Anda di halaman 1dari 19

1.

Ummatan Muslimatan
Secara bahasa ummatan muslimatan berarti masyarakat yang beragama islam atau
masyarakat yang senantiasa tunduk pada hukum syariat, ummatan muslimatan ini
disebutkan dalam al-qur'an surat al-baqoroh ayat 128
‫َر َّبَنا َو ٱْج َع ْلَنا ُم ْس ِلَم ْيِن َلَك َوِم ن ُذ ِّرَّيِتَنٓا ُأَّم ًة ُّم ْس ِلَم ًة َّلَك َو َأِرَنا َم َناِس َكَنا َو ُتْب َع َلْيَنٓاۖ ِإَّنَك َأنَت ٱلَّتَّواُب ٱلَّر ِح يُم‬
Artinya: Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada
Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada
Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji
kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat tersebut merupakan salah satu doa' yang di bacakan nabi Ibrohim A S dalam
ayat tersebut mengandung suatu harapan bagi nabi ibrohim agar keturunannya
dijadikan ummatan muslimatan yaitu masyarakat yang senantiasa tunduk dan
patuh akan perintah allah dan menjauhi segala larangannnya.
Dalam ayat tersebut jelas dikatakan bahwa ummatan muslimatan memiliki makna
masyarakat yang tunduk kepada allah.

Ummatan wahidah
‫َوَم ا َك اَن الَّناُس ِآاَّل ُاَّم ًة َّواِح َد ًة َفاْخ َتَلُفْو ۗا َو َلْو اَل َك ِلَم ٌة َسَبَقْت ِم ْن َّرِّبَك َلُقِض َي َبْيَنُهْم ِفْيَم ا ِفْيِه َيْخ َتِلُفْو َن‬
Artinya :Manusia itu dahulunya hanya umat yang satu (dalam ketauhidan), lalu
mereka berselisih. Seandainya tidak karena suatu ketetapan yang telah ada dari
Tuhanmu, pastilah di antara mereka telah diberi keputusan (azab di dunia) tentang
apa yang mereka perselisihkan itu.
Dalam menerangkan ayat ini, Hamka berpendapat bahwa manusia

pada dasarnya adalah umat yang satu, meskipun warna kulitnya tidak

sama, bahasa yang digunakan tidak sama, tinggal di tempat yang berbeda

benua dan pulau, tetapi manusia adalah umat yang satu, baik karena satu

kepercayaan meyakini adanya sang Maha Pencipta atas alam raya ini, satu

keinginan suka kebaikan dan benci keburukan. Tetapi, setelah pergaulan manusia
meluas, adabya perebutan kepentingan, timbullah perselisihan di

antara mereka. Maka, Allah mengutus Nabi-nabi untuk memberi tuntunan

kepada manusia, sehingga perselisihan dapat ditengahi dengan jalan

damai. Setelah datang kebenaran, perselisihan masih ada. Adakalanya

manusia tidak mau menerimanya atau merasa dirinya paling benar. Melalui

ayat ini pelajaran yang dapat diambil adalah manusia senantiasa selalu

mencari titik temu dan kembali kepada kesatuannya sebagai umat.13

Hamka mengemukakan sebab turunnya ayat ini dengan mengutip

1
hadis riwayat al-Bukhari, bahwa konteks manusia dalam ayat ini ialah

bangsa Arab. Hal ini didasarkan bahwa pada mulanya bangsa Arab

mempunyai satu akidah saja, yakni ajaran tauhid Nabi Ibrahim a.s. Namun,

setelah muncul ‘Amer bin Luhay melalukan perbuatan bid’ah dengan

meletakkan berhala-berhala di sekeliling ka’bah untuk disembah. Sejak itu

muncul perpecahan yang menyebabkan segian ikut penyembahan berhala

dan sebagian tetap mempertahankan ajaran tauhid. Dari uraian asbābun

nuzūl tersebut, Hamka memberikan kesimpulan, bahwa kata an-nas tidak

hanya diperuntukkan bagi orang Arab saja. Namun dapat diartikan dengan

semua manusia yang pada dasarnya meyakini Allah SWT.

14

Kementerian Agama RI berpandangan ketika menguraikan ayat ini

bahwa pada mulanya manusia ialah umat yang satu, yakni satu agama

tauhid yang meyakini bahwa Allah itu ada, karena ketika lahir di dunia telah

memeluk akidah tauhid. Akan tetapi, setelah mereka berkembang biak,

timbullah perbedaan kepentingan dari hawa nafsu dan mereka pun

berselisih. Maka, Allah mengutus Nabi-nabi dengan dilengkapi kitab untuk

menuntun manusia menghilangkan perselisihan dan pendapat di antara

mereka. Kemudian, manusia berselisih dan bermusuhan tentang kitab

yang Allah turunkan.

15

Kementerian Agama RI menguraikan asbābun nuzūl bahwa

manusia dalam konteks ayat ini adalah orang Arab yang mengikuti ajaran

tauhid yang mengakui keesaan Allah. Kemudian masuklah unsur kesyirikan


yang dilakukan oleh ‘Amer bin Luhay dengan mengubah ajaran tauhid
menyembah Allah, menjadi penyembah berhala. Meskipun asbābun nuzūl
-nya mengkhususkan untuk orang Arab saja, tetapi berlaku untuk semua

2
manusia.

3.ummatan wasathan

Islam adalah agama yang memiliki ajaran moderat. Sebab, Islam mengajarkan
umatnya untuk bersikap adil, berimbang, dan proporsional. Ajaran moderat ini
meliputi seluruh aspek kehidupan muslim, baik dalam beribadah, bermuamalah,
maupun bekerja. Sebagai contoh, Islam melalui Al-Qur’an memerintahkan
pemeluknya untuk mencari karunia Allah di akhirat, namun pada saat yang sama
mereka juga harus memperhatikan kehidupan dunia. Dalam surat Al-Baqoroh ayat
143 Allah berfirman:
‫َو َك ٰذ ِلَك َجَع ْلٰن ُك ْم ُاَّم ًة َّوَس ًطا ِّلَتُك ْو ُنْو ا ُش َهَد ۤا َء َع َلى الَّناِس َو َيُك ْو َن الَّرُسْو ُل َع َلْيُك ْم َش ِهْيًداۗ َوَم ا َجَع ْلَنا اْلِقْبَلَة اَّلِتْي ُكْنَت َع َلْيَهٓا ِااَّل‬
‫ِلَنْع َلَم َم ْن َّيَّتِبُع الَّرُسْو َل ِمَّم ْن َّيْنَقِلُب َع ٰل ى َعِقَبْيِۗه َوِاْن َكاَنْت َلَك ِبْيَر ًة ِااَّل َع َلى اَّلِذ ْيَن َهَدى ُهّٰللاۗ َوَم ا َك اَن ُهّٰللا ِلُيِض ْيَع ِاْيَم اَنُك ْم ۗ ِاَّن‬
‫َهّٰللا ِبالَّناِس َلَرُءْو ٌف َّر ِح ْيٌم‬

Artinya: Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat
yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui
siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh,
(pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk
oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha
Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.

kitab Tafsir al-Kabir (hlm. 145)atau yang lebih dikenal Tafsir Muqatil bin
Sulayman karya Muqatil bin Sulayman bin Bashīr al-Balkhī al-Marūzī al-
Khurāsānī (w. 150 H/767 M). Kitab ini dianggap sebagai kitab tafsir tertua di
kalangan muslim. Dalam tafsirnya, Muqatil mengartikan ummatan wasathan
dengan makna umat yang adil (‘adlan). Keadilan di sini maksudnya adalah umat
nabi Muhammad merupakan saksi yang adil di antara manusia di akhirat kelak.

pada dasarnya karakteristik ummatan wasathan ini tidak dimuat secara

khusus dalam kitab tafsir yang dituliis oleh M. Qurais Shihab, tetapi dalam

penjelasannya terhadap penafsiran ayat 143 mengenai ummatan wasathan dapat

diambil beberpa karakeristik, diantaranya31:

a. Ummatan wasathan ialah umat yang memiliki keimanan, yakni beriman kepada

Allah dan Rasul-Nya. Hal ini terlihat dalam penafsiran M. Quraish Shihab bahwa

Q.S. al-Baqarah ayat 143 menyebutkan posisi atau kedudukan umat Islam sebagai

3
ummatan wasathan. Umat Islam adalah umat yang beriman kepada Allah SWT
dan

Rasul-Nya, dengan iman yang benar sehingga atas dasarnya mereka percaya dan

mengamalkan tuntunan Allah dan tuntunan Rasul-Nya. Dengan demikian, dalam

menjalankan perannya sebagai ummatan wasathan, umat Islam mesti memiliki

landasan iman yang benar kepada Allah dan Rasul-Nya.

b. Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki keteguhan, hal ini terlihat dari

peristiwa peralihan kiblat umat Islam. Sebelumnya, Nabi Muhammad dan kaum

muslimin mendapatkan ejekan dari kaum yang menolak Ka’bah sebagai arah

kiblat dan mencela umat Islam yang mengarah atau tawaf di Ka’bah. Mereka

menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan pengikutnya itu

adalah menuruti hawa nafsu semata. Bahkan menuding bahwa peribadatan

orang-orang yang dahulu, ketika menghadap ke Bayt al-Maqdis atau di Makkah,

menjadi sia-sia belaka dan tidak ada ganjarannya. Timur maupun barat, keduanya

itu sama saja dalam hal kepemilikan, otoritas kekuasaan, dan pengaturan Allah.

Maka, ke mana saja setiap orang menghadap, pasti menemui Tuhannya. Dengan

demikian, dalam pribadi ummatan wasathan harus ada keteguhan sikap dalam

memegang prinsip kebenaran.

c. Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kekuatan akal dan bijaksana.

d. Ummatan wasathan merupakan kelompok umat yang menjunjung tinggi nilai-


nilai

persatuan. Hal ini terlihat sebagaimana Quraish Shihab menuturkan bahwa

perintah mengalihkan kiblat dari Bayt al-Maqdis kembali ke Ka’bah, karena

Makkah berada pada posisi tengah (wasat) dan tepat. Sebagaimana diisyaratkan

dalam Q.S. al-Baqarah ayat 143, bahwa Allah memposisikan umat Islam sebagai

umat pertengahan (ummatan wasathan) sebagaimana Ka’bah yang berposisi di

4
tengah. Menurut Quraish Shihab, tujuan dari menghadap kiblat itu adalah agar

umat Islam menghadap ke satu arah yang jelas dan sama.

e. Ummatan wasathan adalah umat yang adil. Hal ini dapat dilihat dalam
penjelasan

M. Quraish Shihab bahwa posisi pertengahan menjadikan manusia cenderung

untuk berbuat adil. Kedudukan umat Islam sebagai ummatan wasathan dalam arti

adil, menuntut umatnya supaya menjunjung tinggi keadilan setiap saat, kapan

saja dan di mana saja serta terhadap siapa saja.

f. Ummatan wasathan adalah umat yang teladan. Hal ini dapat dilihat dari
penjelasan

Quraish Shihab, bahwa posisi pertengahan membuat seseorang dapat disaksikan

oleh pihak mana saja, walaupun pada posisi yang berbeda-beda, dan posisi tengah

itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapa saja dan di mana saja. Pada saat

yang sama ia dijadikan teladan oleh pihak mana pun. Oleh sebab itu, umat Islam

disebut sebagai ummatan wasathan adalah supaya dapat menyaksikan perbuatan

umat yang lain. Akan tetapi, hal ini tidak dapat dilakukan kecuali umat Islam

benar-benar menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai shahid, yakni sebagai

saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan kaum muslimin dan

Rasulullah SAW pun akan disaksikan oleh umatnya, yaitu menjadikan beliau

sebagai teladan dalam setiap tindakan dan perbuatan.

g. Ummatan wasathan adalah umat yang seimbang dalam menjalankan ajaran dan

tuntunan Islam. Hal ini dapat dilihat sebagaimana Shihab menuturkan bahwa

Islam mayakini wujud Tuhan, namun tidak menganut paham politeisme. Dalam

Islam, Tuhan Maha Wujud dan Maha Esa. Di samping itu, Quraish Shihab

menuturkan bahwa dalam pandangan Islam, kehidupan itu tidak sebatas di dunia

saja, namun ada pula kehidupan akhirat yang harus diseimbangkan.

5
h. Ummatan wasathan adalah umat yang inklusif (terbuka). Hal ini sebagaimana

disebutkan oleh M. Quraish Shihab, wasathiyah (moderasi/posisi tengah)

mengundang umat Islam berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua

pihak, baik itu agama, budaya, maupun peradaban. Sebab, bagaimana mereka
dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika seandainya mereka tertutup atau
menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.

Perspsektif Al-qur'an tentang pembentukan masyarakat ideal


Home Kategori Masyarakat Ideal dalam… Masyarakat Ideal dalam Perspektif al-
Qur’an 24205 Admin Unisnu Jepara 03 Mei 2020 Kolom Rektor Masyarakat
berdasar prinsip-prinsip al-Qur'an bertujuan tegaknya sebuah tata masyarakat
yang etis dan egalitarian, terhindar dari disekuilibrium ekonomi dan ketidakadilan
sosial, dan untuk meraih ridla Allah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu al-Qur'an
mengingatkan situasi yang bercirikan sikap kikir yang keterlaluan, sikap yang
mementingkan diri sendiri, dan kemewahan di samping kemiskinan dan
ketidakberdayaan: "Kalian senantiasa sibuk di dalam perlombaan menumpuk
harta kekayaan hingga ajal kalian tiba. Tidak! Nanti akan kalian ketahui! Tidak!
Nanti akan kalian ketahui" (QS 102:1-4). "Celakalah orang yang suka
mengumpat, mencela, mengumpulkan harta kekayaan, dan menghitung-
hitungnya. Ia mengira kekayaannya itu dapat memberikan kekekalan kepada
dirinya. Tidak! Sesungguhnya ia akan dilemparkan ke dalam huthama. Tahukah
engkau apakah huthama itu? Itulah api Allah yang membakar hati (orang-orang
yang sangat kikir)" (QS 104:1-7). Pesan al-Qur'an tentang masyarakat ideal tidak
hanya bersifat kognitif, karena terbukti menilai keseluruhan aktivitas mereka,
sampai yang transendental. Jika ada lebih dari seorang individu, maka Allah
secara langsung masuk ke dalam hubungan di antara mereka, dan merupakan
dimensi ketiga yang tak dapat mereka lengahkan, jika mereka tidak menginginkan
resikonya (QS 58:7). Bahkan sejak awal al-Qur'an mencela dua aspek yang saling
berhubungan erat dalam masyarakat: perilaku syirik (politheisme) yang
merupakan simptom dari segmentasi masyarakat, dan ketimpangan sosio-ekonomi
yang ditimbulkan oleh serta yang menyuburkan perpecahan yang sangat tidak
diinginkan di antara sesama masyarakat. Masyarakat ideal terwujud ditandai
kedamaian dan kekayaan. Karena penyalahgunaan kekayaan dapat menghalangi
individu dalan mencari nilai-nilai yang luhur (fadhl) sehingga kekayaan itu
menjadi "sebagian kecil dari kelimpahan dunia" dan "delusi dunia". Pada prinsip
keadilan yang merata, "kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang-orang
kaya saja" (QS 59:7). Meski hal ini diturunkan terkait pembagian harta rampasan
perang (fay') kepada para muhajirin yang miskin tanpa mengikutsertakan orang-
orang Madinah, yang lebih lumayan ekonomi nya, sehingga mereka mengajukan
keberatan, tapi ayat ini menunjukkan sebuah tema penting dalam kebijakan
ekonomi Al-Qur'an secara garis besarnya. Akhirnya tujuan zakat diterangkan
detail: "Zakat (bukan untuk orang-orang yang kaya tetapi) hanya untuk fakir-
miskin, untuk orang-orang yang mengumpulkannya, untuk orang-orang yang
hendak ditarik (ke dalam Islam), untuk (menebus) tawanan-tawanan perang, untuk
orang-orang yang terjerat hutang, untuk "jalan Allah" (jihad dan tujuan-tujuan ke
masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan) dan untuk orang-orang di dalam

6
perjalanan (untuk memudahkan perjalanan)" (QS 9:60). Kategori-kategori ini
termasuk kesejahteraan sosial dalam pengertian luas

Dalam perspektif Kuntowijoyo, untuk menganalisis struktur bangunan ummah ini


dapat menggunakan analisis strukturalisme. Dengan mengutip Michael Lane
dalam Introduction to Structuralism, ia menjelaskan bahwa ciri pertama dari
metode strukturalisme yaitu perhatiannya pada totalitas (keseluruhan objek),
bukan pada bagian-bagian. Analisis strukturalisme mempelajari unsur, tetapi
unsur itu tetap dilihat dalam konteks keseluruhan jaringan yang menyatukan
unsur-unsur dimaksud. Oleh karena itu, rumusan pertama strukturalisme yaitu
unsur hanya bisa dimengerti melalui keterkaitan (inter-connectedness) antar unsur.
Kedua, analisis strukturalisme tidak mencari struktur dipermukaan atau pada
peringkat pengamatan, tetapi di bawah atau dibalik realitas empiris. Apa yang
ada/tampak di permukaan adalah cerminan dari struktur yang ada di bawah (deep
structure), lebih ke bawah lagi ada kekuatan pembentuk struktur (innate
structuring capacity). Ketiga, dalam peringkat empiris, keterkaitan antar unsur
bisa berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal). Keempat,
strukturalisme memperhatikan unsur-unsur yang sinkronis, bukan yang diakronis.
Maksudnya unsur-unsur dalam satu waktu yang sama, bukan perkembangan antar
waktu, diakronis atau historis.

Dalam Islam dan masyarakat Islam, inter-connectedness sangat ditekan dalam


keseluruhan ajarannya. Misalnya keterkaitan antara shalat dan zakat, puasa dan
infak, hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Demikian pula keterkaitan
iman, amal shaleh dan solidaritas sosial. Dengan demikian, menurut Kuntowijoyo,
epistemologi dalam Islam adalah epistemologi relasional. Satu unsur selalu ada
hubungan dengan yang lain. Keterkaitan antar unsur ini juga bisa sebagai logical
consequences dari satu unsur. Seluruh rukun Islam lainnya (shalat, zakat, puasa,
haji) adalah konsekuensi logis dari syahadah.

Tanggung jawab

Tugas humanisasi, liberasi dan transendensi menurut Kuntowijoyo tergambar


dalam surat Ali Imran (3) ayat 110:

‫ُكْنُتْم َخ ْيَر ُاَّمٍة ُاْخ ِرَج ْت ِللَّنا ِس َتْأُم ُرْو َن ِبا ْلَم ْع ُرْو ِف َو َتْنَهْو َن َع ِن اْلُم ْنَك ِر َو ُتْؤ ِم ُنْو َن ِبا ِهّٰللۗ  َو َلْو ٰا َم َن َاْهُل اْلِكٰت ِب َلَكا َن َخ ْيًرا‬
‫َّلُهْم ۗ  ِم ْنُهُم اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن َو َا ْكَثُرُهُم اْلٰف ِس ُقْو َن‬

"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah
orang-orang fasik."

Ayat di atas dengan sangat jelas menegaskan bahwa umat Islam disebut khairu
ummah. Khairu ummah ini ukhrijat linnas (menyandang misi khusus) untuk
menghumanisasi, meliberasi, dan mentransendensi umat manusia.

Humanisasi di sini dilakukan dengan cara mengarahkan dan mengondisikan


masyarakat kepada penegakan nilai-nilai yang ma'ruf (nilai-nilai kemanusiaan)

7
sehingga setiap warga merasakan kesetaraan, keadilan, kesamaan dalam hukum,
dsb. Liberasi (pembebasan) dicapai dengan cara menjaga dan melindungi
masyarakat dari hal-hal destruktif. Sementara transendensi diikhtiarkan untuk
mengarahkan hidup masyarakat supaya hidup secara bermakna berbasis nilai-nilai
ketuhanan. Nilai-nilai ketuhanan ini mengarahkan masyarakat menemukan nilai-
nilai luhur kemanusiaan. Penemuan nilai-nilai luhur kemanusiaan ini akan
mengantarkan masyarakat menuju nilai-nilai ketuhanan.

a.

Humanisasi

Istilah ini merupakan deriviasi dari

amar ma’ruf yang mengand

ung pengertian kemanusiaan manusia. Dalam bahasa agama, konsep humanisasi


merupakan terjemahan kreatif dari

amar al-ma’ruf,

yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Amar al-
ma’ruf dimaksudkan untuk mengangkat dimensi dan

potensi positif (ma’ruf) manusia. Berdasarkan pemahaman ini, maka

konsep humanisasi Kuntowijoyo berakar pada humanisme-teosentris.

Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep
transendensi yang menjadi dasarnya.11

Pada dasarnya pendidikan adalah permasalahan kemanusiaan,

maka sebagai sasaran bidik yang pertama adalah manusia (antropologi).


Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan dalam tulisan ini menampilkan
pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek
pendidikan bukan sebaliknya. Oleh

karena itu starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-
filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan keberadaan
dirinya sebagai khalifah Allah di

muka bumi. Jika pendidikan lepas dari dasar-dasar ini, maka pada

akhirnya pendidikan hanya akan melahirkan tata cara hidup yang

tidak lagi konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Oleh

8
karena humanisasi12 adalah proses manusia untuk memanusiakan

manusia, sebagaimana juga pendidikan, maka ia harus mulai dari

suatu proses yang dialogis dengan melibatkan kesadaran kritis.

b. Liberasi

Istilah Nahi munkar adalah bahasa agama. Bahasa agama yang

dimaksud adalah bahasa yang didapatkan dari sumber ajaran

agama, yakni Al-Qur’an sebagaimana yang tertuang dalam Q.S Ali

Imron ayat 110. Namun Bahasa ini kemudian oleh Kuntowijoyo

diterjemahkan kedalam bahasa ilmu menjadi liberasi. Dalam bahasa

agama, nahi munkar berarti melarang atau mencegah segala tindak

kejahatan yang merusak, mulai dari mencegah teman yang menkonsumsi


Narkoba, melarang tawuran, memberantas judi, menghilangkan lintah darat,
sampai membela nasib buruh dan memberantas korupsi. Sedangkan dalam bahasa
ilmu, nahi munkar diartikan

sebagai pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan.13 Oleh


karena itu, kata liberasi berarti pembebasan, sepertiyang digunakan dalam istilah
“Theology of Liberation”. Liberasi merupakan pendekatan revolusioner, yang
dalam konteks Indonesia

masa kini biaya sosialnya terlalu mahal, sehingga umat Islam hanya

perlu mengambil intinya, yaitu: usaha yang sungguh-sungguh.14

Islam adalah aqidah revolusioner yang aktif. Artinya, berislam

merupakan suatu proklamasi pembebasan manusia dari perbudakan manusia.


Meminjam istilah yang pernah diwacanakan oleh

Muhammad Arkoun, bahwa kebebasan merupakan data khas Islam, karena agama
Islam adalah agama yang memproklamirkan

diri sebagai agama pembebasan. Maka sesungguhnya pendidikan

Islam sebagai sarana transformasi nilai-nilai keislaman juga seharusnya mampu


memproses manusia-manusia pembebas. Dengan

demikian, dapatlah dikatakan bahwa pendidikan dalam Islam juga

9
berperan sebagai praktek pembebasan.15

Islam telah mengajarkan banyak hal kepada umat manusia. Termasuk


mengajarkan bagaimana kebebasan berfikiritu bekerja sesuai

dengan ortodoksi keagamaan. Sebagai implikasinya, Islam mendefinisikan


kebenaran sebagai hal yang umum dan mencakup kaum

muslim maupun non-muslim.16 Sama sekali tidak mengkhususkan

kebenaran hanya dimiliki oleh satu kelompok saja. Sementara itu,

tujuan liberasi adalah membebaskan manusia dari kungkungan

teknologi, dan pemerasan kehidupan, menyatu dengan yang miskin

yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan


manusia dari belenggu yang kita buat sendiri.17 Adapun

liberasi yang dimaksud Kuntowijoyo dalam Ilmu Sosial Profetik

adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur

transendental. Nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan


didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki

tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekeja-man


kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang

menindas dan hegemoni kesadaran palsu.

c. Transendensi

Transendensi merupakan unsur terpenting dari ajaran sosial

Islam yang terkandung dalam Ilmu Sosial Profetik dan sekaligus

menjadi dasar dari dua unsur lainnya; humanisasi dan liberasi. Oleh

karena itu, ketiga unsur (pilar) tersebut tidak dapat dipisahkan satu

sama lain. Yang dimaksud dengan transendensi dalam pembahasan

ini adalah konsep yang diderivasikan dari

tu’minuna bi Allah

(beriman kepada Allah), atau bisa juga istilah dalam teologi (misalnya

10
persoalan Ketuhanan, mahluk-mahluk gaib).

18 Hal tersebut seperti

yang tertulis dalam kitab Al-Qur’an surat Al-baqarah ayat 3-4 yang

berbunyi;

c.

Transendensi

Transendensi merupakan unsur terpenting dari ajaran sosial Islam yang

terkandung dalam Ilmu Sosial Profetik dan sekaligus menjadi dasar dari dua unsur

lainnya; humanisasi dan liberasi. Oleh karena itu, ketiga unsur (pilar) tersebut
tidak

dapat dipisahkan satu sama lain. Yang dimaksud dengan transendensi dalam

pembahasan ini adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minuna bi Allah


(beriman

kepada Allah), atau bisa juga istilah dalam teologi (misalnya persoalan
Ketuhanan,

mahluk-mahluk gaib).18 Hal tersebut seperti yang tertulis dalam kitab Al-Qur’an
surat

Al-baqarah ayat 3-4 yang berbunyi;





11











12












13











14









15













16







Artinya : (

yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang

mendirikan shalat, dan

17
menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan

kepada mereka. Dan mereka yang

beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-
kitab yang

Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)


akhirat.

Dari pemaparan konsep filisofis pendidikan profetik, yang memuat unsur-unsur

humanisasi, liberasi dan transendensi, maka Pendidi

kan Agama Islam berbasis sosial

profetik harus memuat unsur-unsur tersebut yang dikolaborasikan dengan nilai-


nilai

kenabian yakni

shiddiq, amanah, fathanah

dan tabligh

. Unsur kolaborasi tersebut harus

teraplikasi pada delapan ukuran standar pendidikan,

diantaranya :

Pertama, tujuan pendidikan agama Islam berbasis humanistik harus berorientasi

untuk “membudayakan manusia” atau “memanusiakan man

usia” dan “membudayakan

masyarakat” atau “memanusiakan masyarakat”. Artinya

pendidik dan perserta didik

sekaligus management pendidikannya tersusun dengan

birokrasi serta proses belajar

mengajar yang manusiawi dan natural, dengan pertimb

angan rasa dan karsa manusia. Hal

18
ini merupakan cerminan nilai humanistik. Nilai humanisasi ini juga tercermin
dalam ayatayat al-Qur’an, dimana Allah memuliakan bani adam (anak keturunan
adam), bahkan

penciptaan manusia melambangkan kesempurnaan, sebag

aimana ditegaskan dalam alQur’an :




18 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, hlm. 11-13.

Artinya : (

yaituF mereka yang beriman kepada yang ghaibI yang mendi

rikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan

kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab EAl QuranF yang

Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang

Telah diturunkan sebelummuI serta mereka yakin akan adanya EkehidupanF


akhirat.

Dari pemaparan

konsep filisofis

pendidikan

profetik, yang

memuat unsur-unsur humanisasi, liberasi dan transendensi, maka

Pendidikan Agama Islam berbasis sosial profetik harus memuat

unsur-unsur tersebut yang dikolaborasikan dengan nilai-nilai kena


bian yakni shiddiqI amanahI fathanah dan tabligh

19

Anda mungkin juga menyukai