Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Tempe


a. Pengertian Industri
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, industri adalah
seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber
daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat
lebih tinggi, termasuk jasa industri. Industri pengolahan merupakan suatu kegiatan ekonomi
mengubah suatu barang dasar baik secara mekanis, kimia, atau dengan tangan menjadi
barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir.
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu
Air Limbah, industri pengolahan kedelai adalah usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan
kedelai sebagai bahan baku utama yang tidak bisa digantikan dengan bahan lain. Industri
tempe usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan kedelai sebagai bahan utama pembuatan
tempe. Pada umumnya industri tempe masih tergolong industri rumah tangga dengan jumlah
tenaga kerja 1-4 orang dan industri kecil dengan jumlah tenaga kerja 5-19 orang.
b. Pengertian Tempe
Tempe merupakan hasil fermentasi biji-bijian dengan menggunakan jamur Rhizopus
Oligosporus yang dapat meningkatkan dan mempertahankan nilai-nilai gizi yang terkandung
didalamnya dan melunakkan tekstur bahan bakunya sehingga lebih mudah dikonsumsi. Di
Indonesia tempe yang sangat digemari masyarakat berasal dari kedelai, tempe sangat baik
dikonsumsi oleh semua kelompok usia dikarenakan senyawa yang terdapat pada tempe
adalah senyawa peptida pendek, asam amino bebas, asam-asam lemak dan karbohidrat yang
lebih sederhana yang mudah diserap oleh tubuh. Kapang yang tumbuh pada tempe
menghasilkan enzim protease, lipase, amilase yang berperan dalam proses penguraian
protein, lemak, dan karbohidrat komplek menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana
(Kemenkes, 2022).
Tempe yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia biasanya adalah tempe yang
berbahan dasar kedelai. Selain tempe kedelai, ada juga tempe yang berbahan dasar selain
kedelai, contohnya tempe lamtoro berbahan dasar biji lamtoro, tempe benguk yang berbahan
dasar biji benguk, tempe bungkil berbahan dasar bungkil kacang tanah, tempe gembus yang
berbahan dasar bungkil tahu dan tempe bongkrek berbahan dasar bungkil kelapa (Alvina et
al., 2019).
Tempe sebagai makanan terfermentasi tradisional, dengan bahan baku kedelai dan
kultur starter Rhizopus oligosporus, memiliki khasiat yang besar untuk mencegah terjadinya
berbagai penyakit degeneratif seperti aterosklerotis, jantung koroner, diabetes mellitus,
kanker dan lain-lain. Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial, tempe
menjadi satu-satunya sumber vitamin B12 dari bahan pangan nabati. Vitamin B12
tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh bakteri kontaminan, yaitu Klebsiella
pneumoniae dan Citrobakter reundii. Vitamin B12 sangat diperlukan dalam
pembentukan sel-sel darah merah, dimana kekurangan ini mengakibatkan
terjadinyaanemia pernisiosa, dengan gejala: pucat, sakit perut dan berat badan menurun.
Dengan adanya vitamin B12 pada tempe, maka para vegetarian tak perlu khawatir akan
kekurangan vitamin B12 sepanjang mereka melibatkan tempe dalam menu hariannya
(Aryanta, 2020).
Kedelai merupakan bahan baku utama dalam proses pembuatan tempe, untuk membuat
tempe dengan kualitas rasa yang enak dibutuhkan beberapa persyaratan bahan baku kedelai,
disamping itu juga diperlukan adanya ketersedian kedelai yang cukup untuk menjamin
kelangsungan usaha (Alvina et al., 2019). Selain mengandung zat-zat gizi yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh, kedelai mentah juga mengandung zat-zat anti gizi yang merugikan
kesehatan, seperti antitripsin, antikimotripsin, tanin, saponin, asam fitat, dan hemaglutinin.
Dengan adanya proses fermentasi kedelai menjadi tempe, maka komponen-komponen
antigizi tersebut menjadi inaktif sehingga tidak lagi berbahaya bagi tubuh (Aryanta, 2020).
c. Proses Produksi
Tempe merupakan makanan olahan yang dibuat dari kacang kedelai hasil
fermentasi menggunakan kapang Rhizopus oryzae atau Rhizopus oligosporus. Kapang ini
nantinya akan membentuk benang-benang halus berwarna putih (hifa) yang akan tumbuh di
permukaan biji kedelai yang nantinya akan menyatu membentuk miselium berwarna putih.
Biji kacang kedelai dicampur dengan bahan tambahan yaitu ragi tempe dan
mengalami proses fermentasi. Adanya jamur pada tempe dapat memproduksi beberapa
enzim, misalnya enzim protease yang berfungsi untuk menguraikan protein menjadi
peptida yang lebih pendek serta asam amino bebas, selain itu juga memproduksi enzim lipase
yang berfungsi menguraikan lemak menjadi asam lemak, serta enzim amylase yang berfungsi
menguraikan karbohidrat kompleks menjadi karbohidrat yang sederhana. Oleh sebab itu,
tempe memiliki banyak manfaat bagi kesehatan manusia (Ellent et al., 2022). Berikut
merupakan proses pembuatan tempe kedelai, sebagai berikut:
1. Pemilihan dan Pencucian Kedelai
Biji kedelai yang dipilih untuk dijadikan sebagai bahan dasar tempe harus bagus dan
padat berisi. Pemilihan tersebut digunakan agar dapat menghasilkan tempe yang baik dan
berkualitas nantinya. Cara mencuci kedelai dilakukan dengan air bersih dan berulang-
ulang agar pasir dan kotoran tidak menempel pada kedelai yang siap untuk diolah.
2. Perendaman Awal
Biji kedelai kemudian dilakukan perendaman dengan diberikan air, ketika kotoran
mengapung diambil dengan cara disaring. Perendaman dilakukan selama kurang lebih
semalaman atau sekitar 12-15 jam. Hal ini dilakukan agar biji kedelai mengalami hidrasi
dan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk selama proses fermentasi.
3. Perebusan
Proses perebusan dilakukan agar kulit kedelai mudah dikelupas sehingga proses
produksinya berjalan dengan baik serta dapat mematikan bakteri kontaminan. Perebusan
biasanya dilakukan 2-3 jam atau tergantung dari banyaknya kedelai yang direbus dan
dilakukan menggunakan panci besar.
4. Pengupasan Kulit
Proses pengupasan kulit kedelai dilakukan dengan cara basah, yaitu memasukkan biji
kedelai kedalam gentong besar kemudian ditambahkan air mengalir sampai gentong
penuh dan dilakukan penyaringan sedikit demi sedikit dengan menggunakan kalo atau
biasa disebut dengan saringan yang berasal dari bambu yang berukuran kurang lebih
25cm dan berbentuk seperti setengah bola.
5. Perendaman Lanjutan
Perendaman lanjutan dilakukan agar kedelai mencapai tingkat keasaman yang baik, yaitu
sekitar 3,5 hingga 5,2 pH.
6. Pencucian Kedelai yang telah direndam
Pencucian kedelai dilakukan agar kedelai benar-benar bersih dari kontaminan, kulit
kedelai, dan juga lendir-lendir yang menempel pada kedelai. Selain itu, pencucian
Kedelai berfungsi untuk menghilangkan bakteri dan mikroorganisme yang tumbuh
selama perendaman, serta membuang kelebihan asam dan lendir yang terproduksi.
7. Perebusan Lanjutan
Proses perebusan lanjutan berfungsi sebagai proses sterilisasi untuk mematikan
mikroorganisme yang tumbuh selama perendaman. Lama perebusan tergantung pada
kondisi bahan. Umumnya proses ini memakan waktu 40-60 menit.
8. Penirisan dan Pendinginan
Penirisan dan pendinginan kedelai dilakukan dalam wadah seperti panci dan dibawahnya
terdapat lubang saringan sehingga air pada kedelai dapat jatuh kebawah. Proses ini
bertujuan untuk mengurangi kandungan air pada kedelai basah agar saat inokulasi
dilakukan kapang dapat tumbuh secara optimal.
9. Penambahan Ragi
Pemberian ragi dilakukan dengan menebarkan inokulum pada permukaan kacang kedelai
ketika sudah dingin, lalu dicampur dengan merata sebelum dilakukan pengemasan atau
pencetakan. Penambahan ragi pada kedelai dilakukan pada suhu sekitar 37°C. Setiap 1 kg
biji kedelai, takaran ragi yang digunakan adalah satu sendok makan.
10. Pembungkusan Bahan dan Fermentasi
Bahan untuk membungkus bisa menggunakan bahan alami seperti daun jati dan daun
pisang, atau bahan buatan seperti plastik yang dinilai lebih praktis dan efisien.
Pengemasan sangat penting dalam industri makanan dimana berguna untuk
mempertahankan suatu produk dalam keadaan bersih dan higienis.
Setelah dibungkus, langkah selanjutnya adalah memfermentasikan bahan pada suhu
kamar 38-40°C. Suhu dijaga agar tidak lebih dan tidak kurang dari suhu yang telah
ditentukan, mengingat suhu memiliki peranan penting apakah proses fermentasi itu
berhasil atau tidak. Proses fermentasi didiamkan selama 1 hingga 2 hari untuk dapat
menghasilkan tempe segar yang dapat dikonsumsi. Keberhasilan pada proses Fermentasi
ditandai dengan kapang tumbuh pada permukaan dan menembus biji-biji kedelai, dan
menyatukannya sehingga menjadi tempe.
Pemilihan dan Perendaman
Kedelai Perebusan
pencucian kedelai Awal

Perebusan Perendaman Pengupasan


Pencucian Kedelai
Lanjutan Lanjutan Kulit

Penirisan dan Pembungkusan Bahan


Penambahan Ragi
Pendinginan dan Fermentasi

Gambar 1. Bagan Alir Produksi Tempe


11. Limbah Produksi
Proses produksi tempe membutuhkan banyak air untuk pencucian, pengelupasan kulit
kedelai, perendaman, dan perebusan. Pembuatan tempe dengan kedelai sebanyak 100
kilogram dapat menghasilkan limbah hingga 2 m3 (Nurhasan, 1991 dalam Puspawati,
2017). Limbah cair tempe kedelai termasuk dalam limbah yang biodegradable.
Biodegradable adalah limbah atau bahan buangan yang dapat dihancurkan oleh
mikroorganisme. Limbah produksi tempe dihasilkan dari proses pencucian, perendaman
dan penirisan. Berikut ini merupakan bagan proses produksi yang menghasilkan limbah
cair, sebagai berikut:

Pemilihan dan Perendaman


Kedelai Perebusan
pencucian kedelai Awal

Perebusan Perendaman Pengupasan


Pencucian Kedelai
Lanjutan Lanjutan Kulit

Penirisan dan Pembungkusan Bahan


Penambahan Ragi
Pendinginan dan Fermentasi

Gambar 2. Bagan Alir Produksi Tempe yang menghasilkan limbah cair


Keterangan : Proses yang menghasilkan Limbah Cair

2.2 Karakteristik Limbah Industri Tempe


Karakteristik limbah cair tempe yang dihasilkan saat proses produksi dapat diketahui
dengan cara mengukur parameter kimia dan fisika limbah cair tempe pada salah satu industri.
Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik, dan gas. Karakteristik fisika
meliputi bau, warna, suhu, dan padatan total. Menurut Novita et al., (2020) karakteristik limbah
cair pembuatan tempe kedelai adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Karakteristik Limbah Cair Tempe

No Parameter Baku Mutu Nilai Satuan


1 BOD 150 4.200,50 mg/L
2 COD 300 22.500 mg/L
3 TSS 100 4.530 mg/L
4 Kekeruhan 1.410 NTU
5 pH 6-9 4,5
6 Nitrogen 64,7 mg/L
Sumber: Novita et al., 2020
Tabel diatas menunjukkan bahwa limbah cair pembuatan tempe kedelai cenderung asam
dan mengandung Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan
Total Suspended Solid (TSS) yang tinggi. Limbah cair pembuatan tempe kedelai mengandung
polutan organik yang cukup tinggi dan padatan tersuspensi maupun terlarut. Senyawa-senyawa
organik tersebut menyebabkan limbah cair industri tempe mengandung BOD, COD, dan TSS
yang tinggi.
Karakteristik limbah cair yang dihasilkan berupa bahan organik padatan tersuspensi
(kulit, selaput lendir, dan bahan organik lain). Warna putih keruh pada air limbah berasal dari
pembuangan air rendaman dan pengelupasan kulit kedelai yang masih banyak mengandung pati,
juga berasal dari air bekas pencucian peralatan proses produksi, peralatan dapur dan peralatan
lainnya (Wignanto et al., dalam Sayow et al., 2020). Bau yang timbul karena adanya aktivitas
mikroorganisme yang menguraikan zat organik secara biologis anaerobik dan menghasilkan gas
CH4, H2S, serta NH3 yang menyebabkan bau.
a. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Kebutuhan oksigen biokimia atau BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan
oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk mendegradasi bahan buangan
organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut (Wardana 2004 dalam Fatimah 2016).
Semakin banyak bahan organik dalam air maka semakin besar BOD nya, sedangkan
Dissolved Oxygen (DO) akan semakin rendah. DO merupakan oksigen terlarut yang
terkandung di dalam air yang berasal dari udara dan hasil proses fotosintesis tumbuhan
air. Makhluk yang hidup di air seperti ikan, udang, kerang dan hewan lainnya termasuk
mikroorganisme seperti bakteri membutuhkan oksigen (Fikri, 2019).
Bakteri aerobik adalah mikroorganisme yang membutuhkan oksigen untuk
memecahkan bahan buangan organik. Sedangkan bakteri anaerobik adalah
mikroorganisme yang tidak membutuhkan oksigen untuk memecahkan bahan buangan
organik (Wardana 2004 dalam Fatimah 2016). Penguraian bahan buangan organik
melalui proses oksidasi oleh bakteri aerobik, Bahan buangan dipecah dan diuraikan
menjadi gas CO2 air dan NH3. Penyebab bau busuk pada air lingkungan adalah NH3.
Pada dasarnya prinsip pengukuran BOD cukup sederhana, yaitu mengukur
kandungan oksigen terlarut awal (DOi) dari sampel segera setelah pengambilan contoh,
kemudian mengukur kandungan oksigen terlarut pada sampel yang telah diinkubasi
selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap yaitu 20 oC yang sering disebut dengan
DO5. Nilai BOD adalah selisih dari DOi dan DO5 yang dinyatakan dalam milligram
oksigen per liter (mg/L). Tujuan penyimpanan pada kondisi gelap adalah supaya tidak
terjadi proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen, dan dalam suhu yang tetap selama
lima hari. Diharapkan hanya terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme, sehingga
yang terjadi hanyalah penggunaan oksigen dan oksigen tersisa ditera sebagai DO5
(Atima, 2015).
b. COD (Chemical Oxygen Demand)
Kebutuhan oksigen warna atau COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan
supaya bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui rekasi kimia. Nilai
COD akan selalu lebih besar daripada BOD karena kebanyakan senyawa lebih mudah
teroksidasi secara kimia daripada biologi. Pengukuran COD lebih cepat daripada BOD
karena dapat dilakukan dapat dilakukan selama tiga jam, sedangkan BOD paling tidak
memerlukan waktu lima hari (Siregar, 2005).
Bahan buangan organik akan dioksidasi oleh Kalium bichromat menjadi gas CO2
dan H2O serta sejumlah ion Chrom. Kalium bichromat atau K2Cr2O7 digunakan sebagai
sumber oksigen (oxidizing agent). Prinsip pengukuran COD adalah dengan penambahan
sejumlah tertentu kalium bikromat (K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel yang telah
ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat, kemudian dipanaskan selama beberapa
waktu. Selanjutnya, kelebihan kalium bikromat ditera dengan cara titrasi. Sehingga
kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan organik dalam sampel dapat
dihitung dan nilai COD dapat ditentukan (Atima, 2015).
c. TSS (Total Suspended Solid)
Padatan tersuspensi (tidak terlarut) total atau TSS adalah bahan-bahan tersuspensi
(diameter > 1μm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 μm
(Maulana et al., 2015). Padatan tidak larut merupakan senyawa kimia yang terdapat
dalam air baik dalam keadaan melayang, terapung maupun mengendap dan menyebabkan
air berwarna keruh. Kekeruhan air disebabkan oleh zat padat tersuspensi, baik yang
bersifat organik atau anorganik. Zat tersebut akan mengendap pada dasar air yang lama
kelamaan menimbulkan pendangkalan pada dasar badan air. Padatan ini dapat
menumbuhkan tanaman air tertentu dan dapat menjadi racun bagi makhluk hidup lainnya.
Kekeruhan juga mempengaruhi jumlah oksigen dalam air buangan karena oksigen 21
tersebut dipergunakan untuk menguraikan senyawa organik (Andini, 2009).

d. Kekeruhan
Kekeruhan merupakan keadaan air yang kotor dan tidak jernih, buram, tidak
bening atau keruh. Kondisi limbah cair sebelum disaring adalah keruh. Penyaringan
limbah cair tahu dan tempe menggunakan saringan pasir diperoleh sampel air tidak keruh
karena air limbah yang sudah disaring tersebut bersifat optik serta bahan organik yang
ada di dalam limbah tersebut sudah tidak ada. Kekeruhan menunjukkan sifat optis air
yang menyebabkan pembiasan cahaya ke dalam air (Azhari, 2016).

Kekeruhan membatasi pencahayaan ke dalam air karena gaya tarik menarik antar
molekul yang terjadi antara benda-benda yang bersentuhan. Sekalipun ada pengaruh
padatan terlarut atau partikel yang melayang dalam air namun penyerapan cahaya
dipengaruhi bentuk dan ukurannya. Kekeruhan terjadi karena adanya bahan terapung dan
terurainya zat tertentu seperti bahan organik, jasad renik, lumpur, tanah liat dan benda
lain yang melayang ataupun terapung dan sangat halus. Sifat keruh air dapat dilihat
dengan mata secara langsung karena ada partikel kolodial (diameter 10-8 μ mm) yang
terdiri dari kwartz, tanah liat, sisa bahan-bahan, protein, dan ganggang yang terdapat
dalam limbah (Azhari, 2016).

e. pH

Air limbah indutri tempe sifatnya cenderung asam, pada keadaan asam ini akan
terlepas zat-zat yang mudah untuk menguap. Hal ini mengakibatkan limbah cair industri
tahu mengeluarkan bau busuk. pH sangat berpengaruh dalam proses pengolahan air
limbah. Baku mutu yang ditetapkan sebesar 6-9. Pengaruh yang terjadi apabila pH terlalu
rendah adalah penurunan oksigen terlarut. Oleh karena itu, sebelum limbah diolah
diperlukan pemeriksaan pH serta menambahkan larutan penyangga agar dicapai pH yang
optimal (Sayow et al., 2020).

f. Nitrogen

Nitrogen organik dan nitrogen amonia dapat ditentukan secara atlantik


menggunakan metode Kjeldahl, sehingga lebih lanjut konsentrasi keduanya dapat
dinyatakan sebagai Total Kjeldahl Nitrogen (TKN). Senyawa-senyawa N-Total adalah
senyawasenyawa yang mudah terkonversi menjadi amonium (NH4+) melalui aksi
mikroorganisme dalam lingkungan air atau tanah (Sayow et al., 2020).

2.3 Dampak Pencemaran Limbah Cair Industri Tempe

Berikut merupakan dampak pencemaran limbah cair industri tempe:


a. Limbah cair tempe dapat menurunkan konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan karena
saat proses penguraian zat organik membutuhkan oksigen. Keadaan tersebut sangat
membahayakan kehidupan organisme perairan tersebut (Novita et al., 2019). Selain itu,
umumnya konsentrasi ion hidrogen limbah cair tempe cenderung bersifat asam, sehingga
limbah yang dibuang ke perairan akan mengubah pH air dan dapat mengganggu
kehidupan organisme air (Sayow et al., 2020).
b. Menimbulkan bau busuk, karena sisa bahan organik yang tidak terurai secara aerob akan
diurai oleh bakteri anaerob (Novita et al., 2019).
c. Apabila dibuang langsung ke badan air maka dapat menurunkan daya dukung lingkungan
pada perairan, karena limbah mengandung bahan organik tinggi dan kadar BOD, COD
yang cukup tinggi (Sayow et al., 2020).
d. Biaya yang dibutuhkan untuk pengolahan air minum meningkat dan timbulnya senyawa
klororganik yang bersifat karsinogenik akibat proses klorinasi yang berlebihan (Fatimah,
2016).
e. Gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh air yang kotor dan sanitasi lingkungan yang
tidak baik (Fatimah, 2016).

2.4 Pengolahan Limbah Cair Industri Tempe

Tujuan utama pengolahan limbah cair adalah untuk mengurangi kandungan bahan
pencemar seperti senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba patogen, serta senyawa organik
yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di alam. Pengolahan dilakukan hingga
batas air limbah tidak mencemarkan lingkungan hidup. Efisiensi pengolahan limbah dengan
proses biologis anaerob hanya sekitar 70%-80%, sehingga air limbah masih mengandung kadar
pencemar organik cukup tinggi, serta bau yang masih ditimbulkan sehingga hal ini menyebabkan
masalah tersendiri (Fatimah, 2016).

Limbah industri tempe setelah diolah dengan biofilter diperoleh hasil efisiensi penurunan
rata-rata 98% untuk parameter BOD, COD, dan TSS, sehingga efluen yang dibuang ke sungai
sudah memenuhi baku mutu (Nuerhayati et al., 2011). Menurut Sugiharto (2014), secara garis
besar kegiatan pengolahan limbah cair dikelompokkan menjadi 6 bagian yaitu:

a. Pengolahan pendahuluan (pre treatment)


Dalam pengolahan pendahuluan dilakukan pembersihan-pembersihan supaya
mempercepat dan memperlancar proses pengolahan selanjutnya. Kegiatan tersebut
berupa pengambilan benda terapung dan pengambilan benda yang mengendap seperti
pasir dan kerikil. Pengolahan pendahuluan terdiri dari beberapa tahap meliputi
penyaringan (Screening), pemisahan pasir (Grit removal), pemisahan minyak dan lemak
(Grease removal), dan ekualisasi (Equalization).
b. Pengolahan pertama (primary treatment)
Tujuan pengolahan pertama adalah menghilangkan zat padat tercampur melalui
pengendapan atau pengapungan. Pengendapan merupakan kegiatan utama pada tahap ini
dan pengendapan yang dihasilkan pada kondisi tenang. Pengolahan kedua terdiri dari 2
jenis yaitu pengolahan secara kimia dan pengolahan secara fisik. Pengolahan kimia terdiri
dari netralisasi dan penggumpalan. Pengolahan fisik terdiri dari flotation, sedimentation,
dan filtration.
c. Pengolahan kedua (secondary treatment)
Pada umumnya pengolahan kedua mencakup proses biologis untuk mengurangi
bahan-bahan organik melalui mikroorganisme yang ada di dalamnya. Terdapat 2 hal
penting dalam proses biologis ini yaitu proses penambahan oksigen dan pertumbuhan
bakteri. Pengolahan yang umum digunakan pada tahap ini yaitu activated sludge,
anaerobic lagoon, trickling filter, aerated lagoon, stabilization basin, rotating biological
contactor, serta anaerobic contactor and filter.
d. Pengolahan ketiga (tertiary treatment)
Pengolahan ini merupakan kelanjutan dari pengolahan-pengolahan terdahulu.
Sehingga, pengolahan jenis ini baru akan digunakan apabila pada pengolahan pertama
dan kedua masih banyak zat tertentu yang berbahaya bagi manusia. Proses pengolahan
tahap ketiga adalah coagulation and sedimentation, filtration, carbon adsorption, ion
exchange, membrane separation, dan thickening gravity or flotation.
e. Pembunuhan kuman (disinfection)
Disinfection bertujuan untuk mengurangi atau membunuh mikroorganisme
patogen yang ada di limbah cair. Pembunuhan bakteri dapat dilakukan dengan klorinasi
dan ozonisasi. Klorinasi dengan bahan kimia dapat mematikan bakteri dengan cara
merusak atau menginaktifkan enzim utama, sehingga terjadi kerusakan dinding sel.
Ozonisasi dapat merusak langsung dinding sel seperti yang dilakukan apabila
menggunakan bahan radiasi atau panas.
f. Pembuangan lanjutan (ultimate disposal)
Pengolahan lumpur yang masih sedikit mengandung bahan nitrogen dan
mempermudah proses pengangkutan, maka perlu beberapa tahap pengolahan yaitu proses
pemekatan, penstabilan, pengaturan, pengurangan air, pengeringan, dan pembuangan.
2.5 Kerangka Teori

Industri Tempe

Karakteristik Dampak Pengolahan Limbah


Pengertian Industri
Limbah Industri Pencemaran Limbah Cair Industri Tempe
Tempe Cair Industri Tempe

Pengertian Tempe a. Pre treatment


b. Primary
a. BOD a. Penurunan treatment
b. COD konsentrasi c. Secondary
Proses Produksi oksigen terlarut
c. TSS treatment
Tempe b. Bau busuk
d. Kekeruhan d. Tertiary
e. pH c. Penurunan daya treatment
f. Nitrogen dukung e. Disinfection
lingkungan f. Ultimate
perairan disposal
d. Biaya
pengolahan air
minum
meningkat
e. Gangguan
kesehatan

Gambar 3. Kerangka Teori


DAFTAR PUSTAKA

Alvina et al. (2019). Proses Pembuatan Tempe Tradisional. Jurnal Pangan Halal. 1(1). 1-4.
Andini, S. (2009). Pengaruh Pengolahan Anaerobik Biofilter Menggunakan Em4, Sedimentasi,
dan Filtrasi Terhadap Kadar BOD dan TSS Limbah Cair Industri Tempe Dusun Kasihan,
Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Skripsi. Program D-III Jurusan Kesehatan
Lingkungan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Yogyakarta.
Aryanta. (2020). Manfaat Tempe Untuk Kesehatan. E-Jurnal Widya Kesehatan. 2(1). 44-50.
Atima, W. 2015. BOD dan COD sebagai Parameter Pencemaran Air dan Baku Mutu Air
Limbah. Jurnal Biology Science dan Education 4(1): 83-93.
Azhari, M. (2016). Pengolahan Limbah Tahu dan Tempe dengan Metode Teknologi Tepat Guna
Saringan Pasir sebagai Kajian Mata Kuliah Pengetahuan Lingkungan. Media Ilmiah
Teknik Lingkungan, 1(2), 1–8. https://doi.org/10.33084/mitl.v1i2.140
Badan Standarisasi Nasional.(2012). Tempe: Persembahan Indonesia untuk Dunia. Jakarta:
PUSIDO BSN
Ellent et al. (2022). Karakteristik Mutu Tempe Kedelai (Glycine max L.) yang Dikemas dengan
Klobot. Jurnal Teknologi Pertanian. 11(1). 32-40.
Fatimah, N. (2016). Evektifitas Sedimentasi dan Fitoremediasi Bak Ganda Tanaman Bambu Air
untuk Menurunkan BOD, COD, dan TSS Limbah Cair Tahu di Ngoto, Bangunharjo,
Sewon, Bantul. Skripsi. Program D-IV Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta. Yogyakarta.
Fikri, E. (2019). Pedoman Pemeriksaan Parameter Air Limbah di Laboratorium. Cetakan 1.
Buku Kedokteran UGC. Jakarta.
Kemenkes. (2022). Tempe Makanan Sederhana yang Bergizi.
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1755/tempe-makanan-sederhana-yang-bergizi.
Diakses pada tanggal 11 November 2023.
Maulana, L., Suprayogi, A., & Wijaya, A. P. (2015). ANALISIS PENGARUH TOTAL
SUSPENDED SOLID DALAM PENENTUAN KEDALAMAN LAUT DANGKAL
DENGAN METODE ALGORITMA VAN HENGEL DAN SPITZER. 4.
Novita, E., Hermawan, A. A. G., dan Wahyuningsih, S. (2019). Komparasi Proses Fitoremediasi
Limbah Cair Pembuatan Tempe menggunakan Tiga Jenis Tanaman Air. Jurnal
Agroteknologi 13(1): 16-24.
Nurhayati, I., Asmoro, P., dan Sugito, S. (2011). Pengolahan Air Limbah Pabrik Tempe dengan
Biofilter. Jurnal Teknik Unipa 9(2): 1-5.
Puspawati, S. W. (2017). Alternatif Pengolahan Limbah Industri Tempe dengan Kombinasi
Metode Filtrasi dan Fitoremediasi. Seminar Nasional Teknologi Pengolahan Limbah
1(1): 129-136.
Sayow, F., Polii, B. V. J., Tilaar, W., & Augustine, K. D. (2020). ANALISIS KANDUNGAN
LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN TEMPE RAHAYU DI KELURAHAN UNER
KECAMATAN KAWANGKOAN KABUPATEN MINAHASA. AGRI-
SOSIOEKONOMI, 16(2), 245. https://doi.org/10.35791/agrsosek.16.2.2020.28758
Sugiharto. (2014). Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Edisi pertama, Cetakan pertama. UI
Press. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai