Anda di halaman 1dari 280

SI 3125

Perancangan Geometrik Jalan


ELEMEN PERANCANGAN
SI-3125 PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN
1. Pendahuluan
2. Pengaturan dan Kriteria Perancangan
3. Faktor-faktor Perancangan
4. Elemen Perancangan: Jarak Pandang
5. Elemen Perancangan: Alinyemen horizontal
6. Elemen Perancangan: Alinyemen Horizontal
7. Elemen Perancangan: Alinyemen Vertikal dan kelandaian
8. Elemen Perancangan: Lengkung vertikal.
9. Desain Alinyemen vertikal
10. Elemen Potongan Melintang
11. Elemen Potongan Melintang
12. Bangunan Pelengkap jalan dan aspek keselamatan
13. Perlengkapan Jalan: Rambu dan marka
14. Drainase Jalan
3. ELEMEN PERANCANGAN
1. Pendahuluan
2. Jarak Pandangan
3. Alinyemen Horisontal
4. Alinyemen Vertikal
5. Kombinasi Alinyemen Horisontal dan Vertikal
6. Feature lain yang mempengaruhi
Perancangan
3.2 JARAK PANDANGAN
3.2. JARAK PANDANGAN
1. Umum
2. Jarak Pandangan Henti - SSD
3. Jarak Pandangan Keputusan =
ISD (Immediate Sight Distance) =
Meeting Sight Distance = 2 x minimum SSD
4. Jarak Pandangan Menyiap di Jalan 2/2 UD
5. Jarak Pandangan di Jalan Banyak lajur
6. Kriteria Pengukuran Jarak Pandangan
3.2.1 Umum
⚫ Jarak pandang adalah panjang jalan yang terlihat di
depan pengemudi pada setiap saat
⚫ Jarak pandangan yang dibutuhkan untuk berhenti,
yang sesuai untuk hampir semua jalan;
⚫ Jarak pandangan yang dibutuhkan untuk menyiap,
sesuai hanya pada jalan dua-arah;
⚫ Jarak pandangan yang dibutuhkan untuk mengambil
keputusan di lokasi unik/komplek atau situasi sulit;
dan
⚫ Kriteria untuk mengukur jarak pandangan untuk
keperluan perancangan.
Jarak Pandangan
3.2.2 Jarak Pandangan Henti

a. Waktu reaksi mengerem

b. Jarak mengerem

c. Nilai Perancangan

d. Pengaruh Kemiringan pada jarak henti


a. Waktu Reaksi Mengerem
⚫ Waktu reaksi mengerem adalah interval pada saat
pengemudi melihat obyek di jalan yang memerlukan
pengereman sampai pengemudi melakukan pengereman.
⚫ Umumnya, pengemudi yang bergerak pada kecepatan
rencana atau mendekati kecepatan rencana lebih hati-hati
dari pada pengemudi dengan kecepatan lebih rendah.
⚫ Waktu reaksi mengerem minimum 1,64 detik, terdiri dari
0,64 detik untuk pengemudi waspada ditambah 1,0 detik
untuk kejadian tak diinginkan.
⚫ Kriteria perancangan menyarankan waktu reaksi
mengerem 2,5 detik
Waktu Persepsi dan Reaksi (P I E V Time)
⚫ Perception: pengamatan terhadap suatu isyarat dan
memerlukan respon
⚫ Intellection or Identification: Identifikasi terhadap isyarat
⚫ Emotion or Decision : Penentuan respon yang sesuai terhadap
isyarat
⚫ Volition or Reaction: Respon fisik sebagai hasil dari
keputusan.

d p = 0,278v.t
dimana:
dp = jarak persepsi-reaksi (PIEV)(m)
t = waktu (detik)
v = kecepatan (kpj)
b. Jarak Mengerem di daerah datar

dimana:
dB = jarak mengerem, m
V = kecepatan rencana, km/jam
a = tingkat perlambatan, m/det2
c. Nilai Perancangan
SSD = dP + dB

dimana:
SSD = jarak pandangan henti, m
V = kecepatan rencana, km/jam
t = waktu reaksi mengerem, 2,5 det
a = tingkat perlambatan, m/det2
d. Pengaruh Kemiringan pada Jarak Henti
Jarak Pandangan Henti

BM 1997: Tata Cara Perancangan Geometrik Jalan antar Kota


Jarak Pandangan
Henti di daerah
Datar
Jarak
Pandangan
Henti di
daerah
Kemiringan
3.2.3 Jarak Pandangan Keputusan –
Decision Sight Distance (DSD)
⚫ Jarak pandangan henti umumnya cukup untuk pengemudi
segera berhenti pada situasi biasa. Tetapi jarak yang lebih
besar mungkin diperlukan bila pengemudi harus
membuat keputusan yang sulit dan segera, dimana
informasi sulit dilihat, atau jika diperlukan pergerakan
yang tidak diharapkan atau yang tidak biasa.
⚫ Keterbatasan jarak pandangan yang dibutuhkan untuk
berhenti mungkin menghalangi pengemudi dalam
menampilkan pergerakan yang harus dihindari, yang
seringkali melibatkan risiko lebih kecil dan sebaliknya
memilih untuk berhenti.
3.2.3 lanjutan..
⚫Meskipun dengan tambahan rambu lalu lintas, jarak
pandangan henti tidak menyediakan jarak pandangan
cukup bagi pengemudi untuk menguatkan peringatan
awal dan mengalami pergerakan yang tepat.

⚫Hal biasa banyak lokasi yang memerlukan jarak


pandangan yang lebih panjang.

⚫Dalam hal ini jarak pandangan keputusan


menyediakan jarak pandangan yang lebih besar dari
yang dibutuhkan pengemudi.
3.2.3 lanjutan..
⚫Jarak pandangan keputusan adalah jarak yang
diperlukan pengemudi untuk mendeteksi sumber
informasi atau kondisi yang tidak diharapkan di
lingkungan jalan yang mungkin secara visual kacau,
mengamati kondisi atau potensi ancamannya, memilih
kecepatan dan lintasan yang tepat, dan memulai dan
mengakhiri pergerakan komplek.

⚫Karena jarak pandangan keputusan memberikan batas


tambahan untuk kesalahan dan mendukung panjang
yang cukup untuk menggerakkan kendaraannya pada
kecepatan yang sama atau lebih rendah, bukan hanya
berhenti saja, nilainya lebih besar dari pada jarak
pandangan henti.
Pengemudi membutuhkan jarak pandang keputusan setiap
kali ada kemungkinan kesalahan baik dalam penerimaan
informasi, pengambilan keputusan, atau tindakan
pengendalian. Berikut ini adalah contoh lokasi kritis di
mana kesalahan semacam ini mungkin terjadi dan di mana
diinginkan untuk memberikan jarak pandang keputusan:
⚫ Lokasi persimpangan tak sebidang dan sebidang dimana
dibutuhkan pergerakan yang tidak diharapkan.
⚫ Perubahan penampang seperti area pintu tol dan
perubahan jumlah lajur.
⚫ Daerah dengan permintaan terkonsentrasi di mana ada
kemungkinan "kebisingan visual" setiap kali sumber
informasi bersaing, seperti yang berasal dari elemen jalan,
lalu lintas, alat pengendali lalu lintas, dan rambu iklan.
Meeting sight distance
⚫Jarak yang diperlukan untuk memungkinkan
pengemudi dua kendaraan yang bergerak
berlawanan arah pada jalan dua arah dengan lebar
yang tidak cukup untuk menyiap sehingga harus
berhenti dengan selamat setelah dapat saling
melihat satu dengan yang lain.

⚫Umumnya dihitung sebagai dua kali jarak


pandangan henti minimum ditambah jarak aman.
Tabel 3.3
DECISION
SIGHT
DISTANCE

(AASHTO 2018)
The decision sight distances
for avoidance maneuvers A
and B are determined as:

The decision sight distances


for avoidance maneuvers C,
D, and E are determined as:
Nilai jarak pandangan keputusan dalam Tabel 3.3 mungkin
digunakan untuk:
⚫ Menyediakan nilai jarak pandangan yang mungkin cukup di
lokasi kritis, dan
⚫ Sebagai kriteria dalam mengevaluasi kesesuaian ketersediaan
jarak pandangan di lokasi kritis.
⚫ Karena tersedia ruang pergerakan tambahan, jarak pandangan
keputusan harus dipertimbangkan di lokasi kritis atau titik
keputusan kritis harus dipindahkan ke lokasi dimana jarak
pandangan keputusan tersedia.
⚫ Jika penyediaan jarak pandangan keputusan sulit karena
lengkung horisontal dan vertikal atau jika pemindahan titik
keputusan tidak praktis, perhatian khusus harus diberikan
rambu untuk memberikan peringatan awal kondisi yang
mungkin ada di depan.
3.2.4 Jarak Pandangan Menyiap –
Passing Sight Distance (PSD)
⚫ Jarak pandangan menyiap adalah jarak pandangan
minimum yang cukup untuk mendahului suatu
kendaraan lain yang bergerak dalam arah yang sama
pada jalan dua jalur (2/2UD).
⚫ Jarak pandangan menyiap diukur sepanjang center
line jalan dengan ketinggian mata pengemudi 1,2 m di
atas permukaan jalan dan dapat melihat bagian atas
objek dengan ketinggian 1,2 m di atas permukaan
jalan.
Faktor yang mempengaruhi jarak
pandangan menyiap:
⚫ Kecepatan kendaraan penyiap, kendaraan yang
disiap, dan kendaraan lawan
⚫ Jarak antar dua kendaraan, yang kemudian
tergantung pada kecepatan
⚫ Kemampuan dan ketrampilan pengemudi
⚫ Tingkat percepatan kendaraan penyiap
⚫ Kemiringan memanjang jalan
Ilustrasi Jarak Pandangan Menyiap

Source: Glennon and


Hassan et al. models,
HNRP 605/2008
Asumsi:
1) Kecepatan kendaraan penyiap dan kendaraan berlawanan
adalah sama dan menyatakan kecepatan rencana.
2) Kendaraan yang disiap bergerak dengan kecepatan tetap dan
perbedaan kecepatan dengan kendaraan yang menyiap adalah
19 km/jam.
Lanjutan…..
3) Kendaraan penyiap mempunyai kemampuan percepatan yang
cukup untuk mencapai perbedaan kecepatan tertentu relatif
terhadap kendaraan yang disiap pada saat mencapai posisi
kritis, umumnya terjadi sekitar 40 % dari jalan melalui
pergerakan menyiap.
4) Panjang kendaraan yang menyiap dan yang disiap adalah 5,8 m.
5) Waktu perception-reaction pengemudi kendaraan penyiap
dalam membatalkan untuk menyiap kendaraan adalah 1 detik.
6) Jika penyiapan batal, kendaraan penyiap akan menggunakan
tingkat perlambatan 3,4 m/detik2, tingkat perlambatan yang
sama dengan kriteria perencanaan jarak pandangan henti.
7) Untuk penyiapan atau pembatalan, space headway antara
kendaraan penyiap dan yang disiap adalah 1 detik.
8) Jarak aman antara kendaraan menyiap dan kendaraan
berlawanan di titik pada saat kendaraan menyiap telah kembali
ke jalur normal adalah 1 detik.
Jarak Pandangan Menyiap (JPM)
PSD = d1 + d2 + d3 + d4
Dimana:
d1 = jarak tempuh selama waktu persepsi dan reaksi dan
selama percepatan awal ke titik pada lajur lawan
d2 = jarak tempuh selama kendaraan penyiap berada di lajur
lawan;
d3 = jarak antara Kendaraan penyiap dan kendaraan lawan di
akhir pergerakan penyiapan (seperti jarak aman), yaitu
antara 30 – 75 m; dan
d4 = Jarak yang ditempuh kendaraan lawan selama dua-
pertiga waktu kendaraan penyiap menempati lajur
lawan, atau 2/3 d2.
æ at1 ö
d1 = 0,278t1 ç v - m + ÷
è 2 ø
dimana:
t1 = waktu pergerakan awal (detik)
a = percepatan (km/jam/detik)
v = kecepatan kendaraan yang menyiap (km/jam)
m = perbedaan kecepatan kendaraan yang disusul dan
yang menyusul (km/jam)

d 2 = 0,278vt2
dimana:
t2 = waktu menyiap selama berada di jalur lawan (detik)
v = kecepatan kendaraan yang menyiap (km/jam)
Tabel 3.4 Jarak
Pandangan Menyiap
di Jalan 2/2 UD

(AASHTO 2018)
AASHTO 2018
Jarak Pandangan Menyiap

Daerah menyiap harus disebar di sepanjang jalan dengan


jumlah panjang minimum 30% dari panjang total ruas
jalan tersebut

BM 1997: Tata Cara Perancangan Geometrik Jalan antar Kota


3.2.5 Jarak Pandangan Menyiap di Jalan
banyak-Lajur
⚫ Tidak perlu menyediakan jarak pandangan menyiap
di jalan banyak-lajur
⚫ Penyiapan dilakukan di arah yang sama
⚫ Pergerakan menyiap yang memotong garis tengah di
jalan tak terbagi atau memotong median dilarang
⚫ Harus mempunyai jarak pandangan henti cukup
yang menerus, dan nilainya lebih besar dari pada
perancangan yang diijinkan
3.2.6 Kriteria untuk mengukur Jarak Pandangan
1) Tinggi mata pengemudi
2) Tinggi Obyek
i. Obyek Jarak Pandangan Henti
ii. Obyek Jarak Pandangan Menyiap
iii. Obyek Jarak Pandangan Persimpangan
iv. Obyek Jarak Pandangan Keputusan
3) Gangguan Samping
4) Pengukuran dan Perekaman Jarak
Pandangan
3.2.6.1 Tinggi mata Pengemudi
• Untuk perhitungan jarak pandangan kendaraan mobil
penumpang, tinggi mata pengemudi ditetapkan 1,080
mm [3.5 ft] di atas permukaan jalan.
• Untuk truk besar, tinggi mata pengemudi bervariasi
dari 1,800 sampai 2,400 mm [5.9 to 7.9 ft].
• Nilai tinggi mata pengemudi truk direkomendasikan
untuk perancangan adalah 2,330 mm [7.6 ft] di atas
permukaan jalan.
3.2.6.2 Tinggi Obyek
o Untuk perhitungan jarak pandangan henti,
tinggi obyek adalah 600 mm [2.0 ft] di atas
permukaan jalan.

o Untuk perhitungan jarak pandangan


menyiap, tinggi obyek adalah 1,080 mm [3.5
ft] di atas permukaan jalan.
i) Obyek Jarak Pandangan Henti
• Pemilihan tinggi obyek 600 mm [2.0 ft] didasarkan pada
penelitian bahwa tinggi obyek kurang dari 600 mm [2.0 ft]
jarang terlibat dalam kecelakaan.
• Oleh karena itu tinggi obyek 600 mm [2.0 ft] merupakan obyek
terkecil yang melibatkan resiko bagi pengemudi.
• Tinggi obyek 600 mm [2.0 ft] merupakan tinggi lampu depan
dan lampu belakang kendaraan.
• Dengan menggunakan tinggi obyek kurang dari 600 mm [2.0 ft]
untuk perhitungan jarak pandangan henti akan menghasilkan
panjang lengkung vertikal cembung yang lebih panjang.
• Tinggi obyek kurang dari 600 mm [2.0 ft] selanjutnya akan
mneyebabkan meningkatnya biaya konstruksi karena tambahan
galian yang diperlukan untuk membuat lengkung vertikal
cembung yang lebih panjang
ii) Obyek Jarak Pandangan Menyiap
• Tinggi obyek 1,080 mm [3.5 ft] ditetapka untuk jarak pandangan
menyiap.
• Tinggi obyek ini didasarkan pada tinggi kendaraan 1,330 mm
[4.35 ft], yang merupakan 15% tinggi populasi mobil penumpang.
• , less an allowance of 0.85 ft [0.25 m], which represents a near-maximum value for
the portion of the vehicle height that needs to be visible for another driver to
recognize a vehicle as such (35). Passing sight dis-
iii) Obyek Jarak Pandangan Persimpangan
Obyek yang dilihat oleh pengemudi di
persimpangan adalah seperti kasus jarak
pandangan menyiap, yaitu kendaraan lain. Oleh
karena itu jarak pandangan di persimpangan
didasarkan pada tinggi obyek dalam
perancangan jarak pandangan menyiap, 1.080
mm [3.5 ft].
iv) Obyek Jarak Pandangan Keputusan
Kriteria obyek yang digunakan untuk jarak
pandangan henti juga digunakan untuk jarak
pandangan keputusan, 600 mm [2.0 ft].
Pertimbangan penerapan tinggi obyek untuk
jarak pandangan keputusan adalah sama
seperti untuk jarak pandangan henti.
3.2.6.3 Penghalang Pandangan
⚫ Di jalan lurus, penghalang yang membatasi jarak pandangan
pengemudi adalah permukaan jalan pada lengkung vertikal
cembung.
⚫ Pada lengkung horisontal, penghalang yang membatasi jarak
pandangan pengemudi mungkin permukaan jalan di beberapa
titik pada lengkung vertikal cembung atau mungkin beberapa
kondisi fisik di luar jalur kendaraan, seperti pagar memanjang,
kemiringan timbunan, pohon, atau lereng belakang bagian
galian.
⚫ Semua rencana pembangunan jalan harus dilakukan
pengecekan penghalang jarak pandangan baik lengkung
vertikal maupun horisontal
3.2.6.4 Pengukuran Jarak Pandangan
• Jarak pandangan henti dapat dengan mudah ditentukan
dimana plans dan profiles digambarkan menggunakan sistem
computer-aided design and drafting (CADD).
• Garis yang harus bebas dari penghalang adalah garis lurus
untuk posisi mata pengemudi terhadap obyek seperti
dinyatakan di atas.
• Komponen vertikal dari jarak pandangan umumnya diukur
sepanjang centerline jalan.
• Komponen horisontal jarak pandangan umumnya diukur
sepanjang centerline lajur dalam lengkung horisontal.
• Untuk jalan dua-lajur, jarak pandangan menyiap harus diukur
dan dicatat selain jarak pandangan henti.
• Informasi jarak pandangan, seperti yang disajikan dalam Fig 3-
34 dan 3-36, mungkin digunakan untuk menetapkan panjang
lengkung vertikal minimum.
3.2.6.4 lanjutan..
• Equation 3-37 dapat digunakan untuk menentukan jari-jari
lengkung horisontal atau lateral offset dari traveled way needed
untuk menyediakan jarak pandangan rencana.
• Memeriksa jarak pandang sepanjang jalan yang diusulkan dapat
dilakukan dengan mengukur langsung dari alinyemen horizontal
dan vertikal dalam sistem CADD.
• Jarak pandangan horisontal pada bagian dalam lengkung dibatasi
oleh penghalang seperti bangunan, pagar tanaman, hutan, dataran
tinggi. Jarak pandangan horisontal diukur dalam CADD sepanjang
alinyemen horisontal.
• Figure 3-1 menggambarkan metoda manual untuk mengukur jarak
pandangan, dimana sekarang dapat secara otomatis menggunakan
sistem CADD.
• Jarak pandangan henti harus diukur antara titik pada satu lajur
lalu lintas dan jarak pandangan menyiap dari bagian tengah lajur
lainnya.
Jarak Pandangan dengan Lengkung Vertikal
Jarak terpanjang pengemudi dengan tinggi
mata, h1 = 1,080 mm dapat melihat obyek
setinggi, h2 = 600 mm.
Faktor yang mempengaruhi jarak pandangan
⚫Kecepatan kendaraan

⚫Kekesatan permukaan jalan


⚫Tinggi mata pengemudi
⚫Kemiringan permukaan jalan
⚫Waktu persepsi dan waktu reaksi mengerem
BAB 4. ELEMEN POTONGAN MELINTANG
POTONGAN MELINTANG-AASHTO (2018)
1. Umum
2. Jalur Lalu Lintas
3. Lebar Lajur
4. Bahu (BPF)
5. Rumble Strip
6. Perancangan Jalur
7. Kerb
8. Saluran Drainase dan Kemiringan samping (BPP)
9. Ilustrasi Potongan Melintang
10.Pagar lalu lintas (PJTL)
POTONGAN MELINTANG – AASHTO (2018)
11. Median (BPF)
12. Frontage Road
13. Outer Separation
14. Pengatur kebisingan
15. Pengatur Jalan samping
16. Tunnel (BPJ)
17. Fasilitas Pejalan Kaki
18. Fasilitas Sepeda
19. Fasilitas Transit/Bus (BPJ)
20.Parkir di Badan Jalan (BPJ)
Keterangan
— Bangunan Pelengkap:
— Pendukung (BPP)
— Fasilitas (BPF)

— Perlengkapan Jalan:
— Langsung:
— Wajib (PJLW)
— Tidak Wajib (PJLTW)
— Tidak langsung (PJTL)
4.1. UMUM
Definisi:
— Border Area: daerah antara badan jalan dan rumija yang
melayani berbagai kebutuhan, termasuk, a.l. menyediakan
ruang untuk pemisahan antara pejalan kaki dan pesepeda,
dan kendaraan bermotor; trotoar; atau daerah untuk sinyal
lalu lintas dan meletakkan tanaman.
— Cross section: potongan melintang jalan tegak lurus garis
tengah (centerline).
— Roadway (Badan Jalan): bagian dari jalan, termasuk bahu
untuk kendaraan. Jalan terbagi mempunyai dua roadway
(lihat Gambar)
— Traveled way (Jalur lalu lintas): bagian jalan yang
dipergunakan untuk pergerakan kendaraan, tidak termasuk
bahu dan lajur sepeda, yang secara fisik berupa perkerasan
jalan (lihat Gambar)
4.2 JALUR LALU LINTAS
4.2.1 Jenis Permukaan
4.2.2 Kemiringan Melintang
4.2.2.1 Tingkat kemiringan melintang
4.2.2.2 Pertimbangan cuaca
4.2.2.3 Permukaan tanpa perkerasan

4.2.3 Skid Resistance

4.2.4 Hydroplaning
4.2.1 Jenis Permukaan
a. Pemilihan Jenis permukaan bergantung pada:
§ Volume lalu lintas dan komposisi;
§ Karakteristik tanah
§ Cuaca
§ Ketersediaan material
§ Konservasi enerji
§ Biaya awal, dan
§ Pemeliharaan tahunan dan biaya pelayanan umur-rencana.

Karakteristik permukaan yang berhubungan dengan perancangan


geometrik, adalah
• Pengaruh pada perilaku pengemudi; dan
• Kemampuan permukaan mempertahankan bentuk dan
ukuran, mengalirkan air, dan mempertahankan kekesatan
permukaan
4.2.2 Kemiringan Melintang
— Jalan tak terbagi di daerah datar, atau di bagian lurus,
mempunyai kemiringan normal, terdapat puncak di
tengah dan miring ke bawah di kedua sisi.
— Dapat digunakan kemiringan melintang searah di
seluruh lebar jalan. Kemiringan melintang ke bawah
dapat berupa bidang datar atau penampang bulat atau
kombinasi.
— Karena tingkat kemiringan melintang adalah variabel,
bagian parabola dijelaskan oleh tinggi crown.
Pemisah Tengah
(Central Separator)

Patok RUMIJA Jalur Tepian Bahu Dalam Bahu Luar


(ROW Post) (Marginal Strip) (Inner Shoulder) (Outer Shoulder)

Jalur Lalu
Lintas
(Carriageway)

Median Jalur Gerak


(Median) (Traveled Way)

Jalur Jalan
(Road Way)
Ruang Manfaat Jalan
(RUMAJA)
Ruang Milik Jalan (RUMIJA)
(Right of Way - ROW)
Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)
(Road Control Area)
BAGIAN-BAGIAN JALAN

5m

x
d a d
b b
c c
1,5 m

= RUMAJA = RUWASJA

= RUMIJA = BANGUNAN

a = lajur lalu lintas , b = bahu jalan ,


c = saluran tepi , d = ambang pengaman ,
x = b+a+b = badan jalan

Sumber: penjelasan pasal 33 PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan


Potongan Melintang jalan Magelang
Kondisi fisik jalan Magelang
Potongan bentuk jalan Solo km 7 sampai km 14
Kondisi fisik jalan Solo km 7 sampai 14
4.2.2.3 Unpaved Surfaces
Kemiringan melintang di butir 4.2.2.1 adalah untuk
permukaan yang diperkeras. Kemiringan melintang yang
lebih besar diperlukan untuk permukaan yang tidak
diperkeras, ditunjukkan dalam Table 4-1

Table 4-1. Normal Traveled-Way Cross Slope


4.2.3 Skid Resistance
— Kecelakaan gelincir memerlukan perhatian penting. Tidak
cukup mengkaitkan kecelakaan gelincir hanya dengan
"kesalahan pengemudi" atau "mengemudi terlalu cepat
untuk kondisi yang ada." Jalan harus memberikan tingkat
ketahanan gelincir yang akan mengakomodir gerakan
pengereman dan kemudi yang dapat diharapkan secara
wajar untuk lokasi tertentu.
— Penelitian menunjukkan bahwa geometri jalan
mempengaruhi ketahanan gelincir. Oleh karena itu,
ketahanan gelincir harus menjadi pertimbangan dalam
perancangan semua konstruksi baru dan proyek
rekonstruksi besar. Alinyemen vertikal dan horisontal
dapat dirancang sedemikian rupa sehingga potensi gelincir
berkurang.
4.2.3 Skid Resistance (lanjutan)
— Jenis dan tekstur perkerasan juga mempengaruhi
ketahanan gelincir jalan. Empat penyebab utama
ketahanan gelincir yang buruk pada perkerasan basah
adalah: rutting, polishing, bleeding, dan perkerasan kotor.
— Rutting menyebabkan akumulasi air di lintasan ban.
— Pemolesan mengurangi mikrotekstur permukaan
perkerasan. Permukaan perkerasan akan kehilangan
ketahanan selipnya ketika terkontaminasi oleh tetesan
minyak, lapisan debu, atau bahan organik.
— Tindakan yang diambil untuk meningkatkan ketahanan
selip: daya tahan awal ketahanan selip yang tinggi,
kemampuan untuk mempertahankan ketahanan selip
dengan waktu dan lalu lintas, dan penurunan minimal
ketahanan selip dengan peningkatan kecepatan.
4.2.4 Hydroplanning/Aquaplanning
— Aquaplaning adalah suatu kondisi di mana
kendaraan kehilangan daya cengkeram sehingga
kehilangan kendali. Penyebab utama adalah
genangan air, seperti hujan dan banjir. Juga dapat
terjadi karena keadaan kendaraan yang tidak baik.
— Genangan air hujan yang terbentuk tidak perlu
terlalu tinggi untuk menyebabkan aquaplaning.
Yang penting, ada lapisan pemisah antara jalan dan
ban sehingga mobil kehilangan kontak sesaat.
4.3 Lebar Lajur
— Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi
oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati
suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana.
— Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan
rencana, yang dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas
jalan seperti ditetapkan dalam Tabel 11.8.
— Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI
berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk
suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai rasio antara volume
terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0.80.
— Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pads
alinemen lurus memerlukan kemiringan melintang normal
sebagai berikut (lihat Gambar 11.14):
— 2-3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton;
— 4-5% untuk perkerasan kerikil
Lebar Lajur Jalan Ideal
Ps. 48 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA)
1) Tinggi ruang bebas bagi semua kelas jalan yang sebidang
dengan tanah paling rendah 5 (lima) meter, serta
kedalaman paling rendah 1,5 (satu koma lima) meter dari
muka perkerasan jalan.
2) Tinggi ruang bebas bagi semua jalan arteri dan kolektor
pada lintas atas, lintas bawah, jalan layang, dan
terowongan paling rendah 5 (lima) meter, serta
kedalaman ruang bebas sesuai dengan kebutuhan
pengamanan konstruksi.
3) Rumaja di bawah kolong jalan layang dapat dimanfaatkan
untuk parkir kendaraan, ruang terbuka hijau, lapangan
olahraga, dan kantor pengoperasian jalan, dengan syarat
tidak mengganggu keselamatan, kelancaran lalu lintas,
dan keamanan konstruksi.
Ps. 48 Ruang Milik Jalan (RUMIJA)
1) Rumija sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki lebar
paling sedikit sesuai ketentuan seperti tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
2) Rumija sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain
digunakan untuk ruang manfaat jalan, bisa dimanfaatkan
untuk;
• pelebaran jalan atau penambahan lajur lalu lintas di masa yang
akan datang;
• kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan;
• ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai lansekap jalan;
• kebutuhan ruang untuk penempatan utilitas.
3) Bangunan utilitas dapat ditempatkan di dalam Rumija
namun sekurang- kurangnya pada batas terluar ruang
manfaat jalan sesuai dengan pedoman pemanfaatan ruang
jalan yang berlaku.
Ps. 50 RUWASJA
1) Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) adalah ruang
sepanjang jalan di luar RUMAJA yang dibatasi oleh
tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan
sebagai berikut:
— jalan Arteri minimum 20 meter,
— jalan Kolektor minimum 15 meter,
— jalan Lokal minimum 10 meter.

2) Untuk keselamatan pemakai jalan, Ruwasja di


daerah tikungan ditentukan oleh jarak pandang
bebas
3) Ruwasja diperuntukkan bagi pemenuhan pandangan
bebas pengemudi, ruang bebas bagi kendaraan yang
mengalami hilang kendali, dan pengamanan konstruksi
jalan serta pengamanan fungsi jalan.
4) Ruwasja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada
daerah bagian jalan yang menikung ditentukan oleh
lebar daerah kebebasan samping jalan.
5) Ruwasja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada Jalan
yang melalui terowongan dan lintas bawah harus
memiliki lebar yang disesuaikan dengan kebutuhan
pengamanan konstruksi.
6) Lebar Ruwasja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan dari sisi luar Rumija dengan lebar paling
sedikit sesuai ketentuan yang tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
PM PU No 19 Tahun 2011 tentang
Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria
Perencanaan Teknis Jalan
Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan
Penampang Melintang Jalan Tipikal
Penampang Melintang Jalan Tipikal
yang dilengkapi Trotoar
4.4 Bahu Jalan
1) Bahu Jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi
jalur lalu lintas dan harus diperkeras (lihat Gambar
11.15).
2) Fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut:
a. lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara,
dan atau tempat parkir darurat;
b. ruang bebas samping bagi lalu lintas; dan
c. penyangga untuk kestabilan perkerasan jalur lalu
lintas.
3) Kemiringan bahu jalan normal antara 3 - 5%.
4) lebar bahu jalan dapat dilihat dalam Tabel 11.7.
Bahu Jalan
Pengertian berikut:
— Lebar bahu “graded” diukur dari tepi jalur ke
perubahan kemiringan bahu seperti Exhibit 4-5A.

— Lebar bahu “usable” adalah lebar sebenarnya yang akan


dipakai pengemudi pada saat berhenti darurat atau
parkir. Dimana kemiringan adalah 1:4 atau lebih landai,
lebar “usable” adalah sama dengan lebar “graded”
karena umumnya dibulatkan sampai selebar 1.2 to 1.8
m di batas bahu. Exhibits 4-5B and 4-5C
menggambarkan lebar bahu yang digunakan.
4.5 Rumble Strip
— Rumble strip adalah merubah tekstur permukaan jalan,
dengan pola bergaris tegak lurus arus pergerakan,
sedemikian sehingga saat pengendara melewatinya akan
terasa melewati sekumpulan 'road hump mini', dan
kendaraan menjadi terasa bising suaranya.
— Metoda ini sangat cocok untuk jalan yang mempunyai
volume lalu lintas yang cukup tinggi.
— Karena metoda ini menyebabkan kebisingan suara yang
cukup signifikan, maka aplikasi di daerah pemukiman
sama sekali tidak dianjurkan.
Singing Road (jalan bernada)
— Singing road (jalan bernada) atau marka jalan
semacam rumble strip di Ruas tol Ngawi Kertosono
tepatnya di KM 664+200 B, Surabaya arah Solo.
— Pemasangan marka jalan ini untuk memberikan
peringatan kepada pengguna jalan tol untuk lebih
berhati-hati dan fokus saat mengemudi.
— Berdasarkan hasil evaluasi pada Ruas jalan tersebut
rawan kecelakaan.
— Penyebab utama kecelakaan di ruas jalan tersebut
adalah pengemudi mengantuk dan kecepatan
melebih batas.
Jalan Bernada dan
rambu peringatan
4.6 Perancangan Badan Jalan
4.6.1. Clear zone
— Clear zone digunakan untuk menunjuk area yang tidak
terhalang dan dapat dilalui, disediakan di luar tepi jalan
untuk mengarahkan kembali kendaraan yang
menyimpang.
— Clear zone meliputi bahu jalan, jalur sepeda, dan lajur
lambat.
— Lebar clear zone merupakan fungsi dari kecepatan,
volume lalu lintas, dan kemiringan tanggul.
— Clear zone dapat dipertimbangkan untuk jalan lokal dan
jalan kolektor dan jalan dengan LHR 2.000 kendaraan.
Clear zone

Photo Source: FHWA


4.6.2 Lateral offset
— Di perkotaan, rumija seringkali sangat terbatas dan tidak
dapat menyediakan clear zone sesuai standar.
— Jalan perkotaan dicirikan dengan adanya trotoar, drainase
tertutup, banyak objek tetap (misalnya, rambu, tiang
utilitas, hidran, furnitur trotoar, dll.).
— Selain itu, lingkungan perkotaan biasanya memiliki
kecepatan pengoperasian dan fasilitas sepeda yang lebih
rendah; parkir di badan jalan juga dapat disediakan.
4.6.2 Lanjutan…..
Offset lateral terhadap penghalang ini membantu untuk:
— Menghindari efek merugikan pada posisi jalur
kendaraan dan perambahan ke jalur lawan atau lajur
berdekatan;
— Meningkatkan jarak pandang jalan masuk dan jarak
pandang horisontal;
— Mengurangi perambahan jalur lalu lintas dari kendaraan
yang kadang-kadang diparkir;
— Meningkatkan kapasitas jalur lalu lintas; dan
— Minimalkan kontak antara penghalang dan kaca spion
kendaraan, pintu mobil, dan truk yang keluar jalan saat
berbelok dan saat parkir.
Pengukuran Lateral offset
MUTCD
Section 2A.19 Lateral Offset
Standard:
Untuk tiang rambu, laterak
offset minimum dari tepi bahu
6 ft Tiang rambu overhead
harus diberi pagar atau crash
cushion untuk melindunginya
jika terkletak di clear zone.
4.7 Kerb
— Jenis dan lokasi kerb mempengaruhi perilaku pengemudi,
yang kemudian mempengaruhi operasional di jalan.
Fungsi kerb:
• pengatur drainase,
• batas tepi jalan,
• pengurangan rumija,
• estetika,
• batas trotoar,
• pengurangan operasi pemeliharaan, dan
• bantuan dalam pembangunan sisi jalan yang teratur.
4.7.2 Bentuk Kerb
Bentuk kerb dapat tegak atau miring. Kerb dapat dirancang terpisah
atau terintegrasi dengan perkerasan. Kerb tegak atau miring dapat
termasuk selokan/parit.
Kerb Miring
4.7.3 Penempatan Kerb
— Kerb tegak atau miring yang diletakkan di tepi jalur
mempunyai pengaruh pada lateral placement
kendaraan yang bergerak, tergantung pada bentuk
dan penampilan kerb.
— Kerb miring dan bagian muka pendek, mendorong
pengemudi untuk berkendara relatif dekat dengan
kerb. Kerb miring dan bagian muka lebih curam,
mendorong pengemudi cenderung menjauh,
sehingga memerlukan lebar tambahan.
4.8 Saluran Tepi
a. Definisi: adalah bangunan pelengkap jalan yang
dibangun untuk menanggulangi kelebihan air yang
terjadi, baik air permukaan maupun air bawah tanah.
b. Drainase jalan merupakan bagian yang sangat
penting, khususnya pada daerah padat dengan
tingkat penyerapan air yang rendah.
c. Seringkali kerusakan jalan terjadi disebabkan bukan
oleh beban lalu lintas, tetapi oleh kondisi drainase
jalan.
4.9 Ilustrasi bagian luar potongan melintang
Normal Crown Sections
— Figure 4-1A menunjukkan bentuk yang banyak digunakan.
Lebar bahu ada baik pada bagian timbunan maupun galian.
Kemiringan bahu mulai dari 2%, untuk permukaan yang
diperkeras, sampai 8%, kemiringan maksimum untuk
permukaan rumput.
— Dalam Figure 4-1A saluran drainase di kanan dibentuk dengan
lereng depan (foreslope) di sisi jalan lereng belakang
(backslope) di sisi luar. Kombinasi lereng depan dan lereng
belakang harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
dilalui oleh kendaraan yang tersesat tanpa terbalik.
— Saluran harus cukup lebar untuk menyediakan cukup
kapasitas dan cukup dalam untuk stabilitas badan jalan.
Dianjurkan kedalaman saluran antara 0.3 sampai 1.2 m di
bawah bahu.
Figure 4-1. Typical Cross
Section, Normal Crown
Figure 4-2. Typical Cross Section,
Superelevated
Figure 4-3. Roadway Sections for Divided Highway (Basic Cross Slope Arrangements)
4.10 Road Barrier
4.10.1 Pertimbangan Umum
4.10.2 Longitudinal Barrier
4.10.2.1 Roadside Barrier
4.10.2.2 Median Barrier
4.10.3 Bridge Railing
4.10.4 Crash Cushion
4.10.1 Pertimbangan Umum
— Faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam
pemilihan dan kinerja pagar jalan, karakteristik defleksi
lateral, dan ketersediaan ruang untuk mengakomodir
defleksi pagar jalan.
— Dalam perancangan juga harus mempertimbangkan
adaptasi sistem pada transisi operasional dan penanganan
akhir, dan biaya awal dan pemeliharaan.
— Pagar jalan digunakan untuk mencegah kendaraan yang
meninggalkan jalur yang dilalui agar tidak bertabrakan
dengan objek yang memiliki potensi tingkat keparahan
tabrakan yang lebih besar daripada penghalang itu
sendiri. Karena pagar itu sendiri merupakan sumber
potensi kecelakaan, penggunaannya harus
dipertimbangkan dengan hati-hati.
4.11 Median
Pedoman Konstruksi dan Bangunan Pd T-17-2004-B:
Perencanaan Median Jalan

1) Median adalah bagian bangunan jalan yang secara


fisik memisahkan dua jalur lalu lintas yang
berlawanan arah.
2) Fungsi median adalah untuk:
a. memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan
arah;
b. ruang tunggu penyeberang jalan;
c. penempatan fasilitas jalan;
d. tempat prasarana kerja sementara;
e. penghijauan;
f. tempat berhenti darurat (jika cukup luas);
g. cadangan lajur (jika cukup luas); dan
h. mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari
arah yang berlawanan.
3) Kriteria Kebutuhan Median Jalan
a. Tipe jalan minimal 4 lajur 2 arah (4-2/UD)
b. Volume lalu lintas dan tingkat kecelakaan tinggi
c. Diperlukan untuk penempatan fasilitas pendukung
lalu lintas
4) Median dapat dibedakan atas (lihat Gambar 11.16):
a. Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan
bangunan pemisah jalur yang direndahkan.
b. Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan
bangunan pemisah jalur yang ditinggikan.

5) Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian


selebar 0,25-0,50 meter dan bangunan pemisah jalur,
ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel 11.9.

6) Perencanaan median yang lebih rinci mengacu pada


Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan
Perkotaan, Direktorat Jenderal Bina Marga,Maret 1992.
4.11.1 Aspek Perencanaan
Lanjutan…..
4.11.2 Ketentuan Umum
1) Penempatan median
2) Jenis median jalan
3) Lebar median jalan
4) Bukaan median jalan
5) Ujung median jalan
6) 7) Ruang bebas median jalan
1) Penempatan median
2) Jenis Median Jalan
1) Median datar, yaitu median yang dibatasi oleh dua
marka membujur garis utuh, bila jarak dua buah marka
membujur garis utuh bisa dikategorikan sebagai media
jikajarak tersebut > 18 cm, di dalamnya dilengkapi
marka serong. Ketentuan penggunaan marka sebagai
median mengikuti pedoman perencanaan marka yang
berlaku.
3) Lebar median jalan

Lebar Median Minimum


Bentuk Median Lebar Minimum (m)
Median Ditinggikan 2.0
Median Direndahkan 7.0
Median Direndahkan dan Ditinggikan
4) Bukaan Median Jalan
1) Median dilengkapi dengan bukaan sesuai Tabel 2, khusus
untuk arteri antar kota mengikuti gambar yang ada di
lampiran, yaitu Gambar A-2 dan A-3
2) Median dengan lebar kurang dari ketentuan Tabel 2
dapat diengkapi dengan bukaan, apabila dilakukan
pelebaran setempat untuk mencapai ketentuan Tabel 2
pada daerah pendekat bukaan dapat dibuat seperti
terlihat pada Gambar 7.
3) Bukaan dilengkapi lajur tunggu bagi kendaraan yang
akan melakukan putaran balik arah (Gambar 8). Bukaan
median harus dilengkapi prasarana pendukung
pengaturan lalu lintas marka dan rambu
Gambar 7. Median pada daerah pendekat bukaan
5) Ujung median jalan
6) Ruang bebas median jalan
12. BANGUNAN PELENGKAP JALAN
Bangunan Pelengkap
— Sebagai Pendukung Konstruksi Jalan
a. Saluran tepi jalan;
b. gorong-gorong; dan
c. Dinding penahan tanah

— Sebagai Fasilitas Lalu Lintas


a. Jembatan penyeberangan pejalan kaki;
b. terowongan penyeberangan pejalan kaki;
c. pulau jalan;
d. trotoar;
e. tempat parkir di badan jalan; dan
f. teluk bus yang dilengkapi halte.
Daftar Pustaka
1. PP 34/2006 Tentang Jalan
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :
19/PRT/M/2011 Tentang Persyaratan Teknis Jalan dan
Kriteria Perencanaan Teknis Jalan
3. PM 34 Tahun 2014 Tentang MARKA JALAN
4. Pd T-12-2004-B Penempatan Marka Jalan
5. PM 13 Tahun 2014 tentang Rambu Lalu Lintas.
6. Kementerian Perhubungan, Dirjen Perhubungan Darat: Panduan
Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan.
7. SNI 19-7167-2006: Delineator di Jalan Wilayah Pertambangan

8. MUTCD (Manual on Uniform Traffic Control Devices),


2009.
PP 34/2006 Tentang Jalan
Pasal 21
1) Jalan dilengkapi dengan bangunan
pelengkap.
2) Bangunan pelengkap jalan harus disesuaikan
dengan fungsi jalan yang bersangkutan.
PM Pekerjaan Umum Nomor:
19/PRT/M/2011
Pasal 21 Bangunan Pelengkap Jalan Sebagai
Pendukung Konstruksi Jalan
a. Saluran tepi jalan;
b. gorong-gorong; dan
c. Dinding penahan tanah.
a. Pasal 22 Saluran Tepi Jalan
1) Saluran tepi jalan merupakan saluran untuk menampung dan
mengalirkan air hujan atau air yang ada di permukaan jalan, bahu
jalan, dan jalur lainnya serta air dari drainase di bawah muka jalan, di
sepanjang koridor jalan.
2) Saluran tepi jalan dapat dibuat dari galian tanah biasa atau diperkeras
dan/atau dibuat dari bahan yang awet serta mudah dipelihara, sesuai
dengan kebutuhan fungsi pengaliran.
3) Saluran tepi jalan harus dalam bentuk tertutup jika digunakan pada
Jalan di wilayah perkotaan yang berpotensi dilalui pejalan kaki.
4) Dimensi saluran tepi jalan harus mampu mengalirkan debit air
permukaan maksimum dengan periode ulang:
a. paling sedikit 10 (sepuluh) tahunan untuk jalan arteri dan kolektor; dan
b. paling sedikit 5 (lima) tahunan untuk jalan lokal dan lingkungan.
5) Dalam hal tertentu saluran tepi Jalan dapat juga berfungsi sebagai
saluran lingkungan dengan izin dari penyelenggara jalan.
Saluran tepi jalan
b. Pasal 23 Gorong-gorong
1) Gorong-gorong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf b merupakan saluran air di bawah permukaan jalan
berfungsi mengalirkan air dengan cara memotong badan
jalan secara melintang.
2) Gorong-gorong harus dibangun dengan konstruksi yang
awet dan harus direncanakan untuk melayani paling
sedikit 20 (dua puluh) tahun, serta mudah dipelihara
secara rutin.
3) Konstruksi kepala gorong-gorong harus berbentuk
sedemikian sehingga tidak menjadi objek penyebab
kecelakaan.
4) Gorong-gorong harus mampu mengalirkan debit air
paling besar, sesuai dengan luas daerah tangkapan air
hujan
Gorong-gorong
c. Pasal 24 Dinding Penahan Tanah
1) Dinding penahan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 huruf c merupakan bangunan konstruksi untuk menahan
beban tanah ke arah horisontal dan vertikal.
2) Dinding penahan tanah dapat digunakan untuk menyokong
badan jalan yang berada di lereng atau di bawah permukaan
jalan.
3) Dinding penahan tanah harus mampu menahan gaya vertikal
dan horizontal yang menjadi bebannya, sesuai dengan
pertimbangan mekanika tanah dan geoteknik.
4) Dinding penahan tanah harus dibangun dengan konstruksi
yang awet dan mudah dipelihara serta dengan faktor
keamanan yang memadai.
5) Dinding penahan tanah harus dilengkapi sistem drainase.
6) Bagian sisi terluar dinding penahan tanah harus berada dalam
atau pada batas Rumija.
Dinding penahan tanah pada Galian
Dinding penahan tanah padaTimbunan
tiga fungsi dinding penahan tanah, yaitu:
1) Active Lateral Force Soil yaitu fungsi mencegah runtuhnya
lateral tanah, misalnya longsor atau landslide
2) Lateral Force Water yaitu fungsi mencegah keruntuhan tanah
lateral yang diakibatkan oleh tekanan air berlebih
3) Flow net cut off yaitu fungsi memotong aliran air pada tanah
beberapa kegunaan lain dari penahan tanah sesuai lokasi
pembuatannya, seperti:
• Flood walls atau desain dinding penopang tanah yang ada di
pinggir sungai berguna untuk mengurangi dan menahan banjir
• Pada konstruksi jalan raya yang bertujuan untuk mendapat
perbedaan elevasi
• Sebagai penopang yang membatasi pembangunan jalan raya atau
kereta api di daerah lereng
• Menyangga tanah di sekitar bangunan atau gedung
dinding penopang tanah yang selama ini kita kenal. Adapun jenis-jenis yang dimaksud
yaitu:
1. Gabion Retaining Walls (Kawat Bronjong)
Jenis dinding penopang tanah yang pertama adalah gabion retaining walls atau akrab
disebut sebagai tembok bronjong. Sesuai dengan istilahnya, sejumlah kumpulan blok yang
dibuat dari kawat bronjong berisi batu belah ini merupakan komponen utama pembuatan
retaining walls.
Sama seperti jenis lainnya, fungsi utama dinding ini adalah sebagai penahan tanah. Namun
di samping itu, materialnya yang terbuat dari batu bongkahan bisa digunakan juga sebagai
sarana meningkatkan resapan air yang masuk ke dalam tanah.
2. Diaphragm Wall
Sejumlah bangunan bertingkat di Indonesia memanfaatkan area bawah tanah untuk
dijadikan basement lahan parkir atau gudang penyimpanan. Nah, diaphragm wall adalah
jenis dinding penopang tanah yang sering digunakan untuk memenuhi fungsi tersebut.
Cara membuat dinding penahan yang satu ini dilakukan dengan menggali tanah kemudian
membuat rangka dari hasil cor besi beton bertulang untuk dinding basement. Bukan hanya
menopang tanah agar tidak masuk ke area basement, diaphragm wall dibuat dengan tujuan
pengeringan air atau dewatering.
3. Dinding Penopang Tanah Gravity
Selanjutnya adalah gravity retaining wall yang biasanya terbuat dari sejumlah bongkahan
batu atau beton bertulang (reinforced concrete). Biasanya perhitungan dinding penahan
tanah ini cocok untuk area timbunan tanah atau tebing yang landai.
Gravity retaining wall merupakan salah satu desain dinding penahan tanah beton yang unik.
Fungsi penopang tanah lateralnya memanfaatkan bobot massa yang dihasilkan dari bentuk
badan konstruksi tembok tersebut.
4. Sheet Piles
jenis dinding penopang tanah yang keempat adalah model sheet piles. Berbeda dari model
sebelumnya, kebanyakan sheet piles dibangun di daerah pinggir air. Sebab itu, fungsi
utamanya adalah sebagai dam atau bendungan air. Metode pelaksanaan konstruksi dinding
penahan tanah ini memanfaatkan material beton prategang atau prestressed concrete.
5. Contiguous Pile dan Soldier Pile
Dua kategori dinding ini mirip tapi punya karakteristik yang berbeda. Contiguous dan
soldier pile sama-sama dibuat dengan mengkombinasikan rangkaian bored pile dan
bentonite cement pile. Tapi di sisi lain perbedaannya adalah jenis contiguous pile bersifat
sementara dan kedap air, sedangkan soldier pile tidak demikian.
6. Revetment Retaining Walls
Revetment adalah jenis yang digunakan untuk menahan tanah pada pinggiran pantai atau
tepi sungai. Hal demikian dilakukan untuk memperkuat tanah pada lahan miring. Di
samping itu dinding ini bisa melindunginya dari gerusan atau longsor akibat abrasi.
7. Desain Dinding Penopang Tanah Beton
Selain keenam jenis khusus sebelumnya, dinding penahan juga bisa dibuat hanya dengan
sekedar menumpuk kumpulan blok beton. Secara rinci, cara membuat dinding penahan
tanah yang satu ini memanfaatkan sistem pengunci antar blok agar tidak ada beton yang
bergeser saat pemasangan berlangsung di lokasi.
Pasal 25 Bangunan Pelengkap Jalan
Sebagai Fasilitas Lalu Lintas
Bangunan pelengkap jalan sebagai fasilitas lalu lintas
dan fasilitas pendukung pengguna jalan meliputi:
a. Jembatan penyeberangan pejalan kaki;
b. terowongan penyeberangan pejalan kaki;
c. pulau jalan;
d. trotoar;
e. tempat parkir di badan jalan; dan
f. teluk bus yang dilengkapi halte.
a. Pasal 26
1) Jembatan penyeberangan pejalan kaki sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf a merupakan bangunan jembatan yang
diperuntukkan untuk menyeberang pejalan kaki dari satu sisi jalan
ke sisi jalan yang lainnya.
2) Jembatan penyeberang pejalan kaki harus dibangun dengan
konstruksi yang kuat dan mudah dipelihara.
3) Jembatan penyeberangan pejalan kaki memiliki lebar paling sedikit 2
(dua) meter dan kelandaian tangga paling besar 200 (dua puluh
derajat).
4) Jembatan penyeberangan pejalan kaki harus dilengkapi dengan pagar
yang memadai.
5) Pada bagian tengah tangga jembatan penyeberangan pejalan kaki
harus dilengkapi bagian rata yang dapat digunakan sebagai fasilitas
untuk kursi roda bagi penyandang cacat.
6) Lokasi dan bangunan jembatan penyeberang pejalan kaki harus
sesuai dengan kebutuhan pejalan kaki dan estetika.
Jembatan Penyeberangan Pejalan Kaki

Jembatan penyeberangan pejalan


kaki dengan atap dan pagar

Jembatan penyeberangan pejalan


kaki tanpa atap dan dengan pagar
b. Pasal 27
1) Terowongan penyeberangan pejalan kaki sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf b merupakan bangunan terowongan melintang
dibawah permukaan Jalan diperuntukkan bagi pejalan kaki yang
menyeberang dari satu sisi jalan ke sisi jalan yang lainnya.
2) Terowongan penyeberang pejalan kaki harus dibangun dengan
konstruksi yang kuat dan mudah dipelihara.
3) Lebar paling kecil terowongan penyeberangan pejalan kaki adalah 2,5
(dua koma lima) meter dengan kelandaian tangga paling besar 200
(dua puluh derajat).
4) Tinggi paling rendah terowongan penyeberangan pejalan kaki adalah
3 (tiga) meter.
5) Terowongan penyeberangan pejalan kaki harus dilengkapi dengan
penerangan yang memadai.
6) Terowongan penyeberang pejalan kaki harus mempertimbangkan
fasilitas sistem aliran udara sesuai dengan kebutuhan.
Terowongan Penyeberangan
Pejalan Kaki
c. Pasal 28
1) Pulau jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf
c merupakan bangunan di jalur lalu lintas yang
ditinggikan yang tidak dilalui oleh kendaraan bermotor,
berfungsi sebagai kanal, memisahkan, dan mengarahkan
arus lalu lintas.
2) Pulau jalan harus dibangun dengan konstruksi yang awet
dan mudah dipelihara.
3) Sisi luar bangunan pulau jalan diharuskan menggunakan
kerb.
4) Bagian dari pulau jalan terdiri atas marka garis, marka
chevron, lajur tepian, dan bangunan yang ditinggikan.
5) Pulau jalan dapat dimanfaatkan untuk ruang hijau dan
fasilitas lainnya yang mempunyai nilai estetika sepanjang
tidak mengganggu fungsi Jalan.
Pulau Lalu Lintas
— Raised island: ditinggikan, lalu lintas tidak dapat
melalui
— Ghost island: Menggunakan marka, lalu lintas
masih dapat bergerak di atasnya.
RAISED ISLAND GHOST ISLAND
Pulau Jalan (median) di Belitung
Roundabout
Median Refuge Island
Ghost island di
persimpangan
menggunakan Marka
Serong
d. Pasal 29 Trotoar
1) Trotoar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf
d merupakan bangunan yang ditinggikan sepanjang
tepi jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas
pejalan kaki.
2) Trotoar harus dirancang dengan memperhatikan :
a. aksesibilitas bagi penyandang cacat;
b. adanya kebutuhan untuk pejalan kaki; dan
c. unsur estetika yang memadai.
3) Trotoar harus dibangun dengan konstruksi yang kuat
dan mudah dalam pemeliharaan.
4) Bagian atas trotoar harus lebih tinggi dari jalur lalu
lintas.
Pasal 29 (lanjutan)
5) Bagian sisi dalam trotoar harus diberi kerb.
6) Trotoar ditempatkan dalam Ruang Manfaat Jalan
(Rumaja) atau dalam Ruang Milik Jalan (Rumija),
tergantung dari ruang yang tersedia.
7) Pada akses ke persil, ketinggian/kelandaian trotoar
bagian tengah tidak boleh diturunkan. Kelandaian
boleh dilakukan kearah melintang trotoar searah
kendaraan masuk pada awal akses atau akhir akses.
Trotoar
e. Pasal 30 Tempat Parkir di Badan Jalan
1) Tempat parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 huruf e merupakan bangunan pelengkap jalan yang
berfungsi sebagai fasilitas untuk kendaraan berhenti
di luar badan jalan.
2) Pengaturan tempat parkir sebagaimana dimaksud
pada ayat 1) sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Marka ruang parkir di Jalan Juanda, Jakarta
Pusat
Pelanggaran parkir
f. Pasal 31 Teluk Bus
1) Teluk Bus yang dilengkapi halte sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 huruf f merupakan bangunan di sisi jalan berbentuk
teluk yang dilengkapi tempat berteduh, diluar jalur lalu lintas,
diperuntukkan bagi bus untuk berhenti sementara
menurunkan dan menaikan penumpang, dan menunggu calon
penumpang bus.
2) Ruas Jalan yang dilewati trayek angkutan umum dapat
dilengkapi teluk bus yang dilengkapi halte.
3) Jarak antara teluk bus yang dilengkapi halte, disepanjang
koridor jalan yang potensi penggunaannya cukup banyak,
paling dekat 500 (lima ratus) meter.
4) Fasilitas trotoar yang melintas teluk bus yang dilengkapi halte,
harus tetap ada dan menerus.
5) Perkerasan jalan di dalam teluk bus harus lebih kuat 1,5 (satu
koma lima) kali dari perkerasan pada jalur lalu lintas.
Teluk Bus di Ruas Jalan
Teluk Bus di dekat Persimpangan

Jarak minimum dari persimpangan adalah 75 m, sehingga


kendaraan mendekat persimpangan tidak terpengaruh oleh
teluk bus
Tempat pemberhentian di Ruas dekat Penyeberangan
Pejalan Kaki
Tempat Pemberhentian (Halte) Bus
Kriteria penempatan Pemberhentian bus:
a) Tidak mengganggu kelancaran lalu-lintas kendaraan
maupun pejalan kaki.
b) Dekat dengan lahan yang mempunyai potensi besar
untuk pemakai angkutan penumpang umum.
c) Mempunyai aksesibilitas yang tinggi terhadap pejalan kaki.
d) Jarak satu Pemberhentian Bus dengan Pemberhentian
Bus lainnya pada suatu ruas jalan minimal tigaratus meter
dan tidak lebih dari tujuhratus meter.
e) Jarak dari tepi perkerasan pada kaki simpang ke ujung
awal Teluk Bus, sesuai arah lalu-lintas adalah 50 meter.
f) Jarak dari tepi perkerasan pada kaki simpang ke ujung
Rambu Stop Bus sesuai arah lalu-lintas adalah 50 meter.
g) Lokasi penempatan Pemberhentian Bus disesuaikan
dengan kebutuhan.
Tempat Pemberhentian di dekat Persimpangan
13. PERLENGKAPAN JALAN
Daftar Pustaka
1. PP 34/2006 Tentang Jalan
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 19/PRT/M/2011 Tentang
Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan
3. PM 27 Tahun 2018 tentang Alat Penerangan Jalan
4. PM 67 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas PM Perhubungan No 34 Tahun 2014
Tentang Marka Jalan

5. PM 34 Tahun 2014 Tentang MARKA JALAN


6. Pd T-12-2004-B Penempatan Marka Jalan
7. PM 13 Tahun 2014 tentang Rambu Lalu Lintas.
8. Kementerian Perhubungan, Dirjen Perhubungan Darat: Panduan
Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan.
9. SNI 19-7167-2006: Delineator di Jalan Wilayah Pertambangan
10. MUTCD (Manual on Uniform Traffic Control Devices), 2009
Pasal 22 Perlengkapan Jalan
1) Jalan dilengkapi dengan perlengkapan jalan.
2) Perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat 1) terdiri atas
perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dan tidak langsung
dengan pengguna jalan.
3) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2) meliputi perlengkapan jalan
yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan, baik wajib
maupun tidak wajib.
4) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2) harus memenuhi ketentuan
teknis perlengkapan jalan yang ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan.
5) Perlengkapan jalan yang berkaitan tidak langsung dengan
pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat 2) harus
memenuhi persyaratan teknis perlengkapan jalan.
Pasal 23
(1) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna
jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat 3) diatur oleh
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan setelah memperhatikan
pendapat Menteri.
(2) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna
jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat 3) pada
pembangunan jalan baru dan peningkatan jalan dilaksanakan
oleh penyelenggara jalan dengan berpedoman pada ketentuan
yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(3) Perlengkapan jalan yang berkaitan tidak langsung dengan
pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat 5)
dilaksanakan oleh penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
Pasal 32 Perlengkapan Jalan
1) Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan.
2) Perlengkapan jalan pada pembangunan jalan baru
dan peningkatan jalan lama dilaksanakan oleh
penyelenggara jalan dengan berpedoman pada
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri
penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan.
3) Perlengkapan jalan terdiri atas:
a. perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan
pengguna jalan, dan
b. perlengkapan jalan yang tidak berkaitan langsung dengan
pengguna jalan.
Pasal 33
1) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan
pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat 3) huruf a meliputi:
a. perlengkapan jalan wajib; dan
b. perlengkapan jalan tidak wajib.

2) Perlengkapan jalan wajib meliputi:


• aturan perintah dan larangan yang dinyatakan dengan
rambu jalan, marka Jalan dan alat pemberi isyarat lalu
lintas;
• petunjuk dan peringatan yang dinyatakan dengan
rambu dan tanda-tanda lain; dan/atau
• fasilitas pejalan kaki di jalan yang telah ditentukan.
Pasal 33 (lanjutan…)
3) Perlengkapan jalan tidak wajib adalah lampu
penerangan jalan umum, kecuali menjadi wajib pada
tempat sebagai berikut:
a. persimpangan;
b. tempat yang banyak pejalan kaki;
c. tempat parkir; dan
d. daerah dengan jarak pandang yang terbatas.
4) Tiang penerangan Jalan Umum dipasang di sisi luar
badan Jalan dan/atau pada bagian tengah median jalan.
5) Ketentuan teknis perlengkapan jalan yang berkaitan
langsung dengan pengguna jalan baik wajib maupun
tidak wajib berpedoman pada ketentuan teknis yang
ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintah dibidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Perlengkapan jalan
1. Berkaitan Langsung: berkaitan langsung
dengan pengguna jalan (diatur oleh
Menteri Perhubungan dan berkoordinasi
dengan Menteri PUPR)
a. Wajib

b. Tidak wajib

2. Tidak berkaitan langsung: dilaksanakan


oleh Menteri PUPR
12.1 Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung
dengan pengguna jalan:
1) Wajib: Alat Pengendali Lalu Lintas (APLL)
Definisi: merupakan alat komunikasi antara pengelola dan
pengemudi. Setiap undang-undang lalu lintas, peraturan,
atau petunjuk operasi harus di komunikasikan melalui
penggunaan alat berikut:
A. rambu-rambu (termasuk nomor ruas jalan)
B. marka jalan
C. alat pemberi isyarat lalu lintas
D. alat pengendali dan alat pengamanan pengguna jalan; dan/atau
E. fasilitas pejalan kaki di jalan yang telah ditentukan

2) Tidak Wajib:
Lampu penerangan jalan
12.1.1 Wajib: Alat Pengendali Lalu Lintas
Tujuan Pemasangan APLL
• Meningkatkan keselamatan jalan dan
menyediakan pergerakan yang teratur terhadap
pengguna jalan.
• Memberi informasi kepada pengguna jalan tentang
peraturan dan petunjuk yang diperlukan untuk
mencapai arus lalu lintas yang selamat, seragam
dan beroperasi dengan efisien.

Prinsip Dasar Pemasangan APLL


APLL harus jelas terlihat dan mudah dipahami dalam
kondisi cuaca, jarak pandangan, dan lalu lintas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Efektifitas APLL :
1) Nilai target. Harus berdiri jauh dari latar belakang
dan obyek di sekitarnya, dan sangat tergantung pada:
— ukuran
— bentuk,
— warna,
— terang,
— kontras,
— lokasi relatif terhadap rambu dan marka lain,
— pemeliharaan dan,
— dalam beberapa kasus, suara atau gerakan juga merupakan
faktor relevan tetapi ini semua kurang penting
dibandingkan ukuran.
Faktor-faktor (lanjutan…)
2) Mudah dibaca. Pesan harus mudah dimengerti. Faktor yang
berkaitan adalah ukuran, warna, jenis dan ukuran huruf, angka
dan simbol, jarak antar huruf dan antar kata dan simbol, dan
arah penempatan rambu. Simbol harus sederhana dan tidak
bersifat abstrak.
3) Waktu Reaksi. Harus ditempatkan di lokasi dimana
pengemudi mempunyai waktu untuk melihat dan membaca,
dan mengambil tindakan aman dan nyaman. Waktu reaksi ini
tergantung pada kecepatan perjalanan pengemudi
4) Penggunaan yang Konsisten. Harus selalu konsisten.
5) Terlihat pada Malam hari. Jika diperlukan untuk penggunaan
malam, umumnya memantulkan cahaya
6) Pemeliharaan. Harus selalu di pelihara.
A. Rambu
PM Perhubungan No 13 tahun 2014 ttg Rambu Lalu
Lintas, Pasal 2
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini
meliputi:
a. spesifikasi teknis Rambu Lalu Lintas
b. penyelenggaraan Rambu Lalu Lintas; dan
c. pembuatan Rambu Lalu Lintas.
a. Jenis Rambu menurut Fungsi

1) Rambu Peringatan;

2) Rambu Larangan;

3) Rambu Perintah;

4) Rambu Petunjuk.
Rambu Lalu Lintas
Dapat berupa:
a) Rambu Lalu Lintas konvensional: rambu dengan
bahan yang mampu memantulkan cahaya atau
retro reflektif.
b) Rambu Lalu Lintas elektronik: berupa rambu
yang informasinya dapat diatur secara elektronik.
Overhead Sign
Contoh penempatan dan Tinggi Rambu
B. Marka
Perubahan dalam PM No 67 Tahun 2018, Pasal 1
1. Ketentuan Pasal 16 ayat (2) diubah dan ditambahkan
2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga
berbunyi sebagai berikut: (lihat hal berikut)
2. Diantara Pasal 79 dan Pasal 80 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni
Pasal 79A, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Marka membujur pada jalan nasional yang telah dipasang
sebelum Peraturan Menteri ini berlaku dinyatakan tetap
berlaku dan wajib menyesuaikan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.
3. Lampiran Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 34
Tahun 2014 tentang Marka Jalan diubah sehingga menjadi
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
PM No 67 Tahun 2018
PM No 34 Tahun 2014
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 67
Tahun 2018 Pasal 16 ayat (2).
— marka berwarna putih dan kuning untuk jalan
nasional, dan
— putih untuk jalan selain jalan nasional.
Pengemudi diberi pesan melalui:
— Warna Marka:
— putih
— Kuning
— Merah
— Hijau
— Coklat

— Pola Marka:
— garis menerus
— garis putus-putus
Ketentuan Umum: pengertian
1) Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan
jalan atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan
atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang,
garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk
mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah
kepentingan lalu lintas.
2) Marka Membujur adalah Marka Jalan yang sejajar dengan
sumbu jalan.
3) Marka Melintang adalah Marka Jalan yang tegak lurus
terhadap sumbu jalan.
4) Marka Serong adalah Marka Jalan yang membentuk garis
utuh yang tidak termasuk dalam pengertian Marka Membujur
atau Marka Melintang, untuk menyatakan suatu daerah
permukaan jalan yang bukan merupakan jalur lalu lintas
kendaraan.
5) Marka Lambang adalah Marka Jalan berupa panah,
gambar, segitiga, atau tulisan yang dipergunakan untuk
mengulangi maksud rambu lalu lintas atau untuk
memberitahu pengguna jalan yang tidak dapat dinyatakan
dengan rambu lalu lintas.
6) Marka Kotak Kuning adalah Marka Jalan berbentuk segi
empat berwarna kuning yang berfungsi melarang
kendaraan berhenti di suatu area.
7) Jalur adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu
lintas kendaraan.
8) Lajur adalah bagian jalur yang memanjang, dengan atau
tanpa Marka Jalan, yang memiliki lebar cukup untuk
dilewati satu kendaraan bermotor, selain sepeda motor.
9) Pulau Lalu Lintas adalah bagian jalan yang tidak dapat
dilalui oleh kendaraan, dapat berupa Marka Jalan atau
bagian jalan yang ditinggikan (curb).
Marka Jalan berfungsi untuk mengatur lalu lintas,
memperingatkan, atau menuntun pengguna jalan dalam
berlalu lintas.
a. Marka Jalan berwarna putih menyatakan bahwa
pengguna jalan wajib mengikuti perintah atau larangan
sesuai dengan bentuknya.
b. Marka Jalan berwarna kuning menyatakan bahwa
pengguna jalan dilarang berhenti pada area tersebut.
c. Marka Jalan berwarna merah menyatakan keperluan atau
tanda khusus.
d. Marka Jalan warna lainnya yaitu Marka Jalan berwarna
hijau dan coklat, yang menyatakan daerah kepentingan
khusus yang harus dilengkapi dengan rambu dan/atau
petunjuk yang dinyatakan dengan tegas.
— Marka kuning di tengah jalan maknanya berbeda
dengan yang ada di pinggiran jalan.
— Sebagai contoh, ada marka kuning berbiku
(bergerigi) yang berada di pinggir jalan, yang
bertujuan sebagai larangan berhenti atau larangan
parkir di jalan.
— Letak marka kuning ini membujur atau horizontal
di tengah jalan, seperti marka warna putih pada
umumnya.
Contoh pemakaian marka merah untuk RHK
Sepeda Motor
Marka Jalan Berupa Peralatan (1/2)
1) Paku jalan digunakan sebagai reflektor Marka Jalan
khususnya pada keadaan gelap dan malam hari.
2) Paku jalan dibuat dari bahan antara lain:
a. plastik;
b. kaca;
c. baja tahan karat; atau
d. alumunium campur.
3) Paku jalan memiliki ketebalan maksimum 20 (dua
puluh) milimeter di atas permukaan jalan.
4) Paku jalan dilengkapi dengan pemantul cahaya.
Marka Jalan Berupa Peralatan (2/2)
5) Pemantul cahaya harus memenuhi ketentuan:
a. pemantul cahaya berwarna putih digunakan untuk
melengkapi Marka Membujur utuh pada sisi kanan jalan
sesuai dengan arah lalu lintas;
b. pemantul cahaya berwarna kuning digunakan untuk
melengkapi Marka Membujur utuh dan putus-putus
pada pemisah jalur atau lajur lalu lintas; dan
c. pemantul cahaya berwarna merah digunakan untuk
melengkapi Marka Membujur utuh pada sisi kiri jalan
sesuai dengan arah lalu lintas
Paku Jalan berfungsi sebagai reflektor marka jalan khususnya
pada cuaca gelap dan malam hari, dengan pemantul cahaya:
• kuning digunakan untuk pemisah jalur atau lajur lalu lintas.
• merah ditempatkan pada garis batas di sisi jalan.
• putih ditempatkan pada garis batas sisi kanan jalan.

Paku jalan dapat ditempatkan pada:


• Batas tepi jalur lalu lintas ;
• Marka membujur berupa garis putus-putus sebagai tanda
peringatan ;
• Sumbu jalan sebagai pemisah jalur;
• Marka membujur berupa garis utuh sebagai pemisah lajur bus;
• Marka lambang berupa chevron;
• Pulau lalu lintas
Paku Jalan Berbentuk Segiempat
1) Marka membujur berupa garis utuh berfungsi sebagai
larangan bagi kendaraan melintasi garis tersebut. Marka
membujur berupa satu garis utuh juga dipergunakan
untuk menandakan tepi jalur lalu lintas.
2) Marka melintang berupa garis utuh menyatakan batas
berhenti kendaraan yang diwajibkan oleh alat pemberi
isyarat lalu lintas atau rambu larangan. Gambar
menunjukkan ukuran marka melintang pada
persimpangan dengan APILL.
3) Marka serong berupa garis utuh dilarang dilintasi
kendaraan. Marka serong yang dibatasi dengan rangka
garis utuh digunakan untuk menyatakan:
• daerah yang tidak boleh dimasuki kendaraan
• pemberitahuan awal sudah mendekati pulau lalu lintas.
Pada saat mendekati pulau lalu lintas, permukaan jalan
harus dilengkapi marka lambang berupa chevron sebagai
tanda mendekati pulau lalu lintas.
4) Marka Lambang
a. Marka lambang berupa panah,
segitiga, atau tulisan,
dipergunakan untuk
mengulangi maksud rambu-
rambu lalu lintas atau untuk
memberitahu pengguna jalan
yang tidak dinyatakan dengan
rambu lalu lintas jalan.
b. Marka lambang untuk
menyatakan tempat
pemberhentian bus, untuk
menaikkan dan menurunkan
penumpang;
5) Marka Garis Larangan
a. marka garis utuh membujur pada daerah tertentu atau
tikungan dengan jarak pandang terbatas
b. marka jalan ini berfungsi sebagai tanda larangan bagi
kendaraan untuk tidak melewati marka garis ini karena jarak
pandangan yang terbatas seperti di tikungan, lereng bukit,
atau pada bagian jalan yang sempit.
C. Traffic Signal + Count down
12.1.2 Penerangan Jalan (PM 27/2018)
1) Lumens adalah arus listrik yang diubah menjadi arus cahaya oleh
suatu sumber cahaya yang berupa peralatan elektronik.
2) Iluminansi adalah kuat pencahayaan yang jatuh pada permukaan
jalan akibat dari suatu sumber cahaya dalam satuan footcandle atau
lux.
3) Luminansi adalah pantulan kembali cahaya oleh suatu permukaan
yang menerima pencahayaan dalam satuan candela per meter persegi.
4) Efikasi adalah perbandingan antara jumlah arus cahaya atau lumens
yang dihasilkan lampu terhadap daya listrik yang dibutuhkan dalam
satuan lumens/watt.
5) Rasio Kemerataan atau Uniformity Ratio adalah perbandingan
iluminansi dan/atau luminansi antara nilai minimum dengan nilai
rata-rata atau nilai minimum dan nilai maksimum pada suatu
permukaan jalan.
6) Luminer adalah peralatan elektronik yang dapat menghasilkan,
mengontrol, dan mendistribusikan cahaya.
PM 27/2018
Berdasarkan fungsi jalan dan konflik pejalan kaki
Iluminansi rata - rata (Eavg)
Berdasarkan fungsi jalan dan konflik pejalan kaki
Luminansi rata - rata (Lavg)
Nilai koefisien luminansi rata - rata berdasarkan
perkerasan jalan
Luminansi berdasarkan volume dan kecepatan
kendaraan
Penempatan Lampu Penerangan Jalan yang lebar
Penempatan Lampu Penerangan Jalan
Penerangan Jalan dengan Tenaga Surya
12.2 Perlengkapan jalan yang tidak berkaitan
langsung dengan pengguna jalan:
Pasal 34 Perlengkapan jalan yang tidak berkaitan
langsung dengan pengguna jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat 3) huruf b meliputi:
a) patok pengarah;
b) pagar pengaman;
c) patok kilometer dan patok hektometer;
d) patok rumija;
e) pagar jalan;
f) peredam silau; dan
g) tempat istirahat.
a) Pasal 35
1) Patok pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 huruf a berfungsi untuk memberi petunjuk arah
yang aman dan batas jalur jalan yang bisa digunakan
sebagai pelayanan bagi lalu lintas.
2) Patok pengarah dipasang pada sisi luar badan jalan.
3) Patok pengarah yang terbuat dari logam yang jika
tertabrak oleh kendaraan yang hilang kendali tidak
membahayakan kendaraan tersebut.
4) Patok pengarah pada bagian ujungnya harus
dilengkapi dengan bahan bersifat reflektif.
Patok pengarah
b) Pasal 36
1) Pagar pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
huruf b berfungsi untuk melindungi daerah atau bagian jalan
yang membahayakan bagi lalu lintas, digunakan pada daerah
seperti adanya:
a. jurang atau lereng dengan kedalaman lebih dari 5 (lima) meter;
b. tikungan pada bagian luar jalan dengan radius tikungan lebih
dari 30 (tiga puluh) meter; dan
c. bangunan pelengkap jalan tertentu.

2) Pagar pengaman secara fisik bisa berupa:


a. pagar rel yang bersifat lentur (guardrail);
b. pagar kabel (wire rope); dan
c. pagar beton yang bersifat kaku seperti beton penghalang lalu
lintas (concrete barrier/jersey barrier).
3) Pagar pengaman dipasang pada tepi luar badan jalan dengan
jarak paling dekat 0,6 (nol koma enam) meter dari marka tepi
jalan.
Pasal 36 (Lanjutan)
4) Pemilihan jenis pagar pengaman harus mempertimbangkan:
a. kecepatan rencana;
b. ruang yang tersedia untuk mengakomodasikan defleksi pagar
saat terjadi
c. tabrakan;
d. memiliki kekuatan yang bisa menahan laju kendaraan yang
hilang kendali;
e. dapat mengurangi dampak tabrakan tanpa menimbulkan
kecelakaan yang
f. lebih parah;
g. dapat mengarahkan kembali kendaraan yang hilang kendali ke
jalur lalu
h. lintas dengan baik.

5) Pagar pengaman dilengkapi dengan tanda dari bahan bersifat


reflektif dengan warna sesuai dengan warna patok pengarah
pada sisi yang sama.
Flex Beam Guardrail (Pagar Pengaman Jalan)
REL PENGAMAN PADA TIKUNGAN
Lanjutan…..
GALVANIZED FLEX BEAM GUARDRAIL

Merupakan pagar pengaman jalan raya yang dipasang


pada sisi-sisi jalan yang berfungsi mengurangi segala
kemungkinan yang dapat menyebabkan kecelakan fatal.

Dengan fleksibilitas yang terkontrol membuat Guardrail


dapat mengembalikan kendaraan-kendaraan yang tidak
terkontrol kembali pada arah jalur lalu lintas yang dituju
dan bukan pada jalur lalu lintas sebaliknya.
c) Pasal 37
1) Patok kilometer sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 huruf
c adalah patok yang menginformasikan panjang jalan dan/atau
jarak dari kota atau simpul tertentu.
2) Patok kilometer dipasang disisi luar badan jalan diluar saluran
tepi atau diambang pengaman ruang manfaat jalan. Bila
dipasang pada median jalan maka jarak dari marka tepi jalan
paling dekat 0,6 (nol koma enam) meter, di sepanjang koridor
jalan pada setiap jarak 1 (satu) kilometer.
3) Patok kilometer secara fisik bisa berupa kolom beton atau
papan rambu.
4) Patok kilometer dilengkapi warna dasar dan tulisan yang bisa
terbaca dengan jelas.
5) Diantara patok kilometer harus dipasang patok hektometer
yang berjarak setiap 100 (seratus) meter.
Patok kilometer
d) Pasal 38
1) Patok Rumija sebagaimana dimaksud pada Pasal 34
huruf d adalah patok pembatas antara lahan milik
Jalan yang dikuasai penyelenggara jalan atas nama
negara dengan lahan di luar Rumija.
2) Patok Rumija dipasang dikedua sisi Jalan sepanjang
koridor jalan, setiap jarak 50 (lima puluh) meter.
3) Patok Rumija secara fisik bisa berupa patok beton
atau patok besi, diberi warna dasar dan tulisan
mengenai status Rumija yang bisa dibaca dengan
jelas.
e) Pasal 39
1) Pagar jalan sebagaimana dimaksud pada Pasal 34
huruf e berfungsi untuk melindungi bangunan atau
daerah tertentu seperti:
a. bangunan pelengkap jalan,
b. jalur pejalan kaki,
c. daerah tertentu yang bisa membahayakan lalu lintas; dan
d. rumija untuk jalan bebas hambatan/Tol.

2) Pagar jalan dipasang sesuai dengan kebutuhan dan


harus seijin penyelenggara jalan.
Pagar jalan
f) Pasal 40
1) Bangunan peredam silau sebagaimana dimaksud
pada Pasal 34 huruf f berfungsi untuk melindungi
atau menghalangi mata pengemudi dari kesilauan
terhadap sinar lampu kendaraan yang berlawanan
arah.
2) Peredam silau dipasang pada:
a. jalan raya dan jalan bebas hambatan,
b. jalan yang berpotensi menimbulkan silau bagi
pengemudi.
3) Peredam silau dipasang dibagian tengah dari median.
Bangunan peredam silau
g) Pasal 41
1) Tempat istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf g merupakan fasilitas yang disediakan
untuk pengguna jalan arteri primer.
2) Tempat istirahat harus diadakan pada jalan arteri
apabila dalam 25 (dua puluh lima) kilometer tidak
terdapat tempat perhentian atau permukiman atau
tempat umum yang lain yang dapat dipakai istirahat.
3) Tempat istirahat paling sedikit dilengkapi dengan
jalan masuk dan jalan keluar ke jalan arteri, fasilitas
tempat parkir yang memadai untuk semua jenis
kendaraan, dan fasilitas umum.
4) Tempat istirahat harus berada di luar Rumaja.
Tempat Istirahat di Jalan Tol
DRAINASE
Daftar Pustaka
1. Sailendra, A.B, 2012, Perencanaan Drainase dan Bahu Jalan
Yang Berwawasan Lingkungan, Serial Optimalisasi
Pemeliharaan Jaringan Jalan Yang Berwawasan Lingkungan,
Pusat Litbang Jalan dan Jembatan.
2. PM PU No: 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan
dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan
3. DPU, 2006. Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan (Pd
T-02-2006-B), Jakarta.
4. Pelatihan Road Design Engineer – 07, 2005: Dasar-dasar
Perencanaan Drainase Jalan
5. SNI 03-1724-1989, Tata Cara Perencanaan Hidrologi dan Hidrolika
untuk bangunan di Sungai
PM Pekerjaan Umum Nomor:
19/PRT/M/2011
Pasal 21 Bangunan Pelengkap Jalan
Sebagai Pendukung Konstruksi Jalan
a. Saluran tepi jalan;
b. gorong-gorong; dan
c. Dinding penahan tanah.
Drainase Jalan
— Drainase jalan mengandung pengertian
membuang atau mengalirkan air (air hujan, air
limbah, atau air tanah) ke tempat pembuangan
yang telah ditentukan dengan cara gravitasi atau
menggunakan sistem pemompaan.
— Secara umum dikenal adanya 2 (dua) sistem
drainase yaitu:
• sistem drainase permukaan dan
• sistem drainase bawah permukaan.
Sistem drainase permukaan meliputi:
a. drainase air limbah, dimaksudkan untuk membuang air
limbah (air kotor dari rumah tangga, limbah cair dari
pabrik dan sebagainya) ke instalasi pengolah air limbah;
b. drainase air hujan, dimaksudkan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya kerusakan jalan akibat air hujan.

Air hujan yang jatuh ke permukaan jalan atau badan jalan


mempunyai 3 kemungkinan: (lihat gambar)
— bergerak sebagai aliran air permukaan (run off);
— menguap;
— merembes ke dalam tanah atau perkerasan jalan sebagai
air infiltrasi.
— Drainase permukaan berkepentingan dengan aliran
air yang bergerak sebagai aliran air permukaan.
— Persentase besarnya aliran air permukaan
dinyatakan sebagai run off coefficient.
— Debit air yang berasal dari air permukaan
ditampung dan dialirkan ke dalam selokan samping
kemudian dibuang melalui gorong- gorong.
— Pada jalan-jalan rural biasanya dipilih saluran
samping terbuka, sedangkan pada jalan-jalan di
daerah perkotaan dipilih saluran samping terbuka
ataupun tertutup tergantung pada kepentingan
atau kondisi setempat.
Drainase air limbah bisa dibuat khusus untuk:
1) mengalirkan air limbah saja, atau
2) disiapkan untuk menampung air hujan dari
halaman atau atap rumah sekaligus mengalirkan air
limbah, atau
3) sekaligus berfungsi untuk menampung dan
membuang air limbah maupun air hujan baik yang
berasal dari sebelah luar badan jalan (dari atap
rumah, halaman rumah, lereng tanah di atas
selokan) atau air hujan yang berasal dari
permukaan jalan.
Sistem yang terakhir ini adalah yang termurah, akan
tetapi mengandung risiko tanah terkontaminasi air
limbah atau polusi lainnya.
Pendekatan Perencanaan Sistem Drainase
Permasalahan
Konsep Sistem Drainase Berkelanjutan (SDB)
— Mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat
dimanfaatkan untuk persediaan air baku dan
kehidupan aquatik dengan meresapkan air
permukaan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah
yang dilengkapi dengan penyaringan polutan.

— Mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosial


dalam membuat keputusan tentang sistem drainase.

— Memperhitungkan kuantitas dan kualitas limpasan


serta nilai layanan air permukaan dalam ekosistem.
Konsep SDB…. (lanjutan)
— Diharapkan dapat menjamin keberlanjutan
dibandingkan sistem drainase konvensional, karena:
• mengendalikan laju limpasan dan mengurangi dampak
urbanisasi terhadap debit banjir,
• melindungi atau memperbaiki kualitas air, lebih
memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan
masyarakat setempat,
• menyediakan habitat bagi hewan dan tumbuhan liar bagi
badan air di lingkungan sekitar, dan
• mendorong berlangsungnya imbuhan air tanah.
Pengelolaan Drainase Perkotaan SIDLACOM
— Survey,
— Investigation (investigasi),
— Design (perencanaan),
— Land Acquisation(pembebasan lahan),
— Construction (konstruksi),
— Operation (operasi) dan
— Maintenance(pemeliharaan),
Sistem Drainase Jalan
1) Sistem drainase permukaan (surface drainage)
2) Sistem drainase bawah permukaan
(subsurface drainage).
Kedua sistem tersebut direncanakan dengan
maksud untuk mengendalikan ”air” sebagai
upaya memperkecil pengaruh buruk air terhadap
perkerasan jalan maupun subgrade (tanah
dasar).
Kebutuhan Data
a. Data curah hujan: dari stasiun pengamat hujan
b. Geometrik jalan untuk menentukan catchment area
(daerah aliran)
c. Run off (limpasan) dari daerah aliran, diperlukan untuk
menentukan koefisien run off. Sehingga yang diperlukan
adalah data ”land use” sepanjang trase jalan.
d. Tinggi muka air tanah, untuk mengetahui jenis drainase:
• drainase permukaan saja, atau
• pada lokasi-lokasi tertentu perlu dibuat drainase bawah
permukaan, atau
• diperlukan drainase untuk mengamankan lereng jalan
sebagai upaya menjaga stabilitas lereng di sebelah luar
selokan samping agar tidak runtuh menimpa jalan
Prinsip Perancangan Sistem Drainase Jalan
1) Memperhatikan keberadaan sungai dan bangunan air lainnya
yang terdapat di lokasi. Badan sungai yang terpotong oleh trase
jalan harus dibuat gorong-gorong.
2) Sistem drainase permukaan jalan (SDPJ) berfungsi untuk
mengendalikan limpasan air hujan di permukaan jalan dan dari
daerah sekitarnya agar tidak merusak konstruksi jalan, seperti
kerusakan karena air banjir yang melimpas di atas perkerasan
jalan atau kerusakan pada badan jalan akibat erosi.
3) SDPJ harus memperhitungkan debit pengaliran pada saluran
samping jalan yang memanfaatkan saluran samping jalan
tersebut untuk menuju penampungan air atau resapan buatan.
4) SDPJ terdiri dari: perkerasan dan bahu jalan, saluran samping
jalan, drainase lereng, gorong-gorong.
Tipikal Sistem Drainase Jalan
Elemen Perancangan SDPJ
1) Plot trase jalan di peta topografi
2) Inventarisasi data bangunan drainase
3) Segmen panjang segmen saluran (L)
4) Luas daerah layanan (A)
5) Koefisien pengaliran (C)
6) Faktor limpasan (fk)
7) Waktu konsentrasi (Tc)
8) Analisa Hidrologi
9) Menghitung debit aliran air ( Q )
10)Menentukan penampang saluran.
11) Alinyemen vertikal drainase jalan
12) Penggambaran drainase pada gambar alinyemen horizontal
1) Plot trase jalan di peta topografi
— Plot trase jalan rencana pada topografi diperlukan
untuk mengetahui gambaran topografi atau
daerah kondisi sepanjang trase jalan yang akan
dilalui dapat dipelajari.

— Kondisi terrain/medan pada daerah layanan


diperlukan untuk menentukan bentuk dan
kemiringan yang akan mempengaruhi pola aliran.
Ilustrasi trase Jalan dan Gambaran Topografi
2) Inventarisasi data bangunan drainase (gorong-
gorong, jembatan, dll.) eksisting meliputi lokasi,
dimensi, arah aliran pembuangan, kondisi. Data ini
digunakan agar perancangan sistem drainase jalan
tidak mengganggu sistem drainase yang telah ada.

3) Panjang segmen saluran (L)


Penentuan L didasarkan pada:
— kemiringan trase jalan. Disarankan kemiringan saluran
mendekati kemiringan memanjang jalan.
— adanya tempat buangan air seperti badan air (seperti
sungai, waduk, dll)
— langkah coba-coba, sehingga didapatkan dimensi saluran
yang ekonomis.
4) Luas daerah layanan (A)
a. Perhitungan luas daerah layanan didasarkan pada
panjang segmen jalan yang ditinjau.
b. Luas daerah layanan (A) untuk saluran samping jalan
perlu diketahui agar dapat diperkirakan daya
tampungnya terhadap curah hujan atau untuk
memperkirakan volume limpasan permukaan yang
akan ditampung saluran samping jalan
c. Luas daerah layanan terdiri atas luas setengah badan
jalan (A1), luas bahu jalan (A2) dan luas daerah di
sekitar (A3).
lanjutan…..
d. Batasan luas daerah layanan tergantung dari daerah
sekitar dan topografi dan daerah sekelilingnya. Panjang
daerah pengaliran yang diperhitungkan terdiri atas
setengah lebar badan jalan (l1), lebar bahu jalan (l2), dan
daerah sekitar (l3) yang terbagi atas daerah perkotaan
yaitu + 10 m dan untuk daerah luar kota yang didasarkan
pada topografi daerah tersebut.
e. Jika diperlukan, pada daerah perbukitan, direncanakan
beberapa saluran (Lihat sub bab drainase lereng) untuk
menampung limpasan dari daerah bukit dengan batas
daerah layanan adalah puncak bukit tersebut tanpa
merusak stabilitas lereng. Sehingga saluran tersebut
hanya menampung air dari luas daerah layanan daerah
sekitar (A3).
Daerah Pengaliran Saluran Samping Jalan

Keterangan : STA contoh penempatan segmen dibatasi antar STA jalan atau dari saluran penghubung
Sumber: Adiwijaya: Modul Perencanaan Drainase Permukaan Jalan.
Keterangan gambar:
l1 ditetapkan dari as jalan sampai bagian tepi perkerasan.
l2 ditetapkan dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan
l3 tergantung daerah setempat:
- perkotaan (daerah terbangun) + 10 m
- luar kota (rural area) (tergantung topografi) + 100m

Panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan


Derah pelayanan saluran samping merupakan jangkauan
aliran air dari titik terjauh menuju saluran tersebut.
5) Koefisien pengaliran (C)
— Koefisien pengaliran (C) dipengaruhi kondisi permukaan
tanah (tata guna lahan) pada daerah layanan dan
kemungkinan perubahan tata guna lahan. Angka ini akan
mempengaruhi debit yang mengalir sehingga dapat
diperkirakan daya tampung saluran. Untuk itu diperlukan
peta topografi dan melakukan survey lapangan agar corak
topografi daerah proyek dapat lebih diperjelas.
— Diperlukan pula jenis sifat erosi dan tanah pada daerah
sepanjang trase jalan rencana antara lain tanah dengan
permeabilitas tinggi (sifat lulus air) atau tanah dengan
tingkat erosi permukaan. Secara visual akan nampak pada
daerah yang menunjukkan alur-alur pada permukaan.
6) Faktor limpasan (Run off factor = fk)
a. Faktor limpasan dari daerah aliran, diperlukan untuk
menentukan koefisien run off yang merupakan salah satu
faktor dalam menghitung debit aliran. Yang perlu dicatat
dalam pengumpulan data untuk keperluan menghitung
koefisien run off adalah jenis permukaan yang akan dialiri air
hujan yang nantinya akan ditampung oleh selokan samping.
Jadi yang diperlukan adalah data ”land use” sepanjang trase
jalan, dari jenis land use yang dicatat ini akan dapat
ditentukan berapa besarnya koefisien run off.

Keterangan Tabel berikut:


— Harga koefisien pengaliran ( C ) untuk daerah datar diambil nilai C yang
terkecil dan untuk daerah lereng diambil nilai C yang besar.
— Harga faktor limpasan (fk) hanya digunakan untuk guna lahan sekitar saluran
selain bagian jalan.
Nilai koefisien pengaliran (C) dan harga faktor limpasan (fk)
b. Bila daerah pengaliran atau daerah layanan terdiri dari
beberapa tipe kondisi permukaan yang mempunyai nilai
C yang berbeda, Harga C rata-rata ditentukan dengan
persamaan berikut:

dengan pengertian:
C1, C2, C3 : koefisien pengaliran
A1, A2, A3 : luas daerah pengaliran yang diperhitungkan
sesuai dengan kondisi permukaan
fk : faktor limpasan sesuai guna lahan.
7) Waktu konsentrasi (Tc)

a. Waktu terpanjang yang dibutuhkan untuk


seluruh daerah layanan dalam menyalurkan
aliran air secara simultan (run off) setelah
melewati titik-titik tertentu.
b. Waktu konsentrasi untuk saluran terbuka
dihitung dengan rumus berikut:
dengan pengertian:
Tc : waktu konsentrasi (menit)
t1 : waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit)
t2 : waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit)
lo : jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m)
L : panjang saluran (m)
nd : koefisien hambatan
is : kemiringan daerah pengaliran
V : kecepatan air rata-rata pada saluran drainase (m/detik)
Sumber: Adiwijaya: Modul Perencanaan Drainase Permukaan Jalan.
Koefisien hambatan (nd) berdasarkan
kondisi permukaan
8) Analisa Hidrologi (1/2)
a. Data curah hujan
• Merupakan data curah hujan harian maksimum dalam
setahun dinyatakan dalam mm/hari. Data ini diperoleh dari
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yaitu
stasiun curah hujan yang terletak pada daerah layanan
saluran samping jalan.
• Jika daerah layanan tidak memiliki data curah hujan, maka
dapat digunakan data dari stasiun di luar daerah layanan
yang dianggap masih dapat mewakili. Jumlah data curah
hujan yang diperlukan minimal 10 tahun terakhir.
b. Periode ulang
Karakteristik hujan menunjukkan bahwa hujan yang
besarnya tertentu mempunyai periode ulang tertentu.
Periode ulang untuk pembangunan saluran drainase
ditentukan 5 tahun.
8) Analisa Hidrologi (2/2)
c. Intensitas curah hujan
Adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada
suatu kurun waktu dimana air tersebut
berkonsentrasi. Intensitas curah hujan (I)
mempunyai satuan mm/jam, berarti tinggi air
persatuan waktu, misalnya mm dalam kurun
waktu menit, jam, atau hari.

d. Formulasi perhitungan intensitas curah hujan


Perhitungan ini dilakukan sesuai SNI 03-2415-1991
Metode perhitungan Debit Banjir.
9) Menghitung Debit Aliran Air (Q)

dengan pengertian:
Q : debit aliran air (m3/ detik)
C : koefisien pengaliran rata-rata dari C1, C2, C3
I : intensitas curah hujan (mm/jam)
A : luas daerah pengaliran (km2) terdiri atas A1, A2, A3
10) Menentukan penampang saluran
Bentuk Penampang Saluran Memanjang
— Penampang Parabolis
— Penampang Trapesium
— Penampang Segitiga
— Penampang 4 Persegi Panjang
Penampang Parabolis

— Secara hidraulis adalah paling efisien dan paling


tahan terhadap erosi.
— Lapisan pelindung dapat berupa lapisan rumput
atau lapisan pasangan batu.
Penampang Trapesium

— Penampang ini mudah dibuat dan merupakan saluran yang


cocok dan stabil untuk berbagai lokasi.
— Lebih umum dipakai, dibandingkan dengan profil parabolis
atau segitiga.
— Untuk saluran tanah, kemiringan dinding saluran harus
landai, misalnya menggunakan kemiringan (V:H) 1:2
sampai 1:4 serta sudut-sudutnya dibulatkan untuk
memudahkan pertumbuhan rumput.
— Lebar dasar saluran antara 0,30 – 1,20 m; tergantung pada
debit aliran, panjang dan kemiringan saluran
Penampang Segitiga

— Umumnya, penampang jenis ini mudah tersumbat


oleh sampah dan mudah terkena erosi.
— Tidak dianjurkan untuk saluran dengan bahan
tanah, kecuali bila tanah dasarnya kuat (batuan
keras) dan lahan yang tersedia sempit
Penampang 4 Persegi Panjang

— Dibuat dengan lapisan pelindung kuat dari pasangan


batu dan beton, dan apabila lahan yang tersedia
sempit.
11) Alinyemen Vertikal Drainase Jalan
— Untuk kemiringan longitudinal yang cukup besar dan panjang
perlu dibuat saluran penangkap (intercept).
— Pada ruas jalan dengan karakteristik seperti ini kecepatan air
permukaan dalam arah longitudinal lebih besar dibandingkan
kecepatan air dengan arah transversal, sehingga aliran air
cenderung ke arah tempat yang lebih rendah dibandingkan ke
arah samping dan penyediaan outlet pada trotoar dan/atau
median menjadi kurang bermanfaat.
— Dengan banyaknya air yang mengalir ke bawah, air yang
terkumpul pada cekungan akan merendam perkerasan jalan
sehingga dapat berdampak pada tingginya kerusakan
stripping, raveling, dan potholes pada lokasi cekungan
tersebut.
— Saluran penangkap ini dapat dibuat di atas gorong-gorong
yang berjarak tertentu.
Ilustrasi Penggunaan Gorong-gorong sebagai Intercept Air Permukaan
Bak Penampung Air Permukaan (Catch Basin)
— Penempatan Catch Basin
TUGAS KECIL, Banjir di kota Jakarta,
pembahasan meliputi:
1. Kondisi banjir pada saat itu
2. Penyebab banjir (menurut Pemda, pengamat, dll)
3. Solusi yang dilakukan oleh Pemda
4. Tanggapan mahasiswa terhadap butir 3
5. Usulan penanganan oelh mahasiswa dengan
dukungan teori yang telah dipelajari.

Anda mungkin juga menyukai