Anda di halaman 1dari 3

UTS Legal Maxim

Nama : Jajang Husni Hidayat


NIM : 22913024

1. Kaidah maxim ‫ الض رر ي زال‬bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Beberapa


ayat yang mendasari kaidah tersebut adalah Al-Baqarah ayat 173 dan surah
al-An’am ayat 145 yang menegaskan larangan Allah atas bangkai, darah,
daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah, namun dalam suatu keadaan memaksa mengkonsumsi apa-apa yang
diharamkan tersebut diperbolehkan selama tidak melampaui batas. Begitu
juga dengan al-Baqarah ayat 195 tentang perintah untuk tidak menjatuhkan
diri sendiri ke dalam kebinasaan, dan al-A’raf ayat 55 tentang larangan
melampaui batas serta Al-Qashas ayat 77 tentang perintah berbuat baik dan
larangan berbuat kerusakan. Adapun Sunnah yang menjadi dasar kaidah
tersebut adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Ahmad dan Ibnu
Majah dari Ibnu Abbas, berbunyi; la dlarara wa laa dliraara (Tidak boleh
membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada orang lain).

Secara etimologi, kata dharar merupakan antonym dari kata manfaat. Jika
menghirup udara yang mengandung oksigen memberikan manfaat bagi
manusia, maka melarang, mencegah, atau memaksa seseorang untuk tidak
menghirup oksigen adalah perbuatan yang mengakibatkan dharar bagi orang
tersebut. Adapun secara terminologi, para ulama memberikan beragam
penyampaian, tetapi semuanya bermuara pada tiga hal; kondisi
kesengsaraan yang amat sangat yang mengarah kepada kematian yang
dengannya apa yang haram diperbolehkan selama dapat menghindarkan dari
kematian tersebut. Sediikit perbedaan adalah sebagian ulama Maliki, bahwa
menurut mereka “mengarah kepada kematian itu” dapat berupa suatu
kekhawatiran yang didasarkan pada keyakinan ataupun dugaan. Signifikansi
konsep dharar adalah lahirnya pengertian atas “keberpihakan” Syariah
terhadap kemaslahatan, sehingga setiap pembebanan suatu hukum bukan
untuk tujuan ‘menghukum’ melainkan ‘membuka jalan kemaslahatan’. Hukum
tidak dibuat untuk menyengsarakan mukallaf, sebaliknya, memberikan
kemaslahatan kepada mukallaf.

Ruang lingkup kaidah ini meliputi bab-bab ibadah muamalah, munakahat,


hingga jinayah. Peran kaidah ini sangat besar, utamanya untuk menghindari
berbagai kemadharatan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
hukum Islam membolehkan pengembalian barang yang telah dibeli karena
cacat, mengajarkan khiyar dalam jual beli, mengajarkan perwalian untuk
membantu orang yang tidak cakap, mengajarkan hak syuf‟ah bagi tetangga.
Hukum Islam juga mengajarkan adanya hukum qishash, hudud, kaffarat, ganti
rugi atau diyat, membolehkan penguasa memerangi kaum bughat
(pemberontak) dan lain-lain. Hukum Islam juga mengajarkan kebolehan
perceraian ketika nyata-nyata suatu pernikahan membawa kemadlaratan.

Kaidah tersebut dapat diimplementasikan melalui kaidah-kaidah turunannya,


seperti “Kemudharatan itu membolehkan larangan-larangan”; “Tidak ada
hukum haram kalau ada darurat dan tidak ada hukum makruh kalau ada
hajat”; “kemudhratan harus dicegah sedapat mungkin”; “sesuatu yang
dibolehkan karena darurat, diukur sesuai dengan kadar kemudharatannya”;
Sesuatu yang boleh karena uzur menjadi tidak boleh lantaran telah hilangnya
uzur”; “Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang
lain”, “Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada mendatangkan
kemaslahatan”, dst.

2. (Kerusakan/kerugian Immateriil) ‫ الضرر المعنوي‬dan (Kerusakan/kerugian Materiil)


‫الضرر المادي‬:
Kerugian Materiil adalah kerugian yang berkaitan dengan tubuh atau properti.
Kerugian ini bersifat nyata dan dapat diperhitungkan. Tangan yang terpotong,
kaki yang patah, mata yang menjadi buta, mobil yang rusak, rumah yang
ambruk, dsb. Juga termasuk kerugian materiil adalah pelanggaran atas suatu
hak yang menyebabkan kerugian atau berkurangnya keuntungan finansial.
Seperti pelanggaran hak cipta, memenjarakan orang tanpa hak, melarang
orang pergi bekerja, dsb.

Adapun kerugian Immateriil adalah kerugian yang bersifat abstrak, seperti


kerugian yang menimpa martabat, reputasi, perasaan, kehormatan,
keyakinan agama, atau kasih sayang seseorang sebagai akibat dari
penghinaan atau fitnah.

Kerugian materiil adalah kerugian yang nyata dan dapat dihitung kerugiannya,
sehingga suatu nominal yang ditentukan sebagai ganti rugi adalah senilai
dengan kerugiannya. Nilai atau nominal itu mengembalikan kondisi menjadi
seperti semula, sebelum terjadi kerugian. Adapun kerugian immaterial tidak
bisa dihitung. Karena tidak bisa dihitung, maka ganti ruginya pun tidak bisa
dihitung sehingga ganti rugi tidak dapat mengembalikan korban kepada
“kondisi semula”. Orang yang merasa terhina, reputasinya jatuh atau
martabatnya hancur karena suatu fitnah, boleh jadi tetap merasa terhina
meskipun kerugian immaterialnya itu telah diberikan kompensasi sejumlah
Rp10 Miliar.

Dalam pernikahan, nafkah istri yang tidak dibayar suami adalah kerugian
materiil. Adapun kekecewaan, rasa sakit hati, dan rasa terinjak-injaknya
martabat istri oleh karena perlakukan sewenang-wenang suami adalah
kerugian immaterial. Dalam hukum ekonomi, katakanlah dalam jasa
transportasi udara, pembatalan sepihak dari maskapai menyebabkan
kerugian materiil (tidak jadi mendapat honorarium dari suatu acara yang
harus dihadiri, misalnya, atau batalnya suatu kesepakatan bisnis). Adapun
tindakan sewenang-wenang maskapai (memberlakukan pembatalan secara
sepihak), menyebabkan kerugian immaterial (rasa kecewa dan terhina oleh
karena perlakuan tidak pantas dan merendahkan).

3. Konsep ‫( الزواجر‬ganti pidana) dan ‫( الجوابر‬ganti rugi perdata).


Dalam bidang perdata, tuntutan ganti rugi disebabkan oleh dua hal; pertama, adanya
pelanggaran akad (wanprestasi), kedua, adanya perbuatan melawan hukum (PMH),
yaitu tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain. Adanya kerrugian ini mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. PMH dalam perdata karenanya
memiliki unsur-unsur sebagai berikut: adanya perbuatan melawan hukum, adanya
kesalahan, adanya sebab akibat antara kerugian dan perbuatan, serta adanya kerugian.

PMH dalam perdata sepintas berkelindan dengan PMH dalam pidana. Namun, yang
membedakan keduanya adalah “wilayah hukum” yang dilanggar itu sendiri, jika yang
dirugikan atau kepentingan yang dilanggar adalah kepentingan person (privat) maka
pertanggung jawabannya masuk ke dalam perdata. Jika kepentingan yang dilanggar
adalah kepentingan umum maka pertanggung jawabannya masuk ke dalam pidana.
Dalam konteks hukum pidana, unsur PMH adalah perbuatan yang melanggar undang-
undang, perbuatan yang dilakukan di luar batas kewenangan atau kekuasaan, dan
perbuatan yang melanggar asas-asas umum hukum. Sedangkan unsur PMH dalam
konteks hukum perdata adalah adanya suatu perbuatan yang melawan hukum, adanya
kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban, dan adanya hubungan
kausal antara perbuatan serta kerugian. Mungkinkah suatu perbuatan dikenakan
tuntutan pidana dan perdata? Bisa. Orang yang mengelapkan dana arisan, misalnya.
Penggelapan uang adalah pidana. Dijatuhkan pidana kurungan kepada orang tersebut
tidak lantas menyebabkan kewajiban perdatanya menjadi gugur. Artinya, pelaku
penggelapan tetap bisa dituntut tanggung jawab perdata, yaitu mengembalikan semua
kerugian.

4. Maxim ‫المشقة تجلب التيسير‬:


Artinya, kesuliatan mendatangkan kemudahan. Kaidah ini didasarkan pada ayat al-
Qur’an Surah ayat 185, tentang kebolehan orang yang sakit atau dalam perjalanan
untuk berpuka puasa dan menggantinya di hari yang lain. Begitu juga didasarkan pada
surat al-Baqarah ayat 286, berupa pernyataan dari Syari’, bahwa Ia tidak membebani
hamba di luar kemampuannya.

Masyaqqah adalah kondisi sulit yang disebabkan faktor eksternal (di luar ibadah),
bukan kondisi sulit yang melekat dalam ibadah (lapar saat puasa, pengorbanan uang
dalam naik haji, dsb.). Demikian masyaqah memiliki standard-nya sendiri, yaitu,
misalnya: Bepergian. Musafir boleh tidak berpuasa, meng-qadha dan menjamak
shalat, meninggalkan shalat jumat; Sakit. Orang sakit boleh tidak berpuasa,
bertayamum, boleh memakan makanan yang haram untuk berobat dan lain-lain;
Terpaksa (al-ikrah). Dalam keadaan terpaksa orang boleh merusak hak milik orang
lain, boleh memakan bangkai atau meminum minuman keras, dan boleh mengucapkan
perkataan yang mengandung atau membawa kekufuran, dengan catatan di dalam
hatinya masih tetap beriman; Lupa (al-nisyan). Orang yang makan saat puasa karena
lupa puasanya tidak batal; Kebodohan (al-jahalah). Orang yang karena kebodohannya
mengucapkan yang bukan ucapan shalat, shalatnya tidak batal; Tidak mampu. Orang
yang dipandang tidak cakap bertindak dibebaskan sama sekali dari beban hukum
(taklif), seperti anak kecil, orang gila; Kesulitan umum (umum al-balwa). Kesulitan
menjaga pakaian dari percikan air bercampur najiz di jalan umum pada musim hujan
adalah kesulitan umum. Kesulitan yang tidak bisa dihindari. Dalam keadan ini,
pakaian yang terciprat air menjadi tidak Najis.

Anda mungkin juga menyukai