Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS INOVASI KEBIJAKAN TENTANG KOORDINASI

PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI


LIMA DI KOTA BANDUNG

(Diajukan untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Analisis Kebijakan Publik)
Dosen Pengampu: Dr. Salamatul Afiyah, M.Si

Disusun Oleh :

Siva Sopia (1208010201)

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2023
ANALISIS INOVASI KEBIJAKAN TENTANG KOORDINASI
PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI
LIMA DI KOTA BANDUNG

Siva Sopia

Sivasopia8@gmail.com

ABSTRACT

Street vendors, known as "Pedagang kaki lima" (PKL), play a vital role in the
urban landscape of Indonesia. They serve as microeconomic service providers
who make significant contributions to the local economy. However, the presence
of PKL often poses challenges in terms of coordination and empowerment in
major cities, including Bandung. This research aims to provide policy innovation
recommendations to the Bandung City Government regarding the organization
and empowerment of PKL in the city. The study utilizes a qualitative approach
with data collection methods through literature review. The findings of this
research suggest several steps that the government can take, including: 1)
improving the quality of human resources and providing capital; 2) developing
infrastructure and facilities; and 3) mapping and zoning PKL areas.
Keywords: Empowerment of PKL; Organization of PKL; Policy
innovation; PKL; Public Policy

ABSTRAK

Pedagang kaki lima (PKL) merupakan bagian penting dari pemandangan


perkotaan di Indonesia. Mereka berperan sebagai penyedia jasa ekonomi mikro
yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal. Namun,
keberadaan PKL sering kali menimbulkan tantangan dalam hal koordinasi
penataan dan pemberdayaan mereka di kota-kota besar, termasuk Kota Bandung.
Penelitian berusaha untuk memberikan rekomendasi inovasi kebijakan bagi
Pemerintah Kota Bandung terkait penataan dan pemberdayaan PKL di Kota
Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
pengumpulan data melalui studi literatur. Hasil dari penelitian ini bahwa langkah
yang dapat diambil pemerintah yaitu: 1) peningkatan kualitas SDM dan
pemberian modal; 2) pengembangan infrastruktur dan fasilitas; dan 3) pemetaan
dan zonasi area PKL.
Kata Kunci :Inovasi Kebijakan; Kebijakan Publik; PKL; Penataan PKL;
Pemberdayaan PKL.

1
PENDAHULUAN

Pedagang kaki lima (PKL) merupakan bagian penting dari pemandangan


perkotaan di Indonesia. Mereka berperan sebagai penyedia jasa ekonomi mikro yang
memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal. Namun, keberadaan
PKL sering kali menimbulkan tantangan dalam hal koordinasi penataan dan
pemberdayaan mereka di kota-kota besar, termasuk Kota Bandung.

Perkembangan kota-kota di Indonesia, termasuk Kota Bandung, telah


menyaksikan lonjakan yang signifikan dalam jumlah pedagang kaki lima (PKL)
dalam beberapa tahun terakhir. PKL menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap
perkotaan, dengan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian lokal dan
menciptakan lapangan kerja bagi sejumlah penduduk. Namun, pertumbuhan yang
cepat ini juga menimbulkan tantangan dalam hal koordinasi penataan dan
pemberdayaan PKL.

Kota Bandung, sebagai salah satu kota metropolitan yang berkembang pesat di
Indonesia, menghadapi tantangan yang serupa dalam mengatur keberadaan dan
kegiatan PKL. Penataan yang tidak terkoordinasi dan kekurangan pemberdayaan PKL
dapat mengakibatkan masalah seperti kemacetan lalu lintas, penurunan kualitas
lingkungan, dan persaingan yang tidak sehat antara PKL dengan sektor usaha lainnya.

Untuk mengatasi tantangan ini, inovasi kebijakan dalam hal koordinasi


penataan dan pemberdayaan PKL perlu diidentifikasi, dievaluasi, dan dianalisis.
Dalam artikel ilmiah ini, kami akan melakukan analisis inovasi kebijakan tentang
koordinasi penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bandung. Analisis ini bertujuan
untuk memahami efektivitas kebijakan yang ada, mengidentifikasi kekurangan, dan
mengusulkan perbaikan yang mungkin.

METODE

2
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis analisis
deskriptif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang di mana
penelitian tidak memerlukan angka atau rumus statistik dalam pengumpulan dan
pengolahan data., namun peneliti memberikan pandangan dan menafsirkan terhadap
hasilnya (Anggara, 2015). Data dalam pendekatan kualitatif adalah berupa kata,
kalimat, skema dan gambar.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berupa studi
literatur. Studi literatur sendiri merupakan suatu teknik pengumpulan data yang
berasal dari sumber-sumber literasi seperti artikel, jurnal, berita, dan lain sebagainya,
yang kemudian dikumpulkan, dirangkum, dan dianalisis berdasarkan kebutuhan dari
topik yang akan dibahas (Sugiyono, 2017)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Konsep Kebijakan Publik

Friedrich dikutip oleh (Abdoellah & Rusfiana, 2016) mengemukakan


bahwa policy adalah sebuah upaya yang tertuju pada sebuah hasil yang
diusulkan individu, kelompok maupun pemerintah dalam rangka untuk
mencari peluang untuk memecahkan masalah dan hambatan yang ada.
Menurut (Handoyo, 2012) Handoyo, (2012) kebijakan merupakan rencana
tindakan yang diarahkan untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu.

Thomas R.Dye dalam (Handoyo, 2012) menjelaskan bahwa public


policy adalah sebuah pilihan pemerintah untuk mengambil atau tidak
mengambil tindakan. Dalam sumber yang sama, Anderson berpendapat bahwa
public policy adalah kebijakan yang dibuat dan diambil oleh pejabat atau
pemerintah. Menurut (Handoyo, 2012) sendiri kebijakan publik adalah sebuah
aktivitas yang dijalankan pemerintah dalam rangka agar terpenuhinya
kebutuhan masyarakat.

Kebijakan dapat timbul dari seseorang atau sekelompok orang yang


melakukan rangkaian tindakan, aktivitas, atau program untuk mencapai tujuan
tertentu. Kebijakan juga dapat dijelaskan sebagai sebuah sistem yang terdiri
dari input, proses, dan output. Input kebijakan merupakan suatu proses yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mengkaji fenomena dan isu yang terjadi.

3
Proses kebijakan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah
yang dimulai dari perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan. Proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh kelompok penentu atau
elit politik. Mereka adalah individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan
atau pengaruh yang signifikan dalam mengambil keputusan politik dan
menentukan arah kebijakan pemerintah. Proses ini melibatkan berbagai
tahapan seperti identifikasi isu, analisis kebijakan, pembuatan draft kebijakan,
hingga akhirnya keputusan resmi tentang kebijakan yang akan diambil. Output
dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan adalah kinerja kebijakan. Ini
merujuk pada hasil konkret dari implementasi kebijakan yang telah diambil
oleh pemerintah. Kinerja kebijakan dapat diukur berdasarkan pencapaian
tujuan kebijakan, dampaknya terhadap masyarakat atau sektor tertentu, dan
efektivitasnya dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa sebuah kebijakan tidak
bersifat permanen. Kebijakan dapat mengalami perubahan atau penghapusan
seiring waktu berjalan. Perubahan kebijakan dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, seperti perubahan kondisi sosial, politik, ekonomi, atau kebutuhan
masyarakat yang berubah. Kebijakan juga tidak lahir begitu saja, melainkan
merupakan hasil dari proses pemikiran, analisis, dan penyesuaian terhadap
kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat. Kebijakan biasanya
ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan atau tantangan yang dihadapi
oleh masyarakat, dan proses perumusan kebijakan harus mempertimbangkan
kondisi riil yang ada. Dengan demikian, perumusan dan pelaksanaan
kebijakan merupakan proses yang kompleks dan terus berubah seiring dengan
perubahan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Kebijakan yang efektif harus
mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dan tetap relevan dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi. (Desrinelti, Afifah, & Gistituati,
2021).

Kebijakan publik berperan penting dalam menentukan arah dan


prioritas pembangunan suatu negara atau wilayah. Proses kebijakan publik
melibatkan tahap analisis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi kebijakan.
Analisis kebijakan publik dilakukan untuk mengidentifikasi masalah yang ada,
mengumpulkan data dan informasi relevan, serta menganalisis dampak dan

4
konsekuensi dari berbagai kebijakan yang mungkin diambil. Setelah analisis,
tahap perencanaan melibatkan pembuatan rencana tindakan yang spesifik dan
jelas untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi.

Implementasi kebijakan publik adalah tahap di mana kebijakan


tersebut diterapkan dalam praktek. Pemerintah atau lembaga publik
bertanggung jawab untuk menjalankan kebijakan dan memastikan bahwa
sumber daya yang diperlukan tersedia. Implementasi yang efektif memerlukan
koordinasi yang baik antara berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah,
sektor swasta, dan masyarakat sipil. Evaluasi kebijakan publik penting
dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas dan dampak kebijakan yang
diimplementasikan. Evaluasi dapat melibatkan pengumpulan data, analisis
kualitatif dan kuantitatif, serta kajian terhadap pemenuhan tujuan kebijakan.
Hasil evaluasi dapat digunakan untuk memperbaiki kebijakan yang ada atau
menginformasikan pengambilan keputusan dalam merumuskan kebijakan
baru.

Kebijakan publik dapat mencakup berbagai bidang, seperti pendidikan,


kesehatan, transportasi, lingkungan, keamanan, dan lain-lain. Tujuan dari
kebijakan publik adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan, mendorong pembangunan yang berkelanjutan, dan menciptakan
keadilan sosial. Oleh karena itu, perumusan dan implementasi kebijakan
publik harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi
masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas (Ramdhani & Ramdhani, 2017).

Berdasarkan pendapat tersebut, Kebijakan publik merujuk pada


tindakan dan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah atau lembaga
publik untuk mengatasi masalah sosial, ekonomi, politik, atau lingkungan
yang dihadapi oleh masyarakat.

2. Konsep Inovasi Kebijakan

Kebijakan inovasi adalah tindakan publik yang mempengaruhi


perubahan teknis dan jenis inovasi lainnya. Inovasi merupakan kreasi baru
yang memiliki signifikansi ekonomi dalam bentuk materi atau non-materi.
Mereka mungkin benar-benar baru, tetapi lebih sering merupakan kombinasi
baru dari elemen-elemen yang sudah ada. Taksonomi yang berguna adalah

5
membagi inovasi menjadi produk baru dan proses baru. Inovasi produk dapat
berupa barang atau jasa. Inovasi proses dapat bersifat teknologi atau
organisasional. Beberapa inovasi produk (misalnya, barang investasi) berubah
menjadi inovasi proses dalam "inkarnasi kedua" mereka (Edquist, 2001).

Pengertian inovasi kebijakan oleh pemerintah tercermin melalui


penerapan “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah”. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa untuk meningkatkan
kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, penting adanya inovasi di
tingkat daerah. Regulasi tersebut memungkinkan Pemerintah Daerah untuk
melakukan inovasi dalam berbagai aspek penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah. Inovasi yang dilakukan harus didukung oleh komitmen dan inisiatif
yang kuat (Pananrangi, 2019).

Apabila dilihat dari kacamata konseptual, inovasi kebijakan


diklasifikasikan ke dalam 2 jenis, yaitu: a). Policy innovation: new policy
direction and initiatives yaitu Inovasi kebijakan yang dimaksud mencakup
adanya usaha dan panduan kebijakan baru. Artinya, setiap kebijakan publik
yang diterapkan seharusnya mencakup elemen-elemen yang baru; b).
Innovation in the policy making process. Klasifikasi kedua ini lebih
menitikberatkan pada sebuah inovasi yang memiliki dampak pada aktivitas
perumusan sebuah kebijakan (Sururi, 2017).

Inovasi kebijakan sangat penting karena memberikan pendekatan yang


baru dan lebih efektif dalam merumuskan dan mengimplementasikan
kebijakan publik. Berikut adalah beberapa alasan mengapa inovasi kebijakan
sangat penting: (Edler & Fagerberg, 2017; Fagerberg, 2018)

a. Mengatasi kompleksitas masalah: Masalah yang dihadapi oleh


pemerintah dan lembaga publik seringkali kompleks dan beragam.
Inovasi kebijakan memungkinkan untuk menemukan solusi yang lebih
baik dan lebih adaptif dalam mengatasi masalah-masalah ini.
Pendekatan inovatif dapat membantu mengidentifikasi aspek-aspek
yang terabaikan sebelumnya dan menawarkan solusi yang lebih kreatif
dan efektif.

6
b. Respons terhadap perubahan: Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik
terus berubah dengan cepat. Inovasi kebijakan memungkinkan
pemerintah untuk tetap responsif terhadap perubahan tersebut. Dengan
mengadopsi pendekatan inovatif, kebijakan publik dapat disesuaikan
dengan tantangan baru, tren, dan kebutuhan masyarakat yang
berkembang.
c. Meningkatkan kualitas kebijakan: Inovasi kebijakan membantu
meningkatkan kualitas kebijakan dengan mencari solusi yang lebih
efektif dan efisien. Dengan menguji dan mengadopsi pendekatan baru,
kebijakan publik dapat menghasilkan hasil yang lebih baik dan
memastikan penggunaan sumber daya yang optimal.
d. Merangsang pertumbuhan dan pembangunan: Inovasi kebijakan dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan menerapkan kebijakan inovatif, pemerintah dapat menciptakan
lingkungan yang mendukung inovasi, kewirausahaan, dan investasi.
Hal ini dapat mendorong sektor swasta untuk berinovasi dan
menciptakan lapangan kerja baru.
e. Memperbaiki pelayanan publik: Inovasi kebijakan juga dapat
membantu meningkatkan pelayanan publik. Dengan mencari
pendekatan baru, pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih
responsif terhadap kebutuhan dan harapan masyarakat. Ini dapat
meningkatkan kepuasan masyarakat, meningkatkan aksesibilitas, dan
meningkatkan kualitas pelayanan publik.
f. Peningkatan partisipasi publik: Inovasi kebijakan dapat mendorong
partisipasi publik yang lebih besar dalam proses kebijakan. Dengan
melibatkan masyarakat dalam merumuskan kebijakan, inovasi
kebijakan dapat memastikan representasi yang lebih baik dan
memperkuat legitimasi kebijakan.

Secara keseluruhan, inovasi kebijakan penting untuk menciptakan


kebijakan publik yang lebih baik, lebih adaptif, dan lebih responsif terhadap
perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dengan menggunakan pendekatan
inovatif, pemerintah dapat mencapai hasil yang lebih baik, mendorong

7
pertumbuhan, meningkatkan pelayanan publik, dan memberikan solusi yang
lebih efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang kompleks.

3. Pedagang Kaki Lima (PKL)

Menurut Sugiharsono (2000:45), mengungkapkan bahwa pedagang


adalah orang yang membeli dan menjualnya lagi dengan tidak mengubah
sedikit pun bentuknya. Menurut Widodo (2008:285), pedagang adalah
Seseorang atau sebuah entitas yang melakukan pembelian, penerimaan, atau
penyimpanan barang berharga dengan niat untuk menjualnya,
menyerahkannya, atau mengirimkannya kepada individu atau entitas lain, baik
itu barang yang masih dalam bentuk aslinya atau sudah mengalami
transformasi menjadi barang lain (Nurlaila, 2017).

Pedagang kaki lima berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung


Nomor 4 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima
menyebutkan bahwa PKL adalah “pedagang yang melakukan usaha
perdagangan di sektor informal yang menggunakan fasilitas umum baik di
lahan terbuka dan/atau tertutup dengan menggunakan peralatan bergerak
maupun tidak bergerak.”

Arti lain dari pedagang kaki lima sendiri yaitu: “The People who offer
goods or services for sale from public places, primarily streetes and
pavement”. Pedagang kaki lima adalah suatu usaha yang sederhana dan kecil
yang dimana masyarakat lah yang melakukannya terutama bagi masyarakat
yang memiliki penghasilan yang rendah dan modal yang sangat terbatas.
Istilah "kaki lima" sendiri merujuk pada trotoar yang dulunya memiliki lebar 5
kaki atau sekitar 1,5 meter. Dalam konteks ini, pedagang kaki lima (PKL)
adalah pedagang yang berjualan di area trotoar, biasanya di daerah dengan
keramaian umum seperti depan toko, kawasan perdagangan, pasar, sekolah,
dan bioskop (Rafidah, 2019).

Pedagang kaki lima memilih lokasi tersebut dengan tujuan agar barang
dagangannya cepat terjual. Oleh karena itu, mereka cenderung memilih tempat
yang berada di pusat-pusat perkotaan dengan populasi yang padat atau daerah
yang menjadi pertemuan jalur lalu lintas yang ramai. Dalam menjalankan
usahanya, pedagang kaki lima sering menggunakan sarana berjualan seperti

8
kios, tenda, atau berjualan secara lesehan dengan cara menata barang
dagangan yang akan ditawarkan kepada pembeli. Pedagang kaki lima
menggunakan kios-kios sebagai sarana berjualan, yang merupakan tempat
usaha dengan atap dan dinding semi permanen. Biasanya, dinding tempat
berjualan dibuat dari bahan yang berasal dari triplex. Keberadaan pedagang
kaki lima di perkotaan tidak menunjukkan bahwa mereka merupakan
kelompok masyarakat yang tidak berhasil memasuki sistem ekonomi
perkotaan. Sebaliknya, hal ini mencerminkan bahwa adanya suatu perubahan
masyarakat desa yang semulanya berbasis pertanian, kini berubah menjadi
masyarakat kota yang berbais industri, jasa, dan perdagnagn (Rafidah, 2019).

Pedagang kaki lima (PKL) merujuk pada para pedagang yang


menjalankan usaha dagang mereka di tempat-tempat terbuka seperti trotoar,
jalan raya, atau area publik lainnya. Mereka biasanya beroperasi dengan
menggunakan gerobak, tenda sederhana, atau hanya dengan menyimpan
barang dagangan di atas lapangan. PKL sering menjadi pemandangan umum
di banyak kota di seluruh dunia. Mereka menyediakan berbagai jenis produk
dan jasa, mulai dari makanan dan minuman, pakaian, aksesori, barang
elektronik, hingga layanan jasa seperti jasa tukang cukur atau jasa perbaikan
barang.

Para PKL seringkali merupakan bagian penting dari ekonomi informal


di negara-negara berkembang, dan sering kali mereka adalah orang-orang
yang memiliki keterbatasan akses ke lapangan kerja formal. PKL ini seringkali
merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka dan keluarga mereka.
PKL memiliki peran penting dalam melayani kebutuhan masyarakat. Mereka
menawarkan barang-barang dan jasa dengan harga yang terjangkau, sehingga
menjadi pilihan bagi banyak orang yang mencari produk dengan harga lebih
murah atau akses yang lebih mudah. Selain itu, PKL juga memberikan
kontribusi pada kegiatan ekonomi lokal dan dapat menjadi daya tarik bagi
pariwisata dalam beberapa kasus.

Namun, PKL juga menghadapi sejumlah tantangan. Beberapa masalah


umum yang dihadapi oleh PKL termasuk keterbatasan akses ke tempat yang
aman dan berlisensi untuk berjualan, peraturan pemerintah yang tidak

9
konsisten atau ketat, dan konflik dengan kepentingan pemilik usaha lain atau
lingkungan sekitar.

Banyak pemerintah dan organisasi non-pemerintah menyadari


pentingnya peran PKL dalam ekonomi dan upaya pemberdayaan mereka.
Upaya dilakukan untuk memberikan pelatihan dan bantuan teknis kepada PKL
agar mereka dapat meningkatkan kualitas usaha mereka, memperoleh akses ke
pasar yang lebih luas, dan meningkatkan penghasilan mereka. Selain itu,
upaya juga dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi
PKL dengan mengembangkan kebijakan yang adil, menawarkan area yang
aman dan terorganisir untuk berjualan, serta mengatur perizinan dan regulasi
yang lebih baik.

Secara keseluruhan, PKL memiliki peran penting dalam ekonomi lokal


dan kehidupan masyarakat. Sementara mereka menghadapi tantangan tertentu,
langkah-langkah pemberdayaan dan dukungan yang tepat dapat membantu
meningkatkan kondisi mereka, memberikan manfaat bagi mereka secara
ekonomi, dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

4. Inovasi Kebijakan Koordinasi dan Penataan Pedagang Kaki Lima di


Kota Bandung

Keberadaan PKL dapat menjadi salah satu penggerak ekonomi di


beberapa daerah. Beberapa kota besar di Indonesia tentunya harus siap
menghadapi para PKL yang tersebar di seluruh kota. Tidak ada yang
menyalahkan seseorang berprofesi menjadi PKL selama ia tidak menyalahi
beberapa aturan yang sudah ditetapkan.

Salah satu daerah Indonesia yang terdapat banyak sekali PKL di


daerahnya adalah Kota Bandung. Tidak heran, karena Kota Bandung sendiri
salah satu kota metropolitan di Indonesia yang pertumbuhan dan
perkembangannya lebih besar dari kota-kota lain. Karena alasan itu pula, Kota
Bandung dipilih menjadi Ibu Kota dari Provinsi Jawa Barat. PKL di Kota
Bandung sendiri sudah diatur keberadaannya di dalam Peraturan Daerah Kota
Bandung Nomor 4 tahun 2011. Pemerintah Kota Bandung memiliki banyak
program terkait pemberdayaan pedagang kaki lima (PKL) yang dapat mereka
klaim telah dilaksanakan. Salah satunya adalah program pemberian kartu PKL

10
yang dimulai pada tahun 2014. Lebih dari seribu kartu telah diberikan kepada
para pedagang PKL yang memiliki KTP Kota Bandung. Pada waktu itu, target
total yang ditetapkan adalah 12.600 orang PKL. Selain itu, berbagai kegiatan
lain seperti pelatihan dan bantuan modal juga telah dilaksanakan. Meskipun
demikian, PKL sering dianggap sebagai masalah dan mendapatkan label
negatif. Beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah seringkali
bertentangan dengan keberadaan PKL, terkait dengan keamanan, keindahan,
dan kenyamanan kota. Pelarangan dan penegakan denda terhadap pelanggar
aturan seringkali menjadi fokus utama. Berita tentang penertiban, yang
sebelumnya dikenal sebagai "tibum" (ketertiban umum), yang terkadang
disertai dengan kekerasan dan pencabutan barang dagangan, selalu muncul
dari tahun ke tahun.

Pemerintah Kota Bandung tentunya perlu membuat regulasi terbaru


dan dengan inovasi yang lebih maju untuk dapat menata dan memberdayakan
para PKL. Regulasi dan peraturan yang sebelumnya sudah ada dirasa tidak
cukup dalam menata dan memberdayakan PKL seluruhnya. Terutama dalam
penataan PKL, banyak sekali PKL di Kota Bandung yang berdagang di
tempat-tempat yang menjadi zona merah untuk berdagang. Dan yang terbaru
adalah maranya para PKL di kawasan masjid al-Jabbar. Dikutip dari
Kompas.com, sebelum adanya penertiban dari pemerintah Kota Bandung.
Jumlah PKL di kawasan Masjid Al-Jabbar mencapai 400.

Memang hal tersebut bukanlah sepenuhnya salah pemerintah. Namun


juga ada andil dari PKL itu sendiri yang dapat mengetahui tentang peraturan
dan regulasi berdagang. Oleh karena itu pemerintah memikirkan dengan keras
bagaimana inovasi dari sebuah kebijakan yang harus diambil dalam menata
dan memberdayakan. Pemerintah perlu memperkuat sektor R&D (research &
development) atau penelitian dan pengembangan terkait dengan inovasi
kebijakan penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bandung. Tidak banyak
pilihan yang dapat diambil untuk mengatasi fenomena ini, beberapa program
dan jalan pun sudah dilakukan oleh pemerintah untuk memaksimalkan
penataan dan pemberdayaan PKL.

11
Dalam paper ini penulis memberikan setidaknya beberapa
rekomendasi saran terkait inovasi kebijakan penataan dan pemberdayaan PKL.
Yaitu:

1. Peningkatan kualitas SDM dan Pemberian Modal Usaha

SDM menjadi komponen paling penting dalam seluruh aktiftas


kehidupan sosial. Berdasarkan data yang diperoleh pada website open data
Kota Bandung pada tahun 2018 saja, jumlah PKL yang menempuh
pendidikan tinggi sangatlah rendah. PKL di beberapa Kecamatan di Kota
Bandung mayoritas hanya mencapai SMA.

Tentunya perlu adanya pengembangan SDM yang harus dilakukan


oleh Pemerintah Kota Bandung, seperti pelatihan, sosialisasi, dan
memberikan arahan terkait pentingnya lokalisasi atau relokasi PKL agar
tidak menganggu aktifitas masyarakat yang lain seperti kemacetan. Selain
itu, dengan skill dan keahlian dari para PKL yang meningkat ini
memungkinkan juga mereka untuk dapat memanfaatkan peluang yang ada
seperti memanfaatkan teknologi dalam menjajakan barang dagangan
mereka. Selain itu, pemerintah daerah dapat memberikan bantuan modal
atau pinjaman dengan suku bunga rendah kepada pedagang kaki lima yang
berpotensi untuk mengembangkan usahanya. Dengan cara ini, pedagang
akan lebih siap menghadapi persaingan dan meningkatkan kualitas produk
dan layanan mereka.

2. Pengembangan Infrastruktur dan Fasilitas

Meningkatkan infrastruktur dan fasilitas yang mendukung pedagang


kaki lima di Kota Bandung. Pemerintah daerah dapat memperbaiki atau
membangun trotoar yang lebih luas dan nyaman untuk pedagang dan
pengunjung. Selain itu, menyediakan fasilitas seperti tempat sampah yang
memadai, tempat duduk, dan toilet umum akan memberikan kenyamanan
bagi pedagang dan pengunjung. Infrastruktur digital seperti akses Wi-Fi
gratis juga dapat meningkatkan konektivitas dan memfasilitasi transaksi
online bagi pedagang kaki lima.

3. Pemetaan dan Zonasi Area PKL

12
Melakukan pemetaan dan zonasi area khusus untuk pedagang kaki
lima di Kota Bandung. Dengan melakukan pemetaan yang tepat,
pemerintah dapat mengidentifikasi area yang cocok untuk berdagang,
termasuk area yang dekat dengan permintaan konsumen atau wisatawan.
Zonasi yang jelas akan membantu mengatur jumlah dan jenis pedagang
yang diperbolehkan di setiap area, sehingga mengurangi persaingan yang
tidak sehat dan meningkatkan pengalaman berbelanja bagi penduduk
setempat dan wisatawan.

KESIMPULAN

Dari hasil dilakukannya penelitian, didapatkan hasil bahwasanya fenomena


PKL yang kurang tertib dan pembinaan yang masih kurang di Kota Bandung
menyebabkan berbagai masalah baru muncul seperti kemacetan, sampah berserakan,
dan bahkan rusaknya fasilitas umum. Untuk dapat menangani hal tersebut, pemerintah
perlu memikirkan sebuah inovasi kebijakan baru dalam melakukan penataan dan
pemberdayaan dari para PKL. Beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah
yaitu: 1) peningkatan kualitas SDM dan pemberian modal; 2) pengembangan
infrastruktur dan fasilitas; dan 3) pemetaan dan zonasi area PKL.

DAFTAR PUSTAKA

Abdoellah, A. Y., & Rusfiana, Y. (2016). Teori & Analisis Kebijakan Publik.
Bandung: Alfabeta Bandung.

Anggara, S. (2015). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV Pustaka Setia.

Desrinelti, D., Afifah, M., & Gistituati, N. (2021). Kebijakan publik: konsep
pelaksanaan. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 6(1), 83.
https://doi.org/10.29210/3003906000

Edler, J., & Fagerberg, J. (2017). Innovation policy: What, why, and how. Oxford
Review of Economic Policy, 33(1), 2–23. https://doi.org/10.1093/oxrep/grx001

Edquist, C. (2001). The Systems of Innovation Approach and Innovation Policy: An


account of the state of the art. DRUID Conference, Aalborg, (June 2001), 12–15.

13
Fagerberg, J. (2018). Innovation policy: Rationales, lessons and challenges.
Innovation, Economic Development and Policy: Selected Essays, (April), 93–
108. https://doi.org/10.1111/joes.12164

Handoyo, E. (2012). Kebijakan Publik. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas


Negeri Semarang & Widya Karya Semarang.

Nurlaila, H. (2017). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Pedagang


Kaki Lima di Kota Kuala Simpang. Jurnal Samudra Ekonomika, 1(1), 72–86.
Retrieved from https://ejurnalunsam.id/index.php/jse/article/view/68

Pananrangi, A. (2019). Inovasi Kebijakan Publik Dalam Perpektif Administrasi


Publik. Jurnal Meraja, 2(3), 1–13.

Rafidah. (2019). Strategi dan Hambatan Pedagang Kaki Lima Dalam Meningkatkan
Penjualan ( Studi Kasus PKL di Telanaipura Kota Jambi). IJIEB: Indonesian
Journal of Islamic Economics and Business, 4(2), 55–69. Retrieved from
http://e-journal.lp2m.uinjambi.ac.id/ojp/index.php/ijoieb

Ramdhani, A., & Ramdhani, M. A. (2017). Konsep Umum Pelaksanaan Kebijakan


Publik. Jurnal Publik, 11(1). Retrieved from www.jurnal.uniga.ac.id

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R & D. Bandung:


ALFABETA BANDUNG.

Sururi, A. (2017). Inovasi Kebijakan Publik (Tinjauan Konseptual Dan Empiris).


Sawala : Jurnal Administrasi Negara, 4(3), 1–14.
https://doi.org/10.30656/sawala.v4i3.241

14

Anda mungkin juga menyukai