Anda di halaman 1dari 17

EKOLOGI HEWAN

“ KARAKTERISTIK LINGKUNGAN TERHADAP KOMUNITAS


SERANGGA DI KOTA PALANGKA RAYA”

Disusun oleh:
Febbyolla Indah Lestari (193010209012)
Angkatan / Kelas : 2019/A

Dosen Pengampu:
Drs. Bejo Basuki, M.Si
Ririn Fahrina, S.Pd, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2022
PENDAHULUAN

Serangga merupakan hewan yang memiliki peranan penting dalam sebuah

ekosistem. Menurut Astuti et al. (2009) peranan serangga dalam ekosistem

diantaranya adalah sebagai polinator, dekomposer, predator dan parasitoid.

Keberadaan serangga pada suatu tempat dapat menjadi indikator biodiversitas,

kesehatan ekosistem, dan degradasi lanskap. Serangga adalah hewan yang memiliki

sebaran habitat yang luas. Serangga dapat ditemukan pada berbagai habitat mulai

dari pegunungan, hutan, ladang pertanian, permukiman penduduk hingga daerah

perkotaan (Dewi et al. 2016). Keberadaan serangga khususnya di daerah perkotaan

sering tidak dipedulikan oleh masyarakat. Keberadaan serangga diperkotaan

menjadi hal yang positif karena serangga memiliki peranan ekologis, estetis dan

sarana pendidikan. Kepekaan serangga terhadap perubahan lingkungan menjadi

faktor penentu keberadaanya di alam. Hal tersebut berkaitan dengan

kemampuannya dalam merespon gangguan lingkungan dengan pola tertentu

(Rahayu 2016). Kelimpahan dan keanekaragaman serangga yang berada disuatu

habitat memiliki karakteristik dan kondisi lingkungan yang berbeda dengan habitat

serangga lainnya (Vu 2009).

Perekembangan sebuah kota saat ini cenderung berkembang secara fisik,

namun menurun secara aspek ekologis. Hal tersebut menyebabkan hilangnya area

ruang terbuka hijau maupun daerah alami. Menurut Gámez-Virués et al. (2015)

dampak dari adanya aktivitas manusia yang intensif yang dilakukan dalam proses

tersebut dapat mempengaruhi fluktuasi ekosistem, keanekaragaman hayati dan


respon dan ketahanan dari suatu spesies. Pembangunan fisik sarana prasana

merubah penggunaan lahan di perkotaan. Lahan-lahan berupa lahan hijau yang

masih alami diubah untuk mendukung kehidupan masyarakat. Pembangunan fisik

di perkotaan telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Masalah yang

timbul akibat hal tersebut berupa berubahnya kualitas lingkungan, hilangnya habitat

alami bagi flora dan fauna terutama serangga dan kepunahan spesies (Gámez-

Virués et al. 2015). Sektor industri dan transportasi pada saat yang bersamaan

menghasilkan senyawa yang dapat menurunkan kualitas udara. Hal ini dapat

menyebabkan kualitas habitat yang tersisa semakin menurun. Habitat baru akhirnya

terbentuk akibat pembangunan di wilayah perkotaan. Hutan kota, taman-taman,

saluran air, pohon-pohon pada sisi jalan, pusat perbelanjaan dan kuliner, tempat

sampah, saluran pembuangaan air, dan pinggirian perkotaan (Robinson 2005).

Palangka Raya merupakan ibukota dari Provinsi Kalimantan Tengah yang

berada diantara Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten

Katingan. Palangka Raya menjadi pusat perkotaan dan banyak sekali perubahan

pada lingkungan seperti lahan yang di alih fungsikan menjadi pembangunan

pemukiman, ataupun pembangunan fasilitas kota, serta polusi-polusi yang

ditimbulkan dari berbagai transportasi, tentunya akan berdampak pada hilangnya

daerah alami di suatu kota juga dapat menyebabkan kepunahan spesies juga

perubahan kualitas habitat. Hasil penelitian Fattorini (2011) yang melakukan kajian

mengenai serangga di kota Roma menunjukan hasil bahwa beberapa jenis serangga

seperti kupu-kupu dan kumbang mengalami kepunahan akibat konversi lahan dan
hilangnya ruang terbuka hijau. Maka perlu adanya strategi dalam mencegah

kepunahan dan perubahan kualitas habitat.

Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya

perubahan habitat dan pencemaran lingkungan adalah dengan menggunakan

organisme hidup sebagai bioindikator. Salah satu bioindikar yang umum digunakan

adalah serangga. Adanya berbagai macam gangguan lingkungan yang berinterakisi

dengan habitat serangga mendukung dugaan bahwa komunitas serangga terkena

dampak negatif dari gangguan lingkungan. Serangga dapat dijadikan indikator

sebuah lingkungan dalam upaya menanggulangi permasalah lingkungan yang

terjadi. Kajian menggunakan serangga sebagai indikator dapat memberikan

informasi mengenai keadaan lingkungan yang ada, seperti adanya gangguan

lingkungan pada suatu ekosistem. Kehidupan serangga dipengaruhi oleh faktor

lingkungan pada habitat maupun ekosistemnya. Informasi mengenai faktor

lingkungan yang berpengaruh terhadap serangga dapat dijadikan langkah-langkah

dalam menanggulangi gangguan lingkungan yang terjadi. Merujuk pada teori

tersebut maka perlu adanya kajian mengenai hubungan antara komunitas serangga

dengan gangguan lingkungan dan karakteristik habitat serta potensi jenis serangga

apa saja yang dapat digunakan sebagai bioindikator lingkungan.


KONSEP DAN TEORI

1. Gambaran Kota Palangka Raya

Kota Palangka Raya secara geografis terletak pada 113˚30`- 114˚07` Bujur

Timur dan 1˚35`- 2˚24` LintangSelatan, dengan luas wilayah 2.853,52 Km2

(267.851 Ha) dengan topografi terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan

kemiringan kurang dari 40%. Wilayah administrasi, Kota Palangka Raya terdiri atas

5 (lima) wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Pahandut, Sabangau, Jekan Raya,

Bukit Batu dan Rakumpit yang terdiri dari 30 Kelurahan.

Gambar 1. Peta Wialyah Kota Palangka Raya


2. Deskripsi Umum Serangga

Serangga atau insecta merupakan kelas dalam Avertebrata yang dominan di

permukaan bumi. Serangga juga sering disebut Heksapoda yang berarti mempunyi

enam tungkai (Fredicus dkk.,2019). Serangga adalah kelompok utama dari hewan

beruas (Arthopoda), arthopoda terbagi menjadi 3 sub filum yaitu Trilobita,

Mandibulata, dan Chelicerata (Freshyumander, 2016). Serangga memiliki jenis

dengan jumlah yang paling banyak dibandingkan dengan kelompok hewan lainnya.

Sebanyak kurang lebih 1.413.000 jenis telah berhasil diidentifikasi dan dikenal,

lebih dari 7.000 jenis baru ditemukan hampir setiap tahunnya (Fredicus dkk.,2019).

Beberapa anggota dari serangga memiliki peranan yang menguntungkan

maupun merugikan dalam kehidupan. Peran merugikan serangga di bidang

pertanian dan kehidupan adalah sebagai hama tumbuhan budidaya, sebagai vektor

pembawa penyakit pada tanaman, dan sebagai penyebab penyakit pada manusia.

Peran positif serangga adalah sebagai polinator atau penyerbuk, sebagai predator

atau parasitoid (musuh alami), sebagai bioindikator lingkungan, sebagai penghasil

bahan-bahan yang bermanfaat dalam bidang kesehatan (Kustiati,2019).

Menurut Meilin dan Nasamir (2016) serangga hidup dalam tanah, darat,

udara maupun air tawar sebagai parasit pada tubuh makhluk hidup lain, akan tetapi

serangga jarang hidup dalam air asin (laut). Faktor lingkungan merupakan faktor

yang berhubungan dengan tempat hidup serangga. Keanekaragaman dan

kelimpahan serangga secara umum akan ditentukan pula oleh faktor lingkungan.

Setiap jenis serangga mempunyai kesesuaian terhadap lingkungan tertentu. Oleh


karena itu, faktor fisik lingkungan, terutama suhu dan kelembapan sangat

berpengaruh terhadap keberadaan serangga. Kondisi lingkungan yang berbeda

menyebabkan kelimpahan serangga tiap tipe habitat berbeda. Suhu berpengaruh

terhadap aktivitas serangga, penyebaran geografis dan lokal, serta perkembangan.

Kelembaban mempengaruhi penguapan cairan tubuh serangga dan pemilihan

habitat yang cocok (Fredicus dkk, 2019).

3. Peranan Serangga

Pada dasarnya, serangga dan tanaman memiliki hubungan timbal balik yang

erat, entah itu hubungan yang saling menguntungkan, saling merugikan, ataupun

netral. Tanpa kehadiran suatu serangga, maka kehidupan suatu ekosistem akan

terganggu dan tidak akan mencapai suatu keseimbangan. Peran serangga dalam

ekosistem diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Pollinator

Serangga secara tidak langsung berperan dalam proses polinasi, karena

serangga hanya bertujuan untuk mendapatkan nektar yang merupakan sumber

makananya. Tanaman berperan penting dalam proses fotosintesis untuk

menyediakan yang dapat dimanfaatkan oleh organisme lain, termasuk serangga.

Sebuah tanaman dapat terdiri dari banyak microhabitat yaitu microhabitat daun,

pucuk daun, batang kayu, hingga akar tanaman. Struktur tumbuhan yang komplek

akan menarik semakin banyak serangga musuh alami untuk berasosiasi dengan

tumbuhan tersebut. Serangga memerlukan tanaman liar penutup tanah sebagai

habitatnya tempat dia berkembang biak dan bernaung(Purwatiningsih, 2014).


Gambar 2. beberapa contoh dari serangga polinator (a: kupu-kupu, b: lalat)

(sumber a: Septianella, 2015, sumber b: Ysirulhaqqi, 2016)

Serangga juga bisa berfungsi sebagai perantara perkawinan tanaman pada

bidang pertanian. Serangga yang menjadi sarana penyerbukan tanaman ini disebut

sebagai serangga pollinator. Penyerbukan merupakan proses yang esensial dan

berpengaruh terhadap pembentukan biji dan variasi genetic keturunanya. Penelitian

menunjukkan bahwa serangga mampu meningkatkan hasil buah. Serangga

pollinator biasanya tertarik pada mantel luar tanaman yang lengket dan mengkilap.

Polinasi terjadi ketika serangga bersentuhan dengan bunga tanaman lalu tepung sari

(polen) menempel paada tubuhnya dan selanjutnya polen tersebut akan ditransfer

ke putik bunga(Purwatiningsih, 2014).

b. Dekomposer

Peranan serangga sebagai dekomposer (pengurai) merupakan organisme

yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati. Dekomposer

umumnya adalah mikroorganisme yang menguraikan materi-materi yang

sebelumnya telah melalui proses penguraian oleh organisme detritivor, pengurai

disebut juga konsumen makro karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar
(Khusnia,2017). Serangga tanah memegang peranan penting penting sebagai soil

engineer, litter transforner, soil decomposer dan predator.

Gambar 3. Kumbang Kotoran (Satta, 2013)

Serangga tanah sebagai litter transformer dan soil decomposer masing-

masing melakukan fragmentasi dan degradasi bahan organik seperti tumbuh-

tumbuhan, hewan, dan juga fase yang membusuk(Sirait,2017). Contohnya

kumbang yang bersifat dekomposer biasanya merupakan anggota dari Coleoptera,

dan famili Scarabaeidae, yang lebih dikenal sebagai kumbang tinja, memiliki

perilaku makan dan reproduksi yang dilakukan di sekitar tinja. Contoh lain adalah

rayap, dapat membantu manusia menjaga keseimbangan alam dengan cara

menghancurkan kaya untuk mengembalikannya sebagaian unsur hara dalam tanah.

Namun karena perubahan kondisi habitat akibat aktifitas manusia sehingga

mengubah status rayap menjadi serangga hama yang merugikan.


c. Parasitonoid

Parasitonoid merupakan arthopoda yang memerasitkan serangga atau

binatang arthopoda lainnya yang bersifat parasit pada fase pradewasa, sedangkan

dewasanya hidup bebas dan tidak terikat pada inangny. Pada kehidupan

parasitonoid secara umum makananya berupa nektar dan hemolin inang. Haemolin

inang digunakan dalam pembentukan dan pematangan telur sedangkan nektar

diperlukan sejak awal sebagai sumber energi.

Gambar 4. Kokon parasitoid pad tubuh E. blanda (kiri) dan imago Apanteles

sp. (kanan) (Yeni dkk.,2017).

Parasitonoid menyebabkan kematian pada inangnya secara perlahan-lahan

dan parasitonoid dapat menyerang fase hidup serangga, meskipun fase dewasa

jarang terparasit. Sebagian besar parasitonoid adalah anggota dari ordo

hymenoptera, ordo diptera, dan sebagian kecil pada ordo stresiptera(Khusnia,2017).

Ordo hymenoptera memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi, dengan 20.000-

25.000 spesies, sekitar 80% spesies parasitoid termasuk dalam ordo hymenoptera

yang umumnya berlimpah pada ekosistem daratan. Parasitoid dianggap lebih baik

daripada pemangsa sebagai agen pengendali hayati.


d. Predator

Serangga dalam kehidupan di suatu ekosistem berperan sebagai agen

pengendali hayati, kaitannyadalam predasi. Serangga berperan sebagai predator

bagi mangsanya baik nematoda, protozoa, bahkan sesama serangga lain. Serangga

yang predator hidup bebas dengan memakan, membunuh, atau memangsa serangga

lain, ciri-ciri predator yaitu: dapat memangsa semua tingkat perkembangan

mangsanya (telur larva, nimfa, pupa, dan imago);membunuh dengan cara memakan

dan menghisap mangsanya dengan cepat;bersifat kamifor ada yang monofag,

oligofag dan polifag; memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada

manganya(Sirait,2017).

Gambar 5. Libellula.sp (Herianto, 2014)

Contoh-contoh predator seperti laba-laba adalah contoh pemangsa lain yang

dikenal secara umum. Beberapa jenis laba-laba membuat jaring. Laba-laba tersebut

menunggu di jaringnya sampai serangga yang terbang terperangkap. Laba-laba

mendekati serangga itu dengan cepat, menggigit dan langsung memakannya.

Kadang-kadang menyimpannya untuk dimakan kemudian. Beberapa jenis laba-laba


lainnya tidak membuat jaring, tetapi berpindah-pindah dalam kebun untuk

memburu mangsa. Hal yang sama juga dilakukan oleh banyak jenis serangga

pemangsa. Serangga tersebut berburu, membunuh, dan memakan serangga lain.

Contohnya adalah tawon kertas, selain itu ada juga yang disebut serangga pemangsa

telur yang mencari dan memakan telur hama seperti telur penggulung pucuk,

contohnya adalah cecopet. Serangga lain yang merrupakan pemangsa termasuk

belalang sembah, kumbang kubah, kumbang, harimau, kumbang tanah, lalat buas,

capung, dan beberapa macam kepik.


PEMBAHASAN

Faktor lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi keberadaan

serangga pada suatu habitat. Pengukuran parameter lingkungan yang dilakukan

berupa inventarisasi jenis tumbuhan, iklim mikro (suhu, kelembapan, dan intensitas

cahaya), LAI dan pengukuran kualitas udara (Pb dan TSP).

Hutan kota merupakan lokasi dengan potensi gangguan terendah. Hutan

Kota memiliki karakteristik lingkungan berupa rendahnya suhu, rendahnya tingkat

konsentrasi Pb, tingginya kelembapan, cukup tingginya kekayaan jenis tumbuhan

namun memiliki nilai kadar TSP tertinggi. Tingginya nilai TSP dipengaruhi oleh

jarak antar hutan kota dengan sumber emisi berupa sektor transportasi dengan

kepadatan lalu lintas yang tinggi. Hutan kota yang dijadikan sebagai lokasi

penelitian berada pada sisi jalan nasional. Nilai kadar Pb yang rendah di hutan kota

disebabkan karena vegetasi yang ditanam adalah jenis pohon dengan kemampuan

mereduksi emisi dari sektor transportasi. Rendahnya potensi gangguan menjadikan

hutan kota sebagai lokasi yang mampu mendukung kehidupan serangga. Fungsi

ekologis hutan kota adalah sebagai pelindung sumberdaya penyangga kehidupan

manusia. Keberadaan vegetasi pada hutan kota membentuk karakteristik

lingkungan untuk menciptakan fungsi positif dalam menciptakan lingkungan yang

baik. Dampaknya dalam membentuk habitat yang memungkinkan bagi kehidupan

flora dan fauna, dan peningkatan kualitas lingkungan (Ningrum et al. 2015).

Faktor yang menyebabkan keanekaragaman jenisnya tinggi yaitu serangga yang

berada pada area sekitar pemukiman padat penduduk masih toleran terhadap
kondisi lingkungan dengan gangguan lingkungan yang tinggi serta dapat

memanfaatkan sumberdaya pakan yang tersedia. Beragam serangga mencoba untuk

memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya, sehingga keanekaragaman jenis

pada area sekitar pabrik tinggi namun kondisi ini belum stabil. Kondisi stabil yaitu

pada saat hanya beberapa jenis serangga saja yang dapat bertahan dengan gangguan

lingkungan yang tinggi dan dapat memanfaatkan sumber daya yang ada. Daya

adaptasi merupakan kunci bagi serangga untuk bertahan hidup pada suatu habitat.

Tidak semua serangga dapat hidup dengan tingkat gangguan lingkungan yang

tinggi habitat dengan gangguan yang tinggi dapat memfasilitasi spesies tertentu

yang berisifat adaptif sehingga dapat mendominansi pada habitat. Semakin tinggi

tingkat gangguan habitat mengakibatkan adanya kompetisi memanfaatkan

sumberdaya, membentuk habitat baru, hilangnya spesies asli, perbedaan komposisi

serangga dan spesies yang lebih adaptif akan lebih bisa bertahan hidup (Hasriyanti

et al. 2015). Faktor lain yang mempengaruhi nilai keanekaragaman jenis (H’) yang

dicontohkan pada komunitas burung yang berhabitat di hutan kota adalah kondisi

lingkungan, jumlah jenis dan sebaran individu pada masing-masing jenis (Ismawan

et al. 2015).

Karakteristik lingkungan pada suatu habitat dapat mempengaruhi

keberadaan serangga. Analisis korelasi Pearson menunjukkan beberapa faktor

lingkungan mempengaruhi keberadaan komunitas serangga. Analisis korelasi

Pearson menunjukkan bahwa kekayaan jenis serangga meningkat seiring dengan

semakin beragamnya jenis tumbuhan pada suatu habitat. Meningkatnya kadar TSP

akan diikuti dengan meningkatnya jumlah jenis serangga. Hal ini disebabkan pada
lokasi hutan kota yang memiliki nilai kadar TSP yang tinggi dan ditemukan jumlah

jenis yang banyak. Prinsipnya setiap jenis serangga memiliki sensitifitas, daya

toleransi, dan kemampuan adaptasi yang berbeda terhadap dinamika kondisi

lingkungan serta tingkat gangguan pada habitatnya. Adanya jenis serangga yang

memiliki daya toleran dan daya adaptasi yang tinggi menyebabkan adanya

hubungan positif antara nilai TSP dengan kekayaan jenis. Hasil ini berbanding

terbalik dengan teori yang menjelaskan bahwa semakin jauh jarak dari sumber

gangguan dapat meningkatkan keanekaragaman jenis serangga (Azahra 2016).


KESIMPULAN

Palangka Raya merupakan ibukota dari Provinsi Kalimantan Tengah yang

berada diantara Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten

Katingan. Palangka Raya menjadi pusat perkotaan dan banyak sekali perubahan

pada lingkungan seperti lahan yang di alih fungsikan menjadi pembangunan

pemukiman, ataupun pembangunan fasilitas kota, serta polusi-polusi yang

ditimbulkan dari berbagai transportasi, tentunya akan berdampak pada hilangnya

daerah alami di suatu kota juga dapat menyebabkan kepunahan spesies juga

perubahan kualitas habitat.

Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya

perubahan habitat dan pencemaran lingkungan adalah dengan menggunakan

organisme hidup sebagai bioindikator. Salah satu bioindikar yang umum digunakan

adalah serangga. Pada dasarnya, serangga dan tanaman memiliki hubungan timbal

balik yang erat, entah itu hubungan yang saling menguntungkan, saling merugikan,

ataupun netral. Tanpa kehadiran suatu serangga, maka kehidupan suatu ekosistem

akan terganggu dan tidak akan mencapai suatu keseimbangan.


DAFTAR PUSTAKA

Ade et al. 2021. Identifikasi Jenis Kupu-Kupu (Lepidoptera) Di Universitas


Palangka Raya. Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas
Palangka Raya: Palangka Raya.
Astuti S, Untung K, Wagiman FX. 2009. Respons fungsional burung pentet (Lanius sp.)
terhadap belalang kembara (Locusta migratoria manilensis). Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia. 15:96-100.
Azahra SD. 2016. Jenis kupu-kupu (papilionoidea) potensial sebagai bioindikator kondisi
lingkungan hutan kota [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Dewi NWSP, June T, Yani M, Mujito. 2018. Estimasi pola dispersi debu, SO2 dan NOx dari
industri semen menggunakan model gauss yang diintegrasi dengan SCREEN3.
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 8(1):109-119.
Fattorini S. 2011. Insect extinction by urbanization: a long term study in Rome. Biological
Conservation. 144:370–375.
Gámez-Virués S, Perovic DJ, Gossner MM, Börschig C, NicoBlüthgen N, De Jong H,
Simons KN, Klein
AM, Krauss J, Maier G, Scherber C, Steckel J, Rothenwöhrer C, Steffan-Dewenter
I, Weiner CN, Weisser W, Werner M, Tscharntke T, Westphal C. 2015. Landscape
simplification filters species traits and drives biotic homogenization. Nature
Communications. doi: 10.1038/ncomms9568.
Prabhakar CS, Sood P, Mehta PK. 2012. Fruit fly (Diptera: Tephritidae) diversity in
cucurbit fields and surrounding forest areas of Himachal Pradesh, a North-Western
Himalayan state of India. Archives of Phytopathology and Plant Protection (DOI:
10.1080/03235408.2012.660612)

Anda mungkin juga menyukai