Banjir & Lonsor
Banjir & Lonsor
Disusun Oleh:
1. Cecep Nuryana (11409)
2. Heru Cahyono (11299)
Terjadinya banjir dan longsor di Pulau Jawa telah lama diprediksi para ahli. Prediksi
itu kini benar-benar terjadi. Di mana-mana di Pulau Jawa ini, terutama Jawa Tengah
(Jateng) dan Jawa Timur (Jatim), ada banjir dan longsor. Pusat kerajaan Jawa-Solo
dan sekitarnya-yang dulu nyaris tak pernah dilanda banjir, kini tenggelam.
Di Jawa Barat (Jabar), banjir menggenangi berbagai daerah yang dilalui Sungai
Ciliwung, Cimanuk, dan Citarum. Bahkan sungai-sungai kecil pun ikut andil
menggenangi berbagai daerah di Jawa Barat. Jakarta, Tangerang, dan Pandeglang,
misalnya,mulai tergenang banjir. Padahal, puncak hujan di Jakarta dan sekitarnya
diperkirakan berlangsung Februari mendatang. Kerugian akibat banjir di Pulau Jawa
jelas lebih besar dibanding kerugian banjir di pulau-pulau lain.
Padatnya penduduk dan bangunan di Pulau Jawa menyebabkan banjir menimbulkan
kerugian material yang besar sekali, di samping menimbulkan korban yang amat
banyak. Sejak akhir Desember 2007 sampai awal Januari 2008, korban banjir sudah
mencapai ratusan orang. Kerugian material mencapai ratusan miliar, bahkan triliunan.
Kenapa semua itu terjadi?
Padahal, pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa
diperkirakan masih sekitar 9 juta hektare. Namun, pada akhir 1980-an, tutupan hutan
alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektare,atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa.
Adapun hutan negara di Jawa dan Madura luasnya sekitar 2,9 juta hektare. Hutan
seluas itu hampir semuanya dikuasai Perhutani, yaitu 2.556.145 hektare, kecuali
kawasan hutan suaka alam, taman nasional, dan hutan Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta serta Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di Pulau Jawa yang penduduknya berjumlah sekitar 127.217.819 jiwa, terdapat tidak
kurang dari 6.324 desa, 936 kecamatan, dan 84 kabupaten. Mungkin sekarang
komposisi di atas sudah bertambah karena ada pemekaran daerah. Namun, satu hal
jelas terjadi: perubahan komposisi itu tidak mengarah pada perluasan tutupan pohon,
hutan, dan penghijauan tanah-tanah kritis, melainkan sebaliknya. Akibatnya, muncul
tragedi banjir dan longsor di berbagai daerah di pulau ini.
Mau tidak mau, Perhutani yang memonopoli penguasaan dan pengelolaan sebagian
besar hutan di Jawa akhirnya turut menjadi tertuduh sebagai perusak lingkungan.
Dalam mengelola hutan di Jawa selama ini, Perhutani dianggap gagal, baik dari sisi
ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Pengelolaan hutan di Jawa yang dikuasai
Perhutani, menurut Walhi, ternyata tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kegagalan itu,
tulis Walhi, terlihat pada ketersediaan air tanah yang terus menurun di dataran rendah
dan rentannya daerah lereng terhadap bahaya longsor.
Perhutani juga dianggap melanggar ketentuan ekologis dengan mengubah hutan alam
menjadi hutan monokultur seperti hutan pinus dan jati. Selama ini pengelolaan yang
dilakukan Perhutani berorientasi pada kayu. Padahal, nilai kayu hanya sekitar 7 persen
dari nilai total ekosistem hutan. Akibatnya, terjadi krisis ekologis yang makin lama
makin parah. Kondisi ini diperparah dengan maraknya illegal logging. Masyarakat di
lingkungan hutan yang miskin dan tersisihkan dari akses ekonomi menjadikan mereka
terlibat pencurian kayu sekadar untuk hidup. Dalam kaitan ini, Perhutani dianggap
gagal memberdayakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Di samping itu, pengelolaan hutan di Jawa oleh perusahaan milik pemerintah ini sarat
korupsi kolusi, dan nepotisme (KKN) dan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM)
seperti perampasan tanah, kasus penindasan, atau intimidasi. Dampaknya, antara
Perhutani dan masyarakat sering terjadi konflik. Konflik-konflik ini kemudian
berkembang pada perusakan hutan. Di samping rusaknya hutan, hampir semua
kondisi DAS di Pulau Jawa kritis. Padahal, DAS tidak hanya berfungsi untuk
melestarikan ekosistem dan fungsi sungai, tapi juga menjadi sumber mata air
tambahan dan pencegah erosi. Namun sayang, DAS yang kelestariannya sudah
dilindungi undang-undang ini ternyata rusak karena eksploitasi manusia.
DAS Ciliwung, Citarum, Cimanuk, Citanduy, Cipunegara, dan Ciujung (Jawa Barat);
DAS Garang, Bodri, Bengawan Solo, dan Serayu (Jateng dan DIY); DAS Grindulu,
Pasiraman, Rejoso, Brantas, Sampean dan Saroka (Jatim) kini dalam kondisi kritis.
Akibatnya, sungai-sungai di Pulau Jawa mengalami pendangkalan dan penyusutan air
di musim kemarau. Tetapi sebaliknya di musim hujan air meluap dengan dahsyat.
Banjir di Solo, Bojonegoro, Jakarta, dan daerah-daerah lain adalah akibat rusaknya
DAS yang mengalir di daerah tersebut.
Kompleksitas penyakit ekologi yang terjadi di Pulau Jawa telah mengantarkan "pulau
gemah ripah" ini ke ruang kematian bagi makhluk yang hidup di atasnya. Jika
kerusakan hutan di hulu dan kerusakan DAS di sepanjang aliran sungai ini tidak
segera dibenahi secara terintegrasi, bukan tidak mungkin kelak Pulau Jawa akan
tenggelam di musim hujan dan kering kerontang di musim kemarau. Kini,
kekhawatiran seperti itu sudah mulai tampak dengan meluasnya banjir di Pulau Jawa
pada awal 2008 ini. Dengan rasa cemas, kita pun sedang menanti tanah-tanah di Jawa
yang merekah karena kekeringan dahsyat di musim kemarau kelak. (*)
Tips Menghadapi Longsor dan Ciri Daerah Rawan Longsor
Ciri Daerah Rawan Longsor
1. Daerah berbukit dengan kelerengan lebih dari 20 derajat
2. Lapisan tanah tebal di atas lereng
3. Sistem tata air dan tata guna lahan yang kurang baik
4. Lereng terbuka atau gundul
5. Terdapat retakan tapal kuda pada bagian atas tebing
6. Banyaknya mata air/rembesan air pada tebing disertai longsoran-longsoran
kecil
7. Adanya aliran sungai di dasar lereng
8. Pembebanan yang berlebihan pada lereng seperti adanya bangunan rumah
atau saranan lainnya.
9. Pemotongan tebing untuk pembangunan rumah atau jalan
1. Karena longsor terjadi pada saat yang mendadak, evakuasi penduduk segera
setelah diketahui tanda-tanda tebing akan longsor.
2. Segera hubungi pihak terkait dan lakukan pemindahan korban dengan hati-
hati.