Anda di halaman 1dari 29

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia


Di Indonesia, tindak pidana ekonomi diatur dengan
Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. “Tindak
pidana ekonomi dalam arti sempit terbatas pada perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh peraturan-
peraturan yang berlaku seperti yang disebut secara limitatif dalam
Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 “(Edi Setiadi
dan Rena Yulia, 2010:33), dengan kata lain secara sederhana
perbuatan-perbuatan tersebut dikaitkan dengan undang-undang
tindak pidana ekonomi khususnya yang dimaksud dalam Pasal 1.
Sedangkan “tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak
pidana yang selain dalam arti sempit, mencakup pula tindak pidana
dalam peraturan-peraturan ekonomi diluar yang termuat dalam
Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955” (Edi Setiadi dan Rena
Yulia, 2010:33).
Seiring dengan perkembangan yang terjadi secara nasional,
regional dan internasional, pengertian tindak pidana bisa berubah-
ubah sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi, sehingga wajar
apabila peraturan-peraturan dibidang ekonomi sering mengalami
perubahan dan sulit untuk mengidentifikasi peraturan yang masih
berlaku maupun peraturan yang sudah tidak berlaku (Edi Setiadi
dan Rena Yulia, 2010:33). Hal demikian itu berimbas pada
sulitnya menentukan perbuatan-perbuatan mana yang merupakan
tindak pidana ekonomi dan mana yang bukan merupakan tindak
commitpengkalsifikasian
pidana ekonomi, karena to user terhadap tindak pidana

21
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

ekonomi dirasa tidak jelas seiring dengan adanya perubahan


peraturan-peraturan dalam bidang ekonomi.
Penggunaan istilah tindak pidana ekonomi di Indonesia
sendiri apabila dilihat dari substansi Undang-undang Nomor 7 Drt
Tahun 1955 tampak lebih mendekati atau dapat dimasukkan ke
dalam istilah economic crimes dalam arti sempit. Hal ini
disebabkan undang-undang tersebut secara substansial hanya
memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagian kecil dari
kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Yang dimaksud dengan
istilah economic crime sendiri merujuk kepada kejahatan-kejahatan
yang dilakukan dalam kegiatan atau aktivitas ekonomi (dalam arti
yang luas). Ciri penting dari economic crime adalah proses
kepemilikan harta benda dan kekayaan secara licik atau dengan
penipuan dan beroperasi secara diam-diam (tersembunyi) dan
sering dilakukan oleh perorangan yang memiliki status sosial dan
ekonomi yang tinggi (Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010:34-35).
Menurut Supanto dalam bukunya “Kejahatan Ekonomi
Global dan Kebijakan Hukum Pidana”, disebutkan bahwa
“Economic crimes sendiri diatur dalam hukum pidana, yang
termasuk dalam klasifikasi hukum pidana khusus. Dalam studi
hukum pidana harus dikaji hukum pidana kodifikasi (WvS) dan
hukum pidana dalam Undang-undang khusus” (Supanto, 2010: 26).
Terdapat beberapa pendapat yang dapat dijadikan tolok
ukur suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana ekonomi, antara lain (Supanto, 2010:207) :
a. Kepolisian Republik Indonesia
Tindak pidana ekonomi merupakan perbuatan
merugikan pembangunanm menyerang kepentingan bisnis.
Kegiatan bisnis memerlukan kepastian hukum. Merupakan
perbuatan yang menyimpang dan dapat menimbulkan
commit dalam
keresahan masyarakat to userkehidupan ekonomi.

22
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

b. Kejaksaan Republik Indonesia


Tindak pidana ekonomi merupakan perbuatan
merugikan negara, sebagai perbuatan melawan hukum.
Ukurannya ditentukan undang-undang sebagai tindak pidana,
yang pengujiannya ada dalam rumusan pasal-pasal. Apabila
tidak ditentukan tidak dapat diterapkan. Bertentangan dengan
asas-asas hukum pidana. Paling tidak untuk penegak hukum
untuk menindak. Polisi menyidik, jaksa untuk mendakwa dan
menuntut, juga sebagai pedoman hakim.
c. Kementrian Kehakiman
Menurut Kementrian Kehakiman bahwa ukuran dibuat
oleh pembentuk undang-undang. Tafsir kejahatan bukan oleh
perseorangan ,melainkan lembaga-lembaga negara.
d. Badan legislatif DPR
Badan legislatif DPR menyatakan bahwa suatu
kejahatan ekonomi bergantung pada kebijakan pemerintah,
karena kejahatan itu bertentangan dengan politik pemerintah.
e. Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementrian Hukum
dan HAM
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli, tindak pidana
ekonomi merupakan perbuatan yang bertentangan dan
merugikan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
f. Kementrian Perindustrian dan Pedagangan
Tindak pidana ekonomi didasarkan pada kesalahan
pelakunya karena melakukan kejahatan yang melebihi
pelanggaran etika dibidang ekonomi/bisnis. Tidak selalu
pelanggaran etika bisnis merupakan kejahatan.
g. Pelaku usaha: Kamar Dagang Industri
Pelaku usaha kamar dagang industri menyatakan bahwa tindak
pidana ekonomi merupakan pelanggaran etika bisnis,
commit
menyangkut sifat to user
penyalahgunaan dan ditentukan oleh hukum.

23
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

Dengan demikian suatu perbuatan dapat dikategorikan


sebagai suatu tindak pidana ekonomi paling tindak mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Perubuatan dilakukan dalam kerangka kegiatan ekonomi
yang pada dasarnya bersifat normal dan sah;
b. Perbuatan tersebut melanggar atau merugikan kepentingan
negara atau masyarakat secara umum, tidak hanya
kepentingan individual;
c. Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkungan bisnis
yang merugikan perusahaan lain atau individu lain (Edi
Setiado dan Rena Yulia, 2010:37).

Subyek dari tindak pidana ekonomi yang dapat ditindak


(dituntut) berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi antara lain :
a. Orang/ manusia (person), Pasal 3;
b. Badan Hukum (legal person), Pasal 15 ayat (1)
Karakteristik atau featured of economic crime dari tindak
pidana ekonomi menurut Edmund Kitch terdiri dari:
a. Pelaku menggunakan modus operandi yang sulit dibedakan
dengan modus operandi pada umumnya;
b. Tindak pidana ini biasanya melibatkan pengusaha-pengusaha
yang sukses dalam bidangnya; dan
c. Tindak pidana ini memerlukan penanganan atau pengendalian
secara khusus dari aparatur penegak hukum (Edi Setiadi dan
Rena Yulia, 2010:49-50).
Tipe tindak pidana ekonomi menurut Ensiklopedi Crime
and Justice dibedakan menjadi tiga tipe tindak pidana ekonomi,
yaitu :
a. Property crimes
Property crimes memiliki pengertian yang lebih luas
dari pengertian pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Property
commit
crimes ini meliputi to user
objek yang dikuasai individu (perorangan)

24
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

dan juga yang dikuasai oleh negara. Misalnya di Amerika


Serikat dikenal adanya Integrated theft offens yang meliputi
tindakan-tindakan sebagai berikut:
1) Tindakan pemalsuan (forgery);
2) Tindakan penipuan yang merusak (the fraudulent
destruction);
3) Tindakan memindahkan atau menyembunyikan instrument
yang tercatat atau dokumentasi (removal or concealment of
recordable instrument);
4) Tindakan mengeluarkan cek kosong (passing bad checks);
5) Menggunakan kartu kredit yang diperoleh dari pencurian
dan kartu kredit yang ditangguhkan;
6) Praktik usaha curang (deceptive business practices);
7) Tindakan penyuapan dalam usaha (commercial bribery);
8) Tindakan perolehan atau pemilikan sesuatu dengan cara
tidak jujur atau curang (the rigging og content);
9) Tindakan penipuan terhadap kreditur beritikad baik;
10) Pernyataan bangkrut dengan tujuan penipuan;
11) Perolehan deposito dari lembaga keuangan yang sedang
pailit;
12) Penyalahgunaan dari aset yang dikuasai; dan
13) Melindungi dokumen dengan cara curang dari tindakan
penyitaan.

b. Regulatory crimes
Regulatory crimes adalah setiap tindakan yang
merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah yang
berkaitan dengan usaha dibidang perdagangan atau pelanggaran
atas ketentuan-ketentuan mengenai standarisasi dalam dunia
usaha. Termasuk dalamtoregulatory
commit user crimes ini pelanggaran atas

25
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

larangan perdagangan marijuana illegal atau penyelenggaraan


pelacuran atau peraturan tentang lisensi, pemalsuan kewajiban
pembuatan laporan dari aktivitas usaha di bidang perdagangan,
dan melanggar ketentuan upah buruh dan larangan monopoli
didalam dunia usaha serta kegiatan usaha yang berlatar
belakang politik.
c. Tax crime
Tax crime adalah tindakan yang melanggar ketentuan
mengenai pertanggungjawaban di bidang pajak dan persyaratan
yang telah diatur di dalam undang-undang pajak. Di Indonesia
perkembangan tax crime ini sangat mengkhawatirkan, setiap
tahun negara dapat dirugikan terutama oleh konglomerat-
konglomerat hitam, yang melakukan penggelapan dan
penyelundupan pajak. (Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010:50-
51)
Dalam tindak pidana ekonomi, tata cara pengusutan,
penuntutan dan pemeriksaan diatur dalam Undang-undang Nomor
7 Drt Tahun 1955, namun apabila didalam Undang-undang Nomor
7 Drt Tahun 1955 tidak mengatur mengenai hukum acara, maka
yang diberlakukan adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP. Pelaksanaan pengusutan, penuntutan dan
pemeriksaan dalam tindak pidana ekonomi terdapat berbagai
kekhususan, yaitu :
a. Dapat dijatuhkan pidana komulatif (gabungan dua pidana
pokok, yaitu hukuman penjara dan hukuman denda) yang
dalam tindak pidana biasa tidak mungkin dilakukan.
b. Dapat diadakan peradilan in absensia, dengan maksud untuk
menyelamatkan kerugian negara.
c. Dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang sudah
meninggal dunia berupa perampasan barang bukti hasil
kejahatan. commit to user

26
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

d. Subjek hukum terdiri dari orang atau badan hukum.


e. Dalam tindak pidana ekonomi, percobaan pelanggaran dapat
dihukum.
f. Dapat dijatuhkan tindakan tata tertib sebagai hukuman
tambahan (Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010:48-49)
Aparat yang dapat mengusut dalam suatu tindak pidana
ekonomi adalah mereka yang pada umumnya dibebani pengusutan
tindak pidana, dan pegawai-pegawai yang ditunjuk oleh Presiden.
Misalnya dalam hal tindak pidana ekonomi dalam bidang
kepabeanan ini, maka proses pengusutan diselenggarakan oleh
Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dalam hal ini adalah Pejabat
Bea dan Cukai. Pejabat Pegawai Negeri Sipil ini setiap waktu
berwenang menyita atau menuntut penyerahan untuk disita atas
semua barang yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan
keterangan atau dapat dirampas atau dimusnahkan menurut
peraturan undang-undang.
Berdasarkan perkembangan era globalisasi ekonomi yang
dihadapkan dengan berbagai jenis kejahatan ekonomi yang
semakin kompleks, Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi, sebagai aturan hukum pidana untuk menanggulangi
kejahatan sudah out of date, situasi dan kondisi masa Undang-
undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 dengan era sekarang ini sudah
tidak sesuai. Demikian pula ketertinggalan hukum pidana dalam
kodifikasi (KUHP), yang merupakan aturan hukum sejak zaman
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sehingga landasan filosofis
dan sosiologisnya sudah berlainan. Oleh karena itu dalam
pengaturan kehidupan perekonomian, perkembangannya banyak
bermunculan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang
ekonomi, dan sering memanfaatkan sanksi pidana dalam
commit to (Supanto,
penegakan norma-normanya user 2010:34)

27
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

2. Tindak Pidana Penyelundupan Barang Sebagai Bentuk Tindak


Pidana Ekonomi
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
hukum pidana ekonomi yakni Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun
1955 ternyata dirasa out of date dan tidak identik dengan peraturan
perundang-undangan lain di bidang ekonomi, karena masih banyak
bidang lain yang tidak dirumuskan ke dalam Undang-udang Nomor
7 Drt Tahun 1955 sehingga undang-undang ini tidak meliputi
seluruh hukum pidana ekonomi yang salah satunya merupakan
tindak pidana dibidang kepabeanan. Oleh karena itu, atas dasar
pertimbangan-pertimbangan tersebut, dibentuklah Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1995 jo Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006
tentang Kepabeanan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 jo
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan secara
implisit mengatur mengenai tindak pidana penyelundupan barang
yang sesungguhnya merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka,
Penyelundupan berasal dari kata selundup yang artinya
menyelunduk, menyuruk, masuk dengan sembunyi-sembuyi
atau secara gelap (tidak sah). Sedangkan penyelundupan
diartikan sebagai pemasukan secara gelap untuk menghindari
bea masuk atau karena menyelundupkan barang-barang
terlarang (Laden Marpaung, 1991:3).

Kamus Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary


mengartikan bahwa kata Smuggle berarti mengimpor atau
mengekspor secara gelap, berlawanan/tak sesuai dengan hukum
dan khususnya menghindari kewajiban membayar atas suatu impor
atau ekspor yang merupakan pelanggaran peraturan pabean (Eddhi
Sutarto, 2009:104).
commit to user

28
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

Soepardi Prapto merumuskan bahwa Tindak Pidana


Penyelundupan adalah tindakan mengimpor, mengekspor,
mengantarpulaukan barang dengan tidak memenuhi formalitas
pabean (douane formalieteiten) yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan (Soepardi Prapto, 1991:36).
Andi Hamzah menyatakan bahwa istilah penyelundupan
dan menyelundup bukan istilah yuridis, serta merupakan
pengertian gejala sehari-hari dimana seseorang secara diam-diam
atau sembunyi-sembunyi memasukkan atau mengeluarkan barang-
barang ke atau dari dalam negeri dengan latar belakang tertentu.
Latar belakang perbuatan ini untuk menghindarkan dari Bea Cukai
(faktor ekonomi), menghindari larangan yang dibuat oleh
pemerintah seperti senjata, amunisi, dan semacamnya, narkotika
(faktor keamanan), penyelundupan dalam arti ini adalah dalam
pengertian luas (Soepardi Prapto, 1991:35).
Dari berbagai pengertian penyelundupan barang, maka
disimpulkan bahwa penyelundupan barang adalah suatu tindakan
apa saja yang berhubungan dengan pemasukan atau pengeluaran
barang yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tanpa
disertai dengan formalitas pabean dengan tujuan untuk
menghindari kewajiban bea-bea sehingga dapat merugikan
keuangan negara. Tindakan ini hanya dibatasi pada perbuatan
pemasukan dan pengeluaran saja, tidak termasuk pemasukan dan
pengeluaran barang antar pulau.
Dasar hukum perbuatan penyelundupan barang adalah
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 jo Undang-undang Nomor
17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Berdasarkan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1995 jo Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006
tentang Kepabeanan yang menjadi tolok ukur perbuatan
penyelundupan barang antara lain :
commit toantara
Pasal 102, mengatur user lain:

29
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

Setiap orang yang :


a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam
manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat
(2);
Pasal 7A ayat (2) berbunyi “Pengangkut yang sarana
pengangkutnya memasuki daerah pabean wajib
mencantumkan barang impor, barang ekspor, dan/atau
barang asal daerah pabean dalam manifesnya”
b. membongkar barang impor di luar kawasan pabean
atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean;
c. membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam
pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7A ayat (3);
Pasal 7A ayat (3) berbunyi “Pengangkut yang sarana
pengangkutnya datang dari luar daerah pabean atau
datang dari dalam daerah pabean dengan mengangkut
barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal
daerah pabean wajib menyerahkan pemberitahuan
pabean mengenai barang yang diangkutnya sebelum
melakukan pembongkaran”
d. membongkar atau menimbun barang impor yang masih
dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat
tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan;
e. menyembunyikan barang impor secara melawan
hukum;
f. mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan
kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari
tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di
bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat
bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya
pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini;
g. mengangkut barang impor dari tempat penimbunan
sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak
sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat
membuktikan bahwa hal tersebut di luar
kemampuannya ; atau
h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah
barang impor dalam pemberitahuan pabean secara
salah.
Pasal 102 A, mengatur antara lain:
Setiap orang yang :
a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan
pabean;
b. dengan commit
sengajatomemberitahukan
user jenis dan/atau jumlah
barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara

30
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1)


yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan
negara di bidang ekspor;
Pasal 11A ayat (1) berbunyi “Barang yang akan
diekspor wajib diberitahukan dengan pemberitahuan
pabean”
c. memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa
izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11A ayat (3);
Pasal 11A ayat (3) berbunyi “Pemuatan barang ekspor
dilakukan dikawasan pabean atau dalam hal tertentu
dapat dimuat ditempat lain dengan izin kepala kantor
pabean”
d. membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean
tanpa izin kepala kantor pabean; atau
e. mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan
dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan
pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1).
Pasal 9A ayat (1) berbunyi “Pengangkut yang sarana
pengangkutnya akan berangkat menuju : a. keluar darah
pabean; b. ke dalam daerah pabean yang mengangkut
barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal
daerah pabean yang diangkut ke tempat lain di dalam
daerah pabean melalui luar daerah pabean, wajib
menyerahkan pemberitahuan pabean atas barang yang
diangkutnya sebelum keberangkatan sarana
pengangkut”
Pasal 102 B, mengatur antara lain:
Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan
102A yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi
perekonomian negara.
Pasal 102 D, mangatur antara lain:
Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak
sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat
membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya.
Pasal 103, mengatur antara lain :
Setiap orang yang :
a. menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen
pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan;
b. membuat, menyetujui, atau turut serta dalam pemalsuan
data ke commit to user
dalam buku atau catatan;

31
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

c. memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak


benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban
pabean; atau
d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual,
menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor
yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102.
Pasal 104, mengatur antara lain:
Setiap orang yang:
a. mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A,
atau Pasal 102B;
b. memusnahkan, memotong, menyembunyikan, atau
membuang buku atau catatan yang menurut Undang-
Undang ini harus disimpan;
c. menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam
penghilangan keterangan dari pemberitahuan pabean,
dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau
d. menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur
dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri
yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan
pemberitahuan pabean menurut Undang-Undang ini.
Pasal 105, mengatur mengenai:
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuka,
melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman
yang telah dipasang oleh pejabat bea dan cukai.
Dalam ketentuan sebagiamana diatur dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 jo Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, dapat diklasifikasikan
subjek dari tindak pidana di bidang kepabeanan yang wajib
menyelenggarakan pembukuan antara lain:

a. Importir;
b. Eksportir;
c. Pengangkut;
d. Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara (TPS);
e. Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat (TPB);
commit to
f. Pengusaha Pengurusan user
Jasa Kepabeanan (PPJK);

32
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

g. Pegawai atau aparat penegak hukum; atau


h. Setiap orang yakni orang perseorangan atau badan hukum
Para pelaku tindak pidana tersebut melakukan
penyelundupan barang dalam beberapa tipe. Pada umumnya
penyelundupan itu terdiri dari atas:
a. Penyelundupan impor, adalah suatu perbuatan memasukkan
barang-barang dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia
dengan tidak melalui prosedur yang ditentukan bagi
pemasukan barang-barang dari luar negeri.
b. Penyelundupan ekspor, adalah pengeluaran barang-barang
dari Indonesia ke luar negeri tanpa melalui prosedur yang
ditentukan untuk itu (Djoko prakoso.dkk, 1987: 64).
Dikenal penyelundupan jenis lain antara lain :

a. Penyelundupan legal (penyelundupan administrasi), adalah


pemasukan barang dari luar negeri ke wilayah Indonesia atau
mengeluarkan barang dari Indonesia ke luar negeri dengan
melalui prosedur yang ditentukan yakni dilindungi dengan
dokumen, tetapi dokumen tersebut tidak sesuai dengan barang
yang dimasukkan atau barang yang dikeluarkan. Tidak sesuai
umumnya dalam hal jenis, kualitas, kuantitas, dan harga
barang.
Ciri-ciri penyelundupan administrasi :
1) Barang-barang impor dimasukkan ke dalam daerah pabean
dimana kapal atau alat pengangkut yang mengangkutnya,
memasukkan barang-barang tersebut ke pelabuhan-
pelabuhan resmi atau pelabuhan tujuan yang ditentukan;
2) Kapal yang mengangkut memakai dokumen, misalnya
memakai manifes, AA, dan dokumen-dokumen lain yang
dipersyaratkan;
3) Dokumen-dokumen yang dipergunakan telah dibuat dengan
tidak semestinya, misalnya manifest tidak cocok dengan
jumlah barang yang diangkut, AA (Pemberitahuan Umum)
commit to user
tidak cocok dengan kenyataan barang yang dibongkar,

33
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

terjadi pemberitahuan salah dalam PPUD atau formulir 5B-


nya (kesalahan-kesalahan dokumen ini berlaku juga bagi
ekspor);
4) Dalam hal kesalahan masih pada tahap AA (Pemberitahuan
Umum), bea-bea masuk dan pungutan-pungutan lain yang
sah masih dapat diselamatkan karena sesudah
pembongkaran, masih diperlukan pengajuan PPUD dari
importirnya pada saat mana akan diperhitungkan bea-bea
dan sebagainya. Sudah tentu tidak menutup kemungkinan
dapatnya terjadi pelarian bea-bea masuk kalau di antara
barang-barang itu yang sebagiannya telah dimanipulasikan
mengenai kualitas atau kuantitas atau harganya dapat lolos
di perdagangan bebas.
b. Penyelundupan illegal (penyelundupan pisik), adalah
pemasukan atau pengeluaran barang tanpa dilindungi dokumen.
Ciri-ciri penyelundupan pisik :
1) Pemasukan/pengeluaran barang-barang tidak memakai
dokumen-dokumen atau pada waktu berangkat memakai
dokumen, tetapi tidak melaporkan kepada pejabat yang
berwenang di pelabuhan yang dituju;
2) Kapal atau perahu yang mengangkut tidak memasuki
pelabuhan resmi dan tidak melaporkan kepada petugas
Bea dan Cukai setempat atau yang terdekat sehingga tidak
dipungut bea-bea masuknya (dalam hal ekspor, devisanya
tidak dipungut);
3) Atau dengan melalui pelabuhan resmi, tetapi dokumen
yang dipergunakan adalah dokumen palsu, sehingga
barang-barang itu dapat terselesaikan dengan tidak
membayar sepenuhnya bea masuk;

commit to user

34
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

4) Dengan perbuatannya tadi jelas kesengajaan memasukkan


barang-barang tanpa dilindungi dokumen (Baharuddin
Lopa, 1984:66-89)
Tindak pidana penyelundupan dalam bentuk lainnya antara
lain:

a. Penyelundupan impor/ekspor melalui laut.


1) Memasukkan atau mengeluarkan barang-barang yang sama
sekali tidak memakai dokumen. Biasanya dilakukan tidak
melalui instansi resmi dan pelabuhan resmi tetapi dilakukan
di pantai-pantai (sungai-sungai) tertentu dan sering
dilakukan pada malam hari;
2) Pemasukan dan pengeluaran barang-barang tidak melalui
instansi-instansi resmi tetapi melalui pelabuhan resmi,
dengan tidak memakai dokumen-dokumen atau memakai
dokumen-dokumen yang tidak sempurna;
3) Pemasukan atau pengeluaran barang-barang melalui
instansi-instansi resmi dan pelabuhan-pelabuhan resmi
dengan memakai dokumen-dokumen yang diperlukan,
tetapi seluruhnya atau sebagiannya yang tercatat dalam
dokumen-dokumen itu, tidak sesuai dengan kenyataan
barang atau harga barang;
4) Pemasukan atau pengeluaran barang-barang melalui
instansi resmi dan pelabuhan resmi dan dokumen-
dokumennya pun ada, tetapi sebelum kapal yang
mengangkat barang-barang memasuki pelabuhan, lebih
dahulu melakukan overship dilautan;
5) Pemasukan yang memakai dokumen-dokumen yang seolah-
olah sempurna tetapi sesungguhnya palsu semua, karena
dokumen pertama yang dijadikan dasar membuat dokumen-
dokumen pemasukannya
commit to useradalah palsu.

35
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

b. Penyelundupan impor/ekspor melalui darat (asalnya barang


impor atau akan diekspor)
Barang-barang yang sudah selesai dimasukkan ke peredaran
bebas kemudian di dalam peredaran bebas (sudah berada di
gudang) diangkut dari satu tempat ke tempat lain, setelah
diperiksa ternyata dokumen yang melindunginya yaitu
invoerpasnya tidak sesuai dengan jumlah, kualitas atau harga
barang yang dilindunginya.
c. Penyelundupan impor/ekspor melalui udara
Penyelundupan ditemukan di pelabuhan-pelabuhan udara
dimana seseorang dengan membawa barang tanpa dilindungi
dokumen-dokumen pabean (Baharuddin Lopa, 1984: 100-104).
Tindak pidana penyelundupan yang terjadi di Indonesia
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling mempunyai
hubungan kausal. Faktor-faktor tersebut meliputi :
a. Faktor Geografi
Luasnya kepulauan nusantara yang terdiri dari
ribuan pulau kecil dan besar dengan garis pantai yang
terbentang luasdan sangat berdekatan dengan Negara
tetangga, yang sudah lebih dahulu mengalami kemajuan
baik dibidang ekonomi maupun industri membuka
kesempatan dan peluang, atau bahkan dapat merangsang
para pengusaha (lokal maupun asing) untuk melakukan
penyelundupan. Keadaan ini terutama dimanfaatkan oleh
para penyelundup di daerah sekitar kepulauan Riau, Aceh,
Sumatra Utara, Sulawesi Utara, Tengah, Kalimantan Barat,
Maluku dan lain-lain.
b. Kondisi industri dalam negeri
Kondisi industri dalam negeri umumnya masih
dalam tahap perkembangan, sehingga hasilnya pun belum
dapat diandalkan. Tingginya biaya produksi menjadikan
hasil produksi kurang mampu bersaing dengan barang-
barang hasil produksi luar negeri. Keadaan ini ditambah
dengan tingginya biaya transportasi dan minimnya sarana
angkutan, sehingga menyebabkan hambatan dalam
distribusi dan pemasaran. Dengan adanya disparitas harga
antara produk lokal dan produk impor, membuka
kemungkinan commit
untuktodilakukan
user penyelundupan.
c. Sumber Daya Alam

36
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

Banyaknya kekayaan alam Indonesia berupa bahan


mentah yang diinginkan Negara-negara lain untuk dijadikan
sumber komoditi ekspor bagi negara yang besangkutan.
Masalah penyelundupan menjadi semakin menarik bagi
pengusaha yang tidak bertanggung jawab untuk
memanfaatkan kekayaan alam Indonesia yang sangat
dibutuhkan Negara industri.
d. Kelebihan produksi
Di Negara maju dan mapan sektor industri dan
perekonomiannya adakalanya mengalami kelebihan
produksi (over production). Dimana Negara tersebut
kadang-kadang mengalami kesulitan dalam memasarkan
hasil produksinya. Keadaan ini oleh pengusaha yang tidak
bertanggung jawab dimanfaatkan untuk kepentingan dan
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara yang tidak
sah/illegal melalui penyelundupan, diantaranya ke
Indonesia.
e. Transportasi
Luasnnya wilayah kepulauan Indonesia dan
banyaknya daerah-daerah yang belum lancar sarana
transportasinya jelas membuka peluang penyelundup untuk
melakukan aksinya, hal ini ditambah lagi dengan letak
kepulauan-kepulauan tersebut yang sangat berdekatan
dengan Negara-negara tetangga yang tingkat industrinya
jauh lebih maju.

f. Mentalitas
Apabila mental para petugas Indonesia dalam menghadapi
bujuk dan rayuan para oknum-oknum penyelundup tersebut
tidak kuat dan teguh, sudah barang tentu menjadi makanan
empuk bagi penyelundup yang mempunyai otak yang lihai
dan licik. Serta kurangnya kesadaran bagi para pengusaha
untuk membayar pajak sesuai dengan peraturan yang telah
ditentukan mendorong seseorang untuk melakukan
penyelundupan.
g. Masyarakat
Tindak pidana penyelundupan mungkin disebabkan
karena warga masyarakat merasa beruntung dapat membeli
barang-barang eks luar negeri asal selundupan dengan
harga murah dan mutu yang tinggi. Dan juga disebabkan
konsumen barang-barang mewah di Indonesia semakin
meningkat jumlahnya akibat kemajuan teknologi serta
kecenderungan anggota masyarakat tertentu kearah
masyarakat prestos (Evi Aprilia, 2011:1).
commit to user

37
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

3. Kebijakan Kriminal Sebagai Upaya Penanggulangan


Kejahatan
Penanggulangan terhadap kejahatan khususnya dalam
tindak pidana ekonomi dilakukan melalui suatu kebijakan kriminal
yang merupakan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan kriminal
penanggulangan tindak pidana ekonomi pada dasarnya dibagi
menjadi dua tahap. Pertama adalah kebijakan pencegahan sebelum
terjadinya tindak pidana. Kedua adalah kebijakan penegakan
hukum (reaktif formal) setelah tindak pidana terjadi. Dengan kata
lain penanggulangan tindak pidana melalui kebijakan kriminal ini
menitikberatkan pada upaya kriminalisasi melalui aktor-aktor non
Sistem Peradilan Pidana (non Penal/preventif) maupun peraturan
perundang-undangan dan penegakan hukum oleh Sistem Peradilan
Pidana (Penal/repressive).
a. Jalur non penal (preventif)
Penanggulangan kejahatan ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang
pertama kali. Upaya penanggulangan terjadinya tindak
pidana melalui jalur non penal (preventif) dapat dilakukan
dengan :
1) Pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan
tanggungjawab sosial warga masyarakat;
2) Penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui
pendidikan moral, agama dan sebagainya;
3) Peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan
remaja; dan
4) Kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara
berkelanjutan (continue) oleh polisi dan aparat
keamanan lainnya (Muladi dan Barda Nawawi,
1998:159).

Barnest dan Teeters (Romli Atmasasmita,1983:79)


menunjukkan beberapa cara untuk menanggulangi
kejahatan yaitu:
1) Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan
untuk mengembangkan
commit to user dorongan-dorongan sosial atau
tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat

38
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah


perbuatan jahat; dan
2) Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang
menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial,
sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-
gangguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat
kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga
dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis (Ray
Pratama Siandri, 2013:1).

Menurut Baharuddin Lopa langkah-langkah preventif


itu meliputi :
1) Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi
pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi
kejahatan;
2) Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk
mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan;
3) Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan
kesadaran hukum rakyat;
4) Menambah personil kepolisian dan personil penegak
hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan represif
maupun preventif; dan
5) Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi
para pelaksana penegak hukum (Baharuddin Lopa,
2001:16-17).
b. Jalur penal (represif)
Upaya penal (represif) adalah suatu upaya
penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang
ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan
dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para
pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta
memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa
perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang
melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga
tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan
melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya
sangat berat.
commit to user

39
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

Upaya ini dalam pelaksanaannya dilakukan pula


dengan metode perlakuan (treatment) dan penghukuman
(punishment). Lebih jelasnya uraiannya sebagai berikut ini :
1) Perlakuan ( treatment )
a) Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut
Abdul Syani (Abdul Syani, 1987:139) yang
membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya
suatu perlakuan,yaitu perlakuan yang tidak
menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan
yang paling ringan diberikan kepada orang yang
belum terlanjur melakukan kejahatan. Dalam
perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum
begitu berbahaya sebagai usaha pencegahan.
b) Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak
langsung, artinya tidak berdasarkan putusan yang
menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku
kejahatan.
2) Penghukuman (punishment)
Jika ada pelanggar hukum yang tidak
memungkinkan untuk diberikan perlakuan (treatment),
mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya
kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan
penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan
dalam hukum pidana ( Ray Pratama Siandri, 2013:1).

Menurut Supanto, berbagai upaya untuk menanggulangi


kejahatan telah dilakukan. Salah satu di antaranya adalah
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum
pidana. Upaya penanggulangan kejahatan sebagai kebijakan
kriminal, termasuk di dalamnya kebijakan hukum pidana
sebagai penal policy harus terintegrasi dengan pembangunan
nasional. Penggunaan hukum pidana untuk penanggulangan
kejahatan perlu memperhatikan fungsi hukum pidana yang
subsider, yaitu bahwa hukum pidana baru digunakan apabila
upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberi hasil yang
memuaskan atau kurang sesuai. Hukum pidana hanya
merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan,
sehingga masih perlu dimanfaatkan sarana-sarana yang lain
secara terpadu,commit to user
keseluruhannya ditujukan untuk memberikan

40
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

perlindungan dan menyejahterakan masyarakat. Khususnya,


kebijakan hukum pidana merumuskan perbuatan terlarang
sebagai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana bagi orang
sebagai pelaku kejahatan (kesalahan), dan ancaman sanksi bagi
si pelaku sebagai sanksi pidana (Supanto, 2010 : 15-35).
Dalam kegiatan perekonomian, keterlibatan hukum
pidana bersifat otonom maupun komplementer. Perundang-
undangan ekonomi bersanksi pidana merupakan hukum pidana
ekonomi, secara umum memfungsikan diri sebagai hukum pada
umumnya dengan fungsi mekanisme pengintegrasian untuk
menyelesaikan konflik. Masalah sanksi dalam tindak pidana
ekonomi ditujukan untuk efek moral dan pencegahan. Sanksi
pidana sebagai upaya penal bukan merupakan satu-satunya
senjata untuk memberantas kejahatan ekonomi. Mode
sanksinya dapat dimanfaatkan baik formal maupun tindak
formal. Yang tidak formal penggunaan hukum perdata, hukum
administrasi, tindakan-tindakan badan profesional, asosiasi
perniagaan, keputusan manajemen. Pengembangan upaya
penyelesaian perkara di luar pengadilan pada perkara tindak
pidana ekonomi (Supanto, 2010:35-36).
Dalam rangka pembaharuan terhadap kebijakan kriminal
sebagai upaya penanggulangan kejahatan khususnya dibidang
ekonomi, maka perlu mempertimbangkan dan memperhatikan
pendekatan terhadap sistem hukum. “Lawrence M. Friedman me-
nyebutkan bahwa sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) elemen,
pertama, stuktur hukum (legal stucture), kedua, substansi hukum
(legal substantance) dan ketiga, budaya hukum (legal culture)”
(Iza Fadri,2010:449). Pertama sistem hukum mempunyai struktur
hukum (legal structure), yaitu kerangka bentuk yang permanen
dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam
commit toterdiri
batas-batasnya. Struktur user atas: jumlah serta ukuran

41
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum


acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga
mengenai penataan badan legislatif. Kedua substansi hukum (legal
substance), yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem itu. Termasuk ke dalam pengertian
substansi ini juga ”produk” yang dihasilkan oleh orang yang
berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka
keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Ketiga adalah kultur
atau budaya hukum (legal culture), yaitu sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Ketiga elemen legal sistem tersebut merupakan jalinan
keterpaduan yang saling mengisi dan melengkapi.

4. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Republik Indonesia


Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Republik Indonesia
merupakan suatu unit organisasi dibawah Kementrian Keuangan
dimana tugas dan fungsinya telah ditentukan secara jelas dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Keuangan.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai tugas
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di
bidang kepabeanan dan cukai. Dalam rangka melaksanakan tugas
tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyelenggarakan fungsi
antara lain:
a. perumusan kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai;
c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang
kepabeanan dan cukai;
d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kepabeanan
dan cukai; dan commit to user

42
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai


Struktur organisasi dari Direktoral Jenderal Bea dan Cukai
antara lain :
a. Sekretariat Direktorat Jenderal;
b. Direktorat Teknis Kepabeanan;
c. Direktorat Fasilitas Kepabeanan;
d. Direktorat Cukai;
e. Direktorat Penindakan dan Penyidikan;
f. Direktorat Audit;
g. Direktorat Kepabeanan Internasional;
h. Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai; dan
i. Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai instansi
vertikal dibawahnya yakni Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah. Kantor
wilayah ini bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bea dan
Cukai. Kantor Wilayah dikepalai oleh Pejabat Eselon IIa, dengan
dibantu oleh Pejabat Eselon IIIa, Pejabat Eselon IVa dan tentu saja
para pelaksana, serta dimungkinkan adanya Jabatan Fungsional
bilamana dibutuhkan oleh organisasi.

Instansi-instansi lain yang secara vertikal merupakan


bagian dari struktur Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah
Kantor Pelayanan Utama (KPU), Kantor Pengawasan dan
Pelayanan (KPPBC), Kantor Bantu Pelayanan Bea dan Cukia, dan
Pos Pengawasan Bea dan Cukai. Berdasarkan PMK
168/PMK.01/2012, pada saat ini terdapat 16 (enam belas) Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tersebar di
seluruh Indonesia, 2 (dua) Kantor Pelayanan Utama, 114 (seratus
empat belas) Kantor Pengawasan dan Pelayanan, 92 (sembilan
puluh dua) Kantor Bantu Pelayanan Bea dan Cukai, serta 655
commit
(enam ratus lima puluh to user
lima) Pos Pengawasan Bea dan Cukai.

43
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

Pada Kantor Pelayanan Utama yang merupakan instansi


vertikal bagian dari struktur Direktorat Jendreal Bea dan Cukai
terdiri dari dua tipe antara lain :

a. Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A


Dikepalai oleh Pejabat Eselon IIa, dengan dibantu oleh
Pejabat Eselon IIIa, Pejabat Eselon IVa dan tentu saja para
pelaksana, serta dimungkinkan adanya Jabatan Fungsional
bilamana dibutuhkan oleh organisasi; dan
b. Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B
Dikepalai oleh Pejabat Eselon IIb, dengan dibantu oleh
Pejabat Eselon IIIa, Pejabat Eselon IVa dan tentu saja para
pelaksana, serta dimungkinkan adanya Jabatan Fungsional
bilamana dibutuhkan oleh organisasi.
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai
(KPPBC) juga merupakan instansi yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah. Pada Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai terdapat enam tipe,
yaitu:
a. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya
Pabean
Dikepalai oleh Pejabat Eselon IIIa, dengan dibantu oleh
Pejabat eselon IVa, Pejabat Eselon Va dan tentu saja para
pelaksana, serta dimungkinkan adanya Jabatan Fungsional
bilamana dibutuhkan oleh organisasi;
b. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya
Cukai
Dikepalai oleh Pejabat Eselon IIIa, dengan dibantu oleh
Pejabat eselon IVa, Pejabat Eselon Va dan tentu saja para
pelaksana, serta dimungkinkan adanya Jabatan Fungsional
bilamana dibutuhkan
commitoleh organisasi;
to user

44
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

c. Kantor Pengawasan dan. Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya


Pabean A
Dikepalai oleh Pejabat Eselon IIIa, dengan dibantu oleh
Pejabat eselon IVa, Pejabat Eselon Va dan tentu saja para
pelaksana, serta dimungkinkan adanya Jabatan Fungsional
bilamana dibutuhkan oleh organisasi;

d. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya


Pabean B
Dikepalai oleh Pejabat Eselon IIIa, dengan dibantu oleh
Pejabat Eselon IVa, Pejabat Eselon Va dan tentu saja para
pelaksana, serta dimungkinkan adanya Jabatan Fungsional
bilamana dibutuhkan oleh organisasi;
e. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya
Pabean C
Dikepalai oleh Pejabat Eselon IIIb, dengan dibantu oleh
Pejabat Eselon IVb dan tentu saja para pelaksana, serta
dimungkinkan adanya Jabatan Fungsional bilamana dibutuhkan
oleh organisasi; dan
f. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe
Pratama
Dikepalai oleh Pejabat Eselon IVa, dengan dibantu oleh
Pejabat Eselon Va dan tentu saja para pelaksana, dan
dimungkinkan adanya Jabatan Fungsional bilamana dibutuhkan
oleh organisasi
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dan Kantor Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai dapat membawahi
Kantor Bantu Pelayanan Bea dan Cukai dan/atau Pos Pengawasan
Bea dan Cukai. Kantor Bantu Pelayanan Bea dan Cukai adalah unit
organisasi non struktural yang merupakan tempat pelaksanaan
commit tokepabeanan
sebagian tugas pelayanan user dan cukai yang berada di

45
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

lingkungan Kantor Pelayanan Utama atau Kantor Pengawasan dan


Pelayanan. Sedangkan Pos Pengawasan Bea dan Cukai adalah unit
organisasi non struktural yang merupakan tempat kegiatan
pengamatan dan pengawasan lalu lintas barang impor, ekspor dan
Barang Kena Cukai yang berada di lingkungan Kantor Pelayanan
Utama atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan

Berdasarkan pengelompokan tersebut diatas, dapat


diketahui bahwa Kantor Bea Cukai yang ada di Kota Surakarta
termasuk ke dalam Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan
Cukai Tipe B. Dimana Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan
Cukai Tipe Madya Pabean B Surakarta ini berada dibawah dan
bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah
dan DI Yogyakarta (Seksi Layanan Informasi, 2013:1)

commit to user

46
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran
Proses pelaksanaan penelitian dan penulisan hukum ini
merupakan suatu rangkaian pemikiran yang diarahkan secara
sistematis sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, kerangka
pemikiran dalam penulisan ini dapat dilihat pada bagan berikut ini :

Perdagangan Lintas Negara


(Ekspor – Impor)

Penyelundupan barang

baranranng

Pengawasan Kepabeanan

baranranng

Direktorat Jenderal Bea


Indonesia dan Cukai Republik
Indonesia

baranranng
KPPBC Tipe Madya
Kota Surakarta
Pabean B Surakarta

baranranng

Upaya Hambatan Solusi

Gambar 2. Kerangka Pemikiran


Keterangan : commit to user

47
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis


dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta
menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu mengenai peran
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Pabean B
Surakarta dalam rangka untuk menanggulangi tindak pidana
penyelundupan barang yang terjadi di Kota Surakarta. Berdasarkan
kerangka pemikiran tersebut dapat diketahui bahwa semakin
meningkatnya kebutuhan manusia yang tidak terbatas yang didukung
dengan semakin berkembangnya teknologi, mendorong seseorang untuk
melakukan perdagangan barang, bahkan perdagangan barang tersebut
dilakukan lintas negara (impor dan ekspor). Adanya perdagangan yang
bebas tersebut, menimbulkan celah untuk melakukan penyelundupan
barang baik yang dilakukan dengan cara tanpa dilindungi dokumen pabean
maupun manipulasi dokumen pabean. Hal itu dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari bea masuk maupun bea keluar atas barang. Tindak
pidana penyelundupan barang tersebut akan berdampak sistemik terhadap
sendi-sendi perekonomian Negara dan perkembangan industri dalam
negeri. Oleh karena itu diperlukan adanya pengawasan-pengawasan ,
dimana di Indonesia dikenal dengan pengawasan kepabeanan melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka menanggulangi
terjadinya tindak pidana penyelundupan barang. Melihat luasnya wilayah
pabean Indonesia, Maka berdasarkan PMK 168/PMK.01/2012 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Instasi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai dibentuklah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai
(KPPBC) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang salah satunya
adalah KPPBC Tipe Madya Pabean B Surakarta. Peran dari KPPBC Tipe
Madya Pabean B Surakarta sangat penting dalam upaya menanggulanggi
tindak pidana penyelundupan barang yang terjadi di daerah wewenangnya
untuk menjaga kestabilan tingkat perekonomian negara dan industri dalam
negeri. Dalam upayanya menanggulangi tindak pidana penyelendupan
commit
barang yang terjadi di Kota to user tentunya KPPBC Tipe Madya
Surakarta,

48
perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

Pabean B juga menghadapi hambatan-hambatan, sehingga perlu pula


untuk mengambil langkah-langkah tertentu sebagai solusinya.

commit to user

49

Anda mungkin juga menyukai