Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN

SKALA USAHATANI DAN PRODUKTIVITAS FAKTOR PRODUKSI


PETANI GUREM

Disusun oleh :
Zidan Alfisyah Heristra
NIM 2250200007
Prodi S1 Teknik Industri ( Non Reguler )

UNIVERSITAS BANGUN NUSANTARA SUKOHARJO


2023
A. Pengaruh Penyempitan Lahan terhadap Skala Usaha Tani Padi

Ada dua faktor penyebab terjadinya penyempitan lahan pertanian berdasarkan daerah hasil
penelitian. Pertama, adanya fragmentasi atau penyusutan kepemilikan lahan pertanian karena pola
pewarisan. Akibatnya, sebagian dari lahan tersebut dijual oleh ahli waris karena dianggap tidak
mencukupi untuk diusahakan secara optimal. Hasil penjualannya direncanakan untuk modal usaha
di luar sektor pertanian. Akan tetapi hanya beberapa petani yang beruntung dari hasil penjualan
lahan tersebut, sehingga akhirnya sebagian menjadi petani penggarap atau buruh tani di lahannya
sendiri.
Kedua, alih fungsi lahan melalui transaksi penjualan kepada perorangan atau pengusaha dari luar
desa yang notabene kurang mengerti atau tidak menghiraukan eksistensi lahan pertanian di lokasi
setempat. Biasanya, sebelum dialihfungsikan ke penggunaan nonpertanian, lahan pertanian tersebut
boleh diusahakan oleh petani penggarap sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Namun para
petani penggarap diliputi rasa kekhawatiran mengingat alih fungsi penggunaan lahan yang
dimaksud sewaktu-waktu bisa terjadi dan dapat mengakibatkan mereka kehilangan pekerjaan.
Dari permasalahan yang telah disebutkan diawal tadi seperti penyusutan kepemilikan lahan dan
juga alihfungsi sehingga menyebabkan fenomena “guremisasi” cukup gencar terjadi di lokasi
penelitian. Dengan kata lain, skala pemilikan lahan petani menjadi semakin sempit atau bahkan ada
petani yang tidak memiliki lahan lagi (tuna lahan). Fenomena tersebut berlangsung seiring
perjalanan waktu dan menimbulkan dampak sosial.
Di Indonesia, definisi petani kecil lebih sering mengacu pada luas lahan usahatani. Sayogyo (1977)
dalam Susilowati dan Maulana (2012) mengelompokkan petani ke dalam tiga kategori yaitu petani
skala kecil dengan luas lahan usahatani < 0,5 ha, petani skala menengah dengan luas lahan
usahatani 0,5 – 1 ha, dan petani skala besar dengan luas lahan usahatani > 1 ha. Petani gurem
merupakan petani yang hanya memiliki luasan lahan usahatani < 0,5 ha. Jadi fenomena guremisasi
ini terkait dengan sempitnya lahan pertanian yang kurang dari 0,5 ha.

B. Penguasaan Lahan Petani Gurem Padi

Terdapat beberapa fenomena terkait dengan penguasaan lahan pertanian di lokasi penelitian yaitu:

a. Penentuan pola penguasaan lahan tergantung pada kesepakatan awal antara pemilik dengan
penggarap. Biasanya penerapan pola penguasaan lahan tersebut dilakukan sejak transaksi
jual beli.

1
b. Tidak semua pemilik lahan menguasakan lahan kepada penggarap dengan pola yang sama.
Umumnya pemilik lahan menguasakan lahannya untuk digarap secara temporer oleh petani
penggarap, namun dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Dengan kata lain, kapanpun
lahan tersebut dapat digunakan oleh pemilik. Konsekuensinya, petani yang menggarap lahan
tersebut harus menyerahkan sepenuhnya kepada pemilik (tanpa syarat). Biasanya setelah
tidak digarap, lahan pertanian yang dimaksud dialihfungsikan ke lahan non-pertanian
(pabrik atau gudang).

c. Penyerahan penguasaan lahan dari pemilik kepada petani penggarap dapat menyebabkan
pengelolaannya menjadi tidak optimal. Bahkan pada beberapa kasus terjadi pengalihan
wewenang pengelolaan lahan ke petani penggarap berikutnya. Dalam hal ini petani
penggarap pertama berperan jadi manajer atau hanya sebagai perantara saja. Keberadaan
petani penggarap sifatnya musiman (ganti-ganti) sehingga relatif sulit diarahkan untuk
kegiatan suatu program.

d. Pengaruh pemilik cukup tinggi dalam pengelolaan lahan, bahkan lebih menentukan
dibandingkan peran penggarap lahan. Misalnya, apabila penggarap lahan mau menerapkan
anjuran teknologi baru, pemilik lahan memiliki kekhawatiran terhadap kegagalan
(penurunan produksi) yang berimplikasi pada berkurangnya bagi hasil atau pendapatan yang
diperoleh. Jika tidak mengikuti kehendak pemilik lahan, dampaknya dapat berupa
pemutusan hubungan kerjasama. Oleh karena itu, peran pemilik lahan cukup menentukan
dalam penerapan teknologi dan peningkatan produktivitas lahan.

C. Pola/Sistem Usahatani Gurem Padi

Jenis usahatani utama di lokasi penelitian adalah padi yang ditanam dua kali setahun, yaitu:
(1) musim hujan (MH) yang berlangsung dari bulan Januari hingga bulan April/Mei; dan (2) musim
kemarau pertama (MK I) dari bulan Juni/Juli sampai dengan bulan Oktober. Pada musim kemarau
kedua (MK II), lahan pertanian cenderung tidak ditanami (bera) dan sebagian ditanami tanaman
sayuran (ketimun).
Sebagai contoh adalah pola tanam pada lahan sawah berdasarkan artikel penelitian di Desa
Tegalullar adalah padi-padi-bera, sedangkan pola tanam di Desa Bojongsari yaitu padi-padi-
ketimun. Jenis padi yang umum digunakan adalah varietas Ciherang. Beberapa orang petani pernah
mengusahakan tanaman jagung tetapi kurang berhasil. Sumber pengairan lahan sawah berasal dari
irigasi dan pompa air. Keberadaan pompa air sangat diperlukan, khususnya selama musim kemarau.

2
Nilai sewa pompa air milik perorangan dan kelompok masing-masing sekitar 700 kilogram per
hektar per musim tanam dan 670 kilogram per hektar per musim tanam.

D. Produktivitas Petani Gurem Padi

Upah tanam padi untuk setiap tenaga kerja masing-masing Rp 50.000per orang per hari
(tenaga kerja luar desa) dan Rp 40.000 per orang per hari (tenaga kerja setempat). Tenaga kerja
dari luar dijemput dan diantar oleh pemilik (pengguna tenaga kerja). Sebagai catatan, tenaga kerja
setempat diambil oleh petani kaya karena pekerjaannya lumintu (terus menerus) pada lahan yang
cukup luas. Sedangkan petani yang memiliki lahan sempit kesulitan mencari tenaga kerja upahan
lokal setempat sehingga masih terdapat tambahan biaya untuk mengurusi tenaga kerja dari luar
tadi.
Analisis fungsi produktivitas usahatani padi menghasilkan efisiensi teknis tergolong rendah yang
berarti masih tersedia peluang peningkatan produksi yang cukup besar, efisiensi teknis sangat
respon terhadap luas lahan, benih, dan pupuk urea. Perilaku risiko produktivitas petani terhadap
input produksi adalah menghindari risiko (rizk averse). Hal ini berarti apabila terjadi kenaikan
harga input maka petani sebagai pengambil keputusan akan mengimbanginya dengan menurunkan
keuntungan yang diharapkan atau mengurangi penggunaan input produksi.
Kebijakan yang perlu dipertimbangkan dalam rangka peningkatan produksi padi yaitu: peningkatan
produktivitas melalui penerapan teknologi tepat guna, perluasan areal pertanaman padi dengan
peningkatan indeks pertanaman (IP), menekan kehilangan hasil pada saat panen dan pasca panen,
meningkatkan stabilitas hasil dengan penerapan pengelolaan tanaman terpadu, menekan senjang
hasil antara produktivitas di tingkat petani dengan produktivitas hasil penelitian melalui penerapan
teknologi spesifik local dan dukungan permodalan. Keberhasilan produksi perlu didukung dengan
kebijakan subsidi yang tepat bagi petani karena kondisi petani tergolong petani gurem, berlahan
sempit dan memiliki keterbatasan modal usahatani. Subsidi yang dimaksud adalah berupa subsidi
harga atas gabah dan subsidi bunga modal berupa kredit ushatani dengan biaya rendah dan prosedur
yang lebih mudah bagi petani.
Sementara itu, penggunaan pupuk boleh dikatakan cukup tinggi karena petani menganggap
lahannya kurang subur. Menurut artikel, benih yang digunakan pada lokasi pertanian yang diteliti
adalah varietas Ciherang dengan harga Rp. 80.000,- per 5kg. Berdasarkan uraian tersebut terlihat
bahwa faktor produksi yang dipakai oleh petani berlahan sempit cukup memakan banyak biaya.
Semakin besar biaya produksi apabila tidak diimbangi dengan hasil produksi yang tinggi maka
hanya akan memperkecil nilai pendapatan. Hasil produksi juga akan sulit mencapai produktivitas

3
tinggi mengingat faktor produksi lahan yang dimiliki hanyalah kecil. Dengan keterbatasan itu,
petani gurem telah berusaha mengoptimumkan penggunan input agar tercapai hasil produksi yang
tinggi, akan tetapi optimasi tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal ini dikarenakan kurangnya
pemahaman mendalam petani tentang efisiensi penggunaan input maka yang saat ini sering terjadi
yaitu petani mendapatkan keuntungan sedikit dari usahataninya.

E. Penyebab Rendahnya Produktivitas Petani Gurem Padi

Masalah faktor produksi yang menyebabkan rendahnya produktivitas di daerah penelitian


yaitu pengairan, pemasaran hasil pertanian yang terbatas, dan kemampuan penguasaan teknologi
yang rendah. Dumoga sebagai daerah penelitian awalnya hanya berkembang sebagai kawasan
pedesaan dengan didominasi oleh aktivitas pertanian, maka fasilitas-fasilitas penunjang yang
bercirikan kota seperti fasilitas terminal ataupun jaringan infrastruktur jalan sebagai akses ke
sentra-sentra produksi sekitarnya tentu saja masih kurang, karena kondisi tersebut maka kondisi
sarana dan prasarana penunjang perlu mendapat perhatian khusus, mengingat pentingnya
pembangunan ekonomi berbasis pertanian di wilayah tersebut. Produksi rata-rata tahunan yang
dihasilkan daerah Dumoga pada tahun 2013, menurun dibandingkan dengan hasil 2003, hal ini
disebabkan sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.
Masalah utama yang menyebabkan daerah yang mempunyai lahan sempit mengalami kesulitan
dalam berproduksi adalah ketersediaan air irigasi yang tidak memadai. Air irigasi terutama pada
musim kemarau menjadi sangat berkurang., bahkan saluran-saluran irigasi teknis menjadi kering
sehingga usaha tani menjadi terhenti. Kementerian Pertanian konsisten meningkatkan produksi
pangan, upaya yang dilakukan berupa pemberian alat mesin pertanian yaitu pompa air sehingga
diharapkan dapat meningkatkan produksi.
Pemasaran hasil pertanian yang terbatas disebabkan karena keterbatasan fasilitas sarana dan
prasarana yang ada di daerah penelitian yaitu daerah Dumoga. Pemasaran produk hasil pertanian
masih dilakukan melalui pasar - pasar tradisional. Ketersediaan pasar / terminal agribisnis belum
memadai sehingga menjadi penyebab kurangnya promosi produk agribisnis yang dihasilkan.
Rendahnya penguasaan teknologi juga menjadi penyebab pemasaran hasil pertanian yang masih
kurang.
Selain itu, sulitnya tenaga kerja dan harga pestisida yang mahal, mengakibatkan modal yang
dikeluarkan petani lebih besar dibandingkan dengan pendapatannya. Dosis penggunaan pupuk dan
pestisida di petani tidak sesuai dengan anjuran pemerintah sehingga kebutuhan input produksi di
kalangan petani lebih banyak dibutuhkan. Maka dari itu, perlu adanya analisis efisiensi dalam

4
usahatani padi sawah, sebagai salah satu upaya dalam untuk meningkatkan produktivitas padi dan
pendapatan petani.

F. Permasalahan Permodalan Petani Gurem Padi

Permasalahan petani gurem selain menyempitnya lahan karena dampak dari alih fungsi dan
fragmentasi lahan, juga terdapat permasalahan krusial lainnya yang dihadapi petani di lokasi
penelitian yaitu modal usahatani. Terjadi hubungan antara permodalan dan luas lahan yang
dimiliki. Biasanya semakin luas lahan kecil maka pendapatan akan semakin kecil. Pendapatan ini
digunakan para petani gurem untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk permodalan usahatani pada
musim berkutnya.
Lemahnya kelembagaan dan sulitnya akses petani terhadap kelembagaan, menyebabkan adanya
permasalahan dalam usaha tani. Secara umum petani mempermasalahkan tingginya harga sarana
produksi berupa pupuk dan pestisida, apalagi jika sarana produksi tersebut mengalami kelangkaan
atau tidak tersedia di pasaran. Biaya-biaya berupa pembajakan tanah dengan traktor dan sewa huller
serta penggilingan juga mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Dikarenakan pertumbuhan
biaya yang fluktuatif, maka seringkali permodalan yang telah disiapkan untuk masa tanam
berikutnya menjadi tdak cukup untuk membiayai semuanya.
Sebagian besar petani (khususnya penggarap) memperoleh fasilitas modal dari pemilik lahan dan
pedagang (tengkulak). Besarnya modal dari masing-masing sumber tersebut bervariasi, yaitu
tergantung kesepakatan antar penyedia dan peminjam modal. Dengan kata lain, tidak ada ketentuan
formal yang mengatur kesepakatan tersebut, namun posisi petani berada di pihak yang lemah.
Alternatif lain, misalnya melalui lembaga keuangan formal, kurang/tidak terjangkau oleh petani.
Pengajuan pinjaman oleh petani (kelompok tani) boleh dikatakan tidak mendapat respon dari
lembaga perbankan. Penyebabnya karena posisi petani lemah dari sisi agunan yang menjadi
persyaratan mutlak bagi bank. Bukti temuan sederhana (anecdotal evidence) menujukkan bahwa
realisasi kredit sepeda motor lebih mudah dibandingkan realisasi kredit usahatani. Hal tersebut
karena kredit sepeda motor dapat dicicil bulanan sementara kredit usahatani tidak dapat dicicil
musiman (per musim tanam).

G. Pengaruh Program Bantuan Pemerintah terhadap Produktivitas Petani Gurem Padi

Seperti yang telah diketahui bahwa pemerintah terlibat aktif dalam upaya peningkatan
produktivitas padi petani skala kecil. Salah satu bantuan yang diberikan pemerintah dalam upaya

5
peningkatan produktivitas pertanian padi yaitu pupuk. Bantuan pemerintah ini diwujudkan dalam
pemberian subsidi pupuk agar dapat meringankan pengeluaran pupuk petani kecil. Pupuk subsidi
ini ditujukan untuk petani skala kecil dengan luas lahan maksimal 2 hektar, tetapi kerap kali
petani dengan luas lahan lebih dari 2 hektar juga ikut membeli sehingga distribusi pupuk untuk
petani kecil terbengkalai. Salah satu program yang dicanangkan pemerintah untuk menangani
permasalahan tersebut yaitu program billing system.
Program billing system merupakan inovasi program pemerintah untuk membantu petani dalam
menyelesaikan masalah terkait pendistribusian pupuk tepat waktu dan sasaran. Namun, tidak
semua petani kecil memiliki persepsi yang sama terkait adanya program bantuan ini. Persepsi
petani terhadap program billing system terbagi menjadi 3, yaitu persepsi terhadap program billing
system dilihat dari tujuan program, pelaksanaan program, dan manfaat program. Diketahui bahwa
dilihat dari tujuan dan manfaat program, persepsi petani skala kecil terhadap program billing
system yaitu baik, mereka menilai bahwa adanya program ini bertujuan untuk kesejahteraan
petani dan bermanfaat mengakrabkan hubungan antar petani kecil. Sedangkan persepsi petani
dilihat dari pelaksanaan program adalah kurang baik karena program billing system masih
mempunyai banyak kekurangan meskipun dengan adanya bantuan subsidi pupuk ini dapat
meningkatkan produktivitas usahatani padi skala kecil tetapi pelaksanaanya masih harus banyak
dibenahi lagi.
Selain program bantuan subsidi pupuk, pemerintah juga memberikan bantuan berupa alat dan
mesin pertanian serta benih kepada petani skala kecil sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitasnya. Adanya bantuan faktor produksi yang diberikan pemerintah ini mempengaruhi
tingkat produksi, produktivitas, dan juga pendapatan petani padi skala kecil. Terbukti bahwa
setelah adanya bantuan faktor produksi dari pemerintah yang berupa alat dan mesin pertanian,
pupuk, dan benih membuat jumlah produksi padi milik petani skala kecil meningkat.
Adanya bantuan faktor produksi berupa alsintan membuat pengolahan lahan pertanian padi
menjadi lebih optimal. Bantuan benih dan pupuk juga berpengaruh karena dengan adanya
bantuan benih berkualitas dan subsidi pupuk, membuat petani menjadi lebih bisa mengoptimalkan
usahataninya karena tidak terbengkalai biaya dan penggunaan faktor produksi yang sesuai dengan
kebutuhannya, sehingga jumlah produksi padi bisa menjadi lebih tinggi dan tentunya
produktivitas padi meningkat. Adanya bantuan faktor produksi ini membuat pengeluaran petani
menjadi lebih kecil dan pengaruhnya terhadap produksi dan produktivitas menjadi lebih tinggi
sehingga pendapatan petani juga meningkat. Lain halnya dengan saat petani belum mendapat
bantuan faktor produksi dari pemerintah, pendapatan petani skala kecil cenderung lebih rendah
karena hasil produksinya tidak seberapa dan biaya yang dikeluarkan lebih banyak.

Anda mungkin juga menyukai