aktivitas autoimun, yakni keberadaan autoantibodi dan kompleks imun yang berikatan ke
jaringan dan menyebabkan inflamasi multisistem. Penyebab spesifik lupus hingga saat ini
belum diketahui, namun berbagai faktor seperti faktor genetik, sistem imun, hormonal serta
lingkungan dianggap berhubungan dengan perkembangan penyakit ini.
Selain ANA, terdapat dua autoantibodi yang spesifik ditemukan pada pasien lupus
eritematosus sistemik dibandingkan dengan penyakit autoimun lain, yaitu antibodi
anti-Smith (Sm) dan antibodi anti-double-stranded DNA (dsDNA)
Autoantibodi Mengenali Self-Antigen
Autoantibodi mengenali self-antigen yang ada di permukaan sel yang apoptosis dan
membentuk kompleks imun. Oleh karena proses pembersihan debris sel terganggu
maka autoantigen, autoantibodi dan kompleks imun tersedia dalam waktu yang lama,
memicu terjadinya proses inflamasi dan menyebabkan timbulnya gejala.
Aktivasi sel imun juga disertai dengan peningkatan sekresi interferon tipe 1 dan 2
(IFN), tumor necrosis factors α (TNF- α), interleukin (IL) 17, stimulator maturasi sel B,
dan IL-10 yang seluruhnya mendukung reaksi inflamasi. Pada kondisi lupus
eritematosus sistemik, juga terjadi penurunan produksi berbagai sitokin, seperti
sel natural killer yang gagal memproduksi IL-2 dan transforming growth factor
beta (TGF-β) yang berfungsi untuk meregulasi sel T CD4+ dan CD8+, akibatnya
produksi autoantibodi dan kompleks imun tidak terkendali dan tetap berlanjut.
Autoantibodi dan kompleks ini kemudian berikatan dengan jaringan target,
menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan pelepasan sitokin,
kemokin dan peptida vasoaktif, oksidan dan enzim proteolitik. Kondisi tersebut
menyebabkan aktivasi sel endothelial, makrofag jaringan, sel mesangial, podosit yang
ada di jaringan serta mengakibatkan sel B, sel T, sel dendritik dan makrofag
mendatangi jaringan target tersebut dan menyebabkan terjadinya proses inflamasi.
Selanjutnya kondisi ini memicu produksi IFN tipe I. Aktivasi TLR7 juga memicu
produksi antibodi anti-Sm. IFN tipe I memiliki peran penting dalam disfungsi imun
pada lupus eritematosus sistemik. Kondisi ini dibuktikan dengan ditemukannya
ekspresi berbagai tipe IFN tipe I di sel darah perifer dan jaringan yang terkena pada
pasien dengan LES.
Sel T dari pasien lupus juga mengekspresikan ligan CD40 aktif yang lebih lama dari
pada sel T pada kontrol sehat, akibatnya ligan ini menstimulasi aktivasi dan
diferensiasi sel B lebih lama. Populasi sel T helper folikular yang meningkat
menyebabkan peningkatan sel B yang memproduksi autoantibodi, sedangkan sel T
regulator mengalami penurunan dan sel T helper-17 mengalami peningkatan,
akibatnya produksi IL-17 meningkat, dan produksi IL-2 menurun.
Padahal IL-2 penting dalam proses regulasi sel T. Selain gangguan pada regulasi sel T,
juga terjadi gangguan regulasi sel B. Kondisi ini menyebabkan produksi autoantibodi,
dan sitokin inflamasi serta perlambatan presentasi antigen ke sel T.
Faktor Genetik
Terdapat lebih dari 100 lokus gen yang berhubungan dengan kerentanan seseorang
mengalami lupus eritematosus sistemik. Beberapa di antaranya merupakan defisiensi
gen tunggal yang mengkode komplemen C2, C4, C1q. Kekurangan C4 menyebabkan
berkurangnya eliminasi sel B self-reactive, sedangkan kekurangan C1q menyebabkan
gangguan pembersihan debris selular pasca apoptosis.
Polimorfisme nukleotida tunggal juga menjadi faktor yang dapat memicu terjadinya
lupus, seperti yang ditemukan pada gen STAT4, PTPN22, CD3, PP2Ac, TNIP1,
PRDM1, JAZF1, UHRF1BP1, dan IL10. Selain itu kelainan jumlah gen C4, FCGR3B
dan TLR7 berhubungan dengan ekspresi penyakit.
Mutasi pada major histocompatibility complex (MHC) 8.1 haplotype termasuk alel HLA-
B8, HLA-DR3 dan C4B yang mengatur diferensiasi sel B untuk memproduksi antibodi
anti-dsDNA pada tahap awal aktivasi sistem imun juga ditemukan pada pasien dengan
lupus. Selain itu kondisi ini juga dapat berhubungan dengan mutasi pada gen
pengkode nuklease seperti TREX1, polimorfisme nukleotida yang mengkode protein
yang memproduksi interferon tipe I, serta mutasi lain yang menyebabkan gangguan
dalam pembentukan sitokin pengatur sinyal aktivasi reseptor antigen di permukaan
sel T dan sel B.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang berperan dalam lupus eritematosus sistemik antara lain infeksi
virus, beberapa obat-obatan, paparan sinar UV, dan merokok.
Infeksi Virus
Infeksi virus terutama Epstein-Barr Virus (EBV) dapat memicu timbulnya gejala lupus.
Pada penderita lupus, respon sel T terhadap infeksi EBV tidak normal dan
menyebabkan peningkatan sel mononuklear yang terinfeksi sekaligus meningkatkan
jumlah DNA EBV dalam darah pasien. Kondisi ini menyebabkan aktivasi sistem imun
didapat dan diferensiasi sel B serta produksi autoantibodi yang spesifik terhadap
sekuens asam amino yang dimiliki oleh protein sel tubuh dan protein yang dihasilkan
oleh EBV.
EBV juga mengkode RNA yang menginduksi aktivasi sistem imun melalui ekspresi IFN
tipe I. Antibodi spesifik terhadap antigen nukleus EBV1 (EBNA1) juga dapat bereaksi
silang dengan dsDNA karena kesamaan konformasi epitope sehingga infeksi EBV juga
dapat memicu respon autoimun.
Paparan sinar ultraviolet (UV) memicu terjadinya kerusakan DNA sehingga mengubah
ekspresi gen, menyebabkan fragmentasi asam nukleat serta memicu apoptosis atau
kematian sel.
Obat-Obatan
Merokok dan menghirup silika memicu respon inflamasi di sel epitel dan mononuklear
di paru. Kondisi ini menyebabkan modifikasi protein atau memicu proses inflamasi
nonspesifik.[4,7]