Anda di halaman 1dari 15

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Tarikh Tasyri’ Saipuddin Yuliar, Lc., M.Ag

Keadaan Bangsa Arab dan Hukum Berlaku Pra-Islam

Disusun oleh :
Kelompok 3

Haikal Rizki Sebayang : 12110112442

Dinisa Wulandar : 12110122493

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PEKANBARU
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Keadaan Bangsa Arab dan Hukum Berlaku Pra-
Islam”. Makalah ini merupakan bagian materi dari perkuliahan dengan mata kuliah Tarikh
Tasyri’

Adapun penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas perkuliahan dengan
mata kuliah Tarikh Tasyri‟, dan juga menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis
dan pembaca. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Saipuddin Yuliar, Lc.,
M.Ag sebagai dosen pengampu mata kuliah ini dan pihak lainnya yang berperan penting
dalam penyelesaian makalah ini hingga dapat penulis selesaikan tepat waktu.

Penulis juga ingin menyampaikan, jika seandainya dalam penulisan makalah ini
terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan, untuk itu penulis dengan senang hati
menerima saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Wassalam.

Pekanbaru, 29 September 2022

penyaji
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3

BAB I .................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2

BAB II ................................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3

A. Keadaan Bangsa Arab Dan Hukum Berlaku Pra-Islam ............................................. 3

B. Tasyri’ Pada Masa Nabi Dan Sumber Penetapan Hukumnya .................................... 4

C. Hukum Yang Berlaku Pada Bangsa Arab Pra Islam .................................................. 5

D. Masalah yang Dibatalkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah dari Hukum-hukum Jahiliyah
dan Asas (dasar-dasar) Penetapan Hukum dalam Tasyri’ Islami. .................................. 9

BAB III ............................................................................................................................. 11

PENUTUP......................................................................................................................... 11

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 11

B. Saran ................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 12


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum Islam datang, bangsa Arab cenderung menampakkan budaya-budaya
yang kurang baik yang kita kenal dengan sebutan jahiliyah. Pertumbuhan kejahilan ini
tidak diisi dengan keterisian akhlak.

Pada masa itu, bangsa Arab hanya mempunyai ahli hikmah dan ahli syair. Dimana
di dalam kata-kata hikmah dan syair tersebut, ditemukan ajaran yang memerintahkan
agar berbuat baik dan menjauhi keburukan. Mendorong pada perbuatan yang utama
(terpuji) dan menjauhi dari perbuatan yang tercela dan hina.

Dalam pergaulan antar kelompok, orang Arab pra-Islam selalu membela anggota
kelompok dan kepentingan kelompoknya. Seseorang akan selalu dibela oleh anggota
seqabilah (inner group) ketika berhadapan dengan anggota kelompok lain (outer
group), baik dalam posisi benar maupun dalam posisi salah.

Orang-orang Arab pra-Islam memiliki perasaan kebangsaan yang luar biasa (ultra
nasionalisme). Mereka menganggap diri mereka (Arab) sebagai bangsa yang mulia
dan menganggap bangsa lain ('Ajam) memiliki derajat di bawahnya.

Maka dari itu, disini penulis akan membahas lebih lanjut bagaimana keadaan
bangsa Arab dan hukum berlaku pra-Islam, tasyri‟ pada masa Nabi dan sumber
penetapan hukumnya, dan contoh masalah yang dibatalkan oleh Al-Qur‟an dan Sunnah
dari hukumhukum jahiliyah dan Asas (dasar-dasar) penetapan hukum dalam tasyri‟
Islami.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dijabarkan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana keadaan bangsa Arab dan hukum berlaku pra-Islam?
2. Bagaimana tasyri‟ pada masa Nabi dan sumber penetapan hukumnya?
3. Apa saja hukum yang berlaku pada Bangsa Arab pra islam?
4. Apa contoh masalah yang dibatalkan oleh Al-Qur‟an dan Sunnah dari
hukumhukum jahiliyah dan Asas (dasar-dasar) penetapan hukum dalam tasyri‟
Islami?

1
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang akan dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui keadaan bangsa Arab dan hukum berlaku pra-Islam.
2. Untuk mengetahui tasyri‟ pada masa Nabi dan sumber penetapan hukumnya.
3. Untuk mengetahui hukum yang berlaku pada bangsa arab pra islam.
4. Untuk mengetahui contoh masalah yang dibatalkan oleh Al-Qur‟an dan Sunnah
dari hukum-hukum jahiliyah dan Asas (dasar-dasar) penetapan hukum dalam
tasyri‟ Islami.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keadaan Bangsa Arab Dan Hukum Berlaku Pra-Islam


Bangsa Arab adalah salah satu entitas masyarakat yang berasal dari keturunan Sam,
putera tertua Nabi Nuh yang tinggal di semenanjung Arabia. Menurut Ahmad Amin ada
dua entitas bangsa Arab, yaitu bangsa baidah dan bangsa baqiyah.

Manna’ al-qotthan menyebutkan, sebelum datangnya Islam Negeri Arab dikuasai


oleh Dua kerajaan besar, yaitu Persia (Sassaniah) dan Romawi. Persia menguasai bagian
timur Utara, sementara Romawi menguasai daerah bagian Utara dan Barat. kerajaan
persi yang membentang tersebut telah berhasil membangun sebuah peradaban besar,
yang dikenal dengan peradaban Persia, yang kemudian Diteruskan oleh kerajaan
Sassaniah mulai tahun 226 M sampai 651 M. Pada masa ini pula, bangsa persi telah
membentuk suatu undangundang yang terkait dengan hukum keluarga, seperti
pernikahan dan hak milik, serta beberapa aturan umum.

Kerajaan Romawi berdiri di atas peradaban filsafat Yunani dan Romawi kuno, dan
pewaris pemikiran socrates, Plato dan Aristoteles. kerajaan ini menguasai daerah lautan
Putih Tengah, sekitar wilayah Syam, Mesir, dan Maghrib. kerajaan ini menganut paham
keagamaan Nasrani yang telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh pemikiran (filsafat)
Yunani, dengan tujuan untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa-bangsa
penyembah berhala. bila dirunut lebih jauh, menurut al-Qhattan, Hal inilah yang
awalnya dikembangkan oleh iskandariyah, sehingga pada masa selanjutnya disebut
dengan neoplatonisme, kira-kira pada tahun ke 200 M.1

Bangsa arab pra-Islam dulu lumayan sulit untuk di deskripsikan secara


komprehensif, namun ciri-ciri utama tatanan masyarakatnya adalah sebagai berikut:

1. Menganut paham kesukuan (qabilah).


2. Dalam bersosial, memiliki rasa solidaritas dan kesetiaan yang sangat kuat.
3. Memiliki tata sosial politik yang tertutup.
4. Mengenal hierarki yang kuat.

1
Manna al-Qotthan, Tarikh Tasyr’i, (Riyadh: Maktabatul Ma’arif, 1996), h. 27.
3
5. Cenderung merendahkan kedudukan perempuan .
6. Sistem atau norman yang mengatur kehidupan sosial belum ada.
7. Memiliki kebiasaan mengundi nasib dalam mengambil keputusan.

Dalam soal akidah, sebenarnya bangsa Arab pra-Islam telah mengenal konsep
ketauhidan, kepercayaan terhadap satu Tuhan yaitu Allah sebagai pencipta. Namun,
beberapa abad sebelum Islam datang, terjadi penyimpangan dan penodaan terhadap
kemurnia ajaran agama, seperti berbuat syirik (menyekutukan Allah). Bahkan untuk
ibadah, setiap kabilah memiliki beberapa koleksi patung yang jumlahnya sekitar 360-
400 buah berhala, yang diletak di rumah-rumah mereka dan disekitar Ka’bah. Meskipun
pada umumnya bangsa Arab melakukan penyimpangan, terdapat sebagian kecil bangsa
Arab yang masih mempertahankan kaidah tauhid.

Dalam bidang hukum, bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai norma
hukum sebagaimana dalam hukum Islam dikenal dengan konsepsi „urf atau adat. Dalam
perkawinan, mereka mengenal beberapa macam perkawinan, yaitu istibdha‟, poliandri,
maqthu’ badal, dan shighar.

Di antara ketentuan hukum keluarga Arab pra-Islam adalah dibolehkannya


berpoligami dengan perempuan tanpa batas jumlah isteri, serta anak kecil dan
perempuan tidak mendapat harta pusaka atau warisan. Masyarakat Arab pra-Islam
cenderung merendahkan martabat wanita dapat dilihat dari dua kasus. Pertama,
perempuan dapat diwariskan dan yang kedua, perempuan tidak memperoleh harta
pusaka atau hak waris.

Menjelang hadirnya Islam, terdapat fenomena sosial, yaitu permusuhan antar suku
yang biasanya disebabkan oleh persengketaan hewan ternak, padang rumput, dan mata
air. Pada decade selanjutnya, permusuhan dan pertarungan antar suku sudah menjadi
salah satu institusi sosial keagamaan yang berlangsung ratusan tahun dalam kehidupan
masyarakat Arab.

B. Tasyri’ Pada Masa Nabi Dan Sumber Penetapan Hukumnya


Menurut ahli sejarah, periode pada masa Nabi dapat diklasifikasikan menjadi dua
fase, yaitu fase makkah dan fase madinah. Pada periode ini umat Islam masih sangat
terisolir dan belum mampu membentuk pemerintahan yang kuat karena masih terfokus
4
pada rekonstruksi aqidah yakni merekonstruksi konsep ketuhanan berhala menuju
keesaan Allah.

Pada masa ini, aktivitas tasyri’ menjadi tanggung jawab penuh dan hak preogratif
Nabi sesuai kapasitasnya sebagai rasul yang diberi mandat untuk memakmurkan dan
mensejahterakan kehidupan manusia di muka bumi ini. Ketika Rasul telah menetapkan
hukum, maka tidak ada seorang pun di antara sahabat yang berhak merubah hukum
tersebut. Sumber / kekuasaan tasyri’ pada periode ini berada di tangan Nabi Muhammad
SAW. Pada saat itu, tidak ada seorang sahabat pun yang melakukan ijtihad fardi baik
berkaitan dengan hukum yang menyangkut dirinya sendiri apalagi orang lain.

Jika para sahabat menghadapi suatu persoalan atau persengkataan atau terlintas
suatu pertanyaan, mereka akan langsung menanyakannya pada Nabi, selanjutnya beliau
akan memberi fatwa secara langsung atau tidak langsung (masa tunggu). Fatwa beliau
bersumber dari wahyu Allah, bisa juga berupa hasil ijtihad. Setiap fatwa dan hukum
yang bersumber dari beliau secara otomatis menjadi tasyri’ yang dipatuhi oleh para
sahabat.

Jadi, penetapan tasyri‟ pada periode Rasululah bersumber dari al-Qur‟an,


hadits/sunnah dan ijtihad Nabi. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hukum yang
terkandung di dalam Al-Qur‟an yaitu hukum keyakinan, hukum akhlak dan hukum
amaliyah. Dalam ijtihad, Nabi menggunakan dua metode, yaitu menggunakan metode
qiyas dan menjadikan maslahah sebagai pertimbangan utama dalam menetapkan
hukum.

C. Hukum Yang Berlaku Pada Bangsa Arab Pra Islam


1. Aspek Pernikahan

Ada beberapa jenis perkawinan yang dipraktikkan di kalangan masyarakat


Arab, ada yang diakui sah menurut hukum Islam dan ada pula yang dibatalkan karena
tidak sesuai dengan syariat Islam:

a. Poligami

5
Merupakan praktik yang telah melembaga dalam masyarakat Arab, namun
poligami yang dilaksanakan tidak memiliki aturan dan batasan. Seorang pria dapat
menikahi wanita sebanyak mungkin tanpa batas maksimal.2

b. Itibdla

Seorang suami meminta istrinya untuk berhubungan seks dengan pria yang mulia
atau memiliki kelebihan, setelah hamil suami tidak ikut campur sampai istrinya
melahirkan. Tujuan perkawinan ini adalah untuk memperoleh gen, sifat, atau
keturunan yang terhormat atau istimewa.

c. Rahthun atau poliandri

Seorang wanita memiliki lebih dari satu pasangan pria.

d. Maqthu’

Seorang anak tiri menikahi ibu tirinya ketika ayahnya meninggal. Isyaratnya, ketika
sang ayah meninggal, sang anak melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda
bahwa ia menyukai ibu tirinya, dan ibu tiri itu tidak bisa menolak.

e. Istibdal

Bertukar istri tanpa cerai terlebih dahulu dengan tujuan mencari variasi atau suasana
baru dalam berhubungan seks.

f. Sighar

Seorang wali menikahkan anak laki-laki atau saudara perempuannya dengan laki-
laki lain tanpa mahar dengan imbalan wali itu sendiri menikahi anak perempuan
atau saudara perempuan laki-laki itu.

g. Khadan

Perkawinan antara laki-laki dan perempuan secara diam-diam tanpa akad nikah
(kumpul kebo). Masyarakat Arab saat itu menganggap pernikahan ini bukan
kejahatan karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

2
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Alih Bahasa : Farid Wajidi, (Yogyakarta,
LSPPA,2000), h.156.
6
2. Aspek Mu’amalah

Menurut Muhammad Abduh dan muridnya, Muhammad Rashid Ridha, ketika


menjelaskan bentuk-bentuk riba yang dilarang pada zaman pra-Islam, mereka menegaskan
bahwa riba pada zaman pra-Islam dipraktikkan dalam bentuk pembayaran tambahan yang
diminta. dari pinjaman yang telah melewati batas waktu pembayaran, sampai mengalami
keterlambatan yang menyebabkan peningkatan pembayaran hutang. Dari Ibnu Zaid bahwa
ayahnya berkata bahwa riba pada masa Jahiliyyah adalah dalam perkalian dan umur
(binatang).

Seseorang yang berutang, ketika waktu pembayaran telah jatuh tempo, bertemu
dengan debitur dan berkata kepadanya, “Bayar atau Anda menambahkan lebih banyak
untuk saya”.Jadi jika kreditur memiliki sesuatu (untuk pembayaran), dia melunasi
hutangnya, dan jika tidak, dia menjadikan hutangnya (jika itu binatang) binatang yang lebih
tua umurnya (daripada yang dia pinjam). Ketika yang ia pinjam berumur satu tahun dan
telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), ia melakukan pembayaran kemudian binti
labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun 9 ketiga. Kemudian menjadi
hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan kemudian menjadi jaz'ah (yang memasuki
tahun kelima), demikian seterusnya.Sedangkan jika barang yang dipinjam (uang),Mujahid
meriwayatkan bahwa riba yang diharamkan oleh Allah SWT dipraktekkan pada masa
jahiliyah, yaitu ketika seseorang berhutang kepada orang lain, maka si peminjam berkata
kepadanya “bagimu (tambahan) sebanyak ini sebagai pahala atas keterlambatan
pembayaran” sehingga pembayarannya tertunda.

3. Aspek Kewarisan

Hukum waris adat Arab pada Zaman Jahiliyah menetapkan tata cara pembagian
warisan dalam masyarakat berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan, dan hanya
diberikan kepada keluarga laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu
mengangkat senjata untuk membela. kehormatan keluarga dan mengobarkan perang dan
menyita harta benda perang. Perempuan dan anak-anak tidak mendapat warisan, karena
dianggap tidak mampu mengangkat senjata untuk membela kehormatan keluarga dan
berperang serta menyita harta benda perang. Bahkan perempuan, yaitu istri ayah atau istri
saudara laki-laki, dijadikan objek warisan yang dapat diwarisi secara paksa. Praktik ini

7
berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan larangan menjadikan perempuan sebagai
pewaris.

Selain itu, perjanjian persaudaraan, ikrar kesetiaan, juga digunakan sebagai dasar
pewarisan bersama. Jika salah satu dari mereka yang mengadakan perjanjian persaudaraan
meninggal dunia, maka pihak yang masih hidup berhak mewarisi 1/6 (seperenam) dari
harta warisan. Setelah itu, sisanya dibagikan kepada ahli warisnya. Mereka yang dapat
mewarisi berdasarkan janji persaudaraan ini juga harus laki-laki. Pengangkatan anak yang
terjadi di kalangan jahiliyah juga dijadikan sebagai dasar saling mewarisi. Apabila anak
angkat sudah dewasa maka ia berhak mewarisi 10 sepenuhnya harta ayah angkatnya,
dengan syarat harus laki-laki. Bahkan pada awal Islam hal ini masih terjadi.

4. Haji

Saat ini jemaah haji terbagi menjadi dua kelompok, pedagang dan non-pedagang.
Jamaah haji harus meninggalkan negaranya pada bulan sabit sebelum datangnya bulan haji,
misalnya harus meninggalkan negaranya pada awal bulan Dzulqa'dah jika haji berlangsung
pada bulan Dzulhijjah, maksudnya demikian bahwa para peziarah dapat mengikuti pasar
khusus di Ukaz selama dua hari, dari pasar Ukaz ini para peziarah pergi ke Majnah untuk
berdagang selama sepuluh hari setelah hilal Dzulhijjah, pasar Majnah ditutup dan
rombongan haji pedagang ini berangkat ke Dzul Majaz untuk melakukan transaksi jual beli
selama delapan hari, pada hari tarwiyah mereka berangkat ke Arafah untuk melakukan
wukuf .

Berbeda dengan komunitas non-pedagang. Pada hari Tarwiyah, jemaah non-


pedagang ini langsung berangkat ke Arafah untuk melakukan wukuf. Beberapa dari mereka
dilakukan di Arafah dan yang lain melakukan wukuf di Namirah (perbatasan tanah
terlarang). Setelah bermalam di tempat masing-masing, sebelum matahari terbenam,
mereka berangkat ke Muzdalifah . Keesokan harinya, setelah matahari terbit, peziarah
nonpedagang ini berangkat ke Mina .Dari sini mereka kemudian pergi ke Mekkah untuk
melakukan tawaf. Beberapa suku menetapkan tradisi untuk anggota baru pertama kali
menunaikan haji. Bagi anggota baru diwajibkan melakukan tawaf tanpa busana, baik laki-
laki maupun perempuan karena mereka berpendapat bahwa pakaian yang mereka kenakan
kotor (tidak suci) sehingga tidak layak untuk beribadah, sedangkan jemaah yang dihormati

8
masyarakat tetap memakai pakaian. ketika melakukan tawaf, namun setelah itu pakaian
tersebut tidak dapat digunakan kembali.

Dari rekonstruksi haji pada era Jahiliyyah, terdapat unsur-unsur haji Nabi Ibrahim.
Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu suku-suku Arab masih 11 mengikuti millah
Ibrahim. Meskipun ajaran murni Nabi Ibrahim disusupi oleh tradisi heterodoks.

D. Masalah yang Dibatalkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah dari Hukum-hukum


Jahiliyah dan Asas (dasar-dasar) Penetapan Hukum dalam Tasyri’ Islami.

Di dalam Al-Qur‟an terdapat pembatalan praktik-praktik yang dilakukan pada


masa jahiliyah, seperti praktik riba, perzinaan, eksploitasi wanita dan minuman keras.
Contoh masalah yang dibatalkan oleh Al-Qur‟an dari hukum jahiliyah adalah soal
pernikahan poligini, poliandri dan poligami tanpa jumlah batas. Dalam Al-Qur‟an
pernikahan poligini dan poligami diharamkan. Sedangkan poligami diberi batas maksimal
4 isteri dengan batasan kualifikasi dan persyaratan yang berat sebagaimana terdapat dalam
QS. An-Nisa‟ ayat 3

ِ ‫ۡو ُر َٰ َب َۖ َعۡفَإِن‬
ۡ‫ۡخفتُم‬ َ ‫ث‬َ َ‫ۡوث ُ َٰل‬
َ ‫سا ٓ ِۡءۡ َمثۡنَ َٰى‬ ِ ‫ابۡلَ ُك‬
َ ِ‫مۡمنَ ۡٱلن‬ َ ‫ط‬ َ ۡ‫ىۡفَۡٱن ِك ُحواْۡۡ َما‬ َٰۡ ‫طواْۡفِيۡٱل َي َٰتَ َم‬
ُ ‫َو ِإنۡۡ ِخفتُمۡأَ اَّلۡتُق ِس‬
ْۡ‫أَ اَّلۡتَع ِدلُواْۡفَ َٰ َو ِح َدةًۡأَوۡ َماۡ َملَكَتۡأَي َٰ َمنُ ُك ۚۡمۡ َٰ َذلِكَ ۡأَدن َٰ َٓىۡأَ اَّلۡتَعُولُوا‬

Artinya : ”Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.
(QS. An-Nisa’ : 3)

Kemudian dalil Al-Qur‟an tentang terlarangnya poliandri terdapat dalam surah An-

Nisa‟ ayat 23-24

ۡ‫تۡ َوأ ُ ام َٰ َهت ُ ُك ُم‬ َٰ ‫ع َٰ امت ُ ُكم‬


ِۡ ‫خۡ َوبَنَاتُ ۡۡٱۡلُخ‬ِۡ َ ‫ۡوبَنَاتُ َٰۡٱۡل‬ َ ‫ۡو َٰ َخلَت ُ ُكم‬
َ َ ‫ۡو‬ َ ‫ۡوأَخ َٰ ََوت ُ ُكم‬ َ ‫علَي ُكمۡأ ُ ام َٰ َهت ُ ُكم‬
َ ‫ۡوبَنَات ُ ُكم‬ َ ۡ‫ت‬
ۡ ‫ُح ِر َم‬
ٓ ُ َٰ
ۡ‫سا ٓ ِئ ُك ُم‬ َ ‫نۡن‬ِ ‫مۡم‬ ِ ‫ور ُك‬
ِ ‫يۡ ُح ُج‬ ۡ ‫ۡو َر َٰ َب ِئبُ ُك ُمۡٱلا ِتيۡ ِف‬
َ ‫سا ٓ ِئ ُكم‬ َ َٰ ‫لر‬
َ ‫ض َع ِۡةۡ َوأ ام َٰ َهتُ ۡ ِن‬ ‫مۡمنَ ۡٱ ا‬ِ ‫ۡوأَخ َٰ ََوت ُ ُك‬َ ‫ضعنَ ُكم‬ َ ‫يۡأَر‬ ۡٓ ‫ٱلا ِت‬

9
ٓ َٰ
ۡ‫ۡو َح َٰلَئِلُۡأَبنَآئِ ُك ُمۡٱلاذِينَۡۡ ِمنۡأَص َٰلَبِ ُكم‬ َ ۡ‫ٱلاتِيۡ َدخَلتُمۡبِ ِه انۡفَإِنۡلامۡتَ ُكونُواْۡ َدخَلتُمۡبِ ِه انۡفَ ََلۡ ُجنَا َح‬
َ ‫علَي ُكم‬
ۡ ۡ‫اۡر ِح ٗيما‬ ‫ور ا‬ٗ ُ ‫غف‬
َ ۡ َ‫ّللۡ َكان‬ َ َۗ َ‫سل‬
ۡ‫فِۡۡإ ا‬
َۡ‫نۡٱ ا‬ ِۡ ‫َوأَنۡتَج َمعُواْۡبَينَ ۡٱۡلُختَي‬
َ ۡ‫نۡ ِإ اَّلۡ َماۡقَد‬

ۡ‫اۡو َرآ َءۡ َٰ َذ ِل ُكمۡأَن‬


َ ‫ۡوأ ُ ِحلاۡلَ ُكمۡ ام‬َ ‫علَي ُك ۚۡم‬ ِۡ‫بۡٱ ا‬
َ ۡ‫ّلل‬ َ َ‫سا ٓ ِۡءۡإِ اَّلۡ َماۡ َملَكَتۡأَي َٰ َمنُ ُك َۖمۡ ِك َٰت‬
َ ِ‫ص َٰنَتُۡۡ ِمنَ ۡٱلن‬
َ ‫۞وٱل ُمح‬ َۡ
ۡۚٗ ُ ۡۚ َ
ۡ‫ضة‬ َ ‫ُن ۡفَ ِري‬ ۡ‫وره ا‬ َ ‫س ِف ِحينَ ۡفَ َماۡٱستَمتَعتُم ۡ ِب ِۡهۦ ۡ ِمن ُه ان ۡفَۡاتُوه اُن ۡأ ُج‬ َ َٰ ‫صنِينَ ۡغَي َر ۡ ُم‬ ِ ‫تَبتَغُواْ ۡ ِبأم َٰ َو ِل ُكمۡ ُّمح‬
َ ۡ َ‫ّللۡ َكان‬
ۡ ۡ‫ع ِلي ًماۡ َح ِك ٗيما‬ ۡۚ
َۡ‫ض ِۡةۡ ِإ انۡۡٱ ا‬ َ ‫ضيتُمۡ ِب ِۡهۦۡ ِم ۢنۡ َبعدِۡٱلف َِري‬ َ ‫علَي ُكمۡ ِفي َماۡت َٰ ََر‬َ ۡ‫َو ََّلۡ ُجنَا َح‬

Artinya : “...................” (QS. An Nisaa: 23-24)

Contoh masalah lain yang di praktikkan pada masa jahiliyah dulu kemudian
dibatalkan oleh Al-Qur‟an adalah soal tabarruj. Sebagaimana dalam firman Allah QS.
AlAhzab ayat 33

َۡ‫لزك ََٰوۡةَۡ َوأَ ِطعنَ ۡٱ ا‬


ۡ‫ّلل‬ ۡ‫ىۡ َوأَ ِقمنَ ۡٱل ا‬
‫صلَ َٰوۡةَۡ َو َءاتِينَ ۡٱ ا‬ ََٰۡۖ َ‫ۡو ََّلۡتَ َب ارجنَ ۡتَ َب ُّر َجۡٱل َٰ َج ِه ِليا ِۡةۡٱۡلُول‬
َ ‫َوقَرنَۡۡ ِفيۡبُيُو ِت ُك ان‬
ۡ ۡ‫ط ِه َر ُكمۡتَط ِۡه ٗيرا‬ َ ُ‫تۡ َوي‬ِۡ ‫سۡأَهلَۡٱلبَي‬ َۡ ‫عن ُك ُمۡٱ ِلرج‬ َ ۡ‫ِب‬
َ ‫ّللُۡ ِليُذه‬ۡ‫سولَ ۡهُۚۡۡۥٓۡإِنا َماۡي ُِريدُۡٱ ا‬
ُ ‫َو َر‬

Artinya : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu,…” (QS. Al-Ahzab : 33)

Kemudian, bangsa Arab pra-Islam cenderung merendahkan perempuan, salah satu


contohnya adalah perempuan tidak memperoleh harta pusaka atau hak waris. Namun
dibatalkan oleh Al-Qur‟an dalam surah An-Nisa‟ ayat 11 :

ۡ‫ۡوحِ َد ٗة‬ َ َٰ ‫ۡوإِنۡكَانَت‬ َ َ‫نۡفَلَ ُه انۡثُلُثَاۡ َماۡت ََر َۖك‬ َ ِ‫نۡفَإِنۡ ُك انۡن‬
ِۡ ‫سا ٓ ٗءۡفَوقَ ۡٱثنَت َي‬ ِۡ ۡۚ ‫ّللۡف ِٓيۡأَو َٰلَ ِد ُك َۖمۡلِلذاك َِرۡمِ ثلُۡ َح ِظۡٱۡلُنث َ َيي‬
ُۡ‫ُوصي ُك ُۡمۡٱ ا‬
ِ ‫ي‬
َ ‫ُسۡمِ اماۡت ََۡركَۡۡإِنۡ َكانَ ۡلَ ۡهُۥۡ َولَ ۚۡدۡفَإِنۡلامۡيَ ُكنۡلا ۡهُۥۡ َولَد‬
ِۡ‫ۡو َو ِرث َ ۡهُۥٓۡأَبَ َواهُۡفَ ِِل ُ ِمه‬ ُۡ ‫سد‬ ُّ ‫ۡمن ُه َماۡٱل‬ ُۡ ۡۚ ‫فَلَ َهاۡٱلنِص‬
َ َٰ ‫فۡ َو ِۡلَبَ َويهِۡ ِل ُك ِل‬
ِ ٖ‫ۡوحِ د‬
ۡ‫َّۡل ۡت َد ُرونَ ۡأَيُّۡ ُه ۡم‬
َ ‫ۡوأَبنَا ٓ ُؤ ُكم‬
َ ‫ُوصيۡ ِب َها ٓۡأَو ۡ َدي َۗن ۡ َءابَا ٓ ُؤ ُكم‬
ِ ‫صي ٖاة ۡي‬ ُۡ ۡۚ ‫سد‬
َ ‫ُس ۡمِ ۢن ۡبَع ِد‬
ِ ‫ۡو‬ ُۡ ۡۚ ُ‫ٱلثُّل‬
ُّ ‫ث ۡفَإِنۡ َكانَ ۡۡلَ ۡهُۥٓ ۡ ِإخ َوة ۡفَ ِِل ُ ِمهِۡۡٱل‬
ۡ ۡ‫ِيما‬ َۡ‫ّللۡ ِإ انۡٱ ا‬
َ ۡ َ‫ّللۡ َكان‬
ٗ ‫علِي ًماۡ َحك‬ َِۡۗ‫ۡمنَ ۡٱ ا‬ َ ‫أَق َربُ ۡلَ ُكمۡنَف ٗع ۚۡاۡفَ ِري‬
ِ ‫ض ٗة‬

Artinya : “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian


warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih
dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan)”…. (QS. An-Nisa’ : 11)

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada zaman Arab pra-Islam, dalam masyarakat masih sering terjadi perang antar suku,
merendahkan wanita, dan terjadi beberapa macam perkawinan, yaitu istibdha‟,
poliandri, maqthu‟ badal, dan shighar.

2. Sumber tasyri‟ pada masa Rasulullah adalah Al-Qur‟an, Hadits/Sunnah, dan ijtihad
Nabi.
3. Contoh masalah yang dibatalkan adalah masalah poligami tanpa jumlah batas, terdapat
dalam QS. An-Nisa‟ ayat 3, soal tabarruj dalam QS. Al-Ahzab ayat 33, soal perempuan
tidak menerima hak waris, dibatalkan oleh Al-Qur‟an dalam Surah An-
Nisa‟ ayat 11.

B. Saran
Demikian makalah sederhana ini kami susun. Saran dari kami ialah semoga
makalah ini lebih baik dari sebelumnya Terima kasih atas antusiasme dari pembaca yang
sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini, dan semoga dengan membaca makalah ini akan
menambah wawasan bagi si pembaca dan bagi si pembuat makalah, kekurangan hanya 13
milik kami dan kelebihan hanya milik Allah Subhanahu Wata’ala. Terima kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, dkk. 2018. Tarikh Tasyr’i Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jawa Timur:
Ummul qusu.

Assegaf, dkk. 1994. Hak hak Perempuan Dalam Islam, Jakarta: LSPPA Yasayasan
Prakarsa.

Muhazzir, Budiman. “Sejarah, Metode dan Ijtihad Hukum Islam pada Masa Nabi
Muhammad SAW”. Jurnal.

Nawawie, Hasyim. 2014. Tarikh Tasyri’. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.

Sopyan, Yayan. 2018. Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok:
RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai