Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ALIVIA NAZILLAH

NIM : 2111013220019

TIPE BIOINDIKATOR

I. Pendahuluan
Fauna tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik yang hidup di
permukaan tanah maupun terdapat di dalam tanah yang merupakan salah satu
komponen tanah. Arthropoda tanah yang merupakan salah satu fauna tanah
mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekosistem, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Peranan serangga dalam ekosistem diantaranya adalah
sebagai polinator, dekomposer, predator, parasitoid (pengendali hayati), hingga
sebagai bioindikator suatu ekosistem. Beberapa jenis arthropoda yang berada di
permukaan tanah dapat digunakan sebagai petunjuk (indikator) terhadap
kesuburan atau keadaan tanah terebut (Abdillah et al.,2019).
Bioindikator Arthropoda dapat dijadikan sebgai alat pendeteksi perubahan
yang terjadi di lingkungan sehingga saintis dapat memprediksi level ganguan di
lingkungan tersebut (Semiun & Mamulak, 2021). Beberapa Arthropoda dikenal
sebagai spesies indikator seperti kupu-kupu dan semut. Kedua kelompok ini
merupakan indikator untuk lingkungan yang masih alami. Terjadinya kerusakan
menimbulkan perubahan diversitas dan komposisi yang drastis terhadap kedua
kelompok ini. Umumnya penentuan kelompok Arthropoda sebagai indikator
lingkungan berada pada tingkatan famili dan ordo. Hal ini disebabkan karena
penggunaan satu spesies saja tidaklah cukup untuk mengukur perubahan
lingkungan (Leksono, 2011).
Serangga terestrial adalah kelompok serangga yang hidup di daratan,
termasuk kumbang, belalang, kupu-kupu, lebah, semut, dan banyak lagi.
Keberagaman bentuk, perilaku, dan peran ekologi serangga darat membuat
mereka menjadi subjek penelitian yang menarik dan berharga dalam pemahaman
ekosistem dan dampak perubahan lingkungan. Bioindikator adalah organisme
yang digunakan untuk mengukur kualitas lingkungan dan mengidentifikasi
dampak perubahan ekologi. Serangga darat telah terbukti menjadi indikator yang
sangat efektif dalam pemantauan kualitas lingkungan, perubahan iklim, dan
kesehatan ekosistem (Rumahlatu et al.,2021).
Prediksi kualitas air umumnya dilakukan dengan metode fisika-kimia. Selain
itu, metode biologis juga diperlukan untuk mengendalikan polutan beracun.
Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaan atau
perilakunya di alam berkaitan dengan kondisi lingkungan. Biomonitoring dengan
menggunakan bioindikator salah satu ikan dapat mencerminkan pengaruh faktor
lingkungan yang menggambarkan kualitas air yang sebenarnya selain data dari
faktor lingkungan (Purba, 2022).
Ikan merupakan spesies hewan yang sering digunakan sebagai bioindikator
lingkungan untuk memantau tingkat pencemaran atau kualitas air lingkungan
karena kepekaannya terhadap pencemaran. Ikan sering digunakan untuk
mengetahui dampak berbagai jenis polutan organik. Ikan telah banyak digunakan
sebagai bioindikator untuk monitoring pencemaran di ekosistem akuatik. Melalui
penerapan bioindikator dapat diprediksi keadaan alami suatu wilayah tertentu atau
tingkat kontaminasi. Perubahan kualitas air baik sifat fisika atau kimia dapat
mempengaruhi keberadaan komunitas ikan. Keadaan ini mengakibatkan
perubahan keanekaragaman spesies ikan yang terdapat pada komunitas ikan serta
ekosistem di sungai dari waktu ke waktu (Aprilliyani & Rahayuningsih, 2020).

II. Pembahasan
Parasitoid hymenoptera adalah serangga yang memiliki siklus hidup
parasitoid, yang berarti mereka berada dalam hubungan parasit dengan inangnya,
seringkali serangga lain atau larva serangga, dan menghabiskan sebagian besar
siklus hidup mereka sebagai parasit. Salah satu aspek menarik dari Parasitoid
hymenoptera adalah potensinya sebagai bioindikator yang efektif dalam
memantau kesehatan lingkungan dan dinamika ekosistem. Parasitoid
hymenoptera mencakup berbagai spesies yang memiliki preferensi ekologis yang
berbeda. Pemantauan keanekaragaman spesies parasitoid Hymenoptera dapat
memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang keanekaragaman hayati
ekosistem (Leksono, 2011).
Parasitoid hymenoptera dapat digunakan dalam upaya konservasi hewan liar.
Meningkatkan keanekaragaman Parasitoid hymenoptera dalam suatu ekosistem
dapat membantu menjaga populasi hewan inang yang terancam punah. Contohnya
parasitoid yang memerangi hama serangga yang mengancam tumbuhan endemik
dapat membantu melindungi tumbuhan tersebut. Selain itu, di ekosistem air
Parasitoid Hymenoptera yang bersifat parasit atau predator bagi larva serangga
air, seperti capung, dapat digunakan untuk memantau kualitas air dan dinamika
ekosistem. Kehadiran atau ketiadaan parasitoid ini dapat memberikan petunjuk
tentang perubahan dalam populasi serangga air yang menjadi makanan bagi ikan
dan hewan air lainnya. Salah satu penerapan utama parasitoid Hymenoptera
adalah dalam pemantauan kesehatan hutan. Populasi serangga parasitoid dalam
hutan dapat memberikan petunjuk tentang perubahan dalam dinamika hutan dan
masalah yang mungkin terjadi, seperti peningkatan populasi hama serangga atau
gangguan ekosistem. Penurunan populasi parasitoid Hymenoptera dapat menjadi
sinyal peringatan bahwa tindakan konservasi diperlukan untuk menjaga
keseimbangan ekologi di hutan tersebut (Abdillah et al.,2019).
Edaphic arthropods adalah anggota arthropoda yang hidup atau berada di
lapisan tanah, hutan tanah, kompos, atau di bawah permukaan. Mereka termasuk
berbagai kelompok, seperti kumbang tanah, laba-laba tanah, dan milipede.
Sebagian besar edaphic arthropods memiliki peran penting dalam proses
dekomposisi dan sirkulasi nutrien dalam ekosistem tanah. Edaphic arthropods
merespons perubahan kualitas tanah dan lingkungan di sekitarnya. Perubahan
dalam komposisi spesies atau kelimpahan edaphic arthropods dapat
mengindikasikan masalah kualitas tanah seperti degradasi, peningkatan polusi,
atau perubahan penggunaan lahan. Keanekaragaman spesies arthropoda edafik
mencerminkan kesehatan ekosistem tanah. Penurunan keanekaragaman dapat
mengindikasikan gangguan pada rantai makanan tanah, yang pada gilirannya
dapat mempengaruhi produktivitas tanah dan keanekaragaman hayati ekosistem di
atasnya (Husamah & Rahardjanto, 2019).
Edaphic arthropods dapat digunakan untuk memantau kualitas tanah di lahan
pertanian. Penelitian mengenai kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda
edafik dapat memberikan informasi tentang dampak penggunaan pestisida,
perubahan dalam praktik pertanian, dan degradasi tanah. Penurunan kelimpahan
spesies dekomposer, seperti kumbang tanah dan milipede, dapat mengindikasikan
perubahan negatif dalam kualitas tanah. Pencemaran tanah oleh logam berat atau
senyawa kimia berbahaya dapat memengaruhi kelimpahan dan komposisi
arthropoda edafik. Pengamatan perubahan dalam komunitas edaphic arthropods
dapat memberikan petunjuk awal tentang tingkat pencemaran dan dampaknya
pada ekosistem tanah (Utomo, 2016).
Terrestrial insect sebagai bioindikator memiliki berbagai aplikasi yang luas
dalam pemantauan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Beberapa
contoh penerapan dari serangga darat sebagai bioindikator yaitu untuk kualitas air.
Perubahan dalam komposisi dan kelimpahan serangga air ini dapat digunakan
untuk menilai kualitas air di sungai, danau, atau rawa-rawa. Kehadiran spesies
yang diindikasikan sebagai pencemar air atau spesies yang hanya hidup di
lingkungan air yang bersih dapat memberikan informasi berharga tentang kondisi
ekologis suatu ekosistem air. Selain itu kumbang tanah, cacing tanah, dan semut
dapat digunakan sebagai indikator kualitas tanah. Mereka memainkan peran
penting dalam sirkulasi nutrien dan struktur tanah. Terrestrial insect juga berperan
dalam kesehatan ekosistem alami, pemantauan kelimpahan dan keragaman
serangga darat di taman alam, hutan lindung, dan ekosistem alami lainnya
membantu dalam menjaga keseimbangan alam dan kesehatan ekosistem tersebut.
Perubahan dalam populasi serangga darat dapat mengindikasikan perubahan besar
dalam ekosistem tersebut.
Salah satu serangga yang dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan yaitu
lebah madu. Hewan ini merupakan serangga yang sangat bergantung pada
keberagaman bunga sebagai sumber makanan. Mereka dapat digunakan sebagai
indikator lingkungan karena perubahan dalam jenis dan ketersediaan bunga dapat
mencerminkan perubahan dalam komposisi tumbuhan dan kualitas habitat. Selain
itu, penurunan populasi lebah madu juga bisa menjadi indikasi masalah dalam
ekosistem, seperti paparan pestisida atau kehilangan habitat alam. Kupu-kupu
adalah hewan yang sering digunakan sebagai indikator ekologi karena mereka
memiliki siklus hidup yang berhubungan dengan tumbuhan inang mereka dan
sangat responsif terhadap perubahan dalam kualitas habitat. Perubahan populasi
atau keanekaragaman spesies kupu-kupu dapat memberikan petunjuk tentang
perubahan dalam kondisi ekosistem, seperti perubahan dalam vegetasi dan
kualitas udara. Selain sebagai indikator ekologi, kupu-kupu juga dapat dijadikan
sebagai indikator keanekaragaman hayati. Penurunan populasi kupu-kupu dapat
menjadi indikasi perubahan dalam kualitas habitat atau dampak perubahan iklim
(Roziaty et al.,2017).
Penggunakan ikan sebagai bioindikator memiliki keuntungan dalam
memantau kualitas lingkungan perairan, diantaranya ikan mudah ditemukan dan
dibudidayakan, ikan dapat memberikan respons terhadap perubahan lingkungan
dengan cepat baik itu fisik maupun perilaku. Mereka akan menunjukkan sifat
stress atau kerusakan lingkungan lebih awal daripada organisme lain seperti
perubahan warna, perubahan tingkat aktivitas, atau gangguan reproduksi. Selain
itu, ikan juga dapat menjadi indikator dalam kesehatan lingkungan. Kondisi
kesehatan ikan dapat menjadi cermin kualitas lingkungan perairan tempat mereka
hidup. Jika ikan menunjukkan tanda-tanda penyakit atau deformitas fisik, ini
dapat mengindikasikan adanya masalah dalam ekosistem perairan tersebut
(Husamah & Rahardjanto, 2019).
Selain dari keuntungan yang telah disebutkan tidak menutup kemungkinan
penggunaan ikan sebagai indikator tidak memiliki kerugian. Walaupun ikan dapat
digunakan sebagai bioindikator yang berguna dalam pemantauan lingkungan
perairan, penggunaan mereka juga memiliki beberapa kerugian yang perlu
dipertimbangkan yaitu ikan cenderung menunjukkan respons terhadap berbagai
faktor lingkungan, termasuk perubahan cuaca, suhu, dan faktor-faktor lain yang
mungkin tidak terkait dengan polusi atau perubahan lingkungan yang ingin
diamati. Ini bisa membuat interpretasi data menjadi rumit, terutama jika faktor-
faktor non-polusi berkontribusi pada perubahan yang diamati (Supriatna, 2023).
Ikan memiliki variasi biologis yang signifikan dalam respons terhadap
kondisi lingkungan. Perbedaan dalam spesies, ukuran, usia, dan faktor genetik
dapat memengaruhi bagaimana ikan merespons polusi atau perubahan lingkungan.
Oleh karena itu, diperlukan kontrol yang ketat dan data pembanding untuk
memahami respons ikan dengan lebih baik. Ikan mungkin membutuhkan waktu
yang lama untuk menunjukkan gejala atau efek dari paparan zat pencemar
tertentu. Hal ini dapat membuat sulit untuk mendeteksi perubahan lingkungan
secara cepat atau mengambil tindakan pencegahan yang efektif jika diperlukan.
Penggunaan ikan sebagai bioindikator terbatas pada lingkungan perairan. Ini tidak
dapat memberikan informasi komprehensif tentang kualitas lingkungan di daratan
atau dalam ekosistem lainnya. Selain itu, penggunaan ikan sebagai bioindikator
dapat tergantung pada spesies tertentu yang mungkin tidak selalu mewakili
kondisi lingkungan secara keseluruhan. Kehadiran atau ketiadaan spesies tertentu
juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, termasuk aktivitas manusia
seperti penangkapan ikan (Purba, 2022).

III. Kesimpulan
Kesimpulan dari artikel ini yaitu parasitoid Hymenoptera merupakan
organisme yang berperan penting dalam meningkatkan keanekaragaman dan
menjaga populasi parasitoid Hymenoptera dalam berbagai ekosistem. Penggunaan
edaphic arthropods sebagai indikator sangat relevan dalam upaya pemantauan dan
perlindungan kualitas tanah serta kesehatan ekosistem. Penggunaan ikan sebagai
bioindikator memiliki keuntungan signifikan dalam pemantauan kualitas
lingkungan perairan, termasuk kemudahan dalam pengamatan dan respons yang
cepat terhadap perubahan lingkungan. Namun, perlu diingat bahwa ikan juga
responsif terhadap faktor-faktor lingkungan lainnya yang mungkin tidak terkait
dengan polusi, sehingga memerlukan pemahaman yang mendalam untuk
menginterpretasi data secara akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M., W. Handayani., & T. B. P. Prakarsa. 2019. Keanekaragaman Famili


Arthropoda Tanah Di Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama Kabupaten
Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Biosilampari : Jurnal
Biologi. 1 (2) : 59-64.
Aprilliyani, E. P., & M. Rahayuningsih. 2020. Keanekaragaman Spesies Ikan
sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Sungai Kaligarang Kota
Semarang. Life Science. 9 (1) : 1-10.
Husamah & A. Rahardjanto. 2019. Bioindikator : Teori dan Aplikasi dalam
Biomonitoring. UMM Press, Malang.
Purba, I. R. 2022. Makrozoobentos sebagai Bioindikator Kualitas Air. CV. Azka
Pustaka, Jakarta.
Leksono, A. S. 2011. Keanekaragaman Hayati : Teori dan Aplikasi. UB Press,
Malang.
Roziaty, E., A. I. Kusumadani., & I. Aryani. 2017. Biologi Lingkungan.
Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Rumahlatu, D., K. Sangur., & F. Leiwakabessy. 2021. Biomonitoring Logam
Berat : Kajian Biomolekuler, Fisiologi, dan Etologi pada Biota Perairan.
CV. Bintang Semesta Media, Yogyakarta.
Semiun, C. G., & Y. I. Mamulak. 2021. Keanekaragaman Arthropoda pada lahan
pertanian kacang di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jurnal Biologi Udayana. 25 (1) : 28-38.
Supriatna, J. 2023. Biologi Terapan untuk Masa Depan dan Kemajuan Bangsa.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Utomo, M. 2016. Ilmu Tanah Dasar-Dasar dan Pengelolaan. Kencana, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai