Anda di halaman 1dari 18

PERADABAN ARAB PRA-ISLAM DAN KERAJAAN-KERAJAAN

PRA-ISLAM

MAKALAH

Oleh:
Mochamad Saeful Rachmat Maulana F
(2386070002)

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM (SPI) TAHUN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa dipanjatkan atas rahmat Tuhan yang Maha Esa karena penulis
dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul makalah “Peradaban Arab Pra-Islam Dan
Kerajaan-Kerajaan Pra-Islam”.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan untuk itu kami sangat mengharapkan adanya masukan dan
kritikan yang bersifat membangun untuk membuat makalah ini menjadi lebih baik.
Akhir kata semoga makalah ini bisa memberikan ilmu yang bermanfaat terkait dengan
teori belajar. Izinkan penulis mengutip sebuah kalimat “Teruslah membuat karya, karena
karya itulah yang akan berbicara ketika penulisnya sudah tiada”.

Sabtu, 30 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2

C. Tujuan Pembahasan.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

A. Kehidupan Arab Pra-Islam..........................................................................................3


1. Kehidupan Beragama.........................................................................................................3
2. Kehidupan Ekonomi...........................................................................................................5
3. Kehidupan Sosial...............................................................................................................6
4. Kehidupan Politik...............................................................................................................7

B. Kerajaan-Kerajaan Pra-Islam......................................................................................9
1. Kerajaan Ma'in...................................................................................................................9
2. Kerajaan Saba...................................................................................................................10
3. Kerajaan Himyar..............................................................................................................12

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Peradaban Arab Pra-Islam adalah sebuah fase sejarah yang memegang peran sentral
dalam memahami akar dan asal-usul dari peradaban Islam. Rentang waktu ini mencakup
periode sebelum munculnya Islam pada abad ke-7 Masehi, ketika wilayah Arab dikuasai oleh
berbagai kerajaan dan struktur politik yang berbeda. Untuk memahami sepenuhnya pengaruh
dan kontribusi dari peradaban Arab Pra-Islam, kita perlu melihat ke belakang dan menyelami
kehidupan, kepercayaan, dan struktur sosial dari masyarakat Arab pada masa itu.

Secara geografi Jazirah Arab terletak di Barat-Daya Benua Asia. Di bagian Utara
berbatasan dengan Sahara Negeri Syam, bagian Timur berbatasan dengan Teluk Persia dan
Laut Oman, bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan bagian Baratnya dengan
Laut Merah. Secara politik, Jazirah Arab terdiri dari negara Arab Saudi, Kuwait, Yaman,
Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain. Sedangkan secara geologi, daerah ini lebih tepat
disebut Anak Benua Arab sebab memiliki plat tektonik tersendiri, Plat Arab.

Datarannya yang tertinggi terletak di bagian barat membujur ke Timur hingga Negeri
Oman. Di Jazirah Arab tidak terdapat sungai yang mengalir terus-menerus, di sana hanya
terdapat beberapa lembah yang kadang berair dan kadang kering. Di bagian tengah Jazirah
Arab terdapat Gurun Sahara yang paling luas dan keadaan alamnya di masing-masing
kawasan tidaklah sama (Husaini,1992:18).

Sejarah bangsa Arab telah mengalami kemajuan dalam metode penelitiannya. Sejarah
demografi bangsa Arab telah diselidiki dengan berbagai pedekatan ilmu pengetahuan.
Penyelidikan pada perbandingan dan keterkaitan antara bahasa Ibrani, Asyur, Babil, dan
Punisia ternyata memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Data ini juga diperkuat dengan
penyelidikan penelitian yang bersandarkan pada ilmu biologi dan antropologi yang
menegaskan bentuk dan perawakan seperti rambut hitam, janggut tebal, warna kulit dan
lainnya. Penelitian ini menegaskan bahwa bangsa Arab tergolong bangsa semit (bangsa
Seam). (Hamka,2005:15).

Masyarakat Arab pra-Islam diorganisir dalam sistem suku yang kuat. Suku-suku ini
memiliki kepemimpinan yang otonom dan berfungsi sebagai unit politik, ekonomi, dan

1
sosial. Kepala suku atau Sheikh memegang kekuasaan tertinggi dan dihormati oleh anggota
suku. Di dalam suku, terdapat hubungan erat antara anggota, dan kehormatan serta
kepercayaan menjadi prinsip utama dalam interaksi sosial. Sebelum Islam, masyarakat Arab
mempraktikkan berbagai bentuk agama politeistik yang memuja berbagai dewa dan roh.
Ka'bah di Mekah adalah pusat keagamaan penting bagi banyak suku Arab, tempat di mana
patung-patung dewa-dewa dipuja. Namun, kepercayaan dan praktik keagamaan berbeda-beda
di setiap suku dan klan.

Salah satu kekaisaran yang paling signifikan di wilayah Arab pra-Islam adalah
Kekaisaran Nabatea. Berpusat di Petra, kekaisaran ini menguasai jalur perdagangan penting
yang menghubungkan Timur Tengah dengan Laut Merah. Kerajaan Saba, yang berpusat di
Yaman modern, dikenal karena kekayaannya yang besar, terutama berkat kontrol mereka atas
perdagangan rempah-rempah, terutama kemenyan. Kerajaan Himyar menguasai wilayah
selatan semenanjung Arab, dan mereka memiliki peran penting dalam jalur perdagangan
karavan yang menghubungkan Arabia dengan negeri-negeri sekitarnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kehidupan arab Pra-Islam?
2. Bagaimana kerajaan-kerajaan Pra-Islam?

C. Tujuan Pembahasan
Adapan tujuan dari makalah ini berdasarkan pada rumusan masalah yaitu:
1. Untuk mengetahui kehidupan arab Pra-Islam
2. Untuk mengetahui kerajaan-kerajaan Pra-Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kehidupan Arab Pra-Islam


1. Kehidupan Beragama
Paganisme, Yahudi, Majusi dan Nasrani adalah agama orang Arab pra-Islam (Abu
Su'ud,2003:17). Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-
macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Ada sekitar 360 berhala yang mengelilingi berhala
utama, Hubal, yang terdapat di Ka’bah (Yatim,1997:9). Orang yang pertama kali
memasukan berhala dan mengajak menyembah adalah Amr bin Luhayyi bin Qam’ah, nenek
moyang bani Khuza’ah (AlButhi,2005:20).

Gambar 1. Berhala di Sekitar Ka’bah


Mereka berkeyakinan bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan mereka pada Tuhan
sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama pagan sudah ada sejak masa sebelum
Ibrahim. Setidaknya ada beberapa sebutan bagi berhala-hala itu: Sanam, Wathan, Nuṣub,
Latta, Uzza, Manat dan Hubal. Ṣanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu.
Wathan juga dibuat dari batu. Nuṣub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Lata
Dewa tertua, Uzza bertempat di Hijaz, Manat bertempat di Yatsrib dan Ḥubal berbentuk
manusia yang dibuat dari batu akik yang dianggap dewa terbesar (Yatim,1997:9).
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak
banyak data sejarah tentang pemeluk Yahudi di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās
adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai
penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar
masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah
3
sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang
tidak mati karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu
mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini
diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”.
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai
oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di antara sekte-sekte
Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, al-Quran menggunakan
istilah “Naṣārā” bukan “al-Masīḥīyah” dan “al-Masīḥī” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi
pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat,
tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Ḥawārīyūn”.
Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu
madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah
yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan
usahausaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin
Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang
kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius
menyebar di bagian selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia.
Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab yang memastikan bahwa
dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraysh
yang mana mereka berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah. Tetapi
salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain agama di atas adalah
Ḥanīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak
terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhalaberhala, juga tidak menganut agama Yahudi
ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang
benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini
menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu
Yathrib, Ṭaif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-
Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jaḥsh, Ka’ab bin
Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib, ‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī, Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin
al-Ḥuwayrith (Al-Buthi,2005:21).
Karena ajaran agama Nabi Ibrahim masih membekas dikalangan bangsa Arab, maka
diantara mereka masih ada yang tidak menyembah berhala. Mereka adalah Waraqah ibn
Naufal dan Usman ibn Huwaris, yang mengnut agama Kristen, Abdullah ibn Jahsy yang
4
ragu-ragu( ketika Islam dating ia m,menganutnya tetapi kemudian ia menganut agama
Masehi). Zaid ibn umar tidak tertarik kepada agama Masehi, tetapi juga enggan menyembah
berhala dan tidak mau memakan bangkai dan darah. Umayah ibn Abi as-Salt dan Quss ibn
As’ida alIyadi juga berbuar demikian. Agama masehi (Kristen) banyak dipeluk oleh
penduduk Yaman, Nazram dan Syam, sedangkan agama Yahudi dipeluk oleh penduduk
Yahudi imigran yang tinggal di Yaman dan Yastrib (Madinah) yang besar jumlahnya, serta
dipeluk oleh kalangan orang-orang Persia.
2. Kehidupan Ekonomi
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf
internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah
seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lainlain.
Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang
Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang
Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang
bisnis (Mujahiddin,2003:13-14).
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam.
Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan
nonArab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena
pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor
yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang
Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor
Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit
binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu,
logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan
(Mughni,2002:15). Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi
perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang
dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan
Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya
yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur
perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya
Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama.
Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan
jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah
5
tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-
bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya (Mujahidin,2003:13).
Pusat perdagangan ini bukan hanya sebagai tempat transaksi perdagangan, tetapi juga
menjadi pusat pertemuan para pakar sastra, syair, dan para orator. Mereka berkumpul untuk
saling menguji. Sehingga, sebagaimana pertumbuhan kota-kota modern saat ini, maka
konsep pasar pada masa jahiliyah tersebut tidak sekedar sebagai pusat perbelanjaan, tetapi
juga menjadi pusat peradaban, kekayaan bahasa dan transaksi-transaksi global
(Amin,2010:45).
3. Kehidupan Sosial Masyarakat
Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai inti dari sebuah komunitas
yang lebih besar. Kabilah merupakan organisasi keluarga besar yang memiliki keterikatan
hubungan berdasarkan pertalian darah (Nasab), tetapi terdapat juga hubungan yang
didasarkan pada ikatan perkawinan, suaka politik atau karena sumpah setia. Kabilah dalam
kehidupan masyarakat Arab merupakan ikatan keluarga sekaligus sebagai ikatan politik yang
dipimpin oleh seorang kepala yang disebut syaikh al-qabilah.
Di samping itu, masyarakat Arab sebelum Islam memiliki sebuah solidaritas sosial yang
sangat kuat. Solidaritas yang didasarkan pada ikatan kesukuan atau ashabiyah qabaliyah
sebagai wadah politik setelah nasab. Solidaritas tersebut diwujudkan dalam bentuk proteksi
kabilah atas seluruh anggota kabilahnya. Kesalahan anggota kabilah terhadap kabilah lain
menjadi tanggung jawab kabilahnya. Selain itu bentuk solidaritas ini memiliki peran sebagai
upaya untuk mewujudkan suatu komunitas yang kuat yang mampu mengalahkan para
penghalang dalam kehidupan mereka. Suatu bentuk solidaritas sosial untuk mewujudkan
kedaulatan yang kuat. Solidaritas di sini juga bertujuan untuk mencegah adanya bahaya yang
mengancam di mana ia membutuhkan seorang pemimpin yang yang bisa mencegah adanya
sifat kebinatangan manusia yang berusah untuk menyakiti antar sesama. Pemimpin inilah
yang akan membawa pada kedaulatan suatu solidaritas suatu masyarakat tertentu.

6
Gambar 2. Sistem Sosial di Makkah
Kekuatan solidaritas tersebut telah melahirkan kedamaian bagi masyarakatnya, sehingga
perkembangan kehidupan terjaga. Rasa aman dari ancaman memberikan aspek positif bagi
komunitas masyarakat tertentu untuk menjalankan roda kehidupannya masingmasing. Salah
satu bukti yang nyata adalah adanya pasar tempat mereka berkumpul untuk melakukan
transaksi jual beli dan membacakan syair. Di antara pasar-pasar yang utama terletak di dekat
Makkah dan yang terpenting adalah pasar Ukadh, Majinnah dan Dzul Majaz. Letak pasar-
pasar tersebut sangatlah strategis yaitu jalur perdagangan utama Yaman-Hijaz-Syiria..
4. Kondisi Politik
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman
yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab,
bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor
penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang
benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena
itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan
mereka tidak mengenal konsep negara (Al-Dawri,2007:41).
Hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendirisendiri. Satu sama lain kadang-
kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada
mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah.
Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi
salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan
bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau
dianiaya “.Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin

7
kabilahnya masingmasing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi
politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga
daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat
Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis. Sehingga pemimpin
tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya (Nicholson,
1997:81). Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini
tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku
di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dan
Ethiopia.
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan
paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak,
seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian,
membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang
siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi
para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga
kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing
mencari simpati.

Gambar 3. Sistem Politik Di Arab Pra-Islam

8
B. Kerajaan-Kerajaan Pra-Islam
1. Kerajaan Ma’in

Kerajaan Ma’in berdiri sekitar tahun 1200-650 SM yang terletak di Yaman Utara dengan
ibukota Karna, Qarnawu atau Qarnaw yang kemudian oleh ahli geografi Arab pertengahan
disebut Sayhad. Kata Ma’in berasal dari beberapa bahasa yaitu dalam bahasa Inggris disebut
Minea; bahasa Arab Al-Ma’iiniyyuun atau Ma’iin, Ma’iniyah atau diucapkan Ma’in yang
berarti ‘mata air’. Juga terdapat dalam Injil disebut Ma’on, Me’un atau Me’in. Beberapa
peninggalan Kerajaan Ma’in yang masih tersisa yaitu reruntuhan kota Shirwah dan Baraqisy.
Selain itu, terdapat beberapa prasasti yang berisikan dua puluh enam raja yang pernah
memimpin Kerajaan Ma’in serta ulisan terpahat mengenai komunikasi orang-orang Ma’in
dengan bangsa Mesir, Gazza, Ionia, Siddon,AmmondanMoabYatrib.

Gambar 4. Reruntuhan Kerajaan Ma’in

2. Kerajaan Saba

Kerajaan-kerajaan pertama yang berhasil diketahui, yang berdiri di wilayah Arab Selatan
pada zaman kuno adalah kerajaan Saba dan Minea, yang selama beberapa abad hidup pada
masa yang sama. Kedua kerajaan itu pada awal berdirinya merupakan kerajaan teokrasi
(pemerintahan yang berlandaskan langsung pada hokum tuhan/agama)dan kemudian berubah
menjadi kerajaan sekuler. (Hitti, 2002 : 66).

Kerajaan Saba berdiri di antara masa kerajaan Ma’in dan Quthban yang mulai tampak
kekuasaannya di akhir masa kerajaan Ma’in, ditandai dengan berpindahnya kekuasaan
kerajaan tersebut kepada penguasa Saba. Wilayah kekuasaannya meliputi pantai Teluk
Persia di sebelah timur sampai ke Laut Merah di sebelah barat. Dengan berpindahnya

9
kekuasaan kepada penguasa Saba, maka secara otomatis wilayah bagian selatan Jazirah Arab
yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasan Ma’in menjadi wilayah kekuasan Saba.

Kerajaan ini menjadi terkenal disebabkan dua hal. Pertama, adanya Ratu Bilqis. Kisah
tentang ratu ini dengan nabi Sulaiman disebutkan dalam surah an-Naml. Kedua, Bendungan
Ma’rib yang besar. Bendungan ini menjadikan Yaman menjadi sebuah negeri yang makmur
dan sejahtera. (Al-Usayri, 2010 : 64) Orang-orang Saba menurunkan seluruh keluarga Arab
Selatan. Tanah Saba, atau Sheba dalam Injil, yang merupakan tanah air mereka terletak di
sebelah Selatan Najran di daerah Yaman. Menurut sekelompok ahli tentang Arab yang
menggunakan system kronologi singkay, orang-orang Saba hidup dari 750 hingga 115 S.M.,
dengan satu kali perubahan gelar raja sekitar 610 S.M. Mukarri adalah gelar raja-pendeta
yang diberikan kepada kepala Negara. Dua mukarrib Saba terdahulu, yaitu Yatsa’mar dan
Kariba-il, disebutkan dalam catatan sejarah Assyiria dari Sargon II dan Sennacherib,
memerintah pada akhir abad kedelapan dan awal abad ke-7 S.M.

Pada masa kejayaannya, raja-raja Saba memperluas hegemoni mereka ke seluruh


kawasan Arab Selatan dan menjadikan kerajaan Arab tetangganya, yaitu Minea, sebagai
negara protektoratnya. Sirwah, sehari perjalanan ke barat Ma’rib, adalah ibukota Saba.
Bangunan utamanya adalah kuil Almaqah-Sang Dewa Bulan. Reruntuhan bangunannya yang
paling penting, kini disebut alKharibah, bisa menampung tak kurang dari 100 orang. Sebuah
tulisan menyebutkan bahwa dinding di sekitarnya dibangun oleh Yada’il, seorang mukarrib
terdahulu. Tulisan lain menyebutkan expedisi gilang gemilang yang dilancarkan oleh
Kariba-il Watar (sekitar 450 S.M), yang pertama kali memperoleh gelah “MLK (mulk, raja)
Saba”.

Pada periode ke dua kerajaan Saba, (sekitar 610-115 SM), penguasa tampaknya mulai
menghilangkan karakteristik kependetaanya. Ma’rib yang berjarak 6 Mil di sebelah timur
San’a dijadikan sebuah ibu kotanya. Kota itu berada 3.900 kaki diatas permukaan laut. Ia
pernah di kunjungi oleh beberapa gelintir orang Eropa yang pertama di antaranya adalah
Arnaud Halevy dan Glaser. Kota itu merupakan titik temu berbagai rute perjalanan dagang
yang menghubungkan antara negeri penghasil wewangian dengan pelabuhan-pelabuhan di
Mediterania, terutama Gaza.

Al-hamdani dalam karyanya Iklil menyebutkan tiga benteng di Ma’rib, namun konstruksi
yang membuat kota itu terkenal adalah bendungan besar Sadd Ma’rib. Karya arsitektur yang
menakjubkan berikut sarana publik lainnya yang di bangun oleh orang-orang Saba’

10
memberikan gambaran kepada kita tentang sebuah masyarakat cinta damai yang sangat maju
bukan saja dalam bidang perdagangan tetapi juga dalam bidang teknik. Bagian yang lebih
tua dari bendungan itu pada pertengahan abad ke 7 SM. Berbagai tulisan menyebutkan
Sumhu ‘alaiy Yanuf dan putranya Yatsa’amr Bayyin sebagai dua pembangun utamanya juga
menyebutkan pemugaran pada masa Sharahbi-Il Ya’fur (449-450) dan Abrahah dari
Abissinia (543 M). Tapi al-Hamdani dan para penulis setelahnya yaitu alMas’udi, al-
Ishfahani, dan Yaqut menyatakan bahwa yang membangunnya adalah Luqman ibn ‘Ad
seorang ahli mistik. (Hitti, 2002 :67).

Gambar 5. Tampak Istana Kerajaan Saba

3. Kerajaan Himyar

Kerajaan Ma’in berdiri sekitar tahun 1200-650 SM yang terletak di Yaman Utara dengan
ibukota Karna, Qarnawu atau Qarnaw yang kemudian oleh ahli geografiArab pertengahan
disebut Sayhad. Kata Ma’in berasal dari beberapa bahasa yaitu dalam bahasa Inggris disebut
Minea; bahasa Arab Al- Ma’iiniyyuun atau Ma’iin, Ma’iniyah atau diucapkan Ma’in yang
berarti ‘mata air’. Juga terdapat dalam Injil disebut Ma’on, Me’un atau Me’in. Beberapa
peninggalan Kerajaan Ma’in yang masih tersisa yaitu reruntuhan kota Shirwah dan Baraqisy.
Selain itu, terdapat beberapa prasasti yang berisikan dua puluh enam raja yang pernah
memimpin Kerajaan Ma’in serta ulisan terpahat mengenai komunikasi orangorang Ma’in
dengan bangsa Mesir, Gazza, Ionia, Siddon, Ammon dan Moab Yatrib.Zafar,(pada masa
kasik di sebut sappar dan separ/ sevar, dalam kitab kejadian. 10;30), kota di bagian dalam
semenanjung, sekitar 100 Mil di sebelah timur laut Moha di atas jalan menuju San’a adalah

11
ibukota dinasti Himyar. Kota itu menggantikan posisi Ma’rib, kota orang-orang Saba dan
Qarnaw, kota orang-orang minea. Reruntuhannya masih dapat dilihat di puncak bukit dekat
kota yarib.pada masa penyusunan teh parripess rajanya adalah Kariba-il Watar (Charibael,
dalam The Periplus).

Raja dari periode Himyar pertama ini adalah seorang raja feodal yang tinggal di puri,
memiliki tanah luas dan mencetak uang emas, perak dan perunggu, dengan menampilkan
gambar wajahnya pada salah satu sisinya dan seekor burung hantu (lambang orang-orang
aten) atau kepala banteng disisi lainnya. Beberapa logam yang lebih tua memuat gambar raja
Atena-menunjukkan ketergantungan Arab selatan kepada model-model Atena sejak abad
keempat sebelum masehi. Disamping uang logam, ditemukan juga sejumlah patung
perunggu karya pengrajin Yunani dan Sasaniyah dalam penggalian di Yaman.(Hitti,2002:70-
71).

Kerajaan Himyar pada permulaan berdirinya adalah suatu kerajaan yang kuat. Raja-
rajanya telah dapat memperbaiki system pertanian dan pengairan, dengan memperbaiki
kembali bendungan dan dam-dam air. Kekuasaan merekapun telah menjadi besar.
Diceriterakan bahwa balatentara mereka telah menjelajah sampai ke IrakdanBahrain. Akan
tetapi kerajaan ini akhirnya mengalami kelemahannya pula. Mereka alpa memperbaiki dan
mengawasi bendunganbendungan dan dam-dam air itu. Oleh karena itu
bendunganbendungan dan dam-dam air dirobohkan pula oleh air bah dan banjir. Bendungan
Ma’rib tidak dapat dipertahankan lagi. Dam raksasa itu roboh. Kerobohan bendungan Ma’rib
mengakibatkan sebagian dari bumi mereka tidak mendapat air yang diperlukannya lagi,
sementara sebahagian yang lain karam di dalam banjir. Malapetaka ini menyebabkan mereka
berduyun-duyun mengungsi kebagianutaraJazirahArab.

Oleh sebab itu Yaman menjadi lemah. Dan kelemahannya itu membukakan jalan bagi
kerajaan- kerajaan Persia dan Romawi untuk campur tangan dalam negeri Yaman dengan
maksud hendak memilikinegeriyangsuburdanmakmur itu.(Syalabi,1990:38).

12
BAB III
KESIMPULAN

Peradaban Arab Pra-Islam dan kerajaan-kerajaan pra-Islam membentuk landasan kuat bagi
kemunculan Islam dan peradaban Islam yang megah di wilayah Arab. Dalam periode ini,
berbagai elemen budaya, sosial, dan politik membentuk karakteristik masyarakat Arab,
menciptakan fondasi yang kuat untuk perkembangan selanjutnya. Faktor-faktor penting
seperti sistem suku yang kuat, keberagaman kepercayaan agama, dan perdagangan yang aktif
memainkan peran sentral dalam membentuk masyarakat Arab pra-Islam. Sistem suku
membentuk dasar dari struktur sosial mereka, mempengaruhi cara mereka berinteraksi dan
mengelola kehidupan sehari-hari. Kepercayaan agama yang beraneka ragam mencerminkan
keragaman kepercayaan spiritual di antara berbagai suku dan klan. Perdagangan memainkan
peran penting dalam menghubungkan Arab dengan dunia luar, memungkinkan pertukaran
budaya dan ekonomi yang kaya. Rute perdagangan dan karavan yang melintasi padang pasir
dan wilayah oasis membantu menghubungkan berbagai daerah di semenanjung Arab.
Kerajaan-kerajaan pra-Islam seperti Ma'in, Saba, dan Himyar menunjukkan kekayaan dan
kompleksitas politik yang ada di wilayah ini sebelum munculnya Islam. Kekaisaran Nabatea,
dengan pusatnya di Petra, menjadi kekuatan ekonomi yang dominan, mengontrol rute
perdagangan yang penting. Saba, di Yaman modern, dikenal karena kekayaannya yang besar,
terutama karena perdagangan rempah-rempah. Himyar, dengan pengaruhnya di selatan
semenanjung Arab, memegang peran penting dalam jaringan perdagangan karavan. Dengan
memahami peradaban Arab Pra-Islam dan kerajaan-kerajaan pra-Islam, kita dapat melihat
akar-akar dari peradaban yang luar biasa ini. Ini membantu kita memahami konteks sejarah
yang membentuk Islam dan peradaban Islam yang mengikuti, serta menghargai warisan kaya
dari masa pra-Islam di wilayah Arab.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yusri Abdul Ghani. Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.

Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak, 2011.

Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan. Fikih Sirah: Hikmah Tersirat dalam Lintas Sejarah
Hidup Rasulullah Saw. Jakarta: Hikmah, 2010.

Faruqi, Nisar Ahmed. Early Muslim Historiography. Delhi: Idarah Adabiyat, 1979.

Hitti, Philip K. History of the Arabs: Rujukan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013.

Mughn, Syafiq A. Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan. Surabaya: LPAM,
2002.

Su’ud, Abu. Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia.
Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Umar, Muin. Historiografi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 1978.

Wilaela, Sejarah Islam Klasik. Riau: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Kasim, 2016.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Depok: Rajawali Press, 2017.

14

Anda mungkin juga menyukai