Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS PENDEKATAN KRITIS SEJARAH ISLAM AWAL DALAM BUKU

KEBENARAN YANG HILANG KARYA FARAG FOUDA

Mochamad Saeful Rachmat Maulana F mochfirdaus717@gmail.com


Sejarah Peradaban Islam
Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon

• Abstract: Sejarah Islam klasik, terutama masa awal tiga pemerintahan besar Islam
yakni Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, dan Dinasti Abbasiyah pada umumnya
dipandang sangat normartif dan penuh kejayaan serta kegemilangan. Terutama oleh
orang-orang Islam Fundamentalis, sehingga mereka ingin mewujudkan kembali masa-
masa kejayaan tersebut tersebut di era modern. Padahal pada masa tersebut banyak
kisah sejarah yang jarang diungkap dan terkesan disembunyikan. Penelitian ini
membahas dan menganalisis buku yang bejudul Kebenaran Yang Hilang (al-Haqiqah
al-Ghaybah) yang ditulis oleh Farag Fouda, seorang cendekia dari Mesir. Buku
tersebut mengupas sejarah Islam melalui sudut pandang baru dan tidak biasa, Farag
Fouda memberikan pandangan kritis terhadap sejarah Islam era tiga kekuasaan awal.
Penelitian ini menerapkan penilitian kualitatif dan menggunakan metode analisis isi
atau konten. Hasil penelitian ini Fouda mendorong pembaca untuk berpikir kritis dan
mengambil sikap independen terhadap agama, menentang otoritas tradisional dan
dogma.

Keywords: Sejarah Islam Klasik, Kebenaran Yang Hilang, Farag Fouda.


1. Pendahuluan

Berawal dari gencarnya kampanye atas pendirian negara Islam di Kairo yang
dilakukan oleh sekelompok ulama dari Universitas Al-Azhar. Yang menginginkan
kejayaan Islam kembali seperti di masa Nabi dan sahabat dengan penerapan syariat
Islam. Hal demikian mengundang kontra dari beberapa orang, diantaranya Farag
Fouda. Ia banyak memberikan kritikan terhadap kaum islamis yang akan
menerapkan syariat Islam dengan organisasi Khilafah sebagai basisnya. Menariknya,
Farag Fouda menjelaskan terkait sejarah yang selama ini orang tidak pernah
mengetahuinya. Pada tahun 1990-an sering diperdebatkan masalah hubungan antara
agama dan politik. Isu ini menjadi menarik saat dilakukannya debat yang terdiri dari
dua kubu yaitu Farag Fouda dan Muhammad Ahmad Khalafallah, kubu yang lain
Muhammad al-Ghazali, Ma’mun al-Hudaibi dan Muhammad Imara. Perdebatan itu
tentunya berkaitan dengan agama dan politik, dimana isu tersebut mencapai
puncaknya ketika gelombang kelompok radikal muncul.
Kelompok ini muncul dengan melakukan teror kepada non-Muslim (gereja),
memalak bisnis, meneror pejabat dan sebagainya. Kelompok ini dilakukan oleh
jamaah Islamiyah pimpinan Syeikh Umar Abdurrahman yang terkenal dengan
serangkaian terornya. Sebagaimana dalam bukunya yang diterbitkan oleh
Democaracy Project, Farag Fouda mengatakan ia tidak menyerang Islam, melainkan
sejarah dan pemerintahannya. Buku yang ditulis Farag Fouda ini bercerita tentang
sejarah, politik, serta pemikiran. Bukan Islam ataupun keyakinan. Sebab khilafah
menurut Fouda dalam sejarahnya tidak lebih hanya pemerintahan yang otoriter
yang berselubung atas nama agama.
Selain itu, Farag Fouda juga menjelaskan bagaimana di masa pemerintahan
Khulafarasyidin banyak meninggalkan sejarah yang kelam. Bagaimana Umar di
bunuh oleh tangan umat Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Selain itu
khalifah Usman juga diperlakukan selayaknya bukan seorang pimpinan muslim.
Bagaimana kisahnya di tuliskan oleh Al-Thabari dalam kitabnya Tarikh al-Umam wa
al-muluk yang mengatakan mayat Usman harus bertahan selama dua malam karena
tidak dikuburkan. Paling parahnya kata Fouda, ketika hendak disholatkan datang
beberapa kelompok orang Anshar untuk melarang mereka men-sholatkannya.
Mengapa umat Islam tega melakukan kepada orang-orang yang sangat dekat kepada

2
Nabi seperti itu, kesalahan apa yang dilakukan sehingga mereka tidak mendapatkan
tempat yang baik.
Farag Fouda mengatakan bahwa prinsip keadilan tidak akan terwujud dengan
kebajikan penguasa semata-mata, dan tidak akan juga bersemi dengan kebijakan
rakyat dan penerapan syariat. Usman dianggap telah melenceng dari prinsip-prinsip
keadilan bahkan dianggap telah keluar dari esensi ajaran Islam yang sesungguhnya.
Usman juga memberikan pandangan bahwa dirinya tidak bisa mendapatkan kritikan
apalagi sampai diturunkan dari khalifah, sebab tidak ada aturan yang mengatur itu.
Atau dengan kata lain, akan seenaknya dalam mengambil kebijakan. Fouda juga
mengatakan penerapan syariat islam itu sesungguhnya bukanlah esensi dari Islam.
Yang penting dari syariat Islam ialah menetapkan ketentuan ketatanegaraan yang
adil dan berkesesuaian dengan semangat Islam. Buku ini menarik untuk dibaca dan
diulas untuk menambah pemahaman akan pendirian negara Islam yang memiliki
sejarah yang kelam dan disembunyikan oleh banyak orang.

2. Metode Penelitian

Untuk metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan bantuan


metode analisis isi bersifat deskriptif. Analisis isi adalah salah satu metode penelitian
yang menggunakan dokumen untuk diteliti. Adapun dokumen yang diteliti dapat
berbentuk teks, simbol, gambar, video dan lain sebagainya. Dokumen pada metode
analisis isi dapat dikatakan sebagai bentuk dari representasi simbol yang dapat
disimpan atau didokumentasikan yang dapat dianalisis. Analisis isi kualitatif
mengarah pada suatu metode analisis integratif dan secara konsep digunakan untuk
menemukan dan mengidentifikasi serta mengolah dan menganalisa dokumen yang
bertujuan untuk memahami pemaknaan serta signifikansi dan relevansi (Bungin,
2011:203). Lebih lanjut, Bungin menyatakan bahwa analisis isi adalah metode yang
sistematis, objektif, dan jujur untuk menganalisis komunikasi berdasarkan informasi
baru.
Sementara, Holsti menyatakan bahwa sebuah metode yang digunakan yaitu
analisis isi untuk menyimpulkan lalu identifikasi ciri-ciri suatu pesan secara objektif
dan sistematis. Menurutnya, terdapat tiga fungsi utama pada metode analisis isi.
Pertama, analisis isi dapat memberi gambaran karakteristik suatu komunikasi
dengan memberi pertanyaan mengenai cara pesan disampaikan (apa, bagaimana,
siapa). Kedua, metode analisis isi dapat membuat sejumlah kesimpulan dengan
3
memberi pertanyaan mengenai cara pesan disampaikan (mengapa). Ketiga, metode
analisis isi dapat membuat sejumlah kesimpulan mengenai konsekuensi atau akibat
dari suatu komunikasi dengan memberi pertanyaan mengenai efek dari pesan
tersebut (Eriyanto, 2011).

3. Hasil dan Pembahasan

A. Identitas Penulis dan Buku


Farag Fouda adalah seorang doktor di bidang ilmu ekonomi pertanian. Ia
lahir pada 20 Agustus 1945 di kota Kairo, Mesir. Selain itu, Farag Fouda dikenal
sebagai seorang penulis, kolomnis, dan pejuang (aktivis) hak asasi manusia. Ia
mendapatkan gelar Bachelor di bidang pertanian, Master of Science di bidang
pertanian, dan Ph.D di bidang ekonomi pertanian dari Universitas Ainu Syams.
(Fouda, 2003)
Farag Fouda juga pernah menjadi kader partai politik, yakni partai Al-Wafd.
Namun pada tahun 1984, ia keluar dari partai Al-Wafd karena partai tersebut
berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin dalam pemilihan parlemen. Ia sangat
menentang pendirian Khilafah dan formalisasi hukum Islam yang dilakukan
kaum fundamentalis Islam di Mesir waktu itu. Farag Fouda selalu menyuarakan
tentang kebebasan berekspresi dan berpikir dengan berani dan lantang. (Alex
Medani, 2014)
Munculnya para pemikir seperti Farag Fouda yang berlatarbelakang keilmuan
umum adalah efek dari kekalahan bangsa Arab dalam perang enam hari
melawan Israel pada tahun 1967. Pasca peristiwa tersebut bermunculan para
pemikir liberal yang membawa semangat pembaharuan dan sekularisme. Mereka
kemudian berhadapan dengan kelompok Islam Fundamentalis. Kala itu Farag
Fouda termotivasi untuk memperdebatkan Islam dan Modernitas. Ia
menawarkan sebuah tafsir baru atas ajaran Islam, serta memberikan sebuah jalan
bagaimana seharusnya umat Islam melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan
yang akan datang.
Farag Fouda juga melontarkan kritik terhadap kaum Islam Fundamentalis
yang cara berpikirnya arogan dan lemah cara pandangnya. Karena mereka tidak
ingin mendialogkan antara agama dan modernitas. Kemudian kritik dan
pemikiran-pemikirannya tersebut ia tuangkan melalui tulisan-tulisanya. Salah
satunya adalah buku al-Haqiqah al-Ghaybah yang diterbitkan pada tahun 2003 oleh
4
Dar wa Matabi’ al-Mustaqbal, Alexandria, Mesir. Buku tersebut dalam versi bahasa
Indonesia berjudul Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan
Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, diterjemahkan oleh Novriantoni, dan
diterbitkan oleh Departemen Agama Badan Litbang dan Diklat Balai Penelitian
dan Pengembangan Agama Jakarta. (Fouda, 2003)
B. Garis Besar Isi Buku
Secara garis besar isi buku Farag Fouda yang berjudul Kebenaran Yang
Hilang terdiri kata sambutan oleh Drs. A. Malik MTT, M.Si, kata pengantar edisi
terjemahan oleh Samsu Rizal Panggabean, mukadimah (pendahuluan), dan bab-
bab yang berjumlah 5 bab, yaitu: (Fouda, 2003)
BAB I: Kebenaran Yang Hilang
BAB II: Pembacaan Baru terhadap Sejarah al-Khulafa al-Rasyidun
BAB III: Pembacaan Baru terhadap Sejarah Umayyah
BAB IV: Pembacaan Baru terhadap Sejarah Abbasiyah
BAB V: Penutup: Lalu apa?
C. Analisis Isi Buku
1. Pokok Pembahasan
a. Pemilihan Topik
Fouda membuka buku ini dengan mukadimah yang berisi pernyataan bahwa
apa yang disampaikannya sesungguhnya merupakan perbincangan tentang
sejarah yang telah ia baca, teliti, dan analisa secara tekun, tanpa berusaha
melakukan manipulasi demi menyenangkan pembaca semata, sebagaimana
banyak ahli sejarah terjebak ke arah itu. Ia hendak mengkritik mereka yang
mengajak kembali ke sistem khilafah.
Kemudian dilanjutkan dengan gambaran permasalahan pada Bab I tentang
hal-hal yang ingin ia sampaikan secara terbuka. Lalu pada bab selanjutnya secara
berani ia masuk mengajak pembaca melakukan pembacaan ulang terhadap
sejarah Al-Khulafā’ al-Rāsyidūn (632-661). Bagi Fouda, kecuali Rasulullah SAW,
tidak ada pribadi yang bebas dari kesalahan, karena itu bebas untuk dikritisi.
Tanpa basa-basi Fouda memaparkan kekayaan fantastis sejumlah sahabat
sebagai indikasi adanya kecenderungan terhadap godaan dunia. Secara terperinci
ia mengutip kepemilikan harta sejumlah sahabat dari kitab al-Tabaqāt al-Kubrā
karya Ibn Sa’ad. Banyak hal lainnya lagi yang ia singgung. Barangkali itulah yang

5
membuat banyak orang terbakar emosinya dan mengecam keras. Kondisi umat
Islam semakin memburuk tatkala Ali maju sebagai khalifah. Berbondong-
bondong orang mengerumuni Muawiyah dan semakin ramai orang berpaling
dari Ali. Lebih tertariknya orang-orang terhadap hidangan lezat jamuan
Muawiyah dibanding lisan terang Ali, bagi Fouda merupakan pengabaian secara
terang-terangan terhadap kebenaran (hal.180).
Selanjutnya secara blak-blakan Fouda membongkar praktik kezaliman
sebagian besar pemimpin Bani Umayyah dan Abbasiyah beserta perilaku buruk
mereka semisal gemar minuman keras, menumpuk harta, main perempuan, dan
perilaku seksual menyimpang. Tidak berlebihan, sebab kita mengenal sederet
nama dari khalifah Umayyah dan Abbasiyah yang berperilaku minus. Yazid bin
Muawiyah, dicatat sejarah sebagai seorang yang gemar main perempuan, mabuk
dan pesta pora, serta sangat sadis. Dialah yang memerintahkan pasukannya
untuk membantai Husain bin Ali beserta keluarganya di padang Karbala. Dialah
pula yang memaklumatkan anarkisme di Madinah selama tiga hari karena
penduduknya mencabut baiat, yang berakibat 4500 jiwa melayang, seribu
perawan diperkosa pasukannya. Khalifah lainnya, al-Walid bin Yazid, juga
sangat dikenal dengan kegemaran mabuknya, perilaku homoseksualnya serta
hobinya membidik Al-Qur’an dengan panah (hal. 107). Kita juga bisa membaca
kisah Al-Saffah “Si Tukang Jagal”, pendiri Dinasti Abbasiyah yang pernah
mengundang sembilan puluh orang anggota keluarga Umayyah untuk makan
malam, lalu menyiksa mereka sebelum membunuhnya. Kepala para tamu
dipentung, diletakkan di bawah permadani, lalu para pembantainya bersantap di
atas permadani sambil mendengar jerit lolong yang sedang meregang nyawa
(hal.123).
Sebagian besar pergantian kekuasaan di era Umayyah-Abbasiyah ditempuh
melalui kudeta berdarah yang berujung pada terbunuhnya khalifah. Banyak
orang terjebak dalam kekeliruan memandang sejarah tatkala hanya
memfokuskan pada dua tahun kepemimpinan adil Umar bin Abdul Aziz di
antara rentang hampir seribu tahun kepemimpinan Dinasti Umayyah dan
Abbasiyah. Kecuali ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, hampir semua khalifah di masa
Umayyah-Abbasiyah berkubang kemewahan, kekejaman dan gemerlap dunia.

6
Maka patut dipertanyakan ketika orang-orang terhanyut terbang mengenang
romantisme palsu ke masa-masa itu.
Terakhir, di Bab Penutup Fouda kembali menegaskan tujuannya menulis buku
ini, yakni menyampaikan kebenaran pahit melalui sisi kelam sejarah
kepemimpinan di tubuh Islam. “Terguncang demi mencapai kebenaran lebih
mulia daripada berbangga dengan kepalsuan”, ujarnya. Fouda menegaskan
kembali kritikannya terhadap mereka yang ingin kembali kepada sistem khilafah
dan negara agama.
b. Orientasi Historis
Farag Fouda menerapkan pendekatan kritis dan mendalam. Ia menguji teks-
teks agama dan sejarah. Lalu mengintepretasikannya dengan menggunakan
pemikiran independennya Dalam penutupnya, setelah dia memaparkan fakta –
fakta yang tidak menyenangkan di era al – Khulafa’ al-Rasyidun hingga sejarah
kelam Abbasiyah, Fouda melontarkan kalimat “ Lalu Untuk Apa?” Fouda
mengatakan, terguncang dengan fakta lebih baik dari pada berbangga dengan
kepalsuan. Fouda ingin mengajak pembacanya, kaum muslim terpelajar untuk
berani mengakui kenyataan pahit, bahwa sejarah Islam sebagian bermandikan
darah dan penuh dengan kebiadaban.
Fouda ingin membumikan segala mitos dan fantasi – fantasi yang selama ini
yang mengagung-agungkan jaman Khulafa’ sebagai jaman kebesaran Islam yang
kemudian diproyeksikan ke jaman saat ini dan menjadi raison d’etre Islam
bernegara. Fouda mengingnkan umat Islam melupakan mimpi itu, mimpi
tentang sebuah Negara dengan tatanan Islam.
2. Analisis Historiografi
a. Heuristik
Farag Fouda menggunakan sumber-sumber dalam jumlah yang tidak banyak
(terbatas). Sumber-sumber yang dipakai oleh Farag Fouda berupa:
Sumber primer/induk (kitab/buku) sejarah Islam:
- Tarikh al-Umam wa al-Mulk, karya Imam ath-Thabari.
- al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Imam Ibn Katsir.
- al-Kamil fii at-Tarikh, karya Imam Ibn Atsir.
- Muruj adz-Dzahab, Karya al-Mas’udi.
- Akhbar at-Tiwal, karya ad-Daynuri.

7
- Dan lain-lain.
Sumber sekunder/kontemporer (buku):
- al-A’mal al-Kamilah, karya Thaha Husein.
- al-Majmu’ah al-Kamilah, karya Abbas Mahmdud al-Aqqad
- at-Tarikh al-Islam al-Aam, karya Ali Ibrahim Hasan
- Dan lain-lain.
b. Kritik Sumber
Otentisitas sumber-sumber yang digunakan Farag Fouda jelas tidak
diragukan atau kredibel. Seperi Tarikh Thabari yang dianggap sebagai salah satu
rujukan sejarah Islam yang terpercaya. Oleh karena itu, tidak perlu dilakukan
upaya kritik ekstern.
Namun, juga perlu dilakukan kritik intern. Hal ini mengingat para pengarang
kitab induk sejarah Islam tersebut, khususnya Imam ath-Thabari, memasukkan
berbagai riwayat dari perawi yang berlatar belakang berbeda-beda dari segi
pemahaman atau mazhab/aliran yang tentunya mempengaruhi faktor
subyektivitas dalam sumber-sumber tersebut.
c. Interpretasi
Farag Fouda mengadopsi pendekatan sejarah sosial dalam menganalisis
perkembangan agama di Mesir. Ia mengeksplorasi hubungan antara agama dan
masyarakat serta dampaknya. Farag Fouda menonjolkan pendekatan kritis
terhadap sejarah Islam awal. Ia berupaya menyingkap kembali sisi-sisi kelam
dalam sejarah kaum Muslim yang selama ini belum terungkap ke khalayak luas.
Buku ini menawarkan suatu sudut pandang baru atau wajah baru yang kritis
terhadap pengalaman praktik politik dan kekuasaan rezim-rezim kaum Muslim
pada sejarah Islam awal yang biasanya terlihat normatif dan selama ini
dipandang sebagai zaman keemasan dan kegemilangan menjadi historis yang
apa adanya dengan menunjukkan riwayat-riwayat yang jarang dikutip atau
dalam bahasa Farag Fouda itu disembunyikan.
Pada intinya Farag Fouda mendorong pembaca untuk berpikir kritis dan
mengambil sikap independen terhadap agama, menentang otoritas tradisional
dan dogma.

8
4. Kesimpulan

Bagi Fouda bila ada sekelompok kaum muslim yang ingin mengembalikan
Islam ke jaman keemasan era Khulafa’ sangat ironis, karena justru era itu
menurut Fouda bukan Islam, melainkan jaman yang tidak beradab. Kesimpulan
Fouda ini tentu menimbulkan rekasi keras dari kelompok fundamentalis,
sehingga tidak ada jalan lain bagi mereka membungkam Fouda dengan
membunuhnya.

Dalam buku Kebenaran Yang Hilang ini, Fouda ingin memperingatkan


kepada kaum muslim untuk berfikir dua kali untuk membangun Negara Islam
dengan mengacu pada jaman Khulafa’ yang katanya The Golden Years Era. Islam
bagi Fouda harus dijauhkan dari kekuasaan dan politik karena justru bisa
merendahkan atau mereduksi agama ini ke tingkat yang paling memalukan dan
nista.

9
DAFTAR PUSTAKA

Fouda, Farag. 2007. Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslim. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta.

Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Eriyanto. (2011). Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan
Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Medani, Alex. 2014. Studi Analisis Pandangan Farag Fouda Tentang Hubungan Agama
dan Negara dalam Siyasah Syar’iyyah. Skripsi. Medan: IAIN Sumatra Utara.

10

Anda mungkin juga menyukai