Anda di halaman 1dari 12

1

PERTEMUAN 1
KETETAPAN UMUM TATA CARA PERPAJAKAN (KUP)
(KEWAJIBAN PENDAFTARAN, PEMBAYARAN, PEMOTONGAN DAN
PEMUNGUTAN SERTA PELAPORAN)

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu menjelaskan Ketentuan
Umum Tata Cara Perpajakan (KUP) yang terdiri dari Kewajiban Pendaftaran,
Pembayaran dan Pemungutan serta Pelaporan.

KEWAJIBAN PENDAFTARAN

PEMBAYARAN &
PEMUNGUTAN

PELAPORAN

Gambar 1.1. Overview Pertemuan 1

B. URAIAN MATERI
Materi revisi Perpajakan 1 merupakan mata kuliah pengantar pajak untuk mahasiswa
semester tiga program studi Akuntansi S1 yang isinya terdiri dari 21 pertemuan yang
masing-masing akan dijelaskan pada setiap pertemuan sesuai pertemuan yang telah
ditetapkan di dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS) mata kuliah Perpajakan
1. Sedangkan pada materi pada tatap muka kesatu membahas tentang Kewajiban
Pendaftaran, Pembayaran dan Pemungutan Pajak serta Pelaporan Pajak.
1. Kewajiban Pendaftaran
Sebagai warga negara Indonesia, Saudara memiliki hak dan kewajiban sebagai wajib
pajak yang perlu dipatuhi. Keduanya telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-
Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Hak dan kewajiban perpajakan
harus dilakukan oleh wajib pajak. Mengacu dari undang-undang yang sama, pada
pasal 1 ayat 2 dijelaskan kalau wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
2

pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Jadi, siapapun, baik yang sudah memiliki NPWP atau belum, sudah
termasuk ke dalam wajib pajak jika sudah mempunyai hak dan kewajiban perpajakan.
Hak wajib pajak disebutkan secara jelas dalam undang-undang, dan akan dibahas
berikut ini:
1. Hak atas Kelebihan Pembayaran Pajak
Ketika besaran pajak terutang yang dibayar atau dipotong atau dipungut ternyata lebih
kecil daripada jumlah kredit pajak, wajib pajak berhak menerima kembali kelebihan
tersebut. Dengan kalimat sederhana, Anda berhak menerima kembali kelebihan bayar
ketika membayar pajak lebih banyak daripada jumlah yang sebenarnya. Saudara
dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan bayar pajak dengan
mengirimkan surat permohonan pada Kepala KPP (Kantor Pajak Pratama) atau
melalui SPT (Surat Pemberitahuan). Setelah menerima surat permohonan, Ditjen
Pajak akan mengembalikan kelebihan bayar pajak dalam waktu 12 (dua belas) bulan
terhitung sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Jika wajib pajak termasuk
dalam kriteria wajib pajak patuh, pengembalian ini dapat dilakukan paling lambat 3
bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Kalau Ditjen
Pajak terlambat mengembalikan kelebihan bayar pajak, wajib pajak berhak menerima
bunga sebesar 2% per bulan dengan maksimum 24 bulan.
2. Hak dalam Hal Wajib Pajak Dilakukan Pemeriksaan
Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak pada wajib pajak, wajib pajak
berhak untuk:
a. Meminta Surat Perintah Pemeriksaan.
b. Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa.
c. Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan.
d. Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT.
e. Hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
Berdasarkan ruang lingkupnya, jenis pemeriksaan terbagi menjadi dua jenis, yaitu
pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan. Pemeriksaan kantor dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan, terhitung dari
tanggal wajib pajak memenuhi surat panggilan untuk melakukan pemeriksaan kantor
sampai dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan. Sedangkan pemeriksaan
3

lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat
diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan, terhitung sejak tanggal surat perintah
pemeriksaan sampai dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan.
3. Hak untuk Mengajukan Keberatan, Banding dan Peninjauan Kembali
Setelah dilakukan pemeriksaan, umumnya akan terbit suatu surat ketetapan pajak
yang menunjukkan kalau wajib pajak kurang bayar, lebih bayar, atau nihil
perpajakannya. Jika wajib pajak tidak sependapat dengan surat tersebut, dapat
mengajukan keberatan. Lalu bila belum puas dengan keputusan keberatan,
selanjutnya wajib pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir dalam sengketa
pajak, wajib pajak dapat mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
4. Hak-Hak Wajib Pajak Lainnya
a. Hak kerahasiaan
Wajib pajak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan kerahasiaan atas semua
informasi yang disampaikan kepada Ditjen Pajak dalam melaksanakan kegiatan
perpajakan. Di sisi lain, pihak yang bertugas di bidang perpajakan dilarang untuk
mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak. Kerahasiaan wajib pajak yang dilindungi
adalah:
1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan
wajib pajak;
2. Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
3. Dokumen atau rahasia wajib pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang
berlaku.
Namun, keterangan atau bukti tertulis tentang wajib pajak dapat ditunjukkan kepada
pihak tertentu yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, atau dalam rangka kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya.
b. Hak untuk Pengangsuran atau Penundaan Pembayaran
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran
pembayaran pajak dalam kondisi tertentu.
c. Hak untuk Penundaan Pelaporan SPT Tahunan
Wajib pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi maupun PPh Badan dengan alasan tertentu.
d. Hak untuk Pengurangan PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 adalah pajak yang dibayar secara angsuran dengan tujuan untuk
meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak terutang harus dilunasi dalam waktu
4

satu tahun. Dalam undang-undang ketentuan umum perpajakan, wajib pajak memiliki
hak untuk mengajukan permohonan pengurangan besaran angsuran PPh Pasal 25
dengan alasan tertentu.
e.Hak untuk Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Karena kondisi atau sebab tertentu, seperti rusaknya bumi dan bangunan yang
terkena bencana alam, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan
pajak terutang PBB. Wajib pajak yang merupakan anggota veteran pejuang dan
pembela kemerdekaan juga dapat mengajukan pengurangan PBB. Khusus untuk
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan
ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan pengurangan PBB dilakukan di
Kantor Dinas Pendapatan Kota/Kabupaten setempat.
f.Hak untuk Pembebasan Pajak
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan/pemungutan
Pajak Penghasilan dengan alasan tertentu.
g.Hak Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Wajib pajak yang termasuk ke dalam wajib pajak patuh dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan
untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh terhitung sejak tanggal permohonan.
h.Hak untuk Mendapatkan Pajak Ditanggung Pemerintah
Untuk pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana
pinjaman luar negeri, PPh terutang atas penghasilan yang diterima kontraktor,
konsultan, dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.
i.Hak untuk Mendapatkan Insentif Perpajakan
Dalam lingkup PPN, Barang Kena Pajak (BKP) atau kegiatan tertentu diberikan
fasilitas pembebasan PPN. BKP tersebut di antaranya kereta api, pesawat udara,
kapal laut, buku-buku, perlengkapan TNI/Polri yang diimpor maupun yang diserahkan
di area pabean oleh wajib pajak tertentu. Fasilitas PPN tidak dipungut ini turut
diberikan pada perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu, seperti
kawasan berikat, di antaranya atas impor dan perolehan bahan baku.
Kewajiban Wajib Pajak
Selain hak, ada kewajiban yang harus dipatuhi oleh wajib pajak, di antaranya:
2. Kewajiban Mendaftarkan Diri
Wajib pajak harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) di kantor pajak pratama (KPP) atau kantor pelayanan, penyuluhan dan
5

konsultasi perpajakan (KP2KP). Saat ini, pendaftarakan NPWP juga dapat dilakukan
melalui online. Wajib pajak yang merupakan pengusaha, wajib dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP) oleh KPP atau KP2KP setelah memenuhi persyaratan
tertentu, di antaranya pengusaha orang pribad atau badan melakukan penyerahan
barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan jumlah omzet melebihi
Rp4.800.000.000 dalam setahun. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, tetap dapat
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Setelah dikukuhkan sebagai
PKP, maka wajib untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari setiap
pembeli/pengguna jasanya dengan menerbitkan faktur pajak. PPN tersebut kemudian
dilaporkan dalam SPT Masa. Jika ada yang harus disetorkan, wajib pajak perlu
menyetorkan PPN itu ke KPP tempat mendaftar, atau bisa secara online melalui
aplikasi OnlinePajak.
3. Kewajiban Pembayaran, Pemotongan/Pemungutan, dan Pelaporan Pajak
Sesuai dengan sistem self assessment, wajib pajak harus melakukan penghitungan,
pembayaran dan pelaporan pajak terutangnnya sendiri. Dalam melaksanakan
kewajiban ini, dapat melakukannya secara mudah dan cepat melalui aplikasi
OnlinePajak. Aplikasi OnlinePajak memudahkan Anda untuk hitung, setor, lapor pajak.
Semua pelaksanaan kewajiban pajak ini cukup dilakukan dalam satu aplikasi, hanya
dengan satu klik.
4. Kewajiban dalam Hal Diperiksa
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dapat melakukan pemeriksaan pada wajib pajak
untuk menguji kepatuhannya dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Pemeriksaan
ini dilakukan untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap wajib pajak yang
bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Kewajiban yang diperiksa di
antaranya:
a. Memenuhi panggilan untuk menghadiri Pemeriksaan sesuai waktu yang ditentukan,
khususnya jenis Pemeriksaan Kantor;
b. Menunjukkan atau meminjamkan seluruh data yang menjadi dasar serta
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan
bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak. Untuk jenis Pemeriksaan
Lapangan, wajib pajak harus memberikan akses untuk melihat dan menyimpan
data;
c. Memberikan izin untuk memasuki tempat atau ruang yang dianggap perlu serta
memberi bantuan untuk memperlancar proses pemeriksaan;
6

d. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atau surat pemberitahuan hasil


pemeriksaan;
e. Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik,
khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
5. Kewajiban Memberi Data
Data di sini adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat
menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau
kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data
transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan
dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Ditjen
Pajak. Kewajiban ini tidak hanya dipatuhi oleh wajib pajak, tetapi juga oleh setiap
instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain. Jika sengaja tidak memenuhi
kewajiban ini, wajib pajak akan terkena pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.
6. Pembayaran
Indonesia mempunyai sistem pembayaran yang resmi berlaku. Sistem pembayaran
tersebut mempunyai prinsip, peran, dan komponennya tersendiri. Sistem pembayaran
tersebut terdiri dari berbagai mekanisme, peraturan, dan lembaga yang berfungsi
dalam melakukan pemindahan dana sebagai upaya dalam memenuhi kewajiban yang
timbul karena adanya aktivitas ekonomi. Pengertian seperti ini juga sudah tertulis di
dalam UU NO. 23 tahun 1999. Selain itu, sistem pembayaran juga dihubungkan
dengan pemindahan sejumlah uang dari suatu pihak ke pihak yang lain. Selain itu,
ada juga yang menggunakan alat pembayaran yang lebih rumit dan kompleks. Alat
pembayaran tersebut melibatkan berbagai lembaga dan sudah terikat dengan
berbagai peraturan. Dewasa ini, sistem pembayaran Indonesia sudah diatur dan juga
diawasi oleh Bank Indonesia berdasarkan UU BI. Sistem perpajakan adalah cara yang
digunakan oleh pemerintah untuk memungut atau menarik pajak dari rakyat dalam
rangka membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintah lainnya. Ciri dari corak
sistem perpajakan di Indonesia berdasarkan undang-undang yang berlaku antara lain
sebagai berikut:
a. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta
masyarakat untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
7

b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak berada pada


anggota masyarakat wajib pajak sendiri;
c. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self
assessment).
Oleh karena itu, pemerintah mengatur sistem perpajakan yaitu Undang-Undang
Perpajakan yang baru, yang terdiri atas UU Nomor 16 tahun 2000, UU Nomor 17 tahun
2000, UU Nomor 18 tahun 2000, dan UU Nomor 12 tahun 1994 tentang perubahan
atas UU Nomor 9 tahun 1994, UU Nomor 10 tahun 1994, UU Nomor 11 tahun 1994,
dan UU Nomor 12 tahun 1994.

Gambar 2. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

7. Pemotongan dan Pemungutan


Berikut ini adalah jenis – jenis pemotongan dan pemungutan Pajak di Indonesia:
a. Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
Pemotongan untuk Pajak Penghasilan (PPh) ini dilakukan oleh pihak yang
memberikan penghasilan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sehubungan dengan suatu pekerjaan ataupun kegiatan yang dilakukan. Sebagai
contoh dalam hal ini adalah pembayaran terkait dengan upah atau gaji yang diterima
oleh pegawai/karyawan akan dipotong oleh perusahaan yang menjadi pihak pemberi
kerja. Wajib Pajak yang berbentuk badan telah ditunjuk oleh Undang-Undang (UU)
8

perpajakan sebagai pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas penghasilan


yang dibayarkan atau diterima oleh karyawan maupun yang bukan merupakan
karyawannya. Namun, Wajib Pajak orang pribadi juga dapat ditunjuk sebagai
pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ini apabila mendapatkan penunjukkan
dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak orang pribadi terdaftar.
b. Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
Untuk pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ini dilakukan oleh pihak yang
memberikan penghasilan sehubungan dengan adanya pembayaran berupa dividen,
bunga, sewa, royalti, dan juga jasa kepada Wajib Pajak berbentuk badan dalam negeri
dan juga Bentuk Usaha Tetap (BUT). Wajib Pajak berbentuk badan memang ditunjuk
untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, namun Wajib Pajak orang pribadi
tidak ditunjuk untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Maka, apabila
Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang termasuk ke dalam objek pemotongan
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dan pihak pemberi penghasilan atau pemberi kerja
juga merupakan pihak pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, maka
penghasilan yang diterimakan tersebut nantinya akan dipotong atas Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 23 oleh pihak pemotong yang bersangkutan.
c. Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
Pemotongan ini dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan atau pihak
pemberi kerja sehubungan dengan adanya pembayaran berupa dividen, bunga,
hadiah, royalti, dan penghasilan lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri. Untuk
kegiatan pemotongan ini, Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak berbentuk
badan ditunjuk untuk dapat memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 atau sesuai
dengan ketentuan yang mengatur tentang tax treaty.
d. Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2)
Pemotongan ini dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan sehubungan
dengan pembayaran yang berkaitan dengan pembayaran atas objek tertentu, sepeti
hal nya sewa tanah atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah atau
bangunan, dan lain sebagainya. Kata ‘final’ pada pemotongan pajak ini berarti pajak
yang telah dipotong, dipungut oleh pihak yang memberikan penghasilan atau
dibayarkan sendiri oleh pihak penerima penghasilan, dan untuk perhitungan pajaknya
telah selesai dan tidak dapat dikreditkan kembali dalam penghitungan Pajak
Penghasilan (PPh) pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Dalam hal ini, Wajib
Pajak berbentuk badan saja yang ditunjuk untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh)
9

Pasal 4 ayat (2), sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi tidak mendapatkan
penunjukkan untuk memotong. Sama halnya dengan Pemotongan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 23, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang termasuk ke
dalam objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi
penghasilan atau pemberi kerja juga merupakan pihak pemotong Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 4 ayat (2), maka penghasilan yang diterimakan tersebut nantinya akan
dipotong atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) oleh pihak pemotong yang
bersangkutan. Namun, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang
merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi
penghasilan adalah orang pribadi yang bukan merupakan pemotong, maka Wajib
Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 4 ayat (2) tersebut. Hal ini misalnya menyangkut dalam proses transaksi
sewa atau penjualan properti tanah atau bangunan.

e. Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15


Pemotongan ini dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan kepada Wajib
Pajak tertentu dengan menggunakan norma perhitungan khusus. Wajib Pajak tertentu
yang dimaksudkan adalah seperti perusahaan pelayaran, penerbangan internasional,
perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan yang melakukan pengeboran miyak,
gas, dan panas bumi, perusahaan dagang asing, serta perusahaan yang melakukan
investasi dalam bentuk bangunan guna serah. Dalam hal ini, Wajib Pajak berbentuk
badan saja yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak orang pribadi tidak ditunjuk. Dan sama seperti
sebelumnya, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang termasuk ke dalam
objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan
atau pemberi kerja juga merupakan pihak pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
15, maka penghasilan yang diterimakan tersebut nantinya akan dipotong atas Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 15 oleh pihak pemotong yang bersangkutan. Namun,
apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang merupakan objek Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi
yang bukan merupakan pemotong, maka Wajib Pajak yang bersangkutan diwajibkan
untuk menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 tersebut.
f. Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
10

Pemungutan ini dilakukan oleh pihak tertentu sesuai dengan penunjukkan yang
dilakukan oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 22 ini meliputi:
1. Pembelian barang yang dilakukan oleh instansi pemerintah;
2. Kegiatan impor barang;
3. Kegiatan produksi barang tertentu, misalnya baja, kertas, rokok, dan otomotif.
Pembelian bahan untuk keperluan industri atau ekspor yang dilakukan oleh badan
usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, pertanian, perkebunan, serta
perikanan yang berasal dari pedagang pengumpul Pemungutan atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat ditunjuk
sebagai pemungut ataupun sekaligus sebagai pihak yang dipungut atas Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 22.

g. Pemungutan PPN dan PPnBM


Pemungutan ini dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pemungut yang
memang ditunjuk atas penyerahan barang/jasa kena pajak (seperti Bendaharawan
Pemerintah). PKP yang ditunjuk untuk memungut adalah pengusaha yang memiliki
perdaran bruto atau omzetnya melebihi 4,8 miliar dalam satu tahun dan telah
dikukuhkan sebagai PKP. Wajib Pajak orang pribadi maupun badan yang telah
dikukuhkan sebagai PKP, maka diwajibkan untuk memungut PPN dan PPnBM kepada
pihak penerima barang, apabila barang yang diserahkan tergolong mewah.
8. Pelaporan
Elemen utama dalam setiap entitas pelaksanaan kewajiban perpajakan selain
pembayaran pajak adalah pelaporan pajak. Pelaporan pajak dilakukan secara berkala
oleh wajib pajak badan atau perusahaan berbadan hukum dengan pendekatan
penghasilan dan menyertakan proyeksi profit yang diterima. Selain itu, perusahaan
diharapkan juga melaporkan peredaran usahanya dan penghasilan lain di luar usaha
secara real di dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Pelaporan pajak berkala
memiliki tujuan awal pengawasan pajak yang akuntabel. Dalam proses menuju
akuntabel diperlukan pembenahan-pembenahan sistem data lokasi dan potensi yang
valid. Data-data perpajakan ini sangat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam
11

upaya meningkatkan asas keadilan yang merata bagi masyarakat melalui kebijakan
yang ada.
a. Faktor Penyebab Wajib Pajak Tidak Melapor Pajak
Permasalahan utama dalam pengelolaan perpajakan di Indonesia adalah
ketidakpatuhan wajib pajak yang memicu rendahnya rasio pajak. Dalam
pelaksanaannya, masih ditemukan wajib pajak kurang memahami mengenai
pelaporan perpajakan. Di sisi lain, wajib pajak yang telah paham pajak justru enggan
dan sengaja untuk tidak patuh melaporkan SPT Masa maupun SPT Tahunan. Kedua,
adanya opsi status wajib pajak NE (Non Efektif). Muncul pemikiran bahwa wajib pajak
bisa melakukan status NE termasuk untuk pelaporan pajak. Sebagian wajib pajak
menganggap memiliki hak untuk memilih SPT yang akan dilaporkan. Padahal sesuai
dengan ketentuan perpajakan Indonesia, kewajiban pelaporan pajak telah melekat
berdasarkan status wajib pajak. Wajib pajak wajib melaporkan SPT Masa dan
Tahunan secara berkala dan bukan merupakan suatu pilihan. Wajib pajak yang
menghendaki berstatus NE, berarti sudah tidak lagi melakukan aktivitas ekonomi
sama sekali. Dengan keadaan ini wajib pajak dapat mengajukan permohonan
penghapusan NPWP. Pemahaman wajib pajak yang masih rendah tentang
pengetahuan perpajakan. Kondisi ini akan menghambat kelancaran pelaksanaan
pemenuhan kewajiban pajak. Kemungkinan dampak yang terjadi seperti pelaporan
yang seadanya, fiktif, dan tidak real. Sebagian wajib pajak juga ada yang masih abai
dan tidak menempatkan administrasi pajak sebagai prioritas utama. Keuntungan
bisnis menjadi orientasi tanpa berusaha melaksanakan tanggung jawab sebagai wajib
pajak. Wajib Pajak Paham Dasar Perpajakan. Permasalahan pengabaian pelaporan
pajak ini sebenarnya dapat dicegah sejak awal. Wajib pajak yang baru terdaftar
didorong untuk lebih aktif menggali pengetahuan dan informasi mengenai kewajiban
perpajakannya. Media elektronik menjadi salah satu alternatif untuk memperoleh
pengetahuan pajak dengan mudah. Bagi wajib pajak yang telah lama terdaftar,
digerakkan untuk lebih responsif dan kontributif memenuhi kewajiban pajak terutama
pelaporan pajak. Apabila wajib pajak menemui kendala teknis, para petugas pajak
siap memberikan penjelasan lengkap dan pendampingan secara online atau datang
langsung ke KPP. Segala fasilitas perpajakan yang semakin mudah dan canggih, tidak
lagi dapat menjadi alasan wajib pajak enggan melaporkan pajak. Informasi perpajakan
pun sudah banyak dan terintegrasi di laman resmi Direktorat Jenderal Pajak.
Kesimpulannya, di samping ketersediaan fasilitas perpajakan, keterbukaan dan niat
12

menjadi kunci utama wajib pajak untuk senantiasa memenuhi kewajiban perpajakan
dengan baik.

C. LATIHAN
1. Jelaskan hak dan kewajiban Wajib Pajak?
2. Apa yang dimaksud dengan ha katas kelebihan pembayaran pajak?
3. Jelaskan hak-hak Wajib Pajak lainnya?
4. Jelaskan jenis-jenis pemotongan pajak di Indoensia?
5. Jelaskan faktor penyebab Wajib Pajak tidak melaporkan pajak?

D. REFERENSI
1. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan Menjadi UndangUndang;
2. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan;
3. Mardiasmo. (2018). Perpajakan. Yogyakarta; penerbit Andi;
4. Resmi, Siti. (2013). Perpajakan: Teori dan Kasus Edisi 7 Buku I. Jakarta: Salemba
Empat;
5. Waluyo. (2005). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai