Secara etimologi, kata dharar merupakan antonym dari kata manfaat. Jika
menghirup udara yang mengandung oksigen memberikan manfaat bagi
manusia, maka melarang, mencegah, atau memaksa seseorang untuk tidak
menghirup oksigen adalah perbuatan yang mengakibatkan dharar bagi orang
tersebut. Adapun secara terminologi, para ulama memberikan beragam
penyampaian, tetapi semuanya bermuara pada tiga hal; kondisi
kesengsaraan yang amat sangat yang mengarah kepada kematian yang
dengannya apa yang haram diperbolehkan selama dapat menghindarkan dari
kematian tersebut. Sediikit perbedaan adalah sebagian ulama Maliki, bahwa
menurut mereka “mengarah kepada kematian itu” dapat berupa suatu
kekhawatiran yang didasarkan pada keyakinan ataupun dugaan. Signifikansi
konsep dharar adalah lahirnya pengertian atas “keberpihakan” Syariah
terhadap kemaslahatan, sehingga setiap pembebanan suatu hukum bukan
untuk tujuan ‘menghukum’ melainkan ‘membuka jalan kemaslahatan’. Hukum
tidak dibuat untuk menyengsarakan mukallaf, sebaliknya, memberikan
kemaslahatan kepada mukallaf.
Kerugian materiil adalah kerugian yang nyata dan dapat dihitung kerugiannya,
sehingga suatu nominal yang ditentukan sebagai ganti rugi adalah senilai
dengan kerugiannya. Nilai atau nominal itu mengembalikan kondisi menjadi
seperti semula, sebelum terjadi kerugian. Adapun kerugian immaterial tidak
bisa dihitung. Karena tidak bisa dihitung, maka ganti ruginya pun tidak bisa
dihitung sehingga ganti rugi tidak dapat mengembalikan korban kepada
“kondisi semula”. Orang yang merasa terhina, reputasinya jatuh atau
martabatnya hancur karena suatu fitnah, boleh jadi tetap merasa terhina
meskipun kerugian immaterialnya itu telah diberikan kompensasi sejumlah
Rp10 Miliar.
Dalam pernikahan, nafkah istri yang tidak dibayar suami adalah kerugian
materiil. Adapun kekecewaan, rasa sakit hati, dan rasa terinjak-injaknya
martabat istri oleh karena perlakukan sewenang-wenang suami adalah
kerugian immaterial. Dalam hukum ekonomi, katakanlah dalam jasa
transportasi udara, pembatalan sepihak dari maskapai menyebabkan
kerugian materiil (tidak jadi mendapat honorarium dari suatu acara yang
harus dihadiri, misalnya, atau batalnya suatu kesepakatan bisnis). Adapun
tindakan sewenang-wenang maskapai (memberlakukan pembatalan secara
sepihak), menyebabkan kerugian immaterial (rasa kecewa dan terhina oleh
karena perlakuan tidak pantas dan merendahkan).
PMH dalam perdata sepintas berkelindan dengan PMH dalam pidana. Namun, yang
membedakan keduanya adalah “wilayah hukum” yang dilanggar itu sendiri, jika yang
dirugikan atau kepentingan yang dilanggar adalah kepentingan person (privat) maka
pertanggung jawabannya masuk ke dalam perdata. Jika kepentingan yang dilanggar
adalah kepentingan umum maka pertanggung jawabannya masuk ke dalam pidana.
Dalam konteks hukum pidana, unsur PMH adalah perbuatan yang melanggar undang-
undang, perbuatan yang dilakukan di luar batas kewenangan atau kekuasaan, dan
perbuatan yang melanggar asas-asas umum hukum. Sedangkan unsur PMH dalam
konteks hukum perdata adalah adanya suatu perbuatan yang melawan hukum, adanya
kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban, dan adanya hubungan
kausal antara perbuatan serta kerugian. Mungkinkah suatu perbuatan dikenakan
tuntutan pidana dan perdata? Bisa. Orang yang mengelapkan dana arisan, misalnya.
Penggelapan uang adalah pidana. Dijatuhkan pidana kurungan kepada orang tersebut
tidak lantas menyebabkan kewajiban perdatanya menjadi gugur. Artinya, pelaku
penggelapan tetap bisa dituntut tanggung jawab perdata, yaitu mengembalikan semua
kerugian.
Masyaqqah adalah kondisi sulit yang disebabkan faktor eksternal (di luar ibadah),
bukan kondisi sulit yang melekat dalam ibadah (lapar saat puasa, pengorbanan uang
dalam naik haji, dsb.). Demikian masyaqah memiliki standard-nya sendiri, yaitu,
misalnya: Bepergian. Musafir boleh tidak berpuasa, meng-qadha dan menjamak
shalat, meninggalkan shalat jumat; Sakit. Orang sakit boleh tidak berpuasa,
bertayamum, boleh memakan makanan yang haram untuk berobat dan lain-lain;
Terpaksa (al-ikrah). Dalam keadaan terpaksa orang boleh merusak hak milik orang
lain, boleh memakan bangkai atau meminum minuman keras, dan boleh mengucapkan
perkataan yang mengandung atau membawa kekufuran, dengan catatan di dalam
hatinya masih tetap beriman; Lupa (al-nisyan). Orang yang makan saat puasa karena
lupa puasanya tidak batal; Kebodohan (al-jahalah). Orang yang karena kebodohannya
mengucapkan yang bukan ucapan shalat, shalatnya tidak batal; Tidak mampu. Orang
yang dipandang tidak cakap bertindak dibebaskan sama sekali dari beban hukum
(taklif), seperti anak kecil, orang gila; Kesulitan umum (umum al-balwa). Kesulitan
menjaga pakaian dari percikan air bercampur najiz di jalan umum pada musim hujan
adalah kesulitan umum. Kesulitan yang tidak bisa dihindari. Dalam keadan ini,
pakaian yang terciprat air menjadi tidak Najis.