Anda di halaman 1dari 5

NAMA : MUHAMMAD LUTFI PRIATNA

NIM : 7011220059
PRODI : TEKNIK SIPIL
UNIVETRSITAS GALUH CIAMIS
RESUME LANDFILLING

1.1 Abstrak
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
tempat pemrosesan akhir (TPA) atau landfill adalah tempat terakhir pengelolaan sampah. TPA
menjadi tempat sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap
lingkungan sekitarnya. Inilah yang menyebabkan diperlukan penyediaan fasilitas dan
perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik.
Berdasarkan data dari Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) tahun 2007 tentang
kondisi TPA di Indonesia, sebagian besar TPA di Indonesia merupakan open dumping atau
tempat penimbunan sampah terbuka, sehingga menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.
Data menyatakan bahwa 90% TPA dioperasikan dengan open dumping dan hanya 9% yang
dioperasikan dengan controlled landfill dan sanitary landfill. Perbaikan kondisi TPA di sinilah
sangat diperlukan dalam pengelolaan sampah skala kota.

1.2 Pengertian Lanfill


TPA atau landfill adalah tempat untuk membuang sampah dan bahan limbah lainnya.
Tempat ini dirancang untuk meminimalkan dampak sampah terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan. TPA ditimbun dengan lapisan dari tanah liat dan plastik tipis, lalu
ditimbun lagi dengan beberapa meter tanah agar tanaman bisa tumbuh di atasnya.
Beberapa TPA akan mengalami dekomposisi seiring berjalannya waktu, meskipun
dirancang hanya untuk menampung sampah. Proses dekomposisi di TPA akan menghasilkan
metana, yaitu gas yang berbahaya dan mudah terbakar. Sejumlah penelitian menemukan bahwa
metana menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan. TPA menjadi subsistem
penting dalam pengelolaan sampah. TPA merupakan tempat berakhirnya proses pewadahan
pengumpulan, pengangkutan, pemilahan daur ulang, hingga pembuangannya.
1.3 Jenis-Jenis Metode Pembuangan Akhir
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-2454-2000, terdapat beberapa metode
pembuangan akhir sampah, yakni:
1. Open Dumping
Metode ini adalah metode pembuangan akhir yang dianggap paling sederhana karena
tidak adanya perlakuan khusus terhadap sampah, serta operasinya sangat mudah.
Sampah yang masuk hanya ditumpuk begitu saja tanpa adanya pemrosesan lebih lanjut.
2. Controlled Landfill
Metode pengelolaan sampah ini meliputi penimbunan, perataan, dan pemadatan.
Setelah kapasitas lahan yang digunakan untuk menampung sampah penuh, timbunan
sampah diberi lapisan penutup dengan periode waktu yang sudah ditentukan.
3. Sanitary Landfill
Metode ini adalah metode yang paling rumit dibandingkan dengan dua metode
sebelumnya. Biaya yang digunakan juga relatif tinggi, tetapi berdampak positif untuk
masyarakat yang tinggal di sekitar TPA. Pada metode ini, sampah ditumpuk hingga
mencapai ketebalan tertentu, dipadatkan, dilapisi tanah, dan dipadatkan kembali.
Selanjutnya, sampah dapat dihamparkan lagi di lapisan tanah paling atas,
begitu seterusnya.
4. Landfill Mining
Land disposal atau penyingkiran limbah ke dalam tanah merupakan cara yang paling
umum ditemukan dalam pengelolaan limbah. Metode penyingkiran limbah ke dalam
tanah ini dilakukan dengan pengurugan atau penimbunan yang dikenal sebagai
landfilling, yang diterapkan mula–mula terhadap sampah kota (Damanhuri, 2010).
Pada saat ini, landfill mining adalah strategi baru yang dapat digunakan untuk
mengembalikan sumber daya dan material yang bisa dimanfaatkan kembali. Konsep
enhanced landfill mining (ELFM) adalah konsep landfill mining yang telah diperbarui,
yang berarti sebagai landfill mining yang diperluas.

Pengurugan (Lanfilling) Sampah


2.1 Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) secara Umum
Penyingkiran limbah ke dalam tanah (land disposal ) merupakan cara yang paling sering
dijumpai dalampengelolaan limbah. Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan
pengurugan atau penimbunandikenal sebagailandfilling, yang diterapkan mula-mula pada
sampah kota. Cara ini dikenal sejak awaltahun 1900-an, dengan nama yang dikenal sebagai
sanitary landfill , karena aplikasinya memperhatikanaspek sanitasi lingkungan.
Metode tersebut dikembangkan dari aplikasi praktis dalam peyelesaian masalah sampah
yang dikenalsebagaiopen dumping. Open dumping tidak mengikuti tata cara yang sistematis
serta tidakmemperhatikan dampak pada kesehatan. Metode sanitary landfill kemudian
berkembang denganmemperhatikan juga aspek pencemaran lingkungan lainnya, serta
percepatan degradasi dansebagainya, sehingga terminology sanitary landfill sebetulnya sudah
kurang relevan untuk digunakan.
Landfilling dibutuhkan karena:
 Pengurangan limbah di sumber, daur-ulang, atau minimasi limbah, tidak dapat
menyingkirkan limbahsemuanya
 Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut
 Kadangkala sebuah limbah sulit untuk diuraikan secara biologis, atau sulit
untuk dibakar, atau sulit untuk diolah secara kimia.
Metode landfilling saat ini digunakan bukan hanya untuk menangani sampah kota. Beberapa
hal yangperlu dicatat adalah:
 Banyak digunakan untuk menyingkirkan sampah, karena murah, mudah dan luwes.
 Digunakan pula untuk menyingkirkan limbah industri, seperti sludge (lumpur) dari
pengolahan limbahcair, termasuk limbah berbahaya.
 Bukan pemecahan masalah limbah yang baik. Dapat mendatangkan
pencemaran lingkungan,terutama dari lindi (leachate) yang mencemari air tanah.
 Untuk mengurangi dampak negatif dibutuhkan pemilihan lokasi yang tepat, penyiapa
n prasaranayang baik dengan memanfaatkan teknologi yang sesuai, dan dengan
pengoperasian yang baik pula

2.2 Perkembangan Landfill


Berikut ini adalah uraian tentang perkembangan landfilling mulai dari awal
keberadaannya sebagai sarana penanganan sampah kota:
Mengisi lembah
Pada awalnya landfilling sampah dilaksanakan pada lahan yang tidak produktif,
misalnya bekaspertambangan, mengisi cekungan-cekungan (lihat Gambar 9.1). Cara ini
dikenal dengan metodepit atau canyon atauquarry Dengan demikian terjadi reklamasi
lahan, sehingga lahan tersebutmenjadi baik kembali.
Mengupas site
Dengan terbatasnya site yang sesuai , maka dilakukan pengupasan site sampai
kedalamantertentu (lihat Gambar 9.2). Dikenal sebagai metode Slope (ramp). Perlu
diperhatikan:
 tinggi muka air tanah
 struktur batuan / tanah keras
 peralatan pengupasan / penggalian yang dimiliki
Dengan demikian akan diperoleh tanah untuk bahan penutup. Kadangkala pengupasan site
tidakdilakukan sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap. Terbentuk parit-parit tempat
pengurugan sampah(lihat Gambar 9.3 di bawah). Cara ini dikenal sebagai metode parit (trench)

2.3 Jenis landfill


Berdasarkan penanganan sampahnya Dilihat dari bagaimana sampah ditangani sebelum
diurug, maka dikenal beberapa jenis aplikasi ini, yaitu:
o Pemotongan sampah terlebih dahulu [62]:
 Sampah dipotong dengan mesin pemotong 50-80 mm sehingga menjadi lebih
homogen, lebihpadat (0,8 – 1,0 ton/m3), dapat ditimbun lebih tebal (> 1,5 M)
 Dapat digunakan sebagai pengomposan (aerobik) in-situ dengan ketingian sel-sel 50
cm,sehingga memungkinkan proses aerobik yang menghasilkan panas sehingga
dapatmenghindari lalat
 Binatang pengerat (tikus dsb) berkurang karena rongga dalam timbunan
berkurang /dihilangkan, dan timbunan lebih padat
 Bila tidak ada masalah bau, maka tidak perlu tanah penutup
 Degradasi (pembusukan) lebih cepat sehingga stabilitas lebih cepat
 Butuh alat pemotong sehingga biaya menjadi mahal
o Pemadatan sampah dengan baling
 Banyak digunakan di Amerika Serikat
 Sampah dipadatkan dengan mesin pemadat menjadi ukuran tertentu (misalnya
bervolume 1m3). Kepadatan mencapai 1,0 ton/m3atau lebih
 Transportasi lebih murah karena sampah lebih padat, dan benbentuk praktis
 Pengurugan di lapangan lebih mudah (denganfork-lift)
 Pengaturan sel lebih mudah dan sistematis
 Butuh investasi dan operasi alat/mesin. Biaya menjadi sangat mahal
 Dihasilkan lindi hasil pemadatan yang perlu mendapat perhatian
o Landfill tradisional:
 Cara yang dikenal di Indonesia sebagai sanitary landfill
 Sampah diletakkan lapis perlapis (0,5-0,6m) sampai ketinggian 1,2 - 1,5 m
 Urugan sampah membentuk sel-sel (Gambar 9.6) dan membutuhkan ketelitian operasi
alatberat agar teratur
 Kepadatan sampah dicapai dengan alat berat biasa (dozer atau loader ) dan mencapai
0,6 - 0,8ton/m3
 Membutuhkan penutupan harian 10 - 30 cm, paling tidak dalam 48 jam
 Kondisi di lapisan (lift ) teratas bersifat aerob (ada oksigen), sedang bagian bawah
anaerob(tidak ada oksigen) sehingga dihasilkan gas metan
 Bagian-bagian sampah yang besar diletakkan di bawah agar tidak terjadi rongga

Anda mungkin juga menyukai