Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

GANGGUAN BERKEMIH PASCA SALIN


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Patofisiologi Kasus Kebidanan

Disusun oleh:
1. Indah P07124523054 13 Muna Keke Dandi P07124523068
Sulistyawati .
2. Ayu Ukhviyati P07124523055 14 Rini Mulya Sari P07124523069
.
3. Rofitra V. P. P07124523056 15 Fathina Sri P07124523071
. Hadiqoh
4. Astri Oktaviani P07124523057 16 Cut Fatinah P07124523072
.
5. Marsita Putri P07124523059 17 Kun Khikmatul A. P07124523073
M. .
6. Kristofora P07124523060 18 Ayu Rizqi K. P07124523078
Salomi .
7. Vivy Budi M. P07124523061 19 Asri Wahyuningsih P07124523079
D. .
8. Riskawati M. P07124523063 20 Ani Rahmawati P07124523081
.
9. Sarmila P07124523064 21 Risnaaulia N. P07124523103
.
10. Medelin Imelda P07124523065 22 Rizki Dwi P07124523107
P. . Oktaviana
11. Novi P07124523066 23 Inas Nafi'Ah P07124523119
Rahmadani .
12. Meliya Nevy J. P07124523067 24 Intan Khoirunnisa P07124523121
. H.

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
YOGYAKARTA
PRODI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Gangguan Berkemih Pasca Salin” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Patofisiologi Kasus Kebidanan. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membagi pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari, makalah yang disusun ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Yogyakarta, Juli 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu pengembangan milenium memiliki tujuan untuk mengurangi
angka kematian ibu nifas tahun 2000 hingga menjadi tiga perempat pada
tahun 2015. Dari penelitian World Health Organization (WHO)
memperkirakan dari 8000 perempuan meninggal sekitar 99% dari seluruh
kematian ibu terjadi di negara berkembang. Sekitar 80% kematian meternal
merupakan akibat meningkatnya komplikasi selama kehamilan, persalinan
dan setelah persalinan. (WHO,2014)
Penelitian Ummah pada 2015 mengiput data berdasarkan hasil dari SDKI
bahwa target MDGs yaitu AKI sudah mencapai 102/100.000 perkelahiran
hidup pada tahun 2015, dan mengambil data dari penelitian Wardah pada
tahun 2013 menyebutkan bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia
masih sangat memperhatikan karena jumlah kematian ibu di Indonesia pada
tahun 2012 mengalami peningkatan yaitu 359/100.000 kelahiran hidup,
padalah pada tahun 2007 angka kematian Ibu di Indonesia adalah
228/100.000 perkelahiran hidup (Ummah,2015). Dari jumlah kematian
tersebut di perkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi
setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi 24 jam pertama.
(Saifuddin,2010)
Penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2013 dari hampir 4 tahun
kelahiran, sekitar 3 jutaan kelahiran adalah persalinan per vagina (Martin,
Hamilton, Osterman, Curtin & Matthews, 2013). Dan berdasarkan studi
pendahuluan dalam penelitian Prawitasari, Yugistyowati dan Sari yang
meneliti di RSUD Muntilan Kabupaten Magelang menyebutkan bahwa dari
persalinan normal pada tahun 2013 sampai 2014 didapatkan 612 orang
dengan persalinan normal (spontan).
Dalam proses melahirkan akan terjadi perlukaan pada perineum baik itu
karena robekan spontan maupun episiotomi. Di Indonesia 75% ibu
melahirkan pervagina mengalami luka perineum. Pada tahun 2013 dari total
1951 kelahiran spontan pervagina 57% ibu mendapat jahitan perineum (28%
karena episiotomi dan 29% karena robekan spontan) (Depkes RI.2013).
Dalam penelitian Khasanah dan Widati ambil dari penelitian Richard
menunjukan bahwa 85% dari perempuan yang akan melahirkan secara
spontan normal dan akan terjadi trauma perineum. (Khasanah & Widati,2016)
Adanya beberapa masalah diatas berdampaklah pada wanita merasa tidak
ingin kencing sama sekali, yang lain merasa ingin kencing tetapi disertai
dengan rasa nyeri dan terbakar (Jassani,2015). Sedangkan wanita yang tidak
dapat berkemih secara spontan dalam waktu 6 jam setelah persalinan
pervagina dikategorikan memiliki retensi urine. (Cavkaytar, Kokanali,
Baylas, Topcu, Laleli & Tasci 2014)
Kandung kemih dalam perineum akan berkurang sensitifitasnya dan
kapasitasnya bertambah,sehingga kandung kemih penuh atau sesudah kencing
masih tertinggal urine residual (normal ±15 cc). Sisa urine dan trauma pada
kandung kemih waktu persalinan memudahkan terjadinya infeksi.
(Novianti,2015)
Angka kejadian retensio urin bervariasi antara 1,7-17,9% akibat
bervariasinya definisi dan metode dan metode penelitian. Ching-chung,dkk.
Melaporkan angka kejadian retensio urin postpartum adalah 4%. Andolf, dkk.
Dalam sebuah studi case control prospektif menemukan bahwa 8(1,5) dari
530 wanita mengalami PUR setelah persalinan pervagina. Di Indonesia angka
PUR sekitar 14,8%. Penelitian Pribakti di RSUD Ulin Banjarmasin
melaporkan 11 kasus retensio urin postpartum dari 2.850 persalinan pada
tahun 2008-2009, sebanyak 8 kasus (81,8%) pada persalinan spontan per
vagina, vakum ekstraksi sebanyak 2 kasus (18,2) dan section caesarea
sebanyak 1 kasus (1%).
Insiden terjadinya retensio urine pada wanita sekitar 0,07% per 1000
populasi wanita, dimana lebih dari setengahnya terjadi setelah pembedahan
atau post partum. Penelitian di Amerika tahun 2001 mencatat kejadian
retensio urine post partum 1,7% sampai 17,9%, dan pada tahun 2007 tercatat
kejadian retensio urine post partum di laporkan 14,8% dan 25,7%. Dalam
kemampuan berkemih pasca operasi, retensio urine dialami oleh 15,0%
penderita mengalami histerektomi vagina, dibandingkan 4,8% pasca
histerektomi total abdominalis, sedangkan penderita yang mengalami
histerektomi vagina dengan kolporafia 29% mengalami retensio urine. Angka
kejadian retensio urine di Ruang nifas RSUD Kota Mataram sebanyak 10
kasus.
Banyakya masalah pada sistem perkemihan dalam 24 jam pertama pasca
persalinan sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk memberikan
perawatan yang tepat dengan mengidenfikasi masalah sendini mungkin dalam
rangka memberikan asuhan kebidanan yang baik pada ibu, sehingga
perubahan yang terjadi perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan terutama
bidan. Jika perubahan diatas tidak mendapatkan perawatan dengan adekuat
akan berdampak pada adanya permasalahn pada ibu yang akan berimbas pada
kesejahteraan bayi yang dilahirkannya karena bayi tersebut tidak aka
mendapatkan perawatan maksimal dari ibunya. (Wahidah.2017)
Berdasarkan penjelasan diatas, maka pada makalah ini akan membahas
tentang gambaran sistem perkemihan pada ibu postpartum spontan pada 24
jam pertama.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah apa gangguan berkemih
pasca salin?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami patofisiologi kasus
kebidanan pada gangguan berkemih pasca salin.
2. Tujuan Khusus:
a) Mengetahui pengertian dari retensio urin
b) Mengetahui klasifikasi retensio urin
c) Mengetahui anatomi dan fisiologi sistem perkemihan
d) Mengetahui etiologi retensio urin
e) Mengetahui manifestasi klinis retensio urin
f) Mengetahui faktor resiko retensio urin
g) Mengetahui patofisiologi retensio urin
h) Mengetahui pengukuran dan penilaian retensio urin
i) Mengetahui pemeriksaan penunjang retensio urin
j) Mengetahui komplikasi retensio urin
k) Mengetahui penatalaksanaan retensio urin
D. Manfaat
Mahasiswa memiliki wawasan yang luas dalam pengetahuan ilmu
patofisiologi kasus kebidanan khususnya pada gangguan berkemih pasca
salin. Diharapkan mahasiswa juga dapat memahami review jurnal terkait
gangguan berkemih pasca salin.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................


A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah ................................................................................
C. Tujuan ..................................................................................................
D. Manfaat.................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................


A. Definisi Retensio Urin .........................................................................
B. Klasifikasi Retensio Urin .....................................................................
C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan .........................................
D. Etiologi ................................................................................................
E. Manifestasi Klinis ................................................................................
F. Faktor Risiko .......................................................................................
G. Patofisiologi .........................................................................................
H. Pengukuran dan Penilaian ....................................................................
I. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................
J. Komplikasi ...........................................................................................
K. Penatalaksanaan ...................................................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................
A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi retensio urin


Disfungsi buang air kecil pasca post partum didefinisikan
sebagai kegagalan buang air kecil secara spontan dalam waktu
enam jam setelah persalinan pervaginam atau pelepasan kateter.
Termasuk retensio urin yang merupakan ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih secara normal (Royal College of
Physicians of Ireland, 2018).
Retensio urin adalah akumulasi urine yang ada dalam
kandung kemih akibat ketidakmampuan pengosongan kandung
kemih, sehingga menimbulkan rasa tegang, tidak nyaman, nyeri
tekan pada simfisis, gelisah dan terjadi diaphoresis (berkeringat)
(Polat et al., 2018).
Retensio urin Post Partum didefinisikan sebagai tidak adanya
proses berkemih spontan yang dimulai 6 jam pasca persalinan
pervaginam dengan residu urine lebih dari 200 ml. (Anugerah et
al., 2017).

B. Klasifikasi retensio urin


Retensio urin diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu Retensio urin
terbuka (overt) dan terselubung (covert). Retensio urin terbuka
mengacu pada ketidakmampuan berkemih disertai tanda dan
gejala yang jelas yaitu wanita pasca postpartum kesulitan
berkemih lebih dari 6 jam, sedangkan terselubung terjadi pada
wanita asimptomatik retensio urin dengan postvoid kandung
kemih lebih dari 150 ml dideteksi dengan ultrasonografi atau
dengan kateterisasi saat berkemih spontan (Mulder et al., 2016).
Choe et al. (2018) mengatakan bahwa PVR (Postvoid
Residual Urine) yang lebih tinggi terdapat pada kelahiran anak
pertama hal ini terjadi karena durasi yang lebih lama pada
persalinan dan episiotomi pada gravida.
Ada juga yang membagi ke dalam 2 jenis yaitu retensio urin
akut dan kronis. Retensio urin akut yaitu seseorang yang kesulitan
buang air kecil, distensi kandung kemih, nyeri dan
ketidaknyamanan didaerah perut bagian bawah, sedangkan kronis
terjadi tanpa gejala (asimptomatis), pasien tidak menyadari
peregangan berlebih pada kandung kemih sehingga kontraksi
tidak efektif yang menyebabkan urine masih tersisa (Jorge &
Mazzo, 2018).

C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan

Sumber : (American Urology


Association,2020)

Gambar 1.1 Sistem Perkemihan Wanita


Sistem perkemihan atau sistem urinaria adalah suatu sistem
dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas
dari zat - zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap
zat - zat yang masih di pergunakan oleh tubuh. Sistem perkemihan
berfungsi membentuk urine , mengatur keseimbangan cairan dan
mineral ekskresi zat sisa metabolisme, menyimpan nutrien,
mengatur keseimbangan asam basa, mensekresi hormon untuk
stimulasi produksi eritrosit, mengatur tekanan darah dan
metabolisme kalsium (Saunders, 2013)

1. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti biji
kacang , dikelilingi oleh bantalan lemak yang tebal.
Jumlahnya ada 2 buah kiri dan kanan. Ginjal kanan lebih
rendah dari ginjal kiri, disebabkan adanya lobus hepatis
dexter yang besar.(Saunders, 2013)
Ginjal memiliki fungsi yang besar yaitu menerima 25 %
curah jantung yang berasal dari aorta melalui arteri renalis
dan kembali ke vena kava inferior melalui vena renalis Pada
orang dewasa, panjang ginjal mencapai 13 cm, lebarnya 6 cm
dan berat keduanya 120-150 gram (Hidayati, 2019).
2. Ureter
Ureter Terdiri dari 2 saluran pipa masing - masing
bersambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinearia)
panjangnya 25-30 cm dengan penampang + 0,5 cm . Ureter
sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian
terletak dalam rongga pelvis . Lapisan dinding ureter terdiri
dari dinding luar jaringan ikat ( jaringan fibrosa ), lapisan
tengah otot polos dan lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
(Hidayati, 2019).
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan - gerakan
peristaltik tiap 5 menit sekali yang akan mendorong air kemih
masuk ke dalam kandung kemih ( vesika urinearia ). Ureter
memasuki kandung kemih

menembus otot detrusor didaerah trigonum kandung kemih


(Hidayati, 2019).
Normalnya ureter berjalan secara oblique sepanjang
beberapa sentimeter menembus kandung kemih yang disebut
ureter intramural kemudian berlanjut pada ureter submukosa.
Tonus otot normal dari otot detrusor pada dinding kandung
kemih cenderung menekan ureter, dengan demikian
mencegah aliran balik urine dari kandung kemih saat terjadi
tekanan di kandung kemih.
Setiap gelombang peristaltik yang terjadi sepanjang
ureter akan meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga
bagian yang menembus kandung kemih membuka dan
memberi kesempatan urine mengalir ke dalam kandung
kemih. Pada saat urine terkumpul di kandung kemih, ureter
akan tertekan dan kemudian membentuk suatu katup yang
mampu mencegah refluks urine terjadi.
3. Vesika Urinaria
Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis
seperti balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di
dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut
yang dikelilingi oleh otot yang kuat. Dinding kandung kemih
terdiri dari beberapa lapisan yaitu , peritonium (lapisan luar),
tunika muskularis, tunika submukosa dan lapisan mukosa
(lapisan dalam) (Hidayati, 2019).
Letak kandung kemih yang berada di bawah uterus inilah
yang menyebabkan berkurangnya kapasitas pada saat
kehamilan sehingga pada ibu hamil frekuensi berkemih
menjadi lebih sering. Struktur kandung kemih terdiri dari 3
lapisan otot detrusor yang saling beranyaman. Pada dinding
kandung kemih terdapat 2 bagian yang besar dengan ruangan
yang berdinding otot polos adalah sebagai berikut (Muttaqin
& Sari, 2011) :
a. Badan (Korpus) yaitu bagian utama kandung kemih
dimana urine berkumpul

b. Leher (kolum) yaitu lanjutan dari badan yang


berbentuk corong, berjalan secara inferior dan anterior
kedalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan
dengan uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher
kandung kemih disebut uretra posterior karena
hubungannya dengan uretra.
Sel sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama
lain sehingga menimbulkan aliran listrik berhambatan rendah
dari satu sel otot ke sel yang lain. Oleh karena itu, potensial
aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu otot
sel ke sel otot yang berikutnya sehingga terjadi kontraksi
seluruh kandung kemih.
Persarafan utama kandung kemih adalah nervus pelvikus,
yang berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus
sakralis, terutama berhubungan dengan medula spinalis
segmen S2 dan S3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini
adalah serat saraf motorik.
Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding
kandung kemih. Tanda-tanda regangan dari uretra posterior
bersifat sangat kuat dan terutama bertanggung jawab untuk
mencetuskan refleks yang menyebabkan kandung kemih
melakukan kontraksi pada proses berkemih.
Beberapa saraf sensorik juga berjalan melalui saraf
simpatis dan mungkin yang dapat menimbulkan sensasi rasa
penuh dan ada beberapa keadaan yang merasakan nyeri.
Kandung kemih dapat menampung urine sekitar 700-800 ml,
tetapi keinginan untuk berkemih dapat muncul saat jumlah
urine mencapai 300 ml. Dalam kondisi normal output urine
dalam 24 jam sekitar 1400-1500 ml atau sekitar 30-50 ml per
jam (Haryono, 2013).
4. Uretra
Uretra merupakan saluran pengeluaran urine yang paling
akhir di vesika urinearia yang berbentuk tabung dengan
fungsi sebagai penyalur air kemih untuk dikeluarkan tubuh.
Secara anatomis uretra

dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra


anterior (Muttaqin & Sari, 2011).
Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang
terletak pada perbatasan kandung kemih dan uretra, serta
sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior. Sfingter uretra terdiri atas otot polos
yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat
kandung kemih penuh, sfingter ini terbuka (Muttaqin & Sari,
2011).
Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris
dipersrafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai
keinginan seseorang. Pada saat miksi sfingter ini terbuka dan
tetap tertutup pada saat menahan urine (Muttaqin & Sari,
2011). Fisiologi dalam pembentukan urine dalam (Manuaba
et al., 2010).

Mekanisme kencing ditentukan oleh dua faktor antara lain :


a. Upaya untuk menutup uretra dengan komponennya
Tonus dan elastisitas uretra dengan terdapat otot-otot
yang masih berfungsi baik seperti otot polos disekitar
uretra, otot kompressor uretra yang terdiri dari muskulus
transversus perinei profunda, muskulus sfingter uretra.
Pembuluh darah yang melayani uretra juga terdapat alfa
reseptor N simfatikus yang bila dirangsang menimbulkan
kontraksi uretra.
b. Berfungsinya otot detrusor vesikalis
Dikendalikan oleh N Parasimfatikus dengan perantara
acetylcholine menimbulkan rangsangan kontraksi untuk
berkemih, pada vesika urinearia terdapat betha reseptor
untuk N Simfatikus yang akan menyebabkan relaksasi
sehingga vesika urinearia semakin mengembang dan dapat
menahan kencing untuk sementara waktu. .

D. Etiologi
Perubahan fisiologi selama kehamilan berlangsung,
penggunaan analgesik regional, persalinan dengan menggunakan
instrumen, trauma perineum, nulipara dan persalinan yang lama
dapat menjadi penyebab retensio urin. Deteksi awal persisten
sangat penting untuk mencegah kerusakan irreversibel akibat
penumpukan urine berlebih pada kandung kemih (Petrana et al.,
2016).
Pada kehamilan, nada kandung kemih telah berkurang akibat
perubahan hormonal, memungkinkan peningkatan kapasitas
penyimpanan untuk peningkatan produksi urin. Panjang intra
uretra juga memanjang untuk mengurangi stres inkontinensia urin
selama kehamilan. Perubahan ini biasanya akan selesai
postpartum tanpa efek jangka panjang. Namun segera setelah
melahirkan, tonus kandung kemih tetap berkurang sehingga rentan
over distension yang diperparah oleh diuresis fisiologis
postpartum (Home and Community Care /Medical Aids Subsidy
Scheme Continence Project, 2011).
Tindakan vakum ekstraksi dan persalinan yang lama dapat
menyebabkan trauma mekanik berupa peregangan jaringan
dinding dasar pelvis dan meningkatkan udem perineal serta
menyebabkan kerusakan nersus pudendus yang dapat
mengakibatkan gangguan perkemihan (Petrana et al., 2016).
Persalinan pervaginam juga dapat menyebabkan obstruksi
pada uretra akibat edema perineum, hematoma atau trauma
kandung kemih secara langsung. Trauma saraf panggul dan
pudendal dapat mengganggu inisiasi berkemih (Lim, 2010).
Retensi urine dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi di
leher, kandung kemih, obstruksi uretra (striktur), kontraksi uretra
saat berkemih, kurang sensasi buang air kecil, disfungsi
neurologis, Infeksi saluran kemih, efek pengobatan, nyeri yang
melebihi sensasi kandung kemih yang normal, penyebab
psikologis (Royal College of Nursing, 2019).

Nyeri yang disebabkan oleh cedera otot perineum dan uretra


selama persalinan dapat membuat kesulitan buang air kecil karena
otot dasar panggul tidak cukup rileks untuk memulai berkemih.
Persalinan kala satu dan dua yang berkepanjangan juga dapat
menyebabkan cedera saraf panggul karena tekanan
berkepanjangan (Lim, 2010).
Selama proses melahirkan dapat terjadi trauma pada uretra
dan kandung kemih yakni sewaktu bayi melewati jalan lahir serta
timbul rasa nyeri pada panggul yang disebabkan akibat dorongan
saat melahirkan, episiotomi yang dapat menurunkan atau
mengubah reflek berkemih yang beresiko menyebabkan retensio
urin sehingga terjadi distensi kandung kemih (Ermiati, 2012).
Perubahan fisiologis sistem perkemihan dapat bertahan 6
hingga 8 minggu selama periode post partum yang dapat
mengakibatkan disfungsi kandung kemih. Retensio urin pada ibu
postpartum pervaginam terutama pada primipara berhubungan
dengan peregangan dasar panggul dan kerusakan nervus pudendus
sesaat setelah persalinan namun kembali normal setelah 3 bulan
(Milart et al., 2018).

Persalinan pervaginam adalah peristiwa traumatis fungsi


kompleks karena tidak hanya mempengaruhi anatomi dan otot
dasar panggul tetapi juga memiliki efek pada pudendal konduksi
saraf dan mungkin menyebabkan obstruktif periuretra dan vulva.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa episiotomi, analgesia
epidural dan berat lahir mandiri mempengaruhi fungsi kandung
kemih postpartum secara negatif (Mulder et al., 2016).

E. Manifestasi Klinis
Retensio urin terjadi ketika kesulitan mengalami buang air
kecil atau mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Jika
dibiarkan maka urine yang tertinggal dapat menumpuk seiring
waktu ditandai dengan: rasa nyeri atau ketidaknyamanan
kandung kemih. Secara klinis, kandung kemih yang empuk,
teraba, dan membengkak dengan gejala kesulitan buang air kecil
maka disfungsi dapat terjadi (Royal College of Physicians of
Ireland, 2018).
Gangguan berkemih adalah hesitansi (memulai buang air
kecil) ditandai dengan kesulitan mengeluarkan urine, pancaran
lemah atau intermitten, saat berkemih disertai mengejan dan
merasa tidak lampias setelah berkemih (Djusad, 2020).
Retensio urin ditandai dengan volume kandung kemih
postvoid yang tersisa ≥ 150 ml atau ketidakberdayaan untuk
berkemih dalam 6 jam setelah persalinan melalui vagina atau
dapat berkemih namun dengan volume urine <100 ml (Royal
College of Physicians of Ireland, 2018)
Tanda dan gejala dengan disfungsi kandung kemih harus
dicurigai dengan pasien yang memiliki volume berkemih kecil,
frekuensi berkemih lambat atau intermittent, ketegangan saat
berkemih, pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap, nyeri
pada kandung kemih atau tidak nyaman pada perut, Inkontinensia
urine dan tidak adanya sensasi untuk berkemih (Mukhopadhyay et
al., 2014)
Tidak ada keinginan untuk mengosongkan kandung kemih,
kesulitan Buang Air Kecil, rasa tidak sepenuhnya kosong, aliran
urine yang lambat atau mulai berhenti, perlu mengejan saat buang
air kecil, kebocoran dari kandung kemih yang terlalu banyak juga
termasuk tanda retensio urin (Royal College of Physicians of
Ireland, 2018).

F. Faktor Resiko
Yang dapat meningkatkan faktor resiko retensio urin antara
lain jenis persalinan, paritas, lama persalinan, berat janin, trauma
perineum, namun faktor yang paling mempengaruhi dalam insiden
retensio urin adalah lama persalinan dan paritas (Petrana et al.,
2016)
Kejadian Retensio urin lebih banyak pada ibu post partum
dengan lama persalinan ≥12 jam yaitu 55% dibanding dengan
lama persalinan 12 jam yang hanya 15,3 % artinya lama
persalinan ≥12 jam meningkatkan terjadinya retensio urin
hampir 4 kali (Petrana et al., 2016). Wanita dengan kesulitan
buang air kecil yang sudah ada sebelumnya juga beresiko
mengalami retensio urin post partum (Royal College of
Physicians of Ireland, 2018).
Alat persalinan instrumental cenderung menciptakan urine
sisa yang menyebabkan pelampiasan neurologis hingga dapat
meyebabkan retensio urin. Alat angkut instrumental juga bisa
membahayakan saraf tepi otot panggul dan sfingter uretra yang
menyebabkan refleks berkemih menjadi lemah. Luka parit dan
luka perineum juga meningkatkan retensio urin (Indu &
Saraswathi, 2019).

G. Patofisiologi
Untuk patofisiologi retensio urin post partum belum jelas
dan memiliki mekanisme bervariasi. Beberapa penyebab
fisiologis, neurologis, dan mekanisme lain mungkin berpengaruh
dalam terjadinya retensio urin. Otot detrusor dapat dihambat oleh
efek peningkatan kadar progesteron sehingga dapat menyebabkan
retensio urin (Polat et al., 2018).
Persalinan pervaginam yang menyebabkan trauma bagi otot
dasar panggul dan persarafan yang dapat menyebabkan
hipotonisitas atau berkurangnya sensitivitas, juga edema peri-
uretra dan vulva akibat persalinan pervaginam yang menyebabkan
obstruksi (Polat et al., 2018).
Terdapat kemungkinan bahwa kekuatan mekanik yang
diterapkan pada otot dasar panggul selama persalinan
berkepanjangan, peningkatan tekanan tekanan bayi makrosomik
dapat berkontribusi pada kerusakan saraf panggul dan pudendal
yang mengakibatkan gangguan neurologis saat berkemih (Polat et
al., 2018)
Patofisiologi RUPP dibedakan menjadi dua yaitu perubahan
hormon dan respon kontraktil kandung kemih serta trauma
persarafan kandung kemih (Djusad, 2020).
1. Hormon dan respon kontraktil kandung kemih
Kandung kemih merupakan organ yang responsif
terhadap hormon selama kehamilan dan masa setelah
persalinan. Kehamilan menurunkan respons dasar kandung
kemih dan uretra terhadap stimulasi alfa adregenik.
Penurunan efek muskarinik di bagian badan kandung kemih
berbanding lurus dengan peningkatan risiko retensio urin
yang berhubungan secara klinis dengan kehamilan (Djusad,
2020).
Setelah uterus yang semakin membesar dan kemudian
berakhir keluar dari pelvis, uterus menekan ureter dan
meningkatkan tonus intrauretral di bagian atasnya. Dilatasi
ureter lebih besar di bagian kanan pada 86% ibu, namun
progesteron juga memiliki efek terhadap dilatasi ureter
(Djusad, 2020).
2. Trauma persarafan kandung kemih
Lesi di sistem saraf dapat mengganggu proses
pengosongan kandung kemih dengan bergantung pada tingkat
kerusakannya. RUPP terjadi ketika terdapat lesi neurologis di
bawah refleks spinal atau di bawah level nervus sakral yang
menyebabkan kandung kemih sulit berkontraksi atau hipotoni
(Djusad, 2020).
Pudendus dengan cabang saraf aferen (S2-S4) yang
mempersarafi kandung kemih mengalami kerusakan selama
proses pembedahan pelvis dan persalinan pervaginam. Nervus
aferen yang mempersarafi saluran kemih bagian bawah
melewati nervus pelvis menuju korda spinalis sakral (Djusad,
2020).
Saraf aferen memiliki diameter serat yang kecil dan
berhubungan dengan reseptor tekanan di dinding kandung
kemih. Jalur aferen otot lurik sfingter dari uretra yang
menyalurkan sensasi hangat, dingin dan nyeri serta pengisian
urine, berjalan di nervus pudendu menuju korda spinalis
sakrum (S2-4) (Djusad, 2020).
Pada ibu post partum elastisitas traktus urinarius
meningkat selama kehamilan akibat perubahan hormonal
sehingga menyebabkan penurunan tonus otot polos.
Peningkatan kapasitas kandung kemih selama kehamilan
dimulai sejak bulan ketiga kehamilan yang umumnya ditandai
dengan keinginan sering berkemih (Anugerah et al., 2017).
Ibu hamil berdiri maka uterus yang membesar meningkatkan
tekanan pada kandung kemih, mengakibatkan tambahan
penekanan pada kandung kemih dimulai pada minggu ke-38
kehamilan yang menandakan adanya penurunan kapasitas pada
kandung kemih. Hal tersebut akan hilang saat bayi dilahirkan,
yang menjadikan kandung kemih menjadi hipotoni karena beban
uterus yang membatasi kapasitasnya telah tiada (Anugerah et al.,
2017).

H. Pengukuran dan Penilaian


Terdapat banyak cara untuk menilai retensio urin postpartum
dan termasuk menilai gejala atau keluhan pasien, pemeriksaan
fisik, USG kandung kemih, dan kateterisasi kandung kemih.
Unsur-unsur penting termasuk meninjau semua pengobatan,
kebiasaan buang air kecil, riwayat kebidanan / ginekologi dan
pembedahan (terutama ginekologi dan operasi urologi); dan
neurologis, perut (periksa kandung kemih yang membengkak),
dan periksa organ panggul (V. & Samant, 2020)
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengevaluasi retensio urin
postpartum, untuk menilai keparahannya dan untuk membantu
mengidentifikasi penyebabnya yang meliputi inspeksi perut,
palpasi untuk distensi kandung kemih. Akan teraba massa, perut
kembung, fundus uteri meninggi, adanya ketidaknyamanan dan
pemeriksaan genital eksternal untuk mengidentifikasi adanya
trauma (V. & Samant, 2020).
Periksa frekuensi keluarnya urin, tanyakan volume dan
kualitas aliran dengan setiap berkemih, periksa abdomen untuk
mengetahui perpindahan rahim dan pembengkakan di bagian
bawah perut, palpasi kandung kemih, kandung kemih yang
membengkak menggeser rahim ke atas dan ke sisi kanan.
Bengkak karena kandung kemih berisi cairan yang menyakitkan
teraba di daerah suprapubik (Royal Women, 2019)

Penilaian dan monitoring kandung kemih untuk mengukur


volume urine sisa dengan menggunakan ultrasonografi atau
kateterisasi. Tidak ada volume urine sisa yang spesifik untuk
memprediksi retensio urin post partum. PVR ≤75-150 ml
dianggap normal jika ≥150 maka menunjukan tidak memadai.
Interpretasi apapun dari PVR harus dilakukan bersama dengan
informasi klinis yang lain (V. & Samant, 2020).
Diagnosis klinis retensio urin post partum tidak mudah
terutama pada kasus yang tidak menunjukan gejala klinis.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan
anamnesis apakah terdapat kesulitan berkemih, pancaran lemah,
mengedan saat berkemih, inkontinensia dan merasakan adanya
ketidakpuasan setelah buang air kecil dan USG atau kateterisasi
(Anugerah et al., 2017).

Diagnosis disfungsi buang air kecil dapat ditegakkan jika


pasien tidak dapat mengeluarkan urine dalam 6 jam setelah
persalinan dan membutuhkan pemasangan kateter untuk
mengeluarkan urine lebih dari normal yaitu 400 sampai 600 ml
(Mukhopadhyay et al., 2014).

I. Pemeriksaaan Penunjang
Berbagai pemeriksaan penunjang untuk disfungsi eliminasi
urine dapat dilakukan antara lain (Muttaqin & Sari, 2011):

1. Urianalisis
Pemeriksaan relatif cepat, sederhana, dan akurat yang
dapat memberikan indikasi yang baik mengenai fungsi
ginjal. Dari strip reagen, klinisi dapat mengidentifikasi
adanya zat seperti protein, glukosa, dan darah serta
pengukuran pH serta berat jenis, tampilan dan bau urine
akan memberikan informasi mengenai keseimbangan
cairan dan keberadaan organisme inreaktif.
2. Uji bakteriologis
Kultur bakteriologis pada spesimen urine bersih yang
baru ditampung dapat mengidentiikasi organisme
penyebab infeksi saluran kemih. Studi menentukan
antibiotik yang tepat dapat digunakan dalam terapi infeksi.
3. Uji biokimia
Pemeriksaan komposisi darah adalah indikator vital
fungsi ginjal. Gangguan fungsi glomerulus dan kehilangan
kemampuan tubulus untuk mereabsorpsi dan menyekresi
menimbulkan peningkatan kadar produk sisa di dalam
darah seperti urea, elektrolit, kreatinin dan urat. Uji
hematologi seperti penghitungan sel darah putih, bila
infeksi dicurgai dan kadar hemogoblin.
4. Uji fungsi ginjal
Dua tipe utama yang mengukur fungsi ginjal baik
adalah glomerulus atau tubulus ginjal karena memiliki
fungsi yang utama. Glomerulus dapat diperkiraan
fungsinya baik dengan melihat zat yang normalnya
difiltrasi. Uji fungsi tubulus adalah dengan memperkirakan
osmolaritas dan konsentrasi urine
5. Ultrasonografi
Berfungsi untuk melihat ukuran dan struktur ginjal
dengan demikian juga dapat melihat kandung kemih
apakah terdapat distensi cairan atau tidak.

J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat overdistensi kandung
kemih yaitu kerusakan irreversibel pada muskulus detrusor
dengan infeksi traktus urinarius rekuren dan kesulitan berkemih
menetap (Petrana et al., 2016). Infeksi saluran kemih merupakan
salah satu infeksi yang sering terjadi pada ibu post partum dan
memiliki angka kematian yang cukup tinggi, peningkatan terjadi
karena disebabkan oleh trauma jalan lahir, inkontinensia urine,
pemasangan kateter dan anestesi yang dapat menyebabkan ibu
berkemih secara tidak normal (Yerlian, M, 2013).
Kehamilan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya infeksi saluran kemih, urine dalam kondisi normal
dapat ditemukan adanya bakteri dengan memberikan gejala
ataupun tidak. Escheria coli dikenal sebagai kuman terbanyak
yang menjadi penyebab ISK kuman ini biasa normal pada colon
dan tidak berbahaya, tetapi pada kondisi tertentu kuman ini dapat
menyebabkan infeksi (Masteryanto, Henky M, dkk, 2015) Selama
kehamilan perubahan saluran kemih karena dilatasi ureter
yang diakibatkan oleh kompresi uterus dan juga efek hormon
progesteron yang dapat menyebabkan relaksasi otot polos
sehingga menyebabkan dilatasi dan pengumpulan urine dan
refluks veskoureteral meningkat.. Pada periode postpartum,
perubahan ini menjadi faktor predisposisi, Kateterisasi urine
selama persalinan dapat meningatkan adanya bakteri dan
menyebabkan ISK ( Patria J, dkk, 2020)
Hal tersebut di dukung oleh penelitian Ritongga (2018)
bahwa infeksi saluran kemih banyak di temukan di tempat
pelayanan kesehatan, terutama pada pasien yang terpasang kateter.
Upaya untuk pencegahan ISK yaitu dengan melakukan perawatan
kateter, membersihkan selang dan selalu cuci tangan.
Pratiwi, dkk, (2015) menyatakan bahwa sebagian besar pasien
yang memiliki gejala mual, muntah, lemas, hilangnya nafsu maka,
demam nyeri di area suprapubik dan pinggang merupakan tanda
adanya infeksi saluran kemih.
Salah satu penyebab perdarahan post partum adalah gangguan
kontraksi uterus yang diakibatkan oleh adanya retensio urin yang
menyebabkan distensi kandung kemih yang kemudian mendorong
uterus ke atas dan kesamping. Keadaan ini bisa menghambat
uterus berkontraksi dengan baik yang dapat mengakibatkan
perdarahan. (Saraswati, 2016).
Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari perdarahan
postpartum yang mencapai 80%. Kandung kemih yang penuh
dapat mengakibatkan kedekatannya dengan uterus di perut, dapat
mengganggu kontraksi uterus yang menyebabkan atonia uteri
(Nettina, 2013).

Peregangan berlebihan pada kandung kemih dapat


menimbulkan retensio urin pasca persalinan persisten, kerusakan
irreversibel otot detrusor serta infeksi traktus urinarius yang
berulang. Secara umum komplikasi RUPP sebagai berikut : sisa
urine dapat menyebabkan sistitis, ruptur buli-buli spontan, uremia
dan sepsis dapat mengakibatkan pasien meninggal pada hari ke 6
post partum (Anugerah et al., 2017).

K. Penatalaksanaan
Evcili & Demirel (2018) dalam penelitiannya, perawatan pada
klien dengan gangguan eliminasi urine pasca persalinan antara lain :
memberikan dukungan untuk pengeluaran urine 2-6 jam pertama
setelah melahirkan, monitor pengeluaran urine pasca persalinan,
melakukan evaluasi fisik kandung kemih, melakukan evaluasi
perineum, perawatan perineum, aplikasi dingin pada perineum,
memberikan dukungan mobilisasi, kateterisasi. Mobilisasi dapat
dilakukan secara bertahap diawali dengan miring ke kanan dan kekiri
diatas tempat tidur selanjutnya duduk dan berjalan.
Setelah persalinan pervaginam maka kandung kemih harus
segera kosong dan dilakukan perawatan bladder yang meliputi
(UHL, 2018) :
1. Semua pengeluaran harus didokumentasikan dalam catatan pasien
Wanita yang melahirkan secara normal menggunakan
blokade regional ataupun tidak membutuhkan pencatatan
tanggal, waktu dan volume pertama buang air kecil. Catatan
keseimbangan cairan harus dimulai untuk setiap wanita yang
memiliki kateter yang menetap pada periode postnatal dan
berlanjut sampai tiga kali pengeluaran yang baik setelah
pelepasan kateter (150 ml atau lebih tanpa kesulitan berkemih).
2. Dorong ibu untuk mengosongkan kandung kemihnya dalam
waktu 4-6 jam setelah melahirkan / kekosongan terakhir atau
setelah kateter dilepas
3. Jika ibu tidak buang air kecil dalam waktu 4-6 jam, maka harus
didorong untuk pergi ke toilet untuk buang air kecil dan
mencoba tindakan konservatif seperti: memberikan privasi,
duduk di bak mandi / pancuran

air hangat, membungkuk ke depan, pastikan ibu bebas dari rasa


sakit, membantu ibu untuk berdiri dan berjalan
4. Jika ibu tidak dapat berkemih meskipun telah dilakukan tindakan
di atas atau dicurigai retensi urin berdasarkan gejala dan tanda
lain, volume sisa harus dipastikan dengan kateter masuk dan
urine yang keluar. Ada sedikit bukti yang mendukung
penggunaan USG untuk menilai volume urine tetapi dapat
dipertimbangkan oleh dokter individu.
5. Jika ibu memiliki volume sisa lebih dari 150 ml pada 2 kali
pengukuran, maka harus dipasang kateter selama 24 jam.
6. Jika setelah 24 jam kateterisasi masih ada kesulitan berkemih.
Maka dirujuk ke tim perawat uroginekologi untuk
mempertimbangkan kateterisasi mandiri intermiten yang bersih.
Untuk terapi non farmakologi ibu dapat melakukan rangsangan
berkemih dengan suara gemericik air keran, meletakan tangan di air
hangat, mengguyur perineum dengan air hangat dan mandi dengan
air hangat (Evcili & Demirel, 2018). Upaya ibu mengosongkan
kandung kemihnya maka dapat membantu menuju ke kamar mandi.
Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk berjalan, bantu untuk
duduk di bedpan. Berikan privasi kepada ibu. Jika kesulitan buang
air kecil maka nyalakan air di kran atau menggunakan botol peri
untuk mengalirkan air hangat ke perineum (Hatfield, 2013)
Dewi et al., (2014) mengatakan bahwa gangguan miksi dan
defekasi pada ibu post partum merupakan disfungsi otot dasar
panggul secara mekanik akibat kelemahan otot setelah persalinan.
Stimulus secara dini dapat diberikan pada otot dasar panggul pada
ibu postpartum berupa pelvic floor muscle training atau latihan
senam kegel menurut peneliti latihan senam kegel dapat
memperkkuat otot dasar panggul sehingga urin yang keluar
seehingga tanpa disadari pasien bisa mengontrolnya sendiri.

Dilakukan bladder training dapat mempengaruhi pengeluaran


urine. Hal tersebut terjadi karena pemberian minum sebanyak 200
ml dan membawa pasien ke kamar mandi serta menyuruh duduk
ditoilet sambil menyiram perineum nya dengan air untuk
merangsang pengeluaran urine. Karena pada saat duduk dapat
meningkatkan kontraksi otot panggul dan intra abdomen yang
membantu mengontrol sfingter sehingga terjadi kontraksi uterus
yang dapat merangsang urine untuk keluar (Fitri & Putri, 2017).

Doenges et al., (2014) menyebutkan penatalaksanaan yang dapat


dilakukan pada klien dengan gangguan eliminasi dengan retensi urine
antara lain:

a. Mengidentifikasi faktor penyebab


1) Mencatat adanya diagnosis fisik yang dapat terlibat seperti
dehidrasi, pembedahan, kondisi neurologis, kehamilan,
melahirkan, trauma pelvis
2) Menentukan patologi disfungsi kandung kemih yang berhubungan
dengan diagnosis medis
3) Melakukan pemeriksaan fisik (mis. uji batuk untuk inkontinensia
urine dan palpasi untuk retensi atau massa kandung kemih,
observasi untuk striktur uretra)
4) Periksa nyeri dengan mencatat lokasi, durasi, intensitas, adanya
spasme kandung kemih, nyeri punggung atau pinggang dan
tentukan tingkat ansietas
5) Mencatat remisi spontan gejala urgensi dan sering kencing yang
dapat disertai nyeri, tekanan, spasme atau tidak.
6) Menentukan asupan cairan harian klien dan mencatat kondisi
kulit, membran mukosa, warna urine untuk menentukan tingkat
dehidrasi.
7) Meninjau program obat untuk mengidentifikasi obat yang dapat
mengubah fungsi kandung kemih atau ginjal.
8) Mengirim spesimen urine untuk pemeriksaan kultur

b. Menentukan tingkat gangguan


1) Meninjau pola eliminasi klien sebelumnya dan bandingkan
dengan situasi saat ini (misal : sering berkemih, urgensi,
perubahan aliran, masalah dalam

pengosongan kandung kemih secara tuntas, inkontinensia) untuk


membantu dalam mengidentiikasi dan terapi disfungsi tertentu
2) Memastikan apakah klien dapat mengosongkan kandung kemih
secara sempurna, sebagian atau tidak sama sekali.
3) Tentukan apakah ada haluaran urine 6 – 8 jam sebelumnya
4) Meminta klien untuk catatan harian berkemih selama 3 hari untuk
mencatat asupan cairan, waktu berkemih, haluaran yang tepat, dan
asupan diet.
5) Palpasi tinggi kandung kemih untuk memastikan apakah klien
merasakan sensasi kandung kemih yang penuh, tingkat
ketidaknyamanan.
6) Lakukan kateterisasi atau pemindaian USG untuk mengetahui
adanya residu kandung kemih setelah BAK
c. Mengatasi/mencegah retensi
1) Bantu dalam terapi untuk menghilangkan obstrksi mekanik (mis.,
menghilangkan obstruksi dengan tampon vagina, menggunakan es
untuk mengurangi pembengkakan perineal yang membatasi aliran
urine)
2) Berikan privasi untuk mengurangi retensi yang disebabkan oleh
rasa malu atau cemas
3) Dorong mandi rendam duduk dengan air hangat atau
menggunakan pancuran, berkemih ketika sedang mandi. Air
hangat dapat merangsang relaksasi untuk berkemih
4) Gunakan teknik es, mengelus paha bagian dala, mengalirkan air
keran atau membasuh air hangat ke perineum untuk merangsang
berkemih
5) Kosongkan kandung kemih menggunakan kateter lurus sesuai
protokol atau lakukan kateterisasi intermitten atau menetap untuk
mengatasi retensi akut.
6) Anjurkan asupan cairan hingga 2000-3000 ml/hari (dalam
toleransi jantung). Untuk mempertahankan fungsi ginjal,
mencegah infeki, dan pembentukan batu urine.
7) Sesuaikan asupan cairan dan waktu jika diindikasikan, untuk
mengurangi distensi kandung kemih

8) Bantu meningkatkan eliminasi yang rutin (mis. berkemih yang


terjadwal, latihan kandung kemih, melatih kembali kebiasaan
berkemih)

d. Upaya meningkatkan kesehatan


1) Tekankan kebiasaan berkemih yang baik misal 4 sampai 6 kali per
hari, menahan berkemih secara berulang dalam jangka panjang
dapat meregangkan secara berlebihan dan melemahkan otot
kandung kemih
2) Dorong klien untuk melapor masalah dengan segera kepada
petugas kesehatan
3) Tekankan pentingnya asupan cairan yang adekuat.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Retensio urin Post Partum didefinisikan sebagai tidak adanya
proses berkemih spontan yang dimulai 6 jam pasca persalinan
pervaginam dengan residu urine lebih dari 200 ml. Retensio urin
terbuka mengacu pada ketidakmampuan berkemih disertai tanda dan
gejala yang jelas yaitu wanita pasca postpartum kesulitan berkemih
lebih dari 6 jam, sedangkan terselubung terjadi pada wanita
asimptomatik retensio urin dengan postvoid kandung kemih lebih
dari 150 ml dideteksi dengan ultrasonografi atau dengan kateterisasi
saat berkemih sponta. Sistem perkemihan berfungsi membentuk
urine , mengatur keseimbangan cairan dan mineral ekskresi zat sisa
metabolisme, menyimpan nutrien, mengatur keseimbangan asam
basa, mensekresi hormon untuk stimulasi produksi eritrosit,
mengatur tekanan darah dan metabolisme kalsium.
Proses melahirkan dapat terjadi trauma pada uretra dan kandung
kemih yakni sewaktu bayi melewati jalan lahir serta timbul rasa
nyeri pada panggul yang disebabkan akibat dorongan saat
melahirkan, episiotomi yang dapat menurunkan atau mengubah
reflek berkemih yang beresiko menyebabkan retensio urin sehingga
terjadi distensi kandung kemih. Retensio urin ditandai dengan
volume kandung kemih postvoid yang tersisa ≥ 150 ml atau
ketidakberdayaan untuk berkemih dalam 6 jam setelah persalinan
melalui vagina atau dapat berkemih namun dengan volume urine
<100 ml.
Yang dapat meningkatkan faktor resiko retensio urin antara lain
jenis persalinan, paritas, lama persalinan, berat janin, trauma
perineum, namun faktor yang paling mempengaruhi dalam insiden
retensio urin adalah lama persalinan dan paritas. penyebab
fisiologis, neurologis, dan mekanisme lain mungkin berpengaruh
dalam terjadinya retensio urin. Otot detrusor dapat dihambat oleh
efek peningkatan kadar progesteron sehingga dapat menyebabkan
retensio urin.
Diagnosis disfungsi buang air kecil dapat ditegakkan jika
pasien tidak dapat mengeluarkan urine dalam 6 jam setelah
persalinan dan membutuhkan pemasangan kateter untuk
mengeluarkan urine lebih dari normal yaitu 400 sampai 600 ml.
Peregangan berlebihan pada kandung kemih dapat menimbulkan
retensio urin pasca persalinan persisten, kerusakan irreversibel otot
detrusor serta infeksi traktus urinarius yang berulang. Secara umum
komplikasi RUPP sebagai berikut : sisa urine dapat menyebabkan
sistitis, ruptur buli-buli spontan, uremia dan sepsis dapat
mengakibatkan pasien meninggal pada hari ke 6 post partum.
perawatan pada klien dengan gangguan eliminasi urine pasca
persalinan antara lain : memberikan dukungan untuk pengeluaran
urine 2-6 jam pertama setelah melahirkan, monitor pengeluaran
urine pasca persalinan, melakukan evaluasi fisik kandung kemih,
melakukan evaluasi perineum, perawatan perineum, aplikasi dingin
pada perineum, memberikan dukungan mobilisasi, kateterisasi.
Ny. M usia 23 tahun P1Ab0Ah1 postpartum 8 jam dengan
retensio urine. Saat pengkajian, klien mengatakan selama 6 jam
setelah persalinan klien juga belum buang air kecil. tanda tanda
vitalnya TD:110/70 mmHg, N: 78 x/menit, RR : 20x/menit, S : 36,5
°C. 6. Memberikan penatalaksanaan seperti melakukan kompres
hangat di daerah supra pubis untuk merangsang ibu berkemih sambil
menyalakan kran air. kateterisasi untuk membantu ibu
mengosongkan kandung kemih yang penuh karena ibu belum bisa
melakukan BAK mandiri. dilakukan katerisasi maka urine yang
dikeluarkan sebanyak 500 ml. Menganjurkan ibu untuk mobilisasi
dini yaitu kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah
dan teratur dengan tujuan memenuhi kebutuhan aktifitas guna
mempertahankan kesehatannya dan untuk memperlancar peredaran
darah, ajarkan mobilisasi dini seperti miring kanan, miring kiri dan
berjalan-jalan. Menganjurkan klien melakukan senam kegel

B. Saran
1) Tekankan kebiasaan berkemih yang baik misal 4 sampai 6 kali per
hari, menahan berkemih secara berulang dalam jangka panjang
dapat meregangkan secara berlebihan dan melemahkan otot kandung
kemih
2) Dorong klien untuk melapor masalah dengan segera kepada petugas
kesehatan
3) Tekankan pentingnya asupan cairan yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
Mutaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan
Gangguan Sistem Perkemihan(S. Carolia (ed.); 1st ed.). Salemba
Medika.
Rizki Ari Melinda. (2021).Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan
Eliminasi Urine Pada Ibu Post Partum Hari Ke-1.Semarang:Jurusan
Keperawatan Politeknik Kesehatan KEMENKES Semarang
Putri, Y. R., & Hastina, E. (2020). Asuhan Keperawatan Maternitas
Pada Kasus Komplikasi Kehamilan, Persalinan Dan Nifas. CV Pena
Persada.
Ritongga, Putra E (2018). Upaya Pencegahan Infeksi Saluran
Kemih Oleh Perawat Pada Pasien Terpasangnya Kateter di
Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Idonesia Medan. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Vol 4, No 1.
Royal College of Nursing. (2019). Catheter Care, RCN Guidance for
Health Care Professionals.

Anda mungkin juga menyukai