• Abstract: Sejarah Islam klasik, terutama masa awal tiga pemerintahan besar Islam
yakni Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, dan Dinasti Abbasiyah pada umumnya
dipandang sangat normartif dan penuh kejayaan serta kegemilangan. Terutama oleh
orang-orang Islam Fundamentalis, sehingga mereka ingin mewujudkan kembali masa-
masa kejayaan tersebut tersebut di era modern. Padahal pada masa tersebut banyak
kisah sejarah yang jarang diungkap dan terkesan disembunyikan. Penelitian ini
membahas dan menganalisis buku yang bejudul Kebenaran Yang Hilang (al-Haqiqah
al-Ghaybah) yang ditulis oleh Farag Fouda, seorang cendekia dari Mesir. Buku
tersebut mengupas sejarah Islam melalui sudut pandang baru dan tidak biasa, Farag
Fouda memberikan pandangan kritis terhadap sejarah Islam era tiga kekuasaan awal.
Penelitian ini menerapkan penilitian kualitatif dan menggunakan metode analisis isi
atau konten. Hasil penelitian ini Fouda mendorong pembaca untuk berpikir kritis dan
mengambil sikap independen terhadap agama, menentang otoritas tradisional dan
dogma.
Berawal dari gencarnya kampanye atas pendirian negara Islam di Kairo yang
dilakukan oleh sekelompok ulama dari Universitas Al-Azhar. Yang menginginkan
kejayaan Islam kembali seperti di masa Nabi dan sahabat dengan penerapan syariat
Islam. Hal demikian mengundang kontra dari beberapa orang, diantaranya Farag
Fouda. Ia banyak memberikan kritikan terhadap kaum islamis yang akan
menerapkan syariat Islam dengan organisasi Khilafah sebagai basisnya. Menariknya,
Farag Fouda menjelaskan terkait sejarah yang selama ini orang tidak pernah
mengetahuinya. Pada tahun 1990-an sering diperdebatkan masalah hubungan antara
agama dan politik. Isu ini menjadi menarik saat dilakukannya debat yang terdiri dari
dua kubu yaitu Farag Fouda dan Muhammad Ahmad Khalafallah, kubu yang lain
Muhammad al-Ghazali, Ma’mun al-Hudaibi dan Muhammad Imara. Perdebatan itu
tentunya berkaitan dengan agama dan politik, dimana isu tersebut mencapai
puncaknya ketika gelombang kelompok radikal muncul.
Kelompok ini muncul dengan melakukan teror kepada non-Muslim (gereja),
memalak bisnis, meneror pejabat dan sebagainya. Kelompok ini dilakukan oleh
jamaah Islamiyah pimpinan Syeikh Umar Abdurrahman yang terkenal dengan
serangkaian terornya. Sebagaimana dalam bukunya yang diterbitkan oleh
Democaracy Project, Farag Fouda mengatakan ia tidak menyerang Islam, melainkan
sejarah dan pemerintahannya. Buku yang ditulis Farag Fouda ini bercerita tentang
sejarah, politik, serta pemikiran. Bukan Islam ataupun keyakinan. Sebab khilafah
menurut Fouda dalam sejarahnya tidak lebih hanya pemerintahan yang otoriter
yang berselubung atas nama agama.
Selain itu, Farag Fouda juga menjelaskan bagaimana di masa pemerintahan
Khulafarasyidin banyak meninggalkan sejarah yang kelam. Bagaimana Umar di
bunuh oleh tangan umat Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Selain itu
khalifah Usman juga diperlakukan selayaknya bukan seorang pimpinan muslim.
Bagaimana kisahnya di tuliskan oleh Al-Thabari dalam kitabnya Tarikh al-Umam wa
al-muluk yang mengatakan mayat Usman harus bertahan selama dua malam karena
tidak dikuburkan. Paling parahnya kata Fouda, ketika hendak disholatkan datang
beberapa kelompok orang Anshar untuk melarang mereka men-sholatkannya.
Mengapa umat Islam tega melakukan kepada orang-orang yang sangat dekat kepada
2
Nabi seperti itu, kesalahan apa yang dilakukan sehingga mereka tidak mendapatkan
tempat yang baik.
Farag Fouda mengatakan bahwa prinsip keadilan tidak akan terwujud dengan
kebajikan penguasa semata-mata, dan tidak akan juga bersemi dengan kebijakan
rakyat dan penerapan syariat. Usman dianggap telah melenceng dari prinsip-prinsip
keadilan bahkan dianggap telah keluar dari esensi ajaran Islam yang sesungguhnya.
Usman juga memberikan pandangan bahwa dirinya tidak bisa mendapatkan kritikan
apalagi sampai diturunkan dari khalifah, sebab tidak ada aturan yang mengatur itu.
Atau dengan kata lain, akan seenaknya dalam mengambil kebijakan. Fouda juga
mengatakan penerapan syariat islam itu sesungguhnya bukanlah esensi dari Islam.
Yang penting dari syariat Islam ialah menetapkan ketentuan ketatanegaraan yang
adil dan berkesesuaian dengan semangat Islam. Buku ini menarik untuk dibaca dan
diulas untuk menambah pemahaman akan pendirian negara Islam yang memiliki
sejarah yang kelam dan disembunyikan oleh banyak orang.
2. Metode Penelitian
5
membuat banyak orang terbakar emosinya dan mengecam keras. Kondisi umat
Islam semakin memburuk tatkala Ali maju sebagai khalifah. Berbondong-
bondong orang mengerumuni Muawiyah dan semakin ramai orang berpaling
dari Ali. Lebih tertariknya orang-orang terhadap hidangan lezat jamuan
Muawiyah dibanding lisan terang Ali, bagi Fouda merupakan pengabaian secara
terang-terangan terhadap kebenaran (hal.180).
Selanjutnya secara blak-blakan Fouda membongkar praktik kezaliman
sebagian besar pemimpin Bani Umayyah dan Abbasiyah beserta perilaku buruk
mereka semisal gemar minuman keras, menumpuk harta, main perempuan, dan
perilaku seksual menyimpang. Tidak berlebihan, sebab kita mengenal sederet
nama dari khalifah Umayyah dan Abbasiyah yang berperilaku minus. Yazid bin
Muawiyah, dicatat sejarah sebagai seorang yang gemar main perempuan, mabuk
dan pesta pora, serta sangat sadis. Dialah yang memerintahkan pasukannya
untuk membantai Husain bin Ali beserta keluarganya di padang Karbala. Dialah
pula yang memaklumatkan anarkisme di Madinah selama tiga hari karena
penduduknya mencabut baiat, yang berakibat 4500 jiwa melayang, seribu
perawan diperkosa pasukannya. Khalifah lainnya, al-Walid bin Yazid, juga
sangat dikenal dengan kegemaran mabuknya, perilaku homoseksualnya serta
hobinya membidik Al-Qur’an dengan panah (hal. 107). Kita juga bisa membaca
kisah Al-Saffah “Si Tukang Jagal”, pendiri Dinasti Abbasiyah yang pernah
mengundang sembilan puluh orang anggota keluarga Umayyah untuk makan
malam, lalu menyiksa mereka sebelum membunuhnya. Kepala para tamu
dipentung, diletakkan di bawah permadani, lalu para pembantainya bersantap di
atas permadani sambil mendengar jerit lolong yang sedang meregang nyawa
(hal.123).
Sebagian besar pergantian kekuasaan di era Umayyah-Abbasiyah ditempuh
melalui kudeta berdarah yang berujung pada terbunuhnya khalifah. Banyak
orang terjebak dalam kekeliruan memandang sejarah tatkala hanya
memfokuskan pada dua tahun kepemimpinan adil Umar bin Abdul Aziz di
antara rentang hampir seribu tahun kepemimpinan Dinasti Umayyah dan
Abbasiyah. Kecuali ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, hampir semua khalifah di masa
Umayyah-Abbasiyah berkubang kemewahan, kekejaman dan gemerlap dunia.
6
Maka patut dipertanyakan ketika orang-orang terhanyut terbang mengenang
romantisme palsu ke masa-masa itu.
Terakhir, di Bab Penutup Fouda kembali menegaskan tujuannya menulis buku
ini, yakni menyampaikan kebenaran pahit melalui sisi kelam sejarah
kepemimpinan di tubuh Islam. “Terguncang demi mencapai kebenaran lebih
mulia daripada berbangga dengan kepalsuan”, ujarnya. Fouda menegaskan
kembali kritikannya terhadap mereka yang ingin kembali kepada sistem khilafah
dan negara agama.
b. Orientasi Historis
Farag Fouda menerapkan pendekatan kritis dan mendalam. Ia menguji teks-
teks agama dan sejarah. Lalu mengintepretasikannya dengan menggunakan
pemikiran independennya Dalam penutupnya, setelah dia memaparkan fakta –
fakta yang tidak menyenangkan di era al – Khulafa’ al-Rasyidun hingga sejarah
kelam Abbasiyah, Fouda melontarkan kalimat “ Lalu Untuk Apa?” Fouda
mengatakan, terguncang dengan fakta lebih baik dari pada berbangga dengan
kepalsuan. Fouda ingin mengajak pembacanya, kaum muslim terpelajar untuk
berani mengakui kenyataan pahit, bahwa sejarah Islam sebagian bermandikan
darah dan penuh dengan kebiadaban.
Fouda ingin membumikan segala mitos dan fantasi – fantasi yang selama ini
yang mengagung-agungkan jaman Khulafa’ sebagai jaman kebesaran Islam yang
kemudian diproyeksikan ke jaman saat ini dan menjadi raison d’etre Islam
bernegara. Fouda mengingnkan umat Islam melupakan mimpi itu, mimpi
tentang sebuah Negara dengan tatanan Islam.
2. Analisis Historiografi
a. Heuristik
Farag Fouda menggunakan sumber-sumber dalam jumlah yang tidak banyak
(terbatas). Sumber-sumber yang dipakai oleh Farag Fouda berupa:
Sumber primer/induk (kitab/buku) sejarah Islam:
- Tarikh al-Umam wa al-Mulk, karya Imam ath-Thabari.
- al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Imam Ibn Katsir.
- al-Kamil fii at-Tarikh, karya Imam Ibn Atsir.
- Muruj adz-Dzahab, Karya al-Mas’udi.
- Akhbar at-Tiwal, karya ad-Daynuri.
7
- Dan lain-lain.
Sumber sekunder/kontemporer (buku):
- al-A’mal al-Kamilah, karya Thaha Husein.
- al-Majmu’ah al-Kamilah, karya Abbas Mahmdud al-Aqqad
- at-Tarikh al-Islam al-Aam, karya Ali Ibrahim Hasan
- Dan lain-lain.
b. Kritik Sumber
Otentisitas sumber-sumber yang digunakan Farag Fouda jelas tidak
diragukan atau kredibel. Seperi Tarikh Thabari yang dianggap sebagai salah satu
rujukan sejarah Islam yang terpercaya. Oleh karena itu, tidak perlu dilakukan
upaya kritik ekstern.
Namun, juga perlu dilakukan kritik intern. Hal ini mengingat para pengarang
kitab induk sejarah Islam tersebut, khususnya Imam ath-Thabari, memasukkan
berbagai riwayat dari perawi yang berlatar belakang berbeda-beda dari segi
pemahaman atau mazhab/aliran yang tentunya mempengaruhi faktor
subyektivitas dalam sumber-sumber tersebut.
c. Interpretasi
Farag Fouda mengadopsi pendekatan sejarah sosial dalam menganalisis
perkembangan agama di Mesir. Ia mengeksplorasi hubungan antara agama dan
masyarakat serta dampaknya. Farag Fouda menonjolkan pendekatan kritis
terhadap sejarah Islam awal. Ia berupaya menyingkap kembali sisi-sisi kelam
dalam sejarah kaum Muslim yang selama ini belum terungkap ke khalayak luas.
Buku ini menawarkan suatu sudut pandang baru atau wajah baru yang kritis
terhadap pengalaman praktik politik dan kekuasaan rezim-rezim kaum Muslim
pada sejarah Islam awal yang biasanya terlihat normatif dan selama ini
dipandang sebagai zaman keemasan dan kegemilangan menjadi historis yang
apa adanya dengan menunjukkan riwayat-riwayat yang jarang dikutip atau
dalam bahasa Farag Fouda itu disembunyikan.
Pada intinya Farag Fouda mendorong pembaca untuk berpikir kritis dan
mengambil sikap independen terhadap agama, menentang otoritas tradisional
dan dogma.
8
4. Kesimpulan
Bagi Fouda bila ada sekelompok kaum muslim yang ingin mengembalikan
Islam ke jaman keemasan era Khulafa’ sangat ironis, karena justru era itu
menurut Fouda bukan Islam, melainkan jaman yang tidak beradab. Kesimpulan
Fouda ini tentu menimbulkan rekasi keras dari kelompok fundamentalis,
sehingga tidak ada jalan lain bagi mereka membungkam Fouda dengan
membunuhnya.
9
DAFTAR PUSTAKA
Fouda, Farag. 2007. Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslim. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta.
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Eriyanto. (2011). Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan
Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Medani, Alex. 2014. Studi Analisis Pandangan Farag Fouda Tentang Hubungan Agama
dan Negara dalam Siyasah Syar’iyyah. Skripsi. Medan: IAIN Sumatra Utara.
10