakukan manusia di dunia ini hanyalah tahap
awal menuju dunia tersebut. Tak heran, jika nyaris seluruh daya artistik yang
mereka lakukan berpusat pada upaya untuk mempersiapkan kehidupan abadi
tersebut.
Bangsa Mesir Kuno percaya bahwa sejak lahir, seseorang ditemani oleh dirinya yang
lain yakni ‘Ka’. Setelah tubuh mati, Ka’ tetap hidup dan mendiami sang jenazah. Agar
‘Ka’ bisa hidup nyaman, jenazah harus tetap awet dan utuh. Untuk itulah bangsa
Mesir mengembangkan teknologi pengawetan/pembalseman mayat. Kesuksesan
bangsa Mesir dalam teknologi pembalseman terbukti dari banyaknya mummi
(jenazah yang diawetkan) raja-raja, bangsawan, dan juga orang biasa yang bertahan
dengan baik hingga saat ini.
Meski demikian, bukan berarti masyarakat Mesir adalah masyarakat yang sama
sekali tidak memedulikan kehidupan dan kesenangan duniawi. Berbagai perhiasan,
pakaian dari material paling halus pada masanya, furnitur indah bertakhtakan ukir-
ukiran dan hiasan batu-batuan berharga yang rumit, serta wadah-wadah kosmetik
dari berbagai material menghiasi kehidupan para bangsawan sehari-hari (Roehrig,
2000).
Patung
Patung dari masa ini memperlihatkan bentuk yang realistis dengan gestur tubuh
yang kaku. Kendati tampak realistis, idealisme bangsa Mesir akan proporsi
ditampakkan dalam perbandingan ukuran lebar kepala:bahu sebesar 1:3, membuat
Patung berbahan geiss Raja Sahure (2458 – 2446 SM) dan Dewa Nome, Dinasti ke-5
(Metropolitan Museum, 2000)
Patung Khafre dalam posisi duduk adalah salah satu dari serangkaian patung serupa yang
dibuat untuk kuil di Khafre. Pada patung tersebut, Khafre dipatungkan duduk di singgasana
di atas dasar yang diukiri dengan jalinan lotus dan papirus sebagai Iambang dari Mesir yang
bersatu. Kepalanya dilindungi oleh sayap burung elang: simbol dari matahari yang
menunjukkan status kedewataan dari Khafre sebagai putra Ra (dewa matahari). Khafre
mengenakan rok pendek model Kerajaan Tua dan sebuah penutup kepala dari linen
yang menutupi kepala bagian depannya dan sebagiannya terjumbai ke bahu. Patung
ini sangat menonjolkan pribadi sang raja dalam penampilan yang tenang
mencerminkan keagungannya sebagai firaun.
Ketenangan sang raja. seperti lazimnya pada patung-patung rala untuk Ka, dicapai
melalui penggarapan bentuk dan teknik yang mengagungkan. Figur sang raja tampil
dalam sosok yang kompak, solid, dan formal, suatu bentuk yang bermaksud
'berakhir keabadian'. Tubuh sang raja dirangkaikan dengan sandaran singgasana,
Seperti pada patung-patung Mesopotamia, patung ini mempunyai pose yang frontal,
kaku, dan simetris. Patung itu secara jelas menampakkan standar patung Mesir yang
dibuat dari balok batu persegi (kubistis).
Arsitektur
Seperti halnya dengan perinsip keteraturan dari relief di atas, maka bentuk kuburan
bangsa Mesir juga mempunyai standar tertentu seperti yang dapat dilihat pada
mastaba (Gambar 5). Mastaba dalam bahasa Arab berarti 'meja', adalah bangunan
yang terbuat dari batu atau bata yang berbentuk piramid terpotong, di bangun di atas
ruang kuburan bawah Ianah. Ruang kuburan dihubungkan dengan dunia luar oleh
sebuah lorong vertikal .
Bangunan yang dikelilingi oleh kompleks ruang-ruang teras, halaman luas dàn kuil
itu, adalah hasil usaha usaha usaha karya dari Imhotep; seniman pertama yang
tercatat dalam sejarah. Imhotep adalah pembantu utama raja Zoser yang memiliki
kekuasaan Iegendaris. Ia dikenal dalam zaman kuno tidak hanya sebagai usaha
usaha arsitek jempolan tetapi juga seorang yang bijak, dukun, tokoh agama, dan
penulis. Ia seorang jenius yang dihormati sebagai dewa.
Pada tahun 2.750 SM piramid berjenjang raja Zgser dari dinasti ke 3 dibangun di
Saqqara, sebuah kota kuburan di Memphis..Bangunan ilu merupakan bentuk
peralihan dari bentuk mastaba ke bentuk piramid yang sesungguhnya Dan dianggap
Di Gizeh, di seberang sungai Nil dari arah kota Cairo ada tiga buah piramida dari
firaun dinasti ke-4, yaitu: Khufu, Khafre. dan Menkure. Ketiga dibangun sesudah
tahun 2.700 SM, yang diasosiasikan sebagai pengeta-huan yang tersembunyi,
misteri, serta lambang kestabilan abadi, kebijaksanaan, magis, dan sebagai lambang
dari Mesir sendiri.
Piramida Giza: Menkure (2575 SM), Kafre (2600 SM), dan Khufu (2650 SM)
Seni Lukis
Sebuah contoh lukisan yang sangat mengesankan dan langka dari zaman kerajaan
Tua adalah lukisan dinding yang melukiskan angsa-angsa. Di dalam seni lukis
dinding gua pada zaman prasejarah dan juga lukisan dari Mesopotamia, kita telah
melihat bagaimana binatang dilukiskan dengan kepekaan rasa yang tinggi. Lukisan
pada masa itu dibuat dengan teknik fresco, yakni dengan memberi warna di atas
lapisan plaster basah yang dicampur dengan perekat putih telur, lantas dibiarkan
kering. Hasilnya adalah lukisan yang tahan lama. Teknik yang sama juga digunakna
pada lukisan-lukisan dinding di Kreta, Etruska dan Mycenae pada masanya.
Sekitar tahun 2.300 SM, kekuasaan firaun ditantang oleh bangsawan-bangsawan yang
ambisius. Selama kurang-lebih seabad suasana kerajaan menjadi resah. Melihat kondisi itu,
Menthuhotep I seorang raja dari Thebes berusaha untuk mempersatukan Mesir di bawah
seorang firaun yang kuat. Pada dinasti ke-11 dan berikutnya yang dikelompokkan sebagai
dinasti da'; Kerajaan Tengah, seni rupa bangkit kembali dan karya sastra yang kaya dan
bervariasi bermunculan.
Arsitektur
Cara tersebut selain praktis juga murah. Bagian depan kuburan adalah serambi
bertiang, sedang bagian dalam adalah aula yang juga bertiang serta ruang suci.
Interior dari kuburan pahat Amenemhet I merupakan contoh aula bertiang dari jenis
kuburan ini. Dinding kuburan dihiasi dengan relief yang dicat sebagaimana lazimnya
pada masa sebelumnya, termasuk subjek yang dilukiskannya.
Interior kuburan Batu yang dipahat dari Amenemhet I, Beni Hasan, 1975 SM
Seni Patung
Karya seni patung dengan watak yang telah dikenal sebelumnya kembali diciptakan
pada masa ini. Patung raja Menthuhotep I yang mempersatukan kembali Mesir di
bawah kekuasaannya dapat dilihat pada Gambar 17. Patung batu yang dicat ini
menampilkan raja Menthuhotep I dalam pakaian jubah berwarna putih dengan
Sebuah patung potret dari zaman Kerajaan tengah, dapat dicatat adanya suatu
kedalaman kepribadian dan suasana hati dari tokoh yang dipatungkan.Patung
tersebut; keadaannya agak rusak, diperkirakan patung dari Amenemhet III atau
Sesotris III.
Kendati ukuran kepalanya kecil; hanya 5 inci tingginya, akan tetapi efeknya seolah-
olah berukuran sebesar kepala manusia. Patung itu terbuat dari batu yang sangat
keras sehingga menuntut keterampilan tinggi dâri pematungnya.
Seni Lukis
Menurut aturan pada masa Kerajaan Tua seluruh figur ditempatkan pada bidang
datar yang sama atau ditempatkan secara bersusun. Sementara pada gambar di
atas, telah nampak penggambaran secara tumpang tindih sehingga menciptakan
kesan keruangan sebagaimana adanya.
Periode Amarna (Dinasti ke-18—ke-20) adalah periode spesifik dalam era Kerajaan
Tengah yang menunjukkan perbedaan mencolok dalam langgam seni, budaya, dan
religi dibanding dengan periode lain dalam sejarah seni Mesir Kuno, sehingga
dikategorikan sebagai periode tersendiri. Perbedaan ini dipicu oleh perubahan dalam
pandangan religi, yang mempengaruhi banyak hal lain, termasuk di antaranya seni
dan ketatanegaraan.
Pada periode ini, Mesir mengalami revolusi religi. Paham politheisme yang semula
berkuasa di Mesir ditantang oleh paham monotheisme. Hal ini juga mempengaruhi
seni Mesir, baik dalam seni arsitektur, patung, juga relief.
Masa ini ditandai dengan kehadiran sunk relief, yakni relief yang dipahat di atas batu
dengan permukaan yang sejajar dengan latar, sehingga terkesan seolah-olah
tenggelam.
Transisi antara Kerajaan Tengah dengan Kerajaan Baru ditandai oleh Keresahan ketika
kekuasaan firaun lepas ke tangan orang luar yaitu orang Asia dari Syria dan Mesopolamia
yang dikenal sebagai orang Hyksos, Orang Hyksos membawa budaya baru dan
memperkenalkan kepada orang Mesir perlengkapan praktis seperti penggunaan kuda
sebagai kendaraan. Mereka juga memperkenalkan senjata dan teknik berperang. Dengan
mengetahui teknik berperang tersebut orang Mesir asli kemudian menggulingkan penguasa
Hyksos. Ahmose I tampil sebagai rala yang memulai Kerajaan Baru, mengantarkan Mesir ke
suatu masa yang gemilang dalam sejarah Mesir yang panjang.
Pada masa Kerajaan Baru, Mesir memperluas daerah kekuasaannya dari Euphrat di Timur
hingga Sudan di selatan. Hubungan luar negeri yang luas dimantapkan dengan kunjungan-
kunjungan duta dan perdagangan dengan Asia dan pulau-pulau di Laut Aegia. Thebes, ibu
kotanya yang baru, berkembang menjadi kota besar dengan istana-istana yang megah,
kuburan- kuburan serla kuil yang monumental di sepanjang Sungai Nil. Thutmose III, adalah
firaun terhebat pada masa Kerajaan Baru. Ia meninggal pada tahun ke-54 dari
kekuasaannya pada pertengahan pertama abad ke-15 SM. Tradisi-tradisi besar yang
dibangunnya diteruskan oleh penggantinya.
Jika pada zaman Kerajaan Tua karya arsitektur yang paling mengesankan adalah
kuburan dalam bentuk piramid, maka pada zaman Kerajaan Baru adalah kuil-kuil
yang berukuran besar.
Pemakaman tetap menuntut cara pelaksanaan yang rumit seperti pada masa
sebelumnya dan mengikuti tradisi zaman Kerajaan Tengah yaitu raja-raja dan
bangsawan membangun kuburannya dengan cara melubangi tebing- tebing batu di
pesisir Sungai Nil, Kuil-kuil untuk upacara kematian dibangun di sepanjang sungai.
Kuil yang termegah adalah kuil Ratu Hetshepsut yangterdapat di Deir el-Bahari
(Gambar 21). Arsitek dari kuil tersebut adalah Sennemut yang patungnya ditampilkan
pada gambar 1. 27). Kuil yang dibangun pada sekitar 1.500 SM tampaknya
mendapat pengaruh Mentuhoptep I dari masa Kerajaan Tengah yang berada di
dekatnya (bandingkanlah antara Gambar 21 dan 22).
Kuil Ratu Hetshepsut dibangun di atas lembah dalam bentuk tiga teras bertiang yang
dihubungkan oleh slop dan sangat serasi dengan lingkungannya. Karya seni patung
yang keseluruhannya berjumlah 200 buah terjalin dengan baik dengan bentuk
arsitektural kuil. Demikian pula dengan relief-reliefnya yang dicat dengan warna
terang. Relief yang menghiasi dinding kuil itu melukiskan kelahiran, penobatan, dan
prestasi dari Ratu Hetshepsut. Pada masanya, teras kuil ini tidaklah segersang
Kuil lain yang juga mengesankan adalah kuil Ramses II, firaun ahli perang yang
terkenal yang hidup sesaat sebelum pengungsian Nabi Musa dari Mesir. Dalam
upayanya untuk membangun kembali kerajaan yang sempat hancur pada masa
peralihan, Ramses kerap melakukan penyerangan dan penaklukan. Kemenangan-
kemenangan yang ia peroleh diperingati melalui pembangunan monumen-monumen
raksasa. Contohnya adalah Kuil Ramses II di Abu Simbel, yang terletak di daerah
hulu sungai Nil, lengkap dengan pembuatan empat buah patung kolosal yang
berukuran kira-kira 60 kaki di bagian depan kuil.
Selain kuil-kuil yang dibangun untuk keperluan upacara kematian, ada juga kuil yang
didirikan untuk menghormati dewa-dewa seperti kuil yang terdapat di Karnak dan
Penampakan dari jenis kuil Pylon didominasi oleh façade-nya; wajah depan
bangunan, yang simpel dan massif. Gambar 26 menggambarkan dengan jelas
façade kuil Horus di Edfu yang sederhana dan besar. Bagian dalam dari kuil Horus
ini adalah halaman terbuka yang bertiang, disusul oleh sebuah aula bertiang dan
beratap keping balok batu (hypostyle), serta ruang suci pada bagian yang paling
dalam.
Aula bertiang dan beratap dengan ukuran yang luar biasa adalah kuil Amen Re di
Karnak seperti pada gambar berikut.
Daftar Pustaka
Sachari, Agus. (2003). Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Bandung: Erlangga.
Faimon, Peg, dan Weigand, John. (2004). The Nature of Design. Ohio: HOW Design Book.
Tedesco, Laura Anne, dan Patch, Diana Craig. (2000). Wadi Kubbaniya (ca. 17,000–15,000
B.C.). Heilbrunn Timeline of Art History. New York: The Metropolitan Museum of Art, 2000–.
http://www.metmuseum.org/toah/hd/wadi/hd_wadi.htm (October 2000)
Allen, James, dan Hill, Marsha. (2004). Late Period of Egypt. Heilbrunn Timeline of Art
History.
Roehrig, Catherine. (2000). Egypt in Old Kingdom. Heilbrunn Timeline of Art History.
Sumber Gambar
Diffendale, Dan. 2012. Cycladic Frying Pan from Chalandriani. Flickr.com.
https://www.flickr.com/photos/dandiffendale/sets/72157632150547975/with/8237256885/