Anda di halaman 1dari 445

LAPORAN KEGIATAN PPDH

LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI


EKSUDAT MATA AYAM BRAHMA

Disusun oleh:
Anggi Nahriyatussyifa B9404231017

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Escherichia coli (E. coli) adalah penyebab kolibasilosis pada unggas
terutama strain Avian Pathogenic Escherichia coli (APEC) ( Ramirez et al. 2019).
Strain APEC dapat menyebabkan penyakit primer ataupun sekunder pada bangsa
unggas dan bersifat sistemik (Suryani et al. 2014). Kolibasilosis pada unggas
menyebabkan kerugian ekonomi karena menurunkan produksi, menambah biaya
pengobatan, dan menyebabkan kematian. Gejala klinis unggas yang terinfeksi
kolibasilosis menurut Barnes et al. (2003) adalah meningitis, panophthalmitis
(mata bengkak), osteoartritis, dan sinositis. Praktikum ini dilakukan pengambilan
sampel eksudat mata ayam Brahma untuk diisolasi dan identifikasi bakteri.
Identifikasi bakteri yang tepat dapat mempermudah dalam pemilihan pengobatan.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri dari
eksudat mata ayam Brahma.
METODE

Waktu dan Tempat


Praktikum Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) stase Bakteriologi
dan Mikologi (Bakmi) dilaksankan pada tanggal 6 November sampai 18 November
2023 di Laboratorium Diagnostik Mikrobiologi PPDH Rumah Sakit Hewan
Pendidikan (RSHP), Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB), IPB
University. Pengambilan sampel dilakukan di Luak Kampus PetShop yang
berlokasi di Jalan Cangkurawok nomor 98. Proses identifikasi akan dilakukan di
Laboratorium Diagnostik Mikrobiologi, PPDH SKHB IPB University.

Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah cotton
swab steril, gloves, media transport, plastik (wadah), ice pack, dan cool box. Alat
yang digunakan untuk proses isolasi dan identifikasi bakteri adalah ose, needle,
bunsen, cawan petri, gelas objek, korek, rak tabung reaksi, inkubator 37 ºC,
microaerophylic jar, dan mikroskop cahaya. Bahan yang digunakan untuk proses
isolasi dan identifikasi bakteri adalah kapas, kertas saring, akuades, kristal violet,
lugol, alkohol 96%, safranin, Blood Agar (BA), MacConkey Agar (MCA), agar
miring Tryptic Soy Agar (TSA), KOH 3%, H2O2 3%, reagen oksidasi, reagen
ehrlich, media fermentasi karbohidrat glukosa, sukrosa, manitol, laktosa, maltosa,
media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), media indol, media sitrat, media uji hidrolisis
urea, larutan kaldu, methyl red (MR), reagen alpha naphtol, KOH 40%, minyak
emersi, alkohol 70%, dan alkohol 96%.

Diagram Prosedur Isolasi dan Identifikasi Bakteri


Sampel

Blood Agar MCA

TSA

Pewarnaan Gram
dan uji KOH 3%

Bakteri Gram positif Bakteri Gram


negatif

Gambar 1 Diagram Identifikasi bakteri Gram negatif dan Gram positif (Lay 1994).
Bakteri gram negatif

Kokus, kokobasil,
dan basil

Uji Oksidasi

Positif Negatif
Non-eterobactericeae Eterobactericeae

Uji Biokimia

MRVP Uji TSIA Sitrat Urea Indol


Fermentasi
gula

Gambar 2 Diagram alur identifikasi bakteri gram negatif. (MRVP: Methyl Red-
Voges Proskauer). Uji Fermentasi Gula: glukosa, sukrosa, maltosa,
manitol, dan laktosa (Lay 1994).
Bakteri gram
positif

Kokus Basil

Uji Katalase

Berspora Tidak
Bacillus berspora
Katalase positif Katalase negatif
Micrococcaceae Streptococcace
ae
Zhiel Neelsen

Uji fermentasi glukosa


mikroaerofilik

Tahan asam Tidak tahan asam


Mycobacterium Corynobacterium
Nocardia Listeria
Negatif Positif
Micrococcus

Penanaman Uji Koagulasi


di MSA

Kuning Merah
(fermentasi) (non-fermentasi)
Staphylococcus Staphylococcus
patogen Non-patogen

Menggumpal Cair
Staphylococcus Staphylococcus
patogen Non-patogen

Gambar 3 Diagram alur identifikasi bakteri Gram positif (Lay 1994).


Prosedur Pemeriksaan

Koleksi Sampel
Koleksi sampel dilakukan secara aseptis dengan menggunakan cotton swab
steril. Permukaan mata yang akan diambil dibersihkan dengan kapas alkohol,
kemudian bagian eksudat pada mata di swab dengan cotton swab steril dan
dimasukkan ke dalam media transport NaCl 0.85%. Selanjutnya tabung yang berisi
sampel dimasukkan ke dalam cool box (Lay 1994).

Pembiakan Bakteri pada Blood Agar dan MacConkey Agar


Prosedur pembiakan bakteri pada BA dan MCA dilakukan secara aseptis,
meja kerja dibersihkan dengan alkohol 70%. Ose disterilisasi dengan menggunakan
api bunsen, setelah agak dingin ambil sampel dengan ose. Selanjutnya ose
digoreskan pada media BA dan MCA dengan membuat goresan T (gambar 4). Agar
BA dan MCA kemudian dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 37 ºC selama 24–
48 jam (Lay 1994).

Gambar 4 Teknik goresan T.

Pengamatan Koloni
Koloni bakteri yang tumbuh pada agar BA dan MCA diamati secara
makroskopis dengan memperhatikan parameter ukuran, bentuk, permukaan, aspek,
tepi, elevasi, pigmentasi, hemolisis, dan sifat tembus cahaya (Lay 1994).

Pembiakan bakteri pada Tryptic Soy Agar


Koloni bakteri yang terpisah dan telah diamatis secara makroskopis diberi
tanda pada bagian dasar cawan petri. Selanjutnya satu koloni diambil menggunakan
ose steril dengan hati-hati agar didapatkan satu jenis bakteri saja. Ose kemudian
digoreskan berliku-liku pada dinding media TSA. Media TSA kemudian diinkubasi
pada inkubator bersuhu 37 ºC selama 24–48 jam (Lay 1994).

Pewarnaan Gram
Koloni bakteri selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan Gram untuk melihat
morfologi, sifat Gram, dan kemurnianya. Pewarnaan gram dilakukan secara steril
dengan menggunakan ose steril dan api bunsen. Gelas objek dibersihkan dengan
alkohol 70%, selanjutnya diteteskan akuades. Isolat bakteri diambil menggunakan
ose kemudian digoreskan pada gelas objek dan dicampurkan dengan akuades
dengan membuat goresan melingkar dari arah dalam ke luar. Selanjutnya preparat
difiksasi dengan cara dilewatkan di atas api bunsen. Preparat kemudian diwarnai
dengan kristal violet 1–2 tetes dan didiamkan selama 1 menit, selanjutnya dibilas
dengan akuades. Preparat kemudian ditambahkan larutan lugol 1–2 tetes dan
didiamkan selama 1 menit, selanjutnya dibilas dengan akuades. Preparat
selanjutnya ditambahkan alkohol 96% dan didiamkan selama 30 detik, selanjutnya
dibilas dengan akuades. Pewarnaan terakhir preparat diwarnai dengan safranin 1–2
tetes dan didiamkan selama 1 menit, selanjutnya dibilas dengan akuades. Preparat
dikeringkan dan diamati di bawah mikroskop total perbesaran 1000 kali dengan
menambahkan minyak emersi. Hasilnya bakteri Gram positif akan terlihat berwarna
ungu, sedangkan bakteri Gram negatif akan terlihat berwarna merah (Lay 1994).

Uji KOH 3%
Uji KOH 3% dilakukan dengan cara meneteskan larutan KOH 3% sebanyak
1–2 tetes ke atas gelas objek. Isolat bakteri pada agar miring diambil dengan ose
steril dan dicampurkan dengan KOH 3% sampai. Hasil uji bakteri Gram positif
tidak akan terbentuk lendir, sedangkan bakteri Gram negatif akan terbentuk lendir
(Lay 1994).

Uji Oksidasi
Uji oksidasi dilakukan dengan cara meneteskan reagen oksidasi pada gelas
kemudian ditempelkan kertas saring. Selanjutnya isolat bakteri diambil
menggunakan ose steril dan ditempelkan pada kertas saring. Pengamatan reaksi
dilakukan segera setelahnya (kurang dari 20 detik). Hasil positif akan menunjukkan
warna keunguan pada kertas saring (Lay 1994).

Uji Katalase
Uji katalase dilakukan dengan meneteskan H2O2 3% pada tabung reaksi
sebanyak, kemudian isolat bakteri yang dibiakkan pada agar miring diambil dengan
cotton swab steril dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi H2O2 3% .
Pengamat reaksi dilakukan segera dengan melihat gelembung udara yang terbentuk.
Hasil positif akan menunjukkan gelembung udara, sedangkan hasil negatif tidak
akan menunjukkan gelembung udara (Lay 1994).

Uji Methyl Red (MR) dan Voges-Proskauer (VP)


Isolat bakteri diinokulasikan ke dalam 3 mL larutan MR-VP dan diinkubasi
pada suhu 37 ºC selama 96 jam. Uji MR dilakukan dengan menambahkan 5 tetes indikator
methyl red, kemudian langsung diamati. Hasil positif akan menunjukkan warna merah pada
media, sedangkan hasil negatif akan menunjukkan warna kuning jernih. Uji VP dilakukan
dengan menambahkan 0,6 mL α napthol dan 0,2 mL KOH 40%, kemudian ditunggu 4 jam.
Hasil positif akan menunjukkan warna merah, sedangkan hasil negatif akan menunjukkan
warna kuning pada media (Lay 1994).

Uji Fermentasi Karbohidrat


Uji fermentasi yang dilakukan adalah uji fermentasi glukosa, sukrosa,
maltosa, manitol, dan laktosa. Pertama siapkan lima buah tabung yang berisi
glukosa, sukrosa, maltosa, manitol, dan laktosa. Isolat bakteri diambil dari agar
miring secara aseptis kemudian dicampurkan ke dalam media dan dilanjutkan
proses inkubasi pada suhu 37 ºC selama 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan
mengamati perubahan warna media dan pembentukan gas atau gelembung udara
(Lay 1994).

Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)


Isolat bakteri agar miring diinokulasikan ke dalam TSIA dengan cara
ditusukkan ke dalam ¾ bagian butt tabung TSIA, kemudian digores sepanjang
bagian slant. Media selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 24–48 jam.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati warna bagian permukaan dan dalam
agar serta pembentukan gas (Lay 1994).

Uji Indol dan Motilitas


Uji indol dan motilitas dilakukan pada media semi solid yang sama. Isolat
bakteri agar miring diinokulasikan ke dalam media indol menggunakan ose needle
steril dengan cara ditusukkan tegal lurus pada media hingga mencapai ¾ bagian
butt. Media selanjutnya diinkubasi pada 37 ºC selama 18–24 jam. Pengujian indol
dilakukan meneteskan reagen erlich pada permukaan media. Hasil positif akan
membentuk cincin berwarna merah atau biru dan menandakan bakteri dapat
mengurai asam amino. Motilitas bakteri ditentukan dengan mengamati penyebaran
bakteri pada sekitar daerah tusukan. Bakteri yang terlihat menyebar menandakan
bakteri tersebut motil (Lay 1994).

Uji Sitrat
Media uji sitrat berbentuk solid dan berwarna hijau. Isolat bakteri diambil
menggunakan ose secara aseptis kemudian digoreskan pada media dengan goresan
berkelok. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 18–24 jam. Pengamatan
dilakukan dengan melihat perubahan warna pada media. Hasil positif akan
menunjukkan perubahan warna pada media menjadi biru, sedangkan hasil negatif
tidak akan menunjukan perubahan warna pada media (Lay 1994).

Uji Hidrolisis Urea


Media yang digunakan untuk uji hidrolisis urea berbentuk solid dengan
warna kekuningan. Isolat bakteri diambil menggunakan ose secara aseptis
kemudian digoreskan pada media dengan goresan berkelok. Media kemudian
diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 18–24 jam. Hasil positif akan menunjukan
perubahan warna pada media menjadi merah muda, sedangkan hasil negatif tidak
akan menunjukan perubahan warna pada media (Lay 1994).

.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Koleksi Sampel
Sinyalemen
Jenis hewan : Ayam
Ras : Ayam Brahma
Jenis kelamin : Jantan
Umur : +/- 4 bulan
Warna : Hitam-putih dominan putih

Anamnesa
Ayam Bharma yang menjadi sampel merupakan ayam yang berasal dari
daerah Kediri. Menurut keterangan penjual ayam Brahma ini datang seminggu yang
lalu pada (1 November 2023 tanggal kedatangan ayam; 7 November 2023 sampel
diambil). Sejak datang ayam sudah terlihat lemas dan tidak mau makan.

Temuan Klinis
Bulu ayam terlihat kusam, lembab, dan bulu terbalik (Gambar 5A). Mata
kiri bengkak disertai eksudat (Gambar 5B). Permukaan anus kotor dan terdapat
bekas ekskreta (Gambar 5C).

A B C

Gambar 5 Temuan klinis, A= bulu ayam kusam, B= mata kiri bengkak disertai
eksudat, C= permukaan anus terdapat sisa ekskreta.

Sampel yang diambil dari discharge mata ayam dengan menggunakan


cotton swab steril kemudian dimasukan ke dalam tabung yang berisi media
transport NaCl 0,85%. Tabung selanjutnya dimasukan ke dalam cool box. Sampel
yang didapatkan kemudian dikultur pada BA dan MCA dan diinkubasi selama 24
jam. Blood agar merupakan media yang digunakan untuk mikroorganisme yang
tidak mudah dikultur dan membedakan bakteri berdasarkan sifat hemolisis (Buxton
2005). MacConkey agar digunakan sebagai media selektif dan diferensial untuk
bakteri gram negatif karena komposisi kristal violet dan garam empedu pada media
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif. Pertumbuhan bakteri Gram
negatif pada MCA dibedakan berdasarkan kemampuan memfermentasi laktosa
(Jawetz et al 2007). Bakteri yang memfermentasikan laktosa menyebabkan
penurunan pH dan dideteksi oleh neutral red sebagai indikator pH. Ketika pH turun,
neutral red diabsorbsi oleh bakteri, sehingga warna koloni menjadi merah muda
sampai merah pada MCA.
Pengamatan makroskopis koloni bakteri pada MCA setelah diinkubasi
selama 24 jam terlihat ukuran koloni yang kecil, bulat, permukaan halus, aspek
koloni mengkilat, tepi rata, elevasi timbul, dan berwarna merah jambu (Gambar 6).
Hasil pengamatan secara makroskopis koloni bakteri dicurigai E. coli karena sesuai
dengan ciri-ciri yang dikemukakan (Kristiawan et al. 2022). Sedangkan pada BA
secara makrokopis koloni bakteri berwarna putih kecoklatan dengan sifat
hemolisisnya adalah α-hemolisis (Gambar 7). Koloni yang memperlihatkan zona
tidak jernih dimasukan ke dalam kelompok bakteri yang bersifat α-hemolisis
(McKane dan Kandel 1998).

Gambar 6 Pertumbuhan koloni bakteri pada media MCA. Bakteri terpisah (tanda
panah) disubkultur pada TSA.

Gambar 7 Pertumbuhan koloni bakteri pada media BA.

Koloni terpisah pada media MCA selanjutnya disubkultur pada media TSA.
TSA berfungsi sebagai salah satu media yang umum digunakan untuk mengisolasi
mikroorganisme dalam kultur murni (Dwidjoseputro 1994). Bakteri murni hasil
subkultur pada TSA selanjutnya dilakukan pewarnaan Gram untuk melihat bentuk,
susunan dan sifat Gram. Hasilnya menunjukkan bakteri yang dihasilkan merupakan
bakteri Gram negatif dengan hasil pewarnaan berwarna merah dan berbentuk
monobasil yang termasuk (Gambar 8).

Gambar 8 Hasil pewarnaan Gram, terlihat bakteri berwarna merah, berbentuk


basil dengan susunan tunggal (tanda panah).

Tabel 1 Hasil pengamatan morfologi koloni bakteri Gram negatif pada media MCA
dan BA
Parameter MCA BA
Ukuran koloni Kecil Kecil
Bentuk koloni Bulat Bulat
Permukaan koloni Halus Halus
Aspek koloni Mengkilat Mengkilat
Tepi koloni Rata Rata
Elevasi Timbul Timbul
Pigmentasi Merah jambu Putih-kecoklatan
Sifat tembus cahaya Opaque Opaque
Sifat hemolisis - Α-hemolisis

Hasil Uji KOH 3% terbentuk lendir, sehingga bakteri yang diuji termasuk
ke dalam bakteri Gram negatif. Lendir terbentuk dari reaksi KOH 3% dengan
dinding sel bakteri, pada bakteri gram negatif memiliki lapisan lipid yang tebal dan
dinding sel yang tipis sehingga dapat dirusak oleh KOH 3%. Sel kemudian lisis dan
terbentuk lendir (Gambar 9).

Gambar 9 Uji KOH 3%, terbentuk lendir.


Isolat bakteri yang dicurigai sebagai E. coli selanjutnya diuji oksidase dan
katalase. Hasil uji oksidase menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak terjadi
perubahan pada kertas saring setelah ditambahkan reagen oksidasi (Gambar 10).
Uji oksidasi bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya produksi enzim oksidase
oleh bakteri yang uji. Reagen oksidasi terdiri atas larutan 1% alpha-naphtol dan 1%
dimetil-p-fenillendiamin oksalat. Uji katalase didapatkan hasil positif yang ditandai
dengan adanya gelembing oksigen yang terbentuk dari reaksi antara koloni bakteri
dan reagen H2O2 3%. Menurut Breed et al (1957) hasil uji oksidase dan katalase
yang dilakukan pada koloni bakteri menghasilkan uji oksidase negatif dan uji
katalase positif.
A B

Gambar 10 Hasil uji oksidasi dan uji katalase. (A) Uji oksidasi negatif ditandai
dengan tidak terjadi perubahan warna pada kertas saring. (B) Uji
katalase positif ditandai dengan terbentuk gelembung udara (tanda
panah).

Identifikasi bakteri dilanjutkan dengan uji biokimia yang terdiri atas uji
TSIA, indol, motilitas, sitrat, urea, uji MR-VP, dan uji fermentasi karbohidrat. Hasil
uji biokimia pada TSIA menunjukan hasil acid positif ditandai dengan warna
kekuningan pada bagian butt dan slant, terbentuk gas, dan tidak terbentuk endapan
hitam H2S (Gambar 11A). Hasil uji indole menghasilkan hasil positif yang
ditunjukan dengan adanya cincin merah dan pergerakan bakteri yang terlihat pada
pertumbuhan koloni di sekitar tusukan dan permukaan media (Gambar 11B). Hasil
uji sitrat dan urea dinyatakan negatif ditandai dengan tidak ada perubahan warna
pada media (Gambar 11C dan 11D). Bakteri E. coli tidak menggunakan sitrat
sebagai sumber karbon dan tidak mengubah urea menjadi amoniak sehingga akan
menunjukan hasil negatif pada uji sitrat dan urea (Barrow dan Feltham 2003). Hasil
uji MR positif dan hasil negatif pada uji VP (Gambar 11E dan 11F). Uji VP negatif
karena E.coli dapat memfermentasikan karbohidrat menjadi produk asam dan tidak
menghasilkan produk netral seperti asetonin (Rahayu dan Gumilar 2017).
Hasil uji fermentasi karbohidrat menunjukkan hasil bahwa bakteri dapat
memfermentasikan maltosa, manitol, glukosa, sukrosa dan laktosa. Hal ini
ditunjukkan dengan terbentuknya asam yang ditandai dengan perubahan warna
media menjadi kuning dan pembentukan gas (Gambar 12). Hasil ini menunjukkan
bahwa bakteri ini mampu memfermentasi karbohidrat.
A B C D E F

Gambar 11 Hasil uji kimia, (A) TSIA, (B) indol, (C) sitrat, (D) urea. (E) MR, (F)
VP.

Gambar 12 Hasil uji fermentasi karbohidrat memperlihatkan hasil positif pada


(ML) maltosa, (MN) manitol, (G) glukosa, (S) sukrosa, dan (L)
laktosa.

Berdasarkan hasil uji biokimia yang tertera pada Tabel 2 sampel discharge
mata ayam mengarah pada bakteri E. coli. Hasil pengamatan yang didapat juga
sesuai dengan karakteristik yang disampaikan (Barrow dan Feltham 2003). Bakteri
E.coli khususnya avian pathogenic Escherichia coli (APEC) dapat menyebabkan
infeksi yang bersifat lokal dan sistemik pada ayam, kalkun, bebek dan spesies
burung lainnya (Dho dan Fairbrother 1999). Bakteri APEC menyebabkan penyakit
avian colibacillosis yang dapat merugikan sektor peternakan unggas. Gejala klinis
yang dapat teramati pada ayam yang terinfeksi colibacillosis adalah depresi,
anoreksia, bulu-bulu kasar, sayap menggantung dan kelemahan umum (Wibowo
dan Wahyuni 2008). Gejala klinis ini sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik pada
ayam Brahma yang menjadi sampel (Gambar 5).
Hasil identifikasi E. coli melalui uji biokimia dapat dikonfirmasi lebih lanjut
menggunakan deteksi molekular dengan transcription-polymerase chain reaction
(PCR). Deteksi molekular dimulai dengan mengekstraksi ribonucleic acid (RNA)
dengan cara rapid boiling. Metode ekstraksi rapid boiling merupakan metode
pemanasan yang dapat mengekstraksi DNA bakteri pada suhu tertentu dengan
mudah dan cepat (Adhyatma et al. 2020). Selanjutnya DNA yang didapatkan diuji
dengan PCR. Berdasarkan prosedur MyTaqTM HS Red Mix satu kali reaksi
membutuhkan template sebanyak 200 ng, primer (20 M) sebanyak 1 L, MyTaq
HS Red Mix 2× sebanyak 25 uL dan ditambahkan dH2O sampai volume menjadi
50 L. Primer yang digunakan adalah E. coli spesific universal stress protein A
(uspA) dengan panjang amplifikasi 884 bp. Proses amplifikasi dilakukan
menggunakan Thermal cycler yang terdiri dari tahap: (i) pre-denaturasi 1× (95 °C,
15 menit), (ii) siklus PCR 30× (95°C, 15 detik; 58°C, 30 detik; 72°C, 1 menit), (iii)
ektensi 1× (72°C, 10 menit; 12°C, 10 menit). Hasil PCR kemudian divisualisasi
dengan elektroforesis menggunakan agarose 1% dalam 1× TAE buffer. Selanjutnya
diamati menggunakan UV transluminator.

Tabel 2 Hasil Uji Biokimia pada Sampel Eye Discharge Mata Ayam Brahma
Media Hasil uji dari bakteri yang diisolasi
dari sampel eye discharge mata ayam
brahma
Oksidase -

Katalase +

TSIA 𝐴⁄ , H2S(-), Gas (+)


𝐴
Indol +

Motility +

Sitrat -

Urea -

MR +

VP -
Keterangan: Hasil uji biokimia dari bakteri yang diisolasi dari sampel eye discharge mata ayam. (1)
Oksidase negatif; (2) Katalase positif; (3) TSIA 𝐴⁄𝐴, H2S negatif, gas positif; (4) Indol
positif, adanya bentukan cincin merah pada media; (5) Motilitas positif, kekaburan atau
pertumbuhan pada sekitar area tusukan; (6) Sitrat negatif, tidak terjadi perubahan warna
pada media; (7) Urease negatif, tidak terjadi perubahan warna pada media; (8) MR
positif, perubahan warna pada larutan media; (9) VP negatif, tidak terjadi perubahan
warna pada media.
DAFTAR PUSTAKA

Adhyatma IGR, Darwinata AE, Hendrayana MA, Fatmawati NND. 2020.


Amplifikasi sekuen IS6110 dengan ekstraksi DNA menggunakan metode
pemanasan (rapid boiling) untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis.
Jurnal Medika Udaya. 9(2):93–100.
Barnes HJ, Vaillancourt JP, Gross WB. 2003. Newcastle disease (Ed) Diseases of
Poultry. 11th ed. Iowa State University Press, Ames. 631–656.
Barrow GI, Feltham RKA. 2003. Cowan and Steel’s Manual for the Identification
of Medical Bacteria; Third Edition. Cambridge. Cambridge University
Press. Hlm 128-149.
Dwidjoseputro D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta (ID) : Djambatan.
Dho MM, Fairbrother JM. 1999. Avian pathogenic Escherichia coli (APEC). Vet.
Res. 30:299–316.
Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
McKane, L. and J. Kandel. 1998. Microbiology Essentials and Applications. 2nd
ed. McGraw-Hill, Inc. Philadelphia.
Ramirez RM, Almanza Y, Gonzalez R, Garcia S, Heredia N. 2009. Avian
pathogenic Escherichia coli bind fibronectin and laminin. Vet. Res. Comm.
33:379–386.
Rahayu, S. A., dan M. M. H. Gumilar. 2017. Uji cemaran air minum masyarakat
sekitar margahayu raya bandung dengan identifikasi bakteri Escherichia
coli. Indo. J. Pharm. Sci Tech., 4(2):50–56.
Suryani AE, Karimy MF, Istiqomah L, Sofyan A, Herdian H. Wibowo MH. 2014.
Colibacillosis prevalence in broiler chicken infected by Escherichia coli
with administration of bioadditive. Probiotic and Antibiotic Widyariset.
17(2):233–244.
Wibowo MH, Wahyuni AET. 2008. Studi patogenitas Escherichia coli isolat
unggas pada ayam pedaging umur 15 hari. Jurnal Veteriner. 9(2):87–93.
LAPORAN INDIVIDU PPDH DIAGNOSTIK
BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI

Microsporum gypseum

Disusun oleh:
Aqila Tsabita B9404231028

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatofitosis atau dikenal juga sebagai ringworm adalah penyakit kulit
yang disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada struktur keratin tubuh seperti
kulit, rambut, dan kuku oleh organisme jamur zoofilik, geofilik, atau antropofilik.
Terdapat lebih dari 30 spesies jamur dermatofita, dengan spesies yang paling
sering diisolasi adalah Microsporum canis, Microsporum gypseum, dan
Trichophyton mentagrophytes (Moriello et al. 2017). Meskipun begitu
berdasarkan diketahui bahwa infeksi M. gypseum dan Trichophyton sp. cukup
jarang terjadi dibandingkan dgn infeksi M. canis.
Penyakit ini ditransmisikan melalui kontak dengan rambut dan ketombe,
baik yang terinfeksi atau mengandung partikel jamur, baik yang berasal dari
hewan, lingkungan, atau benda (fomites) (Xavier et al. 2008). Dermatofita
geophilic seperti Microsporum gypseum berasosiasi dengan dekomposisi keratin
dari rambut, bulu, dan tanduk yang ada di dalam tanah (Moriello et al. 2017).

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui informasi lebih mendalam terkait
Microsporum gypseum sebagai salah satu jamur yang dapat menyebabkan
penyakit kulit berupa ringworm pada hewan dan juga manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Microsporum gypseum


M. gypseum merupakan fungi yang umum berada di tanah (Geophilic).
Mikroorganisme ini dapat menginfeksi manusia dan berbagai jenis hewan, seperti
anjing, kucing, kuda, panda, babi, onta, dan serigala. Utamanya menyebabkan
penyakit kulit dan dapat juga infeksi mendalam pada individu yang mengalami
defisiensi imun (Ma et al. 2022). Ketika sistem imun sedang lemah, infeksi
mendalam akibat dermatofita ini dapat menyebabkan infiltrasi pada kulit dan
jaringan subkutan, dan menyebabkan lesi pada kelenjar getah bening, organ
dalam, dan sistem saraf pusat.
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Order : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
Spesies : M. gypseum
Terdapat beberapa predisposisi untuk infeksi fungi dermatofita (termasuk
juga Microsporum gypseum), yakni usia (hewan muda seperti kittens dan puppies
lebih rentan terinfeksi), dan gaya hidup (lifestyle), jamur ini lebih umum diisolasi
pada hewan yang tinggal di suatu rumah secara berkelompok (shelter) atau hewan
liar (free-roaming) dibandingkan dengan hewan yang dipelihara secara tunggal.
Penyakit yang menyebabkan penurunan sistem imun (immunosuppressive
diseases) juga menjadi predisposisi pada anjing dan kucing untuk terinfeksi
dermatofitosis.
Microsporum gypseum secara geografis tersebar di seluruh dunia. Akan
tetapi pada hewan di daerah dengan suhu lebih hangat seperti Brazil, Chile, India,
Italy, dan Indonesia memiliki prevalensi dermatofitosis yang lebih tinggi
(Moriello et al. 2017). Anjing pekerja dan anjing untuk berburu seperti German
shepherd, Fox terrier, Labrador retriever, Beagle, Jack Russel terroer, dan lainnya
rentan terhadap dermatofitosis, utamanya M. persicolor dan M. gypseum, hal ini
kemungkinan dikarenakan peningkatan kontak dengan tanah yang terkontaminasi
(Carlotti dan Bensignor 1999).
2.2 Gejala Klinis
Sama seperti agen dermatofitosis lainnya, Microsporum gypseum
menyerang struktur keratin. Sehingga, gejala klinis yang ditunjukkan adalah
kombinasi dari alopesia, papula, scales, crusts, erythema, follicular plugging,
hiperpigmentasi, dan perubahan dari pertumbuhan atau bentuk kuku (Moriello et
al. 2017). Lesio dermatofitosis umumnya tidak simetris, pruritus atau rasa gatal
bervariasi antar hewan, akan tetapi umumnya cukup minimal hingga tidak ada
sama sekali. Ketika timbul rasa gatal, hal ini dapat menyebabkan self-trauma
dikarenakan hewan terus menggaruk tubuhnya, yang akhirnya akan dapat
menyebabkan pyotraumatic dermatitis atau lesio ulcerative eosinophilic (DeBoer
dan Moriello 1994). Adanya variasi dari gejala klinis mencerminkan respons imun
dan respons inflamasi. Lesi multifokal dan difus paling sering terlihat pada hewan
dengan penyakit kulit lainnya atau penyakit sistemik dan/atau stres fisiologis.

2.3 Epidemiologi
Tidak banyak informasi yang diketahui terkait epidemiologi infeksi
Microsporum gypseum. Berdasarkan penelitian oleh Moriello et al. (2020), dari 3
shelter kucing yang dilakukan pengujian terhadap dermatofitosis hanya 4 kucing
yang terinfeksi oleh Microsporum gypseum. Sedangkan berdasarkan penelitian
oleh Putriningsih dan Arjentinia (2018), diketahui infeksi M. gypseum pada sapi
bali mencapai 75% dari fungi dermatofita yang diisolasi dan diidentifikasi, akan
tetapi pada penelitian ini hanya digunakan 8 ekor sapi, sehingga hasil yang
didapat kemungkina tidak mewakili seluruh populasi.
2.4 Diagonis
2.4.1 Pengamatan Langsung
Salah satu teknik diagnosis untuk mengkonfirmasi keberadaan infeksi
dermatofita adalah dengan melakukan pengamatan langsung pada lesio di rambut
dan kulit. Teknik ini dilakukan dengan pengamatan menggunakan mikroskop
terhadap adanya hifa ataupun spora. Sampel rambut atau kulit diletakkan pada
objek glass dan diteteskan dengan mineral oil, senyawa klorofenol ataupun
potassium hidroksida (KOH) dengan konsentrasi yang bervariasi (Moriello et al.
2017). Sedangkan, berdasarkan Shalaby et al. (2016), digunakan larutan KOH
10% dan dicampurkan dengan Dimethyle sulphoxide (DMSO) 40% dengan
perbandingan 1:1. Sampel dibiarkan 5-8 menit. DMSO berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas dan dapat melembutkan keratin lebih cepat
dibandingkan dengan penggunaan KOH tunggal.
Selain dengan pemeriksaan langsung menggunakan mikroskop, diagnosis
ringworm di klinik umumnya dilakukan dengan menggunakan woodlamp, dimana
hasil positif akan menunjukkan adanya fluorescence. Berdasarkan Moriello et al.
(2017), dermatofita yang memproduksi fluorescence adalah anggota dari genus
Microsporum, akan tetapi berdasarkan laporan klinis M. gypseum dan M.
persicolor pada anjing dan kucing tidak menunjukkan adanya fluorescence.
2.4.2 Kultur Fungi
Kultur terhadap fungi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk
mengidentifikasi secara akurat terhadap agen penyebab ringworm (Nardoni et al.
2013).
Koleksi sampel
Koleksi sampel untuk diagnosis fungi sangat bervariasi, yakni dapat
dilakukan dengan pengambilan/pencabutan rambut (hair pluck) dari pinggiran
lesio, kerokan kulit (skin scraping) dari daerah kulit terinfeksi dengan
menggunakan scalpel hingga lapisan epidermis kulit terambil (Indrawati et al.
2018), skin tape sampling dengan cara menempelkan tape pada lesio lalu
ditempelkan pada permukaan plate untuk kultur, dan juga dengan MacKenzie
brush technique. Teknik ini umumnya dilakukan dengan melakukan sekitar 20
kali sapuan, atau selama 2-3 menit hingga sikat penuh dengan ramut. Penting
untuk menggunakan sikat gigi berbulu lembut untuk menghindari pengambilan
sampel yang traumatis pada telinga dan wajah hewan (Moriello et al. 2017).
Media kultur fungi
Media kultur fungi sangat beragam. Dermatophyte Test Medium (DTM)
merupakan media pertumbuhan jamur dermatophyta mengandung nutrisi dengan
antibiotik untuk menekan pertumbuhan berlebih bakteri dan jamur kontaminan
dan indikator warna untuk membantu identifikasi awal terhadap kemungkinan
spesies dermatofit. Perubahan warna media dari kuning menjadi merah
disebabkan oleh perubahan pH yang dipicu oleh pertumbuhan jamur (Moriello et
al. 2017). Selain itu berdasarkan Shalaby et al. (2016), dapat juga digunakan
media Sabouraud Dextrose Agar (SDA), dan Dermasel agar base, yang keduanya
diberikan suplementasi berupa chloramphenicol dan cycloheximide.
Chloramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Sedangkan,
cycloheximide digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur yang tidak
diinginkan.
Prosedur kultur fungi
Sampel diinokulasi di atas media kultur fungi, diinkubasi secara aerobik
pada suhu ruang (sekitar 25°C) hingga 4 minggu. Jika terdapat pertumbuhan
fungi, maka hasil kultur diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis mencakup warna (bagian depan dan belakang),
topografi, dan teksur. Sedangkan pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan
menggunakan mikroskop untuk identifikasi spesies dengan melihat karakteristik
conidia dan hifa fungi. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan menggunakan
tape berukuran kecil lalu ditempelkam secara perlahan ke permukaan koloni fungi
yang tumbuh, selanjutnya tape diletakkan di atas kaca objek yang telah diberikan
1 tetes zat pewarna methylene blue, lalu dilakukan pengamatan dengan
pembesaran objektif 10x hingga 40x. Berdasarkan Mihali et al. (2011), morfologi
mikroskopis dari Microsporum gypseum terlihat adanya hifa yang bersepta,
makrokonidia, dan mikrokonidia. Jika setelah 4 minggu tidak terlihat adanya
pertumbuhan fungi, maka hasil kultur dianggap negatif (Shalaby et al. 2016).

Gambar 1 Penampilan makroskopis dari kultur Microsporum gypseum pada media


Dermasel agar base dengan chloramphenicol dan cycloheximide: a)
tampak depan: rata, granular, berwarna putih-cream; b) tampak belakang:
kuning kecoklatan (Shalaby et al. 2016)

Gambar 2 Pengamatan mikroskopis dari macroconidia Microsporum gypseum


dengan pewarnaan methylene blue: berbentuk ellips, memiliki dinding
tipis, bersepta berisi 4-6 sel dan tidak memiliki knob (Torres-Guerrero
et al. 2015)
2.5 Pengobatan dan pencegahan
Dermatofitosis pada hewan sehat (immunocompetent host) umumnya
muncul dalam bentuk lesi ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam
waktu mingguan hingga bulanan. Meskipun begitu, pengobatan dianjurkan untuk
dilakukan dengan tujuan mempersingkat penyakit dan mencegah penyebaran ke
hewan lainnya dan manusia. Pengobatan mencakup pengobatan topikal dan
sistemik. Penularan dermatofitosis terjadi melalui kontak langsung dengan bahan
infektif yang berasal dari kulit dan bulu hewan yang terinfeksi. Oleh karena itu,
tujuan terapi topikal adalah untuk mengurangi risiko infeksi, menular dan
zoonosis yang terkait dengan penyakit ini dengan mendisinfeksi lapisan rambut
dan meminimalkan kontaminasi lingkungan. Pengobatan topikal yang digunakan
umumnya adalah shampoo yang mengandung chlorhexidine 2%, miconazole 2%,
atau ketoconazole 1%, antifungal rinse dengan lime sulfur atau enilconazole 2
minggu sekali (Moriello et al. 2017)
Pengobatan antifungal sistemik yang paling umum digunakan untuk
dermatofitosis adalah itraconazole, ketoconazole, terbinafine, dan griseofulvin
(Moriello et al. 2017). Akan tetapi, berdasarkan penelitian oleh Nardoni et al.
(2013), terapi dengan pemberian griseofulvin terhadap infeksi Microsporum
gypseum tidak menunjukkan hasil yang sukses pada sebagian besar hewan yang
diuji. Hal ini dapat disebabkan oleh kontak dengan lingkungan yang
terkontaminasi, khususnya tanah yang merupakan tempat hidup dari M. gypseum
dan sumber infeksi ulang bagi hewan.
2.5 Potensi zoonosis
Penularan Microsporum gypseum dari hewan ke manusia cukup jarang
terjadi, infeksi M. gypseum pada manusia lebih umum terjadi melalui tanah,
meskipun begitu penularan dari hewan ke manusia tetap dapat terjadi, yang
umumnya terjadi melalui kontak dengan anjing atau kucing yang mengalami
dermatofitosis (Moriello et al. 2017). Salah satu kasus infeksi M. gypseum pada
manusia menunjukkan adanya gejala klinis berupa ruam bersisik berwarna
kemerahan dan distrofi kuku. Pasien diketahui memiliki peliharaan tikus selama
10 tahun terakhir. Dilakukan kultur jamur dari kuku dan menunjukkan adanya
pertumbuhan M. gypseum. Pasien diberikan pengobatan dengan terbinafine oral
selama 6 minggu, dan menunjukkan adanya perbaikan pada lesio namun masih
menetap. Sehingga pengobatan terbinafine dilanjutkan selama 6 minggu dan
memperlihatkan hasil yang baik (Fike et al. 2017).
III LAPORAN KASUS
Hackworth et al. 2017
3.1 Sinyalemen dan Anamnesa
Kasus ini terjadi pada seekor landak (North American porcupine) betina
berusia 4 tahun di suatu kebun binatang. Tidak diketahui riwayat penyakit dari
landak tersebut sebelumnya. Landak menunjukkan kulit yang mengeras dan
alopecia pada kulit di kaki depan sebelah kiri.

Gambar 3 Alopecia, scaling, dan ulserasi pada kaki


depan sebelah kiri landak
3.2 Diagnosis
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan ekadaan landa dianestesi. Hasil
pemeriksaan fisik ditemukan adanya area alopecia berukuran sekitar 3 x 3 cm
dengan area dengan ulserasi, pengerasan kulit, dan pecah-pecah yang meluas dari
daerah metacarpal kiri proximal hingga ke distal pada seluruh jari. Setelah kerak
pada kulit dilepas, bagian bawahnya tampak lembab dan mengalami ulserasi.
Kerokan kulit dilakukan dan didapatkan hasil negatif terhadap adanya ektoparasit.
Selain itu, pemeriksaan feses juga dilakukan dan didapatkan hasil negatif terhadap
adanya endoparasit. Lalu dilakukan pengambilan sampel dengan MacKenzie
bruch technique untuk dilakukan kultur fungi.
Kultur fungi menunjukan adanya pertumbuhan fungi yang diidentifikasi
sebagai Microsporum gypseum dengan pemeriksaan mikroskopis menggunakan
pewarnaan lactophenol blue. Pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan adanya
macroconidia bersepta 4 hingga 6 dengan bentuk ellips, dan berdinding tipis.
3.3 Pengobatan
Setelah koleksi sampel, dilakukan pembersihan lesio dengan larutan
chlorhexidine 2% dan air steril, luka juga diolesi dengan krim silver sulfadiazine.
Dilakukan juga pemberian ivermectin secara subkutan, hal ini dilakukan untuk
mengobati potensi ektoparasit seperti scabies dan demodex yang mungkin luput
dari kerokan kulit. Selain itu, diberikan juga meloxicam dan antibiotik
(sulfamethoxazole dan trimethoprim) yang dilakukan untuk mengurangi
peradangan dan mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder.
Setelah teridentifikasi terdapat infeksi dari fungi Microsporum gypseum,
hewan diberikan miconazole topikal yang diberikan setelah luka dibersihkan
terlebih dahulu dengan larutan chlorhexidine 2%. Akan tetapi hewan menu jukkan
perilaku tidak kooperatif, sehingga pemberian antifungi topijal dihentika setelah 9
hari pemberian. Pengobatan lanjutan dilakukan dengan diberikan antifungi
sistemik, yakni dengan terbinafine HCl oral dengan dosis 40 mg/kg secara peroral
1 kali sehari. 28 hari setelah awal munculnya, lesi kulit di kaki kiri menunjukkan
beberapa perbaikan dan pertumbuhan rambut baru. Namun, area kecil alopecia
berkembang di sisi kanan moncongnya. Lalu dilakukan koleksi sampel kembali
untuk identifikasi dengan kultur fungi, akan tetapi didapatkan hasil negatif
terhadap M. gypseum. Hasil kultur jamur dari lesio baru menunjukkan
pertumbuhan Penicillium sp. tanpa pertumbuhan yang signifikan. Persembuhan
total dengan pertumbuhan rambut dan tidak ada lesi kulit dapat diamati secara
visual pada 83 hari setelah dimulainya pemberian terbinafine oral. Pengobatan
dihentikan berdasarkan dua hasil kultur negatif yang dilakukan dengan selang
waktu 70 hari dan tidak adanya gejala klinis.
Seorang perawat satwa (Zookeeper) diketahui 5 hari sebelum landak
tersebut diperiksa, menunjukkan adanya pruritus dan lesio eritema (kemerahan)
pada bagian siku 3 hari setelah kontak langsung dengan landak tersebut. Setelah
diputuskan diagnosa dermatofitosis pada landak, perawat satwa terebut juga
diperiksa oleh dokter. Perawat satwa tersebut selanjutnya diberikan salep
ketoconazeola 2%, dua kali sehari selama 14 hari. Setelah itu lesio yang ada sudah
sembuh sepenuhnya.
Pencegahan segera diterapkan pada kasus ini untuk membatasi paparan
terhadap personal. Hewan tersebut diisolasi di kandang karantina, dan staf kebun
binatang yang melakukan kontak dengan hewan tersebut dididik mengenai
pentingnya higienitas yang baik dengan mencuci tangan, dan menggunakan alat
pelindung diri seperti sarung tangan. Staf kebun binatang juga diberikan instruksi
yang tepat untuk mendisinfeksi area, menggunakan rendaman kaki saat masuk
dan keluar kandang, membersihkan semua permukaan dengan disinfektan, dan
membuang semua alas tidur hewan dan sampah setiap hari.
SIMPULAN
Microsporum gypseum adalah salah satu fungi dermatofita yang dapat
menyebabkan terjadinya dermatofitosis atau ringwom, pada hewan dan juga
manusia. Mikroorganisme ini termasuk sebagai geophilic sehingga penularannya
umumnya berasal dari tanah yang terkontaminasi. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan secara langsung dan kultur fungi. Pengobatan terhadap
infeksi mikroorganisme ini dilakukan secara topikal dan sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
Carlotti DN, Bensignor E. 1999. Dermatophytosis due to Microsporum persicolor
(13 cases) or Microsporum gypseum (20 cases) in dogs. Vet Dermatol. 10:
17-27.
DeBoer DJ, Moriello KA. 1994. Dvelopment of an experimental model of
Microsporum canis infection in cats. Vet Microbiol. 289-295.
Hackworth CE, Eshar D, Nau M, Bagladi-Swanson M, Andrews GA, Carpenter
JW. 2017. Diagnosis and successful treatment of potentially zoonotic
dermatophytosis caused by Microsporum gypseum in a zoo-housed North
American porcupine (Erethizon dorsatum). Journal of Zoo and Wildlife
Medicine. 48(2): 549-553.
Indrawati A, Sunartati T, Rakhmawati H. 2018. Incidence of feline
dermatophytosis at dramaga, bogor in 2013-2018. Proc. Of the 20th FAVA
Congress and the 16th KIVNAS PDHI.
Fike JM, Kollipara R, Alkul S, Stetson CL. 2017. Case report of onchomycosis
and tinea corporis due to Microsporum gypseum. Journal of Cutaneous
Medicine and Surgery. 22(1): 94-96.
Ma X, Liu Z, Yu Y, Jiang Y, Wang C, Zuo Z, Ling S, He M, Cao S, Wen Y, Zhao
Q, Wu R, Huang X, Zhong Z, Peng G, Gu Y. 2022. Microsporum gypseum
isolated from Ailuropoda melanoleuca provokes inflammation and triggers
in Thr17 adaptive immunity response. International Journal of Molecular
Science. 23: 1-19.
Mihali CV, Buruiana A, Tureus V, Covaci A, Ardelean A. 2011. Morphological
aspects of fruiting bodies in Microsporum gypseum on sabouraud dextrose
agar medium. Annals of the Romanian Society for Cell Biology. 16(2): 85-
92.
Moriello KA, Coyner K, Paterson S, Mignon B. 2017. Diagnosis and treatment of
dermatophytosis in dogs and cats. Vet Dermatol. 28: 266-e68.
Moriello KA, Stuntebeck R, Mullen L. 2020. Trichophyton species and
Microsporum gypseum infection and fomite carriage in cats from three
animal shelters: a retrospective case series. Journal of Feline Medicine and
Surgery. 22(4): 391-394.
Putriningsih PAS, Arjentinia IPGY. 2016. Identifikasi spesies fungi Microsporum
gypeum, Microsporum nanum penyebab ringworm pada sapi bali. Jurnal
Veteriner. 19(2): 177-182.
Shalaby MFM, El-din AN, El-Hamd MA. 2016. Isolation, identification, and in
vitro antifungal susceptibility testing of dermatophytes from clinical
samples at Sohag University Hospital in Egypt. Electronic Physician. 8(6):
2557-2567.
Torres-Guerrero E, Martinez-Herrera E, Arroyo-Camarena S, Porras C, Arenas R.
2015. Kerion celsi: a repport of two cases due to Microsporum gypseum and
Trichophyton tonsurans. Our Dermatol Online. 6(4): 424-427.
Xavier GAA, Silva LBGD, Silva DRD, Peixoto RDM, Lino GC, Mota RA. 2008.
Dermatophytosis caused by Microposrum canis and Microsporum gypseum
in free-living Bradypus variegatus (Schiz, 1825) in the state of Pernambuco
brazil. Brazilian Journal of Microbiology. 39: 508-510.


















































⚬ 40 mg/kg po. s.i.d)
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI DARI DISCHARGE MATA


AYAM BRAHMAN

Disusun oleh:
Dea Khalissa Anidya B9404231069

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Memelihara ayam hias merupakan salah satu kegemaran masyarakat Indonesia sebagai
salah satu pelepas penat ataupun sebagai sarana meningkatkan pendapatan. Berbagai jenis
ayam hias yang sering dijumpai antara lain ayam kate, ayam pelung, ayam bekisar, ayam
mahkota, dan sebagainya. Tiap jenis ayam hias memiliki keunikan tersendiri. Keunikan
tersebut menarik penggemarnya sesuai dengan minat masing-masing, misalnya dari
kemerduan suara, keindahan warna bulu, atau keunikan bentuk fisik dari ayam hias tersebut.
Kurangnya perawatan dalam pemeliharaan ayam dapat berakibat buruk pada kesehatan
ayam yang berakibat ayam terjangkit berbagai jenis penyakit yang berbahaya. Salah satu
penyebab timbulnya penyakit pada ayam adalah bakteri. Bakteri dapat berkembangbiak
dengan cepat jika lingkungan yang dimiliki ayam dalam keadaan kotor. Peternak
terkadang tidak mengetahui penyakit yang dialami ayam terutama yang ditimbulkan oleh
bakteri sehingga penanganan yang dilakukan dalam pengobatan tidak tepat (Maulana dan
Tosida 2023).

1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan bertujuan meneguhkan diagnosis penyakit akibat bakteri pada
ayam hias.
II METODE

2.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan yaitu ose bulat, ose jarum, inkubator, eppendorf tube, korek api,
bunsen, kulkas, inkubator, cotton swab, kapas, gelas objek, mikroskop, dan kertas saring.
Bahan yang digunakan yaitu sampel discharge mata, NaCl, kapas, Blood Agar (BA),
Tryptic Soy Agar (TSA), alkohol, kristal violet, lugol, aseton alkohol, safranin, minyak
imersi, reagen KOVAC, reagen H 2O2, .

2.2 Prosedur Penelitian


2.2.1 Anamnesa
Sampel diambil dari discharge mata ayam Brahman yang didapat dari penjual
hewan di belakang IPB daerah Cangkurawok. Hewan menunjukkan gejala berupa
diare, tidak mau makan selama 1 minggu, mata bengkak dengan eksudat, dan lesu
(Gambar 1).

2.2.2 Sinyalemen
Jenis Hewan : Ayam
Ras : Brahman
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 4 bulan
Gejala : discharge pada mata
Sampel : discharge mata

(A) (B)
Gambar 1. A) Kondisi mata ayam; B) Discharge pada mata

2.2.3 Persiapan Sampel


Sampel diambil kemudian disimpan dalam eppendorf tube yang telah terisi
NaCl dengan cara dilakukan usap dengan cottton swab steril atau ketika discharge
sudah menjadi padat langsung dimasukkan ke dalam eppendorf tube. Sampel disimpan
di kulkas sebelum digunakan. Kemudian sampel diambil dari tube menggunakan ose
yang telah disterilkan dengan pembakaran menggunakan bunsen dan dilakukan
goresan ke media MCA dan BA . Agar kemudian dimasukkan ke dalam inkubator
dengan suhu 37 oC selama 24–48 jam.

2.2.4 Rancangan Prosedur (Lay 1994)

Kultur Bakteri pada


Media Agar

Blood Agar MacConkey Agar

TSA Miring Gram Negatif

TSA Miring
Pewarnaan Gram KOH 3%
Pewarnaan Gram
Gram Positif Gram Negatif

Chocolate Agar Uji Biokimia Uji Biokimia Chocolate Agar

Uji Biokimia

MRVP Fermentasi Glukosa TSIA Urea Sitrat Indol

2.2.5 Kultur Bakteri pada Media Blood Agar (BA) dan MacConkey Agar (MCA)
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyeprotkan alkohol terlebih dahulu
ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga membara untuk
mensterilkan ose, ditunggu beberapa saat hingga ose diperkirakan tidak terlalu panas.
Sampel kemudian di ambil dan di torehkan ke BA dengan memanaskan pinggiran plate
agar untuk mecegah kontaminasi bakteri dari luar. Penutup plate dibuka namun tidak
terlalu besar kemudian discharge diambil menggunakan ose dan ditorehkan ke plate
agar dengan metode T streak plate (Gambar 3). Kultur pada media MCA dilakukan
dengan hal yang sama. Media diinkubasi selama 24–48 jam dalam suhu 37 o C.
Gambar 3. T streak plate method

2.2.6 Subkultur Bakteri pada Media Tryptic Soy Agar (TSA) Miring
Biakkan yang telah tumbuh diambil menggunakan ose bulat steril. Sebelumnya
pinggiran plate dipanaskan dengan bunsen kemudian dibuka sedikit untuk diambil
biakkan yang telah tumbuh. Biakkan ditorehkan ke TSA secara zigzag dengan mulut
tabung TSA berada didekat bunsen kemudian tutup tabung dengan kapas. Agar
diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 37 oC.

2.2.7 Pewarnaan Bakteri Gram


Ose bulat disterilkan dengan memanaskannya pada spiritus dan didiamkan
hingga dingin selama kurang lebih 1 menit. Aquades diambil menggunakan ose steril
ke gelas objek yang telah disterilkan dengan alkohol. Hasil subkultur bakteri pada TSA
diambil menggunakan ose bulat yang sebelumnya sudah disterilkan lagi dan diaduk
dengan aquades pada gelas objek. Pengambilan subkultur dilakukan didekat spirtus
guna meminimalisir kontaminasi bakteri dari udara. Gelas objek dikeringkan dengan
spiritus dan didiamkan selama beberapa saat. Pewarnaan dilakukan pada bak
pewarnaan dengan meneteskan kristal violet ke gelas objek dan didiamkan selama 1
menit. Kristal violet kemudian dibilas dengan aquades kemudian lugol diteteskan ke
gelas objek dan didiamkan selama 1 menit. Lugol kemudian dibilas dengan aseton
alkohol selama 10 detik dan dibilas kembali dengan aquades. Selanjutnya safranin
diteteskan dan didiamkan selama 15 detik kemudian dibilas kembali dengan aquades.
Gelas objek kemudian dikeringkan dan dapat diamati melalui mikroskop dengan
bantuan minyak imersi.

2.2.8 Uji KOH


Gelas objek disiapkan dan disterilkan terlebih dahulu dengan alkohol. KOH 3%
diteteskan pada gelas objek. Dengan ose bulat steril, biakkan bakteri diambil dari TSA
kemudian dihomogenkan dengan KOH 3% pada gelas objek.

2.2.9 Uji Oksidasi


Biakkan dari subkultur TSA diambil menggunakan ose bulat steril kemudian
dipaparkan ke kertas saring tebal. Selanjutnya diteteskan 1% tetra-methyl-
phenylenediamine.
2.2.10 Uji Katalase
Reagen H2O2 diteteskan pada tabung steril secukupnya. Biakkan dari subkultur
TSA diambil menggunakan cotton swab steril kemudian dimasukkan ke dalam tabung
berisi reagen H2O2 dan diaduk.

2.2.11 Uji Indole Motility


Media SIM agar berbentuk padat dan rata. Menggunakan ose jarum yang telah
disterilkan dengan spirtus, subkultur bakteri pada media TSA diambil kemudian
ditusukkan ke media SIM. Agar kemudian diinkubasi dalam suhu 37 oC selama 24 jam.
Setelah 24 jam media dikeluarkan dari inkubator kemudia diteteskan reagen KOVAC.

2.2.12 Uji Methyl Red-Voges Proskauer (MRVP)


Isolat bakteri dicampurkan pada broth agar menggunakan ose bulat yang sudah
steril. Broth media kemudian diinkubasi dalam suhu 37 oC selama 48 jam. Setelah 48
jam, broth media dipisahkan ke dalam 2 bagian ke tube steril sama rata. Pada tube
pertama diteteskan reagen methyl red sebanyak 10 tetes sedangkan pada tube kedua
diteteskan larutan KOH 40% sebanyak 5 tetes kemudian dilanjutkan dengan
meneteskan reagen voges proskauer.

2.2.13 Uji Fermentasi Karbohidrat


Terdapat 5 tabung yang masing – masing berisi glukosa, sukrosa, laktosa,
maltosa dan manitol. Subkultur bakteri dari TSA diambil menggunakan ose bulat steril,
kemudian diaduk ke dalam cairan glukosa. Hal yang sama dilakukan terhadap keempat
cairan sisanya. Inkubasi dalam suhu 37 oC selama 24 jam.
2.2.14 Uji Urea
Biakkan dari subkultur TSA diambil menggunakan ose bulat steril kemudian
distroke dengan pola zigzag ke diatas media agar miring urea. Inkubasi dalam suhu 37
oC selama 24 jam.

2.2.15 Uji Sitrat


Biakkan dari subkultur TSA diambil menggunakan ose bulat steril kemudian
distroke dengan pola zigzag ke diatas media agar miring sitrat. Inkubasi dalam suhu 37
oC selama 24 jam.

2.2.16 Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)


Biakkan dari subkultur TSA diambil menggunakan ose bulat steril kemudian
distroke dengan pola zigzag ke diatas media agar miring TSIA. Inkubasi dalam suhu
37 oC selama 24 jam.
III HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil inkubasi kultur bakteri pada Blood Agar (BA) tampak tumbuh. Media BA
merupakan media yang biasa digunakan untuk menumbuhkan bakteri yang sulit tumbuh dan
mengetahui apakah bakteri memiliki sifat melisiskan sel darah merah atau tidak. Bakteri yang
tumbuh di dalam plate menunjukkan morfologi seperti pada tabel 1. Agar terlihat berubah
menjadi warna kehijauan dengan koloni berwarna putih. Hal tersebut menunjukkan sifat
hemolisis tidak sempurna yang kerap disebut sebagai α-hemolisis (Gambar 4B).
Tabel 1. Morfologi koloni bakteri
Parameter Koloni MacConkey Agar Blood Agar
Ukuran Kecil Kecil
Bentuk Bulat Bulat
Permukaan Halus Halus
Aspek Mengkilat Mengkilat
Tepi Rata Rata
Elevasi Timbul Timbul
Pigmentasi Merah jambu Putih
Sifat tembus cahaya Opaque Opaque
Sifat hemolisis - α-hemolisis

A B
Gambar 4. A) MacConkey agar setelah dikultur bakteri; B) Blood agar setelah dikultur
bakteri

Koloni yang digunakan dalam laporan ini adalah koloni yang tumbuh dalam media
blood agar serta yang terpisah pada kuadran 3. Koloni tersebut selanjutnya disubkultur ke
dalam media Tryptic Soy Agar (TSA) miring yang berfungsi untuk membiakkan 1 jenis bakteri
untuk menghasilkan koloni homogen dan murni (Gambar 5A). Hasil subkultur dapat diketahui
homogenitasnya serta jenisnya melalui pewarnaan bakteri Gram. Warna ungu menunjukkan
bakteri Gram positif sedangkan warna merah menunjukkan bakteri Gram negatif. Selain jenis
Gram bakteri yang dapat diketahui, bentuk dan bakteri juga dapat terlihat dari hasil pewarnaan
Gram (Gambar 5B). Konsep pewarnaan bakteri Gram adalah kemampuan dinding sel pada
bakteri dalam mempertahankan kristal violet. Warna ungu yang terbentuk pada bakteri Gram
positif disebabkan karena bakteri Gram positif memilliki lapisan peptidoglikan yang lebih tebal
pada dinding sel sehingga kristal violet dapat tertahan dengan baik. Sedangkan bakteri Gram
negatif memiliki warna merah dikarenakan tipisnya dinding peptidoglikan serta tebalnya
lapisan lipid pada dinding sel bakteri. Sehingga ketika dilakukan penetesan dengan aseton
alkohol, warna kristal violet akan luntur sehingga bakteri Gram negatif hanya dapat mengikat
warna merah dari pewana fuksin (Tripathi dan Sapra 2023).
Subkultur yang tumbuh dalam media TSA diambil untuk dilakukan uji dengan
mencampurkan bakteri dengan larutan KOH 3%. Uji ini dilakukan setelah pewarnaan bakteri
Gram guna meneguhkan jenis bakteri (Gambar 5C), dengan 2 hasil yakni terbentuknya lendir
yang menunjukkan bahwa bakteri merupakan Gram negatif atau tidak terbentuk lendir yang
menunjukkan bahwa bakteri merupakan Gram positif. Munculnya lendir dari campuran KOH
3% dengan bakteri disebabkan dari luruhnya lapisan lipid pada dinding bakteri Gram negatif.
Lapisan lipid pada bakteri Gram negatif merupakan lapisan utama penyusun dinding bakteri,
berbanding terbalik dengan bakteri Gram positif yang tersusun oleh lapisan peptidoglikan
sebagai lapisan utamanya. KOH 3% akan meluruhkan lapisan lipid sehingga struktur dinding
sel bakteri akan hancur dan material genetik di dalam bakteri seperti DNA akan keluar. Lendir
yang terlihat dari reaksi tersebut merupakan struktur DNA yang memiliki konsistensi seperti
mukus (Hardiansyah et al. 2020).

A B C
Gambar 5. Hasil subkultur dan uji subkultur. A.) Subkultur pada media TSA miring; B.) Hasil
pewarnaan Gram Negatif; C.) Uji KOH 3%.

Hasil subkultur menunjukkan bakteri memiliki warna merah serta menghasilkan lendir
dari reaksinya terhadap KOH 3% yang dapat disimpulkan bahwa bakteri merupakan bakteri
Gram negatif. Bentuk bakteri terlihat sangat kecil sehingga cukup sulit untuk mengidentifikasi
bentuknya, beberapa bentuk yang bisa disimpulkan dari pengamatan mikroskopis yaitu bakteri
berbentuk coccus dengan susunan diplococcus. Beberapa bakteri Gram negatif dengan bentuk
coccus diantaranya adalah Neisseria dan Veillonella serta spesies Moraxella catarrhalis (Tille
2014). Kemudian dilakukan uji biokimia untuk mengidentifikasi sifat fisiologis bakteri biakan
murni. Proses biokimia erat kaitannya dengan metabolisme sel, yakni selama reaksi kimiawi
yang dilakukan oleh sel yang menghasilkan energi maupun yang menggunakan energi untuk
sintesis komponen-komponen sel dan untuk kegiatan seluler, seperti pergerakan (Rahayu dan
Gumilar 2017).
Uji indol dan motilitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam
mendegradasi asam amino triptopan menjadi asam piruvik, amonia, dan indol. Deteksi
keberadaan indol dilakukan dengan meneteskan larutan kovac ke media dengan reaksi positif
yang merubah warna agar menjadi ungu kebiruan. Motilitas bakteri juga akan terlihat dari ada
atau tidaknya cabang-cabang di sekitar area penusukan pada media, adanya cabang
menunjukkan bahwa bakteri merupakan bakteri motil yang memiliki alat gerak. Hasil yang
terlihat menunjukkan reaksi negatif bakteri terhadap uji indol dan motilitas (Tille 2014).
Uji methyl red dapat mengidentifikasi bakteri yang mampu mengubah glukosa menjadi
asam laktik, asam asetik, atau asam formik sebagai end product. Reagen methyl red sendiri
merupakan indikator pH yang akan tetap berwarna merah apabila bakteri memiliki pH 4,4 atau
kurang dan bakteri ini menunjukkan hasil yang positif. Uji voges proskauer digunakan untuk
mendeteksi asetonin pada bakteri dan uji menunjukkan hasil yang negatif tanpa perubahan
warna (Rahayu dan Gumilar 2017). Kemampuan bakteri dalam memfermentasi karbohidrat
dapat diketahui melalui uji gula-gula. Perubahan warna yang menandakan reaksi positif
menunjukkan bahwa bakteri dapat membentuk asam dari fermentasi glukosa, sukrosa,laktosa,
maltosa, dan manitol. Biakkan bakteri hanya menunjukkan hasil positif pada fermentasi
glukosa sedangkan dubius pada keempat uji gula lainnya (Panjaitan et al. 2020).
Makhluk hidup membutuhkan karbon untuk hidup. Molekul karbon yang bakteri
hasilkan dapat berasal dari berbagai hal yang menjadi pembeda dari tiap spesies bakteri.
Beberapa bakteri menggunakan sitrat untuk menghasilkan karbon dan akan mengubah media
menjadi warna biru. Karbon akan menaikkan pH yang merupakan penyebab perubahan warna
pada media. Beberapa bakteri seperti E. coli akan menunjukkan hasil negatif dalam uji sitrat.
Berdasarkan uji ini, bakteri yang diuji menunjukkan hasil negatif namun E. coli bukan
merupakan bakteri acuan untuk bakteri uji mengingat bentuk E. coli adalah basil (Rahayu dan
Gumilar 2017).
Uji oksidase dilakukan untuk mengetahui adanya partisipasi oksidase sitokrom pada
transport elektron bakteri dan pathmays metabolik nitrat pada bakteri. Gram negatif basil akan
menunjukkan hasil negatif namun ada beberapa Gram negatif yang juga menghasilkan reaksi
positif pada uji ini. Bakteri Neisseria sp. juga akan menunjukkan reaksi positif dalam uji ini.
Hasil yang didapat pada bakteri uji adalah negatif (Tille 2014).
Enzim katalase akan mengkatalisis dalam penguraian hidrogen peroksida (H 2O 2)
yang berbahaya menjadi air dan oksigen sehingga tidak menyebabkan bahaya bagi
organisme. Hidrogen peroksida terbentuk dalam metabolisme aerob, sehingga organisme
yang berhabitat pada lingkungan aerob mampu memecahkan senyawa tersebut. Bakteri yang
memiliki enzim katalase diindikasikan dengan terbentuknya gelembung pada media yang
disebabkan adanya gas oksigen dari penguraian H 2O2. Uji katalase menghasilkan reaksi
positif oleh bakteri ini (Panjaitan et al. 2020).
Uji urease digunakan untuk melihat bakteri mampu menghasilkan enzim urease.
Beberapa mikroorganisme mampu menghasilkan enzim urease yang menguraikan
mikromolekul urea (NH2)2CO) menjadi karbondioksida (CO2) dan amonia (NH3). Urea
menjadi amonium dan CO2 sehingga menyebabkan pH media menjadi basa dan akan terjadi
perubahan media dari jingga menjadi merah muda. Bakteri menunjukkan reaksi positif pada
uji urea (Dewi et al. 2017).
TSI adalah media yang mengandung laktosa, glukosa, sodium tiosulfat, digunakan
untuk menguji sifat sel yang mampu memproduksi H2S dan menggunakan sumber gula lactose
dan glukosa saja serta dapat menghasilkan asam jika menjadi kuning dan basa jika merah.
Hasil reaksi menunjukkan warna hitam pada media dengan warna butt berwarna kuning
sebelum 24 jam. Setelah didiamkan selama 24 jam media berubah seluruhnya menjadi warna
hitam (Zulkifli et al. 2016).

A B C D E F

G H I J K
Gambar 6. Hasi uji biokimia. A) Indol; B) MR-VP; C-G) Fermentasi karbohidrat; H) Sitrat; I)
Oksidase; J) Urea; K) TSI
Hasil uji biokimia dari biakkan bakteri dibandingkan dengan bakteri Gram negatif
coccus yang sejauh ini sudah diketahui (Tabel 2), namun hasil belum sepenhnya cocok dengan
studi literatur mengenai bakteri-bakteri yang telah diketahui. Uji indol motilitas, MR-VP,
sitrat, urea, serta TSI hingga saat ini masih belum ditemukan pembahasannya terhadap bakteri
Neisseria sp., hal ini dapat disebabkan karena umumnya uji biokimia pada bakteri Gram
negatif dilakukan untuk bakteri berbentuk basil. Terdapat beberapa uji spesifik yang dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi Neisseria sp. diantaranya adalah dengan mengkultur biakkan
ke dalam Chocolate Agar yang diperkaya dengan suplemen, antibiotik colistin, nisatin, dan
vankomisin. Media tersebut dinamakan Thayer-Martin Agar, penambahan colistin berfungsi
untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif basil, mencegah pertumbuhan jamur
dari nisatin, dan mencegah pertumbuhan Proteus spp. Beberapa media serupa yang dapat
digunakan diantaranya media Matin-Lewis, media GC-LECT, dan media New York City.
Media tersebut harus diinkubasi dalam suhu 35-37 oC selama 3 hari di ruangan kaya
karbondioksida dengan kelembaban tinggi (Tille 2014).

Tabel 2. Perbandingan hasil uji biokimia bakteri Gram negatif (Tille 2014).
Fermentasi Karbohidrat
Bakteri IM MR/VP C O K U TSI
G S L Ml Mn
Isolat discharge mata + K or A/A
-/- +/- D D D D - - + +
ayam (G) with H2S
Neisseria cinerea * * - - - - * * + + * *
Neisseria elongata * * - - - - * * + + * *
Neisseria flavescens * * - - - - * * + + * *
Neisseria gonorrhoeae * * + - - - * * + + * No H2S
Neisseria lactamica * * + - + + * * + + * *
Neisseria meningitidis * * + - - + * * + + * *
Neisseria mucosa * * + + - + * * + + * *
Neisseria subflava * * + D - + * * + + * *
Vellionella spp. * * - - - + * * D ? * *
Moraxella catarrhalis * * + - - - * * + + * *
Ket: IM = Indole Motility; MR/VP = Methyl Red/Voges-Proskauer; G = Glukosa; S = Sukrosa;
L = Laktosa; Mn = Manitol; M; = Maltosa; C = Sitrat; O = Oksidase; K = Katalase; U =
Urea; TSI = Triple Sugar Iron; * = uji belum tercatat pernah dilakukan.
IV SIMPULAN
Berdasarkan rangkaian uji yang dilakukan hingga uji biokimia bakteri, bakteri
merupakan golonga bakteri Gram negatif berbentuk coccus dengan susun diplo. Bakteri masih
belum dapat disimpulkan genusnya secara spesifik dikarenakan beberapa uji biokimia yang
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif diplococcus tidak secara akurat memiliki kemiripan
hasil. Uji spesifik menggunakan media chocolate agar seharusnya dilakukan untuk
mengetahui genus bakteri.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, A. K., Meylina, L., & Rusli, R. (2017). Isolasi bakteri dari tanah mangrove Rhizopora
sp. di Kota Bontang. Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences.
5(1):59-68.
Hardiansyah MY, Musa Y, Jaya AM. 2020. Identification of plant growth promoting
rhizobacteria from thorny bamboo rhizosphere with 3% KOH Gram test dan Gram
staining test. International Journal of Applied Biology. 4(2)7-18.
Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Maulana SA, Tosida T. 2023. Sistem diagnosa penyakit bakteri ayam ternak menggunakan
Metode Dempster Shafer. Jurnal Inovasi Teknologi dan Komputer. 1(1):6-10.
Panjaitan FJ, Bachtiar T, Arsyad I, Lele OK, Indriyani. 2020. Karakterisasi mikroskopis dan
uji biokimia bakteri pelarut fosfat dari rhizosfer tanaman jagung fase vegetatif. Jurnal
Ilmu Pertanian dan Lingkungan. 1(1):9-18.
Rahayu SA, Gumilar MH. 2017. Uji cemaran air minum masyarakat sekitar Margahayu Raya
Bandung dengan identifikasi bakteri Escherichia coli. Indonesian Journal of
Pharmaceutical Science and Technology. 4(2):50-56.
Tille PM. 2014. Diagnostic Microbiology 13 th Edition. Missouri (AS): Elsevier.
Tripathi N, Sapra A. 2023. Gram Staining. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Zulkifli L, Jekti DSD, Mahrus, Lestari N, Rasmi DAC. 2016. Isolasi bakteri endofit dari sea
grass yang tumbuh di kawasan Pantai Lombok dan potesinya sebagai sumber
antimikroba terhadap bakteri patogen. Jurnal Bilogi Tropis. 16(2):80-93.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI


PENYEBAB DIARE PADA ANJING

Disusun oleh:
Farradiba Shafa Aqila B9404231046

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan salah satu hewan kesayangan yang banyak dipelihara oleh manusia
dengan populasi mencapai 525 juta ekor di seluruh dunia (Gompper 2013). Pemeliharaan
hewan kesayangan harus diikuti dengan adanya kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan hidup hewan peliharaannya. Tidak hanya memastikan bahwa hewan
peliharaannya dapat hidup, tetapi pemilik hewan juga harus memastikan hewa peliharaannya
dalam keadaan sehat. Seiring dengan meningkatnya jumlah populasi dan sistem pemeliharaan
yang buruk pada anjing dapat menyebabkan masalah kesehatan yang berkaitan dengan saluran
pencernaan seperti diare. Diare merupakan gejala penyakit berupa perubahan frekuensi
defekasi, konsistensi feses, dan gerak peristaltik usus (Chandler 2011). Diare dapat disebabkan
oleh kesalahan pakan, infeksi bakteri, infeksi virus, dan infeksi parasite gastrointestinal. Diare
yang tidak segera ditangani dengan baik dapat menimbulkan dampak fatal.
Bakteri kelompok Coliform banyak terkandung dalam kotoran manusia, mamalia, dan
ungags. Bakteri tersebut terdapat pada saluran pencernaan yang sebagian besar merupakan
flora normal di dalam saluran pencernaan (Balia et al. 2011). Kelompok bakteri Coliform
didefinisikan sebagai kelompok bakteri gram negatif, berbentuk batang, mampu
memfermentasikan laktosa membentuk asam dan gas. Spesies bakteri ynag termasuk ke dalam
kelompok bakteri Coliform yaitu Escherichia coli, Klebsiella spp., Enterobacter spp., dan
Citrobacter spp.. Kelompok bakteri tersebut akan menjadi patogen apabila jumlahnya
meningkat pada saluran pencernaan (Sanjaya 2013). Peningkatan jumlah bakteri dalam saluran
pencernaan dapat juga disebabkan oleh cemaran bakteri pada pakan. Adapun spesies bakteri
lain yang bersifat patogen menyebabkan diare diantaranya adalah Shigella spp.,
Camphylobacter spp., Clostridium spp., Yersinia spp., dan Vibrio spp. Oleh karena itu, perlu
dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri penyebab diare pada anjing.
Tujuan
Makalan ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri penyebab diare akibat
cemaran pakan pada anjing.
II DESKRIPSI KASUS
Sinyalemen dan Anamnesa

Gambar 1 Anjing Ajo


Jenis hewan : Anjing
Nama Hewan : Ajo
Ras : Mix breed
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : 1 tahun

Anjing Ajo merupakan salah satu anjing RSHP IPB University yang dilaporkan
mengalami diare pada tanggal 7 November 2023. Frekuensi diare Ajo pada hari kedua semakin
sering dengan konsistensi feses cair berwarna coklat, juga disertai muntah. Ajo pada saat kecil
memiliki masalah kulit dan sensitif terhadap pergantian pakan. Sebelum diare, Ajo diberikan
pakan Royal Canin Skin Care yang sudah expired. Ajo sempat di treatment dengan pemberian
curcuma. Riwayat vaskinasi lengkap, rutin pemberian obat cacing dan tetes kutu, serta sudah
di kastrasi satu bulan yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik secara inspeksi anjing Ajo tidak memiliki kelainan pada cara
berjalan, kondisi kulit tidak ditemukan lesi, kondisi kaki normal, aktif serta nafsu makan dan
minum baik. Adapun lesi yang ditemukan yaitu pada bagian anus terlihat berwarna merah
keunguan, basah, dan berlendir (Gambar 2).

A B C

Gambar 2 Kondisi diare Ajo (a), Kondisi feses Ajo cair berwarna coklat (b), Kondisi anus
Ajo (c)
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik, dapat disimpulkan bahwa
anjing Ajo didiagnosis gastroenteritis karena keracunan pakan dengan prognosis fausta.
III METODE
Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel dilakukan pada 8 November 2023 di kandang anjing non infeksius
Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP) IPB University. Pengujian dilakukan selama 5 hari
dari 8 November 2023 – 12 November 2023 di Laboratorium Mikrobiologi, Rumah Sakit
Hewan Pendidikan (RSHP), Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB University.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada rangkaian pengambilan sampel yaitu cotton swab
steril, media transport Buffer Peptone Water (BPW), tabung reaksi tertutup, ice pack, cool box,
gloves, plastik. Alat yang digunakan pada rangkaian pengujian yaitu ose, bunsen, korek, cawan
petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, object glass, pipet, inkubator, dan mikroskop cahaya.
Bahan yang digunakan pada rangkaian pengujian yaitu sampel bakteri, media Blood Agar
(BA), Mac Conkey Agar (MCA), Tryptic Soy Agar (TSA), aquades, kapas, kristal violet, lugol,
aceton alkohol, safranin, KOH 3%, reagen H2O2 , reagen oksidase, media uji fermentasi
karbohidrat glukosa, sukrosa, laktosa, maltosa, manitol, media uji Triple Sugar Iron Agar
(TSIA), media uji sitrat, media uji hidrolisis urea, media uji indol, media uji Methyl Red Voges
Proukaver (MRVP), reagen Erhlich, reagen α-naphtol, KOH 40%, minyak emersi, alkohol
70%, alkohol 96%.
Koleksi Sampel
Sampel yang dikoleksi berupa swab anus. Cotton swab steril, media transport BPW,
dan label disiapkan. Hewan di handling kemudian cotton swab steril dimasukkan ke dalam
anus lalu langsung dimasukkan ke dalam media transport Buffer Peptone Water (BPW).
Tabung media transport diberi label yang berisi tanggal pengambilan sampel, nama hewan, dan
rute pengambilan sampel.
Diagram Prosedur Pengujian

Sampel

Blood Agar McConkey


(BA) Agar (MCA)

Tryptic Soy Agar (TSA)

Pewarnaan Gram Uji KOH 3%

Bakteri gram Bakteri gram


positif negatif

Kokus/kokobasil/basil

Uji Oksidase

Positif Negatif
(Non-enterobactericeae) (Enterobactericeae)

Uji Biokimia

Uji Uji Uji Methly Red Triple Sugar Uji


Indol Urea Sitrat Voges Iron Agar Fermentasi
Prokauver (TSIA) Gula
(MRVP)

Gambar 3 Diagram alur identifikasi bakteri Gram Negatif


Kultur Bakteri dengan Media Mac Conkey Agar (MCA)
Sampel swab anus disiapkan, plate dari Mac Conkey Agar (MCA) dibagi menjadi tiga
kuadran membentuk huruf T pada bagian luar dasar cawan. Ose dipijarkan diatas bunsen lalu
suspensi berisi sampel swab anus diambil satu mata ose kemudian goreskan pada permukaan
media Mac Conkey Agar (MCA) secara aseptis membetuk pola goresan T yang terdiri dari tiga
kuadran. Selanjutnya media agar diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam.

Gambar 4 Pola goresan T


Subkultur Bakteri dengan Media Tryptic Soy Agar (TSA)
Bakteri yang telah di kultur pada media BA dan MCA disiapkan. Ose dipijarkan diatas
bunsen lalu koloni biakan bakteri yang terpisah diambil satu mata ose kemudian goreskan
dengan pola zig-zag pada permukaan media Tryptic Soy Agar (TSA) secara aseptis.
Selanjutnya media agar diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam.
Pewarnaan Gram
Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA disiapkan. Object glass dibersihkan
menggunakan kapas alkohol ditunggu hingga kering. Aquades diteteskan sebanyak 1 tetes
diatas object glass kemudian ose dipijarkan diatas bunsen lalu koloni biakan bakteri pada
permukaan media TSA diambil satu mata ose dan diletakkan secara merata pada object glass
homogenkan dengan aquades. Preparat difiksasi diatas bunsen, kemudian ditetesi dengan
kristal violet sebanyak 2-3 tetes dan diamkan selama 1 menit. Setelahnya preparate dibilas
dengan air mengalir dan ditiriskan. Peparat selanjutnya ditetesi lagi dengan larutan lugol
dibiarkan selama 1 menit lalu dibilas dengan air mengalir dan ditiriskan kembali. Preparat
ditetesi juga dengan aseton alkohol didiamkan selama 30 detik lalu dibilas dengan air mengalir
dan ditiriskan. Terakhir, preparat ditetesi zat warna safranin, dibiarkan selama 1 menit lalu
dibilas dengan air mengalir dan ditunggu hingga kering. Preparat dapat diamati diabawah
mikroskop dengan perbesaran 100x menggunakan minyak emersi.
Uji KOH 3%
Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA disiapkan. Object glass dibersihkan
menggunakan kapas alkohol ditunggu hingga kering. KOH 3% diteteskan pada object glass,
kemudian ose dipijarkan diatas bunsen lalu koloni biakan bakteri diambil satu mata ose pada
permukaan media TSA diletakkan secara merata pada object glass dihomogenkan. Jika
terbentuk lendir maka termasuk kelompok bakteri gram negatif, jika tidak terbentuk lendir
maka termasuk kelompok bakteri gram positif.
Uji Oksidase
Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA disiapkan. Kertas saring dipotong
persegi panjang secukupnya, ose dipijarkan diatas bunsen lalu koloni biakan bakteri diambil
satu mata ose pada permukaan media TSA dan diletakkan diatas ketas saring. Kemudian biakan
bakteri ditetesi oleh larutan oksidase. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya perubahan
warna menjadi ungu tua, sedangkan hasil negatif ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan.
Uji Katalase
Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA disiapkan. Tabung reaksi disiapkan
kemudian diisi dengan reagen Hidrogen Peroksida (H2O2) kurang lebih sebanyak 2 ml. Ose
dipijarkan diatas bunsen lalu koloni biakan bakteri diambil satu mata ose pada permukaan
media TSA dan diinokulasikan ke dalam tabung reaksi berisi Hidrogen Peroksida (H2O2).
Hasil positif ditandai dengan terbentuknya gelembung-gelembung udara, sedangkan hasil
negatif ditandai dengan tidak adanya gelembung udara.
Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA dan media Triple Sugar Iron Agar
(TSIA) disiapkan. Ose dipijarkan diatas bunsen lalu ambil satu mata ose koloni biakan bakteri
pada media TSA kemudian goreskan dengan pola zig-zag pada permukaan Triple Sugar Iron
Agar (TSIA) media secara aseptis. Selanjutnya media agar diinkubasi pada suhu 370 C selama
24 jam. Interpretasi dapat diamati dari perubahan warna pada agar miring (slant), dasar agar
(butt), ada tidaknya gelembung menandakan pembentukan gas, dan ada tidaknya endapa hitam
yang menandakan pembentukan H2S.

Uji Methyl Red Voges Prokauer (MR-VP)


Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA dan media MR-VP sebanyak 2 buah
disiapkan. Ose dipijarkan diatas bunsen lalu koloni biakan bakteri pada media TSA diambil
satu mata ose kemudian inokulasikan satu persatu pada media MR-VP. Media MRPV
diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 370 C. Setelah diinkubasi, media MR ditetesi dengan
reagen Methyl Red sebanyak 4 tetes, sedangkan media VP ditetesi dengan α-naphtol dan KOH
40% masing-masing sebanyak 10 tetes. Hasil positif dapat dilihat dari perubahan warna media
menjadi merah, dan hasil negatif ditandai dengan media yang tetap berwarna kuning.

Uji Sitrat
Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA dan media uji sitrat disiapkan. Ose
dipijarkan diatas bunsen lalu koloni biakan bakteri pada media TSA diambil satu mata ose
kemudian goreskan dengan pola zig-zag pada permukaan media sitrat secara aseptis. Hasil
positif dapat dilihat dari perubahan media berwarna biru, sedangkan hasil negatif media tetap
berwarna hijau.

Uji Hidrolisis Urea


Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA dan media uji hidrolisis urea
disiapkan. Ose dipijarkan diatas bunsen lalu koloni biakan bakteri pada media TSA diambil
satu mata ose kemudian goreskan dengan pola zig-zag pada permukaan media hidrolisis urea
secara aseptis. Hasil positif dapat dilihat dari perubahan media berwarna merah muda,
sedangkan hasil negatif media tetap berwarna kekuningan.
Uji Fermentasi Gula
Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA disiapkan. Ose dipijarkan diatas
bunsen lalu koloni biakan bakteri pada media TSA diambil satu mata ose kemudian
inokulasikan satu persatu pada media cair yang terdiri dari glukosa, laktosa, sukrosa, maltosa,
dan manitol lalu dihomogenkan. Inkubasi media gula selama 24-48 jam pada suhu 370 C. Hasil
positif ditunjukkan dengan perubahan warna media menjadi kuning, sedangkan hasil negatif
ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan warna.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Pengamatan morfologi koloni bakteri pada media Mac Conkey Agar (MCA)
Parameter MCA
Ukuran koloni Kecil
Bentuk koloni Bulat sempurna
Permukaan koloni Halus
Aspek koloni Mengkilat
Tepi koloni Rata
Elevasi Timbul
Pigmentasi Merah jambu
Sifat tembus cahaya Opaque

Hasil kultur bakteri pada media Mac Conkey Agar (MCA), terlihat koloni bakteri
tumbuh dengan ukuran kecil, berbentuk bulat sempurna, berwarna merah jambu mengkilat
(Gambar 5). Media MCA merupakan media selektif dan deferensial yang digunakan untuk
mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri Gram negatif serta mampu membedakan bakteri
Gram negatif yang dapat memfermentasi laktosa dan non fermentasi laktosa. Media ini
mengandung garam empedu dan kristal violet yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
gram positif (Toruan et al. 2023). Koloni bakteri yang tumbuh pada media MCA berwarna
pink atau merah menandakan bakteri tersebut termasuk ke dalam bakteri yang dapat
menfermentasi laktosa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Maza et al. (2020) bahwa koloni
bakteri yang dapat memfermentasi laktosa akan ditandai dengan warna pink dan dikelilingi
warna pink yang lebih tua disekitar koloni akibat terjadinya pengendapan garam empedu.
Kelompok bakteri yang dapat memfermentasi laktosa pada media MCA yaitu Citrobacter spp.,
Enterobacter spp., Escherichia coli, Klebsiella spp., Plesiomonas shigelloides, Serratia spp.
(Tille 2014).

Gambar 5 Pertumbuhan koloni bakteri pada media Mac Conkey Agar (MCA), dan koloni
bakteri yang diambil untuk subkultur pada media Tryptic Soy Agar (TSA) (ditunjuk panah)
Koloni bakteri yang tumbuh pada media MCA, kemudian dilakukan subkultur pada
media Tryptic Soy Agar (TSA). Media TSA merupakan media non-selektif yang digunakan
untuk menumbuhkan berbagai jenis mikroorganisme. Media TSA mengandung pepton dari
kasein, soy meal, sodium chloride, dan agar yang dapat memberikan nutrisi untuk pertumbuhan
bakteri (Zulkifli et al. 2018). Hasil yang diperoleh koloni bakteri yang tumbuh pada media
TSA berwarna putih pucat (Gambar 6).
Gambar 6 Pertumbuhan koloni bakteri pada media Tryptic Soy Agar (TSA)
Koloni bakteri yang tumbuh pada media TSA selanjutnya dilakukan pewarnaan Gram
untuk melihat morfologi bakteri, kemurnian bakteri, dan menentukan kelompok bakteri Gram
negatif atau Gram positif. Bakteri Gram positif akan berwarna ungu sedangkan bakteri Gram
negatif akan berwarna pucat, tidak berwarna, ataupun merah (Hayati et al. 2019). Berdasarkan
hasil pewarnaan Gram pada koloni bakteri, terlihat warna koloni berwarna merah
mengindikasikan bahwa koloni bakteri tersebut termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram
negatif. Perbedaan warna pada kelompok Gram bakteri dapat dipengaruhi oleh kandungan
dinding sel bakteri. Bakteri Gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang lebih tebal
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif sehingga zat warna akan lebih lama bertahan pada
bakteri Gram positif yang memiliki dinding sel tebal (Dewi 2013). Adapun morfologi bakteri
yang terlihat yaitu memiliki bentuk batang pendek atau basil bergerombol (Gambar 7). Koloni
bakteri diyakini merupakan koloni murni karena memiliki morfologi yang sama. Sesuai dengan
pernyataan Restuati dan Gultom (2012), bahwa koloni murni merupakan koloni yang memiliki
morfologi yang sama artinya berasal dari satu pembelahan sel yang sama.

Gambar 7 Pewarnaan gram pada koloni bakteri yang tumbuh pada media TSA yang berasal
dari media Mac Conkey Agar (MCA)

Isolat bakteri yang telah murni pada media TSA, kemudian diuji dengan uji primer
yang terdiri dari uji KOH 3%, uji katalase, dan uji oksidase serta uji biokimia untuk
menentukan genus ataupun spesies bakteri dari isolat uji. Uji biokimia didasarkan pada
barbagai hasil metabolism yang disebabkan oleh daya kerja enzim suatu bakteri (Bibiana
1994). Uji biokimia terdiri dari uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA), uji indol, uji sitrat, uji
hidrolisis urea, uji Methyl Red Voges Prokauer (MR-VP), dan fermentasi karbohidrat. Hasil
uji primer dan uji biokimia pada isolat uji serta perbandingan hasil uji primer dan uji bikomia
dengan beberapa spesies bakteri yang memiliki hasil uji cenderung sama disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2 Hasil uji biokimia isolat uji dan beberapa spesies bakteri family Enterobacteroceae
(Barrow dan Feltham 2003)
Species Bakteri
Uji Isolat Escherichia Escherichia Escherichia Klebsiella Klebsiella Enterobacter Enterobacter
uji coli fergusoni vulneris oxytoca pneumoniae cloaca aerogenes
KOH + + + + + + + +
3%
Katalase + + + + + + + +
Oksidase - - - - - - - -
TSIA A/A A/A A/A A/A A/A A/A A/A A/A
+ Gas + Gas + Gas + Gas + Gas + Gas + Gas + Gas
- H 2s - H2s - H2s - H2s - H2s - H 2s - H2s - H2s
Motilitas - +/- + + - - +/- +
Indol - + +/- - - - - -
Urea - - - - + + +/- -
Sitrat - - +/- - + + + +
MR + + + + +/- +/- +/- +/-
VP - - - - +/- - +/- +/-
Glukosa + + + + + +/- + +
Sukrosa - +/- - - + +/- + +
Laktosa + +/- +/- +/- + + +/- +
Maltosa + + + + + + + +
Manitol + + + + + + + +

Berdasarkan hasil uji primer dan uji biokimia, terdapat kemiripan hasil uji antara isolat
uji dengan spesies bakteri Escherichia coli. Uji KOH 3% bertujuan untuk memastikan kembali
jenis Gram dari isolat bakteri yang tumbuh pada media TSA. Prinsip uji ini didasarkan pada
kekuatan dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri Gram positif lebih tebal sehingga resisten
terhadap KOH 3%, sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif lebih tipis sehingga lebih
mudah rusak menyebabkan materi genetik (DNA) keluar menyerupai lendir (sticky strings)
(Hardiansyah et al. 2020). Berdasarkan hasil uji KOH 3% terhadap isolat uji, menunjukkan
adanya lendir artinya koloni bakteri tersebut termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram
Negatif (Gambar 8)

Gambar 8 Terdapat lendir pada uji KOH 3% terhadap koloni bakteri yang tumbuh pada
media TSA yang berasal dari media Mac Conkey Agar (MCA)
Uji primer lainnya yaitu uji oksidase dan uji katalase. Uji oksidase bertujuan untuk
mengetahui kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim sitokrom oksidase (Alfajri et al.
2018). Uji ini juga dapat membantu untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang bersifat
patogen seperti Neisseria gonorhoea dan Pseudomonas aeruginosa (Lay 1994). Hasil positif
ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi biru sampai kehitaman pada kertas
saring akibat enzim sitokronm oksidase mengoksidasi reagen oksidase yang mengandung
dimetil p-fenillendiamin oksalat. Uji katalase bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri
dalam menghasilkan enzim katalase. Katalase merupakan enzim yang dapat menguraikan
hydrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan O2. Pada bakteri yang bersifat katalase positif
terlihat adanya pembentukan gelembung udara. Berdasarkan pengujian pada isolat bakteri,
menunjukkan hasil negatif pada uji oksidasi dan positif uji katalase (Gambar 9). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa isolat bakteri termasuk ke dalam family Enterobactericeae.

A B

Gambar 9 Hasil uji oksidase negatif (a), hasil uji katalase positif (b)
Setelah dilakukan uji primer selanjutnya dilakukan uji biokimiawi. Uji Triple Sugar
Iron Agar (TSIA) merupakan uji yang digunakann untuk melihat kemampuan bakteri dalam
memfermentasi glukosa, laktosa, ataupun sukrosa. Prinsip uji TSIA yaitu adanya pembentukan
asam dan basa oleh bakteri yang mampu membentuk H2S dan atau gas pada media (Karunia et
al. 2021). Pengamatan dilakukan dengan cara melihat perubahan warna pada slant (agar
miring) dan butt (dasar agar). Reaksi alkali ditunjukkan oleh warna merah, sedangkan reaksi
asam ditunjukkan oleh warna kuning. Jika media pecah ataupun butt terangkat artinya bakteri
tersebut menghasilkan gas CO2 dan jika media berubah warna menjadi hitam artinya terjadi
pembentukan H2S. Berdasarkan hasil pengujian TSIA pada isolat uji diperoleh hasil slant dan
butt berwarna kuning disertai dengan media terangkat ke atas menandakan pembentukan gas
(Gambar 10). Hasil tersebut menunjukkan bahwa isolat bakteri yang diuji dapat
memfermentasi glukosa, laktosa dan atau sukrosa. Bakteri yang memiliki hasil uji TSIA serupa
dengan hasil TSIA pada isolate uji yaitu Klebsiella sp., dan Escherichia coli (Maza et al. 2020).
Gambar 10 Hasil uji TSIA slant dan butt berwarna kuning disertai dengan pembetukan gas
Uji selanjutnya yaitu uji indol. Uji indol merupakan uji yang dilakukan untuk
mengetahui sifat bakteri yang dapat menghasilkan asam amino triptofan dan motilitasnya.
Asam amino triptofan merupakan komponen asam amino yang lazim terdapat pada protein
yang dapat digunakan oleh bakteri sebagai sumber karbon. Media indol yang telah
diinokulasikan isolat uji dan diinkubasi selama 24 jam kemudian ditetesi oleh reagen Kovacs
atau Ehrlich yang mengandung para-dimetil-aminobenzaldehid (Lay 1994). Hasil positif
ditunjukkan oleh terbentuknya cicin berwarna merah atau keunguan akibat reagen bereaksi
dengan indol yang dihasilkan oleh bakteri yang menggunakan triptofan sebagai sumber karbon
(Latifah dan Sofyanita 2023). Isolat bakteri bersifat motil jika koloni tumbuh menyebar di
sekitas bekas tusukan (Karunia et al. 2021) Berdasarkan hasil pengujian, isolat uji memiliki
hasil tidak motil serta uji indol negatif ditandai dengan tidak terbentuknya cincin berwarna
merah ataupun keungun setelah ditetesi oleh reagen Ehrlich (Gambar 11)

Gambar 11 Hasil uji indol negatif dan koloni bakteri tidak motil
Uji lainnya yaitu uji sitrat dan hidrolisis urea. Uji sitrat digunakan untuk melihat
kemampuan mikroorganisme dalam menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon.
Simmons’s citrate agar merupakan media yang mengandung Na sitrat sebagai sumber karbon,
NH4+ sebagai sumber N dan brom thymol blue sebagai indikator pH (Lay 1994). Hasil positif
akan ditunjukkan dengan perubahan warna media dari hujau menjadi biru yang disebabkan
oleh mikroorganisme yang menghasilkan sitrat akan mengubah pH media menjadi basa
(Ummamie et al. 2017). Uji hidrolisis urea merupakan uji yang digunakan untuk melihat
kemampuan mikroorganisme untuk menghidrolisis urea dengan enzim urease. Urea merupakan
produk dekarboksilasi asam amino tertentu yang dapat dihidrolisis menjadi ammonia dan
karbon dioksida dengan bakteri yang mengandung enzim urease (Puspita et al. 2020). Hasil
positif ditandai dengan perubahan warna media menjadi ungu. Berdasarkan hasil pengujian
pada isolat uji diperoleh hasil bahwa isolat uji menunjukkan hasil negatif baik pada uji sitrat
maupun uji hidrolisis urea (Gambar 12). Bakteri yang dapat memberikan hasil negatif untuk
uji sitrat dan hidrolisis urea yaitu bakteri genus Escherichia spp..
A B

Gambar 12 Hasil uji sitrat negatif (a), hasil uji hidrolisis urea negatif
Uji Methyl Red (MR) merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui kemampuan
bakteri dalam melakukan fermetasi asam campura. Penambahan inkidator methyl red pada
media MRVP dapat menunjukkan adanya perubahan pH menjadi asam. Methyl red akan
berwarna merah pada pH 4,4 dan akan berwarna kuning pada pH 6,2. Selain uji VP, dilakukan
juga uji Voges Proskauer (VP) yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu bakteri
dalam menghasilkan acetylmethylcarbinol atau acetoin (Puspita et al. 2020). Pada penambahan
KOH 40%, adanya acetoin akan ditunjukkan dengan perubahan warna media menjadi merah
muda dan akan lebih diperjelas dengan penambahan α-naphtol. Berdasarkan hasil pengujian
pada isolate uji diperoleh hasil potif pada uji MR dan negatif pada uji VP (Gambar 13).

Gambar 13 Hasil uji MR positif (a), uji VP negatif (b)


Uji fermentasi karbohidrat merupakan uji untuk melihat kemampuan bakteri dalam
memfermentasikan berbagai karbohidrat. Media fermentasi harus mengandung senyawa yang
dapat dioksidasikan dan difermentasikan oleh mikroorganisme seperti glukosa, sukrosa,
laktosa, maltose, dan mannitol. Selain berisi karbohidrat, media uji ini juga ditambahkan
dengan beef extract dan pepton sebagai sumber nitrogen, vitamin dan mineral. Indikator yang
diamati dari uji ini yaitu perubahan warna media akibat pembentukan asam, dan gas. Proses
fermentasi karbohidrat oleh bakteri pada media cair akan menghasilkan asam yang dapat
menurunkan pH media uji sehingga warna media akan berubah menjadi kuning (Lay 1994).
Berdasarkan hasil uji fermentasi karbohidrat, isolat bakteri yang diuji dapat memfermetasikan
glukosa, laktosa, mannitol, dan maltosa ditandai dengan perubahan warna media menjadi
kuning (Gambar 14). Hal tersebut sesuai dengan uji TSIA bahwa isolat uji dapat
memfermentasi glukosa, laktosa dan atau sukrosa. Spesies bakteri yang memiliki hasil
pengujian yang hamper sama dengan isolat uji yaitu Escherichia coli. Bakteri Escherichia coli
memiliki sifat dapat memfermentasikan karbohidrat (Rahayu dan Gumilar 2017). Meskipun
diperoleh hasil negatif pada media berisi sukrosa, menurut Barrow dan Feltham (2003), uji
fermentasi karbohidrat pada bakteri Escherichia coli dapat memberikan hasil negatif maupun
positif pada media sukrosa.

A B C D E
\

Gambar 14 Hasil uji fermentasi glukosa positif (a), sukrosa negatif (b), laktosa positif (c),
mannitol positif (d). Maltosa positif (e)

Berdasarkan pengamatan makroskopis, mikroskopis, uji primer, dan uji biokimia, isolat
bakteri merupakan bakteri spesies Escherichia coli. Bakteri Escherichia coli merupakan
bakteri saluran pencernaan yang secara normal berada pada tubuh manusia maupun hewan.
Bakteri ini termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek dan
dapat bergerak menggunakan flagella. Bakteri ini akan menjadi patogen apabila jumlahnya
meningkat pada saluran pencernaan. Peningkatan jumlah Escherichia coli pada saluran
pencernaan salah satunya dapat disebabkan oleh kontaminasi pakan. Kejadian diare pada
anjing Ajo terjadi setelah pemberian pakan kadaluarsa dimana bakteri Escherichia coli
berperan dalam proses pembusukan (Rorong dan Wilar 2020). Bakteri Escherichia coli pada
pakan dapat menimbulkan gejala penyakit seperti diare, kholera, gastroenteritis dan berbagai
penyakit saluran pencernaan lainnya (Kurniadi 2013).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian pada isolat bakteri yang diperoleh dari swab anus anjing
Ajo yang terkena diare diperoleh kesimpulan bahwa isolat uji merupakan bakteri Gram negatif,
memiliki bentuk basil, dengan hasil uji biokimia sesuai dengan sifat bakteri Escherichia coli.
Penyebab diare pada anjing Ajo disebabkan oleh pakan kada yang terkontaminasi bakteri
Escherichia coli.
DAFTAR PUSTAKA
Alfajri S, Agustina F, Sari NP, Pramuanggit PN. 2018. Uji resistensi bakteri Vibrio
parahaemolyticum terhadap ekstrak makroalga Halimedadiscoidea, Halymenia dilatate,
dan Dictyota dichotoma. SIMBIOSA. 7(1): 33-46.
Barrow GI, Feltham RKA. 2003. Cowan and Steel’s Manual for The Identification of Medical
Bacteria. Cambridge (UK): Cambridge University Press.
Chandler M. 2011. Solutions in Veterinary Practice : Small Animal Gastroenterology. London:
Elsevier.
Gompper ME. 2013. Free Ranging Dogs and Wildlife Conservations. Oxford : Oxford
University Press.
Hardiansyah MY, Musa Y, Jaya AM. 2020. Identifikasi plant growth promoting Rhizobacteria
pada rizosfer bambu duri dengan Gram KOH 3%. Agrotechnology Research Journal.
4(1): 41-46.
Karunia E, Kurniatuhadi R, Yanti AH. 2021. Karakterisasi bakteri Bacillus sp. (kode NrLtF5)
yang diisolasi dari usus cacing nipah (Namalycastis rhodochorde). Jurnal Protobiont.
10(3): 69-73.
Kuniadi Y, Saam Z, Afandi D. 2013. Faktor kontaminasi bakteri E. coli pada makanan jajanan
di lingkungan kantin Sekolah Dasar Wilayah Kecamatan Bangkinang. Jurnal Ilmu
Lingkungan. 7(1)
Latifah ES, Sofyanita EN. 2023. Gambaran bakteri Escherichia coli pada jajanan gorengan
sepanjang jalan Tlogosari Raya Semarang. Jurnal Dunia Ilmu Kesehatan. 1(1): 22-27.
Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Puspita I, A’yun NQ, Anita, Sumarsono T, Andiri A. 2020. Uji sensitivitas Escherichia coli
yang diisolasi dari air sumur galian dekat dengan septic tank terhadap ciprofloxacin.
National Conference for Umamah. 1-9.
Rahayu SA, Gumilar MH. 2017. Uji cemaran air minum masyarakat sekitar Margahayu Raya
Bandung dengan indentifikasi bakteri Escherichia coli. IJPST. 4(2): 50-56.
Restuati M, Gultom ES. 2012. Uji potensi bakteri yang berasosiasi dengan spons asal Pulau
Ngge (Sibolga) sebagai sumber antibakteri. Jurnal Saintika. 12(2): 98-104.
Rorong JA, Wilar WF. 2020. Keracunan makanan oleh mikroba. Techno Science Journal. 2(2):
47-60.
Sanjaya TA, Apriliana E. 2013. Deteksi Escherichia coli pada jajanan cendol yang dijual di
pasar tradisional Kota Bandar Lampung. Medical Journal of Lampung University. 2(5):
10-17.
Toruan SAL, Manu TT, Erviarti PR, Ikhsanita. 2023. Pemanfaatan air kelapa muda sebagai
media alternatif mac conkey untuk pertumbuhan Echerichia coli dan Salmonella thypi.
Journal of Indonesia Medical Laboratory and Science. 4(1): 25-36.
Ummamie L, Rastina, Erina, Ferasyi TR, Darniati, Azhar A. 2017. Idolasi dan identifikasi
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada keumamah di pasar tradisional
Lambaro, Aceh Besar. JIMVET. 1(3): 574-583.
Veronica LB, Suarjana IGK, Gelgel KTP. 2023. Perbedaan jumlah bakteri coliform dan E. coli
pada anjing diare dan anjing sehat. Buletin Veteriner Udayana. 15(4): 683-687.
Zulkifli L, Jekti DSD, Bahri S. 2018. Isolasi, karakterisasi dan identifikasi bakteri endofit kulit
batang srikaya (Annona squamosa) dan potensinya sebagai antibakteri. Jurnal Penelitian
Pendidikan IPA. 4(1): 21-29.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI


PENYEBAB KONJUNGTIVITIS PADA KUCING DOMESTIK

Disusun oleh:
Falsa Martiana Kencana Putri B9404231038

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bakteri adalah organisme prokariotik bersel tunggal dengan jumlah kelompok paling
banyak dan dijumpai di tiap ekosistem terestrial. Bakteri umumnya bersel tunggal, memiliki
dinding sel, namun tidak memiliki membran inti sel. Walaupun ukurannya lebih kecil daripada
aktinomisetes dan jamur, bakteri memiliki kemampuan metabolik lebih beragam dan
memegang peranan penting dalam lingkungan (Febriza dan Adrian 2021). Kucing merupakan
hewan peliharaan yang rentan terkena penyakit terutama disebabkan oleh bakteri. Infeksi ini
dapat berasal dari lingkungan, kucing/hewan lain, dan manusia. Timbulnya infeks i
bakteri ini terjadi melalui gigitan, cakaran, jilatan, dan handling (Moon et al. 2022).
Mata adalah salah satu organ tubuh yang memiiki peran penting. Salah satu
bagian yang menjadi penyusun struktur mata adalah konjungtiva. Infeksi pada
konjungtiva sering disebut sebagai konjungtivitis. Terdapat beberapa penyebab
terjadinya konjungtivitis, antara lain akibat alergen, virus, dan bakteri. Gejala yang
terjadi akibat konjungtivitis hiperemis pada konjungtiva, mata gatal, dan terdapat
sekter mukopurulen (Nabila et al. 2021). Isolasi bakteri dari mata dapat dilakukan
menggunakan metode swab konjungtiva (Buttner et al. 2018). Oleh karena itu,
identifikasi bakteri yang menjadi penyebab penyakit hewan merupakan salah satu hal
yang penting dalam penegakkan diagnosis dan penentuan terapi.
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi jenis bakteri dari
sampel eksudat mata kucing kasus konjungtivitis
II METODE
2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel antara lain sarung tangan, cotton
swab steril, media transport Buffer Pepton Water (BPW), gunting, cooler box, ose,
bunsen, korek api, gelas objek, incubator, tabung durham, dan mikroskop. Bahan yang
digunakan antara lain media Blood Agar (BA), Tryptic Soy Agar (TSA), Mannitol Salt
Agar (MSA), pewarna kristal violet dan safranin, lugol, aseton alkohol dan reagen
H2 O 2 3%, glukosa, antibiotik (Klroramfenikol, Vankomisin, Tetrasiklin), Mueller
Hinton Agar (MHA), NaCl.
2.2 Prosedur Penelitian
1.1.1 Anamnesa
Mata kucing NN terlihat berair dan kemerahan. Kucing NN sebelumnya
sempat diobati menggunakan erlamycetin kemudian sembuh, akan tetapi
kambuh kembali dan belum sempat diberi obat lagi.

1.1.2 Sinyalemen

Nama : NN
Umur : 4 5 bulan
Jenis : Kucing
Jenis Kelamin : Betina
Sudah divaksinasi rabies dan belum disteril

1.1.3 Persiapan Sampel


Sampel diambil pada bagian mata NN yang berair dan dilakukan swab
kemudian disimpan didalam tabung media transport bakteri yang telah berisi
BPW dengan cara di swab. Sampel yang telah terambil kemudian disimpa n
didalam kulkas sebelum digunakan.
1.1.4 Rancangan Prosedur

Gram Positif

Kokus Batang

Uji Katalase

Negatif Positif
(Streptococceae) (Micrococceae)

CAMP Uji Glukosa


Mikroaerofilik
(

Negatif Positif
(Micrococcus)
d

MSA Uji Koagulasi


(

Kuning Merah Menggumpal Cair


(Staphylococcus (Staphylococcus (Staphyloccoc (Staphyloccoc
aureus) epidermidis) us patogen us non-
patogen

Bagan 1. Skema
( rancangan prosedur identifikasi bakteri
( (
(
1.1.5 Kultur Bakteri pada media Blood Agar (BA)
Meja kerja disterilkan terebih dahulu dengan cara menyempotkan alkohol
pada tempat yang akan digunakan. Sampel yang sebelumnya disimpan didalam
kulkas kemudian diambil dan disimpan di dalam rak tabung. Bunsen dinyalaka n
kemudian ose dipijarkan sampai merah, sampel bakteri diambil menggunaka n
ose yang dingin dan digoreskan pada lempengan agar dengan hati-hati supaya
tidak merusak lempengan agar dengan ose. Goreskan bakteri mulai dari zona
A, kemudian menyambung ke zona B dengan mengambil bagian bakteri dari
zona A, dan begitupun pada zona C. Ose dipijarkan sebelum diletakkan
kembali. Blood agar yang berisi sampel bakteri diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 37 o C. Pengamatan pertumbuhan koloni balteri dapat dilihat setelah 24
jam.

Gambar 1. Contoh teknik goresan yang benar

1.1.6 Kultur Bakteri pada Media Mac Conkey Agar (MCA)


Ose dipijarkan sampai merah, sampel bakteri diambil menggunakan ose
yang dingin dan digoreskan pada lempengan agar dengan hati-hati supaya tidak
merusak lempengan agar dengan ose. Ose dipijarkan sebelum diletakkan
kembali. MCA yang berisi sampel bakteri diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37 o C berbarengan dengan media Blood agar. Pengamatan pertumbuhan koloni
balteri dapat dilihat setelah 24 jam

1.1.7 Subkultur Bakteri pada Media Tryptic Soy Agar (TSA)


Media TSA miring dan media Blood agar disiapkan. Pinggiran media agar
dipanaskan terlebih dahulu dengan pembakaran bunsen. Ose dipijarkan
kemudian ditinggu hingga dingin. Koloni terpisah yang berada pada garis
goresan di media agar kemudian diambil dan digoreskan secara zigzag pada
tabung TSA miring. Seluruh prosedur dilakukan secara aseptis di dekat
pembakar bunsen. Tabung TSA lalu ditutup dan diinkubasi pada suhu 37 °C
selama 24 jam. Ose dipanaskan kembali untuk mensterilkan benda tersebut
sebelum disimpan.

1.1.8 Pewarnaan Gram


Kaca objek dibersihkan dengan alkohol 70% lalu dikeringkan dengan cara
dilap dengan tissue untuk menghilangkan lemak. Kaca objek kemudian
dipanaskan sebentar menggunakan pembakar bunsen, kemudian ditunggu
hingga tidak panas. Ose dipanaskan diteteskan NaCl fisiologis secukupnya
pada kaca objek. Koloni bakteri diambil pada media TSA menggunakan ose
yang telah dipanaskan dan dalam keadaan dingin, lalu dicampurkan dengan
NaCl fisiologis diatas kaca objek. Preparat lalu difiksasi diatas pembakar
Bunsen hingga mengering. Larutan kristal violet diteteskan pada kaca objek
dan ditunggu 1 menit kemudian dibilas dengan akuades. Larutan lugol lalu
diteteskan dan dibiarkan lagi selama 1 menit, kemudian dialirkan larutan
pemucat (aseton alkohol) dan langsung dibilas menggunakan akuades. Larutan
safranin diteteskan dan dibiarkan selama 15 detik. Terakhir kaca objek dicuci
kembali menggunakan akuades dan dikeringkan menggunakan kertas saring.
Kaca objek dengan preparat bakteri yang telah terwarnai kemudian diamati
menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100× menggunaka n
minyak emersi.

1.1.9 Uji KOH 3%


Uji KOH 3% bertujuan mengonfirmasi sifat Gram bakteri. Sediaan KOH
3% diteteskan pada kaca objek. Satu ose biakan bakteri diambil kemudian
dihomogenkan dengan KOH. Ose ditarik perlahan dan diamati adanya
keberadaan lendir yang mengindikasikan sifat Gram negatif bakteri.

1.1.10 Uji Katalase


Uji katalase bertujuan mengonfirmasi famili bakteri Gram positif. Sediaan
H2 O2 3%, diteteskan pada kaca objek. Satu ose biakan bakteri diambil
kemudian diaduk secara cepat dengan H2 O2 . Perubahan pada campuran bakteri
dan H2 O2 diamati adanya keberadaan gelembung udara yang mengindikasika n
famili Micrococcaceae. Tidak adanya gelembung mengindikasikan bakteri dari
famili Streptococcaceae.

1.1.11 Uji Glukosa Mikroaerofilik


Media glukosa dan subkultur pada media TSA miring disiapkan. Ose
dipanaskan pada pembakar bunsen dan ditunggu hingga cukup dingin. Ose
disentuhkan pada koloni bakteri di TSA miring lalu diangkat. Bibir tabung
media glukosa dipanaskan lalu ose dicelupkan kedalam media glukosa
kemudian diaduk perlahan. Ose kembali diangkat dan dipanaskan untuk
sterilisasi kembali. Media glukosa yang sudah dicampur bakteri kemudian
dimasukkan kedalam candle jar. Lilin pada candle jar dinyalakan lalu tutup jar
ditutup dengan rapat. Lilin yang padam diamati untuk memastikan bahwa
lingkungan didalam jar bersifat anaerobik. Candle jar dibiarkan selama 1x24
jam pada inkubator suhu 37 °C sebelum dapat dibuka untuk melihat hasil
perubahan warna pada media glukosa.

1.1.12 Subkultur pada media MSA


Media MSA dan subkultur pada media TSA miring disiapkan. Pinggira n
media MSA dipanaskan terlebih dahulu dengan pembakar bunsen. Ose
dipanaskan pada pembakar bunsen dan ditunggu hingga cukup dingin. Ujung
atas tabung media TSA miring dipanaskan, lalu ose dimasukkan untuk
mengambil biakan bakteri. Ose digoreskan perlahan pada permukaan media
MSA, ose goresakan secara zigzag. Seluruh prosedur dilakukan secara aseptis
di dekat pembakar bunsen. Cawan petri media MSA ditutup dan diinkubas i
pada suhu 37 °C selama 24 jam. Ose dipanaskan kembali untuk mensterilka n
benda tersebut.

1.1.13 Uji Resistensi Antibiotik


Bakteri yang telah disubkultur pada media TSA diambil menggunakan ose
steril dan dimasukkan kedalam tabung reaksi berisi NaCl kemudian
dihomogenkan sampai kekeruhan yang sesuai dengan standar McFarland.
Bakteri yang telah diencerkan diteteskan pada media Mueller Hinton Agar
(MHA) menggunakan pipet steril sampai merata atau bisa juga biakkan bakteri
diambil menggunakan swab steril dan dioleskan secara merata pada media
MHA. Didiamkan selama 5 menit, kemudian 3 jenis antibiotik ditanam
(Klroramfenikol, Vankomisin, Tetrasiklin), inkubasi selama 24 jam pada suhu
37 °C. zona hambat yang terbentuk diukur menggunakan jangka sorong.

III HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Blood Agar (BA)
Hasil kultur bakteri pada media Blood Agar (BA) terlihat terdapat pertumbuha n
koloni bakteri sedangkan hasil kultur pada media Mac Conkey Agar (MCA) tidak
terlihat adanya pertumbuhan bakteri. Bakteri yang tumbuh dalam media agar
menunjukkan morfologi seperti pada tabel 1. Pada koloni terlihat bakteri yang
berwarna putih, hemolisis sempurna, dan disekitar koloni bakteri terbentuk zona
hemolisis. Menurut Naomi et al. (2019), ada tiga jenis hemolisis: beta, alfa dan gamma
hemolisis. Streptokokus α-hemolisis menimbulkan perubahan warna hijau di sekitar
koloni pada agar darah. Koloni β-hemolisis umumnya dikelilingi oleh zona bening,
berdiameter beberapa milimeter. Sedangkan γhemolisis adalah istilah yang digunaka n
untuk koloni non-hemolisis. Bakteri yang diambil untuk subkultur pasa media TSA
merupakan koloni β-hemolisis.
Tabel 1. Morfologi koloni bakteri
Parameter Koloni Blood Agar
Ukuran Kecil
Bentuk Bulat
Permukaan Rata
Aspek Mengkilat
Tepi Halus
Elevasi Timbul
Pigmentasi Putih
Sifat tembus cahaya Opaque

Bakteri yang diambil

Bakteri yang diambil

(A) (B) (C)


Gambar 2. A) Mac Conkey Agar yang tidak tumbuh koloni bakteri B) Blood agar
setelah dikutur bakteri tampak depan; C) Blood agar setelah dikultur bakteri
tampak beakang
3.2 Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram pada koloni bakteri yang terpilih dilakukan untuk meliha t
morfologi bakteri secara mikroskopis. Berdasarkan hasil pewarnaan Gram dari media
agar darah, ditemukan susunan bakteri bergerombol, berbentuk bulat (coccus) dan
berwarna ungu. Hal ini menunjukkan koloni bakteri yang hidup di media agar darah
merupakan bakteri Gram positif. Golongan bakteri Gram positif adalah bakteri yang
sebagian besar dinding selnya terdiri dari peptidoglikan sehingga bakteri tetap
berwarna ungu karena pewarna kristal violet tetap bertahan setelah pemberian larutan
pemucat (Suardana et al. 2021).
Gambar 3. Pewarnaan Gram bakteri dari media agar darah (Perbesaran 1000x)
3.3. Uji KOH 3%
Pada pengujian selanjutnya yaitu uji KOH 3% menunjukkan tidak adanya lendir
pada campuran KOH 3% dengan isolate TSA miring yang berasa dari Blood agar. Hal
ini menginformasikan bahwa bakteri yang terdapat pada media TSA merupakan bakteri
gram positif. Bakteri Gram negatif memiliki dinding sel yang lebih tipis daripada
bakteri Gram positif sehingga dinding sel bakteri Gram negatif lebih mudah rusak
sehingga materi genetik (DNA) dari sel bakteri keluar. Materi genetik yang keluar
tersebut akan menyerupai lendir (sticky strings) pada ose dan kaca objek (Hardians ya h
et al. 2020).

Gambar 4. Hasil uji KOH 3% dari bakteri gram positif


3.4 Uji Katalase
Uji katalase dilakukan untuk mengetahui sifat bakteri dalam menghasilkan enzim
katalase. Katalase adalah enzim yang dihasilkan bakteri aerob, mikroaerofil, dan
anaerob fakultatif yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan gas oksigen. Uji
ini paling sering digunakan untuk membedakan anggota famili Micrococcaceae yang
menujukkan hasil katalase positif. Sedangkan famili Streptococcaceae akan
menunjukkan hasil katalase negatif (Leboffe dan Pierce 2011). Hasil uji katalase pada
isolat bakteri menunjukkan hasil positif dimana terlihat adanya gelembung. Hal ini
berarti bakteri yang diisolasi merupakan bakteri yang menghasilkan enzim katalse.
Enzim katalase yang diproduksi oleh bakteri akan memecah H2 O 2 menjadi H2 O dan O2
sehingga terbentuk gelembung udara (Yoni et al. 2010).

Gambar 5. Hasil Uji Katalase positif


3.5 Uji Fermentasi Glukosa Mikroaerofilik
Isolat kemudian dilakukan pengujian glukosa mikroaerofilik. Hasil menunjukka n
positif ditandai dengan adanya perubahan warna dari merah menjadi kuning. Uji
glukosa mikroaerofilik bertujuan mengidentifikasi bakteri yang dapat memfermentas i
glukosa dalam keadaan lingkungan dengan konsentrasi oksigen relatif rendah. Uji ini
berfungsi untuk membedakan bakteri genus Micrococcus yang bersifat aerobik dengan
bakteri genus Staphylococcus yang dapat tumbuh dengan baik pada berbagai media
bakteriologi dibawah suasana mikroaerofilik (Jawetz et al. 2014).

Gambar 6. Hasil Uji Glukosa Mikroaerofilik


3.6 Subkultur pada Media MSA (Mannitol Salt Agar)
Subkultur pada media Mannitol Salt Agar (MSA) bertujuan memberika n
diferensiasi terhadap isolat bakteri Staphylococcus sp. Media MSA adalah media
selektif diferensial yang digunakan untuk mengidentifikasi bakteri patogen
Staphylococcus aureus dan hanya bakteri tertentu yang dapat hidup, seperti bakteri
Gram positif Staphylococcus epidermidis (Riski et al. 2017). Koloni bakteri
Staphylococcus aureus ditandai dengan perubahan warna menjadi kuning pada media
MSA. Berdasarkan pengujian yang dilakukan pada media MSA menunjukkan hasil
positif ditandai dengan perubahan warna kuning pada media agar sehingga
diidentifikasi sebagai bakteri Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus pada
media Mannitol Salt Agar (MSA) menunjukkan pertumbuhan koloni berwarna putih
kekuningan dikelilingi zona kuning karena kemampuan memfermentasi mannitol yaitu
asam yang dihasilkan, menyebabkan perubahan phenol red pada agar yang berubah
dari merah menjadi berwarna kuning (Rahmi et al. 2015).

Gambar 7. Hasil Uji MSA


3.7 Penentuan Bakteri dan Perbandingan Dengan literature
Berdasarkan beberapa hasil uji yang telah dilakukan, sampel bakteri yang
terdapat pada swab mata kucing NN merupakan Staphylococcus aureus. Pada media
Blood agar (BA) bakteri yang tumbuh berwarna putih, berukuran kecil, timbul dan
mempunyai sifat β-hemolisis. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan Krihariyani et al.
(2016) yaitu Staphylococcus aureus berbantuk kecil, bulat, berwarna putih dan
hemolisa yang terbentuk adalah β-hemolisis. Hasil pewarnaan gram menunjukka n
koloni berwarna ungu susunan bergerombol seperti anggur, dan berbentuk bulat. Hasil
ini sesuai dengan yang telah diakukan Karimela et al. (2017), yang menyataka n
Staphylococcus merupakan bakteri gram positif berwarna ungu, berkelompok,
berpasangan dan kadang berantai pendek. Staphylococcus aureus memilik i
peptidoglikan yang tebal.
Pada pengujian katalase, glukosa mikroaerofilik, dan media MSA sampel yang
digunakan menunjukkan hasil yang positif. Hal ini sesuai dengan Karimela et al.
(2017), yang menyatakan katalase positif ditunjukkan adanya gelembung gas (O 2 ) yang
diproduksi oleh genus Staphylococcus. Stapylococcus spp. menggunakan katalase
untuk melindungi dari hidrogen peroksida (H2 O2 ) dengan mengubahnya menjadi air
dan oksigen. Uji katalase pada bakteri bentuk kokus digunakan untuk membedakan
Staphylococcus dan Streptococcus. Hasil positif pada uji glukosa mikroaerofilik
digunakan untuk mmembedakan membedakan bakteri genus Micrococcus yang
bersifat aerobic dengan bakteri genus Staphylococcus yang dapat tumbuh dengan baik
pada berbagai media dibawah kondisi mikroaerofilik. MSA merupakan media selektif
agar yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi dugaan Staphylococcus aureus.
Media ini memiliki konsentrasi garam yang tinggi sehingga hanya beberapa bakteri
yang dapat tumbuh khususnya Staphylococcus aureus. Berdasarkan hasil pengujia n
yang telah dilakukan, bakteri yeng terdapat pada swab mata kucing bernama NN
merupakan bakteri Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus merupakan salah
satu bakteri penyebab infeksi tersering di dunia. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh
bakteri Staphylococcus aureus. Gejala yang dapat terjadi pada penderita konjungtivitis
bakterial akibat S. aureus adalah hiperemis pada konjungtiva, mata terasa gatal,
terdapat sekret mukopurulen, dan mata terasa lengket (Nabila et al. 2021).
3.7 Hasil Uji Resistensi Antibiotik
Uji resistensi merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui kepekaan
bakteri terhadap suatu antibiotik. Uji sensitifitas dapat dilakukan dengan metode Kirby-
Bauer yaitu menggunakan difusi cakram (disk diffusion method) dengan mengukur
diameter zona bening yang menunjukkan adanya respon penghambatan (Mardiah
2017).
Hasil uji resistensi antibiotik disajikan pada Tabel 1.
Antibiotik Zona Hambat Keterangan
Kloramfenikol 12 mm Resisten
Vankomicin 13 mm Resisten
Tetrasiklin 27 mm Sensitif
Tabel 1. Hasil uji Resistensi Antibiotik
Berdasarkan hasil yang dilakukan, kloramfenikol memiliki zona hambat 12 mm,
hal ini menunjukkan Staphylococcus aureus resisten terhadap kloramfeniko l.
Kloramfenikol memilihi zona hambat intermediet berada pada rentang 13-17 mm dan
apabila zona hambatnya ≤12 resisten (CLSI 2020). Pada pengujian ini hasil zona
hambat antibiotik vankomisin 13 mm, hal ini menunjukkan Staphylococcus aureus
resisten terhadap vankomisin. Staphylococcus aureus dinyatakan sensitif vankomis in
jka memiliki zona hambat ≥ 17 mm, intermediet jika 15-16 mm dan resisten jika ≤ 21
mm Warsiti et al. (2018). Hasil pengujian antibiotik selanjutnya yaitu tetrasiklin yang
memiliki zona hambat 27 mm, hal ini menunjukkan Staphylococcuc aureus sensitif
terhadap tetrasiklin. Berdasarkan CLSI (2020) tetrasiklin dinyatakan sensitif jika
memiliki zona hambat ≥19 mm, intermediet 15-18 mm, dan reisten ≤14 mm.
Gambar 8. Hasil Pengujian Resistensi Antibiotik Kloramfenikol, Tetrasiklin, dan
Vankomisin
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, rekomendasi pengobatan
untuk kasus konjungtivitis akibat Staphylococcus aureus pada kucing NN yaitu
diberikannya antibiotik tetrasiklin dalam sediaan salep mata. Tetrasiklin adalah
antibiotik yang berspektrum luas, menunjukkan aktivitas melawan berbagai bakteri
gram positif dan negatif. Tetrasiklin bekerja dengan menghambat sintesis protein
bakteri dan mencegah hubungan aminoasil-tRNA dengan ribosom bakteri (Chopra dan
Roberts 2001)

IV SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian bakteri pada swab mata NN menunjukkan bahwa
penyebab dari mata NN mengalami konjungtivitis adalah bakteri Staphylococcus
aureus. Hasi ini ditunjukkan dengan beberapa uji yang telah dilakukan yaitu Blood
agar, TSA, uji KOH, uji katalase, uji fermentasi glukosa mikroaerofilik, dan
penumbuhan bakteri pada media MSA. Pengobatan yang dapat dilakukan pada kucing
NN berupa pemberian antibiotik tetrasiklin karena Staphylococcus aureus sensitif
terhadap antibiotik tetrasiklin.
DAFTAR PUSTAKA
Buttner JN, Schneider M, Csokai J, Müller E, Eule JC. 2018. Microbiota of the
conjunctival sac of 120 healthy cats. Veterinary Ophthalmology. 1-9.
Chopra I, Roberts M. 2001. Tetracycline antibiotics: Mode of action, applicatio ns,
molecular biology, and epidemiology of bacteria resistance. Microbiology and
Molecular Biology Reviews. 65(2): 232-260.
CLSI (Clinical and laboratory Standard Institut). 2020. Performance Standards for
Antimicrobial Susceptibility Testing: 30 th Ed. CLSI Suplement M100, Wayner
PA: Clinical and Laboratory Stamdards Institute.
Febriza MA, Adrian QJ. 2021. Penerapan AR dalam Media Pembelajaran Klasifikas i
Bakteri. Jurnal BIOEDUIN. 11(1): 10-18.
Hardiansyah MY, Musa Y, Jaya AM. 2020. Identifikasi plant growth promoting
Rhizobacteria pada rizosfer bambu duri dengan Gram KOH 3%.
Agrotechnology Research Journal. 4(1): 41-46.
Jawetz, Melnick, Adelberg. 2014. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta(ID): Buku
Kedokteran EGC.
Karimela EJ, Ijong FG, Henny, Dien A. 2017. Karakteristik Staphylococcus aureus
yang di isolasi dari ikan asap pinekuhe hasil olahan tradisional kabupaten
sangihe. JPHPI. 20(1): 188-198.
Leboffe MJ, Pierce BE. 2011. A Photographic Atlas for Microbiology Laboratory.
4th Ed. Englewood (CO): Morton Publishing Company.
Mardiah. 2017. Uji resistensi Staphyococcus aureus terhadap antibiotic, amoxillin,
tetracyclin dan propolis. Jurnal Ilmu Alam dan Lingkungan. 8(16): 1-6.
Moon DC, Chooi JH, Boby N, Kim SJ, Song HJ, Park HS, Gil MC, Yoon SS, Lim SK.
2022. Prevalence of bacterial species in skin, urine, diarrheal stool, and
respiratory samples in cats. Pathogens. 11(324):1-12.
Nabila AI, Yusran, Oktarlina RZ. 2021. Perbandingan penggunaan kloramfenikol dan
levofloksasin pada pengobatan konjungtivitis bakterial. Medula. 11(4): 353-
356.
Naomi C, Suardana IW, Suarsana IW. 2019. Isolated hemolysis profile of
Streptococcus sp. isolation result from swine’s tonsil in slaughter house at
Punggul and Bongkasa Village. JVAS. 2(2): 46-51.
Rahmi, Y, Darmawi, Abrar M, Jamin F, Fakhrrazi, Fahrimal Y. 2015, Identifikas i
bakteri staphylococcus aureus pada preputium dan vagina kuda (equus
caballus). Medika Veterinaria. 9:156-157.
Riski K, Fakrurrazi, Abrab M. 2017. Isolasi bakteri Staphylococcus aureus pada ikan
asin talang-talang (Scomberoides commersonnianus) di Kecamatan Leupung
Kabupaten Aceh Besar. JIMVET. (01)3: 366-374
Suardana IW, Dinarini NMAA, Sukrama IDM. 2021. Indetifikasi spesies streptokokus
β-hemolisis hasil isolasi dari nasal dan tonsil babi dengan uji basitrasin. Bul Vet
Udayana. 13(1): 27-33.
Warsiti, Wardani SDK, Ramadhan AA, Yuliani R. 2018. Uji aktivitas antibakter i
ekstrak etanol bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) terhadap
bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal Farmasi Indonesia. 15(2): 75-82.
Yoni S, Astuti, Bernadeta, Siti U. 2010. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat
dari limbah kotoran ayam sebagai agen probiotik dan enzim kolesterol
reduktase. Prosiding Seminar Nasional Biologi 3 Juli 2010. Biologi FMIPA
UNY. Hlm 138-147
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI DARI SWAB ORAL KUCING

Disusun oleh:
Ichlasul Khaerul Alim Pombalawo, S.K.H B9404231009

Kelompok C1 PPDH Periode 1 2023/2024

Dosen Pembimbing:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hewan merupakan habitat alami bagi populasi mikroorganisme yang kompleks.
Antara inang dan mikroorganisme terjadi homeostatis yang merupakan salah satu syarat
berfungsinya tubuh dengan baik dan sehat. interaksi berkelanjutan antara organisme dan
mikroorganisme komensal mempengaruhi perkembangan dan pengaturan sistem kekebalan
tubuh. Bakteri flora normal pada tubuh umumnya tidak menimbulkan masalah apapun,
namun dalam keadaan tertentu hal ini dapat menyebabkan dampak yang parah pada kondisi
Kesehatan.
Para ahli sejarah mengungkapkan bahwa manusia telah hidup berdampingan dengan
kucing sejak 5000 tahun silam. Pada masa mesir kuno, masyarakat telah memanfaatkan
kucing sebagai penjaga lumbung gandum untuk menghalau tikus di sepanjang sungai Nil.
Kucing mengalami domestikasi yang sempurna dan mampu berhubungan erat dengan
manusia. Kucing memiliki daya tarik karena sosoknya yang ramah, cerdas, bersahabat dan
sebagai peliharaan yang menyenangkan (Effendi dan Budiana 2014).
Staphylococcus merupakan salah satu genus bakteri oportunistika yang paling sering
diisolasi pada hewan dan manusia. pada mamalia, staphylococcus seara fisiologis berada di
di kulit, selaput lendir, rongga hidung, tenggorokan dan anus. Staphylococcus epidermidis
merupakan bakteri komensal kulit dan mukosa pada manusia, tetapi akhir-akhir ini banyak
ditemukan sebagai agen patogen infeksi nosokomial terutama pada pasien
immunocompromised, neonatus, dan pasien dengan peralatan medis invasif. Saat ini,
bagaimana membedakan S. epidermidis strain patogen dan komensal masih merupakan
tantangan besar, baik di laboratorium maupun bagi klinisi (Nuryastuti 2018).
Bakteri S. epidermis merupakan bakteri yang hidup parasit pada manusia atau pada
hewan berdarah panas (Chessa et al. 2016). Menurut (Becker et al. 2014) bahwa
Staphylococcus epidermis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada manusia
dan menyebabkan infeksi ketika kekebalan tubuh lemah.

1.2 Tujuan
Penelitian ini betujuan mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi kucing dalam
berbagai media dan melihat aktivitas antimikroba bakteri.
II METODE

1.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan yaitu ose bulat, inkubator, eppendorf tube, korek api, bunsen,
kulkas, inkubator, kertas kering, pipet, kertas label, spidol, candle jar, lilin, mikroskop,
jangka sorong dan ose. Bahan yang digunakan yaitu sampel swab oral kucing, buffere
peptone water, kapas, Blood Agar (BA), MacConkey Agar (MCA) dan Tryptic Soy Agar
(TSA), Mannitol salt agar (MSA), Mueller Hinton Agar (MHA), cakram antibiotik
(gentamicin, penicillin dan bacitracin), kristal violet, lugol, safranin, aseton alkohol, aquades,
KOH 3%, H2O2 3%, glukosa, minyak imersi.
1.2. Prosedur Penelitian
1.2.1 Sinyalemen
Nama Hewan : Pippin prandybuck
Jenis Hewan : Kucing
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : 8 Tahun
Ras : Domestic short hair (DSH)
Warna : Hitam Putih

Gambar 1 Kucing Pippin

1.2.2 Anamnesa
Kucing Pappin merupakan kucing rescue yang ditemukan pada 12 Januari
2015. Kucing mengalami bersin-bersin, hipersalivasi sejak 2021 dan terdapat ulcer
pada mulut. Kucing sudah diberikan berbagai antibiotik namun tidak kunjung
membaik. Riwayat vaksin kucing sudah diberikan vaksin rabies. Diagnosa klinis pada
kucing pippin ialah kucing mengalami rhinotracheitis dan stomatitis.
1.2.3 Persiapan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada rabu 8 november 2023. kemudian
disimpan dalam tabung eppendorf yang telah terisi buffered peptone water (BPW)
dengan cara di swab oral mengunakan cotton swab dan dimasukkan ke dalam tabung
eppendorf. Sampel lalu dibawa ke laboratorium dengan menggunakan transportasi
sepeda motor. Sampel disimpan di dalam kulkas sebelum digunakan.
1.2.4 Kultur bakteri pada media Blood agar (BA)
Sampel dikultur secara aseptis dengan menyeprotkan alkohol terlebih dahulu
ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga membara untuk
mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose diperkirakan tidak terlalu
panas. Plate agar dibagi menjadi tiga kuadran sesuai dengan teknik yang digunakan.
Sampel kemudian di ambil dan di torehkan ke BA dengan memanaskan pinggiran
plate agar untuk mecegah kontaminasi bakteri dari luar sebelum plate agar dibuka.
Penutup plate dibuka namun tidak terlalu besar kemudian discharge diambil
menggunakan ose dan ditorehkan ke plate agar dalam tiga kuadran. Blood agar diberi
label diinkubasi selama 24 - 48 jam dalam suhu 37 ℃.
1.2.5 Kultur bakteri pada media MacConkey agar (MCA)
Pengambilan sampel secara aseptis dengan menyeprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga membara
untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose diperkirakan tidak
terlalu panas. Plate agar dibagi menjadi tiga kuadran sesuai dengan teknik yang
digunakan. Sampel kemudian di ambil dan di torehkan ke MCA dengan memanaskan
pinggiran plate agar untuk mecegah kontaminasi bakteri dari luar sebelum plate agar
dibuka. Penutup plate dibuka namun tidak terlalu besar kemudian discharge diambil
menggunakan ose dan ditorehkan ke plate agar dalam tiga kuadran. MacConkey agar
diberi label dan diinkubasi selama 24 - 48 jam dalam suhu 37 ℃.
1.2.6 Kultur bakteri pada media Tryptic Soy Agar (TSA)
Biakkan yang telah tumbuh pada media blood agar diambil menggunakan ose
steril. Sebelumnya pinggiran plate dipanaskan dengan bunsen kemudian dibuka
sedikit untuk diambil biakkan yang telah tumbuh. Biakkan ditorehkan ke TSA secara
zigzag dengan mulut tabung TSA berada didekat bunsen kemudian tutup tabung
dengan kapas dan diberi label. Setelah itu, diinkubasi selama 24 - 48 jam dalam suhu
37 ℃.
1.2.7 Pewarnaan Gram
Koloni bakteri yang telah tumbuh diambil dengan menggunakan ose,
kemudian dioleskan pada kaca objek dan dihomogenkan dengan akuades. Kaca objek
difiksasi dengan melewatkan di atas api kecil. Crystal Violet diteteskan dan diamkan
selama 1 menit, dibilas dengan air mengalir. Sampel kemudian diteteskan lugol
selama 1 menit, dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya lakukan pemucatan
menggunakan aceton alkohol kurang lebih 20 detik. Safranin diteteskan dan diamkan
selama 1 menit, lalu dibilas dengan air mengalir. Sampel yang telah diberi pewarnaan
Gram diamati di atas mikroskop hingga pembesaran 100x dengan menggunakan
minyak imersi.
1.2.8 Uji KOH 3%
Uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi mikroorganisme dengan melihat
adanya lendir. KOH 3% diteteskan pada gelas objek, kemudian diteteskan atau
dicampurkan dengan isolat yang akan diuji. Setelah itu, dihomogenkan dan ditarik
untuk melihat apakah terbentuk lendir. Keberadaan lendir menandakan hasil yang
positif dan berarti bakteri tersebut merupakan gram negatif. Menurut Hardiansyah et
al. (2020), penentuan sifat gram dengan KOH 3% memiliki hasil yang sama dengan
pengujian pewarnaan gram. Pengujian KOH 3% pada bakteri mengindikasikan
bakteri Gram (+) memiliki dinding sel yang tebal dan lemak yang tipis sedangkan
Gram (-) berlemak tebal dan berdinding sel tipis yang berada di ruang periplasma.
KOH akan menyerang lemak (bilayer lipid) dan membuat sel Gram (-) pecah. Sel
yang pecah akan melepaskan materi genetik (DNA) yang merupakan substansi
melimpah di dalam sel bakteri. Molekul DNA sangat panjang bersifat sticky strings
(menyerupai lendir, getah atau dapat berarti lengket) yang memberikan hasil seperti
lendir saat diangkat dengan jarum inokulum.

1.2.9 Uji Katalase


Uji katalase bertujuan untuk mengetahui sifat bakteri dalam menghasilkan
enzim katalase. Cara kerja dari uji katalase yaitu dilakukan di atas kaca preparat
dengan cara satu tetes H2O2 3% dicampurkan dengan isolat bakteri. Hasil positif
ditandai dengan adanya gelembung gas, sedangkan hasil negatif tidak ada gelembung
gas (Yuka et al. 2021).
1.2.10 Uji Glukosa Mikrofilik
Isolat bakteri yang tumbuh pada media TSA diambil dan dimasukan serta
dihomogenkan ke dalam tabung reaksi yang berisi glukosa dan terdapat tabung
durham di dalamnya. Setelah itu, tabung reaksi di masukkan ke dalam candle jar dan
lilin dinyalakan lalu candle jar ditutup rapat. Setelah api lilin mati candle jar di
masukkan ke dalam inkubator pada suhu 37 ℃ selama 24 jam (Dwijastuti 2023).
1.2.11 Uji Pada Media Mannitol Salt Agar (MSA)
Uji manitol bertujuan untuk membedakan apakah Staphylococcus tersebut
bersifat patogen atau tidak. Isolat bakteri diambil dari media TSA, lalu digoreskan
setangah pada media MSA (dalam satu media terdapat dua isolat) dan diinkubasi
dalam suhu 37 ℃ selama 24 jam. Bakteri dikatakan positif jika terlihat perubahan
warna menjadi kuning, sebaliknya (negatif) apabila warnanya tetap merah.
1.2.11Alur uji bakteri

Sampel Uji KOH 3%

Kultur ke
media BA Subkultur ke
dan MCA media TSA

b
Pewarnaan
b
Gram Coccus

Uji CAMP Negatif


(Streptococcaceae)

Negatif Uji katalase


(Micrococcaceae)

Uji Glukosa Positif


Mikroaerofilik (Micrococcaceae)

MSA
Positif

Uji Koagulasi
1.2.12 Pengujian Aktivitas Antimikroba
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode difusi agar (disc
diffusion Kirby and Bauer). Pengujian aktivitas antimikroba ini menggunakan cakram
(paper disc) berukuran 6 mm dengan daya serap 50 μL tiap cakram. Isolat digoreskan
pada media Mueller Hinton Agar (MHA) pada seluruh permukaan baik arah vertikal
ataupun horizontal, setelah itu media diputar 360° untuk meratakan isolat pada
permukaan media. Cakram antibiotik diletakkan ke dalam media dengan memberi
jarak antara ketiga cakram antibiotik tersebut. Selanjutnya, media diinkubasi ke
dalam inkubator selama 18-24 jam, lalu diamati dan diukur zona bening yang terjadi
menggunakan jangka sorong.
III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengujian Bakteri


Hasil inkubasi kultur bakteri pada Blood Agar (BA) terlihat tumbuh beberapa koloni.
Media BA merupakan media yang biasa digunakan untuk menumbuhkan bakteri yang sulit
tumbuh dan mengetahui apakah bakteri memiliki sifat melisiskan sel darah merah atau tidak.
Pada media MacConkey agar hasil tidak menunjukkan adanya koloni yang tumbuh.
MacConkey agar merupakan salah satu jenis media yang digunakan untuk mengidentifikasi
mikroorganisme dan termasuk dalam media selektif serta difersial bagi mikroorganisme.

a b

Gambar 2 (a) hasil kultur sampel media blood agar dan (b) hasil kultur
sampel media MacConkey.

Hasil pada media blood agar menunjukkan pertumbuhan koloni yang berbentuk bulat
datar dan berwarna putih dengan sifat koloni beta-hemolisis. Beta hemolisis adalah terjadi
lisis pada sel darah merah yang dilengkapi dengan kerusakan dan penggunaan Hb oleh
mikroorganisme, beta hemolisis menghasilkan hemolisis sempurna yang akan membentuk
zona bening di sekeliling koloni. Pada media MacConkey agar isolat tidak mengalami
pertumbuhan hal ini bisa disebabkan oleh bakteri yang bersifat Gram positif.

Gambar 3 Hasil Kultur Pada Media TSA.


Koloni yang tumbuh pada media blood agar, selanjutnya dilakukan subkultur pada
media TSA dengan mengambil koloni yang terpisah. Media tumbuh TSA adalah media agar
yang telah diramu sedemikian rupa dan khusus untuk pertumbuhan bakteri dengan cara
inokulasi (Nurjanna 2009). Hasil pertumbuhan koloni pada media TSA dapat terlihat
pertumbuhan yang baik dan tidak diikuti dengan pertumbuhan koloni lain yang bisa
mengakibatkan tidak adanya isolat yang murni.

Gambar 4 Hasil Pewarnaan Gram.


Pewarnaan Gram merupakan pewarnaan diferensial untuk membedakan kelompok
mikroorganisme. Pewarnaan gram merupakan pewarnaan diferensial yang dapat
membedakan kelompok mikroorganisme menjadi Gram positif atau Gram negatif. Hasil
pewarnaan Gram menunjukkan bakteri berbentuk bulat, bergerombol dan berwana ungu. Hal
ini menunjukkan bahwa bakteri yang diamati termasuk dalam bakteri gram positif. Koloni
bakteri Gram positif akan berwarna ungu dan koloni bakteri Gram negatif akan berwarna
merah. Perbedaan warna ini dikarenakan perbedaan struktur dinding sel bakteri dan
perbedaan kandungan asam teiokat antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.
Bakteri Gram positif memiliki peptidoglikan yang mengandung asam teiokat sehingga dapat
menghindari dekolorisasi warna kristal violet oleh alkohol (Aristyawan et al. 2017).

Gambar 5 Hasil Uji KOH 3%.


Menurut Hardiansyah et al. (2020), selain pewarnaan Gram, identifikasi Gram yang
bisa dilakukan ialah dengan menggunakan KOH 3%. KOH akan menyerang lapisan lipid
bilayer dan membuat sel Gram negatif pecah. Sel yang pecah akan melepaskan materi
genetik (DNA). Molekul DNA sangat panjang bersifat sticky strings, sehingga akan
menapakkan hasil seperti lendir ketika diangkat dengan ose. Uji KOH 3% pada bakteri yang
diamati tidak menunjukkan adanya lendir yang terbentuk, sehingga dapat dinyatakan bakteri
tersebut adalah bakteri Gram positif.

Gambar 6 Hasil Uji Katalase (H 2O2 3%).


Hasil uji katalase pada bakteri yang diamati menunjukkan adanya gelumbung gas
yang terbentuk setelah isolat bakteri dihomogenkan dengan sediaan H2O2 %, dengan ini dapat
dinyatakan isolat bakteri tersebut Positif terhadap uji katalase. Menurut Waluyo (2004),
mekanisme enzim katalase memecah H 2O2 yaitu saat melakukan respirasi, bakteri
menghasilkan berbagai komponen salah satunya H 2O2. Bakteri yang memiliki kemampuan
memecah H2O2 dengan enzim katalase maka segera membentuk suatu sistem pertahanan dari
toksik H2O2 yang dihasilkannya sendiri. Bakteri katalase positif akan memecah H 2O 2
menjadi H2O dan O2 dimana parameter yang menunjukkan adanya aktivitas katalase tersebut
adalah adanya gelembung-gelembung oksigen yang terbentuk.

Gambar 7 Hasil Uji Glukosa Mikroaerofilik.


Pengujian glukosa mikroaerofilik menunjukkan hasil positif. Hal ini ditandai dengan
terjadi perubahan warna pada glukosa dari merah menjadi kuning, karena bakteri mampu
memfermentasi glukosa. Hasil ini menunjukkan bahwa bakteri yang diamati merupakan
bakteri dari genus Staphylococcus sp. Mikroaerofil adalah mikroorganisme yang
membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup, tetapi membutuhkan lingkungan yang
mengandung kadar oksigen lebih rendah daripada yang ada di atmosfer (konsentrasi 20%)
(Sari 2017; Sirait 2017; Syauqi 2017).
Gambar 8 Hasil Uji Bakteri pada Media MSA.
Hasil uji isolat bakteri pada media mannitol salt agar (MSA) terlihat bahwa bakteri
tidak mampu memfermentasi gula atau mannitol sehingga media MSA masih berwarna
merah. Hal ini mengindikasikan bahwa bakteri yang diamati ialah bakteri gram positif
Staphylococcus epidermidis. S. epidermis merupakan bakteri yang tidak dapat
memfermentasi gula atau mannitol. S. epidermis merupakan bakteri anaerob fakultatif yang
dapat tumbuh dengan respirasi aerobik atau dengan fermentasi. Fermentasi karbohidrat dapat
terjadi secara aerob dan anaerob. Uji fermentasi karbohidrat bertujuan untuk mengetahui
kemampuan suatu bakteri dalam memfermentasikan karbohidrat.
Karakteristik fermentasi karbohidrat dipakai untuk membedakan spesies bakteri
dalam satu genus tertentu untuk tujuan identifikasi. Perubahan warna medium mejadi kuning
disebabkan karena terdapatnya indicator Phenol red dalam medium (Kateete et al. 2010).
Dimana penambahan indikator Phenol red ke dalam medium yang mengalami fermentasi
karbohidrat jadi asam dalam keadaan aerob, maka pH akan turun dan akhirnya indikator
Phenol red ini akan berubah warna menjadi kuning (Dewi 2013). Apabila bakteri dapat
tumbuh dan terjadi fermentasi mannitol maka akan mengubah warna media dari merah
menjadi kuning, berarti hasil dinyatakan positif.

Gambar 9 Pengujian Aktivitas Antimikroba (a. gentamicin, b. penicillin dan c. bacitracin).


Metode difusi cakram merupakan pengukuran daerah zona bening yang terbentuk di
sekitar kertas cakram yang digunakan untuk mengetahui aktivitas antimikroba (Intan et al.
2021). Pengujian daya hambat bakteri ditandai dengan terbentuknya zona bening pada
permukaan media agar. (Rizki 2020) Kelebihan dari metode difusi cakram yaitu proses
pengujian cepat, biaya relatif murah, mudah dan tidak memerlukan keahlian khusus.
Sedangkan kelemahan dari metode ini yaitu sulit untuk diaplikasikan pada mikroorganisme
yang perkembangannya lambat dan zona bening yang terbentuk dipengaruhi pada kondisi
inkubasi, inokulum serta ketebalan medium (Handayani et al. 2018; Sarosa et al. 2018). Hasil
pengujian antimikroba menujukkan zona bening yang ditunjukkan antibiotik gentamicin
paling besar dibandingkan dengan penicillin dan bacitracin. Gentamicin memiliki zona
bening dengan ukuran 23 mm, penicillin 14 mm dan bacitracin 13 mm, sehingga antibiotik
gentamicin dinyatakan sensitif terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis.

Tabel 1. Hasil Uji Aktivitas Antimikroba.


No. Antibiotik Diameter zona hambat Keterangan
1. Gentamicin 23 mm Sensitif
2. Penicillin 14 mm Resisten
3. Bacitracin 13 mm Resisten

Gentamisin merupakan antibiotika dengan stabilitas yang baik, memiliki efek


bakterisidal cepat, menunjukkan efek bersinergi dengan antibiotik betalaktam, tingkat
kejadian resisten rendah dan harga yang murah (Wargo dan Edwards 2014). Gentamisin
termasuk kategori antibiotik concentration dependent dimana dosis yang tinggi dibutuhkan
untuk mencapai efek antibakteri. Gentamisin sebagian besar diekskresikan melalui ginjal
sehingga pengaturan dosis perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal (Bauer 2008).
Aktifitas gentamisin adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus
dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom (partikel partikel kecil dalam protoplasma
sel yang kaya akan RNA, tempat terjadinya sintesa protein) di dalam sel. Proses translasi
(RNA dan DNA) diganggu sehingga biosentasa protein dirusak. Untuk menembus dinding
bakteri mencapai ribosom, aminoglikosida yang bermuatan kation positif akan berikatan
secara pasif dengan membran luar dinding kuman gram negatif yang mengandung muatan
negatif.

3.2 Mekanisme Infeksi Staphylococcus Epidermidis


Staphylococcus epidermidis adalah bakteri gram positif yang terdapat pada kulit dan
dapat menyebabkan infeksi oportunistik kekebalan tubuh yang lemah (Nuryastuti 2019).
Staphylococcus epidermidis terdapat sebagai flora normal pada kulit sehat. Patogenitasnya
merupakan efek gabungan dari berbagai macam metabolit yang dihasilkannya.
Staphylococcus epidermidis memproduksi toksin atau zat racun. memudahkannya untuk
menempel dimana-mana, termasuk di permukaan alat-alat yang terbuat dari plastik atau kaca.
Lendir tersebut membuat Staphylococcus epidermidis lebih tahan terhadap fagositosis dan
beberapa antibiotik tertentu (Sinaga 2004). Staphylococcus epidermidis adalah salah satu
penyebab paling umum dari infeksi nosokomial, dengan tingkat infeksi setinggi
Staphylococcus aureus.
IV. SIMPULAN

Berdasarkan pengujian yang dilakukan pada berbagai media untuk mengidentifikasi


bakteri, didapatkan hasil bahwa bakteri yang menginfeksi kucing pippin ialah bakteri gram
positif staphylococcus epidermidis. Bakteri ini masih sensitive pada antibiotic gentamicin
berdasakan hasil pengujian aktivitas antimikroba.
V. DAFTAR PUSTAKA

Aristyawan AD, Sugijanto NE, Suciati. 2017. Potensi Antibakteri dari Ekstrak Etanol Spons
Agelas cavernosa. Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 4(1):39–43
Bauer LA. 2008. Applied Clinical Pharmacokinetics, 2nd ed. Mc Graw-Hill Medical, New
York.
Becker K, Heilmann C, Peters G. 2014. Coagulase-Negative Staphylococci. Clinical
Microbiology Reviews. 27(4): 870–926.
Chessa D, Ganau G, Spiga L, Bulla A, Mazzarello V, Campus GV, Rubino S. 2016.
Staphylococcus aureus and Staphylococcus Epidermidis Virulence Strains As
Causative Agents Of Persistent Infections In Breast Implants. Plos One. 11(1):
E0146668.
Dewi AK. 2013. Isolasi, Identifikasi Dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus Terhadap
Amoxicillin Dari Sampel Susu Kambing Peranakan Ettawa (Pe) Penderita Mastitis
Di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Sain Veteriner. 31(2):138–150.
Dwijastuti NMS, Dewi IGAAS. 2023. Perbedaan Hasil Kultur Anaerob dengan Candle Jar
dan Gas Generating Sachet Untuk Bakteri Asam Laktat. Jurnal Biologi Makassar.
8(1): 92-100.
Effendi C, Budiana NS. 2014. Complete Giude Book For Your Cat. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Handayani R, Qamariah N, Mardova SA. 2018. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Batang
Saluang Belum terhadap Bakteri Escherichia coli. Borneo Journal of Pharmacy.
1(1):16– 18.
Hardiansyah M, Musa Y, Jaya A. 2020. Identifikasi plant growth promoting Rhizobacteria
pada rizoster bambu duri dengan gram KOH 3%. Agrotechnology Research Journal.
4(1): 41- 46.
Intan K, Diani A, Nurul ASR. 2021. Aktivitas Antibakteri Kayu Manis (Cinnamomum
burmanii) terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus. Jurnal Kesehatan Perintis.
8(2): 121-127.
Kateete DP, Kimani CN, Katabazi FA, Okeng A, Okee MS. 2010. Identification of
Staphylococcus aureus: DNase and Mannitol salt agar improve the efficiency of the
tube coagulase test. Ann Clin Microbiol Antimicrob 9: 23.
Nurjanna, Fajrihanif A. 2009. Populasi dan Pertumbuhan Bakteri Air Tambak Pada Media
Tryptic Soy Agar (TSA) dari Pabrik Berbeda. Buletin Teknologi Literatur Akuakultur.
1(8): 71-73.
Nuryastuti T. 2018. Staphylococcus epidermidis: how to turn from commensal to be a
pathogen lifestyle. Jurnal Medicine Science. 1(50): 113-127.
Rizki AF. 2020. Uji Daya Hambat Antibakteri Salep Ekstrak Etanol Daun Pandan Hutan
(Freycinetia sessiliflora) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus
epidermidis. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina. 5(1): 1–9.
Sari R, Prayudyaningsih R. 2017. Karakter Isolat Rhizobia Dari Tanah Bekas Tambang Nikel
Dalam Memanfaatkan Oksigen Untuk Proses Metabolismenya. Buletin Eboni. 14(2):
123-136.
Sarosa AH, PHT Santoso BI, Nurhadianty V, Cahyani C. 2018. Pengaruh Penambahan
Minyak Nilam Sebagai Bahan Aditif Pada Sabun Cair Dalam Upaya Meningkatkan
Daya Antibakteri Terhadap Staphylococcus aureus. Indonesian Journal Of Essential
Oil. 3(1):1–8.
Sinaga E. 2004. Infeksi Nasokomial dan Staphylococcus epidermidis. Jakarta (ID): EGC.
Sirait R. 2017. Penundaan Pemeriksaan Kultur Urin Pasien Dengan Penyimpanan
Menggunakan Coolbox Pada Pertumbuhan Bakteri Di Rsup Dr. Kariadi Semarang
(Doctoral Dissertation, Muhammadiyah University Of Semarang).
Syauqi A. 2017. Mikrobiologi Lingkungan Peranan Mikroorganisme Dan Kehidupan.
Jakarta (ID): Penerbit Andi.
Wargo KA, Edwards JD. 2014. Aminoglycoside-Induced Nephrotoxicity. Journal of
Pharmacy Practice. 27: 573– 577.
Yuka RA, Setyawan A, Supono. 2021. Identifikasi Bakteri Bioremediasi Pendegradasi Total
Amonia Nitrogen (TAN). Jurnal Kelautan. 1(14): 20-29.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAL SAMPEL


SWAB ULKUS PADA RONGGA MULUT KUCING DOMESTIK

Inayati Ilmi B9404231055


Kelompok C1 PPDH Periode 1 2023/2024
Stase Diagnostik

Dosen Pembimbing :
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Feline calicivirus (FCV) merupakan penyakit virus yang patogen dan sangat
menular dengan penularan yang sangat luas pada populasi kucing. Virus ini
merupakan virus single strain-RNA yang menyerang kucing domestik dan kucing
eksotis diseluruh dunia. Infeksi Feline calicivirus umumnya terkait dengan ulserasi
mulut dan air liur sindrom klinis lain yang dikaitkan dengan infeksi FCV termasuk
stomatitis kronis dan sindrom pincang (Berger et al. 2015). Beberapa kucing tetap
menjadi pembawa asimtomatik setelah infeksi akut FCV, menjadi sumber infeksi bagi
kucing lain yang rentan. FCV dikaitkan dengan gejala klinis yang berbeda termasuk
gejala pernapasan, ulcer pada mulut dan gingivitis atau stomatitis (Afonso et al 2017).
Proses identifikasi bakteri penyebab penyakit tertentu dimulai dari serangkaian
proses yang disebut isolasi bakteri. Pemisahan mikroorganisme diperlukan untuk
mengetahui jenis, mempelajari morfologi, fisiologi serta karakteristik mikroorganisme
tersebut. Isolasi merupakan serangkaian pemisahan mikroorganisme supaya
didapatkan kultur murni (isolat).

Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui tahapan-tahapan isolasi dan identifiksasi
bakteri dari sampel swab ulkus pada rongga mulut kucing domestik.
METODE

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan yaitu ose, inkubator, korek api, bunsen, cotton swab,
miikroskop, gelas objek, pipet. Bahan yang digunakan yaitu sampel, kapas, label,
media transport, Blood Agar (BA), MacConkey Agar (MCA), hasil kultur bakteri di
BA, MCA, dan Tryptic Soy Agar (TSA) media, hasil subkultur bakteri di TSA, aquades,
crystal violet, lugol, safranin, aceton alkohol, alkohol 70% .

Prosedur Penelitian
Anamnesa dan Sinyalemen kucing 1
Nama Hewan : Wawa
Jenis Hewan : Kucing
Ras : DSH
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 5–6 tahun
Riwayat vaksinasi : belum vaksin

Gambar 1 Kucing Wawa Gambar 2 Lesio abses kucing Wawa


Luka abses kulit bagian leher sudah satu tahun belum kunjung sembuh, luka
sudah sempat dioperasi dengan skinflap dan dipasang drainase, bagian drainase tidak
kunjung sembuh dan tetap terlihat adanya abses. Ada beberapa bagian spot kulit yang
mengalami penebalan. Berdasarkan keterangan pemilik, pemeriksaan lesio kulit
dengan Woodlamp hasilnya negatif. Sampel yang diambil dari kucing Wawa yaitu
swab pada abses.
Anamnesa dan Sinyalemen kucing 2
Nama kucing : Pippin
Jenis hewan : Kucing/ DSH
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 8 tahun
Warna : Hitam putih
Vaksinasi : Belum vaksin
Gambar 3 Kucing Pippin hipersalivasi
Kucing ditemukan 12 Januari 2015. Kucing mengalami bersin-bersin,
hipersalivasi sejak Juli 2021. Kucing Pippin sudah diberikan berbagai antibiotik antara
lain : Amoxicillin, Gentamicin, Doxycyclin, Penicillin, Oxytetracycline, namun tidak
kunjung sembuh. Diagnosis klinis kucing Pippin adalah stomatitis. Sampel yang
diambil dari kucing Pippin yaitu swab rongga mulut.

Rancangan Percobaan

Koleksi dan Isolasi Sampel

Isolasi pada Blood Agar Isolasi padaMacConkey

Isolasi pada TSA

KOH 3 % dan
Pewarnaan Gram

Gram Negatif Gram Positif

Basil Kokus

Uji Katalase

Negatif Positif

Uji CAMP Uji Glukosa


Mikroaerofilik
k
Kultur Bakteri pada Media Blood Agar (BA) dan MacConkey (MCA)
Kultur bakteri dilakukan secara aseptis agar meminimalisir kontaminan.
Pertama semprotkan alkohol pada meja kerja kemudian bunsen dinyalakan. Ose
dibakar menggunakan bunsen untuk mensterilkan dan didiamkan sebentar agar tidak
terlalu panas. Sampel diambil menggunakan ose sebanyak satu loop, media transoprt
dibuka disekitar api bunsen. Sampel digoreskan pada plate BA dan MCA yang telah
diberi label dan tanda 3 kuadran dengan teknik T-Straight. Kultur yang telah dibuat
diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 37oC.

Subkultur Bakteri pada Media Tryptic Soy Agar (TSA)


Subkultur bakteri dilakukan secara aseptis agar meminimalisir kontaminan.
Pertama semprotkan alkohol pada meja kerja kemudian bunsen dinyalakan. Ose
dibakar menggunakan bunsen untuk mensterilkan dan didiamkan sebentar agar tidak
terlalu panas. Sampel diambil menggunakan ose, pastikan di membuka media transoprt
disekitar api bunsen. Sampel yang diambil adalah kultur bakteri pada kuadran III
karena di daerah tersebut terdapat koloni terpisah, ditorehkan pada media TSA yang
telah diberi label. Kultur yang telah dibuat diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 37oC.

Perwarnaan Gram
Bakteri yang telah disubkultur dikeluarkan dari inkubator. Pewarnaan gram
dilakukan secara aseptis. Pertama alkohol 70% disemprotkan ke meja kerja. Kemudian
bunsen dinyalakan apinya. Gelas objek yang telah dipersiapkan dicuci terlebih dahulu
oleh alkohol 70% lalu dikeringkan. Aquades diambil menggunakan pipet lalu
diteteskan diatas gelas objek. Ose yang telah dipanaskan ditunggu sampai tidak panas
sekitar 1–2 menit. Lalu hasil subkultur dapat diambil menggunakan ose secukupnya
dan dihomogenkan pada aquades yang ada di gelas objek. Kemudian dapat dikeringkan
dengan dipanaskan secara perlahan di atas bunsen sampai kering. Setelah itu dapat
ditetesi kristal violet ditunggu selama 1 menit, kemudian lugol ditunggu selama 1
menit, kemudian diberi larutan aceton sebegai pemucat, kemudian dikeringkan dan
ditetesi safranin ditunggu 15 detik, hasil dapat dibilas dengan akuades lalu dikeringkan
dan dapat diamati dibawah mikroskop.

Uji KOH 3%
Uji KOH 3% dilakukan beriringan saat dilakukan pewarnaan gram. Gelas objek
yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%. Gelas objek yang telah bersih ditetesi
KOH 3%. Hasil subkultur dapat diambil menggunakan ose yang telah steril lalu
dihomogenkan dengan KOH 3% pada gelas objek. Hasil dapat diamati jika tampak
lendir dapat dikatakan bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri gram negatif. Jika
hasil tidak menunjukan lendir dapat dikatakan bahwa bakteri tersebut merupakan
bakteri gram positif.

Uji Katalase
Gelas objek yang telah dibersihkan dengan alkohol 70% diberi penanda
lingkaran dengan marker lalu diteteskan H2O2. Kemudian ose yang yang telah
disterilkan dengan api bunsen ditunggu 1–2 menit. Hasil subkultur bakteri dari TSA
diambil menggunakan ose secukupnya lalu dihomogenkan dengan H2O2 yang ada di
gelas objek. Kemudian hasil dapat diamati jika terbentuk gelembung maka uji ini
positif dengan arah bakteri Micrococcaceae. Jika hasil tidak terbentuk gelembung maka
gelembung maka uji ini positif dengan arah bakteri streptococcaceae.

Uji Glukosa Mikroaerofilik


Sampel yang bernilai positif pada uji katalase akan dilanjutkan dengan uji
glukosa mikroaerofilik. Uji glukosa mikroae berofilik dilakukan dengan tabung reaksi
yang berisi glukosa. Isolat bakteri diambil 1–2 ose dan diinokulasikan ke dala tabung
dan dimasukkan dalam anaerobic jar bersama dengan lilin yang menyala sebagai
indikator keberadaan oksigen di dalam jar. Lilin akan padam ketika kadar oksigen di
dalam jar habis, sehingga tercipta suasana mikroaerofilik, dan diinkubasi dalam suhu
37oC selama 24 jam. Hasil negatif uji glukosa mikroaerofiliki tidak terjadi perubahan
warna merah ke kuning dan dapat disumpulkan bakteri dari genus Micrococcus sp.
Hasil positif fermentasi glukosa dapat dilihat dengan perubahan warna media menjadi
kuning. Sampel positif pada uji glukosa mikroaerofilik akan ditumbuhkan pada media
MSA yang mengandung garam NaCl 7,5% yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri selain Staphylococcus. Koloni Staphylococcus aureus yang tumbuh akan
berwarna kuning pada media, sedangkan jika warna agar tetap merah menunjukkan
bahwa sampel tersebut merupakan bakteri Staphylococcus epidermidis.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4 Hasil isolasi kultur pada media MCA tampak atas


(gambar kiri) dan bawah (gambar kanan) tidak ada
pertumbuhan koloni.

Gambar 5 Hasil isolasi bakteri pada media BA tampak atas


(gambar kiri) dan bawah (gambar kanan) ada pertumbuhan
koloni berbentuk bulat, bening, dan beta-hemolisis (panah
biru) dan koloni berbentuk bulat kecil, putih opaque, gamma-
hemolisis (panah hijau).

Hasil inkubasi kultur bakteri pada BA terdapat pertumbuhan sedangkan pada


media MCA tidak terdapat pertumbuhan bakteri. Berikut ringkasan morfologi kultur
bakteri yang ditemukan pada media BA.

Parameter koloni Koloni 1 (panah biru) Koloni 2 (panah hijau


Ukuran besar kecil
Bentuk bulat bulat
Permukaan rata rata
Aspek mengkilat mengkilat
Tepi halus halus
Elevasi timbul timbul
Pigmentasi putih putih
Sifat hemolitik Beta hemolisis Gamma hemolisis
Sifat tembus cahaya Opaque Opaque
Gambar 6 Hasil pewarnaan gram dilakukan sebanyak 2x pengulangan
memastikan kemurnian subkultur TSA, pewarnaan menunjukan hasil
warna yang tidak homogen yakni terdapat warna merah dan biru
(panah biru).
Hasil pengamatan pewarnaan gram dari bakteri ini konsisten dengan hasil
bentuk bulat, koloni bergerombol namun warna tidak homogen yakni terdapat warna
merah dan biru. Hal ini menunjukan bahwa hasil subkultur bakteri tidak murni. Hasil
pewarnaan gram tidak sejalan dengan hasil kultur bakteri pada media MCA yang tidak
terjadi pertumbuhan. Hipotesis awal kultur bakteri ini merupakan golongan bakteri
gram positif karena pada media MCA yang merupakan media selektif bagi kultur
bakteri gram negatif tidak ada pertumbuhan koloni, namun hal ini tidak sejalan dengan
pewarnaan gram yang menghasilkan warna bakteri yang merah. Hal ini dapat
dijelaskan dengan beberapa kondisi saat melakukan kultur pada media MCA, ose yang
digunakan masih panas sehingga bakteri yang diambil mati dan tidak tampak
pertumbuhan di media tersebut.
Sampel kucing kedua yaitu kucing Pippin dari swab oral telah dikultur pada
media BA dan MCA dengan hasil pertumbuhan hanya pada media BA. Isolat bakteri
sampel swab rongga mulut ditumbuhkan pada media BA, darah memiliki fungsi untuk
mempersubur pembenihan dan menumbuhkan bakteri yang sukar tumbuh pada
pembenihan biasa (Entjang 2003). Blood agar digunakan untuk membedakan bakteri
berdasarkan kemampuan hemolitiknya pada sel darah merah (Yeh et al. 2009). Koloni
yang tumbuh pada BA diidentifikasi bentuk morfologi (ukuran, bentuk, pinggiran dan
warna) serta jenis hemolisisnya.
Tiga jenis hemolisis yang dapat dilihat pada media BA yaitu alfa (α), beta (β),
dan gamma (γ). Hemolisis alfa merupakan hemolisis parsial yang akan menimbulkan
warna hijau di sekitar koloni bakteri yang berasal dari biliverdin dan merupakan produk
sampingan pemecahan hemoglobin (Madigan et al. 2006). Hemolisis beta adalah
proses lisis sempurna sehingga terbentuk zona jernih di sekitar koloni bakteri
(Mangindaan dan Losung 1991). Hemolisis gamma sel darah merah tidak mengalami
lisis dan tidak ada perubahan medium di sekitar koloni (Yeh et al. 2009).
Subkultur dilakukan pada media TSA sebanyak 2 subkultur dengan koloni yang
berbeda. Koloni yang diamati dan dilanjutkan uji identifikasi pada makalah ini yaitu
koloni 2. Berikut ringkasan morfologi kultur bakteri yang ditemukan pada media BA :

Gambar 8 Hasil kultur swab oral kucing Pippin pada media BA tampak atas
(gambar kiri) terdapat koloni berbentuk bulat kecil opaque putih (koloni 1)
dan koloni berbentuk bulat besar dan bening (gambar kanan).

Parameter koloni Koloni 1 Koloni 2


Ukuran besar besar
Bentuk bulat bulat
Permukaan rata rata
Aspek mengkilat mengkilat
Tepi halus halus
Elevasi timbul timbul
Pigmentasi putih putih
Sifat hemolitik Gamma-hemolisis Gamma-hemolisis
Sifat tembus cahaya opaque bening

Gambar 9 Hasil pewarnaan gram


subkultur kucing Pippin dari media
Identifikasi dilanjutkan dengan pewarnaan Gram untuk melihat morfologi dan
kemurnian bakteri. Bakteri Gram positif akan berwarna ungu dan dapat berbentuk basil
(batang), kokus (bulat), maupun kokobasil (Dewi 2013). Hasil pengamatan pewarnaan
gram dari bakteri ini konsisten dengan hasil warna ungu, bentuk bulat, koloni
bergerombol. Hasil pewarnaan gram sejalan dengan hasil kultur bakteri pada media
MCA yang tidak menghasilkan pertumbuhan. Hipotesis awal bakteri ini merupakan
golongan bakteri positif karena MCA merupakan media selektif bagi kultur bakteri
negatif terbukti.
Pengujian KOH 3% akan menunjukan bahwa bakteri gram positif memiliki
dinding sel yang tebal dan lemak yang tipis, sedangkan Gram negatif memiliki lemak
yang lebih tebal dan dinding sel lebih tipis. KOH akan bereaksi pada bagian lemak
bilayer lipid dan membuat sel bakteri gram negatif pecah. Sel yang pecah akan
melepaskan materi genetik yang berbentuk sticky strings atau menyerupai lendir
(Hardiansyah et al. 2020). Isolat bakteri yang diambil dari TSA hasil uji KOH 3%
bernilai negatif tidak menghasilkan lendir dan menunjukan bahwa bakteri tersebut
merupakan bakteri Gram positif.
Sampel kemudian diuji oksidase dengan cara mengoleskan satu ose isolat
bakteri dan diteteskan dengan reagen oksidase. Hasil positif menunjukkan bahwa
bakteri tersebut memiliki enzim oksidase, kertas saring tempat isolat diinokulasikan
akan berwarna hitam keunguan.
Sampel bakteri yang berbentuk kokus akan dilanjutkan dengan uji katalase
yang bertujuan untuk membedakan bakteri Micrococcaceae (positif) dan
Streptococcaceae (negatif). Sampel pada gelas objek diteteskan dengan H2O2 3% dan
dicampurkan dengan menggunakan ose. Terbentuknya gelembung-gelembung udara
menandakan bahwa hasil bernilai positif (Hadioetomo 1990). Bakteri yang memiliki
enzim katalase akan menghasilkan gelembung yang disebabkan adanya gas oksigen
dari penguraian H2O2 (Panjaitan et al. 2020). Seluruh bakteri kokus yang diuji katalase
bernilai positif yang berarti merupakan bagian dari Micrococcaceae. Sampel yang
bernilai positif pada uji katalase akan dilanjutkan dengan uji glukosa mikroaerofilik.
Uji glukosa mikroaerofilik dilakukan menggunakan tabung reaksi yang berisi
glukosa. Isolat bakteri diambil 1-2 ose dan diinokulasikan ke dalam tabung dan
dimasukkan dalam anaerobic jar bersama dengan lilin yang menyala sebagai indikator
keberadaan oksigen di dalam jar. Lilin akan padam ketika kadar oksigen di dalam jar
habis, sehingga tercipta suasana mikroaerofilik, dan diinkubasi dalam suhu 37oC
selama 24 jam. Hasil positif fermentasi glukosa dapat dilihat dengan perubahan warna
media menjadi kuning.
Uji lanjutan jika uji katalase positif yaitu uji glukosa mikroaerofilik, hasil uji
menunjukan hasil negatif ditunjukkan pada Gambar 10. Hasil negatif pada uji glukosa
microerofilik dapat disimpulkan genus bakteri dari swab oral salah satunya adalah
Microccus sp. Microccus sp. merupakan flora normal yang tidak patogen namun
adanya faktor penurunan dari sistem imun dapat mendukung terjadinya overgrowth
dari flora normal yang mempengaruhi kesehatan dari hewan.

Gambar 10 uji Glukosa microaerofilik dengan hasil negatif (warna merah).

SIMPULAN
Isolasi bakteri sampel swab ulcer rongga mulut kucing Pippin teridentifikasi
salah satu bakteri dengan jenis Micrococcus sp. Micrococcus sp. tidak termasuk bakteri
patogen namun pada keadaan tertentu bakteri ini dapat mengalami overgrowth yang
mengganggu kesehatan hewan.

DAFTAR PUSTAKA
Afonso MM, Pinchbeck GL, Smith SI, Daly JM, Gaskell RM, Dawson S, Radford
AD. 2017. A Multi National European Cross Sectional Study of Feline
Calicivirus Epidemiology, Diversity and Vaccine Cross Reactivity.
Berger A, Barbara W, Marina LM, Felicitas SB, Sonja H, Anou D, Hans L, Regina
HL. 2015. Feline calicivirus and other repiratory pathogens in cats with
feline calicivirus related symptoms and in clinically healthy cats in switzerland.
BMC Veterinary Research . 11(282): 1-12.
Dewi AK. 2013. Isolasi, identifikasi dan uji sensitivotas Staphylococcus aureus
terhadap amoxicillon dari sampel susu kambing peranakan etawa (PE)
penderita mastitis di wilayah Girimulyo, Kulonproogo, Yogyakarta. JSV. 32(2):
138-150.
Entjang I. 2003. Mikrobiologi & Parasitologi.Bandung : PT Citra Aditya Bakti
Hadioetomo RS. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. Jakarta: PT Gramedia.Hardiansyah et al. 2020
Madigan MT, Martinko JM, Dunlap PV, Clark DP. 2006. Brock Biology of
Microorganisms 12th ed. San Francisco (US): Pearson Education.
Mangindaan REP, Losung F. 1991. Aktivitas hemolitik teripang (Bohadschia graeffei)
dari pantai Malalayang, Sulawesi Utara pada beberapa suhu dan pH. Jurnal
Ilmiah Sains. 13 (1): 27–33.
Panjaitan FJ, Bachtiar T, Arsyad I, Lele OK, Indriyani W. 2020. Karakterisasi
mikroskopis dan uji biokimia bakteri pelarut fosfat (BPF) dari rhizosfer
tanaman jagung fase vegetatif. CIWAL. 1(1): 9-17.
Yeh E, Pinsky BA, Banaei N, Baron EJ. 2009. Hair sheep blood, citrated and
defibrinated, fulfills all requirements of blood agar for diagnostic microbiology
laboratory test. Plos One. 4(7): 1-7.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAL SAMPEL


KEROKAN KULIT KUCING DOMESTIK

Disusun oleh:
Muhammad Emir Kusuma Wardhana B9404231014

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


ROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS IPB
UNIVERSITY
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bakteri merupakan salah satu organisme prokariotik penyebab terjadinya
penyakit. Penyakit kulit adalah salah satu contoh jenis penyakit yang paling banyak
ditemui di negara tropis, seperti Indonesia (Hay et al. 2014). Lingkungan merupakan
salah satu faktor penyebab penyakit kulit, sehingga kulit lebih sensitif terhadap bahan kimia,
bahan fisik serta infeksi mikroorganisme (Srimuddawamah 2015). Organisme yang berada
di permukaan kulit biasanya terdiri atas spesies gram positif antara lain
Corynebacterium tuberculostearium, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus
aureus, dan lain-lain (Byrd et al. 2018).
Staphylococcus adalah genus bakteri Gram-positif yang berbentuk kokus, dan
berbentuk seperti kelompok anggur. Genus ini termasuk bakteri yang umumnya
ditemukan pada kulit dan mukosa, serta pada berbagai permukaan lingkungan. Bakteri
S. aureus dan S. epidermidis mengkontribusi penyebab infeksi kulit secara signifikan,
infeksi kulit oleh bakteri ditandai dengan adanya lesi bernanah, permukaan kulit yang
mengeras, dan terdapat bintil berwarna kekuningan (Alexander et al. 2020). S.
epidermidis merupakan salah satu bakteri golongan Coagulase-negative Staphyloccoci
(CoNS) yang sering menginfeksi jaringan kulit manusia sehingga mengganggu
penampilan penderita. S. epidermidis memiliki kemampuan memecahkan lipid ataupun
karbohidrat menjadi senyawa asam, seperti asam isovalerat. Senyawa asam ini yang
membuat bau pada kaki (Pandey et al. 2011). Menurut Otto (2012) bakteri
Staphylococcus epidermidis umumnya telah resisten terhadap antibiotik penisilin dan
metisilin, penggunaan metisilin menyebabkan resistensi terhadap antibiotik lain seperti
rifamisin, gentamisin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, clindamisin, dan
sulfonamid. Pemberian antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan bakteri patogen
menjadi resisten, selain itu obat-obatan jenis antibiotik relatif lebih mahal (Maftuhah
et al. 2015).

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi jenis bakteri dari
sampel kerokan kulit kucing kasus abses

II METODE

2.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan yaitu ose, kaca objek, mikroskop, inkubator, korek api,
bunsen, dan cotton swab. Bahan yang digunakan yaitu sampel, kapas, label, cristal
violet, lugol, alkohol aseton, safranin, reagen KOH 3%, buffered peptone watered, hasil
kultur bakteri di Blood Agar (BA) dan MacConkey Agar (MCA), dan Tryptic Soy Agar
(TSA), reagen H2O2 3%, glukosa.

2.2 Prosedur Penelitian


1.1.1 Anamnesa
Nama Hewan : Wawa
Jenis Hewan : Kucing
Ras : DSH
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 5-6 tahun
Riwayat vaksinasi : Sudah vaksinasi

1.1.2 Sinyalemen

Gambar 1. Luka kucing Wawa yang diambil sampel dan hasil pemeriksaan
dengan lampu Wood dari sampel kerokan kulit.

Seekor kucing bernama Wawa mengalami luka kulit pada bagian


punggung. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan terdapat beberapa bagian
spot kulit yang mengalami penebalan. Wawa menunjukkan gejala klinis gatal
pruritus, berdasarkan keterangan hasil woodslamp positif.

1.1.3 Persiapan Sampel


Sampel diambil kemudian disimpan dalam eppendorf tube yang telah
diisi NaCl dengan cara di swab kulit lalu dimasukkan ke dalam eppendorf
tube. Sampel disimpan di kulkas sebelum digunakan. Kemudian sampel
diambil dari tube menggunakan ose yang telah disterilkan dengan
pembakaran menggunakan bunsen dan diinokulasi ke media BA. Agar
kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 24 jam.

1.1.4 Rancangan Prosedur

1.1.5 Kultur Bakteri pada Media Blood Agar (BA) dan MacConkey (MCA)

Kultur bakteri yang pada media BA dan MCA dilakukan secara


aseptis. Pertama meja kerja di hapushamakan dengan alkohol kemudian
bunsen dinyalakan dan ose dibakar sampai steril lalu didiamkan sebentar agar
tidak terlalu panas. Sampel diambil menggunakan ose steril sebanyak satu
loop kemudian sampel diinokulasi pada plate BA dan MCA yang telah diberi
label dan tanda 3 kuadran. Kultur yang telah dibuat diinkubasi selama 24 jam
dalam suhu 37oC.

1.1.6 Subkultur Bakteri pada Media Tryptic Soy Agar (TSA)


Subkultur bakteri pada media TSA dilakukan secara aseptis. Pertama
dihapushamakan meja kerja dengan alkohol kemudian dinyalakan bunsen dan
ose dibakar menggunakan bunsen sampai steril dan didiamkan sebentar agar
tidak terlalu panas. Sampel diambil menggunakan ose. Sampel yang diambil
adalah kultur bakteri pada kuadran III karena di daerah tersebut terdapat
koloni terpisah, ditorehkan pada media TSA yang telah diberi label. Kultur
yang telah dibuat diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 37oC.

1.1.7 Uji Reaksi Gram (KOH 3%)


Metode identifikasi bakteri dilakukan dengan meneteskan 1 tetes KOH
3% di atas kaca preparat kemudian bakteri yang telah tumbuh dari metode
TSA diambil dengan jarum ose steril dan digosokkan pada larutan KOH 3%
dan dilakukan pengamatan.

1.1.8 Pewarnaan Gram


Pewarnaan gram dilakukan secara aseptis. Pertama dihapus hamakan
meja kerja dengan alkohol kemudian dinyalakan bunsen dan ose dibakar
menggunakan bunsen sampai steril dan didiamkan sebentar agar tidak terlalu
panas. Kaca objek diberi 1 tetes aquadest untuk membuat suspensi terlebih
dulu, ambil sampel bakteri menggunakan ose letakkan spesimen di tengah
kaca objek sampai homogen. Setelah itu dipanaskan kaca objek dengan
melewatkannya di atas api bunsen sebanyak 2–3 kali agar terfiksasi.
Tuangkan cairan pewarna kristal violet 2-3 tetes pada preparat secara merata
dan ditunggu selama 1 menit, miringkan preparat dan bilas dengan sedikit air
mengalir. Tuangkan cairan lugol pada preparat, ditunggu selama 1 menit,
miringkan kembali preparat dan bilas dengan alkohol aseton mengalir.
Tuangkan counterstain (safranin) pada preparat, ditunggu selama 30 detik
sampai 1 menit. Kemudian preparat dibilas dengan air mengalir, kemudian
preparat dikeringkan. Preparat sudah siap diamati dibawah mikroskop.

1.1.9 Uji katalase


Gelas objek yang telah dibersihkan dengan alkohol 70% diberi penanda
lingkaran dengan marker lalu diteteskan H2O2. Kemudian ose yang yang
telah disterilkan dengan api bunsen ditunggu 1-2 menit. Hasil subkultur
bakteri dari TSA diambil menggunakan ose secukupnya lalu dihomogenkan
dengan H2O2 yang ada di gelas objek. Kemudian hasil dapat diamati jika
terbentuk gelembung maka positif jika hasil tidak terbentuk gelembung maka
negatif.

1.1.10 Uji Glukosa Mikroaerofilik


Media glukosa dan subkultur pada media TSA miring disiapkan. Ose
dipanaskan pada pembakar bunsen dan ditunggu hingga cukup dingin. Ose
disentuhkan pada koloni bakteri di TSA miring lalu diangkat. Bibir tabung
media glukosa dipanaskan lalu ose dicelupkan kedalam media glukosa
kemudian diaduk perlahan. Ose kembali diangkat dan dipanaskan untuk
sterilisasi kembali. Media glukosa yang sudah dicampur bakteri kemudian
dimasukkan kedalam candle jar. Lilin pada candle jar dinyalakan lalu tutup
jar ditutup dengan rapat. Lilin yang padam diamati untuk memastikan bahwa
lingkungan didalam jar bersifat anaerobik. Candle jar dibiarkan selama 1x24
jam pada inkubator suhu 37 °C sebelum dapat dibuka untuk melihat hasil
perubahan warna pada media glukosa.

1.1.11 Uji MSA


Uji Mannitol Salt Agar (MSA) adalah salah satu metode diagnostik
yang umum digunakan untuk isolasi dan identifikasi bakteri Staphylococcus,
terutama Staphylococcus aureus, dari sampel klinis. MSA mengandung
sejumlah bahan penting yang membantu dalam seleksi dan diferensiasi
bakteri Staphylococcus. Seluruh prosedur dilakukan secara aseptis di dekat
pembakar bunsen. Media MSA dipanaskan terlebih dahulu dengan pembakar
bunsen. Ose dipanaskan pada pembakar bunsen dan ditunggu hingga cukup
dingin. Ujung atas tabung media TSA miring dipanaskan, lalu ose
mengambil biakan bakteri lalu digoreskan perlahan pada permukaan media
MSA, diinokulasi secara zigzag. Cawan petri media MSA ditutup dan
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam.

III HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Isolasi bakteri di media BA dan MCA 8/11/2023 pukul 19.00


Gambar 3. Hasil Isolasi kultur di media MCA dan BA 9/11/2023 pukul 20.00

Hasil inkubasi kultur bakteri pada BA terdapat pertumbuhan sedangkan pada


media MCA tidak terdapat pertumbuhan bakteri. Hasil pertumbuhan bakteri BA
terdapat satu koloni yang berbeda pertama bersifat gamma hemolitik. Berikut
ringkasan morfologi kultur bakteri yang ditemukan pada media BA.

Tabel 1. Morfologi Koloni Bakteri

Parameter koloni Blood Agar (BA)

Ukuran kecil

Bentuk bulat

Permukaan rata

Aspek mengkilat

Tepi halus

Elevasi timbul

Pigmentasi putih

Sifat hemolitik Gamma hemolisis

Sifat tembus cahaya opaque


Gambar 4. Media TSA yang sudah ditanam bakteri dari BA

Gambar 5. Hasil Uji KOH 3%

Hasil dari uji KOH menunjukkan bahwa bakteri pada sediaan merupakan
bakteri gram tipe positif dikarenakan ketika bakteri dan reagen bercampur tidak ada
menunjukkan lendir pada sampel. Pengujian KOH 3% pada bakteri mengindikasikan
bakteri gram (+) memiliki dinding sel yang tebal dan lemak yang tipis sedangkan gram
(-) berlemak tebal dan berdinding sel tipis yang berada di ruang periplasma. KOH akan
menyerang lemak (bilayer lipid) dan membuat sel gram (-) pecah. Sel yang pecah akan
melepaskan materi genetik (DNA) yang merupakan substansi melimpah di dalam sel
bakteri (Hardiansyah et al. 2020).
Gambar 6. Hasil Pewarnaan Gram

Hasil pewarnaan gram menunjukkan bahwa sampel yang sudah diberi


pewarnaan terlihat berwarna ungu, berbentuk coccus. Hal ini menunjukkan bahwa
bakteri memiliki sifat gram positif. Golongan bakteri Gram positif adalah bakteri yang
sebagian besar dinding selnya terdiri dari peptidoglikan sehingga bakteri tetap
berwarna ungu karena pewarna kristal violet tetap bertahan setelah pemberian larutan
pemucat (Suardana et al. 2021).

Gambar 7. HAsil Uji Katalase

Hasil uji katalase isolat menunjukkan adanya gelumbung gas yang terbentuk
setelah dihomogenkan dengan sediaan H2O2%, sehingga isolat bakteri tersebut Positif
terhadap uji katalase. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya gelumbung-
gelembung udara dan hasil negatif tidak terbentuknya gelembung-gelembung udara
(Sianipar 2020).
Gambar 8. Hasil Uji Glukosa Mikroaerofilik

Hasil uji glukosa mikroaerofilik terjadi perubahan warna pada glukosa dari
merah menjadi kuning, karena bakteri mampu memfermentasi glukosa (hasil positif).
Hasil ini menunjukkan bahwa bakteri yang diamati merupakan bakteri dari genus
Staphylococcus sp. Uji positif akan jika terjadi perubahan warna pada media glukosa
yang berubah menjadi warna kuning akibat bakteri membentuk asam dari fermentasi
glukosa (Panjaitan et al. 2021).

Gambar 9. Hasil Uji Bakteri pada Media MSA

Hasil uji isolat bakteri pada media mannitol salt agar (MSA) terlihat bakteri
tidak mampu memfermentasi gula atau mannitol sehingga media MSA masih berwarna
merah. Hal ini mengindikasikan bahwa bakteri yang diamati ialah bakteri gram positif
Staphylococcus epidermidis karena merupakan bakteri yang tidak dapat
memfermentasi gula atau mannitol. Bakteri yang tidak mampu memfermentasi
mannitol tampak zona berwarna merah atau merah muda. Zona kuning menunjukkan
adanya fermentasi mannitol, yaitu asam yang dihasilkan, menyebabkan perubahan
phenol red pada agar yang berubah dari merah menjadi berwarna kuning (Panjaitan et
al. 2021)).
VI SIMPULAN

Berdasarkan pengujian yang dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri,


didapatkan hasil bahwa bakteri yang menginfeksi kucing wawa merupakan bakteri
genus Staphylococcus dengan spesies Staphylococcus epidermidis gram positif.
V DAFTAR PUSTAKA

Alexander H, Paller AS, Traidl-Hoffmann C, Beck LA, De Benedetto A, Dhar S,


Girolomoni G, Irvine AD, Spuls P, Su J, Thyssen JP, Vestergaard C, Werfel T,
Wollenberg A, Deleuran M, and Flohr C, 2020. The Role of Bacterial Skin
Infections in Atopic Dermatitis: Expert Statement and Review From The
International Eczema Council Skin Infection Group. British Journal of
Dermatology. 182 (6): 1331–1342.
Byrd AL, Belkaid Y and Segre JA, 2018. The Human Skin Microbiome. Nature
Reviews Microbiology. 16(3): 143–155.
Hardiansyah M, Musa Y, Jaya A. 2020. Identifikasi Plant Growth Promoting
Rhizobacteria pada rizoster bambu duri dengan gram KOH 3%.
Agrotechnology Research Journal. 4(1): 41-46.
Hay RJ, Johns NE, Williams HC, Bolliger IW, Dellavalle RP, Margolis DJ, Marks R,
Naldi L, Weinstock MA, and Wulf SK, 2014. The Global Burden of Skin
Disease in 2010: An Analysis of The Prevalence and Impact of Skin Conditions.
Journal of Investigative Dermatology. 134(6): 1527–1534.
Maftuhah A, Bintari SH, Mustikaningtyas D. 2015. Pengaruh Infusa Daun Beluntas
(Pluchea indica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus epidermidis.
UJLS . 4 (1): 60-65.
Otto M. 2012. Molecular basis of Staphylococcus epidermidis infections. Semin
Immunopathol. 34(2): 201–214.
Pandey SK , Kim KH. 2011. Human Bodyodor Components and Their Determination.
Trends in Analytical Chemistry. 30(5):784-796.
Panjaitan FJ , Bachtiar T , Arsyad I , Lele OK , Indriyani W. Karakterisasi Mikroskopis
Dan Uji Biokimia Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Dari Rhizosfer Tanaman
Jagung Fase Vegetatif. CIWAL. 1(1): 9-17.
Sianipar GWS, Sartini, Riyanto. 2020. Isolasi dan Karakteristik Bakteri Endofit pada
Akar Pepaya (Carica papaya L). JIBIOMA. 2(2): 83-91.
Srimuddawamah I, 2015. Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Kulit Pada Anak
Menggunakan Metode Naïve Bayes. Universitas Brawijaya Press, Malang.
Suardana IW, Dinarini NMAA, Sukrama IDM. 2021. Indetifikasi spesies
streptokokus β-hemolisis hasil isolasi dari nasal dan tonsil babi dengan uji
basitrasin. Bul Vet Udayana. 13(1): 27-33.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAL SAMPEL SWAB


ANUS KUCING DOMESTIK DI SHELTER RUMAH KUCING
PARUNG

Disusun oleh:
Reza Mahdiah Reflianti B9404231053

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024


Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kucing (Felis catus) merupakan salah satu hewan berbulu yang banyak
dipelihara orang (Ngitung 2021). Memelihara kucing tentu perlu
diperhatikan kesehatannya, tidak hanya memberinya makanan dan
minuman yang cukup. Kucing sangat rentan untuk terkena penyakit apabila
tidak dirawat dengan baik. Penyakit pada kucing seringkali disebabkan
adanya virus, parasit, atau bakteri yang melekat di dalam tubuh kucing
(Chazar et al. 2019). Infeksi disebabkan bakteri banyak menyerang
gastrointestinal kucing. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
menunjukkan gejala yakni diare, penurunan nafsu makan, lemah, anoreksia,
dan lainnya yang dapat diteguhkan oleh pemeriksaan feses (Robbie et al.
2020).
Bakteri merupakan sebuah kelompok mikroorganisme yang termasuk
dalam golongan prokariot yang strukturnya lebih sederhana dari eukariot
(Bamford dan Gillespie 2009). Bakteri dengan transmisi melalui makanan
dapat menyebabkan diare pada kucing, bila tidak ditangani lebih lanjut akan
menyebabkan dehidrasi bahkan kematian. Pemeriksaan mikroskopis
ulasan secara langsung merupakan metode yang efisien dan
mempermudah untuk mendeteksi bakteri (Chairlan 2011). Metode
pewarnaan Gram merupakan salah satu teknik pewarnaan yang bertujuan
menentukan apakah bakteri tersebut dalam kelompok bakteri Gram positif
atau bakteri Gram negatif.

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi jenis bakteri
pada sampel swab anus kucing domestik di shelter Rumah Kucing Parung.
II METODE

2.1 Waktu dan Tempat


Pengambilan sampel telah dilakukan pada Kamis, tanggal 9 November
2023. Sampel yang diambil adalah swab anus dari kucing di shelter Rumah
Kucing Parung.

2.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan yaitu cotton swab steril, Buffered Peptone Water
(BPW), cool box, gloves, masker, label, ose bulat, kaca objek, mikroskop,
inkubator, korek api, spidol, penggaris, dan bunsen. Bahan yang digunakan
yaitu sampel feses dari swab anus kucing, kapas, alkohol, kristal violet, lugol,
safranin, aseton alkohol, KOH 3%, KOH 40%, Blood Agar (BA), MacConkey
Agar (MCA), Tryptone Soya Agar (TSA), Methyl Red Vages-Proskauer (MR-
VP), Triple Sugar Iron Agar (TSIA), merah metil, alpha napthol, media gula
yang terdiri dari glukosa, laktosa, sukrosa, maltosa, dan manitol, media sitrat,
media urea, media indol, reagen erlich, Chocolate Agar (CA), reagen oksidase,
dan H2O2 3%.

2.3 Prosedur Kerja


2.3.1 Anamnesis
Sampel diambil dari swab anus kucing di shelter Rumah Kucing Parung
yang menunjukkan gejala diare, tidak nafsu makan, dan lesu. Kucing sudah
diberi pengobatan dengan obat racik dari dokter hewan. Obat racik dari dokter
hewan diminta dihabiskan yang mengindikasikan mengandung antibiotik,
namun dengan wawancara pemilik dan pemelihara, tidak dapat diketahui
komponen pasti obatnya. Kucing memiliki riwayat telah mendapatkan vaksin
rabies.
2.3.2 Sinyalemen

Gambar 1 Kucing kasus


Nama : Kucing
Umur : 1 tahun
Jenis kelamin : Betina
Status steril : Steril
Ras : Domestic Short Hair (DSH)
Temuan klinis : Diare sejak kemarin, baru diberikan obat racik dari
dokter hewan
saat pengambilan sampel, tidak ada muntah
Diagnosis : Gastroenteritis

2.3.3 Persiapan Sampel


Sampel swab anus diambil dari kucing. Pengambilan sampel dilakukan
setelah proses handling kucing dilakukan dengan baik dan benar. Pengambilan
sampel dilakukan menggunakan cotton swab steril dengan cara memasukkan
bagian ujung cotton swab steril pada anus kucing. Hasil swab dimasukkan ke
dalam tabung reaksi berisi Buffered Peptone Water (BPW) dan diberi
keterangan dalam label. Tabung reaksi yang berisi BPW ditutup dan
dimasukkan dalam cool box yang di dalamnya sudah tersedia ice pack,
kemudian dibawa ke laboratorium untuk di kultur ke media MacConkey Agar
(MCA) dan Blood Agar (BA). Sampel kemudian diambil dari tabung reaksi
menggunakan ose yang telah disterilkan dengan pembakaran menggunakan
bunsen dan dilakukan goresan ke media MCA dan BA dengan teknik T
(Gambar 2). Kedua media (MCA dan BA) kemudian diinkubasi di dalam
inkubator dengan suhu 37 oC selama 24–48 jam.
Gambar 2 Teknik T pada media agar

2.3.4 Kultur Bakteri pada Media MacConkey Agar (MCA) dan Blood Agar
(BA)
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyemprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga
membara untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose
diperkirakan tidak terlalu panas. Sampel kemudian di ambil dan di torehkan ke
media MCA dan BA dengan memanaskan pinggiran plate agar untuk mencegah
kontaminasi bakteri dari luar. Penutup plate dibuka namun tidak terlalu besar
kemudian sampel diambil menggunakan ose dan ditorehkan ke plate agar
dalam 3 kuadran. Media MCA dan BA diinkubasi selama 24–48 jam dalam
suhu 37 oC.

a b
Gambar 3 Kultur pada media (a) BA dan (b) MCA (9/11/2023)
2.3.5 Sub-kultur bakteri dari media MCA ke media Tryptone Soya Agar
(TSA)
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyemprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga
membara untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose
diperkirakan tidak terlalu panas. Sampel kemudian diambil dari media MCA
menggunakan koloni 1 (Tabel 1) dan di torehkan ke media TSA dengan
memanaskan pinggiran tabung reaksi agar untuk mencegah kontaminasi bakteri
dari luar. Penutup plate dibuka, namun tidak terlalu besar kemudian sampel
diambil menggunakan ose dan digoreskan ke tabung reaksi media TSA. Media
TSA diinkubasi selama 18–24 jam pada suhu 37 oC.

Gambar 4 Subkultur bakteri di media TSA (10/11/2023)

2.3.6 Pewarnaan Gram


Pewarnaan Gram dilakukan secara aseptis dengan menghapus hamakan
meja kerja dengan alkohol kemudian menyalakan bunsen. Ose dibakar
menggunakan bunsen sampai steril dan didiamkan agar tidak terlalu panas.
Kaca objek diberi 1 tetes aquades untuk membuat suspensi, kemudian sampel
diambil menggunakan ose dan spesimen diletakkan di tengah kaca objek hingga
homogen. Setelah itu, kaca objek dipanaskan di atas api bunsen agar terfiksasi.
Cairan pewarna kristal violet dituangkan 2–3 tetes pada preparat secara merata
dan ditunggu selama 1 menit, kemudian preparat dimiringkan dan dibilas
dengan air mengalir. Cairan lugol dituangkan pada preparat, kemudian
ditunggu selama 1 menit, dan preparat dimiringkan kembali untuk dibilas
dengan aseton alkohol yang mengalir. Safranin dituangkan pada preparat,
kemudian ditunggu selama 15 detik. Preparat selanjutnya dibilas dengan air
mengalir, kemudian preparat dikeringkan. Preparat diamati dibawah mikroskop
dengan pembesaran 1000x menggunakan minyak emersi.
2.3.7 Uji Reaksi Gram dengan KOH 3%
Metode identifikasi bakteri dilakukan dengan meneteskan 1 tetes KOH
3% di atas kaca objek, kemudian bakteri yang telah tumbuh di media TSA
diambil dengan ose steril dan digosokkan pada larutan KOH 3%, selanjutnya
dilakukan pengamatan.

2.3.8 Uji Methyl Red Vages-Proskauer (MR-VP)


Uji MR-VP dilakukan secara aseptis dengan menghapus hamakan meja
kerja dengan alkohol kemudian menyalakan bunsen. Ose dibakar menggunakan
bunsen sampai steril dan didiamkan agar tidak terlalu panas. Biakkan bakteri
dari media TSA diambil menggunakan ose, kemudian diinokulasikan pada
media cair MR-VP dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37 oC. Setelah 48
jam inkubasi, media cair MR ditambahkan 3–4 tetes merah metil, sedangkan
media VP ditambahkan 10 tetes larutan alpha naphtol dan KOH 40%. Uji
positif ditandai dengan warna larutan yang berubah menjadi warna merah yang
menandakan fermentasi asam campuran.

Gambar 5 Uji MR-VP

2.3.9 Uji Fermentasi Gula


Uji fermentasi gula dilakukan secara aseptis dengan menghapus
hamakan meja kerja dengan alkohol kemudian menyalakan bunsen. Ose
dibakar menggunakan bunsen sampai steril dan didiamkan agar tidak terlalu
panas. Biakkan bakteri dari media TSA diambil menggunakan ose, kemudian
diinokulasikan pada media yang mengandung gula yaitu, glukosa, laktosa,
sukrosa, maltosa, dan manitol. Semua media gula diinkubasi selama 24–48 jam
pada suhu 37 oC.
Gambar 6 Uji fermentasi gula

2.3.10 Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)


Uji TSIA dilakukan secara aseptis dengan menghapus hamakan meja
kerja dengan alkohol kemudian menyalakan bunsen. Ose dibakar menggunakan
bunsen sampai steril dan didiamkan agar tidak terlalu panas. Biakkan bakteri
dari media TSA diambil menggunakan ose, kemudian diinokulasikan pada
media TSIA dan diinkubasi selama 18–24 jam pada suhu 37 oC.

Gambar 7 Uji TSIA

2.3.11 Uji Sitrat


Uji sitrat dilakukan secara aseptis dengan menghapus hamakan meja
kerja dengan alkohol kemudian menyalakan bunsen. Ose dibakar menggunakan
bunsen sampai steril dan didiamkan agar tidak terlalu panas. Biakkan bakteri
dari media TSA diambil menggunakan ose, kemudian diinokulasikan pada
media sitrat dan diinkubasi selama 24–48 jam pada suhu 37 oC.
Gambar 8 Uji sitrat
2.3.12 Uji Urea
Uji urea dilakukan secara aseptis dengan menghapus hamakan meja
kerja dengan alkohol kemudian menyalakan bunsen. Ose dibakar menggunakan
bunsen sampai steril dan didiamkan agar tidak terlalu panas. Biakkan bakteri
dari media TSA diambil menggunakan ose, kemudian diinokulasikan pada
media urea dan diinkubasi selama 24–48 jam pada suhu 37 oC.

Gambar 9 Uji urea


2.3.13 Uji Indol
Uji indol dilakukan secara aseptis dengan menghapus hamakan meja
kerja dengan alkohol kemudian menyalakan bunsen. Ose dibakar menggunakan
bunsen sampai steril dan didiamkan agar tidak terlalu panas. Biakkan bakteri
dari media TSA diambil menggunakan ose, kemudian diinokulasikan pada
media indol dan diinkubasi selama 24–48 jam pada suhu 37 oC. Setelah
diinkubasi, media ditetesi 3–5 tetes reagen Erlich.
Gambar 10 Uji indol

2.3.14 Kultur bakteri pada Chocolate agar (CA) dari media TSA
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyemprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga
membara untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose
diperkirakan tidak terlalu panas. Sampel dari media TSA kemudian di ambil
dan di torehkan ke media CA dengan memanaskan pinggiran plate agar untuk
mencegah kontaminasi bakteri dari luar. Penutup plate dibuka namun tidak
terlalu besar kemudian sampel diambil menggunakan ose dan ditorehkan ke
plate agar dalam 3 kuadran. Media CA diinkubasi selama 24–48 jam dalam
suhu 37 oC.

Gambar 11 Kultur pada media CA (14/11/2023)

2.3.15 Uji Oksidase


Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyemprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga
membara untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose
diperkirakan tidak terlalu panas. Sampel dari media TSA kemudian di ambil
dan di torehkan ke atas kaca objek ditutup dengan kertas saring, kemudian
ditetesi larutan reagen oksidase.
2.3.16 Uji Katalase
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyemprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga
membara untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose
diperkirakan tidak terlalu panas. Kaca objek ditetesi 1–2 tetes H2O2 3%,
kemudian sampel dari media TSA di ambil dan di torehkan ke atas kaca objek.
III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil kultur bakteri pada media MacConkey Agar (MCA) dan Blood Agar
(BA)
Setelah media agar yang telah ditanami bakteri dan di inkubasi selama
kurang lebih 18–24 jam maka selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi
dari koloni bakteri yang tumbuh pada media agar tersebut (Tabel 1). Bakteri
terlihat tumbuh pada media MCA maupun pada media BA.

Koloni
yang
diambil

Gambar 12 Hasil kultur di media MCA dan BA (10/11/2023)

Media MCA termasuk dalam media selektif dan diferensial yang


digunakan untuk mengisolasi bakteri gram negatif berdasarkan kemampuan
bakteri memfermentasi laktosa atau tidak. Media ini akan menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif, maka hanya bakteri gram negatif saja yang
akan tumbuh pada media MCA. Banyak bakteri gram negatif yang dapat
dibedakan dengan MCA, terutama spesies bakteri penyebab gastroenteritis
(Humpries dan Linscott 2015). Bakteri enterik gram negatif adalah penyebab
umum gastroenteritis bacterial, yang ditandai diare, muntah, dan kram perut.
Media BA merupakan media non-selektif yang dapat digunakan untuk
bakteri yang memiliki kemampuan dalam melisiskan sel darah merah, media
ini dapat digunakan untuk pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme yang
tidak mudah tumbuh. Media BA mampu dengan baik menumbuhkan bakteri
dikarenakan morfologi dan komposisi dari eritrosit yang dimiliki domba
(Nurhidayanti 2019).
Tabel 1 Morfologi koloni bakteri pada media MCA

Parameter koloni Koloni 1 Koloni 2

Ukuran Kecil Kecil


Bentuk Bulat Bulat
Permukaan Rata Rata
Aspek Mengkilat Tidak mengkilat
Tepi Halus Halus
Elevasi Tidak timbul Timbul
Pigmentasi Putih Merah
Sifat Tembus Cahaya Opaque Opaque

Terdapat 2 koloni pada media MCA dengan karakteristik morfologi


bakteri koloni 1 dengan ukuran kecil, berbentuk bulat, permukaan rata, aspek
mengkilat, tepi halus, elevasi koloni tidak timbul, pigmentasi putih, sifat
tembus cahaya opaque. Karakteristik morfologi koloni bakteri 2 yaitu ukuran
kecil, bentuk bulat, permukaan rata, aspek tidak mengkilat, tepi halus, elevasi
timbul, pigmentasi merah, dan sifat tembus cahaya opaque.

3.2 Hasil sub-kultur bakteri di media Tryptone Soya Agar (TSA)


Setelah koloni dari media MCA dipindahkan dan ditanami bakteri ke
media TSA dan di inkubasi selama kurang lebih 18–24 jam. Bakteri terlihat
tumbuh pada media TSA. TSA adalah media pertumbuhan non-selektif dengan
tujuan untuk mendukung pertumbuhan bakteri gram positif maupun bakteri
gram negatif. Media ini digunakan dalam budidaya, penyimpanan,
pemeliharaan, dan pengangkutan kultur murni bakteri.

Gambar 13 Hasil subkultur bakteri di media TSA (11/11/2023)


3.3 Hasil pewarnaan Gram

Bakteri gram
negative
coccus

Gambar 14 Hasil pewarnaan Gram

Salah satu cara mengklasifikasikan bakteri adalah dengan pewarnaan Gram,


dimana bakteri dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif. Bakteri gram negatif berwarna merah, sedangkan bakteri gram positif
berwarna ungu (Naue et al. 2022). Fungsi pewarnaan bakteri terutama memberi warna
pada sel atau bagian-bagiannya, sehingga menambah kontras dan tampak lebih jelas.
Bakteri yang terwarnai jika termasuk gram positif akan mempertahankan zat pewarna
kristal violet, sedangkan bakteri gram negatif akan kehilangan zat pewarna kristal
violet setelah dicuci dengan zat pemucat dan diberi pewarna safranin (Susanto 2016).
Hasil dari pewarnaan Gram menunjukkan bahwa bakteri pada sediaan merupakan
bakteri gram tipe negatif dikarenakan terlihat koloni berwarna merah dan bakteri
terlihat berbentuk coccus. Tergolong bakteri gram negatif karena bakteri tersebut
kehilangan zat pewarna kristal violet setelah dicuci dengan zat pemucat dan kemudian
mengambil zat warna kedua yang berwarna merah yang berasal dari safranin. Fungsi
zat safranin disini adalah hanya sebagai pembeda (kontras) terhadap zat warna kristal
violet (Hidayat dan Alhadi 2012). Perbedaan respon terhadap mekanisme pewarnaan
gram pada bakteri adalah didasarkan pada struktur dan komposisi dinding sel bakteri.
Struktur dinding sel juga memengaruhi warna dari bakteri gram negatif. Dinding
bakteri gram negatif memiliki kandungan lipida yang tinggi dibandingkan bakteri gram
positif. Bakteri gram negatif mempunyai tiga lapisan dinding sel. Lapisan terluar yaitu
lipopolisakarida (lipid) kemungkinan tercuci oleh zat pemucat, sehingga pada saat
diwarnai dengan safranin akan berwarna merah. Hal ini juga mengakibatkan bakteri
gram negatif mampu mengikat warna merah safranin.
3.4 Hasil uji KOH 3%

Adanya
lendir

Gambar 15 Hasil uji KOH 3%

Metode gram dengan pengujian KOH 3% merupakan metode identifikasi


bakteri yang baik dalam menentukan jenis dominan bakteri yang aktif yang ditandai
dengan adanya lendir. Penentuan sifat gram dengan KOH 3% memiliki hasil yang sama
dengan pengujian pewarnaan gram. Hasil dari uji menggunakan KOH 3%
menunjukkan hasil yang negatif ditandai dengan adanya lendir pada reaksi bakteri
dengan KOH 3%. Pengujian KOH 3% pada bakteri mengindikasikan bakteri gram
positif memiliki dinding sel yang tebal dan lemak yang tipis, sedangkan gram negatif
berlemak tebal dan berdinding sel tipis yang berada di ruang periplasma (Hardiyansyah
et al. 2020). KOH 3% akan menyerang lemak (bilayer lipid) dan membuat sel gram
negatif pecah. Sel yang pecah akan melepaskan materi genetik (DNA) yang merupakan
substansi melimpah di dalam sel bakteri. Molekul DNA sangat panjang bersifat sticky
strings (menyerupai lendir, getah atau dapat berarti lengket) yang memberikan hasil
seperti lendir saat diangkat dengan ose (Edwin 2011).

3.5 Hasil uji Methyl Red Vages-Proskauer (MR-VP)

a b
Gambar 16 Hasil uji (a) MR dan (b) VP
Uji MR-VP (Methyl Red Voges-Proskauer) dilakukan untuk mengetahui
kemampuan bakteri dalam mengoksidasi glukosa dengan menghasilkan asam dengan
konsentrasi tinggi sebagai hasil akhirnya dan hasil asam yang terbentuk berubah
menjadi merah dengan ditambahkannya reagen metil merah (Sunatmo 2007). Hasil
dari uji menggunakan MR menunjukkan hasil yang positif ditandai dengan adanya
cincin merah pada atas tabung. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri selulolitik
hasil isolasi mampu mengoksidasi glukosa menjadi asam secara sempurna. Tabung VP
menunjukkan hasil positif dengan adanya perubahan warna merah muda pada tabung.
Uji VP ditujukan untuk mengevaluasi kemampuan organisme menghasilkan substansi
non asam atau produk akhir netral seperti asetilmetil karbonil dari asam organik sebagai
hasil metabolisme glukosa.

3.6 Hasil uji fermentasi gula

Gambar 17 Hasil uji fermentasi gula

Pengujian fermentasi gula atau biasa disebut uji gula-gula dilakukan untuk
mengidentifikasi bakteri yang mampu memfermentasi karbohidrat. Uji fermnetasi gula
yang digunakan ini adalah maltosa, sukrosa, laktosa, glukosa, dan manitol. Pengujian
fermentasi gula ditandai dengan adanya perubahan warna dari warna merah menjadi
warna kuning dan juga terlihat adanya pembentukan gelembung gas pada tabung.
Perubahan warna yang terjadi menandakan bahwa bakteri ini membentuk asam dari
fermentasi gula. Hasil dari uji fermentasi gula menunjukkan hasil positif pada media
glukosa, maltosa, dan manitol ditandai dengan perubahan warna menjadi warna
kuning, sedangkan pada media sukrosa dan laktosa uji menunjukkan hasil negatif
ditandai dengan tidak adanya perubahan warna pada media. Hal ini menunjukkan
bahwa bakteri dapat memfermentasi glukosa, maltosa, dan manitol, sedangkan bakteri
tidak mampu memfermentasi sukrosa dan laktosa.
3.7 Hasil uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)

Gambar 18 Hasil uji TSIA

Uji TSIA (Triple Sugar Iron Agar) terdiri atas sukrosa, laktosa, dan glukosa.
Uji TSIA merupakan salah satu uji biokimia yang bertujuan untuk mengonfirmasi
apakah mikroorganisme yang ditemukan termasuk kedalam kelompok bakteri yang
dapat memfermentasi beberapa jenis gula sehingga membentuk asam atau basa
(Antriana 2014). Kadang kala terpecah akibat pembentukan gas ditandai dengan
adanya rongga-rongga dibagian blunt media oleh kelompok isolat bakteri yang mampu
menghasilkan gas (Wahyuni et al. 2018). Hasil yang didapatkan pada uji TSIA
menunjukkan terbentuknya warna kuning di bagian slunt (bersifat asam) dan merah di
bagian blunt (bersifat basa). Mutmainnah et al. (2008), menyatakan apabila bagian
slant dan blunt berwarna kuning membuktikan bakteri mampu memfermentasi
glukosa, laktosa, dan sukrosa. Pembentukan gas ditandai dengan adanya media retak
dan terangkat, dan pembentukan H2S ditandai dengan terbentuknya cincin hitam pada
media.

3.8 Hasil uji sitrat

Gambar 19 Hasil uji sitrat


Uji sitrat bertujuan untuk melihat kemampuan bakteri dalam menggunakan
sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi (Ulfa et al. 2016). Hasil positif
akan ditunjukkan dengan adanya perubahan warna media dari hijau menjadi biru. Hal
ini disebabkan karena penggunaan sitrat oleh bakteri menyebabkan asam menghilang
dari biakan sehingga terjadi peningkatan pH dan mengubah warna media dari hijau
menjadi biru. Uji sitrat menunjukkan hasil negatif ditandai dengan media tabung tetap
berwarna hijau. Hal ini berarti bakteri tidak memanfaatkan sitrat sebagai sumber
karbon yang ditunjukan tidak adanya perubahan warna pada media uji sitrat.

3.9 Hasil uji urea

Gambar 20 Hasil uji urea

Uji urea bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri mengubah urea


menjadi amonia, yang berarti bakteri memiliki enzim urease (Ulfa et al. 2016). Bakteri
tertentu dapat menghidrolisis urea dan membentuk ammonia dengan menimbulkan
warna merah karena indikator phenol red. Terbentuknya ammonia menyebabkan nilai
pH menjadi alkali sehingga jika uji urea terjadi warna merah muda pada media berarti
hasil uji positif. Media untuk uji urease menggunakan Urea Base Agar. Uji urea
menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tabung berwarna kekuningan. Hal ini
berarti bakteri pada media tidak memiliki enzim urease, sehingga bakteri tidak
memiliki kemampuan untuk mengubah urea menjadi ammonia.

3.10 Hasil uji indol

Gambar 21 Hasil uji indol


Uji Indol dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri memecah triptofan
asam amino membentuk senyawa Indol (Rifai 2021). Triptofan dihidrolisis oleh
triptofanase dan menghasilkan tiga produk yang salah satu diantaranya adalah indol.
Produksi indol dari triptofan adalah salah satu tes diagnostik yang digunakan dalam
mengidentifikasi bakteri enterik. Produksi indol ini terdeteksi oleh reagen Kovac dan
bereaksi menghasilkan senyawa berwarna merah. Reagen Kovac digunakan untuk
mendeteksi kehadiran indol, yang merupakan salah satu produk dari oksidasi bakteri
dari asam amino dan triptofan. Triptofan adalah asam amino yang bisa dioksidasi oleh
beberapa bakteri dan membentuk tiga produk akhir utama yaitu indol, asam piruvat,
dan ammonia (Rifai 2021). Deteksi indol mengindikasikan degradasi triptofan dan
dapat dicapai oleh penambahan aldehida tertentu untuk membentuk lapisan berwarna.
Bahan aktif dalam Kovac Reagen yaitu pdimethylaminobenzaldehyde, bereaksi dengan
indol untuk membentuk produk akhir berupa lapisan merah muda-merah yang sangat
terlihat. Uji indol menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak terbentuknya
lapisan merah pada atas tabung. Hal ini berarti bakteri tidak mampu memecah triptofan
asam amino membentuk senyawa indol.

3.11 Hasil uji kultur pada media Chocolate Agar (CA)

Gambar 22 Hasil kultur di media CA

Media Chocolate Agar (CA) adalah media pertumbuhan nonselektif yang


digunakan untuk isolasi bakteri non patogen maupun bakteri patogen. Bakteri patogen
paling umum yang tumbuh pada media CA meliputi spesies Neisseria gonorrhoeae
dan Haemophilus, tetapi tidak menutup kemungkinan bakteri lain dapat tumbuh juga
di media CA. Media CA pada dasarnya sama dengan media BA, hanya saja pada media
CA berisi sel darah merah yang telah dilisiskan dengan pemanasan. Pemanasan
menonaktifkan enzim yang dapat mendegradasi NAD. Lisis sel darah merah
memberikan medium warna coklat pada media. Hasil inkubasi kultur bakteri pada
media CA terdapat pertumbuhan bakteri.
3.12 Hasil uji oksidase

Gambar 23 Hasil uji oksidase

Uji oksidase berfungsi untuk menentukan ada tidaknya enzim oksidase pada
bakteri. Bila koloni berubah warna menjadi violet pada kertas oksidase menunjukkan
hasil positif pada uji oksidase, sementara hasil uji oksidase negatif ditandai dengan
warna merah pada kertas oksidase. Uji oksidase menunjukkan hasil negatif ditandai
dengan tidak adanya perubahan warna pada kertas saring, yang berarti tidak adanya
enzim oksidase pada bakteri.

3.13 Hasil uji katalase

Gambar 23 Hasil uji katalase

Uji katalase berfungsi untuk menentukan ada tidaknya enzim katalase pada
bakteri. Katalase adalah enzim yang mengkatalisasi penguraian hidrogen peroksida
(H2O2). Hidrogen peroksida bersifat toksik terhadap sel karena bahan ini dapat
menginaktivasikan enzim dalam sel (Lay 1994). Bila terjadi pembentukan gelembung
udara, maka uji bersifat positif dan apabila tidak terbentuk gelembung-gelembung
udara maka uji bersifat negatif. Uji katalase menunjukkan hasil positif ditandai dengan
adanya gelembung udara pada kaca objek yang berarti bakteri dapat menghasilkan
enzim katalase dengan memecah H2O2 menjadi H2O dan O2.
Tabel kemungkinan bakteri
Bakter Morfol Sif M V Fermentasi Gula TS Uji Uji Uji Motil Oksi Kat
i ogi at R P IA Sitr Ure Ind itas dase alas
Gr at a ol e
am G L S M M
L N
Isolat Staphyl - + + + - - + + A/K - - - - - +
Reza ococcus (-
H2S)
Neisse Diploco - + + + - + + - (- - + - + +
ria ccus H2S)
Morax Diploco - - - - (- - - - +
ella ccus H2S)
Acinet Staphyl - + + + - - + - A/K - - - - - +
obacte ococcus (-
r H2S)
Veillon Staphyl - - - + + - K/K - - - - _
eila ococcus (+H2
S)
SIMPULAN
Berdasarkan hasil isolasi dan pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa hasil isolasi dan identifikasi bakteri dari asal sampel swab anus kucing domestik
di shelter Rumah Kucing Parung didapat jenis bakteri yaitu Acinetobacter sp.
DAFTAR PUSTAKA

Antriana N. 2014. Isolasi Bakteri Asal Saluran Pencernaan Rayap Pekerja


(Macrotermes spp.). Saintifika Jurusan PMIPA. 16(1): 18-28.
Bamford K, Gillespie S. 2009. Mikrobiologi Medis dan Infeksi Edisi 3.
Jakarta: erlangga.
Chairlan. 2011. Pedoman Dasar untuk Laboratorium Kesehatan Edisi 2.
Jakarta : EGC.
Chazar C, Harani NH, Kurniawan A. 2019. Sistem pakar untuk
mendiagnosa penyakit pada kucing menggunakan metode naïve
bayes. Jurnal Teknik Informatika. 11(1): 18-24.
Edwin. 2011. Materi Kuliah Mikrobiologi. Banjarbaru: Universitas
Lambung Mangkurat.
Hardiansyah MY, Musa Y, Jaya AM. 2020. Identifikasi plant growth
promoting rhizobacteria pada rizosfer bambu duri dengan gram KOH
3%. Agrotechnology Research Journal. 4(1): 41-46.
Hidayat R, Alhadi F. 2012. Identifikasi streptococcus equi dari kuda yang
diduga menderita strangles. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI).
17(3): 199-203.
Humphries RM, Linscott AJ. 2015. Panduan Praktis Laboratorium
Mikrobiologi Klinik: Diagnosis Gastroenteritis Bakterial. Clin
Microbiol.
Lay B. 1994. Analisa mikrobiologi di Laboratorium. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Mutmainnah HRB, Gobel N, Djide Z, Dwyana. 2008. Isolasi dan
Karakterisasi Bakteri Probiotik dari Saluran Pencernaan Ayam
Kampung Gallus domesticus. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hassanuddin Makasar.
NauE DB, Karneli, Syailendra A, Syafitri I, Wulandari S, Julianti W. 2022.
Buah BIT (Beta vulgaris L.) sebagai alternatif safranin pada
pewarnaan gram. Jurnal Kesehatan. 24(12): 19-24.
Nurhidayanti. 2019. Pemanfaatan darah sisa transfuse dalam pembuatan
media BAP untuk pertumbuhan bakteri Streptococcus pyogenes.
Jurnal Indobiosains. 1(2): 63-69.
Ngitung R. 2021. Karakteristik perilaku kucing domestik. Jurnal
Sainsmat. 10(1): 78-84.
Rifai KR. 2021. Uji indole sebagai kegiatan penjaminan mutu tambahan
pada hasil pengujian coliform dalam sampel air mineral. Jurnal
Teknologi Proses dan Inovasi Industri. 6(1): 1-6.
Robbie MH, Fajeria AL, Pratiwi L, Aeka A. 2020. Protozoa
gastrointestinal: Helminthiasis dan koksidiosis pada kucing
domestik. Jurnal Unair. 3(3): 97-110.
Sunatmo TI. 2007. Eksperimen Mikrobiologi dalam Laboratorium.
Jakarta: Ardy Agency.
Susanto H. 2016. Pemeriksaan Protozoa, Helminthes. Depok: PPPPTK
Bisnis dan Pariwisata.
Ulfa A, Suarsini E, Muhdhar MHIA. 2016. Isolasi dan uji sensitivitas
merkuri pada bakteri dari limbah penambangan emas di Sekotong
Barat Kabupaten Lombok Barat: penelitian pendahuluan. Proceeding
Biology Education Conference. 13(1): 793-799.
Wahyuni RMA, Sayuti M, Abrar, Erina M, Hasan, Zainuddin. 2018.
Isolasi dan identifikasi bakteri enterik patogen pada badak sumatera
(Dicerorhinus Sumatrensis) di Suaka Rhino Sumatera (SRS), Taman
Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung. JIMVET. 2(4):474- 487.
LAPORAN KEGIATAN PPDH

LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI DARI


NASAL DISCHARGE KUCING GEBOOK

Disusun oleh:
Shafa Adela Putri B9404231068

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kucing merupakan salah satu hewan yang populer dijadikan sebagai
hewan peliharaan di dunia. Namun, kucing juga menjadi salah satu hewan yang
rentan untuk terkena penyakit dan terjadi gangguan pada tubuhnya. Gangguan
pada kucing dapat menyerang berbagai sistem organ tubuh seperti sistem
respirasi. Sistem respirasi memiliki dua bagian penting yaitu organ respirasi dan
saluran respirasi. Sistem saluran respirasi dibagi menjadi dua kelompok yaitu
saluran respirasi atas dan saluran respirasi bawah. Gangguan yang terjadi pada
sistem respirasi dapat melibatkan organ atau saluran pernapasan, yang dapat
menimbulkan gejala seperti batuk, bersin, hingga sesak napas. Gangguan atau
penyakit yang umum menyerang kucing yaitu disebabkan oleh adanya infeksi
virus, jamur, hingga bakteri.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan identifikasi bakteri dari kucing
yang diduga mengalami flu, serta mengetahui mekanisme patogenesis terhadap
bakteri yang diidentifikasi.
II METODE PENELITIAN

2.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan yaitu ose bulat, ose jarum, inkubator, Buffer Pepton
Water (BPW), korek api, bunsen, kulkas, kertas saring, tisu, object glass,
mikroskop, dan cotton swab. Bahan yang digunakan yaitu sampel nasal discharge ,
NaCl, kapas, Blood Agar (BA), Mac Conkey Agar, Tryptic Soy Agar (TSA),
kristal violet, lugol, safranin, aseton alkohol, minyak emersi, KOH 3%, larutan
glukosa, larutan laktosa, larutan maltosa, larutan manitol, larutan sukrosa, cairan
oksidase, media Sulfid Indol Motility, reagen Erlich, dan reagen H2O2.

2.2 Prosedur Penelitian


2.2.1 Anamnesa
Sampel diambil dari kucing yang menalami bersin-bersin dan
ada nasal discharge. Kucing sempat mendapatkan treatment yaitu
antibiotik dan nebuliser (pemberian ventolin dan gentamisin) namun
belum sembuh.

2.2.2 Sinyalemen
Nama Hewan : Gebook
Jenis Hewan : Kucing
Ras : Domestic short hair
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 3 tahun
Gejala : discharge pada nasal
Sampel : swab nasal

Gambar 1 Kucing Gebook disertai nasal discharge


2.2.3 Persiapan Sampel
Sampel didapat dari leleran hidung pada kucing yang
menderita flu. Sampel diusap menggunakan cotton swab, lalu
dimasukkan ke tabung yang telah berisi Buffer Pepton Water (BPW).
Tahap selanjutnya, sampel langsung dikultur di media MCA dan media
BA dengan mengambil sampel menggunakan ose steril, lalu diinkubasi
di inkubator dengan suhu 37 °C selama 18–24 jam untuk diamati pada
keesokan harinya.
2.2.4 Rancangan Prosedur
Prosedur selanjutnya untuk media Mac Conkey Agar dilakukan
pengamatan hingga 48 jam. Koloni terpisah biakan bakteri pada media
Blood Agar (BA) selanjutnya disubkultur pada media agar Tryptic Soya
Agar (TSA) dan kemudian diinkubasi 37 °C selama 18–24 jam.
2.2.5 Kultur Bakteri pada Media Blood Agar (BA) dan Mac Conkey Agar
(MCA)
Kultur bakteri dilakukan secara aseptis dengan menyemprotkan
meja menggunakan alkohol sebelum bekerja dan menyalakan bunsen.
Ose disterilkan dengan dibakar diatas bunsen hingga membara dan
ditunggu beberapa saat hingga ose diperkirakan tidak terlalu panas.
Sampel kemudian di ambil dan di torehkan ke media BA dan MCA
dengan memanaskan pinggiran plate agar untuk mencegah kontaminasi
bakteri dari luar. Penutup plate dibuka namun tidak terlalu besar
kemudian discharge diambil menggunakan ose dan ditorehkan ke plate
agar dengan metode T-streak dalam 3 kuadran. Agar diinkubasi selama
24 jam dalam suhu 37 oC.

Gambar 2 Goresan T 3 kuadran

2.2.6 Subkultur Bakteri pada Media Trptic Soy Agar (TSA)


Agar miring Tryptic Soy Agar (TSA) disiapkan. Koloni bakteri
yang tumbuh dari plat agar BA dipindahkan dengan ose bulat, ose
dipanaskan, ditunggu hingga dingin. Koloni terpisah dari biakan plat agar
diambil kemudian dipindahkan ke dalam media TSA dengan goresan
zig-zag di dekat api bunsen. Pengerjaan dilakukan dengan aseptis.
Media TSA diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24
jam.
2.2.7 Pewarnaan Gram
Pewarnaan dilakukan dengan membuat preparat pada object
glass. Bakteri pada media TSA dipindahkan dengan mengambil
menggunakan ose bulat, kemudian diletakkan pada object glass.
Biakkan bakteri diteteskan NaCl sebanyak 1 tetes, kemudian
dihomogenkan dan difiksasi di atas api. Preparat yang telah difiksasi
diteteskan larutan kristal violet dan didiamkan selama 1 menit,
kemudian dibilas dengan akuades. Langkah selanjutnya diteteskan lugol
dan didiamkan selama 1 menit, kemudian dialirkan dengan larutan
pemucat yaitu aseton alkohol dan dibilas dengan akuades. Kemudian
ditetesi larutan safranin dan didiamkan selama 15 detik, lalu dibilas
dengan akuades. Langkah terakhir preparat dikeringkan dengan kertas
serap secara perlahan dan diamati dibawah mikroskop dengan
perbesaran objektif 100x menggunakan minyak emersi.
2.2.8 Uji KOH 3% (Hardiansyah et al. 2020)
Uji dilakukan dengan meneteskan 1 tetes KOH 3% di atas kaca
preparat, kemudian isolat bakteri dari media TSA dan dihomogenkan.
Suspensi diaduk terus menerus selama kurang lebih 1 menit dan
kemudian loop ditarik dengan lembut. Hasil yang diperoleh apabila
bakteri gram negatif akan menghasilkan lendir (reaksi positif)
sedangkan jika bakteri gram positif tidak akan menghasilkan lendir
(reaksi negatif).
2.2.9 Uji Fermentasi Karbohidrat (Nuryanti et al. 2021)
Uji fermentasi karbohidrat dilakukan untuk mengetahui
kemampuan bakteri dalam memfermentasi karbohidrat dengan
menggunakan glukosa, latosa, maltosa, manitol, dan sukrosa. Uji
dilakukan dengan mengambil bakteri menggunakan ose steril dan
diinokulasikan ke dalam media glukosa, laktosa, maltosa, manitol, dan
sukrosa. Setelah itu media tersebut diinkubasi pada suhu 37 °C selama
24 jam. Hasil positif bakteri yang dapat memfermentasi akan muncul
gelembung pada tabung durham dan merubah warna media (menjadi
kuning).
2.2.10 Uji Oksidase (Panjaitan et al. 2020)
Uji dilakukan dengan menggunakan oksidase strip, diawali
dengan mengambil sampel bakteri pada media TSA menggunakan ose
steril lalu diletakkan pada permukaan oksidase strip. Cara lain yang
dapat digunakan yaitu dengan menggunakan kertas saring, kemudian
sampel bakteri diambil dengan menggunakan ose steril dan diletakkan
diatasnya. Selanjutnya diteteskan cairan oksidase. Reaksi positif
ditandai dengan perbahan warna menjadi ungu kebiruan dalam waktu
1–2 menit.
2.2.11 Uji Indol dan Uji Motilitas (Nuryanti et al. 2021)
Uji dilakukan dengan menggunakan media Sulfid Indol Motility
(SIM). Uji diawali dengan mengambil sampel bakteri pada media TSA
dengan ose jarm steril. Selanjutnya, ose ditusukkan secara tega lurus
pada media dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Media SIM
setelah diinkubasi selama 24 jam kemudian diteteskan oleh reagen
Erlich sebanyak 3–5 tetes. Media akan berwarna hitam jika bakteri
memproduksi H2S, dan indol positif jika terbentuk cincin merah pada
permukaan media. Motilitas dapat dilihat apabila terjadi pergerakan
bakteri pada tempat tusukan ose (menyebar).
2.2.12 Uji Katalase (Nuryanti et al. 2021)
Uji dilakukan dengan menggunakan object glass yang diberikan
ulasan isolat bakteri dan diteteskan satu tetes H2O2, kemudian diamati
perubahannya. Hasil positif ketika terbentuknya gelembung udara, dan
negatif ketika tidak terbentuk gelembung udara.
2.2.13 Uji Pewarnaan Spora (Rindita 2021)
Pewarnaan spora metode Schaeffer-fulton dilakukan dengan
menggunakan malachite green sebagai pewarna primer dan safranin
sebagai pewarna sekunder. Uji diawali dengan akuades steril diteteskan
1 tetes pada permukaan gelas objek, kemudian secara aseptis kultur
murni bakteri pada media TSA diambil dengan menggunakan ose steril
dan dihomogenkan. Selanjutnya, keringkan ulasan bakteri dan fiksasi
panas. Ulasan bakteri kemudian diteteskan pewarna malachite green
selama 5 menit dan panaskan bagian bawah gelas objek dengan
melewatkan gelas objek secara hati hati pada api bunsen, apabila
pewarna mulai mengering maka ditetesi kembali. Bilas dengan akuades
lalu keringkan dan setelah kering teteskan safranin dan diamkan selama
30 detik lalu bilas dengan akuades. Hasil pewarnaan diamati di bawah
mikroskop, spora akan berwarna hijau dan badan bakteri akan berwarna
merah.
2.2.14 Uji Anaerobik (Tjampakasari dan Hanifah 2023)
Prinsip uji yaitu dengan menciptakan suasana bebas oksigen
sehingga bakteri anaerobik dapat tumbuh. Uji dilakukan dengan
menggunakan anaerobic jar, indicator strip, dan anaerobic gas pack.
Uji diawali dengan mengkultur isolat bakteri murni pada media blood
agar dan kemudian cawan petri berisi media dan isolat dimasukkan ke
dalam anaerobic jar bersamaan dengan Indicator strip dan anaerobic
gas pack. Anaerobic jar diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 37 ℃.
Strip indikator diamati selama masa inkubasi, strip akan berubah
menjadi biru atau merah ketika ada oksigen dalam tabung dan tidak
akan berubah warna jika suasana dalam tabung masih anaerob. Bakteri
anaerob akan tumbuh dalam media setelah masa inkubasi.
Gambar 3 Lingkungan pertumbuhan anaerob dengan menggunakan
anaerobic jar dan anaerobic gas kit (Tjampakasari dan
Hanifah 2023).
III HASIL

Hasil inkubasi kultur bakteri hingga pengamatan 24 jam pada Blood


Agar (BA) nampak tumbuh namun pada media Mac Conkey Agar (MCA) bakteri
tidak tumbuh, sehingga untuk media MCA akan diamati kembali hingga
pengamatan 48 jam. Media BA merupakan media yang biasa digunakan untuk
menumbuhkan bakteri dan membedakan bakteri berdasarkan sifat hemolitiknya.
Bakteri yang tumbuh di dalam plate menunjukkan morfologi seperti pada Tabel 1.
Hasil pertumbuhan bateri pada media BA terdapat dua koloni yang pertama
mengubah warna media sekeliling koloni menjadi transparan. Hal tersebut
menunjukkan sifat hemolisis sempurna yang kerap disebut sebagai beta-hemolisis
Gambar 2 (B). Koloni kedua tidak mengalami hemolisis sehingga tidak
menimbulkan perubahan pada media sekitar. Hal tersebut menunjukkan sifat tidak
bersifat hemolitik yang kerap disebut sebagai gamma-hemolisis. Koloni terpisah
dari biakkan agar kemudian dipindahkan (subkultur) ke dalam media TSA serta
diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 °C selama 24 jam. Koloni yang
dipindahkan ialah koloni beta-hemolisis dikarenakan koloni tersebut yang tumbuh
secara terpisah pada media agar, sedangkan koloni gamma-hemolisis tumbuh
berkoloni sehingga tidak mendapatkan kultur murni.

Tabel 1. Morfologi koloni bakteri


Parameter Koloni Blood Agar
Koloni 1 Koloni 2
Ukuran Besar Kecil
Bentuk Bulat Bulat
Permukaan Rata Rata
Aspek Mengkilat Mengkilat
Tepi Halus Halus
Elevasi Timbul Timbul
Pigmentasi Putih Putih
Sifat Hemolitik Beta-hemolisis Gamma-hemolisis
Sifat tembus cahaya Transparan Opaque
A B C
Gambar 3 Biakkan bakteri pada Blood Agar. A) Blood Agar tanpa perlakuan, B)
dan C) Blood Agar setelah dikultur bakteri.

Gambar 4 Koloni terpisah yang di subkultur ke media TSA (tanda panah)

Hasil inkubasi bakteri pada media TSA yaitu koloni yang dibiakkan
tumbuh rata (Gambar 5A). Uji selanjutnya yaitu pewarnaan gram dan uji KOH
3%. Hasil dari pewarnaan Gram yaitu terdapat koloni yang berwarna merah dan
ungu dalam satu lapang pandang, sehingga dapat dikatakan bahwa koloni yang
tumbuh pada media TSA merupakan koloni yang belum murni (Gambar 5B).
Bentuk kedua koloni yaitu coccus dengan susunan seperti anggur. Hasil uji KOH
3% menunjukkan adanya lendir pada saat larutan KOH 3% dihomogenkan dengan
koloni bakteri, sehingga menunjukkan bahwa hasil uji KOH 3% positif (bakteri
Gram negatif) (Gambar 5C). Berdasarkan hasil kedua uji tersebut maka dilakukan
uji ulang pada media TSA dengan koloni yang berbeda, dengan harapan bahwa
koloni yang tumbuh pada media TSA yang baru merupakan koloni yang murni.

(A) (B) (C)


Gambar 5 Hasil uji bakteri pada media TSA. A) Koloni yang tumbuh pada media
TSA, B) Hasil pewarnaan gram (panah biru : koloni berwarna ungu,
panah merah : koloni berwarna meah), C) Hasil uji KOH 3% (adanya
lendir).
Koloni terpisah yang di subkultur ke media TSA baru merupakan koloni
yang berbeda dengan yang sebelumnya (Gambar 6A). Hasil yang tumbuh pada
media agar TSA baru yaitu koloni yang dibiakkan tumbuh rata dan secara
makroskopis tampak homogen. Uji selanjutnya yaitu uji pewarnaan gram dan uji
KOH 3%. Hasil dari uji pewarnaan gram yaitu koloni bewarna ungu dengan
bentuk basil dan susunan berantai (Gambar 6B). Hasil dari uji KOH 3% yaitu
menunjukkan tidak adanya lendir pada saat larutan KOH 3% dihomogenkan
dengan koloni bakteri sehingga dapat dikatakan hasil uji KOH 3% negatif (bakteri
gram positif) (Gambar 6C). Hasil kedua uji selaras dan mengarah pada bakteri
gram positif. Uji selanjutnya yaitu uji fermentasi karbohidrat, uji pewarnaan
spora, uji oksidase, dan uji indol.

(A) (B) (C)


Gambar 6 Hasil subkultur koloni terpisah pada media TSA baru. A) Koloni yang
di subkultur pada media TSA baru (beta hemolisis), B) Hasil pewarnaan
gram (koloni berwarna ungu, bentuk basil, dan susunan berantai), C)
Hasil uji KOH 3% (tidak adanya lendir).

Uji selanjutnya yaitu uji fermentasi karbohidrat, uji oksidase, uji katalase,
uji motilitas dan uji indol. Hasil uji fermentasi karbohidrat menunjukkan adanya
perubahan warna dari merah menjadi kuning pada glukosa, maltosa, dan manitol,
sedangkan pada sukrosa dan laktosa mendapatkan hasil yang dubius (orange).
Hasil uji oksidase menunjukkan adanya hasil positif dikarenakan adanya
perubahan warna pada kertas saring menjadi ungu setelah digoreskan isolat
bakteri dan diteteskan larutan oksidase. Hasil uji katalase positif, hal tersebut
ditandai dengan munculnya gelembung pada saat isolat bakteri yang diletakkan di
kaca objek ditetesi oleh larutan H2O2. Hasil uji motilitas yaitu positif, ditandai
dengan adanya pergerakan pada tusukan ose dan tumbuhnya koloni pada
permukaan media. Hasil uji indol yaitu negatif dikarenakan tidak adanya
perubahan warna permukaan media setelah ditetesi reagen erlich.
Tabel 2. Hasil uji biokimia
Gambar
Jenis Uji Hasil
Sebelum perlakuan Setelah perlakuan
Fermentasi Glukosa : +
Karbohidrat Maltosa : +
Manitol : +
Sukrosa : -
Laktosa : -

Oksidase Positif

Katalase Positif

Motilitas Positif
Keterangan :
lingkaran
merah =
adanya
pertumbuhan
koloni pada
permukaan
media
Indol Negatif
IV PEMBAHASAN

Tabel 3. Hasil identifikasi bakteri


No Uji Hasil Interpretasi
1 Gram Positif Ungu, berbentuk batang
(perbesaran 1000x)
2 KOH 3% Negatif Tidak ada lendir
3 Glukosa Positif Merah → Kuning
4 Maltosa Positif Merah → Kuning
5 Manitol Positif Merah → Kuning
6 Sukrosa Negatif Tidak ada perubahan warna
7 Laktosa Negatif Tidak ada perubahan warna
8 Oksidase Positif Ungu kebiruan
9 Katalase Positif Ada gelembung udara
10 Indol Negatif Tidak ada perubahan warna
11 Motilitas Motil Ada pertumbuhan koloni
pada permukaan media

Tabel 4. Diferensial bakteri


Genus Gra Kat Hemoli Ferme Ferme Ind Moti Sp Pertumb
Bakteri m ala sis pada ntasi ntasi ol litas ora uhan
se blood Gluko laktos anaerobi
agar sa a k
Bacillus +a +a βa +a -a -a +a +a Aeroba
Clostridi +a +b Variatif +c +a -a -b +b Anaerobb
a
um
Coryneb +a +b Variatif -c +a -a -b -b Aerobb
a
acterium
Listeria +b +b βb +b +a -b +b -b Aerobb
Sumber : a) Maza et al. 2020. b) Parija 2012. c) Barrow dan Feltham 1993

Hasil identifikasi bakteri pada sampel leleran hidung kucing Gebook


disajikan pada Tabel 3. Sampel yang digunakan hanya tumbuh pada media blood
agar (BA) yang menandakan bahwa sampel kemungkinan merupakan bakteri
Gram positif. Sampel pada BA membentuk beta-hemolisis terlihat dengan kultur
koloni mengubah warna media BA pada sekitar koloninya. Media BA digunakan
untuk mendeteksi kemampuan bakteri dalam menghemolisis darah. Kultur yang
bersifat positif hemolisis ditandai dengan adanya koloni dengan area zona bening
disekelilingnya, terbentuknya zona bening lisis menunjukkan bahwa isolat
tersebut dapat melisiskan sel darah merah (Hikmawati et al. 2019). Isolat bakteri
pada sampel leleran hidung kucing dapat diidentifikasi sebagai bakteri yang dapat
melisiskan darah. Sampel lalu dikultur pada media agar miring Trptic Soy Agar
(TSA) untuk memurnikan biakan koloni, lalu dilakukan pewarnaan gram untuk
memastikan bentuk dan warna koloni dari sampel.
Hasil mikroskopis kultur bakteri pada media TSA menunjukkan bakteri
berbentuk batang dengan warna ungu. Warna ungu yang dihasilkan disebabkan
bakteri dapat mempertahankan zat warna kristal violet, hal tersebut dapat terjadi
pada bakteri Gram positif. Bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang
tersusun atas peptidoglikan, sedangkan bakteri Gram negatif mengandung
peptidoglikan juga namun jumlahnya lebih sedikit dan bagian luar peptidoglikan
tersusun oleh lipoprotein, fosfolipid, serta lipopolisakarida (Amin et al. 2023).
Perbedaan susunan komposisi dinding sel menyebabkan bakteri Gram positif dan
negatif memiliki ketahanan yang berbeda, sehingga pada saat pewarnaan bakteri
Gram positif akan dapat mempertahankan zat warna krital violet, sedangkan
dinding sel bakteri Gram negatif akan larut ketika dicuci oleh aseton alkohol
sehingga akan kehilangan zat warna kristal violet dan menyerap warna merah
safranin (Amin et al. 2023). Koloni bakteri yang dilakukan pewarnaan
menunjukkan bahwa bakteri tersebut kedalam golongan bakteri Gram positif. Uji
yang dilakukan selain pewarnaan Gram yaitu uji KOH 3%. KOH akan menyerang
lapisan lemak bakteri dan membuat lapisan bakteri Gram negatif pecah, sehingga
melepas materi genetik (DNA), molekul DNA sangat panjang dan bersifat sticky
strings sehingga memberikan hasil seperti lendir saat diangkat dengan ose
(Hardiansyah et al. 2020).
Hasil uji lainnya yang meliputi uji fermentasi karbohidrat, uji oksidase,
uji katalase, uji motilitas dan uji indol seperti yang disajikan pada Tabel 3
mengarah kepada jenis bakteri genus Bacillus. Bacillus merupakan bakteri Gram
positif berbentuk batang yang bersifat aerobik. Menurut Maza et al. (2020),
bakteri Bacillus merupakan bakteri Gram positif dengan hasil uji katalase positif,
memiliki sifat yang dapat menghemolisis media BA (beta-hemolisis), aerobik,
dapat memfermentasi glukosa namun tidak dapat memfermentasi laktosa,
memiliki hasil indol negatif, memiliki endospora, serta pada uji motilitas bakteri
bersifat motil. Uji lanjutan yang dapat mengukuhkan bahwa bakteri tersebut
bakteri Bacillus yaitu dengan dilakukan uji anaerobik dan uji pewaraan spora,
karena sifat bakteri Bacillus yaitu aerobik dan memiliki endospora. Endospora
merupakan ciri utama bakteri Bacillus sehingga dapat digunakan untuk
membedakan dari kelompok bakteri lain, adanya endospora pada Bacillus
menandakan bahwa bakteri tersebut memiliki kemampuan beradaptasi pada
lingkungan ekstrim (Mukamto et al. 2015). Tujuan dari pewarnaan spora yaitu
untuk mengidentifikasi apakah bakteri dapat menghasilkan spora atau tidak. Spora
akan lebih tahan dalam kondisi yang ekstrim seperti panas, pewarna yang
digunakan untuk mewarnai spora yaitu malachite green, spora yang berhasil
diwarnai akan mengikat kuat pewarna tersebut sehingga ketika diberikan zat
warna lain (safranin) spora akan tetap mempertahankan warna awalnya sehingga
hasil pewarnaan spora menunjukkan spora akan berwarn hijau sedangkan sel
vegetatif akan berwarna merah (Purwaningsih dan Wulandari 2021). Hasil
pewarnaan spora bakteri Bacillus terlihat seperti Gambar 7, terlihat bahwa sel
vegetatif akan berwarna merah sedangkan endospora akan berwarna hijau.
Gambar 7 Pewarnaan spora Bacillus (Handayani et al. 2023)

Rhinitis merupakan penyakit gangguan saluran pernapasan atas yang


digunakan untuk menggambarkan adanya peradangan pada selaput lender hidung
yang disebabkan oleh agen-agen seperti virus, jamur, hingga (Taruklinggi et al.
2021). Rhinitis yang disebabkan oleh bakteri cenderung bersifat kronis karen
adanya invasi dari infeksi bakteri yang dapat menyebabkan produksi leleran
berbentuk mukus, bakteri yang dapat menyebabkan infeksi rhinitis pada hewan
yaitu Mycoplasma sp., Streptococcus sp., Staphylococcus sp., dan Klebsiella sp.
(Taruklinggi et al. 2021). Isolat bakteri dari sampel nasal discharge kucing
Gebook mengindikasikan bahwa terdapat bakteri Bacillus, belum ada riwayat
bahwa bakteri Bacillus dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada saluran
pernapasan atas. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan bakteri Bacillus
merupakan bakteri yang banyak ditemukan di tanah, air, dan udara (Handayani et
al. 2023), sehingga sangat memungkinkan bakteri tersebut mengkontaminasi
bakteri penyebab infeksi saluran pernapasan atas, melihat kucing yang diambil
sampel merupakan kucing yang beraktivitas di luar rumah sehingga tidak dapat
dipungkiri bakteri Bacillus ada pada saat sampel diambil.

V SIMPULAN

Bakteri yang diisolasi dan dikultur pada sampel nasal discharge kucing
kemungkinan berasal dari genus Bacillus. Bakteri penyebab utama adanya flu
pada kucing Gebook masih belum dapat diidentifikasi, adanya bakteri Bacillus
pada isolat dapat disebabkan adanya kontaminasi dengan agen penyebab utama
pada saat pengambilan sampel dan pengkulturan ke media agar.
DAFTAR PUSTAKA

Amin SS, Ghozali Z, Rusdiana M, Efendi S. 2023. Identifikasi bakteri dari telapak
tangan dengan pewarnaan Gram. CHEMVIRO J. Kim. dan Ilmu
Lingkung. 1(1):30–35.
Barrow G, Feltham R. 1993. Cowan and Steel’s Manual for the identification of
medical bacteria. Ed ke-3. Cambridge: Cambridge University Press.
Handayani K, Royanti V, Ekowati CN. 2023. Indeks keanekaragaman bakteri
Bacillus Sp. dari tanah Kebun Raya Liwa. Gunung Djati Conf. Ser.
18:2022.
Hardiansyah MY, Musa Y, Jaya AM. 2020. Identifikasi plant growth promoting
Rhizobacteria pada Rizosfer Bambu Duri dengan Gram KOH 3%.
Agrotechnology Res. J. 4(1):41–
46.doi:10.20961/agrotechresj.v4i1.40875.
Hikmawati F, Susilowati A, Ratna S. 2019. Deteksi jumlah dan uji patogenitas
Vibrio spp . pada kerang hijau (Perna Viridis) dikawasan Wisata Pantai
Yogyakarta. J. Biodiv Indones. 5(2):334–
339.doi:10.13057/psnmbi/m050234.
Maza LM, Pezzlo MT, Bittencourt CE, Peterson EM. 2020. Color Atlas of
Medical Bacteriology.
Mukamto, Ulfah S, Mahalina W, Syauqi A, Istiqfaroh L, Trimulyono G. 2015.
Isolasi dan karakterisasi Bacillus sp . pelarut fosfat dari rhizosfer
tanaman leguminosae. Jur. Biol. FMIPA Univ. Negeri Surabaya.
3(2):62–68.
Nuryanti S, Fitriana F, Pratiwi AR. 2021. Karakterisasi isolat bakteri penghasil
selulosa dari buah naga merah (Hylocereus polyrhizus). J. Ilm. As-Syifaa.
13(1):71–79.doi:10.33096/jifa.v13i1.768.
Panjaitan FJ, Bachtiar T, Arsyad I, Lele OK, Indriyani W. 2020. Karakterisasi
mikroskopis dan uji biokimia Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) dari rhizosfer
tanaman jagung fase vegetatif. J. Ilmu Pertan. dan Lingkung. 1(1):9–17.
Parija SC. 2012. Microbiology & Immunology 2nd Edition. Ed ke-2nd. India:
ELSEVIER.
Purwaningsih D, Wulandari D. 2021. Uji aktivitas antibakteri hasil fermentasi
bakteri endofit umbi talas (Colocasia esculenta L) terhadap bakteri
Pseudomonas aeruginosa. J. Sains dan Kesehat. 3(5):750–
759.doi:10.25026/jsk.v3i5.622.
Rindita. 2021. Modul Bakteriologi Dasar. Jakarta.
Taruklinggi UR, Suartha IN, Soma IG. 2021. Bacterial infectious rhinitis in cat: a
Case Report. Indones. Med. Veterinus. 10(2):316–
326.doi:10.19087/imv.2021.10.2.316.
Tjampakasari CR, Hanifah N. 2023. Kultivasi dan identifikasi bakteri anaerob
Bacteroides fragilis. MAHESA Malahayati Heal. Student J. 3(11):3717–
3729.doi:10.33024/mahesa.v3i11.11537.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI DARI LESIO


PAHA KUCING DOMESTIC SHORT HAIR

Disusun oleh:
Vapriel Andhika Pattikawa B9404231083

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK PROGRAM


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mikroorganisme, termasuk bakteri, memiliki peran penting dalam kehidupan
sehari-hari dan berperan sebagai elemen integral dalam berbagai aspek kehidupan.
Identifikasi bakteri merupakan suatu langkah krusial dalam pemahaman mendalam
tentang keberagaman mikrobiologi. Proses identifikasi bakteri melibatkan penggunaan
berbagai metode, baik metode klasik maupun teknologi terkini, untuk mengenali dan
mengelompokkan mikroorganisme berdasarkan karakteristik biokimia, morfologi, dan
genetiknya. Keberhasilan identifikasi bakteri memiliki dampak signifikan dalam
berbagai bidang, termasuk kedokteran, pertanian, dan industri.
Bakteri adalah kelompok organisme mikroskopis yang pada umumnya bersel
tunggal, tidak memiliki membran inti sel, memiliki dinding sel namun tidak berklorofil
(Febriza et al. 2021). Menurut klasifikasinya bakteri dibagi menjadi 2 yaitu bakteri
Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri Gram positif merupakan bakteri dengan
dinding sel yang terdiri dari dua lapisan yaitu peptidoglikan tebal dan membran dalam
sedangkan bakteri Gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis (Hamidah
et al. 2019). Beberapa bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif merupakan flora
normal pada tubuh manusia. Flora normal adalah mikroorganisme yang menempati
suatu daerah tanpa menimbulkan penyakit pada inang yang ditempati. Pada kulit
normal biasanya ditempati sekitar 102 - 106 CFU/cm2 bakteri (Holderman et al. 2017).
Ada juga sebagian dari bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif misalnya
Staphylococcus aereus yang dapat menyebakan penyakit jika mencapai jumlah
1.000.000 atau 106 per Gram yang merupakan suatu jumlah yang cukup untuk
memproduksi toksin.
Identifikasi bakteri dapat dilakukan dengan berbagai macam metode. Tes
bokimia pewarnaan gram merupakan kriteria yang efektif untuk klasifikasi. Hasil
pewarnaan akan menunjukkan perbedaan dasar dan kompleks pada sel bakteri (struktur
dinding sel), sehingga dapat membagi bakteri menjadi 2 kelompok yaitu bakteri Gram
positif dan bakteri Gram negatif. Pada pewarnaan Gram, golongan bakteri gram positif
akan memberikan warna ungu karena memiliki lapisan peptidoglikan setebal 20-80 nm
sedangkan Bakteri Gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis yaitu 5-10
nm dengan komposisi utama: lipoprotein, membran luar dan polisakarida.

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan mengidentifikasi bakteri yang didapatkan dari abses pada
kaki kanan kucing di rumah kucing Parung, Bogor, Jawa Barat.
II METODE

1.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan yaitu ose bulat, inkubator, tabung eppendorf, korek api,
bunsen, kulkas, inkubator, dan cotton swab. Bahan yang digunakan yaitu sampel
discharge mulut, Buffer Water Peptone, kapas, Blood Agar (BA), dan Tryptic Soy Agar
(TSA).

1.2 Prosedur Penelitian


1.2.1 Anamnesa
Sampel diambil dari lesio paha kucing Domestic Short Hair yang
didapat dari Rumah Kucing Parung. Hewan menunjukkan gejala berupa adanya
luka berdarah dan abses pada paha kanan bagian belakang. Hewan sebelumnya
belum diberikan terapi pengobatan dan antibiotik.
1.2.2 Sinyalemen
Nama Hewan : Kucing Lima
Jenis Hewan : Kucing
Ras : Domestic Short Hair
Warna Rambut: Jingga dan Putih
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : 2 tahun
Gejala : Lesio pada paha
Sampel : Abses paha

Gambar 1 Kucing Lima

1.2.3 Persiapan Sampel


Sampel diambil kemudian disimpan dalam tabung eppendorf yang
telah terisi NaCl dengan cara diusap menggunakan cotton bud steril. Sampel
yang didapat di lokasi kemudian disimpan tas kecil berisi ice pack lalu
dibawa menuju laboratorium. Sampel yang telah dibawa, kemudian diambil
dari tube menggunakan ose yang telah disterilkan dengan pembakaran
menggunakan bunsen dan digoreskan dengan teknik cawan gores ke media
BA dan MCA. Agar kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu
37 oC selama 24 jam.
1.2.4 Rancangan Prosedur

Gambar 2. Skema rancangan prosedur identifikasi bakteri


1.2.5 Kultur Bakteri pada Media Blood Agar (BA)
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyeprotkan alkohol
terlebih dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar
hingga membara untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga
ose diperkirakan tidak terlalu panas. Sampel kemudian di ambil dan
digorekan ke media BA dengan teknik cawan gores lalu pinggiran plate agar
dipanaskan untuk mecegah kontaminasi bakteri dari luar. Penutup plate
dibuka namun tidak terlalu besar kemudian sampel abses diambil
menggunakan ose dan digoreskan ke plate agar dalam 3 kuadra. Agar
diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 37 oC.

Gambar 2. Teknik Cawan Gores pada media Blood Agar


1.2.6 Subkultur Bakteri pada Media Tryptic Soy Agar (TSA)
Biakkan yang telah tumbuh diambil menggunakan ose steril.
Sebelumnya pinggiran plate dipanaskan dengan bunsen kemudian dibuka
sedikit untuk diambil biakkan yang telah tumbuh. Biakkan ditorehkan ke
TSA secara zigzag dengan mulut tabung TSA berada didekat bunsen
kemudian tutup tabung dengan kapas.
1.2.7 Pewarnaan Gram
Biakan yang telah tumbuh pada media TSA kemudian diwarna
dengan pewarnaan gram. Pewarnaan dilakukan dengan cara memanaskan
ose terlebih dahulu kemudian tunggu satu hingga dua menit untuk
mendinginkan ose. Selanjutya teteskan satu tetes aquades pada slide dan
sampel diambil dari media TSA, kemudian dihomogenkan dan dikeringkan
di atas Bunsen. Setelah itu, teteskan sebanyak dua tetes kristal violet dan
tunggu sampai satu menit, selanjutnya sampel dibilas dengan aquades
mengalir. Teteskan satu tetes lugol dan tunggu hingga satu menit lalu sampel
dibilas dengan aquades dan dikeringkan. Sampel lalu ditetesi aseton alkohol
dan tunggu hingga sepuluh detik kemudian dibilas dan dikerngkan.
Dilanjutkan dengan meneteskan satu tetes safranin dan diamkan hingga lima
belas detik, bilas dengan aquades dan keringkan sampel.
1.2.8 Uji KOH 3 %
Teteskan satu tetes KOH 3% pada objek glass lalu ambil sampel
bakteri dengan ose yang telah disterilkan sebelumnya. Goreskan sampel pada
objek glass lalu homogenkan dengan larutan KOH 3%.

1.2.9 Uji Fermentasi Gula


Pada uji ini, lima jenis gula disiapkan terlebih dahulu di dalam tabung
reaksi. Gula yang harus disiapkan adalah glukosa, laktosa, sukrosa, mannitol
dan maltosa. Kemudian sterilkan ose dengan cara dipanaskan menggunakan
Bunsen lalu tunggu hingga ose dingin. Selanjutnya sampel diambil pada
media TSA dan dimasukkan pada masing-masing tabung reaksi berisi kelima
gula tadi. Sebelum pengambilan sampel pada media TSA, ose terlebih dahulu
disterilkan.

1.2.10 Uji Indol


Uji ini dilakukan dengan cara menginokulasikan biakan bakteri pada
media SIM. Panaskan ose yang lurus dengan menggunakan Bunsen lalu
tunggu hingga dingin. Ambil biakan bakteri pada media TSA lalu ditusukkan
ke dalam media SIM. Sampel diinokulasikan pada suhu 37 C selama 24-48
jam.
1.2.11 Uji Katalase
Teteskan larutan H2O2 ke dalam tabung reaksi sebanyak satu hingga
dua tetes. Ambil sampel bakteri pada media TSA dengan menggunakan
cotton bud steril kemudian, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
Hasil uji positif apabila terbentuk gelembung udara di dalam tabung reaksi.
III HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil inkubasi kultur bakteri pada Blood Agar (BA) nampak tumbuh. Media BA
merupakan media yang biasa digunakan untuk menumbuhkan bakteri yang sulit
tumbuh dan mengetahui apakah bakteri memiliki sifat melisiskan sel darah merah atau
tidak. Bakteri yang tumbuh di dalam plate menunjukkan morfologi seperti pada Tabel
1. Agar terlihat berubah menjadiwarna kehijauan dengan koloni berwarna putih. Hal
tersebut menunjukkan sifat non hemolitik yang disebut sebagai gamma-hemolisis
Gambar 3 (B).
Tabel 1. Morfologi koloni bakteri
Parameter Koloni Blood Agar
Ukuran Kecil
Bentuk Bulat
Permukaan Rata
Aspek Mengkilat
Tepi Halus
Elevasi Timbul
Pigmentasi Putih
Sifat tembus cahaya Opaque

(A) (B)
Gambar 3. A) Blood agar tanpa perlakuan; B) Blood agar setelah dikultur bakteri

Sampel yang telah tumbuh pada media BA, kemudian diambil menggunakan ose
dan dilakukan pewarnaan gram serta uji KOH 3%. Hasil pewarnaan gram dan Uji KOH
3% disajikan pada Gambar 4. Hasil uji menunjukkan sampel yang dibiakkan memiliki
warna biru dan berbentuk batang, selain itu hasil uji KOH 3% menunjukkan tidak ada
lendir yang terbentuk sehingga dapat disimpulkan bakteri yang tumbuh pada media BA
merupakan bakteri gram positif.
(A) (B)

Gambar 4 (A) Hasil Pewarnaan Gram; ( ) Koloni bakteri berbentuk batang, kecil dan
berwarna biru; (B) Hasil Uji KOH 3% menunjukkan tidak ada lendir yang
terbentuk.
Uji selanjutnya yang dilakukan adalah fermentasi gula dan uji indol. Hasil uji
fermentasi gula menunjukkan biakan bakteri pada glukosa, sukrosa, dan maltosa
menunjukkan hasil positif yang ditujukkan dengan perubahan warna menjadi kuning
serta terbentuknya gelembung udara pada tabung durham. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa bakteri memanfaatkan glukosa, sukrosa dan maltosa untuk
keberlangsungan fermentasi karbohidrat dan terbentuk gas. Perubahan media menjadi
warna kuning disebabkan karena indikator fenol merah. Bakteri dikatakan dapat
memfermentasi semua kabohidrat jika dalam prosesnya terjadi pengonversian piruvat
menjadi asam, yang selanjutnya diubah menjadi gas H2 dan CO2 yang terperangkap
dalam tabung durham (Haryati 2020). Biakan bakteri pada mannitol dan maltosa
menunjukkan hasil dubius. Uji indol merupakan uji untuk menentukan kemampuan
mikroorganisme dari sampel untuk menghasilkan indol dari triptofan. Asam amino
triptofan merupakan komponen asam amino yang lazim terdapat dalam protein,
sehingga asam amino dengan mudah dapat digunakan oleh mikroorganisme akibat
penguraian protein (Sarah et al. 2014; Kosasi et al. 2019). Hasil uji indol menunjukkan
hasil negatif. Hasil uji fermentasi gula dan uji indol disajikan pada Gambar 5.
A B C D E F
A
A

A
A

Gambar 5 (A) Hasil Uji Manitol, (B) Hasil Uji Glukosa, (C) Hasil Uji Laktosa, (D) Hasil Uji
Maltosa, (E) Hasil Uji Sukrosa, (F) Hasil Uji Indol, ( ) Gelembung udara pada
tabung durham

Uji berikutnya adalah uji katalase. Hasil uji ini menunjukkan hasil positif karena
terbentuknya gelembung udara di dalam tabung reaksi. Enzim katalase akan
mengkatalisis dalam penguraian hidrogen peroksida (H2O2) yang berbahaya menjadi
air dan oksigen sehingga tidak menyebabkan bahaya bagi organisme. Hidrogen
peroksida terbentuk dalam metabolisme aerob, sehingga organisme yang berhabitat
pada lingkungan aerob mampu memecahkan senyawa tersebut, bakteri yang memiliki
enzim katalase diindikasikan dengan terbentuknya gelembung pada media yang
disebabkan adanya gas oksigen dari penguraian H2O2 (Panjaitan et al. 2020). Hasil uji
katalase disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Hasil Uji Katalase, ( ) Gelembung yang terbentuk pada Uji Katalase.

Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan, bakteri yang diidentifikasi pada
praktikum ini diduga bakteri dengan genus Corynebacterium. Menurut Maza et al.
(2020), Corynebacterium merupakan bakteri gram positif berbentuk bacill yang
mampu memfermantasikan gula dan juga mengkatalisis H2O2. Corynebacterium
adalah genus bakteri yang termasuk dalam kelompok Actinobacteria. Bakteri ini
bersifat Gram-positif, artinya mereka memiliki dinding sel yang menahan pewarnaan
gram. Corynebacterium memiliki bentuk batang dan dapat ditemukan di berbagai
lingkungan, termasuk tanah, air, dan pada permukaan kulit manusia serta hewan.
Spesies Corynebacterium yang umum menyebabkan infeksi pada manusia adala C.
jeikeium, C. striatum, dan C. urealitikum. Spesies C. jeikeium merupakan spesies yang
paling sering diisolasi dari specimen klinis yang diketahui menyebabkan bakteremia
dan endocarditis katup prostetik. Infeksi juga terlihat pada pasien dengan
imunokompromais dengan gangguan darah dan organ padat serta bakteremia dan
sepsis. Selain itu, spesies ini juga resisten terhadap berbagai antibiotik. C. striatum,
merupakan spesies patogen terkait dengan beberapa infeksi pada manusia, seperti
endokarditis perangkat prostetik, sepsis dan bakteremia pada pasien
immunocompromised, infeksi saluran pernapasan, osteomielitis, meningitis, dan
infeksi luka. Bakteri ini juga merupakan penyebab patogen yang resistan terhadap
banyak obat dengan angka kematian tinggi. C. urealyticum biasanya diisolasi dari
spesimen urin dengan pH basa dan berhubungan dengan kristal struvite yang dikenal
sebagai sistitis bertatahkan basa. Organisme ini seringkali resisten terhadap berbagai
antibiotik.
Hasil identifikasi bakteri pada praktikum ini diduga adalah bakteri dengan genus
Corynebacterium, tetapi dugaan ini belum pasti karena keterbatasan waktu dan alat
bahan di laboratorium serta masih diperlukan beberapa uji lainnya untuk menguatkan
dugaan sampel tersebut adalah Corynebacterium. Beberapa uji yang dapat dilakukan
untuk menguatkan dugaan Corynebacterium adalah metode pewarnaan Ziehl Nessen,
uji Spora, Uji Urea, dan metode pemeriksaan dengan RapID CB Plus system. Metode
RapID CB Plus System adalah metode mikro menggunakan system 18 sumur dengan
substrat konvensional dan kromogenik untuk identifikasi corynebacteria. Panel sumur
yang diinokulasikan bakteri kemudian diinkubasi selama 4 hingga 6 jam pada suhu 35
hingga 37°C, kemudian reagen ditambahkan dan hasilnya diintepretasikan sesuai
ketentuan pabrikan. Warna kuning atau kuning oranye diartikan positif untuk 11 sumur
pertama, kemudian sumur yang tersisa jika berwarna ungu, merah atau merah muda
menunjukkan reaksi positif (Maza et al. 2020).
IV PENUTUP
4.1 Simpulan
Sampel abses diambil dari kaki kucing Lima di Rumah Kucing Parung
merupakan bakteri gram positif bacill. Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan,
diduga bakteri tersebut berasal dari genus Corynebacterium, namun dugaan ini belum
pasti karena masih harus memerlukan beberapa uji lagi untuk mengidentifikasi secara
pasti.
V DAFTAR PUSTAKA

de la Maza LM, Pezzlo MT, Bittencourt CE, Peterson EM. 2023. Color atlas of medical
bacteriology. Washington: ASM Press

Febriza MA, Adrian QJ, Sucipto A. 2021. Penerapan ar dalam media pembelajaran
klasifikasi bakteri. Jurnal Program Studi Pendidikan Biologi. 11(1): 10-18.

Hamidah MN, Rianingsih L, Romadhon. 2019. Aktivitas antibakteri isolat bakteri asam
laktat dari peda dengan jenis ikan berbeda terhadap E. coli dan S. aureus. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Perikanan. 1(2): 11-21.

Haryati K. 2020. Pengujian kualitas mikrobiologi ikan ekor kuning asap dari pasar
youtefa papua. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 23(3): 486-494.

Holderman MV, de Queljoe E, Rondonuwu SB. 2017. Identifikasi bakteri pada


pegangan escalator di salah satu pusat perbenlanjaan di kota manado. Jurnal
Ilmiah Sains. 17(1): 13-18.

Kosasi C, Lolo WA. Sedewi S. 2019. Isolasi dan uji aktivitas antibakteri dari bakteri
yang berasosiasi dengan alga Turbinaria ornata (turner) j. Agardh serta
identifikasi secara biokimia. Pharmacon. 8(2): 351-359.

Panjaitan FJ, Bachtiar T, Arsyad I, Lele OK, Indriyani W. 2020. Karakterisasi


mikroskopis dan uji biokimia bakteri pelarut fosfat (bpf) dari rhizosfer tanaman
jagung fase vegetatif. Jurnal Ilmu Pertanian dan Lingkungan. 1(1): 9-17.

Sarah MP, Fatimawali, Aaltje M. 2014. Identifikasi bkateri resisten merkuri pada urine
feses dan kalkulus gigi pada individu di kecamatan malalayang, manado,
sulawesi utara. Jurnal e-Biomedik. 2(2): 532- 540.
LAPORAN BAKTERI DAN MIKAL
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

IDENTIFIKASI JAMUR PADA KUCING DAN ANJING

Dosen Pembimbing:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

Disusun oleh :

Anggi Nahriyatussyifa, S.K.H B9404231017

Aqila Tsabita, S.K.H B9404231028


Dea Khalisa, S.K.H B9404231069
Falsa Martiana Kencana Putri, S.K.H B9404231038
Farradiba Shafa Aqila, S.K.H B9404231046
Ichlasul Khaerul Alim P, S.K.H B9404231009
Inayati Ilmi, S.K.H B9404231055
Muhammad Emir Kusuma Wardhana, S.K.H B9404231014

Reza Mahdiah Reflianti, S.K.H B9404231053


Shafa Adela Putri, S.K.H B9404231068

Vapriel Andhika Pattikawa, S.K.H B9404231083

LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesehatan adalah hal utama bagi kehidupan setiap makhluk hidup baik manusia,
tumbuhan dan hewan. Kucing dan anjing merupakan hewan yang sering dijadikan
peliharaan oleh manusia. Kedua hewan ini dapat terserang oleh berbagai macam
penyakit, salah satunya yaitu penyakit kulit. Menurut Putri et al. (2017), penyakit kulit
merupakan penyakit yang umum diderita oleh hewan mamalia, jika tidak ditangani
dengan cepat dan tepat maka penyakitnya dengan cepat dapat meluas sehingga dapat
mengganggu aktivitas kucing dan anjing atau bahkan menyebabkan kematian. Penyakit
kulit dapat disebabkan akibat oleh adanya infeksi jamur.
Menurut Campbell (2013), jamur adalah salah satu kingdom dalam sistem
klasifikasi makhluk hidup. Jamur merupakan makhluk hidup heterotrof atau menjadi
dekomposer di lingkungan. Pada umumnya, jamur tumbuh dengan baik di tempat yang
lembab. Jamur terdiri dari khamir dan kapang. Khamir biasanya uniselular, sedangkan
kapang berfilamen. Jamur dapat menginfeksi dan menimbulkan gangguan bagi hewan.
Jamur pada hewan biasanya didominasi oleh golongan Dermatofita, yang menginfeksi
kulit superfisial dengan satu atau lebih spesies jamur yang umumnya bersifat
keratofilik seperti Microsporum sp, Trichophyton sp, dan Epidermophyton sp. (Sudipa
et al. 2020). Selain golongan dermatofita, beberapa jenis jamur juga ditemukan
menginfeksi pada kucing yaitu jamur jenis Penicillium sp. dan Aspergillus sp.
Jamur dapat menginfeksi hewan kesayangan seperti anjing dan kucing. Infeksi
jamur pada hewan menyebabkan gejala klinis seperti kerontokan bulu di seluruh muka,
hidung dan telinga, perubahan yang tampak pada kulit berupa lingkaran atau cincin
dengan batas jelas dan umumnya dijumpai di daerah leher, muka terutama sekitar
mulut, pada kaki, dan perut bagian bawah. Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan
kerak, dan dibagian keropeng biasanya bagian tengahnya kurang aktif, sedangkan
pertumbuhan aktif terdapat pada bulu berupa kekusutan, rapuh dan akhirnya patah,
ditemukan pula kegatalan (Adzima et al. 2013).

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi sampel kerokan kulit yang
didapat dari kucing di Cibanteng dan anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan IPB
University.
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aspergilus flavus


Aspergillus flavus (A. flavus) adalah salah satu fungi yang dapat menginfeksi
hewan dan manusia atau zoonosis. Menurut Enoch et al. (2016) hanya ada lima spesies
Aspergillus yang memilki peran penting pada kesehatan manusia dan hewan yaitu A.
flavus, A. fumigatus, A. nidulans, A. niger, dan A. terreus. Infeksi yang disebabkan oleh
Aspergillus biasanya bersifat sistemik (Khoufache et al. 2007). Morfologi koloni A.
flavus pada PDA saat awal akan berwarna putih pada bagian miselium kemudian
setelah 3 hari akan berwarna hijau olive pada bagian obverse (Gambar 1) (Khan 2021).
Secara mikroskopis konidiofor akan nampak tidak berwarna, berdinding tebal,
kasar dan mengandung vesikel. Diameter konidiofor berkisar antara 800 hingga 1200
µm (Gambar 1). Bentuk vesikel A. flavus adalah globosa dengan diameter berkisar
antara 1800 hingga 2000 µm. Konidianya berbentuk bulat, berdinding tipis, agak kasar
dengan diameter antara 250 hingga 450 µm (Gambar 2) (Khan 2021).

Gambar 1 Aspergillus flavus pada media PDA. (A) obverse, (B) reverse
(Khan 2021).

Gambar

Gambar 2 Aspergillus flavus secara mikroskopis perbesaran objektif 100x (Khan


2021).

2.2 Aspergillus niger


Aspergillus niger merupakan jenis jamur antagonis yang biasa digunakan untuk
menghambat pertumbuhan jamur patogen. Aspergillus niger juga sebagai agen
biokontrol untuk mengendalikan jamur patogen. Menurut Putri et al. (2021)
Aspergillus niger pada ciri makroskopis PDA berwarna putih pada titik suhu dan waktu
yang tepat, koloni ini berubah warna menjadi hitam dengan sedikit pinggiran putih dan
permukaan bawah koloni berwarna kecoklatan. mempunyai karakteristik yang khas
yaitu adanya lapisan konidiofor yang rapat dan padat berwarna coklat gelap sampai
hitam. Pengamatan mikroskopis terhadap Aspergillus niger dapat dicirikan pada warna
konidia, fialid memenuhi seluruh permukaan vesikel dan vesikel globose (bulat)
berukuran besar. Kapang ini mampu menghasilkan enzim ekstraseluler berupa
glukoamilase yang dapat memecah polisakarida dengan menghasilkan glukosa. Secara
industri telah diproduksi beberapa hasil fermentasinya secara murni melalui kapang ini.
Hal ini dapat dilakukan karena mudah prosesnya dan mampu menjadi bahan aditif
pakan ternak untuk meningkatkan mutu pakan rendah nitrogen. Kapang ini memiliki
kendala pada pengembangannya karena adanya sifat beracun dari kapang Aspergillus
niger dan dapat menimbulkan penyakit aspergillosis pada manusia. Pemanfaatan
Aspergillus niger untuk fermentasi bahan pakan telah dilaporkan dengan menggunakan
dedak padi untuk menghilangkan kandungan asam pitat yang menjadi penghambat
ketersediaan nutrien dedak padi, karena Aspergillus niger dapat menghasilkan enzim
pitase yang dapat melepaskan ikatan asam pitat terhadap mineral dan protein yang
terikat oleh asam pitat (Akhadiarto 2009).

2.3 Penicillium
Penicillium diklasifikasikan menurut sistem nama binomial yaitu Kingdom
Fungi, Filum Ascomycota, Kelas Eurotiomycetes, Ordo Eurotiales, Famili
Trichocomaceae, Genus Penicillium dan banyak spesies tersebar di alam (Fardiaz
1989). Karakteristik mikroskopis Penicillium sp. menurut literatur yaitu memiliki
rantai konidia bersel tunggal yang diproduksi dari sel khusus konidia yang disebut
fialid. Fialid dapat diproduksi secara tunggal, berkelompok atau dari metula yang
bercabang, dan akan berbentuk seperti sikat (penicillus). Beberapa jenis Penicillium
sp. yang terkenal antara lain P. notatum yang digunakan sebagai produsen antibiotik
dan P. camembertii yang digunakan untuk membuat keju biru (Purves dan Sadava
2003). Penicillium sp. merupakan jamur yang berkembang biak secara aseksual dengan
membentuk konidium yang berada di ujung hifa. Setiap konidium akan tumbuh
menjadi jamur baru. Konidium berwarna kehijauan. Konidium berbeda dengan
sporangium, karena tidak memiliki selubung pelindung seperti sporangium. Tangkai
konidium disebut konidiofor, dan spora yang dihasilkannya disebut konidia. Konidium
ini memiliki cabang-cabang yang disebut phialides sehingga tampak membentuk
gerumbul. Lapisan dari phialides yang merupakan tempat pembentukan dan
pematangan spora disebut sterigma (Purves dan Sadava 2003). Dinding spora relatif
impermeable, tetapi zat pewarna dapat dibuat menembusnya dengan pemanasan
preparat. Sifat impermeable ini juga bisa menghambat dekolorisasi spora pada tahap
pemberian alkohol yang biasanya cukup untuk dekolorisasi sel vegetatif. Bentuk dan
warna spora ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengidentifikasi jamur.

2.4 Aspergillus fumigatus


Aspergillus merupakan jamur yang dapat ditemukan dimana-mana, tumbuh
sebagai saprofit, dan berkembang biak dengan pembentukan hifa atau spora, serta
menghasilkan konidiofora pembentuk spora (Hasanah 2017). Aspergillus membentuk
filamen-filamen panjang bercabang dan ketika ditumbuhkan dalam media biakan akan
membentuk miselia dan konidiospora Aspergillus fumigatus merupakan salah satu
spesies fungi dari genus Aspergillus. A. fumigatus dapat ditemukan di tanah, air, udara,
dan tumbuhan yang mengalami pembusukan. Spora jamur ini memiliki ukuran yang
sangat kecil dan ringan sehingga mudah menyebar di udara (Gandi et al. 2019). A.
fumigatus dapat menyebabkan terjadinya aspergillosis yang merupakan penyakit yang
menyerang saluran pernapasan. Fungi ini dapat tumbuh koloninya pada suhu ruang 25-
37℃ dan suhu dingin 4-10℃. A. fumigatus selain dapat menyebabkan penyakit pada
saluran pernpasan, jamur tersebut juga dapat menyebabkan dermatitis (Juliantari et al.
2022). Penyebaran infeksi jamur dapat terjadi secara langsung dengan lesi pada tubuh,
dan dapat secara tidak langsung melalui spora yang ada di lingkungan. Dermatitis atau
infeksi pada kulit akibat jamur sangat cepat menyebar karena pertumbuhan jamur tidak
terkontrol (Juliantari et al. 2022).

III METODE
3.1 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu sampel kerokan kulit, lactophenol cotton
blue (LPCB), mikroskop, pinset, gelas objek, cover glass, plastik klip, bunsen, korek,
media Potato Dextrose Agar (PDA), scalpel, dan blade.

3.2 Sinyalemen dan Anamnesis


Sampel 1
Nama : Wawa
Jenis hewan : Kucing
Breed : Mix domestik
Warna : Jingga
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 5-6 tahun
Tanda khusus :-
Kucing Wawa terlihat memiliki luka abses, luka sudah didrainase dan sering
dijahit tetapi selalu terbuka kembali selama 1 tahun lebih, terlihat lemas dan sering di
garuk. Sudah dilakukan pemberian obat tetapi belum kunjung sembuh sampai
sekarang.

Gamabar 3 Kucing Wawa.

Sampel 2
Nama : Ragil
Jenis hewan : Anjing
Ras : Mongrel
Umur : 1 tahun
Berat badan : 16 kg
Warna : Cokelat
Tanda khusus :-
Pada awalnya anjing menunjukkan adanya bercak bulat kemerahan yang gatal
serta alopecia pada bagian kaki depan sebelah kiri, beberapa hari kemudian ditemukan
bahwa bercak sudah menyebar ke bagian tubuh lainnya, terutama bagian ventral
abdomen. Hewan telah dilakukan pemeriksaan dengan wood lamp dan mendapatkan
hasil positif. Hewan sudah diberi pengobatan dengan pemberian antifungi sistemik dan
juga topikal, akan tetapi lesio berupa ringworm baru muncul di bagian tubuh lainnya.

Gambar 4 Anjing Ragil


3.3 Pengambilan Sampel
Sampel pertama diambil di kediaman drh. Caraka. Sampel diambil dengan cara
kerokan kulit menggunakan scalpel yang terbalik lalu dimasukkan ke dalam plastik
klip dan diberi label. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium diagnostik RSHP IPB
untuk dilakukan identifikasi.
Sampel kedua diambil di kandang anjing milik RSHP IPB. Sampel diambil
dengan cara kerokan kulit menggunakan scalpel yang terbalik lalu dimasukkan ke
dalam plastik klip dan diberi label. Selanjutnya, sampel dibawa ke laboratorium
diagnostik RSHP IPB untuk diidentifikasi.

3.4 Teknik Pengamatan Fungi


Sampel pertama dan kedua dilakukan kultur di media Potato Dextrose Agar
(PDA) untuk melihat pertumbuhan yang terjadi. Setelah terdapat koloni yang tumbuh,
lalu diambil koloni yang terpisah untuk dilakukan subkultur ke dalam media PDA.
Hasil subkultur yang tumbuh kemudian diamati dengan cara memanaskan pinset lalu
didiamkan beberapa saat, setelah itu sampel diambil dan diletakkan diatas kaca objek
yang telah steril. Kemudian diteteskan lactophenol cotton blue (LPCB) sebanyak satu
tetes lalu ditutup menggunakan cover glass setelah itu preparat siap untuk diamati.
Pengamatan dilakukan untuk melihat hifa dan konidia (makrokonidia dan
mikrokonidia).
Lactophenol cotton blue atau LPCB akan memperlihatkan fungi berwarna biru
cerah sehingga akan terlihat lebih jelas bagian-bagian dari fungi baik hifa, spongarium,
konidium, dan lain sebagainya. Pewarna lain yang dapat digunakan adalah metilen blue
(Hadioetomo dan Ratna 2003)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Jamur Anjing Ragil I


Berdasarkan hasil kultur jamur dari sampel anjing Ragil pada media Potato
Dextrose Agar (PDA) didapatkan adanya pertumbuhan beberapa koloni jamur
(Gambar 5) yang selanjutnya dilakukan subkultur pada media PDA lainnya dari 3
koloni yang berbeda.
Berdasarkan hasil pengamatan pada kultur jamur yang berasal dari anjing Ragil,
koloni pertama menunjukkan ciri makroskopis permukaan berwarna hijau dengan
tekstur cottony dan bagian dasar berwarna kekuningan (Gambar 5). Ciri makroskopis
tersebut memiliki kesamaan dengan jamur Aspergillus flavus. Morfologi koloni jamur
tersebut dapat diamati secara mikroskopis dengan pewarnaan Lactophenol Cotton Blue
(LPCB). Secara mikroskopis morfologi Aspergillus flavus terlihat membentuk hifa
bersepta, konidiofor terlihat memanjang, dan memiliki vesikel yang terlihat lebih
terang daripada fialid yang tumbuh hampir mengelilingi vesikel. Hal ini sesuai dengan
pengamatan Fallo (2017) terhadap Aspergillus flavus yang diisolasinya memiliki
morfologi konidiofor memiliki panjang tangkai 400 μm-1 mm, berdinding kasar,
vesikula bulat berdiameter 20-45 μm, membentuk metula dan fialid yang memiliki
panjang 7-10 μm, konidium bulat sampai agak bulat, biasanya berdiameter 3.5- 5 μm.
Fialid pada Aspergillus flavus dapat berbentuk uniseriate dan biseriate yang tumbuh di
sebagian besar vesikel (Walsh et al. 2018).

Gambar 5 Pertumbuhan koloni Aspergillus flavus yang diisolasi dari kerokan kulit anjing
Ragil.

Gambar 6 Pengamatan morfologi Aspergillus flavus secara mikroskopis.


4.2 Identifikasi Jamur Anjing Ragil II
Secara makroskopis, topografi fungi terlihat rata dengan tekstur seperti granul
dengan sisi atas tertutupi warna hitam dan sisi bawah dengan warna kekuningan. Hal
ini sejalan dengan literatur yang ditulis Campbell et al. (2013) mengenai Aspergillus
niger. Pertumbuhan koloni ini cepat dengan usia kematangan dalam 3 hari.
Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis jamur pada anjing ragil menunjukkan
Aspergillus niger. Berdasarkan pengamatan dapat dilihat bahwa fialid memenuhi
seluruh permukaan vesikel dan vesikel berbentuk bulat, berwarna gelap dan berukuran
besar. Hal ini sesuai dengan Walsh et al. (2018) menyatakan Aspergillus niger
memiliki fialid menyebar ke seluruh vesikel dan bersifat biseriate, memiliki konidia
berwarna gelap. Aspergillus niger memiliki konidiofor lembut, panjang dan berwarna
bening. Konidium berbentuk bulat, agak kasar dan berwarna hitam (Wulandari et al.
2016).

Gambar 7 Gambaran makroskopis pertumbuhan koloni dari anjing Ragil.

Gambar 8 Gambaran mikroskopis koloni yang diisolasi dari anjing Ragil.

4.3 Identifikasi Jamur Anjing Ragil III


Hasil subkultur pada media PDA koloni yang ke tiga setelah 2 hari menunjukan
gambaran makroskopis sebagai berikut :

Gambar 9 Pengamatan makroskopis Penicilium sp. tampak atas.

Gambar 10 Pengamatan makroskopis Penicilium sp. tampak bawah.

Gambar 11 Makroskopis Penicilium sp (Nurhidayah et al. 2021).

Gambar 12 Pengamatan mikroskopis Penicilium sp (Nurhidayah et al. 2021).


Gambar 13 Pengamatan mikroskopis Penicilium sp (Nurhidayah et al. 2021).

Pengamatan makroskopis subkultur koloni ke-3 anjing Ragil menggambarkan


bagian atas putih dengan tekstur velvety dan dasar koloni berwarna merah kekuningan.
Pengamatan mikroskopis subkultur koloni ke-3 anjing Ragil dengan mengambil
sampel menggunakan yang diletakan pada gelas objek yang telah ditetesi Lactphenol
Cotton Blue menggambarkan hifa dan konidia yang bulat. Ciri fungi Penicillium sp.
koloni awalnya berwarna putih, kemudian berubah menjadi kuning atau kemerahan,
dan warna sebalik biasanya berwarna kuning pucat. Ciri mikroskopis jamur Penicillium
sp. yaitu memiliki hifa, konidia yang bulat, serta memiliki sekumpulan fialid
(Nurhidayah et al. 2021). Gambaran makroskopis dan mikroskopis tersebut memiliki
persamaan dengan pengamatan subkultur ke-3 anjing Ragil sehingga sampel
inimengarah kuat pada jenis fungi Penicilium sp. Fadaeifard et al. (2011) menyatakan
Penicillium sp. memiliki potensi patogenitas alergi. Penicillium sp. yang umumnya
ditemukan di tanah, benda dan ruangan yang lembab dapat menyebabkan timbul rasa
gatal.

4.4 Identifikasi Jamur Kucing Wawa


Hasil kultur jamur dari sampel kulit dari kucing Wawa pada media Potato
Dextrose Agar (PDA) didapatkan adanya pertumbuhan koloni jamur dengan gambaran
makroskopis sebagai berikut (Gambar 14). Berdasarkan hasil pengamatan
makroskopis, ditemukan adanya koloni jamur dengan berwarna hijau dengan pinggiran
berwarna putih, ciri makroskopis tersebut memiliki kesamaan dengan koloni jamur
Aspergillus fumigatus, hal tersebut menurut Gandi et al. (2019), makroskopis
pertumbuhan jamur Aspergillus fumigatus pada media PDA dapat diidentifikasi setelah
dilakukan inkubasi selama 3x24 jam, hasil pengamatan makroskopis tersebut diperoleh
makroskopis jamur Aspergillus fumigatus ditandai dengan koloni jamur yang berwarna
hijau jamur berwarna hijau tua dengan pinggiran berwarna putih, diameter jamur
sekitar 2-3 cm dan berbentuk bulat dengan tepian koloni rata serta permukaan halus,
tekstur dari jamur tersebut seperti beludru.
Gambar 14 Pengamatan makroskopis Aspergillus fumigatus

Gambar 15 Makroskopis jamur Aspergillus fumigatus pada media PDA


(Gandi et al. 2019)

Selain pengamatan secara makroskopis, dilakukan juga pengamatan secara


mikroskopis dengan zat pewarna Lactophenol Cotton Blue (LPCB). Berdasarkan hasil
pengamatan ditemukan adanya struktur makrokonidia dengan fialid yang hanya
tumbuh pada ⅔ bagian atas dari vesikel sejajar dengan sumbu konidiofor (Gambar 16).
Hasil ini sesuai dengan gambaran mikroskopis jamur Aspergillus fumigatus. Menurut
Walsh et al. (2018), Aspergillus fumigatus memiliki tampilan mikroskopis berupa hifa
bersepta, konidiofor halus dan relatif pendek (<300 um), serta fialid uniseriate, tampak
berdekatan, dan hanya terbentuk pada ⅔ bagian atas dari vesikel. Bentuk ini disebut
sebagai formasi kolumnar. Selain itu, konidia tampak bulat dan halus dengan diameter
2-3.5 nm.
Gambar 16 Pengamatan mikroskopis (bulat)

Gambar 17 Perbandingan hasil pengamatan mikroskopis sampel (A) dengan


Aspergillus fumigatus (B) (Walsh et al. 2018)
SIMPULAN

Jamur yang diisolasi dari kerokan kucing Wawa dan anjing Ragil teridentifikasi
dari jenis Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus dan Penicilium
sp.
DAFTAR PUSTAKA

Akhadiarto S. 2009. Pemanfaatan limbah kulit singkong, kulit pisang, dan kulit kentang
sebagai bahan pakan ternak melalui teknik fermentasi. Jurnal Teknik
Lingkungan. 10(3):257-263.
Adzima V , Jamin F, Abrar M. 2013. Isolasi dan identifikasi kapang penyebab
dermatofitosis pada anjing di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Jurnal
Medika Veterinaria. 7(1): 46-48.
Campbell. (2013). Intisari biologi edisi ke 6. Jakarta: Erlangga.
Enoch, DA, Ludlam HA, Brown NM. 2006. Invasive fungal infections: a review of
epidemiology and management options. J Med Microbiol. 55:809–818.
Fadaeifard, F., Mehdi, R., Hamidreza, B., Ebrahim, R., Ahmad, N. 2011. Freshwater
Fungi Isolated from Eggs and Broodstocks with an Emphasis on Saprolegnia in
Rainbow trout Farms in West Iran. Journal of Microbiology Research.
4(22):3649.
Fallo G. 2017. Pertumbuhan Fusarium verticillioides, Aspergillus flavus, dan Eurotium
chevalieri pada berbagai media. Jurnal Pertanian Konservasi Lahan Kering.
2(3): 39-41.
Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Gandi NLPG, Getas IW, Jannah M. 2019. Studi jamur Aspergillus fumigatus penyebab
aspergillosis di Pasar Cakranegara Kota Mataram dengan media pertumbuhan
potato dextrose agar (PDA). Jurnal Analis medika Bio Sains. 6(1): 1-9.
Hadioetomo, Ratna S. 2003. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama.
Hasanah U. 2017. Mengenal aspergillosis, infeksi jamur genus Aspergillus. Jurnal
Keluarga Sehat Sejahtera. 15(2): 76-86.
Jayanti PD, Batan IW, Sibang INAAN. 2022. Laporan kasus: dermatitis akibat infeksi
Curvularia sp., Penicilium sp., dan Aspergillus sp. pada anjing kampung.
Indonesia Medicus Veterinus. 11(6): 922-936.
Khoufache K, Puel O, Loiseau N, Delaforge M, Rivollet D, Coste A,Cordonnier C,
Escudier E, Botterel F, Bretagne S. 2007. Verruculogen associated with
Aspergillus fumigatus hyphae and conidia modifies the electrophysiological
properties of human nasal epithelial cells. BMC Microbiol. 7(1):5.
Khan R. 2021. Morphology of Aspergillus flavus. Malaysia: University Putra Malaysia.
Nurhidayah, Dhanty, Supriyadi. 2021. Identifikasi jamur patogen penyebab
dermatophyitosis pada jari kaki petani di bojongsari banyumas. JlabMed. 1(5)
:7-15.
Purves, Sadava. 2003. Life The Science of Biology 7th Edition. New York (USA):
Sinauer Associates Inc.
Putri MBP, Santoso E, Marji. 2017. Diagnosis penyakit kulit pada kucing
menggunakan metode modified KNearest neighbor. Jurnal Pengembangan
Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 1(12): 1797-1803.
Putri MC, Erina, Abrar M, Daud M. 2021. Isolasi dan identifikasi Aspergillud sp. pada
kantung hawa puyuh (Cortunix Japonica). Acta Veterinaria Indonesia. 9(2):
134-142.
Sudipa PH, Gelgel KTP, Jayanti PD. Identifikasi dan prevalensi jamur curvularia pada
anjing dan kucing di Kabupaten Badung, Bali Tahun 2020. Indonesia Medicus
Veterinus. 10(3): 432-440.
Walsh TH, Hayden RT, Larone DH. 2018. Larone’s Medically Important Fungi 6th
Edition. Washington DC: ASM Press.
Wulandari DE, Asrul. Lakani I. 2016. Seleksi jamur antagonis Aspergillus niger dari
beberapa lahan perkebunan kakao untuk mengendalikan Phytophthora
palmivora. J. Agroland. 23(3): 233-242.

LAPORAN BAKTERI DAN MIKAL


LABORATORIUM DIAGNOSTIK

IDENTIFIKASI BAKTERI ESCHERCHIA COLI DENGAN METODE PCR

Dosen Pembimbing:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

Disusun oleh:

Anggi Nahriyatussyifa, S.K.H B9404231017

Aqila Tsabita, S.K.H B9404231028


Dea Khalisa, S.K.H B9404231069
Falsa Martiana Kencana Putri, S.K.H B9404231038
Farradiba Shafa Aqila, S.K.H B9404231046
Ichlasul Khaerul Alim P, S.K.H B9404231009
Inayati Ilmi, S.K.H B9404231055
Muhammad Emir Kusuma Wardhana, S.K.H B9404231014

Reza Mahdiah Reflianti, S.K.H B9404231053


Shafa Adela Putri, S.K.H B9404231068

Vapriel Andhika Pattikawa, S.K.H B9404231083

LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesehatan lingkungan merupakan suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang
optimal sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang
optimal pula (Notoatmodjo 2011). Banyak aspek kesejahteraan manusia dan hewan
dipengaruhi oleh lingkungan, diantaranya adalah penyakit yang terjadi di masyarakat
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor makanan. Makanan yang masuk ke dalam tubuh
manusia harus dijaga kualitasnya dari bakteri patogen yang dapat menyebabkan diare
salah satunya Escherchia coli yang dijadikan sebagai indikator kualitas makanan yang
baik (Prasetya et al. 2019). Bakteri ini termasuk flora normal manusia, namun dapat
menyebabkan penyakit yang serius seperti hemolytic uremic syndrome (HUS),
hemorrhagic colitis (HC), keracunan makanan, dan diare (Hemeg 2018).
Deteksi bakteri E. coli dilakukan menggunakan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR) adalah salah satu teknik deteksi molekuler yang digunakan untuk
mengidentifikasi penyakit infeksi yang disebabkan oleh Escherchia coli (Ismaun
2021). Metode ini memiliki banyak kelebihan yaitu dapat menghasilkan amplifikasi
produk yang akurat, cepat, spesifik, membutuhkan jumlah sampel yang sedikit dan
metode ini dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan diagnostic konvensional
(kultur). Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam
jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Teknik ini sangat berguna dalam
mengidentifikasi dan mendeteksi keberadaan mikroorganisme tertentu, termasuk
bakteri seperti E. coli. Reaksi berantai polymerase adalah suatu metode enzimatis untuk
amplifikasi DNA dengan cara in vitro. PCR ini pertama kali dikembangkan pada tahun
1985 oleh Kary B. Mullis. Amplifikas DNA pada PCR dapat dicapai bila menggunakan
primer oligonukleotida yang disebut amplifiers. Primer DNA suatu sekuens
oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA.

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi keberadaan
mikroorganisme patogen seperti bakteri E. coli pada sampel.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri E. coli


Bakteri E. coli merupakan bakteri yang termasuk dalam kategori bakteri
koliform. Bakteri koliform merupakan bakteri indikator keberadaan dari adanya bakteri
patogenik lain. Bakteri E. coli berbentuk batang pendek (kokobasil), ukuran 0,4 µm –
0,7 µm x 1,4 µm, Gram negatif, bersifat oksidase positif, fakultatif anaerob,
memfermentasi glukosa, mengubah nitrat menjadi nitrit, dan beberapa strain
mempunyai kapsul. Selain itu, E. coli kebanyakan motil dilengkapi dengan peritrichous
flagella dan kadang fimbriae. Bakteri E. coli secara khas menunjukkan hasil positif
pada tes indol, lisin dekarboksilase, fermentasi laktosa, dan menghasilkan gas dari
glukosa (Quinn et al. 2011). Bakteri E. coli umumnya secara normal berada dalam
saluran pencernaan manusia dan hewan. Terdapat strain E. coli yang patogen dan non
patogen. Bakteri E. coli non patogen banyak ditemukan di dalam usus besar manusia
sebagai flora normal dan berperan dalam pencernaan pangan dengan menghasilkan
vitamin K dari bahan yang belum dicerna dalam usus besar. Bakteri E. coli akan
menjadi patogen jika berada diluar habitat aslinya (Braz et al. 2020). Strain patogen E.
coli dapat menyebabkan kasus diare berat pada semua kelompok usia melalui
endotoksin yang dihasilkannya (Quinn et al. 2011).)
Bakteri E. coli dijadikan sebagai bakteri indikator sanitasi dan higiene personal
yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa pangan tersebut pernah
tercemar oleh kotoran manusia dan atau hewan karena bakteri-bakteri tersebut lazim
terdapat dan hidup pada saluran pencernaan. Adanya bakteri tersebut pada pangan
menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahan pangan tersebut pernah
mengalami kontak dengan kotoran yang berasal dari usus manusia dan hewan. Sampai
saat ini ada 3 jenis bakteri yang dapat digunakan untuk menunjukkan adanya masalah
sanitasi yaitu E. coli, kelompok Streptococcus (Enterococcus) fekal, dan C. perfringens
(Ashbolt 2001). Bakteri E. coli patogen yang menyebabkan penyakit pada saluran
pencernaan dibedakan menjadi enam virotipe, yaitu Enterotoxigenic Escherichia coli
(ETEC) banyak menyebabkan diare pada turis yang melakukan perjalanan ke negara
lain (Travel’s diare), Enteropatogenic Escherichia coli (EPEC) yang banyak
menyebabkan diare pada anak-anak, Enteroinvasif Escherichia coli (EIEC)
menyebabkan Shigella-like dysentery, Diffusely Adherent Escherichia coli (DAEC)
yang merupakan penyebab diare pada anak, Enteroaggregatif Escherichia coli (EAEC)
dikaitkan dengan diare persisten pada anak-anak di negara berkembang, dan
Enterohaemorrhagic Escherichia coli (EHEC) yang menyebabkan gastroenteritis dan
hemolytic-uremic syndrome (HUS) (Andreozzi dan Uhlich 2020).

2.2 Gen usp


Menurut Godambe et al. (2017) dan Bhowmik et al. (2022) gen uspA adalah
marker genetik untuk identifikasi E. coli dengan metode PCR. Universal stress protein
adalah protein yang secara signifikan diekspresikan di bawah tekanan lingkungan yang
tidak menguntungkan, seperti kelaparan nutrisi (kekurangan karbon, nitrogen, fosfat,
sulfat, dan asam amino), stres panas/dingin, stres oksidatif, toksisitas logam berat,
pelepasan rantai transpor elektron, paparan polimiksin, sikloserin, etanol dan antibiotik
dan lain-lain (Kvint et al. 2003). Escherichia coli memiliki enam USP yang berbeda
yaitu USPA, USPC, USPD, USPE, USPF dan USPG. Masing-masing protein
disandikan oleh gen yang berbeda. Gen uspA, uspC, uspD, uspE, uspF dan uspG adalah
gen yang mengkode universal stress protein (USP) A, C, D, E, F dan G, berturut-turut.
Setiap USP pada E. coli memiliki fungsi spesifiknya sendiri dalam tekanan lingkungan
tertentu.

2.3 PCR (Polymerase Chain Reaction)


PCR merupakan metode melipatgandakan ruas DNA secara logaritmik dan
terkontrol. Konsep melipat gandakan ruas DNA dalam PCR disebut juga sebagai
amplifikasi. Amplifikasi merupakan bagian in vitro pada PCR, yaitu tahap
penggandaan sekuens kromosom dengan bantuan enzim DNA polimerase. Kelebihan
PCR di antaranya adalah primer PCR dapat dirancang untuk mengenali ruas DNA yang
umum pada sebuah kelompok virus maupun pada virus spesifik, primer dapat didesain
untuk mendeteksi lebih dari satu jenis virus, dan dapat dilakukan sekuensing dengan
DNA produk PCR (Payne 2017). PCR sebagai teknik deteksi genom ASFV telah
banyak dikembangkan baik dalam bentuk konvensional maupun real-time. Agüero et
al. (2003) menggunakan gel-based PCR dengan primer PPA-1 dan PPA-2 untuk
mendeteksi ruas p72. King et al. (2003) melakukan real-time PCR dengan tipe closed-
tube TaqMan PCR untuk mendapat hasil objektif dan kuantitatif dari PCR ASFV.
Fernández-Pinero et al. (2013) kemudian menggunakan real-time PCR dengan tipe
universal probe library (UPL) PCR dan mendapat hasil yang lebih akurat dibanding
TaqMan PCR, terutama pada hewan dengan level viraemia rendah seperti babi dengan
ASF kronis. Teknik PCR terus berkembang sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Adapun beberapa jenis PCR standar ialah allel spesific PCR, colony PCR, degenerate
PCR, hotstart PCR, inverse PCR, miniprimer PCR, multiplex PCR, nested PCR, serta
touch down PCR (Singh et al. 2014).

III METODE

1. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mikropipet, tip,
centrifugation, vortex, set elektroforesis, mesin PCR, tabung eppendorf,
photopheresis, tabung erlenmeyer, hot plate, plastic wrap, dan
spektrofotometer.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah biakan murni E. coli,
primer, MyTaq HS Red Mix, mastermix, agarose, TAE (Tris-Acetate EDTA),
akuades, dan loading dye.

2. Ekstraksi
Isolat bakteri diambil dan dimasukkan ke dalam 10 tabung eppendorf
steril yang telah terisi akuades. Sampel ditutup rapat dan tutup direkatkan
dengan plastic wrap. Seluruh tabung dimasukkan ke dalam air mendidih selama
5 menit. Setelah 5 menit, tabung dimasukkan ke dalam air dingin selama 5-10
menit untuk menghentikan pemanasan. Sampel kemudian divortex selama 3
menit. Proses pemanasan dan vortex diulangi sebanyak 3 kali. Larutan
supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf baru kemudian disimpan dalam
suhu -20 °C. Larutan supernatan yang sudah dingin diambil kemudian
disentrifugasi dalam kecepatan 5000 rpm selama 3 menit.

3. Amplifikasi
Supernatan yang berisi DNA murni dipisahkan dan dimasukkan ke
dalam mikrotube sebanyak 2 µl. Master mix kemudian dibuat dengan cara
mencampurkan PCR mix (24 µl), primer forward 10 (4 µl), primer reverse (4
µl), aquades (8 µl). Mastermix sebanyak 10 µl kemudian di campurkan ke
dalam masing-masing microtube yang berisi DNA murni. Microtube yang telah
berisi mastermix dan DNA dimasukkan ke dalam PCR untuk dilakukan
amplifikasi. Proses amplifikasi dilakukan pada kondisi awal denaturasi yaitu
95˚C dilanjutkan dengan 30 siklus denaturasi pada suhu 95˚C selama 15 detik,
annealing 58˚C selama 30 detik dan ekstensi 72˚C selama 1 menit dan
diperpanjang menjadi 10 menit. Suhu dan waktu yang digunakan pada setiap
tahapannya antara lain denaturasi, annealing, dan elongasi sudah tertera dalam
mesin. Gen spesifik yang digunakan dalam amplifikasi DNA E.coli yaitu UspA.

4. Elektroforesis
Elektroforesis diawali dengan menyiapkan agarose terlebih dahulu.
Agarose yang digunakan yaitu agarose 1%. Bahan yang perlu disiapkan yaitu
agarose dan TAE 10%. TAE 10% dibuat dengan mencampurkan TAE 4 mL
dan aquades 36 mL. Tahapan selanjutnya yaitu mencampurkan 0,4 gram
agarose dengan 40 mL TAE 10%, lalu pencetak sumur diletakkan ke dalam
cetakan agar dan kemudian larutan agar dituangkan ke dalam cetakan agar.
Agar didiamkan hingga mengeras, dan ketika sudah mengeras, cetakkan sumur
diangkat. Buffer TAE dituangkan ke dalam cetakan agar hingga mencapai
tinggi 1 mm diatas agar. Sebanyak 3 μl DNA sampel dihomogenkan dengan
loading dye 1 μl dan H2O sebanyak 6 μl. Selanjutnya larutan DNA dimasukkan
ke dalam sumur agarose 1% lalu kemudian dielektroforesis selama 30 menit
dengan tegangan 100 volt 80 A. DNA yang berkualitas baik akan terlihat
berpendar dan tidak smear ketika diamati menggunakan ultra violet
transilluminator.
IV PEMBAHASAN
Proses isolasi DNA pada praktikum ini dilakukan menggunakan metode boiling
cell. Metode boiling cell merupakan metode yang menggunakan suhu panas untuk
melisiskan sel, metode ini tergolong cepat, sederhana, dan merupakan metode yang
efektif digunakan untuk isolasi DNA bakteri. Proses tersebut membutuhkan tiga kali
sentrifugasi untuk mendapatkan sel, membuang debris sel setelah proses perebusan dari
jumlah total endapan DNA (Ismaun et al. 2021). Penyiapan template DNA sampel
yang digunakan untuk diamplifikasi dengan PCR, ekstraksinya dilakukan dengan cara
boiling method, karena metode ini cukup efisien dan ekonomis dimana Escherichia
coli termasuk bakteri Gram negatif yang memiliki dinding sel yang tidak terlalu tebal
sehingga mudah dilisiskan dengan pemanasan. Pada dasarnya, metode boiling dengan
pemanasan 100 oC ini mempercepat lisis dinding sel bakteri sehingga DNA dapat
diekstraksi sekaligus mempermudah proses denaturasi rantai DNA ketika dilakukan
amplifikasi dengan cara PCR.
Proses amplifikasi dilakukan pada kondisi awal denaturasi yaitu 95˚C
dilanjutkan dengan 30 siklus denaturasi pada suhu 95˚C selama 15 detik, annealing
58˚C selama 30 detik dan ekstensi 72˚C selama 1 menit dan diperpanjang menjadi 10
menit. Escherichia coli dalam sampel dapat diamplifikasi dengan PCR menggunakan
primer yang dirancang berdasarkan sekuens DNA yang mengkodekan 16S rRNA.
Salah satu pasangan primer rRNA telah didesain berdasarkan sekuens daerah V3 dan
V6 dari gen 16S rRNA telah digunakan untuk mendeteksi Escherichia coli (Tsen et al.
1998). Pasangan primer 16E1 pada daerah V3 dan 16E2 atau 16E3 pada daerah V6
merupakan sepasang primer yang telah terbukti dapat mengidentifikasi Escherichia
coli dan bersifat spesifik spesies terhadap galur Escherichia coli dan non-Escherichia
coli
Uji kualitas DNA dilakukan dengan menguji sampel yang diduga positif
terhadap bakreri Escerichia coli. Denaturasi merupakan tahap sebelum enzim
polimerasi bekerja, terjadi pembukaan rantai ganda tunggal. Tahap annealing
merupakan tahap yang penting karena merupakan tahap dari penempelan primer
setelah rantai ganda DNA terbuka. Pemilihan suhu annealing yang terlalu rendah akan
menyebabkan penempelan yang tidak spesifik, sedangkan suhu yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan sulit terbentuknya ikatan primer dan DNA template (Siallagan et
al. 2022). Suhu ekstensi primer yang digunakan adalah 72˚C. Jumlah siklus PCR juga
dapat menentukan spesifisitas produk PCR. Jumlah siklus yang dipakai dalam
penelitian ini yaitu 30 siklus. Jumlah tersebut masih dalam kisaran yang optimal.
Menurut (Ismaun et al. 2021) jumlah siklus yang optimal untuk PCR yaitu 25-45 siklus.
Jumlah siklus yang terlalu banyak dapat mengurangi aktivitas primer, dNTP, dan Taq
DNA polymerase sehingga produk PCR tidak spesifik.
Identifikasi E. coli dengan prosedur PCR dilakukan dengan amplifikasi dari gen
uspA yang mengkode E. coli-specific universal stress protein (uspA-PCR). Primer
yang digunakan adalah pasangan primer Ec1 / Ec2 (sekuens DNA yang mengapit gen
uspA). Primer ini menghasilkan amplikon 884-bp, dan memungkinkan identifikasi dan
membedakan E. coli dari bakteri lainnya (Osek dan Dacko 2001).

Tabel 1 Primer yang digunakan dalam prosedur PCR


Kode primer Sekuens primer (5’ - 3’) Gen Produk gen Amplikon
target PCR (bp)

Ec1 CCGATACGCT uspA Universal stress 884


protein
GCCAATCAGT

Ec2 ACGCAGACCGTAGGCCAGAT

Sumber: Chen dan Griffiths (1998)

Sampel yang telah diamplifikasi divisualisasi dengan elektroforesis


menggunakan agarose gel 1% dan diamati menggunakan UV transluminator.
Elektroforesis menggunakan agarose gel merupakan cara yang efektif dan efisien untuk
memisahkan fragmen DNA dengan berbagai ukuran (Lee et al. 2012). Sebelum proses
elektroforesis, DNA diwarnai dengan florosafe DNA stain yang dicampurkan saat
pembuatan gel agarose sehingga DNA dapat terlihat saat disinari sinar ultraviolet
(Fadllan et al. 2019). Hasilnya menunjukkan pendaran pita di semua isolat dengan
panjang basa 844 bp (Gambar 1). Hasil ini menyatakan semua isolat positif E. coli.
Menurut Widodo (2021), standar nilai panjang basa yang terbentuk dari isolat bakteri
E.coli yang di uji dengan PCR ialah 580 bp, hasil ini sesuai dengan Tsen et al. (1998).

Gambar 1 Konfirmasi bakteri E.coli dengan PCR. Isolat 1–10 positif E.coli dengan
panjang amplikon 844 bp.
V SIMPULAN

Berdasarkan hasil dari praktikum dapat disimpulkan bahwa isolat 1-10 yang
digunakan merupakan positif E.coli dengan panjang amplikon 844 pb.

DAFTAR PUSTAKA
Agüero M, Fernández J, Romero L, Mascaraque CS, Arias M, Sánchez-Vizcaíno JM.
2003. Highly sensitive PCR assay for routine diagnosis of African Swine Fever
Virus in clinical samples. J Clin Microbiol. 41(9):4431–4434.
doi:10.1128/JCM.41.9.4431-4434.2003.
Andreozzi E, Uhlich GA. 2020. PchE regulation of Escherichia coli O157:H7 flagella,
controlling the transition to host cell attachment. Int J Mol Sci. 21(13):4592.
doi:10.3390/ijms21134592.
Ashbolt NJ, Grabow WOK, Snozzi M. 2001. Indicators of Microbial Water Quality.
Fewtrell L, Bartram J, editor. London (UK): IWA Publishing.
Bhowmik A, Goswami S, Sirajee AS, Ahsan S. 2022. Phylotyping, pathotyping and
phenotypic characteristics of Escherichia coli isolated from various street foods
in Bangladesh. medRxiv. 2022.02.07.22270615. 46
doi:10.1101/2022.02.07.22270615.
Braz VS, Melchior K, Moreira CG. 2020. Escherichia coli as a multifaceted pathogenic
and versatile bacterium. Front Cell Infect Microbiol. 10:1-9.
doi:10.3389/fcimb.2020.548492
Chen J, Griffiths MW. 1998. PCR differentiation of Escherichia coli from other Gram-
negative bacteria using the gene encoding the universal stress protein. Lett. Appl.
Microbiol. 27: 369-371.
Fadllan F, Djuminar Ai, Hardiana AT, Dermawan Asep, Ernawati. 2019. Perbandingan
ekstraksi DNA Salmonella thypi dari kultur darah metode spin column dan
alcohol based. Jurnal Riset Kesehatan. 11(2): 232-242.
Fernández-Pinero J, Gallardo C, Elizalde M, Robles A, Gómez C, Bishop R, Heath L,
Couacy-Hymann E, Fasina FO, Pelayo V, et al. 2013. Molecular Diagnosis of
african swine fever by a new real-time PCR using universal probe library.
Transbound Emerg Dis. 60(1):43–58. doi:10.1111/j.1865-1682.2012.01317.x.
Godambe LP, Bandekar J, Shashidhar R. 2017. Species specific PCR based detection
of Escherichia coli from Indian foods. Biotech. 7(2):1–5. doi:10.1007/s13205-
017-0784-8.
Hemeg HA. 2018. Molecular characterization of antibiotic resistant Escherichia coli
isolates recovered from food samples and outpatient Clinics, KSA. Saudi Journal
of Biological Science. 25(1): 928- 931.
Ismaun, Muzuni, Hikmah N. 2021. Deteksi molekuler bakteri Echercia coli sebagai
penyebab penyakit diare dengan menggunakan teknik PCR. Jurnal Biologi
Makasar. 6(2): 1-9.
King DP, Reid SM, Hutchings GH, Grierson SS, Wilkinson PJ, Dixon LK, Bastos
ADS, Drew TW. 2003. Development of a TaqMan® PCR assay with internal
amplification control for the detection of African Swine Fever Virus. J Virol
Methods. 107(1):53–61. doi:10.1016/S0166-0934(02)00189-1.
Kvint K, Nachin L, Diez A, Nyström T. 2003. The bacterial universal stress protein:
function and regulation. Curr Opin. Microbiol. 6(2):140–145.
doi:10.1016/s1369-5274(03)00025-0.
Lee PY, Costumbrado J, Hsu CY, Kim YH. 2012. Agarose gel electrophoresis for the
separation of DNA fragments. J Vis Exp. 62: 1–5.
Notoatmodjo S. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni: Ed Revisi 2011. Rineka
Cipta. Jakarta.
Osek J, Dacko J. 2001. Development of a PCR-based method for spesific identification
of genotypic markers of shiga toxin-producing Escherichia coli strains. J Vet Med
B. 48: 771-778.
Prasetya YA, Winarsih IY, Pratiwi KA, Hartono MC, dan Rochimah DN. 2019.
Deteksi Fenotipik Escherichia coli Penghasil Extended Spectrum BETA-
LACTAMASES (ESBLS) Pada Sampel Makanan Di Krian Sidoarjo. Journal of
Biology. 8(1): 75-85.
Quinn PJ, Markey BK, Leonard FC, FitzPatrick ES, Fanning S, Hartigan PJ. 2011.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. 2nd ed. Iowa (IA): Blackwell
Scientific. hlm 263-273.
Siallagan CS, Syafii M, Samaullah MY, Susanto U, Pramudyawardani EF, Orastika D.
Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan. 8(8): 32-37.
Singh J, Birbian N, Sinha S, Goswami A. 2014. A critical review on PCR, its types and
applications. Int J Adv Res Biol Sci. 1(7):65–80. ISSN:2348–8069.
Tsen HY, Lin CK, Chi WR. 1998. Development and Use of 16 rRNA Gene Target
PCR Primers for The Identification of Escherichia coli Cells in Water. Journal of
Applied Microbiology. 85: 60-554.
Widodo WT, Huda C. 2021. Detection of Escherichia coli Using PCR Analysis
Without DNA Extraction. Fol. Med. Indones. 2(57): 147-150.
LAPORAN INDIVIDU
BAKTERI VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS

Disusun oleh:
Reza Mahdiah Reflianti B9404231053

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Vibrio spp. merupakan flora normal pada lingkungan, bakteri ini termasuk
bakteri akuatik yang dapat ditemukan di sungai, kolam, laut, perairan payau seperti
pantai atau muara sungai, serta umum terdapat selama kegiatan budidaya udang
(Vandenberghe et al. 2003). Bakteri ini adalah jenis bakteri yang hidupnya di laut,
memiliki daya tahan terhadap salinitas cukup tinggi. Salah satu jenis bakteri dari
marga Vibrio yang hidup di laut dan merupakan patogen yang berbahaya bagi
kesehatan manusia adalah Vibrio parahaemolyticus. V. parahaemolyticus sering
ditemukan pada udang mentah, ikan mentah, kerang, dan pangan hasil laut lainnya
yang kurang sempurna memasaknya (Volk dan Wheeler 1990). Udang vanname
merupakan salah satu agen transmisi bakteri V. parahaemolyticus menuju inang
manusia. Bakteri V. parahaemolyticus pada lingkungan aquatik dapat menginfeksi
udang vanname melalui luka pada eksoskeleton dan akan menyebar melalui
hemolymph pada sistem sirkulasi udang vanname (Soto-Rodriguez et al. 2015).
Menurut Alam et al. (2002), V. parahaemolyticus merupakan salah satu
penyebab utama dari 20-30% kasus gastrointestinal pada manusia. Bakteri V.
parahaemolyticus dapat masuk ke sistem gastrointestinal manusia melalui
konsumsi udang vanname mentah atau kurang matang yang telah terinfeksi V.
parahaemolyticus (Faruque 2012). Bakteri V. parahaemolyticus yang telah
menemukan kondisi optimal di bagian gastrointestinal manusia akan memulai
kolonisasi organisme inang untuk mendapat nutrien dengan tujuan
mempertahankan pertumbuhannya (Labbe dan Garcia 2013). V. parahaemolyticus
merupakan bakteri halofilik gram negatif yang secara alami terdapat pada
lingkungan aquatik (Xie et al. 2005).

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui taksonomi, klasifikasi, epidemiologi, jenis
hewan yang dapat terinfeksi, mekanisme infeksi, mode transmisi, potensi zoonotik,
jenis sampel, pendekatan diagnostik agen penyakit pada hewan, pengobatan, serta
pencegahan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus.
II PEMBAHASAN
2.1 Taksonomi dan Klasifikasi Agen Penyakit
Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif, halofilik,
bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob, dan mempunyai flagelum kutub
tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis (Austin 2010).
Perubahan bentuk morfologi V. parahaemolyticus dapat terjadi dengan perlakuan suhu
dingin dan kondisi lingkungan yang tidak menunjang (Chen 2009). Bakteri V.
parahaemolyticus dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan
produk makanan laut lainnya Bakteri V. parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh
manusia yang mengkonsumsi produk makanan laut seperti udang, kerang, ataupun ikan
mentah yang dimasak kurang sempurna (Sudheesh dan Xu 2001). Taksonomi dari
bakteri V. parahaemolyticus sebagai berikut.
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Vibrionales
Famili : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Species : Vibrio parahaemolyticus
2.2 Epidemiologi Penyakit
Infeksi Vibrio parahaemolyticus menimbulkan penyakit gastroenteritis pada
manusia, suatu diare hebat disertai dengan demam, sakit kepala, mual, dan kram perut,
sampai kematian. Penyakit ini terjadi biasanya karena mengonsumsi makanan laut
mentah atau kurang sempurna memasaknya, yang terkontaminasi V. parahaemolyticus
(Tada et al. 1992). Makanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus merupakan
penyebab utama outbreak foodborne disease gastroenteritis di dunia. Epidemiologi
gastroenteritis merupakan penyakit yang sangat umum ditemukan di belahan dunia
manapun, termasuk di negara maju. Berdasarkan data Riskesdas 2018, di Indonesia
prevalensi gastroenteritis adalah 6,8%.
Udang vannamei atau biasa disebut udang putih paling sering terserang bakteri
dari genus Vibrio, salah satunya dari spesies V. parahaemolyticus. Penyakit yang
disebabkan oleh bakteri vibrio salah satunya yaitu White Feces Disease (WFD).
Epidemiologi dari WFD banyak terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali,
Lombok, dan Sumbawa. Penyakit ini masuk ke Indonesia tahun 2014.

2.3 Jenis-Jenis Hewan yang dapat Terinfeksi


Vibrio merupakan bakteri akuatik yang dapat ditemukan di sungai, muara,
kolam, dan lautan. Vibrio ini merupakan bakteri anaerobic fakultatif, yaitu dapat hidup
baik dengan atau tanpa oksigen. V. parahaemolyticus umumnya terdapat di lingkungan
laut dan dapat menginfeksi berbagai jenis hewan laut, seperti ikan, kerang, dan udang,
udang vannamei merupakan hewan yang sering terjangkit bakteri ini.
2.4 Laporan Kasus pada Hewan
Pada negara-negara empat musim, kasus gastroenteritis yang disebabkan oleh
V. parahaemolyticus banyak menyerang manusia pada musim panas seperti halnya
kasus di Amerika Serikat, Canada, dan Jepang yang secara rutin terjadi setiap tahunnya.
Hal ini dikarenakan pertumbuhan optimum V. parahaemolyticus adalah pada suhu 37˚
C, yang tentunya suhu yang mendekati suhu tersebut dapat dicapai pada musim panas
(Daniels et al. 2000). Lain halnya di Indonesia sebagai negara tropis yang suhu perairan
lautnya relatif hangat, menjadikan kasus gastroenteritis yang disebabkan oleh V.
parahaemolyticus harus diwaspadai. Salah satu sebabnya adalah udang selalu hampir
tersedia di pasaran setiap waktu. Selain itu pula, data menunjukkan bahwa 34 % infeksi
V. parahaemolyticus merupakan infeksi pada luka di kulit karena terpapar pada air laut
yang terkontaminasi bakteri ini (Daniels et al. 2000). Hal ini juga patut menjadi hal
yang harus diwaspadai oleh orang yang berenang di laut serta para penambak udang
air payau yang memanen udangnya, karena perairan laut dan air payau dapat menjadi
salah satu penyebab infeksi V. parahaemolyticus.
Gejala klinis dari infeksi V. parahaemolyticus dapat dilihat secara visual
dengan mengamati kondisi hepatopankreas. Hepatopankreas udang yang terserang V.
parahaemolyticus akan berwarna pucat dan cenderung keputihan.

Gambar 1 Gejala klinis udang. Keterangan: (A) Udang terinfeksi, hepatopankreas


pucat, (B) Udang sehat, hepatopankreas normal.
Sumber: Rahmawati (2023)
Gambaran histopatologi udang yang normal terdapat kondisi hepatopankreas
yang utuh, sedangkan kondisi udang yang terinfeksi V. parahaemolyticus menunjukkan
kerusakan pada struktur hepatopankreas, sehingga terlihat tidak utuh. Berikut
merupakan gambar histopatologi hepatopankreas udang.
Gambar 2 Gambaran histopatologi organ hepatopankreas udang
Sumber: Rahmawati (2023)

2.5 Mekanisme Infeksi, Potensi Zoonotik, dan Mode Transmisi


Proses infeksi bakteri Vibrio diawali oleh proses interaksi dengan pelekatan
atau adesi pada permukaan sel inang, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam
sel, kemudian dilanjutkan dengan tahap invasi dan penyebaran lokal atau sistemik
dalam tubuh inang. Tahap terakhir adalah pengeluaran dari tubuh inang, mulai dari
tahap pelekatan hingga tahap perusakan inang, mikroorganisme menggunakan faktor
virulensi antara lain oleh pili yang mengakibatkan mikroorganisme dapat bertahan
dalam tubuh inang dan menimbulkan kerusakan (Zulkifli et al. 2009). Bakteri V.
parahaemolyticus memiliki potensi zoonotik, yang berarti dapat ditularkan dari hewan
ke manusia. Infeksi umumnya terjadi melalui konsumsi makanan laut mentah atau
kurang dimasak, seperti ikan atau kerang yang terkontaminasi. Infeksi pada manusia
dapat menyebabkan gejala gastrointestinal.
Penyebaran penyakit yang disebabkan bakteri Vibrio pada organisme budidaya
dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Penyebaran penyakit secara vertikal
terjadi karena perpindahan dari induk ke benur, sedangkan penyebaran secara
horizontal terjadi karena penyebaran dari satu udang ke udang lain (Sriwulan dan
Anshary 2011). Menurut Karthikeyan dan Sudhakaran (2018), penyebaran secara
horizontal pada organisme perairan yang dibudidayakan erat hubungannya dengan
proses perpindahan agen penyakit dari organisme yang terinfeksi penyakit ke
organisme yang sehat. Selain itu, penyebaran secara horizontal dapat terjadi melalui
air, tanah, kanibalisme, feses atau melalui vektor. Beberapa jenis organisme yang
berperan sebagai pembawa penyakit atau vektor yaitu, udang liar, kepiting liar,
rajungan, dan benih udang yang ditebar sudah terkontaminasi di pembenihan (Rahmi
2012).

2.6 Jenis Sampel dan Pendekatan Diagnostik Agen Penyakit pada Hewan
Gejala penyakit dari vibriosis yang ditimbulkan salah satunya berupa
haemoragik dan eritema pada beberapa organ tubuh (pangkal sirip, rahang bawah,
daerah suntikan, usus), hepar pucat, dan ginjal bengkak. Jenis sampel yang dapat
diambil berdasarkan gejala vibriosis berupa haemoragik, luka seperti borok pada kulit,
luka kemerahan pada mulut, erosi kulit, dan mata menonjol. Untuk sampel larva dipilih
larva yang menunjukkan gejala berputar-putar (whirling), kulit pucat, serta
menunjukkan gejala kematian (Nitimulyo et al. 2005).
Ada beberapa pendekatan diagnostik Vibrio pada hewan yaitu dengan metode
kultur bakteri dilakukan dengan pengambilan sampel dari bagian luka, kemudian
bakteri di inokulasi dan dimurnikan pada media Thiosulphate Citrate Bile Sucrose
Agar (TCBSA, Oxoid, England). Penyimpanan bakteri murni dilakukan menggunakan
media Nutrient Agar (NA) (Oxoid) yang dilarutkan dalam larutan tiga garam (trisalt),
kemudian diinkubasi pada suhu 30ºC selama 24 jam. Setelah kepadatannya dihitung
dengan metode taburan, bakteri diinjeksi pada ikan dengan dosis 106 sel/ikan secara
intraperitoneal dengan tiga ulangan. Ikan kontrol diinjeksi dengan larutan trisalt steril
dengan dosis 0,25 ml/ikan. Ikan dipelihara dalam air steril dengan perlakuan aerasi,
penyifonan, dan pemberian pakan menggunakan pellet. Pengamatan dilakukan selama
7 hari setelah infeksi meliputi gejala eksternal dan internal. Reisolasi bakteri dilakukan
secara aseptis dari ginjal dan hati pada medium TCBSA. (Rahmawati 2023).
Polymerase Chain Reaction (PCR) juga dapat dilakukan dalam mendeteksi DNA V.
parahaemolyticus.

2.7 Pengobatan dan Pencegahan Penyakit


Pengobatan yang umum dilakukan pada penyakit vibriosis adalah dengan
aplikasi antibiotik. Penggunaan antibiotik atau bahan kimia dengan konsentrasi yang
kurang tepat dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perairan,
menyebabkan resistensi, dan membahayakan kesehatan konsumen karena residu dari
bahan kimia yang digunakan akan terakumulasi secara berkala pada tubuh udang
(Defoirdt et al. 2007). Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah penggunaan
senyawa bioaktif alami dengan spektrum yang luas tanpa efek samping yang
berbahaya. Beberapa spesies mangrove juga digunakan untuk menghambat vibriosis
seperti Avicennia marina dan Sonneratia caseolaris. Maryani et al. (2002),
menyebutkan daun Avicennia alba mengandung senyawa bioaktif yang dapat
digunakan sebagai antioksidan, anti inflammatory, dan anti cholinergic.

2.8 Hasil Pengobatan Penyakit


Menurut Rusadi et al. (2019), hasil penelitian nya menunjukkan bahwa
pengobatan vibriosis menggunakan ekstrak daun Avicennia alba termasuk kategori
efektif mengobati udang vaname yang terinfeksi bakteri vibrio, sehingga dapat
meningkatkan kelangsungan hidup.
III SIMPULAN
Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif, halofilik,
bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob, dan mempunyai flagelum kutub
tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis. V. parahaemolyticus
sering ditemukan pada udang mentah, ikan mentah, kerang, dan pangan hasil laut
lainnya yang kurang sempurna memasaknya. Udang vanname merupakan salah satu
agen transmisi bakteri V. parahaemolyticus menuju inang manusia. Penyebaran
penyakit yang disebabkan bakteri Vibrio pada organisme budidaya dapat terjadi secara
horizontal maupun vertikal. Pengobatan yang umum dilakukan pada penyakit vibriosis
adalah dengan aplikasi antibiotik. Salah satu pencegahan yang dapat diterapkan adalah
dengan spesies mangrove digunakan untuk menghambat vibriosis seperti Avicennia
marina dan Sonneratia caseolaris. Pengobatan vibriosis menggunakan ekstrak daun
Avicennia alba termasuk kategori efektif mengobati udang vaname yang terinfeksi
bakteri vibrio, sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup
IV DAFTAR PUSTAKA
Alam MJ, Tomochika KI, Miyoshi SI, Shinoda S. 2002. Environmental investigation
of potentially pathogenic Vibrio parahaemolyticus in the SetoInland Sea, Japan.
FEMS Microbiology Letters. 208(1): 83–87.
Austin B, Zhang XH. 2006. Vibrio parahaemolyticus: A Significant Pathogen of
Marine Vertebrates and Invertebrates. Lett. Appl. Microbiol. 43:119–124.
Chen SY, Jane WN, Chen YS, Wong HC. 2009. Morphological changes of Vibrio
parahaemolyticus under cold and starvation stresses. International Journal of
Food Microbiology. 129: 157–165.
Daniels NA, MacKinnon L, dan Bishop R. 2000. Vibrio parahaemolyticus infections
in the United States. Journal Infect Dis. 181 (5).
Defoirdt T, Boon N, Sorgeloos P, Verstraete W, Bossier P. 2007. Alternatives to
antibiotics to control bacterial infections: luminescent vibriosis in aquaculture
as an example. Trends in Biotechnology. 25: 472 – 479.
Faruque SM. 2012. Foodborne and Waterborne Bacterial Pathogens: Epidemiology,
Evolution and Molecular Biology. Caister Academic Press.
Karthikeyan K, Sudhakaran R. 2018. Experimental horizontal transmission of
Enterocytozoon hepatopenaei in post‐larvae of whiteleg shrimp, Litopenaeus
vannamei. Journal Fish Dis.
Labbe RG, Garcia S. 2013. Guide to Foodborne Pathogens. John Wiley & Sons.
Maryani, Dana D, Sukenda. 2002. Peranan ekstrak kelopak dan buah mangrove
Sonneratia caseolaris (l) terhadap infeksi bakteri Vibrio harveyi pada udang
windu (Penaeus monodon fab.). Jurnal Akuakultur Indonesia. 1: 129 – 138.
Nitimulyo KH, Isnansetyo A, Triyanto, Istiqomah I, Murdjani M. 2005. Isolasi,
identifikasi, dan karakterisasi Vibrio spp. patogen penyebab vibriosis pada
kerapu di balai budidaya air payau Situbondo. Jurnal Perikanan. 7(2): 80-94.
Rahmawati SD. 2023. Model eksperimental infeksi Vibrio parahaemolyticus pada
udang vaname (Litopenaeus vannamei). [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB University.
Rahmi. 2012. Deteksi molekular vektor penyebab wssv pada udang windu (Penaeus
monodon) di Kabupaten Takalar. Jurnal Ilmu Perikanan. 1(2): 96- 101.
Rusadi D, Wardiyanto, Diantari R. 2019. Treatment of vibriosis disease (Vibrio
harveyi) in vaname shrimp (Litopenaeus vannamei, Boone 1931) using
Avicennia alba leaves exctract. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya
Perairan. 8(1):
Soto-Rodriguez SA, Gomez-Gil B, Lozano-Olvera R, Betancourt-Lozano M, S
Morales-Covarrubias. 2015. Field and Experimental Evidence of V.
parahaemolyticus s the Causative Agent of Acute Hepatopancreatic Necrosis
Disease of Cultures Shrimp (L. vannamei) in Northwestern Mexico. Journal of
Applied and Environmental Microbiology. 81 (5): 1689 – 1699.
Sudheesh PS, Xu HS. 2001. Pathogenicity of Vibrio parahaemolyticus in tiger prawn
Penaeus monodon Fabricius: possible role of extracellular proteases. Journal
Aquaculture. 196 : 37–46.
Sriwulan, Anshary H. 2011. Deteksi virus penyebab penyakit kerdil pada benih udang
windu (Penaeus monodon) dengan multipleks pcr. Jurnal Perikanan. 13(1):1-
7.
Vandenberghe J, Thompson FL, Gomez-Gil B, Swings J. 2003. Phenotypic diversity
amongst Vibrio isolates from marine aquaculture systems. Aquaculture. 219(1–
4): 9–20.
Xie ZY, Hu CQ, Chen C, Zhang LP, Ren CH. 2005. Investigation of Seven Vibrio
Virulence Genes Among Vibrio alginolyticus and Vibrio parahaemolyticus
Strain from The Coastal Mariculture Systems in Guangdong, China. Letters in
Applied Microbiology. 41: 202-207
Zulkifli YNB, Alithenn R, Son SK, Yeap MB, Lesley, Raha AR. 2009. Identification
of Vibrio parahaemolyticus isolates by PCR targeted to the toxR gene and
detectin of virulance genes. Int Food Res Journal. 16: 289- 296.
Vibrio
Parahaemolitycus
Reza Mahdiah Reflianti B9404231053

BACTERIA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
01 Vibrio spp. merupakan flora normal pada lingkungan, bakteri ini termasuk
bakteri akuatik yang dapat ditemukan di sungai, kolam, laut, perairan payau
seperti pantai atau muara sungai, serta umum terdapat selama kegiatan
budidaya udang (Vandenberghe et al. 2003)
V. parahaemolyticus sering ditemukan pada udang mentah, ikan mentah,
kerang, dan pangan hasil laut lainnya yang kurang sempurna memasaknya
(Volk dan Wheeler 1990).

Tujuan
02 Makalah ini bertujuan mengetahui taksonomi, klasifikasi, epidemiologi, jenis hewan
yang dapat terinfeksi, mekanisme infeksi, mode transmisi, potensi zoonotik, jenis
sampel, pendekatan diagnostik agen penyakit pada hewan, pengobatan, serta
pencegahan penyakit yang disebabkan oleh bakteri V.parahaemolyticus.
Taksonomi dan Klasifikasi
Kingdom Bacteria

Filum Proteobacteria

Kelas Gammaproteobacteria

Ordo Vibrionales

Famili Vibrionaceae

Genus Vibrio

Spesies Vibrio parahaemolyticus

Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat motil atau
bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk pertumbuhan dengan
oksidasi, fakultatif anaerob, dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat membentuk
spora serta bersifat zoonosis (Austin 2010).
Epidemiologi Penyakit

● Infeksi Vibrio parahaemolyticus menimbulkan penyakit gastroenteritis pada


manusia.
● Makanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus merupakan penyebab
utama outbreak foodborne disease gastroenteritis di dunia. Epidemiologi
gastroenteritis merupakan penyakit yang sangat umum ditemukan di belahan
dunia manapun, termasuk di negara maju. Berdasarkan data Riskesdas 2018, di
Indonesia prevalensi gastroenteritis adalah 6,8%.

● .Penyakit yang disebabkan oleh bakteri vibrio salah satunya yaitu White Feces
Disease (WFD) pada udang vannamei. Epidemiologi dari WFD banyak terjadi di
Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Lombok, dan Sumbawa. Penyakit ini
masuk ke Indonesia tahun 2014
Jenis Hewan dapat Terinfeksi

BACTERIA
Laporan Kasus pada Hewan
Gastroenteritis
Musim panas seperti halnya
kasus di Amerika Serikat,
Canada, dan Jepang

Di Indonesia
Harus diwaspadai

34% Infeksi
Infeksi pada luka kulit
karena terpapar air laut
Gejala Klinis
Gejala klinis dari infeksi V.
parahaemolyticus dapat dilihat
secara visual dengan mengamati
kondisi hepatopankreas.
Hepatopankreas udang yang
terserang V. parahaemolyticus akan (A) Udang terinfeksi, hepatopankreas pucat,
berwarna pucat dan cenderung (B) Udang sehat, hepatopankreas normal.
Sumber: Rahmawati (2023)
keputihan.
BACTERIA
Histopatologi
Gambaran histopatologi udang yang
normal terdapat kondisi
hepatopankreas yang utuh,
sedangkan kondisi udang yang
terinfeksi V. parahaemolyticus
menunjukkan kerusakan pada
struktur hepatopankreas, sehingga Gambaran histopatologi organ hepatopankreas
udang
terlihat tidak utuh. Sumber: Rahmawati (2023)

BACTERIA
Mekanisme Infeksi
Proses infeksi bakteri Vibrio diawali oleh proses interaksi dengan pelekatan atau adesi
pada permukaan sel inang, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam sel,
kemudian dilanjutkan dengan tahap invasi dan penyebaran lokal atau sistemik dalam
tubuh inang. Tahap terakhir adalah pengeluaran dari tubuh inang.

Potensi Zoonotik
Dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Infeksi
umumnya terjadi melalui konsumsi makanan laut
mentah atau kurang dimasak.
Mode Transmisi
Horizontal dan Vertikal
Jenis Sampel dan Pendekatan Diagnostik
Sampel (bagian luka)

Inokulasi di media PCR Bakteri murni di NA


TCBSA yang dilarutkan dalam
trisalt
Setelah kepadatannya dihitung dengan
metode taburan, bakteri diinjeksi pada Inkubasi suhu 30ºC selama
ikan dengan dosis 10^6 sel/ikan secara 24 jam
intraperitoneal dengan tiga ulangan. Ikan
kontrol diinjeksi dengan larutan trisalt
steril dengan dosis 0,25 ml/ikan.
Pengobatan dan Pencegahan

Pengobatan
Pengobatan yang umum dilakukan pada
penyakit vibriosis adalah dengan aplikasi
antibiotik.

Pencegahan
spesies mangrove juga digunakan untuk menghambat vibriosis
seperti Avicennia marina dan Sonneratia caseolaris. Maryani et al.
(2002), menyebutkan daun Avicennia alba mengandung senyawa
bioaktif yang dapat digunakan sebagai antioksidan, anti
inflammatory, dan anti cholinergic.
Hasil Pengobatan
Menurut Rusadi et al. (2019), hasil penelitian nya menunjukkan
bahwa pengobatan vibriosis menggunakan ekstrak daun Avicennia
alba termasuk kategori efektif mengobati udang vaname yang
terinfeksi bakteri vibrio, sehingga dapat meningkatkan
kelangsungan hidup
Simpulan
Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat
motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob, dan mempunyai flagelum
kutub tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis. V.
parahaemolyticus sering ditemukan pada udang mentah, ikan mentah, kerang,
dan pangan hasil laut lainnya yang kurang sempurna memasaknya. Udang
vanname merupakan salah satu agen transmisi bakteri V. parahaemolyticus
menuju inang manusia. Penyebaran penyakit yang disebabkan bakteri Vibrio
pada organisme budidaya dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal.
Pengobatan yang umum dilakukan pada penyakit vibriosis adalah dengan
aplikasi antibiotik. Salah satu pencegahan yang dapat diterapkan adalah dengan
spesies mangrove digunakan untuk menghambat vibriosis seperti Avicennia
marina dan Sonneratia caseolaris. Pengobatan vibriosis menggunakan ekstrak
daun Avicennia alba termasuk kategori efektif mengobati udang vaname yang
terinfeksi bakteri vibrio, sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup
THANKS BREAKTHROUGH

CREDITS: This presentation template was created by


Slidesgo, including icons by Flaticon, infographics &
images by Freepik
BACTERIA
TUGAS INDIVIDU PPDH
LABORATORIUM
DIAGNOSTIK

STUDI KASUS: Salmonella enteritidis

Disusun oleh:
Shafa Adela Putri B9404231068

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. Drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salmonella merupakan salah satu genus bakteri gram negatif berbentuk
basil (batang), tidak membentuk spora, dan bersifat motil. Salmonella Enteritidis
merupakan salah satu dari 1800 serotipe Salmonella spp. yang dapat ditemukan
pada hewan berdarah panas (mamalia), ruminansia, unggas, hewan laboratorium,
hewan liar, dan manusia (Kusumaningsih 2011). Taksonomi bakteri Salmonella
Enteritidis sebagai berikut:
Kingdom : Bakteria
Subkingdom : Negibakteria
Filum : Pseudomonadota
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Enterobacteriles
Famili : Enterobakteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella enterica
Serotipe : Salmonella enterica subsp. Enteritidis

Gambar 1 Pengamatan mikroskopis S. Enteritidis dengan pewarnaan Gram. Tanda


panah menunjukkan morfologi S. Enteritidis berbentuk batang dan
berwarna merah (Andesfha et al. 2019).

Salmonella spp. merupakan bakteri yang dapat menyebabkan infeksi


saluran pencernaan atau Salmonellosis. Salmonellosis merupakan penyakit
menular yang dapat menyerang hewan maupun manusia, sehingga semua spesies
dapat rentan terhadap Salmonellosis. Bakteri Salmonella tidak dapat hidup lama
bila keadaan sekitarnya kering, dan dapat bertahan hidup 148 hari di suhu ruang.
Salmonellosis pada hewan umumnya ditemukan pada peternakan yang dikelola
secara intensif terutama pada ayam dan babi. Salmonella Enteritidis memiliki sifat
yang sangat patogenik pada ayam dan banyak mengakibatkan non-tifoid
Salmonellosis pada manusia, serta bakteri ini bersifat re-emerging foodborne
disease (Sudarwanto dan Kusumaninsih 2011). Menurut Murti dan Budayanti
(2017), Salmonella telah beradaptasi dengan baik dan memiliki kemampuan untuk
berkoloni pada saluran reproduksi khususnya unggas, bertahan dalam ovarium,
hingga bertahan di dalam telur ayam.
Salmonellosis merupakan penyakit yang bersifat endemik yang
disebabkan oleh pencemaran lingkungan atau sanitasi yang kurang baik, selain itu
hewan yang terinfeksi (carrier) dapat menjadi faktor penyebab terjadinya
penyakit. Penularan Salmonella dapat secara vertikal dan horizontal. Penularan
secara horizontal yaitu penyebaran bakteri Salmonella melalui feses penderita,
sedangkan secara vertikal penyebaran ditularkan secara intra uterin dan lewat
telur. Salmonellosis di Indonesia dari berbagai jenis hewan dan manusia pernah
dilaporkan. Tahun 2009, lebih dari 40.000 kasus Salmonella sp. dilaporkan Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) oleh laboratorium kesehatan
masyarakat di seluruh negara dan di Indonesia berada pada kisaran 200 kasus dari
100.000 orang yang diteliti (Murti dan Budayanti 2017). Serotipe Salmonella
Enteritidis merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan parathypus pada
manusia. Fenomena re-emerging foodborne disease berkaitan erat dengan
meningkatnya jumlah populasi ayam atau telur ayam yang terinfeksi oleh bakteri
Salmonella Enteritidis (Ariyanti dan Supar 2008). Salmonellosis yang disebabkan
Salmonella Enteritidis juga pernah dilaporkan menginfeksi kucing pertama kali di
Grenada, Karibia.

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui teknik diagnostik dari laporan kasus
penyakit pada hewan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Enteritidis.
BAB II PEMBAHASAN

LAPORAN KASUS
Laporan kasus: limfosarkoma disertai infeksi Salmonella Enteritidis pada
kucing
[Concurrent lymphosarcoma and Salmonella Enteritidis infection in a cat
: case report] (Bhaiyat et al. 2009)

2.1 Sinyalemen, Anamnesis, dan Pemeriksaan Fisik


Kucing betina usia 12 tahun dengan riwayat vaksinasi lengkap, mengalami
penurunan body condition score (BCS) selama 2 hingga 3 bulan. Kucing di bawa
ke Rumah Sakit Hewan Kecil di Universitas St. George (Grenada) dan sebelum di
bawa ke rumah sakit, kucing mengalami muntah. Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan adanya massa pada abdomen dan adanya cairan di rongga dada.
Prognosis dari kasus ini ialah infausta sehingga hewan tersebut di euthanasia.
2.2 Pemeriksaan Patologi Anatomi
Kucing yang di euthanasia kemudian di nekropsi dan didapatkan temuan
postmortem yang signifikan yaitu adanya neoplasia lambung, mesenterika, hati,
dan omental disertai pyothoraks dan pyoabdomen. Mesenterium memiliki massa
lunak berwarna putih dengan eksudat purulen dan terdapat nodul berwarna putih
pada permukaan serosa lambung. Rongga perut dan rongga dada masing-masing
berisi sekitar 100 mL cairan kental berwarna kuning muda dan berbau busuk.
Omentum terdapat dua nodul putih yang berdekatan dengan limpa, dan satu nodul
putih kecokelatan di lobus hati. Pada paru-paru dan percabangan trakeobronkial
terdapat massa yang menyumbat dan bertekstur seperti agar berwarna merah
gelap. Sampel massa abdomen dan cairan di rongga dada dilakukan uji lanjutan
yaitu melakukan kultur bakteri dan histopatologi.
2.3 Pemeriksaan Kultur Bakteri
Sampel cairan thoraks dan massa di abdomen di kultur ke dalam media
Blood Agar (BA) dan MacConkey (MCA) serta diinkubasi pada suhu 37 ℃
selama 24 jam. Koloni yang tumbuh pada media BA menunjukkan koloni
berwarna putih keabuan, bentuk margin tidak beraturan, berukuran sedang dan
tidak hemolitik. Media MCA menghasilkan koloni yang tidak dapat
memfermentasi laktosa dengan koloni berukuran kecil hingga sedang, berbentuk
bulat, dan halus. Koloni dari kedua sampel diidentifikasi merupakan bakteri
Salmonella berdasarkan hasil sistem identifikasi bakteri enterik komersial, API-
20E. API-20E merupakan sistem identifikasi standar untuk bakteri
Enterobacteriaceae dan bakteri batang gram negatif dengan menggunakan 21 uji
biokimia serta database. Prinsip kerja API-20E yaitu dengan menginokulasikan
suspensi bakteri ke dalam strip API 20-E yang terdiri dari 20 mikrotube yang
mengandung substrat dehidrasi, dan selama inkubasi terjadi perubahan warna dan
reaksi perubahan warna tersebut akan dibaca dengan mengacu pada Analytical
Profile Index. API-20E memiliki keterbatasan metode, sehingga jika Salmonella
atau Shigella yang teridentifikasi, maka identifikasi serologis harus dilakukan
untuk memastikan identifikasi bakteri lebih lanjut. Uji serotipe dilakukan di
Laboratorium Pelayanan Veteriner Nasional dengan menguji isolat dari cairan
toraks dan massa perut dan diidentifikasi bahwa isolat tersebut mengandung
Salmonella subsp. Enteritidis.
2.4 Serotiping (Sudarwanto dan Kusumaningsih 2011)
Penentuan serotipe Salmonella Enteritidis mengacu pada keberadaan
antigen somatik (O) dan antigen flagela (H). Serotiping bakteri dilakukan
berdasarkan reaksi serologis antara antigen Salmonella spp. dengan antiserum
somatik O (1, 9, 12) dan antiserum flagella H (m) berdasarkan metode standar dari
OIE (2000). Pada kucing kasus terbentuk hasil aglutinasi antara kedua sampel
dengan antigen somatik Salmonella (O) yang dilakukan uji pada Laboratorium
Diagnostik Minnesota Veterinary (Bhaiyat et al. 2009). Uji serologis dilakukan
dengan menggunakan kit komersial yang berasal dari Difco Laboratories yaitu
Bacto Salmonella Antisera. Prinsip dari kit Antisera yaitu konfirmasi serologis
melibatkan prosedur ketika antigen dari isolat bakteri bereaksi dengan antibodi
yang sesuai, dan reaksi in vitro ini menghasilkan penggumpalan makroskopis
yang disebut aglutinasi.
2.5 Pembahasan Salmonellosis
Salmonellosis pada kucing dapat disebabkan oleh berbagai serotipe.
Salmonella Enteritidis merupakan salah satu serotipe penyebab utama bakteremia
pada kucing dan strain Salmonella Enteritidis terbukti menghasilkan sitotoksin
yang merusak sel mamalia. Gejala klinis yang umum ditemukan pada hewan
penderita Salmonellosis ialah muntah, diare, anoreksia, dan demam. Laporan
kasus ini secara keseluruhan memberikan bukti yang menunjukkan bahwa
Salmonella dapat menyebabkan infeksi pada kucing. Hewan lain yang dapat
terinfeksi Salmonella Enteritidis selain kucing yaitu, ruminansia, unggas, dan juga
mamalia lain seperti anjing (Kusumaningsih 2011). Salmonellosis pada
ruminansia muda, babi dan unggas dapat mengakibatkan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Masa inkubasi Salmonella pada hewan bervariasi sesuai
dengan jumlah bakteri dan bentuk penyakitnya. Salmonella Enteritidis pada
unggas bertahan dalam sekum atau indung telur tanpa muncul gejala klinis. Pada
ayam muda, S. Enteritidis menyebabkan kematian tinggi yang disebabka diare dan
dehidrasi (Zelpina dan Noor 2020).

2.6 Salmonellosis pada Manusia (Sudarwanto dan Kusumaningsih 2011)


Infeksi Salmonella Enteritidis dalam jumlah besar disebabkan oleh
konsumsi telur ayam yang terinfeksi. Negara di Eropa dan Amerika dilaporkan
bahwa Salmonellosis dikaitkan dengan konsumsi makanan yang berasal dari telur
atau produknya yang tidak dimasak dengan sempurna sehingga bertindak sebagai
sumber penularan utama infeksi Salmonella Enteritidis dari ayam ke manusia. Re-
emerging foodborne Salmonellosis pada manusia dipicu oleh perubahan
demografi pada Masyarakat dengan peningkatan kelompok individu dengan status
kesehatan rendah, dan meningkatnya konsumsi makanan setengah matang. Kasus
infeksi Salmonella Enteritidis pada manusia menunjukkan bahwa bakteri tersebut
merupakan penyakit zoonotik.
2.7 Pengobatan dan Pencegahan Penyakit
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian terapi kausatif berupa
antibiotik. Antibiotik yang digunakan dapat berupa antibiotik klorampenikol,
neomisin, dan streptomisin karena memiliki spektrum luas. Pengobatan pada
hewan dapat dilakukan dengan pemberian sulfanilamid, sulfaquinoxalin,
sulfamerasin, dan sulfagunanidin (Zelpina dan Noor 2020). Pencegahan yang
dapat dilakukan yaitu dengan melakukan tindakan sanitasi terhadap kandang,
peralatan, pemberantasan vektor (burung liar, rodensia, dan serangga), dan hewan
diberi pakan yang baik agar kesehatan hewan tetap terjaga. Pengendalian faktor
risiko penularan S. Enteritidis dari unggas ke manusia dapat diterapkan di
peternakan dengan memutus rantai dari induk ke telur melalui vaksinasi.
Pemberian vaksin inaktif S. Enteritidis dilaporkan dapat menimbulkan respon
kekebalan humoral yang tinggi pada ayam (Zelpina dan Noor 2020).

BAB III SIMPULAN


Salmonellosis dapat terjadi pada hewan dan manusia yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella sp. Salmonella Enteritidis merupakan salah satu serotipe dari
bakteri Salmonella sp. Media yang dapat digunakan sebagai kultur bakteri
Salmonella sp. yaitu MCA dan BA. Penentuan serotipe Salmonella Enteritidis
perlu dilakukan uji serologis.
DAFTAR PUSTAKA

Andesfha E, Indrawati A, Mayasari NLPI, Rahayuningtyas I, Jusa I. 2019.


Detection of Salmonella pathogenicity island and Salmonella plasmid
virulence genes in Salmonella Enteritidis originated from layer and broiler
farms in Java Island. JAVAR. 6(3): 384-393.
Ariyanti T, Supar. 2008. Antigenitas dan imunogenitas Salmonella enteritidis
implikasinya dalam diagnosis dan pengembangan vaksin isolat lokal untuk
unggas. WARTAZOA. 18(4): 187-197.
Bhaiyat MI, Hariharan H, Chikweto A, Sylvester EB, Burnett PJA, Matthew V,
Oliveira A, Jhonson C. 2009. Concurrent lymphosarcoma and Salmonella
enteritidis infection in a cat : a case report. Veterinari Medicina. (9): 451-
454.
Kusumaningsih A. 2011. Patogenitas Salmonella enterica serotipe enteritidis
isolat lokal pada anak ayam dan mencit. Berita Biologi. 10(4): 463-469.
Murti NIK, Budayanti S. 2017. Prevalensi Salmonella sp. Pada cilok di sekolah
dasar di Denpasar. E-Jurnal Medika. 6(5): 36-41.
[OIE] Office International des Epizooties. 2000. Manual of Standards for
Diagnostic Tests and Vaccines. List A and B Diseases of Mammals, Birds
and Bees. World Organization for Animal Health.
Sudarwanto M, Kusumanigsih A. 2011. Infeksi Salmonella enteritidis pada telur
ayam dan manusia serta resistensinya terhadap antimikroba. Berita Biologi.
10(6): 771-779.
Zalpina E, Noor SM. 2020. Non-typhoid Salmonella penyebab foodborne
diseases: pencegahan dan penanggulanganya. WARTAZOA. 30(4): 221-229.
14/11/2023

STUDI KASUS
Salmonella enteritidis pada
Kucing
Shafa Adela Putri (B9404231068)
PPDH KELOMPOK C1
POKOK
BAHASAN

01. Pendahuluan

02. Pembahasan

03. Simpulan
Latar Belakang
Salmonella sp. • Bakteri Gram negatif
• Basil
• Tidak membentuk
Infeksi Saluran Pencernaan spora
• motil

Salmonellosis Endemik dan zoonosis


Latar Belakang
Taksonomi Salmonella enteritidis
• Kingdom : Bakteria
• Subkingdom : Negibakteria
• Filum : Pseudomonadota
• Kelas : Gammaproteobacteria
• Ordo : Enterobacteriles
• Famili : Enterobakteriaceae
• Genus : Salmonella
• Spesies : Salmonella enterica
• Serotipe : Salmonella enterica subsp. enteritidis
Tujuan
Mengetahui teknik diagnostik dari laporan
kasus penyakit pada hewan yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella
enteritidis.
LAPORAN
KASUS
(Bhaiyat et al . 2009)
Sinyalemen,
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
• Hewan : Kucing
• Jenis kelamin : Betina
• Umur : 12 tahun
• Anamnesis : mengalami penurunan
body condition score selama 2-3
bulan, dan muntah sebelum di bawa
ke rumah sakit
• Ada massa pada abdomen dan cairan
di rongga dada
• Prognosis infausta --> Eutanasia
Patologi Anatomi

1 Mesenterium : massa lunak


dengan eksudat purulen 3 Omentum : terdapat dua
nodul putih dekat limpa

Rongga perut dan dada : Percabangan

2 berisi cairan kental


berwarna kuning dan bau
(100 mL)
4 trakeobronkial : massa
yang menyumbat, kenyal,
berwarna merah tua
Kultur Bakteri
Metode Uji Blood Agar (BA) dan Uji MacConkey Agar (MCA)
• Sampel bakteri diambil dengan menggunakan ose steril
• Sampel dikultur pada media dengan metode T strike 3 kuadran
• Setelah dikultur, media diinkubasi dalam suhu 37 ℃ selama 24-48 jam
Kultur Bakteri
• Blood Agar (BA) • MacConkey Agar (MCA)
• Koloni : berwarna putih • Koloni : fermentasi non-laktosa,
keabuan, bentuk margin tidak berukuran kecil hingga
beraturan, berukuran sedang, sedang, berbentuk bulat, dan
dan tidak hemolitik halus,

Hasil sistem identifikasi bakteri


Salmonella sp.
enterik komersial
Serotiping
Laboratorium Diagnostik Minesota
Veterinary

Penentuan serotipe Salmonella enteritidis


mengacu pada keberadaan antigen somatik
(O) dan antigen flagela (H)

Pada kucing kasus terbentuk aglutinasi


antara kedua sampel dengan antigen
somatik Salmonella enteritidis
Salmonellosis
Kucing Manusia
Disebabkan oleh Disebabkan oleh Re-
berbagai serotipe emerging foodborne
Salmonella sp. salah Salmonellosis akibat
satunya Salmonella konsumsi makanan yang
enteritidis. Gejala : tidak dimasak dengan
muntah, diare, anoreksia, sempurna --> telur
demam
Pengobatan dan
Pencegahan
Antibiotik spektrum luas : klorampenikol,
neomisin, dan streptomisin
Pencegahan : tindakan sanitasi
terhadap kandang, peralatan, hygine
personal, pemasakan bahan masak
dengan baik
Simpulan
• Salmonellosis dapat terjadi pada hewan dan manusia yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella sp.
• Salmonella enteritidis : serotipe dari bakteri Salmonella sp.
• Media yang dapat digunakan sebagai kultur : MCA dan BA.
• Penentuan serotipe S. enteritidis : uji serologis.
TERIMA KASIH
TUGAS INDIVIDU
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

KLEBSIELLA PNEUMONIAE

Disusun oleh:
Vapriel Andhika Pattikawa B9404231083

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri gram negatif, berukuran 0.5 × 1.2 , dan
berbentuk batang. Bakteri ini tidak memiliki flagel sehingga tidak dapat bergerak, tetapi
Klebsiella pneumoniae mampu untuk memfermentasikan karbohidrat dan laktosa serta
membentuk asam dan gas. Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, Klebsiella pneumoniae
merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella pneumoniae digambarkan sebagai agen
radang paru-paru berat yaitu Friedlander’s pneumoniae dengan angka kematian yang tinggi,
selain itu bakteri ini masih menjadi salah satu penyebab utama pneumonia di beberapa negara
(Anderson et al. 2009). Paru-paru penderita pneumonia akibat infeksi bakteri ini akan terlihat
mengalami pembengkakan di salah satu lobus. Selain itu infeksi Klebisella pneumoniae dapat
menyebabkan bronchitis, demam dan dahak berdarah (Tarina dan Kusuma 2019).
Infeksi pneumonia merupakan infeksi saluran pernafasan bawah khususnya bagian
parenkim. Infeksi ini di dapat mengakibatkan kondisi paru – paru menjadi meradang serta
alveoli akan dipenuhi dengan cairan yang akan membatasi asupan oksigen (WHO 2019) .
Insiden infeksi pneumonia pada orang dewasa di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan pada tahun 2018 adalah sebesar 4%. Prevalensi infeksi pneumonia tertinggi sebesar
11% di Indonesia dilaporkan pada Provinsi Nusa Tenggara Timur, sedangkan pada Provinsi
Bali sendiri dilaporkan dengan angka yang tidak sedikit yaitu sebesar 3% (Manuaba et al. 2021)
. Amerika Serikat melaporkan bahwa infeksi pneumonia merupakan penyebab kematian urutan
keenam terbanyak dan penyebab kematian terbanyak pada kasus infeksi, terdata sebanyak 2.1%
patogen penyebab infeksi pneumonia tersebut disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL (Chan
et al. 2010). Secara umum bakteri E.coli dan K.pneumoniae disebutkan menjadi patogen
penghasil ESBL yang paling sering ditemukan. Secara global, prevalensi bakteri penghasil
ESBL terdata paling tinggi berasal dari isolat Klebsiella pneumoniae (Manuaba et al. 2021).

1.2 Tujuan
Tujuan makalah ini adalah mengetahui taksonomi, epidemiologi, jenis hewan yang dapat
terinfeksi, mekanisme infeksi, mode transmisi, pendekatan diagnostik, pengobatan dan
pencegahan penyakit bakteri Klebsiella pneumoniae
II PEMBAHASAN
2.1 Taksonomi
Kingdom : Bacteria
Subkingdom : Negibacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gammaproteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobactericeae
Genus : Klebsiella
Species : Klebsiella pneumoniae

2.2 Laporan Kasus Klebisella Pneumoniae pada Burung Kenari


Bakteri Klebsiella pneumoniae dapat menginfeksi beberapa hewan seperti anjing, kucing
dan juga burung kenari. Infeksi bakteri ini pada hewan sering dikaitkan dengan masalah
pernafasan dan saluran urinaria, sepsis serta mastitis (Brissie dan Van Duijkeren 2005). Kasus
Klebisella pneumoniae yang dilaporkan oleh Nakhaae et al. (2022), menginfeksi 250 burung
kenari (Serinus canaria domestica) di sebuah peternakan di Iran. Burung-burung yang
terinfeksi ini menunjukkan gejala anoreksia, lesu, diare dan sekitar 30% populasi mati dalam
kurun waktu dua hari. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan burung terlihat sangat lemah,
kahexia, dehidrasi dan tinja mengalami perubahan warna di sekitar kloaka. Berdasarkan gejala
klinis dan anamnesa, differensial diagnosa menurut jurnal adalah koksidiosis, enteritis
nekrotikans, infeksi bakteri potensial lainnya. Beberapa ekor burung yang mati di nekropsi dan
didapatkan hasil terjadi pembesara hati dengan titik putih pucat, tidak beraturan, serta ukuran
yang bervariasi. Selain itu, seluruh usus menjadi sangat memerah, dan permukaan mukosa
ditutupi oleh fibrinonekrotik eksudat. Pada pemeriksaan kultur media selektf XLD untuk
Salmonella dilakukan pengambilan sampel dengan mengeutanasia tiga ekor burung kenari.

2.3 Pemeriksaan Penunjang


2.3.1 Kultur Media Triptosa Sulfit Cyclocerin (TSC)
Sampel 50 g hati dimasukkan ke dalam 450 ml air destilasi dan dicampur dalam
vorteks mixer (TARSON) selama 15 menit. Sebanyak 50 ml campuran dipindahkan ke
gelas kimia dan dimasukkan ke dalam penangas air pada suhu 80 °C selama 10 menit.
Setelah itu dinginkan campuran, 1 ml diinokulasikan pada Blood Agar kemudian
didefibrinasi lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam. Koloni yang tumbuh Blood
Agar selanjutnya di subkultur pada media kultur selektif C. perfringens yang
mengandung agar Triptosa Sulfit Cyclocerin (TSC).
2.3.2 Kultur Media Xilosa Lisin Deoksikolat (XLD)
Media Xilosa Lisin Deoksikolat (XLD) merupakan media selektif untuk bakteri
Salmonella. Pemeriksaan Salmonella spp, dilakukan dengan cara tiga ekor burung
kenari dieutanasia menggunakan CO2, kemudian 1 g caecal dimasukkan ke dalam
tabung reaksi berisi 9 ml larutan buffer pepton kemudian diinkubasi semalaman pada
suhu 37 °C. Kemudian sampel sebanyak 0.1 ml diambil dan dimasukkan kedalam
tabung reaksi berisi 10 ml Rappaport Vassilidialis (RV) lalu diinkubasi. Selanjutnya
sampel dikultur pada media Xilosa Lisin Deoksikolat (XLD), lalu diinkubasi pada suhu
37 °C selama 24 jam.
2.3.3 Identifikasi Bakteri Potensial Lainnya
Pengujian selanjutnya adalah mengecek organisme Coccidian (Isospora) yang
diambil dari sampel usus dan feses burung kenari hidup dan mati. Sampel kemudian
dicek menggunakan pewarnaan gram pada specimen tina dan kerokan mukosa usus,
kultur media Agar. Selain itu dilihat colonial dan morfologi mikroskopis, pola
hemolitik dan uji biokimia.
2.3.4 Uji Biokimia
Pada langkah selanjutnya, uji biokimia dan bakteri kultur dilakukan dengan
mengambil sampel hati dari 7 ekor burung kenari menggunakan cotton swab steril.
Spesimen kemudian diperkaya menggunakan nutrient broth selama 24 - 48 jam pada
suhu 37°C, kemudian dikultur pada Blood Agar pada suhu 37 °C selama 24 - 48 jam.

2.4 Hasil Uji


Pemeriksaan postmortem menunjukkan pembesaran hati dengan beberapa fokus putih
pucat, tidak beraturan, dan berukuran bervariasi permukaan, dan parenkim serta banyak
fokusnya konfluen (Gbr. 1A). Ada perdarahan petekie pada permukaan serosal organ visceral,
pembesaran pembuluh darah subkutan, pembesaran paru-paru, hati, dan ginjal. Selain itu,
seluruh usus menjadi sangat memerah, dan permukaan mukosa ditutupi oleh fibrinonekrotik
eksudat.

A B

C D

Gambar 1 (A) Pembesaran hati dengan banyak warna putih pucat dan fokus tidak teratur di
permukaan, (B) Nekrosis hepatoseluler ( ), (C) Hemoragi ( ), (D) Koloni bakteri
basofilik di hati ( ).
Sampel yang dikultur di media Blood Agar menunjukkan koloni bakteri non-hemolitik
(gamma hemolisis) dan termasuk bakteri yang mampu memfermentasikan laktosa.
Berdasarkan hasil uji biokimia, isolat bakteri teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae
(Tabel 1). Temuan histopatologi menunjukkan terjadinya hemoragi, multifocal nekrosis
hepatoseluler dan inflmasi infiltrasi sel (Gambar 1B dan 1C). Pada sampel hati ditemukan
koloni bakteri basofilik (Gambar 1D). Sampel yang dikultur pada media selektif Triptosa Sulfit
Cyclocerin (TSC) C. perfringens menunjukkan hasil negative. Pada media selektif XLD tidak
ditemukan koloni berwarna hitam yang menjadi ciri khas Salmonella.
Tabe 1. Hasil Uji Biokimia Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae dapat dideteksi dalam sampel tinja dan orofaring dari banyak
spesies psittacines sehat (Gibbs et al. 2007), namun demikian enterobacteria sebagian besar
bertindak sebagai patogen pernapasan, terutama pada unggas yang mengalami imunosupresi
dan stress (El Fertas-Aissani et al. 2013). Dalam laporan kasus ini, tampak kurangnya
kebersihan dan biosekuriti, masuknya burung-burung kenari baru tanpa proses karantina dan
pemantauan status kesehatan, burung mengalami stress dan imunosupressi terutama saat kawin
merupakan faktor penting dalam terjadinya infeksi Klebsiella pneumoniae.

2.5 Mekanisme Infeksi


Infeksi Klebsiella pneunomiae sangat bergantung pada daya tahan tubuh. Dalam keadaan
sehat tidak terjadi pertumbuhan kolonisasi Klebsiella pneumoniae yang disebabkan oleh
mekanisme pertahanan tubuh. Apabila terjadi ketidakseimbangan daya tahan tubuh, bakteri
patogen ini mampu berkembang biak lebih cepat dan menyebabkan penyakit pneumonia.
Selain itu, saluran pencernaan inang baik hewan maupun manusia dapat menjadi reservoir dan
sumber infeksi. Umumnya bakteri atau mikroba menginvasi sel-sel dengan dua cara yaitu
mekanisme transelular dan paraseluler, bakteri Klebsiella pneumoniae menggunakan
mekanisme transeluler untuk menembus sel-sel epitel (Hsu et al. 2015). Mekanisme transeluler
akan menyebabkan bakteri menyerang sel epitel nonfagosit dengan merusak dinamika
sitoskeleton inang (Cossart dan Sansonetti 2004).

Gambar 2 Mekanisme infeksi Klebsiella pneumoniae (Hsu et al. 2015)


2.6 Mode Transmisi
Bakteri Klebsiella pneumoniae dapat berpindah antar relung di lingkungan inang
manusia atau hewan, yang membawa gen atau plasmid AMR. Bakteri dapat berpindah dari
lingkungan ke manusia atau hewan melalui kontak atau konsumsi sumber air yang
terkontaminasi, dari host kembali ke lingkungan melalui saluran pembuangan, manusia dari
hewan yang terkontaminasi dengan cara kontak langsung atau hewan dikonsumsi (Wyres dan
Holt 2018). Oleh sebab itu bakteri Klebsiella pneumoniae dapat berpotensi menjadi penyakit
zoonotik jika manusia berkontak langsung dengan hewan yang terkontaminasi.

Gambar 3. Mode Transmisi bakteri Klebsiella pneumoniae (Wyres dan Holt 2018).

2.7 Pendekatan Diagnostik


Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mendeteksi Klebsiella pneumoniae
dengan mengambil sampel darah, urin dan cairan pleura hewan atau manusia yang diduga
terinfeksi bakteri ini (Tarina dan Kusuma 2019). Beberapa pendekatan diagnostik yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi bakteri yaitu metode konvensional kultur bakteri. Metode ini
dilakukan dengan mengencerkan sampel mengandung Klebsiella pneumoniae kemudian
dikultur pada media biakan agar selektif bakteri gram negatif (McConkey Agar dan EMB Agar)
dengan tujuan seleksi bakteri gram negatif dan positif dapat teridentifikasi pertumbuhannya
melalui seleksi media agar. Kemudian, diinkubasi pada suhu 25-30 C yang merupakan suhu
optimal bagi pertumbuhan bakteri gram negatif selama 1-2 hari, kemudian koloni yang timbul
diamati dan dianalisis menggunakan SPC (Standard Plate Count). Hasil positif menunjukkan
adanya koloni bakteri berwarna merah muda (Anderson et al. 2009; Podschun dan Ullmann
1998).
2.8 Pencegahan dan Pengobatan
Beberapa jenis Klebsiella pneumoniae dapat diobati dengan antibiotik, khususnya
antibiotik yang mengandung cincin beta-laktam (Anderson et al. 2007) . Antibiotik tersebut, di
antaranya adalah meropenem, kloramfenikol, siprofloksasin, dan ampisilin. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa bakteri ini memiliki sensitivitas 98,4% terhadap meropenem,
98,2% terhadap imipenem, 92,5% terhadap kloramfenikol, 80% terhadap siprofloksasin
(Tarina dan Kusuma 2019). Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan dan
sanitasi lingkungan, air, makanan dan minuman agar dapat terhindar dari infeksi bakteri ini.
III PENUTUP
3.1 Simpulan
Bakteri Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri gram negative berbentuk batang yang
mampu menginfeksi manusia dan hewan serta memiliki mekanisme infeksi transeluler. Bakteri
ini dapat bertransmisi menyerang manusia lewat hewan dan dapat bertahan di lingkungan
sekitar. Pengobatan yan dapat dilakukan adalah memilih antibiotik yang memiliki sensitivitas
tinggi dan pencegahan terinfeksi bakteri ini yaitu menjaga hygiene serta sanitasi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aissani EF, Messai R, Alouache YS, Bakour R. 2013. Virulence profiles and antibiotic
susceptibility patterns of Klebsiella pneumoniae strains isolated from different clinical
specimens. Pathologie Biologie. 61(1): 209- 216.
Anderson KF, Patel JB, Wong B. 2009. Characterization of enterobacteriaceae with a
falsepositive modified hodge test, abstracts of the forty-ninth interscience conference on
antimicrobial agents and chemotherapy. American Society for Microbiology.719-41.
Anderson KF, Patel JB, Wong B. 2009. Characterization of Enterobacteriaceae with a
falsepositive modified Hodge test, Abstracts of the Forty-ninth Interscience Conference
on Antimicrobial Agents and Chemotherapy. American Society for Microbiology.719-
41.
Brisse S, Van Duijkeren E. 2005. Identification and antimicrobial susceptibility of 100
Klebsiella animal clinical isolates. Vet Microbiol. 105(1): 307-312.
Chan C, Schreiber M, Shorr A. 2010. Resistantx Pathogensx inx Nonnosocomialx Pneumoniax
andx Respiratoryx Failurex. Chest Journal. 137(6):1283- 1288. DOI: 10.1378/chest.09-
2434
Cossart P, Sansonetti PJ. 2004. Bacterial invasion: the paradigms of enteroinvasive pathogens.
Science. 304(1):242–248. http://dx.doi.org/10 .1126/science.1090124.
Gibbs PS, Kasa R, Newbrey JL, Petermann SR, Wooley RE, Vinson HM, Reed W. 2007.
Identification, antimicrobial resistance profiles, and virulence of members from the
family Enterobacteriaceae from the feces of yellow-headed blackbirds (Xanthocephalus
xanthocephalus) in North Dakota. Avian Dis. 51(1): 649-655.
Hsu CR, Pan YJ, Liu JY, Chen CT, Lin TL, Wanga JT. 2015. Klebsiella pneumoniae
translocates across the intestinal epithelium via rho gtpase- and phosphatidylinositol 3-
kinase/akt-dependent cell invasion. Infection and Immunity. 83(2): 769-779.
Manuaba IASP, Iswari IS, Pinatih KJP. 2021. Prevalensi bakteri escherichia coli dan klebsiella
pneumoniae penghasil extended spectrum beta lactamase (esbl) yang diisolasi dari pasien
pneumonia di rsup sanglah periode tahun 2019-2020. Jurnal medika udayana. 10(12):
51-57.
Nakhaee P, Zarif Moghadam H, Shokrpoor S, Razmyar J. 2022. Klebsiella pneumoniae
infection in canaries (serinus canaria domestica): a case report. Iranian Journal of
Veterinary Research. 23(3): 280-284.
Podschun, Ullmann. 1998. Klebsiella spp. As Nosocomial Pathogens: Epidemiology,
Taxonomy, Typing methods, and Pathogenicity Factors. Clinical Microbiology Reviews.
10(1): 589-603.
Tarina NTI, Kusuma SAF. 2019. Deteksi bakteri Klebsiella pneumonia. Farmaka. 15(2): 119-
126.
Wyres KL, Holt KE. 2018. Klebsiella pneumoniae as a key trafficker of drug resistance genes
from environmental to clinically important bacteria. Current Opinion in Microbiology.
45(1):131–139.
Klebsiella Pneumoniae
Vapriel Andhika Pattikawa || B9404231083
Pendahuluan
Klebsiella Pneumoniae -> pneumonia, infeksi saluran kemih,
sepsis dan mastitis
Umumnya dapat menyerang manusia dan hewan
Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri gram negatif
berukuran 0.5 × 1.2 m
berbentuk batang
memiliki flagel sehingga tidak dapat bergerak
bakteri fakultatif anaerob
Kingdom : Bacteria
Subkingdom : Negibacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gammaproteobacteria
Taksonomi Order : Enterobacteriales
Family : Enterobactericeae
Genus : Klebsiella
Species : Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae

Saluran pencernaan, pernafasan


Lokasi

Cara penularan Gejala Klinis


Kontak langsung, kontaminasi Bronchitis, demam, dahak berdarah
lingkungan, nosokomoial (Rumah
Sakit)
Mekanisme Infeksi

Klebsiella pneumoniae -> mekanisme transeluler -> menyerang sel


epitel nonfagosit dengan merusak dinamika sitoskeleton inang
Mode Transmisi

lingkungan ke manusia atau hewan melalui kontak atau konsumsi sumber air yang
terkontaminasi
dari host kembali ke lingkungan melalui saluran pembuangan
manusia dari hewan yang terkontaminasi dengan cara kontak langsung atau hewan
dikonsumsi
Pendekatan Diagnostik
Kultur bakteri
Primerdesign genesig Kit for K. pneumoniae
Uji Hodge
Laporan Kasus
250 ekor burung terinfeksi di sebuah peternakan di Iran
Menunjukkan gejala anoreksia, lesu, diare, 30% populasi mati
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan burung terlihat sangat lemah, kahexia,
dehidrasi dan tinja mengalami perubahan warna di sekitar kloaka
Kemungkinan -> koksidiosis, enteritis nekrotikans, infeksi bakteri potensial
lainnya

Sumber : Nakhaee P, Zarif M H, Shokrpoor S, Razmyar J. 2022. Klebsiella


pneumoniae infection in canaries (Serinus canaria Domestica): a case report. Iranian
Journal of Veterinary Research. 23(3): 280-284.
Kultur Media Triptosa Sulfit
Cyclocerin (TSC)
Sampel 50 g hati -> ke dalam 450 ml air destilasi
Campur dalam vorteks mixer (TARSON) selama 15 menit
Sebanyak 50 ml campuran dipindahkan ke gelas kimia
dimasukkan ke dalam penangas air -> suhu 80 °C -> 10 menit.
Dinginkan campuran -> diinokulasikan pada Blood Agar
Didefibrinasi -> diinkubasi pada suhu 37 °C -> 48 jam
Koloni yang tumbuh Blood Agar -> subkultur pada media kultur selektif C.
perfringens yang mengandung agar Triptosa Sulfit Cyclocerin (TSC).
Kultur Media Xilosa Lisin
Deoksikolat (XLD)
1 g caecal dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan buffer pepton
kemudian diinkubasi semalaman pada suhu 37 °C.
Kemudian sampel sebanyak 0.1 ml diambil dan dimasukkan kedalam tabung reaksi
berisi 10 ml Rappaport Vassilidialis (RV) lalu diinkubasi.
Selanjutnya sampel dikultur pada media Xilosa Lisin Deoksikolat (XLD), lalu
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam.
Identifikasi Coccidia
Sampel dicek menggunakan pewarnaan gram pada spesimen tinja dan kerokan
mukosa usus, kultur media Agar. Selain itu dilihat colonial dan morfologi
mikroskopis, pola hemolitik dan uji biokimia.
Uji Biokimia
Uji biokimia dan bakteri kultur dilakukan dengan mengambil sampel hati dari 7 ekor
burung kenari menggunakan cotton swab steril. Spesimen diperkaya menggunakan
nutrient broth selama 24-48 jam pada suhu 37 °C, kemudian dikultur pada Blood
Agar pada suhu 37 °C selama 24-48 jam.
Hasil Uji

Hasil koloni bakteri non-hemolitik dan termasuk bakteri yang mampu memfermentasikan laktosa.
Hasil uji biokimia-> Klebsiella pneumoniae (Tabel 1).
Temuan histopatologi -> hemoragi, multifocal nekrosis hepatoseluler dan inflmasi infiltrasi sel
(Gambar 1B dan 1C).
Sampel hati -> koloni bakteri basofilik (Gambar 1D).
Media selektif Triptosa Sulfit Cyclocerin (TSC) C. perfringens -> negatif.
Media selektif XLD tidak ditemukan koloni berwarna hitam yang menjadi ciri khas Salmonella.
Pengobatan
Resistensi
Meropenem
Kloramfenikol
Klebsiella pneumoniae ->
Siprofloksasin
enzim betalaktamase ->
Ampisilin
menghidrolisis cincin
Penisilin
betalaktam -> resistensi
Sefalosporin
terhadap antibiotik tersebut.
Aztreonam
Kapsul polisakarida ->
melindungi -> fagositosis &
bakterisidal serum
Thank You
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

Trichophyton gallinae

Disusun oleh:
Farradiba Shafa Aqila B9404231046

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dermatofitosis atau dapat juga disebut ringworm merupakan penyakit kulit yang
disebabkan oleh kapang dermatofita. Kapang ini menginfeksi kulit yang memiliki keratin
seperti pada lapisan kulit bagian terluar yaitu epidermis pada stratum korneum, rambut, kuku,
serta tanduk mengakibatkan terjadinya keratinisasi berlebih (Nadira et al. 2023).
Dermatofitosis disebabkan oleh infeksi jamur yang termasuk dalam genus dermatofita yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Husna et al. 2020). Genus yang berperan
penting dalam infeksi dermatofitosis pada bidang veteriner yaitu Trichophyton sp. dan
Microsporum sp. Penyakit dermatofitosis merupakan zoonosis karena dapat menular dari
hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Kejadian dermatofitosis dipengaruhi oleh iklim, suhu
udara, kelembaban, pH kulit, dan lingkungan (Yulianti et al. 2021). Infeksi dermatofitosis
terjadi dengan cara kontak langsung dengan penderita. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan
akibat infeksi dermatofitosis diantaranya adalah gatal-gatal pada kulit, kerontokan rambut,
alopecia, kemerahan, bersisik, pustula, dan papula (Soedarmanto et al. 2020).
Infeksi dermatofitosis tidak hanya menginfeksi hewan peliharaan akan tetapi bisa juga
menginfeksi hewan ternak seperti sapi, domba, dan ayam. Salah satu penyebab utama
dermatofitosis pada ayam yaitu spesies Trichophyton gallinae. Spesies Trichophyton gallinae
atau banyak disebut juga Microsporum gallinae merupakan spesies dermatofit yang umum
menginfeksi unggas seperti ayam, bebek, dan juga merpati (Thongkham et al. 2022). Infeksi
dermatofitosis pada suatu peternakan unggas beresiko menimbulkan kerugian yang besar
karena penyakit ini dapat menular dan menginfeksi satu kawanan dalam suatu peternakan. Oleh
karena itu, dalam upaya mengendalikan infeksi dermatofitosis maka perlu dipelajari
karakteristik agen penyakit, mekanisme infeksi, metode diagnosis, jenis pengobatan dan
pencegahan yang dapat dilakukan.

Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui karakteristik penyakit, mekanisme infeksi, metode
diagnosis, jenis pengobatan dan pencegahan terhadap infeksi dermatofitosis yang disebabkan
oleh kapang Trichophyton gallinae.
PEMBAHASAN
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Arthodermataceae
Genus : Trichophyton
Species : Trichophyton gallinae

Trichophyton gallinae merupakan spesies kapang utama yang menyebabkan


dermatofitosis pada ayam. Trichophyton gallinae pertama kali diidentifikasi oleh Megnin
tahun 1881 pada ayam. Spesies ini pertama kali dinamai Epidermophyton gallinae yang
kemudian dipindahkan dari genus Epidermophyton ke dalam genus Trichophyton menjadi
Trichophyton gallinae. Selama perkembangan klasifikasi dermatofita, spesies ini memiliki
berbagai macam sinonim yang muncul pada literatur yaitu Achorion gallinae, Microsporum
gallinae, Lophophyton gallinae dan Sabouradites gallinae. Klasifikasi spesies ini dalam genus
Trichophyton pertama kali diusulkan oleh Silva dan Benham pada tahun 1952 dan juga oleh
George di tahun yang sama (Tores dan Georg 1956).
Spesies Trichophyton gallinae dapat ditemui di seluruh dunia. Kasus dermatofitosis
yang disebabkan oleh Trichophyton gallinae pernah dilaporkan di berbagai negara yaitu
Prancis, German, Brazil, Inggris, dan Amerika Serikat (Tores dan Georg 1956). Infeksi
penyakit ini di Amerika Serikat pertama kali ditemukan oleh Beach dan Halpin pada tahun
1981 setelah terjadi outbreak di Wisconsin selama bertahun-tahun, dan di Inggris pertama kali
diidentifikasi di Blaxland. Hingga tahun 2016 terdapat 44 kasus infeksi Trichophyton gallinae
yang dilaporkan. Adapun daerah endemik yaitu di wilayah Eropa, Timur Tengah, Amerika
Selatan, Swedia, Prancis, Jerman, Spayol, Pakistan, Iran, Nigeria, Puerto Rico, Venezuela, dan
Jepang (Miyasato et al. 2011).
Kejadian penyakit ini di Indonesia disebut dengan istilah kurap pada ayam jarang
terjadi dan belum ada publikasi ilmiah yang menyebutkan banyaknya kasus infeksi akibat
Trichophyton gallinae di Indonesia. Penularan Trichophyton gallinae dapat terjadi secara
langsung dan tidak langsung. Penularan langsung terjadi melalui kontak langsung dengan
hewan terinfeksi, sedangkan penularan tidak langsung dapat terjadi melalui benda-benda yang
terkontaminasi seperti pakaian, pakan, air, dan kayu (Gutie´rrez et al. 2006). Infeksi penyakit ini
bersifat zoonosis karena beberapa kali dilaporkan menginfeksi manusia. Mekanisme penularan dari
jamur genus Trichophyton bermula dari menempelnya jamur pada kulit, rambut, ataupun kuku. Setelah
menempel, jamur ini akan penetrasi menembus lapisan epidermis dan berkembang biak memanfaatkan
keratin sebagai sumber nutrisi. Kemudian sistem kekebalan tubuh akan merespon infeksi sehingga
menyebabkan gejala peradangan seperti kemerahan, gatal, dan pembengkakan.
Trichophyton gallinae menyebakan penyakit yang disebut “fowl favus” atau “white
bomb” pada unggas dengan lesi khas berupa terbentuknya kerak putih pada jengger dan pial
ayam ataupun kalkun (Murata et al. 2013). Selain menginfeksi unggas, spesies ini juga
dilaporkan menginfeksi anjing (Komarek dan Wurst 1989), monyet (Gordon dan Little 1968),
kucing (Korting dan Zienicke, 1990), tupai (Georg et al. 1962), tikus, kenari, merpati, dan
kalkun (Chermette et al. 2008). Selain menginfeksi hewan, spesies Trichophyton gallinae juga
dapat menginfeksi manusia (Tores dan Georg 1956).
Infeksi tersebut salah satunya terjadi pada pria berumur 96 tahun di Jepang (Miyasato
et al. 2011). Pria tersebut sudah bekerja sebagai peternak ayam selama 70 tahun, lengan
kanannya dipatuk oleh salah satu ayam. Beberapa minggu kemudian muncul dua lesi eritema
di lengan kanan disertai gatal. Secara perlahan lesi tersebut semakin membesar, bersisik, dan
membentuk cincin dengan diameter 2 cm. Kemudian diambil skin scrapping untuk dilakukan
pemeriksaan. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH 20% ditemukan banyak
hifa. Kemudian dilakukan kultur pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang
mengandung penisilin dan streptomisin. Sampel yang diambil yaitu berupa kerokan kulit yang
terdapat lesi. Media diinkubasi pada suhu 26-280 C selama 3-4 minggu. Koloni yang tumbuh
berwarna putih dengan permukaan bawah berwarna merah muda (Gambar 1).

Gambar 1 Hasil kultur Tricophyton gallinae (Miyasato et al. 2011)


Pemeriksaan mikroskopis juga dapat dilakukan untuk melihat struktur kapang
menggunakan slide culture dengan pewarna Lactophenol Cotton Blue (LPCB) (Gambar 3).
Slide culture dibuat dengan cara menyiapkan cawan petri berisi kertas saring, batang
penyangga segitiga, object glass, potongan kecil Sabouraud Dextrose Agar (SDA) berbentuk
persegi dengan lebar kurang lebih 1 cm secara berurutan dari bawah ke atas. Kultur kapang
diinokulasikan pada setiap sisi agar, lalu ditutup dengan cover glass. Selanjutnya ditambahkan
akuades pada dasar cawan secukupnya kemudian slide culture diinkubasi pada suhu ruang
selama 2-7 hari. Pengamatan struktur kapang juga dapat diamati melalui mikroskop elektron
menggunakan preparat yang sudah diwarnai dengan pewarna LPCB (Gambar 4).
A B

C D

Gambar 2 Pewarnaan mikroskopis koloni jamur dengan pewarna LPCB terlihat hifa bersepta
dan makrokonidia (a), hifa melingkar berbentuk spiral (b), makrokonidia berbentuk clavate
terdiri dari 2-6 septa memilki dinding luar kasar (c)(d)

A B

C D

Gambar 3 Pengamatan struktur koloni jamur dengan mikroskop elektron terlihat


mikrokonidia berbentuk oval (a)(b), terdapat duri halus pada permukaan makrokonidia (c)(d)

Berdasarkan temuan kasus tersebut di Jepang kemudian dilakukan pemeriksaan pada


739 ayam dengan metode tape smear. Metode tersebut dilakukan dengan cara menyiapkan
plastic tape transparan dengan lebar 18 mm dipotong sepanjang 10 cm. Masing-maisng ujung
tape sepanjang 1 cm dilipat sebagai pegangan, kemudian jengger ayam dijepit dengan tape dan
digosok perlahan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk (Yamaguci 2019). Tape tersebut
selanjutnya yang diinkubasi pada suhu 350 C selama 28 hari. Koloni yang tumbuh kemudian
di kultur pada media Potato Dextrose Agar (PDA). Hasil positif Trichophyton gallinae
ditemukan pada ayam Shamo yang memiliki lesi putih berkerak pada jengger
Gambar 5 Infeksi Trichophyton gallinae pada ayam Shamo (Yamaguci 2019)
Terapi pengobatan yang dapat diberikan yaitu terapi secara topical dengan pemberian
krim antifungi golongan azole seperti clotrimazole selama 2-8 minggu. Infeksi mereda secara
bertahap dalam kurun waktu 4-6 minggu (Faruqui et al. 1984). Selain clotrimazole, sedian lain
yang efektif digunakan sebagai terapi dermatofitosis pada hewan yaitu ketoconazole,
itraconazole, dan griseofulvin (Sofariah et al. 2021). Sediaan antijamur golongan azole
memiliki mekanisme kerja menghambat enzim P450 dalam jamur dan menghambat sintesis
ergosterol dalam dinding membrane sel jamur (Antoh dan Simarmata 2021). Jika terjadi iritasi
dapat juga diberikan krim antiinflamasi seperti betametason yang diaplikasikan secara
bersamaan dengan krim antifungi. Lesi perlahan hilang dalam waktu 4 minggu (Miyasato et
al. 2011). Pencegahan dapat dilakukan dengan selalu memperhatikan sanitasi personal,
mengurangi kontak ataupun selalu memperhatikan prosedur jika harus melakukan kontak
dengan hewan/manusia yang terinfeksi seperti menggunakan gloves, mencuci tangan dengan
sabun, dan mendesinfektan benda-benda yang sekiranya kontak langsung dengan penderita.

KESIMPULAN
Trichophyton gallinae merupakan spesies kapang utama yang menyebabkan
dermatofitosis pada ayam dengan lesi khas berupa terbentuknya kerak putih pada jengger dan
pial ayam ataupun kalkun. Penularan Trichophyton gallinae dapat terjadi secara langsung dan
tidak langsung. Spesies ini utama menyerang unggas tetapi juga bisa menginfeksi anjing,
kucing, monyet, tupai, tikus, hingga manusia. Metode diagnosis yang dapat dilakukan yaitu
dengan pemeriksaan langsung skin scrapping menggunakan KOH 20%, kultur kapang pada
media Sabouraud Dextrose Agar (SDA), slide culture, pemeriksaan secara mikroskopis, dan
tape smear. Terapi pengobatan yang dapat diberikan yaitu terapi secara topical dengan
pemberian krim antifungi golongan azole selama 2-8 minggu. Pencegahan dapat dilakukan
dengan selalu memperhatikan sanitasi personal, mengurangi kontak ataupun selalu
memperhatikan prosedur jika harus melakukan kontak langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Antoh L, Simarmata YTRMR. 2021. Laporan Kasus: Ringworm Pada Sapi Bali. Jurnal
Veteriner Nusantara.5(2): 1–5.
Chermette R, Ferreiro L, Guillot J. 2008. Dermatophytoses in animals. Mycopathologia. 166(5-
6): 385-405.
Faruqui AH, Khan KA, Harood ST. 1984. Scalp infection by Trichophyton gallinae (a case
report from Pakistan): tinea capitis durch Trichophyton gallinae (ain fallbericht aus
Pakistan). Mykosen. 27(12): 589-591.
Georg LK, Ajello L, Friedman L, Brinkman SA. 1962. A new species of 13 Microsporum
pathogenic to man and animals. Sabouraudia. 1:189-196.
Gordon MA, Little GN. 1968. Trichophyton (Microsporum?) gallinae ringworm in a monkey.
Sabouraudia. 6(3): 207-212
Gutierrez PP, Abuzara F, Becker F, Krause H, Merk HF, Frank J. 2006. Onychomycosis in a
diabetic patient due to Trichophyton gallinae. Journal Copmpilation. 49(3): 254-257.
Husna N, Wismandanu O, Sujatmiko B. 2020. Gambaran Kejadian dermatofitosis pada kucing
di pusat kesehatan hewan Kota Cimahi dengan pendekatan sistem informasi geografis.
Indonesia Medicus Veterinus. 9(4): 552–565.
Komarek J, Wurst Z. 1989. Dermatophytes in clinically healthy dogs and 12 cats. Veterinary
Medicine. 34(1): 59-63.
Korting HC, Zienicke H. 1990. Dermatophytoses as occupational dermatoses in industrialized
countries, report on two cases from Munich. Mycoses. 33(2): 86-89.
Miyasato H, Yamaguchi S, Taira K, Hosokawa A, Kayo S, Sano A., Uezato H, Takahashi K.
2011. Tinea corporis caused by Microsporum gallinae: the first clinical case in Japan.
Journal of Dermatology. 38(5): 473- 478
Murata M, Takahashi H, Takahashi S, Takahash Y, Chibana H, Murata Y, Sugiyama K,
Kaneshima T, Yamaguchi S, Miyasato H, Murakami M, Kano R, Hasegawa A, Uezato,
H, Hosokawa A, Sano A. 2013. Isolation of Microsporum gallinae from a fighting cock
(Gallus gallus domesticus) in Japan. Medical Mycology. 51(2): 144-149.
Nadira LA, Widyastuti SK, Soma IG. 2023. Dermatofitosis oleh Trichophyton spp. pada anak
kucing lokal. Veterinary Science and Medicine Journal. 5(10): 271-280.
Soedarmanto I, Yanuartono, Raharjo S, Nururrozi A, Guna JCA. 2020. Combination of
systemic and topical treatment for feline dermatophytosis: A Case Report. Acta
Veterinary Indonesia. 8(1): 18-23.
Sofariah M, Febram B, Winarsih W. 2021. Evaluasi penggunaan obat antifungal di salah satu
klinik hewan Kota Bogor pada tahun 2017 dan 2018. Jurnal Health Sains. 2(7): 907-
914.
Thongkham E, Junnu S, Borlace GN, Uopasai S, Aiemsaard J. 2022. Efficacy of common
disinfection processes against infective spores (arthroconidia) and mycelia
of Microsporum gallinae causing avian dermatophytosis. Veterinary World. 15(6):
1413-1422.
Tores G, Georg LK. 1956. A human case of Trichophyton gallinae infection. AMA Archives of
Dermatology. 74(2): 191-197.
Yamaguchi S. 2019. Endangered zoonotic fungal species from chicken (Gallus gallus
domestic). Medical Mycology Journal. 60(2): 45-49.
Yulianti D, Wismandanu O, Afriandi I. 2021. Pengetahuan, sikap, dan praktik pemilik kucing
yang berkunjung ke puskeswan Kota Cimahi terhadap kejadian dermatofitosis pada
kucing peliharaannya. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 31(3): 245–
256
PPDH LAB DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI
KELOMPOK C1

Trichophyton
gallinae
Farradiba Shafa Aqila | B9404231046
Latar Belakang

Dermatofitosis (ringworm) : penyakit kulit yang disebabkan


oleh kapang dermatofita
Kapang dermatofita Microsporum sp., Trichophyton sp.,
Epidermophyton sp.
Infeksi dermatofita : hewan peliharaan dan hewan ternak
Infeksi hewan ternak dapat menjadi wabah menyebabkan
kerugian ekonomi
Trichophyton gallinae spesies dermatofit yang umum
menginfeksi unggas
Tujuan

Mengetahui karakteristik penyakit, mekanisme infeksi,


metode diagnosis, jenis pengobatan dan pencegahan
terhadap infeksi dermatofitosis yang disebabkan oleh
kapang Trichophyton gallinae.
Taksonomi

Megnin (1881)
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota Diidentifikasi
Class : Eurotiomycetes
Epidermophyton
Ordo : Onygenales
gallinae
Family : Arthodermataceae
Genus : Trichophyton Perubahan Genus
Species : Trichophyton gallinae
Trichophyton
gallinae
Epidemiologi

Spesies Trichophyton gallinae dapat ditemui di seluruh


dunia dilaporkan di berbagai negara
Hingga tahun 2016 terdapat 44 kasus infeksi Trichophyton
gallinae yang dilaporkan
Daerah endemik : Eropa, Timur Tengah, Amerika Selatan,
Swedia, Prancis, Jerman, Spayol, Pakistan, Iran, Nigeria,
Puerto Rico, Venezuela, dan Jepang (Miyasato et al. 2011).
Di Indonesia jarang terjadi dan belum ada publikasi ilmiah
yang menyatakan jumlah infeksi Trichophyton gallinae.
Transmisi

Langsung Tidak Langsung

Kontak langsung Kontak dengan benda


dengan penderita yang terkontaminasi

Berkembang
Kapang Menembus
biak Respon
menempel lapisan
memanfaatkan sistem imun
pada kulit epidermis
keratin
Spesies Tertular

Trichophyton gallinae menyebakan penyakit yang disebut


“fowl favus” atau “white bomb” pada unggas (Murata et al.
2013).
Spesies lain : anjing (Komarek dan Wurst 1989), monyet
(Gordon dan Little 1968), kucing (Korting dan Zienicke,
1990), tupai (Georg et al. 1962), tikus, kenari, merpati, dan
kalkun (Chermette et al. 2008).
Dilaporkan menginfeksi manusia (Miyasato et al. 2011)
Studi Kasus

Nama :X
Umur : 96 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Anamnesa : sudah bekerja sebagai peternak ayam selama 70 tahun,
lengan kanannya dipatuk oleh salah satu ayam. Beberapa minggu
kemudian muncul dua lesi eritema di lengan kanan disertai gatal. Secara
perlahan lesih tersebut semakin membesar, bersisik, dan membentuk
cincin dengan diameter 2 cm. Kemudian diambil skin scrapping untuk
dilakukan pemeriksaan. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dengan
KOH 20% ditemukan banyak hifa.
Metode Diagnosis

Pemeriksaan natif (KOH 20%)


Kultur pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
Slide kultur dengan pewarnaan koloni menggunakan
Lactophenol Cotton Blue (LPCB)
Pengamatan dengan mikroskop elektron
Metode Diagnosis

Hasil kultur Tricophyton gallinae yang diinkubasi pada suhu 26–28 C selama 17 hari
terlihat koloni tumbuh berwarna putih dengan permukaan bawah berwarna merah muda
(Miyasato et al. 2011)
Metode Diagnosis

Hifa bersepta dan


makrokonidia (a)
Hifa melingkar berbentuk
spiral (b)
Makrokonidia berbentuk
clavate terdiri dari 2-6 septa
memilki dinding luar kasar (c)
(d)
Metode Diagnosis

Mikrokonidia berbentuk
bulat cenderung oval (a)
(b)
Terdapat duri halus pada
permukaan makrokonidia
(c)(d)
Metode Diagnosis

Berdasarkan temuan kasus sebelumnya di


Jepang maka 739 ayam dilakukan
pemeriksaan dengan metode tape smear
yang diinkubasi pada suhu 35 C selama 28
hari
Koloni yang tumbuh kemudian di kultur
pada media Potato Dextrose Agar (PDA)
Hasil positif Trichophyton gallinae
ditemukan pada ayam shamo yang
(Yamaguci 2019)
memiliki lesi putih berkerak pada jengger
Pengobatan

Krim antifungi golongan azole seperti clotrimazole selama 2-


8 minggu.
Mekanisme antifungi : menghambat enzim P450 dalam
jamur dan menghambat sintesis ergosterol dalam dinding
membrane sel jamur
Jika iritasi dapat juga diberikan antiinflamasi
Infeksi mereda secara bertahap dalam kurun waktu 4-6
minggu
Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan selalu memperhatikan


sanitasi personal, mengurangi kontak ataupun selalu
memperhatikan prosedur jika harus melakukan kontak dengan
hewan/manusia yang terinfeksi, dan mendesinfektan benda-
benda yang sekiranya kontak langsung dengan penderita.
Kesimpulan
Trichophyton gallinae merupakan spesies kapang utama yang menyebabkan
dermatofitosis pada ayam dengan lesi khas berupa terbentuknya kerak putih pada
jengger dan pial ayam ataupun kalkun.
Penularan Trichophyton gallinae dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Spesies ini utama menyerang unggas tetapi juga bisa menginfeksi anjing, kucing,
monyet, tupai, tikus, hingga manusia.
Metode diagnosis yang dapat dilakukan yaitu dengan pemeriksaan langsung skin
scrapping menggunakan KOH 20%, kultur kapang pada media Sabouraud Dextrose
Agar (SDA), pemeriksaan secara mikroskopis, wood’s lamp, dan tape acetat smear.
Terapi pengobatan yang dapat diberikan yaitu terapi secara topical dengan
pemberian krim antifungi 2-8 minggu.
Pencegahan dapat dilakukan dengan selalu memperhatikan sanitasi personal,
mengurangi kontak ataupun selalu memperhatikan prosedur jika harus melakukan
kontak langsung.
Terima Kasih
MAKALAH BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI
LABORATOTIUM DIAGNOSTIK

Trycophyton Verrucosum

Disusun oleh :
Falsa Martiana Kencana Putri B9404231038

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023//2024

Dosen :
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit pada kulit banyak sekali terjadi, beberapa jenis penyakit kulit yaitu
alopecia, pruritus, dan dermatofita. Dermatofita adalah jamur patogen yang
menyebabkan mikosis (dermatofitosis) pada jaringan superficial, seperti epidermis,
rambut, dan kuku. Infeksi dermatofita merupakan masalah kesehatan utama baik
pada manusia maupun hewan di seluruh dunia, yang dapat ditularkan dari hewan
ke hewan dan dari hewan ke manusia menyebabkan wabah diantara individu yang
terpapar. Dermatofita diklasifikasikan menjadi antropofilik, zoofilik, dan geofilik
berdasarkan reservoir utamanya. Antropofilik terutama berhubungan dengan
manusia dan jarang menginfeksi hewan. Dermatofita zoofilik biasanya menginfeks i
hewan atau berhubungan dengan hewan tetapi kadang-kadang menginfeks i
manusia. Geofilik terkadang dapat bersifat patogen bagi manusia atau hewan (Guo
et al. 2020)
Berbagai macam dermatofita telah diisolasi dari hewan, yaitu Microsporum
canis, Microsporum gypseum (Nannizzia gypsea), Trichophyton mentagrophytes,
Trichophyton equinum dan Trichophyton verrucosum. Trichophyton verrucosum
patogen yang paling umum terjadi menyerang sapi. Trichophyton verrucosum
merupakan jamur zoofilik yang menyebabkan kurap pada sapi. Infeksi pada
manusia dapat terjadi akibat kontak langsung dengan ternak atau benda terinfeks i
dan biasanya menimbulkan peradangan parah pada kulit kepala atau area tubuh
yang terbuka (Pal 2017)

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui taksonomi, epidemiologi, mekanis me
infeksi, pengobatan, serta pencegahan dari jamur Tricophyton verrucosum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Taksonomi dan Klasifikasi
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizimycotina
Class : Eurotiomycetes
Order : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Species : Trichophyton verrucosum
Trichophyton verrucosum dengan pengamatan makroskopis untuk koloni
berwarna abu-abu, putih, kuning, sedangkan koloni bagian bawah berwarna
kuning kecoklatan. Ciri mikroskopis Trichophyton verrucosum adalah adanya hifa
yang bersekat dan terdiri atas tiga bentuk spora yaitu mikrokonidia, makrokonid ia
dan klamidospora. Mikrokonidia berbentuk bulat, lonjong dan berbentuk buah pir;
makrokonidia panjang, halus dan multiseluler, sedangkan klamidospora sangat
melimpah dalam bentuk vegetatifnya (Simmarmata et al. 2018).
Koloni tumbuh lambat, kecil berbentuk kancing atau cakram, berwarna putih
hingga krem, dengan permukaan seperti suede hingga beludru, bagian tengah
terangkat, dan pinggiran datar dengan beberapa pertumbuhan terendam. Pigmen
terbalik dapat bervariasi dari tidak berpigmen hingga kuning. Hifa lebar dan tidak
beraturan dengan banyak klamidospora terminal dan interkalar. Klamidospora
sering kali berbentuk rantai. Ujung beberapa hifa lebar dan berbentuk gada, dan
kadang-kadang terbelah, sehingga menimbulkan efek “tanduk” (Pal dan
Chakravarty 2020).
Karakteristik dari mikrokonidia hingga piriform berbentuk ekortikus atau
kacang panjang yang khas dari Trichophyton verrucosum, Gambar 1. Semua srain
menghasilkan rantai klamidiospora yang khas, sering disebut dengan rantai
mutiara, Gambar 1 (de hong et al.2017). Jamur ini juga menunjukkan karakteristik
terminal dan mempunyai rantai infeksi ekotriks spora rambut yang khas (McPhee
et al. 2014).
A B

Gambar 1. Mikrokonidia klavat hingga piriform dan makrokonidia berbentuk


ekor tikus atau kacang panjang yang khas (A), Vesike terminal khas dan
rantai klamidokonidia (B) (de hongg et al. 2017).

A B C
Gambar 2. Mikroskopis kultur T. verrucosum menunjukkan karakteristik vesikel
terminal (A), Rantai khas klamidokonidia yang dimaksud sebagai rantai
mutiara (B), Rantai infeksi ektotrik spora besar rambut khas T.
verrucosum (C) (McPhee et al. 2014).

2.2 Epidemiologi Penyakit


Trichophyton verrucosum umumnya ditemukan pada hewan ternak, terutama
sapi. Jamur ini merupakan agen penyakit kurap pada manusia dan hewan seperti
unta, sapi, dan kambing. Infeksi pada sapi sering disebut dengan nama
“ringworm”. Manusia dapat menjadi inang perantara dan terinfeksi melalui kontak
langsung dengan hewan ternak yang terinfeksi atau melalui lingkungan yang
terkontaminasi spora jamur. Jamur ini dapat bertahan pada lingkungan yang
lembab dan hangat. Infeksi dapat berkembang lebih baik di daerah dengan kondisi
lingkungan yang mendukung pertumbuhan jamur (Coutellemont et al. 2017).
Spora jamur kurap bertahan berbulan-bulan atau bertahun-tahun dalam
beberapa kasus di lingkungan peternakan. Wabah alami biasanya hanya
menyerang hewan yang lebih muda, meskipun hewan yang lebih tua yang
sebelumnya tidak pernah terpapar dermatofita juga dapat dengan mudah tertular
karena kurangnya kekebalan alami. Penyakit ini lebih umum terjadi di negara-
negara yang lebih dingin dan mungkin dipengaruhi oleh kelembapan. Masa
inkubasi penyakit ini biasanya sekitar 1 minggu (Pal dan Chakravarty 2020).
Infeksi jamur ini umum terjadi pada Negara-negara beriklim panas dan lembab. Di
daerah beriklim sedang, puncak infeksi biasanya terjadi pada musim panas dan
musim dingin. Di cina, kasus infeksi Trichophyton verrucosum pada sapid dan
manusia besar dilaporkan di Xinjiang Uygur daerah otonomi di Tiongkok Barat
(Guo et al. 2020).

2.1 Laporan Kasus Hewan (Simarmata et al. 2018)


2.1.1 Anamnesa
Sapi telah diberi obat anthelmintic dan vaksinasi SE (Septicaemia epizootica).
Sapi dipelihara di lahan semi intensif dengan jumlah populasi 6 ekor sapid dan
diberi pakan daun Laucaena leucocephala.
2.1.2 Sinyalemen
Spesies : Cattle
Usia : 1 tahun, 8 bulan
Jenis Kelamin : Betina
BB : 78.1 kg
Warna Rambut: Coklat kemerahan
2.1.3 Gejala Klinis
Terdapat bintil, koreng dan alopecia pada daerah kepala dan leher, dada,
perut, kaki depan, kaki belakang dan daerah panggul.

Gambar 1. Nodul multifocal, koreng dan alopecia di kepala (A), daerah leher
(B), kaki depan (C), dada, perut, dan panggul (D)

2.1.4 Mekanisme Infeksi


Trichophyton verrucosum merupakan jamur dermatofit yang menyebabkan
infeksi pada kulit, kuku, dan rambut pada manusia dan hewan ternak terutama sapi.
Mekanisme infeksi jamur ini melibatkan beberapa tahapan, mulai dari kontak
dengan sumber infeksi hingga kontak dengan barang yang terkontaminasi. Sumber
infeksi utama pada hewan ternak adalah sapi (Lagowski et al. 2019).
Infeksi kulit akibat dermatofita menyerang statum korneum atau struktur
keratin yang menyusun epidermis , menyebabkan lesi kulit, serta infeksi rambut
dan kuku. Jamur dermatofita telah terbukti mempunyai aktifitas keratolitik dan
protrolitik serta lipolitik lainnya. Protrase sering terlibat dalam katabolisme protein
ekstraseluler ditemukan diproduksi oleh dermatofita dan pelepasannya diduga
berperan besar dalam invasi kulit (Kaufman et al. 2007)

2.1.5 Uji Dignostik


Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus yang diambil yaitu sampel kerokan
kulit yang diinokulasi langsung ke Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Pertumbuha n
jamur diamati secara makroskopis. Sampel pertumbuhan diambil dengan jarum
steril dan diwarnai dengan lactofenol cotton blue. Sampel kemudian diamati di
bawah mikroskop. Temuan makroskopis pada hari pertama berupa jamur dengan
tepi (bagian luar) berwarna putih, bagian tengah berwarna kuning kecoklatan, dan
inti berwarna putih. Pada hari kedua, jamur diamati dengan tepi berwarna putih,
bagian tengah berwarna kuning kecoklatan, dan inti tidak jelas. Secara
mikroskopis, hifa dengan septa, sporangium dan sporangiofor diamati di bawah
mikroskop.

Gambar 2. Makroskopis jamur pada hari pertama (A) dan hari kedua (B)

Gambar 3. Temuan mikroskopis jamur yang diwarnai dengan Lactophenol cotton


blue pada hari pertama (A), hari kedua dengan perbesaran 10x (B) dan
perbesaran 40x (C,D). hifa dan septa (panah merah), spongium (panah
hitam), dan sporangiosporum (panah hijau).
2.1.6 Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan yang dilakukan yaitu pembersihan krusta (topikal), pemberian
griseofulvin (oral) dan vitamin ADE. Pembersihan kerak dilakukan dengan
memandikan sapi menggunakan campuran air dan deterjen kemudian dioles pada
bagian yang keropeng, dilanjutkan dengan pengolesan larutan povidone iodin.
Deterjen dan povidone-iodine berfungsi sebagai antiseptik.
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara membersihkan benda yang tercemar,
mengingat dimana jamur sporanya dapat hidup dalam waktu yang panjang.
Tindakan pencegahan lain yaitu menjaga sanitasi kebersihan lingkungan dan
kebersihan kulit dengan memandikan sapi minimal satu kali sehari dengan
pembersihan kandang sapi secara teratur. Orang yang terpapar di tempat kerja
seperti dokter hewan dan staf lainnya disarankan untuk menggunakan sarung tangan
sekali pakai, dan mencuci tangan mereka secara menyeluruh dengan pembersih
tangan berbahan dasar alkohol atau larutan antiseptik seperti dettol atau savlon
ketika memeriksa hewan yang sakit atau mengumpulkan kerokan kulit untuk
diagnosis (Pal 2017)

2.1.7 Hasil Pengobatan Penyakit


Terapi yang dilakukan pada jurnal ini berhasil dapat menghillangkan lesi pada
sapi yang terkena Tricophyton verrucosum ditandai dengan tumbuhnya kembali
rambut pada daerah yang terkena jamur

BAB III
SIMPULAN
Trichophyton verrucosum merupakan jamur zoofilik yang menyebabkan kurap
pada sapi. Jamur ini dapat menular dari hewan ke manusia dan memiliki masa inkubas i
penyakit sekitar 1 minggu. Mekanisme infeksi dari jamur ini yaitu melalui kontak
langsung ataupun terkena kontak dengan barang yang telah terkontaminas i.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu dengan sampel kerokan kulit dan
diinokulasikan pada media SDA untuk selanutnya damati makroskopis dan
mikroskopisnya. Pengobatannya dapat berupa obat topikal dan oral. Pencegahan yang
dapat dilakukan yaitu menjaga sanitasi personal dan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Coutellemont L, Chevrier S, Degeilh B, Belaz S, Gangneux JP, Gangneux FR. 2017.
Epidemiology of Trichophyton verrucosum infection in Rennes Univers ity
Hospital, France: A 12-year retrospective study. Medical Mycology. 55: 720-724.
De hoog GS, Dukik K, Monod M, Packeu A, Stubbe D, Hendrickx M, Kupsch C,
Stielow JB, Freeke J, Goker M, et al. 2017. Toward a novel multtioc us
phylogenetic taxonomy for the dermatophytes. NHI.182(1-2) 5-31.
Guo Y, Ge S, Luo H, Rehman A, Li Y, He S. 2020. Occurrence of Trichophyton
verrucosum in cattle in the Ningxia Hui autonomous region, China. BMC
Veterinary Research. 16 (187): 1-9.
Kaufman G, Benjamin Horwitz BA, Duek L, Ulman Y, Berdicevsky I. 2007. Infectio n
stages of the dermatophyte pathogen Trichophyton: microscopic characterizatio n
and proteolytic enzymes. Medical Mycology. 45(2): 149-155.
Lagowski D, Gnat S, Nowakiewicz A, Osinska M, Troscianczyk A, Zieba P. 2019. In
search of the source of dermatophytosis: Epidemiological analysis of
Trichophyton verrucosum infection in llamas and the breeder (case report).
Zoonoses and Public Health. 10(1): 1-8.
McPhee A, Cherian S, Barksdale S, Robson J. Trichophyton verrucosum an uncommo n
zoophilic dermatophyte infection. Sulivan Nicolaides Pathology [interne t].
[diunduh 2023 Nov 15]. Tersedia pada:
https://www.snp.com.au/media/7071/trichopyton- verrucosum_september-
2016.pdf.

Pal A, Chakravarty AK. 2020. Chapter 2 - Major diseases of livestock and poultry and
problems encountered in controlling them. India : Elsevier.

Pal M. 2017. Dermatophytosis in an adult cattle due to Trichophyton verrucosum.


AHDVS. 1(1): 1-3.
Simarmata YT, Sanam MUE, Milo LMAO. 2018. Ringworm on sapi Bali at Baumata
Timur Village. Proc. Of the 20th FAVA Congress & the 15th KIVNAS PDHI,
Bali; 2018 Nov 1-3. hlm 559-561.
Trycophyton verrucosum

START
Latar Belakang
Dermatofita adalah jamur patogen yang menyebabkan mikosis
(dermatofitosis) pada jaringan superficial, seperti epidermis, rambut,
dan kuku. Trichophyton verrucosum paling umum terjadi menyerang
sapi. Jamur ini merupakan jamur zoofilik yang menyebabkan kurap
pada sapi. Infeksi pada manusia dapat terjadi akibat kontak langsung
dengan ternak atau benda terinfeksi dan biasanya menimbulkan
peradangan parah pada kulit kepala atau area tubuh yang terbuka
Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui taksonomi, epidemiologi,
mekanisme infeksi, pengobatan, serta pencegahan dari jamur
Tricophyton verrucosum.
Taksonomi
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizimycotina
Class : Eurotiomycetes
Order : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Species : Trichophyton verrucosum
Klasifikasi
Makroskopis berwarna abu- Mikrokonidia berbentuk bulat,
abu, putih, kuning bagian lonjong dan berbentuk buah pir;
bawah kuning kecoklatan makrokonidia panjang, halus
dan multiseluler

Mikroskopis terdiri atas tiga Chlamydospora sangat


bentuk spora yaitu melimpah dalam bentuk
mikrokonidia, makrokonidia dan vegetatifnya
klamidospora.
Epidemiologi

01 02 03
Umumnya Dapat bertahan pada Umum terjadi di
ditemukan pada lingkungan yang negara-negara yang
hewan ternak lembab dan hangat. lebih dingin dan
terutama sapi mungkin dipengaruhi
oleh kelembapan
Laporan Kasus
(Simarmata et al. 2018)
Sinyalemen Anamnesa
Jenis : Sapi Sapi telah diberi obat
Usia : 1 tahun, 8 bulan anthelmintic dan vaksinasi SE
Jenis Kelamin : Betina (Septicaemia epizootica). Sapi
BB : 78.1 kg dipelihara di laham semi intensif
Warna Rambut: Coklat dengan jumlah populasi 6 ekor
kemerahan sapi dan diberi pakan daun
Laucaena leucocephala.
Gejala Klinis
Nodul multifocal, koreng dan
alopecia di kepala (A),
daerah serviks (B), kaki
depan (C), dada, perut, dan
panggul (D)
.
Mekanisme Infeksi

01 Kontak langsung dengan sumber infeksi

02 Kontak dengan barang yang terkontaminasi jamur


Uji Diagnostik
Pemeriksaan menggunakan KOH 10%
Pemeriksaan sampel kerokan kulit yang diinokulasi langsung ke
Sabouraud Dextrose Agar (SDA).
Pertumbuhan jamur diamati secara makroskopis dan mikroskopis
.
Uji Diagnostik

Hasil yang ditemukan adalah jamur


yang mempunyai hifa dan septa.
.

Jamur dengan hifa dan septa


Uji Diagnostik
Hari pertama berupa jamur
dengan tepi (bagian luar)
berwarna putih, bagian tengah
berwarna kuning kecoklatan, dan
inti berwarna putih.
Hari kedua jamur diamati dengan
tepi berwarna putih, bagian
tengah berwarna kuning
. Makroskopis jamur pada hari
kecoklatan, dan inti tidak jelas
pertama (A) dan hari kedua (B)
.
Uji Diagnostik
Hifa bersepta (panah merah),
sporangium (panah hitam),
mikroconidia (panah biru),
makroconidia (panah hijau) dan
chlamydospora (panah kuning)
.
Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan Pencegahan

Pengobatan yang dilakukan Pencegahan yang dapat


yaitu pembersihan krusta dilakukan yaitu menjaga
(topikal), pemberian sanitasi personal dan
griseofulvin (oral) dan vitamin lingkungan
ADE.
Hasil Pengobatan
Terapi yang dilakukan pada jurnal ini berhasil dapat
menghillangkan lesi pada sapi yang terkena Tricophyton
verrucosum ditandai dengan tumbuhnyakembali rambut pada
daerah yang terkena jamur

.
Simpulan PAGE 09

Trichophyton verrucosum merupakan jamur zoofilik yang menyebabkan


kurap pada sapi. Jamur ini dapat menular dari hewan ke manusia dan
memiliki masa inkubasi penyakit sekitar 1 minggu. Mekanisme infeksi dari
jamur ini yaitu melalui kontak langsung ataupun terkena kontak dengan
barang yang telah terkontaminasi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
yaitu dengan sampel kerokan kulit dan diinokulasikan pada media SDA
untuk selanutnya damati makroskopis dan mikroskopisnya.
Pengobatannya dapat berupa obat topikal dan orel. Pencegahan yang
dapat dilakukan yaitu menjaga sanitasi personal dan lingkungan
THANK YOU
SO MUCH
LAPORAN INDIVIDU BAKTERI MIKOLOGI
DIAGNOSTIK

BAKTERI PASTEURELLA MULTOCIDA

Disusun oleh:
Ichlasul Khaerul Alim Pombalawo, S.K.H B9404231009
Kelompok C PPDH Periode 1 2023/2024

Dosen Pembimbing:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
Toksonomi dan Klasifikasi
Pasteurella multocida

Kingdom : Bakteri
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Order : Pasteurellales
Family : Pasteurellaceae
Genus : Pasteurella
Species : Pasteurella multocida

Gambar 1. Hewan babi yang mengalami gejala gangguan respirasi

Etiologi dan Epidemiologi

Pasteurella sp. merupakan organisme non motil, berbentuk batang atau


cocobacillus berukuran panjang 0,15- 1,25 µm, dikelilingi kapsul dan memiliki
karakteristik pewarnaan pada kedua kutubnya (bipolar), biasanya terlihat tunggal
dan menjadi pleomorfik setelah pasase pada kultur. Bakteri ini tergolong kelompok
Gram negatif, dan merupakan bakteri anaerob dengan kemampuan oksidasi dan
sebagian besar di antaranya menunjukkan reaksi katalase positif (Lenda 2014).
Pasteurellosis adalah penyakit bakterial yang menyerang ternak sapi, kerbau, babi,
kambing, unggas, sapi, dan kerbau.
Pasteurella multocida terdapat diseluruh dunia, pada saluran penarapasan
dan gastrointestinal dari hewan domestik dan liar. Mula-mula diketahui bakteri
Pasteurella hanya bersifat saprofit pada hewan yang menjadi induk semang.
Kemudian diketahui dapat ditularkan dari satu jenis hewan ke hewan lainnya.
Hewan-hewan tersebut ada yang menjadi pembawa (carrier) penyakit bahkan ada
yang menjadi sumber penularan bagi hewan lainnya yang peka (Jawetz et al. 2001).
Pasteurellosis dikenal dengan nama penyakit ngorok atau septicaemia
epizootica (SE) atau haemoragic septichaemia (HS) yang disebabkan oleh bakteri
P. multocida type B:2 (tipe Asia) dan type E:2 (tipe Afrika). Lebih lanjut dinyatakan
bahwa penyakit ngorok yang terdapat di Indonesia disebabkan oleh P. multocida B:
2, bersifat akut, dan pada umumnya menjadi penyebab kematian pada hewan. Tahun
2001 dilaporkan ternak di Aceh teridentifikasi positif penyakit SE sekitar 67,03%,
tahun 2002 sekitar 46,4% sedangkan pada tahun 2004 teridentifikasi sekitar 3,02%
(Besung et al. 2015). Setiawan dan Sjamsudin (1988) menyatakan bahwa kerbau
dan sapi sangat peka terhadap penyakit SE. Ashari dan Juahari (2007) menyatakan
bahwa kematian ternak Aceh Barat sebanyak 10% karena penyakit SE dan kematian
dari penyakit ini diasumsikan rata-rata tiap tahun minimal sebesar 6%.

Jenis Hewan yang dapat terinfeksi

P. multocida merupakan organisme penting yang menyebabkan


bronchopneumonia pada sapi, kambing dan babi dan haemorrhagic septicaemia
pada sapi dan kerbau di daerah Asia dan Afrika (Lenda 2014).

Laporan Kasus : Pasteurella multocida Penyebab Bronchopneumonia


Pada Babi Di Yogyakarta. (Lenda 2014)
Sinyalemen dan : Hewan yang digunakan adalah babi (Sus scrofa) dengan
Anamnesa kisaran umur 3-8 bulan dengan gangguan respirasi.
Gejala Klinis : Babi yang diambil adalah yang menunjukkan gejala
respirasi, seperti kesulitan bernapas, adanya eksudat
mukopurulen dari hidung.
Diagnosis Klinis : Rhinits.
Diagnosis patologi : Bronkopneumonia.

Mekanisme Infeksi, Transmisi dan Potensi Zoonotic

Infeksi atau kolonisasi pada permukaan mukosa pada hewan umumnya


melalui saluran respirasi dan saluran digesti, yaitu dengan cara inhalasi dan ingesti.
Cara masuk dari hewan ke manusia melalui luka akibat gigitan atau cakaran. Pada
penularan dari hewan ke manusia,.kucing merupakan sumber infeksi yang paling
sering kemudian yang kedua adalah anjing. Ditekankan bahwa kucing bisa
menyebabkan infeksi dari hasil gigitan dan cakarannya, sedangkan pada anjing
cakarannya tidak menyebabkan infeksi. Beberapa penulis beranggapan bahwa hal
ini terjadi karena perbedaan cara pemeliharaan kedua hewan tersebut (Steele 1979).

Pernah dilaporkan bahwa arthropoda dapat bertindak sebagai vektor


mekanik atau vektor biologik. Caplak dan tungau pernah menunjukkan
kesanggupan untuk 'harbouring' P. multocida selama 100 hari walaupun tidak
terjadi penularan secara transovarial (Steele 1979). Transmisi secara langsung lebih
sering terjadi tanpa ada induk semang antara, yaitu dengan cara melalui pernafasan
dan makanan. Sedangkan transmisi melalui arthropoda masih dianggap cara
penyebaran alami (Eli 1985). Penularan P. multocida dari hewan ke manusia dengan
cara gigitan dan cakaran yang terkontaminasi dengan sekresi sangat berperan.
Hampir separuh kasus infeksi oleh mikroorganisme ini pada manusia diasosiasikan
dengan cara ini. Prevalensi yang tinggi P. multocida pada anjing dan kucing pada
luka akibat berkelahi menunjukkan juga bahwa pada hewanpun cara infeksinya
sama (Steele 1979).
Menurut Davis et al. (1990), infeksi pada manusia oleh P.multocida
digolongkan dalam tiga kelompok umum:
➢ Infeksi local yang ditularkan dari hewan (paling sering kucing)
(selulitis, abses, atau osteomielitis).
➢ Infeksi traktus respiratorius (pneumonia, empyema, abses paru-
paru).
➢ Infeksi sistemik (bakterimia, peritonitis, meningitis).

Berdasarkan kenyataan bahwa bakteri Pasteurella menunjukkan bentuk


koloni dan sifat-sifat yang bermacam-macam, sehingga beberapa peneliti telah
membagi bakteri tersebut ke dalam berbagai kelompok. Beberapa strain
P.multocida khusus yang diisolasi dari sistem pernapasan, memproduksi sejumlah
kapsul asam hialuronat yang encer pada mucoid yang merupakan ciri koloninya.
Strain virulen lainnya memproduksi koloni warna-warni yang halus pada subkultur,
yang dengan mudah berdisosiasi pada bentuk-bentuk koloni halus tidak berwarna
dan biru kasar.

Jenis Sampel yang digunakan

Sampel babi diambil dari peternakan yang terdapat di kabupaten Sleman


dan Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Sebanyak 6 ekor babi yang diambil adalah
yang menunjukkan gejala respirasi, seperti kesulitan bernapas, adanya eksudat
mukopurulen dari hidung, dan variasi umur antara 3-8 bulan. Babi dieuthanasia dan
dilakukan prosedur nekropsi, kemudian dilakukan pemeriksaan makroskopik,
khususnya pada saluran respirasi. Selanjutnya sampel pulmo yang menunjukkan
lesi hepatisasi kelabu difiksasi dengan formalin 10% untuk pemeriksaaan
histopatologi.
Sampel untuk pembuatan preparat histopatologi berasal dari bagian pulmo
yang menunjukkan lesi berupa hepatisasi kelabu. Sampel pulmo difiksasi dalam
larutan formalin 10%, pembuatan sediaan histopatologi dilanjutkan dengan proses
pewarnaan dengan metode Hematoksilin dan Eosin. Pemeriksaan mikrobiologi
dilakukan isolasi dari lesi menciri pulmo pada media agar darah (PAD). Koloni
yang dicurigai diwarnai dengan teknik Gram, dilanjutkan dengan uji oksidase-
katalase dan urease pada media agar miring, uji Triple Sugar Iron (TSI), uji IMViC
(pepton, methyl red, voges proskauer dan citrate) serta kemampuan fermentasi
terhadap beberapa jenis karbohidrat (glukosa, laktosa dan fruktosa) atau uji
biokimia (Quinn et al., 2003; Lenda 2014).

Hasil Pengamatan Makroskopi Lesio Anatomi

Gambar 2. Lesi patologi anatomi bronchopneumonia akibat


Pasteurellosis dengan lesi menciri berupa: (A) lobus pulmo
berwarna merah gelap, menunjukkan hemoragi multifokal
dan kongesti; (B) akumulasi eksudat seromukus di dalam
lumen bronchus (meningkat), (C dan D) batas konsolidasi
(meningkat) dan hepatisasi kelabu (Hp) daerah dorsocranial
dengan bagian pulmo normal (Pn).
Pijoan (2006) menyatakan bahwa gejala klinis yang disebabkan infeksi P.
multocida biasanya tidak teramati hingga umur 4-12 minggu, tetapi bersin dan
batuk pada anak babi adalah gejala awal yang sering teramati selama masa
pertumbuhan dan berlanjut hingga terbentuknya eksudasi serous hingga
mukopurulen dari saluran pernapasan. Selanjutnya, Ross (2007) menyatakan bahwa
walaupun lesi akibat infeksi P.multocida tidak patognomonik, akan tetapi sejarah
penyakit, analisis histopatologi dan isolasi mikroorganisme dapat dijadikan
pendukung untuk peneguhan diagnosis.
Batuk dan dyspnoea yang dijumpai pada sampel babi dapat dijadikan
indikasi adanya infeksi. Sesuai dengan yang dikemukakan Radostits et al. (2006)
batuk merupakan indikasi adanya gangguan respirasi primer ataupun sekunder, dan
sering terlihat merupakan awal dari penyakit respirasi. Dyspnoea yang terlihat
berkaitan dengan adanya proses peradangan, edema dan kongesti. Pijoan (2006)
dan Radostits et al. (2000; 2006) menyatakan pasteurellosis pneumonia merupakan
penyebab yang umum pada kasus bronchopneumonia akut pada babi usia grower
hingga finisher.

Hasil Pengamatan Mikroskopis Histopatologi

Gambar 3. (A) Bronchopneumonia dengan infiltrasi neutrofil proliferasi dan


kongesti jaringan ikat fibrous inter alveolar.
(B,C) Bronchopneumonia fibrinosa ditandai infiltrasi neutrofil
(N), nekrosis koagulasi (NK), akumulasi fibrin intra alveolar (F).
(D) Bronchopneumonia dengan nekrosis dan infiltrasi neutrofil
(meningkat) dalam lumen alveoli. Skala bar 50 µm.

Pemeriksaan makroskopik menunjukkan bahwa semua sampel


menunjukkan berbagai variasi bentuk lesi pada pulmo yang dapat dikaitkan dengan
adanya infeksi P. multocida. Sampel pulmo menunjukkan warna lesi bervariasi
antara warna pink hingga merah gelap akibat kongesti dan hemoragi (Gambar 2A).
Eksudat bersifat seromukus teramati memenuhi lumen bronchus dan bronchioles
(Gambar 2B). Lesi menciri bronchopneumonia juga teramati, ditandai dengan
konsolidasi anteroventral pulmo dan hepatisasi kelabu dengan garis batas yang jelas
antara daerah lesi dan bagian pulmo normal (Gambar 2C dan 2D).

Hasil Uji Mikrobiologis

Gambar 4 Hasil Uji Bakteri P.multocida dalam Berbagai Media.


Isolasi dan identifikasi bakteri yang berasal dari sampel pulmo
menunjukkan 4 sampel positif terisolasi P. multocida dan 2 sampel negatif P.
multocida. Hasil pemeriksaan mikrobiologi dari isolat bakteri dirangkum dalam
Tabel, menunjukkan bakteri dapat tumbuh pada media agar darah, bentuk koloni
sirkuler, konveks dan non hemolitik. Metode pewarnaan Gram tampak bakteri
tergolong Gram negatif dengan morfologi koloni coccobacillus bipolar. Bakteri
tidak mampu tumbuh pada media MCA, mampu tumbuh pada media TSIA. Uji
katalase positif (+), uji oksidase negatif (-), uji urease negatif (-) dan uji indol positif
(+). Hasil uji MR/VP negatif (-) dan uji sitrat negatif (-). Uji biokimia untuk
mengetahui kemampuan fermentasi laktosa negatif (-), sukrosa positif (+), maltosa
negatif (-) dan glukosa positif (+) (Lenda 2014).
Menurut Quinn et al. (2003), P. multocida merupakan bakteri Gram negatif
dengan kemampuan tumbuh pada media yang diperkaya dengan darah atau serum,
tidak toleran terhadap kandungan garam empedu yang terdapat di dalam media
MCA, berbentuk batang atau coccobacillus dan tidak memiliki kemampuan
menghemolisis agar darah, tidak memiliki aktivitas enzim katalase dan urease,
tetapi memiliki enzim sitokrom C-oksidase. Selanjutnya, MacFaddin (1980)
menyatakan P. multocida hanya mampu memfermentasi glukosa dan sukrosa, tidak
memfermentasi laktosa dan maltosa, dan tidak memproduksi H2S, dan tidak mampu
menggunakan sitrat sebagai sumber energi. Oleh karena itu, dari hasil identifikasi
dan uji biokimiawi dapat disimpulkan bahwa bakteri yang terisolasi dari sampel
adalah benar P. multocida.

Pencegahan dan Pengobatan

Biasanya infeksi dapat ditanggulangi dengan pemberian kemoterapi


streptomisin atau oksitetrasiklin yang diberikan secara intramuskular dengan dosis
cukup tinggi. Preparat penisilin maupun ampisilin juga banyak digunakan. Sering
pengobatan diberikan dengan kombinasi antara streptomisin dengan penisilin.
Namun demikian dalam pemberian antibiotik maupun kemoterapi perlu
dipertimbangkan terjadinya resistensi. Pilihan obat yang tepat, diikuti dengan
pemberian tepat dosis dan lama pemberian akan terhindar dari kejadian resistensi
bakteri (Besung et al. 2015)
Upaya yang harus ditempuh agar terbebas dari infeksi ini adalah dengan
cara vaksinasi pada hewan sehat. Vaksinasi dilakukan secara menyeluruh pada
hewan yang terancam. Vaksinasi juga dilakukan berulang secara rutin setiap tahun.
Jika terjadi infeksi segera ditangani dengan pemberian antibiotika (Besung et al.
2015).

Hasil Pengobatan Penyakit

Pemberian antibiotik yang tepat akan memberikan hasil pengobatan yang


baik dalam proses pengobatan. Berdasarkan hasil uji sensitivitas antibiotik terhadap
1 isolat P. multocida, antibiotik siprofloksasin merupakan antibiotik yang sensitif
terhadap P. multocida (Taopan et.al 2016)

Gambar 5 Hasil Uji Resistensi Antibiotik terhadap Bakteri P.multocida.


Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon generasi
kedua yang saat ini banyak digunakan baik pada manusia maupun hewan (Zahid
dan Isnindar 2013). Siprofloksasin berspektrum luas, bersifat bakterisid, aktif
terutama terhadap bakteri Gram negatif dan memiliki aktifitas lemah terhadap
bakteri Gram positif. Mekanisme kerja antibiotik siprofloksasin adalah
mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi bakteri dengan menghambat sub unit
DNA girase bakteri dan enzim esensial yang berperan dalam mempertahankan
struktur super heliks DNA bakteri. Antibiotik ini selain digunakan untuk
pencegahan dan pengobatan penyakit biasa juga diberikan sebagai tambahan dalam
pakan untuk menaikkan bobot badan hewan (Taopan et al. 2016).
Menurut Wulandari et al. (2013), menyatakan bahwa antibiotik
kloramfenikol memiliki tingkat sensitifitas lebih besar terhadap pertumbuhan P.
multocida dibandingkan vancomisin, streptomisin, tetrasiklin, kanamycin, dan
gentamicin. Hal ini didukung oleh pernyataan Kumar et al. (2009) yang
menyatakan bahwa P. multocida resisten terhadap vankomisin, doksisiklin dan
tetrasiklin.

Gambar 6 Hasil Uji Antibiotik terhadap Bakteri P.multocida.


Daftar Pustaka
Ashari. Januari E. 2007. Kelestarian (Herd Survival) Ternak Kerbau di Aceh Barat
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Besung INK, Tono KPG, Rompis ALT, Suarjana IGK. 2015. Prevalensi Pasteurella
multocida Pada Sapi Bali Di Bali. Buletin Veteriner Udayana. 2(8): 145-
150.
David BD, Dulbecco R, Eisen HN, Ginsberg HS. 1990. Microbiology Fourth Ed.
Philadelphia : Lippincott Company.
Eli NB. 1985. Kemungkinan Pasteurella multocida sebagai Zoonosis. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa
oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Edisi
Ke-21. Jakarta (ID): Penerbit Salemba Medika.
Kumar P, Singh VP, Agrawal RK. 2009. Identification of Pasteurella multocida
Isolates of Ruminant Origin Using Polymerase Chain Reaction and Their
Antibiogram Study. Indian Veterinary Research Institute. India.
Lenda V, Toelle NN. 2014. Fenotipe Pasteurella multocida Penyebab
Bronchopneumonia Pada Babi Di Yogyakarta. Jurnal Kajian Veteriner.
2(2): 155-165.
MacFaddin JF. 1980. Biochemical Tests for Identification of Medical Bacteria, 2nd
ed. The Williams & Wilkins Co.,Baltimore. p. 527.
Pijoan C. 2006. Pneumonic pasteurellosis. In: Diseases of Swine, 9th ed. (Eds.)
Straw B. et al. Ames, IA: Iowa State University Press. Blackwell Publishing
Australia. Pp. 719-725.
Quinn PJ. Markey BK. Leonard FC, Hartigan P, Fanning S, Fitzpatrick ES. 2003.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. 2nd Ed. John Wiley &
Sons, Iowa. Pp. 137-143.
Radostits M, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2006. Veterinary Medicine: A
Textbook of the Diseases of Cattle, Horses, Sheep, Pigs and Goats. 10th ed.
Saunders-Elsevier. London. Pp. 950-952.
Radostits OM, Gay CC, Blood DC, and Hinchcliff KW. 2000. Veterinary Medicine:
A Textbook of Diseases of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses, 9th ed.,
W.B. Saunders. Pp. 921-945.
Setiawan ED, Sjamsudin A. 1988. Isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida
dari sapi Bali di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Balai Penelitian Penyakit
Hewan, Jakarta.
Steele JH. 1979. CRC Handbook Series In Zoonosis I. CRC Press Inc. Boca Raton,
Florida. Hal. 495 – 509.
Taopan HS, Senam MUE, Tangkonda E. 2016. Isolasi, Identifikasi dan Uji
Sensitivitas Antibiotik terhadap Pasteurella Multocida Asal Sapi yang
Dipotong Di Rumah Pemotongan Hewan Oeba Kupang. Jurnal Veteriner
Nusantara. 1(1): 1-9.
Wulandari E, Jamin F, Abrar M. 2013. Kepekaan Pasteurella Multocida yang
Diisolasi dari Sapi yang Berasal dari Kabupaten Aceh Barat terhadap
beberapa Antibiotik. Jurnal Medika Veterinaria. 2(7): 95-97.
Zahid M, dan Isnindar. 2013. Penggunaan Antibiotik Fluorokuinolon sebagai Obat
Hewan. Ulasan Ilmiah.
Pasteurella multocida
Ichlasul Khaerul Alim P
B9404231009
Kelompok C1 PPDH Periode 2023/2024
TABLE OF CONTENTS
1 2 3
Etiologi & Epidemiologi Taksonomi Jenis Hewan Terinfeksi
& Laporan Kasus

4 5
Mekanisme infeksi, Jenis Sampel
Transmisi dan Potensi
Zoonotik
6 7
Pengobatan & Hasil Pengobatan
Pencegahan Penyakit Penyakit
Etiologi & Epidemiologi

Pasteurella sp. ~ Organisme non motil, berbentuk batang atau


cocobacillus berukuran Panjang.
Kelompok Gram negatif dan bakteri anaerob.
P. multocida ~ Septicaemia epizootica (SE) atau haemoragic
septichaemia (HS) dan Bronkopneumonia.

Tahun 2001 dilaporkan ternak di Aceh teridentifikasi positif


penyakit SE sekitar 67,03%, tahun 2002 sekitar 46,4% sedangkan
pada tahun 2004 teridentifikasi sekitar 3,02%.
Taksonomi
Kingdom : Bakteri
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Order : Pasteurellales
Family : Pasteurellaceae
Genus : Pasteurella
Species : Pasteurella multocida
Jenis Hewan Yang dapat Terinfeksi
Pasteurella multocida ~ Bronchopneumonia pada sapi, kambing dan
babi dan haemorrhagic septicaemia pada sapi dan
kerbau.

Laporan Kasus : Pasteurella multocida Penyebab Bronchopneumonia


Pada Babi Di Yogyakarta.
Sinyalemen & Anamnesa : Hewan yang digunakan adalah babi (Sus scrofa) dengan
kisaran umur 3-8 bulan dengan gangguan respirasi.
Gejala Klinis : Babi yang diambil adalah yang menunjukkan gejala
respirasi, anoreksia, seperti kesulitan bernapas, adanya
eksudat mukopurulen dari hidung.
Diagnosis Klinis : Rhinitis
Diagnosis Patologis : Brochopneumonia
Mekanisme infeksi, Transmisi dan Potensi Zoonotik

Infeksi pada
Transmisi langsung
permukaan mukosa
sering terjadi melalui Pasteurella multocida
dan umumnya melalui
pernapasan dan bersifat zoonosis
saluran respirasi dan
makanan.
digesti.
Jenis Sampel
Sampel diambil dari 6 ekor babi dengan terdapat 4
ekor yang positif.

▪ Sampel berasal dari pulmo yang terdapat lesi.


▪ Sampel pulmo difiksasi dalam larutan formalin 10%.

Pemeriksaan mikrobiologi
❑ Blood agar
❑ Pewarnaan Gram
❑ Uji Oksidasi-Katalase
❑ Uji Urea
❑ Uji TSIA
❑ Uji IMVic
❑ Uji Glukosa
Lesio Patologi Anatomi Pengamatan Mikroskopik
Hasil Uji Mikrobiologi
Pengobatan & Pencegahan Penyakit

Pencegahan dilakukan dengan


Pengobatan dilakukan pemberian vaksin, pengelolaan
dengan pemberian sanitasi peternakan, kebersihan
antibiotik dan pemberian kendang, memisahkan hewan
antimikroba. yang sakit dengan hewan yang
sehat dan pemberian pakan yang
baik.
Hasil Pengobatan Penyakit
Pemberian antibiotik yang tepat akan memberikan
hasil yang baik dalam proses pengobatan.

- Ciprofloxacin
- Kloramfenikol
Thank You
LAPORAN INDIVIDU PPDH DIAGNOSTIK
BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI

Microsporum gypseum

Disusun oleh:
Aqila Tsabita B9404231028

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatofitosis atau dikenal juga sebagai ringworm adalah penyakit kulit
yang disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada struktur keratin tubuh seperti
kulit, rambut, dan kuku oleh organisme jamur zoofilik, geofilik, atau antropofilik.
Terdapat lebih dari 30 spesies jamur dermatofita, dengan spesies yang paling
sering diisolasi adalah Microsporum canis, Microsporum gypseum, dan
Trichophyton mentagrophytes (Moriello et al. 2017). Meskipun begitu
berdasarkan diketahui bahwa infeksi M. gypseum dan Trichophyton sp. cukup
jarang terjadi dibandingkan dgn infeksi M. canis.
Penyakit ini ditransmisikan melalui kontak dengan rambut dan ketombe,
baik yang terinfeksi atau mengandung partikel jamur, baik yang berasal dari
hewan, lingkungan, atau benda (fomites) (Xavier et al. 2008). Dermatofita
geophilic seperti Microsporum gypseum berasosiasi dengan dekomposisi keratin
dari rambut, bulu, dan tanduk yang ada di dalam tanah (Moriello et al. 2017).

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui informasi lebih mendalam terkait
Microsporum gypseum sebagai salah satu jamur yang dapat menyebabkan
penyakit kulit berupa ringworm pada hewan dan juga manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Microsporum gypseum


M. gypseum merupakan fungi yang umum berada di tanah (Geophilic).
Mikroorganisme ini dapat menginfeksi manusia dan berbagai jenis hewan, seperti
anjing, kucing, kuda, panda, babi, onta, dan serigala. Utamanya menyebabkan
penyakit kulit dan dapat juga infeksi mendalam pada individu yang mengalami
defisiensi imun (Ma et al. 2022). Ketika sistem imun sedang lemah, infeksi
mendalam akibat dermatofita ini dapat menyebabkan infiltrasi pada kulit dan
jaringan subkutan, dan menyebabkan lesi pada kelenjar getah bening, organ
dalam, dan sistem saraf pusat.
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Order : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
Spesies : M. gypseum
Terdapat beberapa predisposisi untuk infeksi fungi dermatofita (termasuk
juga Microsporum gypseum), yakni usia (hewan muda seperti kittens dan puppies
lebih rentan terinfeksi), dan gaya hidup (lifestyle), jamur ini lebih umum diisolasi
pada hewan yang tinggal di suatu rumah secara berkelompok (shelter) atau hewan
liar (free-roaming) dibandingkan dengan hewan yang dipelihara secara tunggal.
Penyakit yang menyebabkan penurunan sistem imun (immunosuppressive
diseases) juga menjadi predisposisi pada anjing dan kucing untuk terinfeksi
dermatofitosis.
Microsporum gypseum secara geografis tersebar di seluruh dunia. Akan
tetapi pada hewan di daerah dengan suhu lebih hangat seperti Brazil, Chile, India,
Italy, dan Indonesia memiliki prevalensi dermatofitosis yang lebih tinggi
(Moriello et al. 2017). Anjing pekerja dan anjing untuk berburu seperti German
shepherd, Fox terrier, Labrador retriever, Beagle, Jack Russel terroer, dan lainnya
rentan terhadap dermatofitosis, utamanya M. persicolor dan M. gypseum, hal ini
kemungkinan dikarenakan peningkatan kontak dengan tanah yang terkontaminasi
(Carlotti dan Bensignor 1999).
2.2 Gejala Klinis
Sama seperti agen dermatofitosis lainnya, Microsporum gypseum
menyerang struktur keratin. Sehingga, gejala klinis yang ditunjukkan adalah
kombinasi dari alopesia, papula, scales, crusts, erythema, follicular plugging,
hiperpigmentasi, dan perubahan dari pertumbuhan atau bentuk kuku (Moriello et
al. 2017). Lesio dermatofitosis umumnya tidak simetris, pruritus atau rasa gatal
bervariasi antar hewan, akan tetapi umumnya cukup minimal hingga tidak ada
sama sekali. Ketika timbul rasa gatal, hal ini dapat menyebabkan self-trauma
dikarenakan hewan terus menggaruk tubuhnya, yang akhirnya akan dapat
menyebabkan pyotraumatic dermatitis atau lesio ulcerative eosinophilic (DeBoer
dan Moriello 1994). Adanya variasi dari gejala klinis mencerminkan respons imun
dan respons inflamasi. Lesi multifokal dan difus paling sering terlihat pada hewan
dengan penyakit kulit lainnya atau penyakit sistemik dan/atau stres fisiologis.

2.3 Epidemiologi
Tidak banyak informasi yang diketahui terkait epidemiologi infeksi
Microsporum gypseum. Berdasarkan penelitian oleh Moriello et al. (2020), dari 3
shelter kucing yang dilakukan pengujian terhadap dermatofitosis hanya 4 kucing
yang terinfeksi oleh Microsporum gypseum. Sedangkan berdasarkan penelitian
oleh Putriningsih dan Arjentinia (2018), diketahui infeksi M. gypseum pada sapi
bali mencapai 75% dari fungi dermatofita yang diisolasi dan diidentifikasi, akan
tetapi pada penelitian ini hanya digunakan 8 ekor sapi, sehingga hasil yang
didapat kemungkina tidak mewakili seluruh populasi.
2.4 Diagonis
2.4.1 Pengamatan Langsung
Salah satu teknik diagnosis untuk mengkonfirmasi keberadaan infeksi
dermatofita adalah dengan melakukan pengamatan langsung pada lesio di rambut
dan kulit. Teknik ini dilakukan dengan pengamatan menggunakan mikroskop
terhadap adanya hifa ataupun spora. Sampel rambut atau kulit diletakkan pada
objek glass dan diteteskan dengan mineral oil, senyawa klorofenol ataupun
potassium hidroksida (KOH) dengan konsentrasi yang bervariasi (Moriello et al.
2017). Sedangkan, berdasarkan Shalaby et al. (2016), digunakan larutan KOH
10% dan dicampurkan dengan Dimethyle sulphoxide (DMSO) 40% dengan
perbandingan 1:1. Sampel dibiarkan 5-8 menit. DMSO berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas dan dapat melembutkan keratin lebih cepat
dibandingkan dengan penggunaan KOH tunggal.
Selain dengan pemeriksaan langsung menggunakan mikroskop, diagnosis
ringworm di klinik umumnya dilakukan dengan menggunakan woodlamp, dimana
hasil positif akan menunjukkan adanya fluorescence. Berdasarkan Moriello et al.
(2017), dermatofita yang memproduksi fluorescence adalah anggota dari genus
Microsporum, akan tetapi berdasarkan laporan klinis M. gypseum dan M.
persicolor pada anjing dan kucing tidak menunjukkan adanya fluorescence.
2.4.2 Kultur Fungi
Kultur terhadap fungi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk
mengidentifikasi secara akurat terhadap agen penyebab ringworm (Nardoni et al.
2013).
Koleksi sampel
Koleksi sampel untuk diagnosis fungi sangat bervariasi, yakni dapat
dilakukan dengan pengambilan/pencabutan rambut (hair pluck) dari pinggiran
lesio, kerokan kulit (skin scraping) dari daerah kulit terinfeksi dengan
menggunakan scalpel hingga lapisan epidermis kulit terambil (Indrawati et al.
2018), skin tape sampling dengan cara menempelkan tape pada lesio lalu
ditempelkan pada permukaan plate untuk kultur, dan juga dengan MacKenzie
brush technique. Teknik ini umumnya dilakukan dengan melakukan sekitar 20
kali sapuan, atau selama 2-3 menit hingga sikat penuh dengan ramut. Penting
untuk menggunakan sikat gigi berbulu lembut untuk menghindari pengambilan
sampel yang traumatis pada telinga dan wajah hewan (Moriello et al. 2017).
Media kultur fungi
Media kultur fungi sangat beragam. Dermatophyte Test Medium (DTM)
merupakan media pertumbuhan jamur dermatophyta mengandung nutrisi dengan
antibiotik untuk menekan pertumbuhan berlebih bakteri dan jamur kontaminan
dan indikator warna untuk membantu identifikasi awal terhadap kemungkinan
spesies dermatofit. Perubahan warna media dari kuning menjadi merah
disebabkan oleh perubahan pH yang dipicu oleh pertumbuhan jamur (Moriello et
al. 2017). Selain itu berdasarkan Shalaby et al. (2016), dapat juga digunakan
media Sabouraud Dextrose Agar (SDA), dan Dermasel agar base, yang keduanya
diberikan suplementasi berupa chloramphenicol dan cycloheximide.
Chloramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Sedangkan,
cycloheximide digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur yang tidak
diinginkan.
Prosedur kultur fungi
Sampel diinokulasi di atas media kultur fungi, diinkubasi secara aerobik
pada suhu ruang (sekitar 25°C) hingga 4 minggu. Jika terdapat pertumbuhan
fungi, maka hasil kultur diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis mencakup warna (bagian depan dan belakang),
topografi, dan teksur. Sedangkan pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan
menggunakan mikroskop untuk identifikasi spesies dengan melihat karakteristik
conidia dan hifa fungi. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan menggunakan
tape berukuran kecil lalu ditempelkam secara perlahan ke permukaan koloni fungi
yang tumbuh, selanjutnya tape diletakkan di atas kaca objek yang telah diberikan
1 tetes zat pewarna methylene blue, lalu dilakukan pengamatan dengan
pembesaran objektif 10x hingga 40x. Berdasarkan Mihali et al. (2011), morfologi
mikroskopis dari Microsporum gypseum terlihat adanya hifa yang bersepta,
makrokonidia, dan mikrokonidia. Jika setelah 4 minggu tidak terlihat adanya
pertumbuhan fungi, maka hasil kultur dianggap negatif (Shalaby et al. 2016).

Gambar 1 Penampilan makroskopis dari kultur Microsporum gypseum pada media


Dermasel agar base dengan chloramphenicol dan cycloheximide: a)
tampak depan: rata, granular, berwarna putih-cream; b) tampak belakang:
kuning kecoklatan (Shalaby et al. 2016)

Gambar 2 Pengamatan mikroskopis dari macroconidia Microsporum gypseum


dengan pewarnaan methylene blue: berbentuk ellips, memiliki dinding
tipis, bersepta berisi 4-6 sel dan tidak memiliki knob (Torres-Guerrero
et al. 2015)
2.5 Pengobatan dan pencegahan
Dermatofitosis pada hewan sehat (immunocompetent host) umumnya
muncul dalam bentuk lesi ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam
waktu mingguan hingga bulanan. Meskipun begitu, pengobatan dianjurkan untuk
dilakukan dengan tujuan mempersingkat penyakit dan mencegah penyebaran ke
hewan lainnya dan manusia. Pengobatan mencakup pengobatan topikal dan
sistemik. Penularan dermatofitosis terjadi melalui kontak langsung dengan bahan
infektif yang berasal dari kulit dan bulu hewan yang terinfeksi. Oleh karena itu,
tujuan terapi topikal adalah untuk mengurangi risiko infeksi, menular dan
zoonosis yang terkait dengan penyakit ini dengan mendisinfeksi lapisan rambut
dan meminimalkan kontaminasi lingkungan. Pengobatan topikal yang digunakan
umumnya adalah shampoo yang mengandung chlorhexidine 2%, miconazole 2%,
atau ketoconazole 1%, antifungal rinse dengan lime sulfur atau enilconazole 2
minggu sekali (Moriello et al. 2017)
Pengobatan antifungal sistemik yang paling umum digunakan untuk
dermatofitosis adalah itraconazole, ketoconazole, terbinafine, dan griseofulvin
(Moriello et al. 2017). Akan tetapi, berdasarkan penelitian oleh Nardoni et al.
(2013), terapi dengan pemberian griseofulvin terhadap infeksi Microsporum
gypseum tidak menunjukkan hasil yang sukses pada sebagian besar hewan yang
diuji. Hal ini dapat disebabkan oleh kontak dengan lingkungan yang
terkontaminasi, khususnya tanah yang merupakan tempat hidup dari M. gypseum
dan sumber infeksi ulang bagi hewan.
2.5 Potensi zoonosis
Penularan Microsporum gypseum dari hewan ke manusia cukup jarang
terjadi, infeksi M. gypseum pada manusia lebih umum terjadi melalui tanah,
meskipun begitu penularan dari hewan ke manusia tetap dapat terjadi, yang
umumnya terjadi melalui kontak dengan anjing atau kucing yang mengalami
dermatofitosis (Moriello et al. 2017). Salah satu kasus infeksi M. gypseum pada
manusia menunjukkan adanya gejala klinis berupa ruam bersisik berwarna
kemerahan dan distrofi kuku. Pasien diketahui memiliki peliharaan tikus selama
10 tahun terakhir. Dilakukan kultur jamur dari kuku dan menunjukkan adanya
pertumbuhan M. gypseum. Pasien diberikan pengobatan dengan terbinafine oral
selama 6 minggu, dan menunjukkan adanya perbaikan pada lesio namun masih
menetap. Sehingga pengobatan terbinafine dilanjutkan selama 6 minggu dan
memperlihatkan hasil yang baik (Fike et al. 2017).
III LAPORAN KASUS
Hackworth et al. 2017
3.1 Sinyalemen dan Anamnesa
Kasus ini terjadi pada seekor landak (North American porcupine) betina
berusia 4 tahun di suatu kebun binatang. Tidak diketahui riwayat penyakit dari
landak tersebut sebelumnya. Landak menunjukkan kulit yang mengeras dan
alopecia pada kulit di kaki depan sebelah kiri.

Gambar 3 Alopecia, scaling, dan ulserasi pada kaki


depan sebelah kiri landak
3.2 Diagnosis
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan ekadaan landa dianestesi. Hasil
pemeriksaan fisik ditemukan adanya area alopecia berukuran sekitar 3 x 3 cm
dengan area dengan ulserasi, pengerasan kulit, dan pecah-pecah yang meluas dari
daerah metacarpal kiri proximal hingga ke distal pada seluruh jari. Setelah kerak
pada kulit dilepas, bagian bawahnya tampak lembab dan mengalami ulserasi.
Kerokan kulit dilakukan dan didapatkan hasil negatif terhadap adanya ektoparasit.
Selain itu, pemeriksaan feses juga dilakukan dan didapatkan hasil negatif terhadap
adanya endoparasit. Lalu dilakukan pengambilan sampel dengan MacKenzie
bruch technique untuk dilakukan kultur fungi.
Kultur fungi menunjukan adanya pertumbuhan fungi yang diidentifikasi
sebagai Microsporum gypseum dengan pemeriksaan mikroskopis menggunakan
pewarnaan lactophenol blue. Pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan adanya
macroconidia bersepta 4 hingga 6 dengan bentuk ellips, dan berdinding tipis.
3.3 Pengobatan
Setelah koleksi sampel, dilakukan pembersihan lesio dengan larutan
chlorhexidine 2% dan air steril, luka juga diolesi dengan krim silver sulfadiazine.
Dilakukan juga pemberian ivermectin secara subkutan, hal ini dilakukan untuk
mengobati potensi ektoparasit seperti scabies dan demodex yang mungkin luput
dari kerokan kulit. Selain itu, diberikan juga meloxicam dan antibiotik
(sulfamethoxazole dan trimethoprim) yang dilakukan untuk mengurangi
peradangan dan mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder.
Setelah teridentifikasi terdapat infeksi dari fungi Microsporum gypseum,
hewan diberikan miconazole topikal yang diberikan setelah luka dibersihkan
terlebih dahulu dengan larutan chlorhexidine 2%. Akan tetapi hewan menu jukkan
perilaku tidak kooperatif, sehingga pemberian antifungi topijal dihentika setelah 9
hari pemberian. Pengobatan lanjutan dilakukan dengan diberikan antifungi
sistemik, yakni dengan terbinafine HCl oral dengan dosis 40 mg/kg secara peroral
1 kali sehari. 28 hari setelah awal munculnya, lesi kulit di kaki kiri menunjukkan
beberapa perbaikan dan pertumbuhan rambut baru. Namun, area kecil alopecia
berkembang di sisi kanan moncongnya. Lalu dilakukan koleksi sampel kembali
untuk identifikasi dengan kultur fungi, akan tetapi didapatkan hasil negatif
terhadap M. gypseum. Hasil kultur jamur dari lesio baru menunjukkan
pertumbuhan Penicillium sp. tanpa pertumbuhan yang signifikan. Persembuhan
total dengan pertumbuhan rambut dan tidak ada lesi kulit dapat diamati secara
visual pada 83 hari setelah dimulainya pemberian terbinafine oral. Pengobatan
dihentikan berdasarkan dua hasil kultur negatif yang dilakukan dengan selang
waktu 70 hari dan tidak adanya gejala klinis.
Seorang perawat satwa (Zookeeper) diketahui 5 hari sebelum landak
tersebut diperiksa, menunjukkan adanya pruritus dan lesio eritema (kemerahan)
pada bagian siku 3 hari setelah kontak langsung dengan landak tersebut. Setelah
diputuskan diagnosa dermatofitosis pada landak, perawat satwa terebut juga
diperiksa oleh dokter. Perawat satwa tersebut selanjutnya diberikan salep
ketoconazeola 2%, dua kali sehari selama 14 hari. Setelah itu lesio yang ada sudah
sembuh sepenuhnya.
Pencegahan segera diterapkan pada kasus ini untuk membatasi paparan
terhadap personal. Hewan tersebut diisolasi di kandang karantina, dan staf kebun
binatang yang melakukan kontak dengan hewan tersebut dididik mengenai
pentingnya higienitas yang baik dengan mencuci tangan, dan menggunakan alat
pelindung diri seperti sarung tangan. Staf kebun binatang juga diberikan instruksi
yang tepat untuk mendisinfeksi area, menggunakan rendaman kaki saat masuk
dan keluar kandang, membersihkan semua permukaan dengan disinfektan, dan
membuang semua alas tidur hewan dan sampah setiap hari.
SIMPULAN
Microsporum gypseum adalah salah satu fungi dermatofita yang dapat
menyebabkan terjadinya dermatofitosis atau ringwom, pada hewan dan juga
manusia. Mikroorganisme ini termasuk sebagai geophilic sehingga penularannya
umumnya berasal dari tanah yang terkontaminasi. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan secara langsung dan kultur fungi. Pengobatan terhadap
infeksi mikroorganisme ini dilakukan secara topikal dan sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
Carlotti DN, Bensignor E. 1999. Dermatophytosis due to Microsporum persicolor
(13 cases) or Microsporum gypseum (20 cases) in dogs. Vet Dermatol. 10:
17-27.
DeBoer DJ, Moriello KA. 1994. Dvelopment of an experimental model of
Microsporum canis infection in cats. Vet Microbiol. 289-295.
Hackworth CE, Eshar D, Nau M, Bagladi-Swanson M, Andrews GA, Carpenter
JW. 2017. Diagnosis and successful treatment of potentially zoonotic
dermatophytosis caused by Microsporum gypseum in a zoo-housed North
American porcupine (Erethizon dorsatum). Journal of Zoo and Wildlife
Medicine. 48(2): 549-553.
Indrawati A, Sunartati T, Rakhmawati H. 2018. Incidence of feline
dermatophytosis at dramaga, bogor in 2013-2018. Proc. Of the 20th FAVA
Congress and the 16th KIVNAS PDHI.
Fike JM, Kollipara R, Alkul S, Stetson CL. 2017. Case report of onchomycosis
and tinea corporis due to Microsporum gypseum. Journal of Cutaneous
Medicine and Surgery. 22(1): 94-96.
Ma X, Liu Z, Yu Y, Jiang Y, Wang C, Zuo Z, Ling S, He M, Cao S, Wen Y, Zhao
Q, Wu R, Huang X, Zhong Z, Peng G, Gu Y. 2022. Microsporum gypseum
isolated from Ailuropoda melanoleuca provokes inflammation and triggers
in Thr17 adaptive immunity response. International Journal of Molecular
Science. 23: 1-19.
Mihali CV, Buruiana A, Tureus V, Covaci A, Ardelean A. 2011. Morphological
aspects of fruiting bodies in Microsporum gypseum on sabouraud dextrose
agar medium. Annals of the Romanian Society for Cell Biology. 16(2): 85-
92.
Moriello KA, Coyner K, Paterson S, Mignon B. 2017. Diagnosis and treatment of
dermatophytosis in dogs and cats. Vet Dermatol. 28: 266-e68.
Moriello KA, Stuntebeck R, Mullen L. 2020. Trichophyton species and
Microsporum gypseum infection and fomite carriage in cats from three
animal shelters: a retrospective case series. Journal of Feline Medicine and
Surgery. 22(4): 391-394.
Putriningsih PAS, Arjentinia IPGY. 2016. Identifikasi spesies fungi Microsporum
gypeum, Microsporum nanum penyebab ringworm pada sapi bali. Jurnal
Veteriner. 19(2): 177-182.
Shalaby MFM, El-din AN, El-Hamd MA. 2016. Isolation, identification, and in
vitro antifungal susceptibility testing of dermatophytes from clinical
samples at Sohag University Hospital in Egypt. Electronic Physician. 8(6):
2557-2567.
Torres-Guerrero E, Martinez-Herrera E, Arroyo-Camarena S, Porras C, Arenas R.
2015. Kerion celsi: a repport of two cases due to Microsporum gypseum and
Trichophyton tonsurans. Our Dermatol Online. 6(4): 424-427.
Xavier GAA, Silva LBGD, Silva DRD, Peixoto RDM, Lino GC, Mota RA. 2008.
Dermatophytosis caused by Microposrum canis and Microsporum gypseum
in free-living Bradypus variegatus (Schiz, 1825) in the state of Pernambuco
brazil. Brazilian Journal of Microbiology. 39: 508-510.


















































⚬ 40 mg/kg po. s.i.d)
TUGAS INDIVIDU
STUDI KASUS: Microsporum canis

Disusun oleh:

Anggi Nahriyatussyifa, SKH B9404231017

Kelompok C PPDH Semester Ganjil Periode 2023/2024

Dosen Pembimbing:

Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

STASE DIAGNOSTIK
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dermatofitosis atau canine ringworm adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh kapang dermatofita. Dermatofitosis merupakan penyakit umum pada hewan
kesayangan seperti anjing dan kucing. Menurut (Moriello 2014) dermatofitosis
mudah menular, tidak mematikan, mudah diobati, dan termasuk zoonosis.
Umumnya dermatofitosis pada hewan kesayangan disebabkan oleh infeksi
Microsporum canis (M. canis), Microsporum gypseum (M. gypseum), dan
Trichopyton Mentagrophytes (T. mentagrophytes). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Indarjulianto et al. (2014) menggunakan 50 ekor anjing yang
menderita dermatofitosis disebabkan spesies M.canis.
Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui cara mendiagnosa dermatofitosis pada
hewan kesayangan serta cara pengobatannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Klasifikasi Microsporum canis (NCBI)
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
Spesies : Microsporum canis

Canine Ringworm
Canine ringworm atau dermatofitosis adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh kapang dermatofita seperti M. canis. Dermatofitosis ditularkan melalui kontak
langsung dengan hewan yang terinfeksi atau benda-benda yang terkontaminasi
spora jamur. Menurut Outerbridge (2016) kapang dermatofita mempunyai enzim
yang dapat mencerna protein keratin, oleh karena itu banyak ditemukan pada bagian
yang kaya akan keratin seperti pada rambut, kulit, dan kuku. Penyakit dermatofita
dipengaruhi faktor predisposisi seperti umur, status gizi, dan manajemen
pemeliharaan.
Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi kapang dermatofita adalah lesi
berupa alopesia, eritrema, dan crusty pada bagian telinga, kepala, hingga abdomen
(Gambar 1). Hewan yang mengalami dermatofitosis dapat mengalami penurunan
jumlah eritrostit walaupun tidak dalam jumlah yang signifikan (Kurniawati et al.
2021).

Gambar 1 Gejala klinis dermatofitosis. (a) alopesia pada leher yang disertai dengan
eritrema. (b) alopesia pada bagian toraks sinistra yang disertai dengan
eritrema, dan krusta (Kurniawati et al. 2021).

M. canis umumnya menginfeksi anjing dan kucing, serta manusia atau


zoonosis (Segal dan Elad 2021). Kapang dermatofita yang dapat menginfeksi
hewan dan manusia terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan habitatnya yaitu
anthropophilic dermatophytes, zoophilic dermatophytes dan geophilic
dermatophytes (Hoog et al. 2017). M. canis termasuk ke dalam zoophilic
dermatophytes yang biasanya menginfeksi hewan dan juga dapat menginfeksi
manusia.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tan et al. (2021) Indonesia salah
satu negara yang mempunyai prevalensi canine ringworm yang tinggi karena lokasi
geografis dan iklim Indonesia termasuk negara tropis. Tan lebih lanjut menjelaskan
62,96% dermatofitosis di Indonesia disebabkan oleh M. canis. Kapang dermatofita
hidup pada habitat yang hangat dan lembab seperti di negara tropis (Weese dan
Fulford 2011). Salah satu penelitian di negara tropis lainnya seperti di India
menyebutkan prevalensi dermatofitosis menjadi tinggi (51,1%) pada saat pre-
mooson atau mooson (Singathia et al. 2014).
PEMBAHASAN

Laporan kasus (Indrajulianto et al. 2014)


Isolasi dan Identifikasi Microsporum canis dari Anjing Penderita
Dermatofitosis di Yogyakarta

Sinyalemen dan Anamnesa


Laporan kasus ini dilakukan pada 50 ekor anjing yang diduga menderita
dermatofitosis.

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan alopesia, erythema, crusty, pustule
pada bagian kepala dan telinga. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
Wood’s lamp). Hasil pemeriksaan Wood’s lamp terhadap 50 ekor anjing didapatkan
11 diantaranya positif yang ditandai dengan pendaran fluorescence berwarna hijau
kekuningan pada area lesi (Gambar 2). Pemeriksaan penunjang dilanjutkan dengan
lesio scraping yang dikultur pada Sabouraud dextrose agar (SDA) yang
ditambahkan cycloheximide (0.5g/L), chloramphenicol (250 mg/L), dan
gentamycin (40 mg/L) dan diinkubasi pada suhu ruang sampai 21 hari dan diamati
setiap hari. Sebanyak 17 isolat hasil kultur pada SDA diidentifikasikan sebagai
spesies M.canis diamati secara makroskopis terlihat koloni datar, berwarna kuning
pucat sampai putih pada bagian tengah dengan tepi berwarna kuning sampai tidak
berwarna, dan berbentuk cotton atau wool (Gambar 3).
Hasil dari 17 isolat kultur pada SDA yang diidentifikasi sebagai spesies
M.canis kemudian diamati secara mikroskopis dengan membuat slide kultur
kemudian diwarnai zat warna Lactophenol Cotton Blue (LPCB) memperlihatkan
makrokonidia besar yang sangat banyak dengan dinding sel yang tebal dan berisi
6–12 sel pada setiap makrokonidianya, sedangkan mikrokonidia berbentuk oval
berukuran kecil di sepanjang hifa (Gambar 4).
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah skin scraping
yang ditetesi KOH 10% kemudian diamati di bawah mikroskop, hasil positif
ditandai dengan ditemukannya hifa. Penelitian yang dilakukan (Indrajulianto et al.
2014) tidak dilakukan pemeriksaaan mikroskopis metode natif dengan KOH 10%
tetapi dilakukan pemeriksaan mikroskopis melalui pemeriksaan slide culture yang
diwarnai dengan LPCB. Menurut (Indrajulianto et al. 2014) struktur mikroskopis
kapang M.canis secara utuh hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan slide
culture dengan metode Riddle pada umur biakan antara 4–7 hari kultur.
Indrajulianto et al. (2014) lebih lanjut menjelaskan metode natif hanya
memperlihatkan struktur kapang yang terpisah sehingga sulit untuk menentukan
diagnosis.
Gambar 2 Contoh hasil pemeriksaan Wood’s lamp, terlihat pendaran fluorescence
berwarna kuning-hijau (Indrajulianto et al. 2020)

Gambar 3 Hasil kultur pada SDA pada hari ke-14 (Indarjulianto et al. 2014)

Gambar 4 Struktur mikroskopik M. canis dengan metode slide culture pada


perbesaran 400x, (a) makrokonidia, (b) mikrokonidia, (c) hifa bersekat,
(d) klamidokonidia (Indarjulianto et al. 2014).

Pengobatan dan Pencegahan


Pengobatan yang dapat diberikan untuk kasus dermatofitosis adalah
pemberian antifungi baik secara sistemik maupun topikal. Salah satu antifungi
sistemik adalah itraconazole dosis 10 mg yang diberikan peroral sekali sehari
selama 21 hari, sedangkan antifungi topikal yang dapat diberikan adalah
ketoconazole 2% kurang lebih selama 30 hari. Hewan memperlihatkan
persembuhan total setelah 42 hari pengobatan (Indrajulianto et al. 2020).
Terapi simptomatis untuk mengurangi gatal dengan antihistamin seperti
chlorpheniramine maleat. Pemberian terapi suportif juga diberikan seperti fish oil
1 tablet sehari yang mengandung omega-3 dapat diberikan untuk menjaga
kesehatan kulit dan mengatasi alopecia (Hassan dan fakhry 2013).
Dermatofitosis dapat dicegah dengan memperhatikan majemen
pemeliharaan seperti memelihara hewan di dalam ruangan, tidak digabung dengan
banyak hewan lainnya dan dimandikan minimal sekali seminggu. Pemenuhan gizi
hewan penting untuk meningkatkan imunitas hewan. Aspek lingkungan juga perlu
diperhatikan kebersihannya agar memutus rantai penyebaran dermatofita.
SIMPULAN

Dermatofitosis pada anjing dan kucing dapat disebabkan oleh M. canis dan
zoonosis. Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus dermatofitosis
adalah pemeriksaan Wood’s lamp, uji natif dengan KOH 10%, dan pemeriksaan
hasil kultur pada SDA secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dermatofitosis dengan Wood’s lamp positif dan hasil kultur pada SDA secara
makroskopis dan mikroskopis memperlihatkan ciri-ciri M. canis. Terapi antifungi
dengan itraconazole peroral dan ketoconazole 2% topikal selama 1 bulan memiliki
keberhasilan persembuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Hassan KAH, Fakhry KR. 2013. Formulation and evaluation of Diphenhydramine


HCl release from different semi solid bases.World Journal of
Pharmaceutical Research. 2(5): 1–15.
Hoog GSd, Dukik K, Monod M , Packeu A., Stubbe D, Hendrickx M, Kupsch C,
Stielow JB, Freeke J, Göker M. 2017. Toward a novel multilocus
phylogenetic taxonomy for the dermatophytes. Mycopathologia . 182:5–31.
Indarjulianto S, Yanuartono, Raharjo S, Nururrozi A, Guna JCA. 2020.
Combination of systemic and topical treatment for feline dermatophytosis:
a case report. ACTA Veterinaria Indonesiana. 8(1): 18–23.
Indarjulianto S, Yanuartono, Purnamaningsih, Wikansari P, Sakan GY. 2014.
Isolasi dan identifikasi microsporum canis dari anjing penderita
dermatofitosis di Yogyakarta. Jurnal Veteriner. 15(2): 212–216.
Kurniawati NMA, Erawan IGMK, Soma IG. 2021. Laporan kasus: dermatofitosis
oleh Microsporum spp., dan Curvularia spp., pada anjing pomerian.
Indonesia Medicus Veterinus. 10(5): 804–813.
Moriello KA. 2014. Feline Dermatophytosis Aspects pertinent to disease
management in single and multiple cat situations. Journal of Feline
Medicine and Surgery. 16: 419–431.
Nbci.nlm.nih.gov/taxonomy.
Outerbridge CA. 2006. Mycologic Disorders of the Skin. Clin Tech Smal Anim
Pract. (21):128–134.
Segal E, Elad D. 2021. Human and zoonotic dermatophytoses: epidemiological
aspect. Front Microbiol. 12:1–10.
Singathia, R., Gupta, S.R., Yadav, R., Gupta, Y., and Lakhotia, R.L. (2014).
Prevalence of canine dermatophytosis in semi-arid Jaipur, Rajasthan.
Haryana Vet. 53(1):43–45.
Tan YF, Widyarini S, Yanuartono, Nururrozi, Indarjulianto S. 2021. Canine
Dermatophytosis in Indonesia, a tropical country, compared to the non-
tropical countries. Indonesia Journal of Veterinary Sciences. 2(2):58–67.
PPDH Gelombang I 2023/2024

TUGAS INDIVIDU
STUDI KASUS: MICROSPORUM CANIS
Anggi Nahriyatussyifa
B9404231017
STASE DIAGNOSTIK
PENDAHULUAN

Dermatofitosis > Penyakit yang


disebabkan oleh kapang dermatofita
Kapang Dermatofita> M. canis, M.
gypseum, T. mentagrophytes
Menginfeksi > Umum pada anjing dan
kucing
Zoonosis
Taksonomi

Kingdom: Fungi
Phylum: Ascomycota
Class: Eurotiomycetes
Order: Onygenales
Family: Arthrodermataceae
Genus: Microsporum
Spesies: Microsporum canis
Tinjauan Pustaka

Dermatofitosis
Agen penyebab Lokasi
M. canis, M. gypseum, T. Rambut, kulit, dan kuku
mentagrophytes

Cara penularan Gejala klinis


kontak langsung alopesia, erythema,
dengan hewan yang crusty, pustule pada
terinfeksi atau melalui kulit, terutama pada
benda- benda yang kepala dan telinga
terkontaminasi spora
jamur
Pembahasan

Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020

Sinyalemen dan Anamnesa


Kucing ras persia jantan berumur 2 tahun dengan
berat badan 2 kg datang dengan keluhan rambut
rontok dan sering menggaruk-garuk badannya

Pemeriksaan Fisik
Alopesia, erythema, crusty, pustule pada bagian
kepala dan telinga.
Pembahasan

Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020

Pemeriksaan Penunjang
wood’s Lamp
KOH 3%
CBC
Kultur pada Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
(makroskopis dan mikroskopis)
Pembahasan

Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020

Wood’s Lamp CBC


Hasil CBS normal pada semua
parameter.

KOH 3%
Terlihat hifa

Hasil pemeriksaan Wood’s lamp


positif yang ditandai dengan
pendaran fluorescence pada
kepala dan telinga.
Pembahasan

Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020

Kultur Fungi pada SDA


Makroskopis
koloni datar, berwarna kuning
pucat sampai putih pada bagian
tengah dengan tepi berwarna
kuning sampai tidak berwarna,
dan berbentuk cotton atau wool

Hasil kultur skin scraping pada


media SDA yang mengandung
cycloheximide,
chloramphenicol, dan
gentamycin
Pembahasan

Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020

Kultur Fungi pada SDA


Mikroskopis

Hasil kuktur pada SDA juga


diamati secara mikroskopis
dengan membuat slide kultur
kemudian diwarnai zat warna
Lactophenol Cotton Blue
(LPCB)
Pembahasan

Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020

Kultur Fungi pada SDA


Mikroskopis

Struktur mikroskopik M. canis dengan metode


slide culture pada perbesaran 400x, (a)
makrokonidia, (b) mikrokonidia, (c) hifa bersekat,
(d) klamidokonidia (Indarjulianto et al. 2014).
Pembahasan

Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020

Pengobatan
Itraconazole dosis 10 mg/kg peroral sekali
sehari selama 21 hari (antifungi)
Ketoconazole 2% topikal selama 30 hari
(antifungi)
chlorpheniramine maleat (antihistamin)
Fish oil

Pencegahan
Manajemen pemeliharaan yang baik
Pemenuhan gizi
Simpulan

Dermatofitosis pada anjing dan kucing dapat disebabkan oleh M.


canis dan zoonosis. Hasil pemeriksaan dermatofitosis dengan
Wood’s lamp positif dan hasil kultur pada SDA secara makroskopis
dan mikroskopis memperlihatkan ciri-ciri M. canis. Terapi antifungi
dengan itraconazole peroral dan ketoconazole 2% topikal selama 1
bulan memiliki keberhasilan persembuhan.
STUDI KASUS
LABORATORIUM DIAGNOSTIK

Infeksi Dermatofitosis Tricophyton Mentagrophytes var. eriotrephon pada Landak

Disusun oleh:
Dea Khalissa Anidya B9404231069

Kelompok C1 PPDH Periode I 2023/2024

Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam beberapa tahun terakhir, infeksi superfisial yang disebabkan oleh jamur, terutama
dermatofita. Faktor penyebab mikosis superfisial adalah dermatofita, yaitu kelompok fungi yang
mencakup lebih dari 50 spesies diklasifikasikan dalam genera Trichophyton, Microsporum,
Epidermophyton, Arthroderma, Nannizzia, Lophophyton, Guarromyces, dan Parafiton. Sumber
dermatofita antara lain lingkungan alam yaitu tanah dan penularan melalui kontak langsung atau
tidak langsung dengan manusia yang terinfeksi (spesies antropofilik) atau hewan (spesies zoofilik)
serta pembawa penyakit tanpa gejala (Gnat et al. 2022). T. erinacei menjadi salah satu penyebab
infeksi pada permukaan kulit manusia yang menyebabkan rasa gatal yang menyebar serta ruam
pada area yang terkena kontak. Penyakit ini biasanya diidentifikasi setelah manusia melakukan
kontak baik langsung atau tidak langsung terhadap landak. Persentase infeksi patogen ini terhadap
manusia adalah 20–47% dengan beberapa penelitian yang melaporkan infeksi pada negara –
negara Asia dan Timur Tengah. Infeksi juga kerap tercatat di Selandia Baru, Jepang, dan Eropa
Barat dan khususnya di Korea dan Taiwan. Semakin maraknya jual beli landak sebagai hewan
peliharaan menjadi salah satu penyebab infeksi T. erinacei menjadi penyakit zoonotik (Abarca et
al. 2016).

1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat bertujuan mengetahui penyakit dermatofitosis disebabkan oleh R.
erinacei dan potensi zoonosisnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trichophyton mentagrophytes var. erinacei


T. erinacei merupakan bagian dari T. mentagrophytes sebuah dermatofita zoonosis
terhadap manusia yang sangat jarang terjadi. Trichophyton mentagrophytes var. erinacei adalah
dermatofita yang paling umum menginfeksi landak, dengan tingkat infeksi 20-47%. Manifestasi
klinis yang paling umum adalah peradangan, pruritus dalam bentuk pustula dengan eritematosa.
Kondisi ini dapat dengan mudah salah didiagnosis sebagai eksim, ketika lesio ini diberi terapi
kortikosteroid maka akan memperburuk lesio pada kulit (Phaitoonwattanakij et al. 2019).

Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Trichoophyton
Spesies : mentagrophytes
Varietas : erinacei

Bontems et al. (2020), melaporkan bahwa dalam rentang tahun 2008 – 2019 hanya tercatat
1 kasus infeksi T. erinacei yang terjadi pada hewan yakni landak di Switzerland. Di Spanyol juga
menunjukkan dari 20 landak yang diduga terjangkit dermatofitosis, 10 diantaranya terinfeksi oleh
T. mentagrophytes var. erinacei. Landak sendiri merupaka hewan eksotis yang kini mulai populer
untuk dipelihara. Tercatat 44.7% infeksi T. erinacei terjadi pada landak liar di New Zealand serta
9.5% insidensi tercatat di Prancis. Dermatofitosis sendiri merupakan penyakit mikosis yang kerap
menyerang landak dan T. erinacei biasanya sering ditemukan pada kasus dermatofitosis pada
landak, gejala klinisnya biasa terlihat di area abdomen. Penularannya pada manusia selalu
disebabkan oleh kontak langsung dengan landak maupun tidak langsung seperti infeksi disebabkan
oleh kontak manusia terhadap sarang landak. T. erinacei sendiri dapat bertahan pada lingkungan
selama 1 tahun dalam kondisi kering (Abarca et al. 2017).

2.2 Diagnosa
Secara klinis, landak yang terinfeksi T. erinacei menunjukkan kulit bersisik dan kering
dengan area botak. T erinacei biasanya dapat diisolasi dari area abdomen dan duri. Sampel dapat
ditumbuhkan pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA), Potato Dextrose Agar (PDA), dan
Malt Extrac Agar (MAE) selama 14 hari dalam suhu 25 oC. Hasil kultur jamur kemudian dapat
diamati secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, isolat T. erinacei terlihat
seperti kapas berwarna putih pada sisi atas dan memiliki warna kuring dengan sedikit jingga pada
sisi sebaliknya pada media agar. Gambaran mikroskopis dermatofita menunjukkan konidiospora
yang pendek dengan bentuk khas makrokonidia. Makrokonidia memliki 2 hingga 6 septa dengan
bentuk dan ukuran yang beragam seperti buah pir (Masaoodi et al. 2020).
Gambar 1. Gambaran makroskopis T. erinacei. A.) Koloni putih; B.) Koloni sisi sebaliknya
(Sumber: Abarca et al. 2017).

Gambar 2. Gambaran mikroskopis makrokonidia berbentuk seperti buat pir dengan ukuran
yang berbeda

2.3 Potensi Zoonosis


Kasus infeksi T. erinacei ditemukan di Chile dengan gejala klinis berupa adanya plak
eritema dan kulit bersisik dengan pruritis pada hidung pasien yang telah berlangsung selama 2
minggu. Pasien juga diketahui telah memelihara 2 landak selama 2 bulan serta beberapa waktu
yang lalu, landak menggigit hidung pasien. Pasien tidak memiliki lesio serupa di hidungnya pada
area tubuhnya yang lain serta anggota keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit dermatofitosis
(Concha et al. 2012). Rhee et al. 2009 melaporkan kasus infeksi T. erinacei pertama di Korea pada
manusia dengan gejala klinis berupa lesio pada jari tangannya. Pengobatan awalnya dilakukan
dengan pemberian steroid topikal selama 4 minggu namun gejala tidak kunjung mereda dan
semakin parah. Diketahui pasien memiliki hewan peliharaan landak yang baru dipelihara selama
4 bulan.
T. erinacei akan masuk ke dalam lapisan superficial kulit dan rambut dari landak yang
terinfeksi, seringkali landak tidak menunjukkan gejala klinis. Infeksi menular baik secara langsung
maupun tidak langsung seperti sarangnya. Gejala klinis pada manusia ditandai dengan munculnya
lesio pada kulit, inflamasi, eritema, erosi eksudatif, dan krusta di tangan. Gejala tersebut kerap
keliru didiagnosa sebagai eksim (Weishaupt et al. 2013). Selain menyebabkan zoonosis, T.
erinacei juga dilaporkan menginfeksi hewan lain seperti anjing pemburu yang seringkali
bersinggungan dengan habitat landak liar. Beberapa kasus menemukan adanya infeksi dermatofita
tersebut pada rodensia liar dan kelinci liar (Abarca et al.2017). Borges-Corta dan Martins (2014),
juga melaporkan kasus penularan T. erinacei pada gajah di Asia Tenggara.

Gambar 3. Lesio pada jari pasien


(Sumber: Weishaupt et al. 2013)
BAB II
STUDI KASUS
(Yoon et al. 2008)

2.1 Gejala Klinis


Hewan telah mengalami pruritis, eksorsirasi, dan crust pada wajahnya selama 10 hari.
Lesio hanya terlihat di area wajah dan eritema bersisik di area leher landak.

2.2 Sinyalemen dan Anamnesa


Landak dibeli dari komunitas pecinta hewan satu bulan yang lalu. Pemilik juga diketahui
memiliki landak lain namun diletakkan pada kandang terpisah dan tidak pernah ada kontak satu
sama lain.
Jenis Hewan : Landak
Ras : Pygmy
Bobot : 100 g
Jenis kelamin : Betina
Umur : 2 bulan

2.3 Diagnosa Penunjang


Sampel crust kulit diambil menggunakan selotip kemudian dengan pewarnaan
hematoxyllin dan eosin terlihat pada mikroskop dengan perbesaran 1000x adanya hifa dan
artrokonidia. Berdasarkan pengamatan tersebut, sementara landak didiagnosa dermatofitosis.
Crust kulit kemudian dikultur pada media Saboraud Dextrose Agar (SDA). Setelah 10 hari
inkubasi, terlihat koloni bertekstur seperti kapas dan berwarna putih. Area tengah koloni sedikit
lebih tinggi dari area lainnya dan pada sisi satunya terlihat berwarna kuning. Ketika koloni diamati
melalui mikroskop akan terlihat mikrokonidia berbentuk seperti air mata pada sisi hifa.
Makrokonidia tersebut memiliki 2 hingga 6 septa serta bentuk dan ukurannya tidak serupa.

2.4 Terapi
Hewan diberikan terapi berupa ketoconazole (30 mg/kg) S12J dan chlorhexidine topikal.
Lesio pada kulit landak nampak membaik setelah 4 minggu pemberian terapi. Ketoconazole sendiri
memiliki kinerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol pada dinding sel fungi. Sediaan ini
membunuh dermatofita dan disarankan untuk digunakan dalam jangka pendek (Wientarsih et al.
2018). Selain itu, sediaan antifungal topikal seperti enilconazole dan terbinafine yang
dikombinasikan dengan sediaan oral juga dianggap efektif digunakan sebagai terapi (Abarca et al.
2017).
DAFTAR PUSTAKA

Abarca ML, Castella G, Martorell J, Cabanes FJ. 2017. Trichopython erinacei in pet hedgehogs in
Spain: occurrence and revision of its taxonomic status. Medical Mycology. 55:164-172.
Bontems O, Fratti M, Salamin K, Guenova E, Monod M. 2020. Epidemiology of dermatophytoses
in Switzerland according to a survey of dermatophytes isolated in Lausanne between 2001
and 2018. Journal of Fungi. 6:95-103.
Borges-Corta J, Martins ML. 2014. Trichopython erinacei skin infection after recreational
exposure to an elephant in Southeast Asia. Pathog Glob Health. 108:58-59.
Concha M, Nicklas C, Balcells E, Guzman AM, Poggi H, Leon E, Fich F. 2012. The first case of
tinea faciei caused by Trichophyton mentagrophytes var. ericanei isolated in Chile.
International Journal of Dermatology. 51(3):283-285.
Gnat S, Lagowski D, Nowakiewicz A. 2022. European hedgehogd (Erinaceus europaeus L.) as a
reservoir of dermatophytes in Poland. Microbial Ecology. 84:363-375.
Masoodi NH, Mohammed BT, Janabi JKA. 2020. Occurrence, morphological, and molecular
characteristics of Trichopython erinacei in Iraq. Drug Invention Today. 14(6):1-9.
Phaitoonwattanakij S, Leeyaphan C, Bunyaratavej S, Chinhiran K. 2019. Trychopython erinacei
onychomycosis: yhe first to evidence a proximal subungual onchomycosis pattern. 11:198-
203.
Rhee DY, Kim MS, Chang SE, Lee MW, Choi JH, Moon KC, Koh JK, Choi JS. 2009. A case of
tinea manuum caused by Tryichophytn mentagrophytes var. erinacei: the first isolation in
Korea. Mycoses. 52(3):287-290.
Weishaupt J, Maurer AK, Lempert S, Nenoff P, Uhrla S, Hamm H, Goebeler M. 2013. A different
of hedgehog pathway: tinea manus due to Trichophyton erinacei transmitted by an African
pgmy hedgehog (Atelerix albiventris). Mycosis. 57(2):125-127.
Wientarsih I, Prasetyo BF, Purwono RM, Noviyanti L, Akbari RA. 2018. Obat–Obatan untuk
Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.
Yoon JS, Lee JH, Yu DH, Li YH, Lee MJ, Iwasaki T, Park JH. 2008. Dermatophytosis of the four-
toed hedgehog caused by Trichophyton erinacei. Journal of Veterinary Clinics. 25(3):207-
210.
TRICHOPHYTON
MENTAGROPHYTES VAR.
ERINACEI PADA LANDAK

DEA KHALISSA ANIDYA – B9404231069


PENDAHULUAN
PRESENTATION TITLE

Latar Belakang
T. erinacei merupakan penyakit dermatofitosis pada
landak yang kerap menginfeksi manusia. Kini landak semakin
popular untuk dipelihara, namun hewan ini kerap
menyebarkan penyakit zoonotik pada kulit manusia.

Tujuan
Makalah ini dibuat mengetahui penyakit
dermatofitosis yang disebabkan oleh T. erinacei dan potensi
zoonosisnya.

3
TINJAUAN PUSTAKA
TRICHOPHYTON MENTAGROPHYTES
VAR. ERINACEI
Kingdom : Fungi D E R MATO FI TA YANG PAL I NG U MU M ME NG I NF E KS I
Filum : Ascomycota
MARKETING L ANDAK ( T I NG K AT I NF E KS I 2 0 - 47%)
Kelas : Eurotiomycetes
Disseminate
Ordo : Onygenales
standardized
metrics Chile Korea
Famili : Arthrodermataceae
Kulit bersisik dengan pruritis Lesio pada jari tangan
Genus : Trichoophyton pada hidung pasien
Spesies : mentagrophytes
Riwayat: landak menggigit Riwayat: baru saja
Varietas : erinacei hidung pasien memelihara landak
5
DIAGNOSA
Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis

Sabouraud Dextrose Agar (SDA) + KOH 10%

Makroskopis: Koloni berwarna putih seperti kapas, sisi


sebaliknya berwarna kuning

Mikroskopis:makrokonidia tidak beraturan bentuknya


dengan 2-6 septa berbentuk seperti pir dan hifa
menempel pada sisinya

6
PRESENTATION TITLE

STUDI KASUS
(YOON ET AL. 2008)

7
Sinyalemen dan Anamnesa
Landak dibeli dari komunitas pecinta hewan satu bulan yang lalu. Pemilik
juga diketahui memiliki landak lain namun diletakkan pada kandang
terpisah dan tidak pernah ada kontak satu sama lain.
Jenis Hewan : Landak
Ras : Pygmy
Bobot : 100 g
Jenis kelamin : Betina
Umur : 2 bulan

Gejala Klinis
• Pruritis
• Eksorsirasi
• Crust pada wajahnya
8 • Lesio hanya terlihat di area wajah dan eritema bersisik di area leher
landak.
Diagnosa Penunjang
Sampel crust kulit diperiksa dengan pewarnaan hematoxyllin dan eosin
terlihat hifa dan artrokonidia. Diagnosa sementara: dermatofitosis.
Crust kulit dikultur pada media Saboraud Dextrose Agar (SDA). Setelah 10 hari
inkubasi, terlihat koloni bertekstur seperti kapas dan berwarna putih. Area
tengah koloni sedikit lebih tinggi dari area lainnya dan pada sisi satunya
terlihat berwarna kuning. Ketika koloni diamati melalui mikroskop akan
terlihat makrokonidia berbentuk seperti air mata pada sisi hifa. Makrokonidia
tersebut memiliki 2 hingga 6 septa serta bentuk dan ukurannya tidak serupa.

Terapi
• Ketoconazole oral
• Chlorhexidine topikal

9
THANK YOU
MAKALAH INDIVIDU BAKTERI DAN MIKAL

Laporan kasus : Mastitis subklinis yang disebabkan oleh Streptococcus


agalactiae

Disusun oleh :

Inayati Ilmi B9404231055

Kelompok C1 PPDH Periode 1 2023/2024

Stase Diagnostik

Dosen Pembimbing :

Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Streptococcus agalactiae merupakan bakteri yang mempunyai peranan
penting dalam kasus mastitis. Bakteri ini secara serologik tergolong ke dalam
streptococcus grup B Lancefield dan merupakan penyebab 84,1% dari kasus
mastitis subklinis pada sapi perah. Mastitis merupakan kondisi peradangan pada
ambing yang sering memengaruhi laktasi sapi perah dan dapat menurunkan
produksi susu sebesar 2,6-43,1% (Marti-De et al 2020). Mastitis merupakan
masalah di seluruh dunia yang mengakibatkan kerugian yang besar pada peternakan
sapi perah akibat kualitas susu yang buruk, penurunan produksi susu, peningkatan
biaya obat dan pelayanan dokter hewan, tingginya jumlah ternak yang diafkir
sebelum waktunya dan tidak jarang terjadi kematian akibat penyakit tersebut
(Kumar et al 2010). Mastitis menjadi masalah serius dalam dunia industri susu
karena dapat mengakibatkan foodborne disease pada manusia dari kontaminasi
bakteri dalam susu (Cervinkova et al 2013). Peradangan pada ambing akibat
mastitis dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu mastitis klinis dan subklinis. Mastitis
subklinis merupakan penyakit yang paling sering menyerang sapi perah masa
laktasi dan berpotensi menurunkan produksi sehingga menimbulkan kerugian
ekonomi bagi peternak (Khasanah et al 2021).

Tujuan

Makalah ini bertujuan mengetahui taksonomi, klasifikasi, penyakit,


epidemiologi penyakit, pengobatan, mekanisme infeksi, mode transmisi, potensi
zoonotic, serta isolasi dan identifikasi bakteri S. agalactiae Streptococcus
agalactiae.

.
PEMBAHASAN

1. Taksonomi dan Klasifikasi Streptococcus agalactiaea


Streptococcus agalactiae merupakan bakteri dengan bentuk bulat
(kokus), tidak motil, tidak berspora, dan bentuk koloni rantai. Sifat biokimia
bakteri Gram-positif, artinya bakteri ini memiliki dinding sel yang mampu
menahan pewarnaan kristal violet dalam proses pewarnaan Gram. Tumbuh
pada media biakan aerob, media yang mengandung darah, jika diinkubasi pada
suhu 37oC, koloni berbentuk bulat kecil, bening, seperti titik embun, bersifat
beta-hemolisis, serta uji katalase hasil negative (Qinn et al. 2002). S.
agalactiae adalah patogen opportunistik yang dapat menyebabkan berbagai
penyakit, termasuk infeksi pada manusia seperti infeksi saluran kemih, infeksi
pada bayi baru lahir, dan pada hewan, terutama pada sapi menyusui yang dapat
menyebabkan mastitis. Taksonomi dari bakteri Streptococcus agalactiae
sebagai berikut :
Domain : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Order : Lactobacillales
Famili : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Spesies : Streptococcus agalactiae

2. Epidemiologi Penyakit
Mastitis merupakan peradangan pada jaringan internal ambing
(Subronto 2003). Mastitis sangat merugikan peternak secara ekonomi karena
dapat menurunkan produksi susu. Prevalensi mastitis pada sapi perah di
Indonesia sangat tinggi dan sebagian besar merupakan infeksi yang bersifat
subklinis. Kejadian mastitis di Indonesia sangat tinggi yaitu sekitar 97-98%
merupakan mastitis subklinis, sedangkan 2-3% merupakan kasus mastitis
klinis yang terdeteksi (Sudarwanto dan Sudarnika 2008). Bakteri penyebab
mastitis yang paling sering ditemukan yaitu Staphylococcus aureus,
Streptococcus agalactiae, Staphylococcus epidermidis, dan Escherichia coli,
sehingga efektivitas upaya pengendalian mastitis terhadap keberadaan bakteri-
bakteri tersebut penting untuk dipelajari (Subronto 2003).
3. Laporan Kasus pada Hewan : Mastitis subklinis pada sapi perah di Balai
Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden, Jawa
Tengah, Indonesia (Pole et al.2023).
Sinyalemen : Seekor sapi perah Friesian Holstein dengan eartag 5501,
berjenis kelamin betina, berumur ≥ 7 tahun memiliki bobot badan ≥ 500 Kg.
Anamnesa: Sapi telah mengalami partus sebanyak 3 kali dan pada saat
pemerahan didapatkan susu yang mengalami perubahan warna menjadi
kekuningan. Pemeriksaan Klinis: Suhu tubuh 38 ºC, frekuensi nafas
30x/menit, tidak terdapat pembengkakan pada ambing. Pemeriksaan
Penunjang: Uji mastitis menggunakan California Mastitis Test (CMT).
Diagnosa: Mastitis subklinis. Prognosa: Fausta.

4. Mekanisme Infeksi, Mode Transmisi, serta Potensi Zoonotik

Proses penularan agen penyebab mastitis dapat terjadi pada saat


pemerahan susu secara manual melalui tangan pemerah, air yang dipakai untuk
membersihkan ambing, kain lap atau peralatan lain yang dipakai pada saat
pemerahan (Supar dan Ariyanti 2008). Mikroba yang menyebabkan yang
masuk melalui puting saat proses pemerahan ataupun setelah proses pemerahan
saat kondisi lubang puting masih terbuka. Produk hasil metabolisme bakteri ini
akan menyebabkan sel alveoli akan kehilangan kemampuan permeabiltasnya.
Keadaan ini menyebabkan meningkatnya konsentrasi garam sodium klorida
(NaCl) dan meningkatnya osmotik susu, yang selanjutnya mempengaruhi pH
intraseluler dari epitel alveoli. Keadaan ini mengakibatkan produksi susu
menurun disertai kenaikan pH susu. Kasus mastitis oleh S. agalactiae
mempunyai peluang sebagai reservoir infeksi silang ke manusia terutama anak-
anak apabila keamanan distribusi susu ke konsumen tidak ditangani seksama.

5. Pendekatan Diagnostik pada Sapi yang menderita Mastitis


Mastitis subklinis hanya dapat dideteksi dengan cara tes tertentu seperti
uji Californian Matitis Test (CMT), uji kimia susu dan kultur bakteri (Suwito
dan Indarjulianto 2013). California Mastitis Test (CMT) adalah tes sederhana
yang berguna dalam mendeteksi mastitis subklinis dengan memperkirakan
jumlah sel somatik pada susu secara kasar (Blowey dan Edmondson 2010).
CMT tidak memberikan hasil numerik, melainkan indikasi apakah kategorinya
tinggi atau rendah. Hasilnya dapat dinilai ke dalam 5 kategori mulai dari negatif
ditandai dengan susu dan reagen tetap berair, hingga jumlah sel tertinggi
ditandai campuran susu dan reagen hampir menggumpal (Blowey dan
Edmondson 2010).
Berdasarkan hasil uji mastitis yang dilakukan menggunakan CMT, sapi
perah dalam kasus ini dinyatakan positif mastitis subklinis. Hasil pengujian
menujukkan bahwa, sampel susu dari ambing kuartir kiri belakang (*)
dinyatakan positif ++ (infeksi ringan) ditandai dengan adanya gumpalan dan
mengalami pembentukan gel yang sedikit. Selanjutnya pada sampel susu dari
ambing kuartir kiri depan (**) dinyatakan positif dengan skala CMT +++
dimana sampel susu telah mengalami pembentukan gel dengan interpretasi
infeksi kategori sedang.

Gambar 1. Sampel susu sebelum (A) dan setelah (B) pemberian reagen California
Mastitis Test (CMT). Massa gel terlihat saat sampel susu bereaksi dengan reagen
CMT (tanda panah hitam) membentuk gumpalan dan gel. Sampel ambing kuartir kiri
belakang (*). Sampel ambing kuartir kiri depan (**)

Prosedur Isolasi dan Identifikasi Bakteri Streptococcus agalactiae

Sampel susu kuartir digores sebanyak 1 ose pada media Blood Agar
(BA) diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37°C. Koloni yang di duga S.
agalactiae tumbuh pada Blood Agar memiliki bentuk makroskopis
membentuk beta hemolisis, berbentuk bulat, berwarna transparan, cembung.
Uji CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson) dilakukan untuk
mengkonfirmasi positif S. agalactiae. Media Blood agar disiapkan dengan
bakteri S. Aureus sebagai penanda ditanam di garis tengah media blood agar
menggunakan ose. Bakteri yang diduga S, agalactiae kemudian ditanamkan
secara tegak lurus dengan S. aureus diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37°C.
Setelah inkubasi, koloni S. agalactiae akan memperlihatkan hasil uji positif
yang ditunjukkan dengan terjadinya zona hemolisis berbentuk mata anak panah
di sebelah goresan S. aureus (Lang dan Famer 2003).

6. Pengobatan dan Pencegahan Penyakit

Terapi yang diberikan dalam penelitian Pole et al. 2023 adalah injeksi
intramamari antibiotik Tirrexine LC, 1 dosis untuk setiap kuartir ambing
setelah pemerahan (q12h) sebanyak 3 kali. Pengobatan yang dilakukan pada
sapi adalah pemberian. Antibiotik Terrexine LC melalui intramamari. Dosis
pemberian setiap kuartir ambing adalah 1 dosis Terrexine LC yang diberikan
setiap selesai pemerahan sebanyak 3 kali pemberian. Teat dipping
menggunakan Povidone iodine 1%. Terrexine LC merupakan antibiotik
kombinasi yang memiliki kandungan zat aktif Cephalexin (200 mg) dan
Kanamycin monosulphate (100.000 IU). Kombinasi Cephalexin dan
Kanamycin telah dilisensi di Eropa pada tahun 2008 dan ditujukan untuk
pemberian langsung ke dalam ambing sapi yang terinfeksi (Silly et al 2012).
Kombinasi ini menawarkan spektrum aktivitas yang lebih luas dibandingkan
dengan spektrum masing-masing obat. Antibakteri ini, telah terbukti
menunjukkan efektivitas terhadap patogen mastitis terutama Staphylococcus
aureus, Streptococcus uberis, dan Escherichia coli (Maneke et al 2011).
Penanganan lainnya yang penting untuk dilakukan adalah memisahkan sapi
yang mengalami mastitis dalam kandang yang berbeda dengan sapi yang sehat
untuk mencegah penyebaran penyakit. Salah satu kegiatan setelah pemerahan
yang dapat menurunkan kejadian mastitis adalah celup puting (Putri et al
2015). Tindakan celup puting dengan menggunakan antiseptik bertujuan untuk
mencegah masuknya bakteri ke dalam ambing melalui lubang puting. Larutan
yang umum digunakan untuk celup puting yaitu Iodine, Chlorhexidine, Chlorin
4%, dan alkohol 70% (Siregar 2010).

7. Hasil Pengobatan Penyakit


Setelah dilakukan pengobatan dan evaluasi pada kasus ini, didapatkan
hasil yang lebih baik pada kondisi mastitis yang diderita sapi. Pengujian ulang
menggunakan CMT pada susu sapi hari ke-7 pasca pengobatan dan didapatkan
hasil sampel susu dari ambing kuartir kiri belakang (*) dikategorikan pada
skala CMT + (sangat ringan), sedangkan pada sampel susu dari kuartir ambing
kiri depan (**) diperoleh hasil CMT ++ (infeksi ringan) (Gambar 2).

Gambar 2. Sampel susu pada hari ke-7 pasca pengobatan, sebelum


(A) dan setelah (B) pemberian reagen California Mastitis Test (CMT).
Sedikit massa gel terlihat pada sampel susu setelah direaksikan dengan
reagen CMT. Sampel ambing kuartir kiri belakang (*). Sampel ambing
kuartir kiri depan (**).

SIMPULAN
Steptococcus agalactiae merupakan golongan bakteri gram positif,
berbentuk kokus, koloni rantai, salah satu agen penyabab mastitis pada sapi perah.
Salah satu yang dapat dilakukan untuk mastitis S. Agalactiae yaitu kultur bakteri
dengan media BA dan uji CAMP yang positif.
DAFTAR PUSTAKA

Blowey RW, Edmondson P. 2010. Mastitis Control in Dairy Herds. 2nd ed.
Cambridge: CAB International.
Cervinkova D, Vlkova H, Borodacova I, Makovcova J, Babak V, Lorencova A,
Vrtkova I, Marosevic D, Jaglic Z. 2013. Prevalence of mastitis pathogens in
milk from clinically healthy cows. Veterinarni Medicina. 58(11): 567-575.
Khasanah H, Setyawan HB, Yulianto R, Widianingrum DC. 2021. Subclinical
mastitis: Prevalence and risk factors in dairy cows in East Java, Indonesia.
Veterinary World. 14(8): 2102-2108.
Kumar RR. Yadav, RS. Singh. 2010. Genetic determinants of antibiotic resistance
in Staphylococcus aureus isolates from milk of mastitic crossbred cattle.
Curr. Microbiol. 60:379–386.
Lang S, Palmer M. 2003. Characterization of Streptococcus agalactiae CAMP
factor as a pore-forming toxin. J Biol Chem 278: 67-73
Maneke E, Pridmore A, Goby L, Lang I. 2011. Kill rate of mastitis pathogens by a
combination of cefalexin and kanamycin. Journal of Applied Microbiology.
110(1): 184-190.
Martí-De OA, Peris C, Molina MP. 2020. Effect of subclinical mastitis on the yield
and cheese-making properties of ewe’s milk. Small Ruminant Research.
184:106044.
Pole MY, Kholifah S, Bahmid NA, Purba FY.Pole.2023. Mastitis subklinis pada
sapi perah di balai besar pembibitan ternak unggul dan hijauan pakan ternak
baturraden, jawa tengah, Indonesia. ARSHI Vet Lett. 7 (1): 5-6
Silly P, Goby L, Pillar CM. 2012. Susceptibility of coagulasenegative staphylococci
to a kanamycin and cephalexin combination. Journal of Dairy Science. 95(6):
3448-3453.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak. (Mammalia). Edisi ke-3.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Sudarwanto,M. and E.Sudarnika 2008. Hubungan antara pH Susu dengan Jumlah
Sel Somatik Sebagai Parameter Mastitis Subklinik. Media Peternakan. 31(
2): 107-113.

Quinn, Markey, Carter, Donnelly, Leonard. 2002. Veterinary Microbiology and


Microbial Disease. Blackwell Publishing. USA.
STREPTOCOCCUS
AGALACTIAE

Inayati Ilmi B9404231055


TAKSONOMI

Domain : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Order : Lactobacillales
Famili : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Spesies : Streptococcus agalactiae
KLASIFIKASI S. AGALACTIAE

Bakteri gram positif


tidak motil
tidak berspora
berbentuk bulat
koloni rantai bervariasi antara 20-
40 sel/bakteri
PENYAKIT S. AGALACTIAE

Manusia : infeksi saluran kemih, infeksi pada bayi baru lahir

Hewan : Mastitis pada sapi

Mastitis subklinis pada sapi perah di Balai Besar Pembibitan


Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden, Jawa
Tengah, Indonesia
MASTITIS PADA SAPI PERAH

Kejadian mastitis di Indonesia :


97-98% (subklinis),
2-3% (klinis)

Bakteri penyebab mastitis yang paling sering


ditemukan
Staphylococcus aureus,
Streptococcus agalactiae,
Staphylococcus epidermidis, dan
Escherichia coli,
Laporan Kasus
Sinyalemen Anamnesa Pemeriksaan Penunjang
Seekor sapi sapi telah partus Klinis CMT
perah FH, eartag sebanyak 3 kali, Suhu : 38ºC
5501, saat pemerahan frekuensi nafas Diagnosa &
betina, didapatkan susu 30x/menit, Prognosa
umur >7tahun yg Mengalami tidak terdapat Mastitis
BB 500 kg perubahan pembengkakan subklinis
warna menjadi pada ambing. fausata
kekuningan
MEKANISME INFEKSI PENCEGAHAN PENYAKIT

Mikroba masuk melalui puting saat proses


Higiene personal dan kandang
pemerahan ataupun setelah proses
Teat dipping sebelum dan sesudah
pemerahan saat kondisi lubang puting
pemerahan
masih terbuka.

TRANSMISI POTENSI ZOONOSIS


Kontaminasi :
Mastitis memiliki potensi zoonosis ;
Pemerah dan peralatan yang dipakai untuk
shedding bakteri dan foodtoxin
memerah
HASIL UJI CMT PENGOBATAN
Antibiotik Terrexine LC, s8J, Intramamari
zat aktif Cephalexin (200 mg) dan
Kanamycin monosulphate (100,000
IU).
Kombinasi ab yg telah dilisensi di
Eropa tahun 2008, kombinasi dengan
sprektum aktivitas yang lebih luas
Uji Kultur Bakteri
dan Identifikasi S. Agalactiae
Sampel susu kuartir digores sebanyak 1 ose Media Blood Agar,
diinkubasi 20-24 jam pada suhu 35-37°C.

Koloni yang diduga S. agalactiae yaitu membentuk brta


hemolisis , berbentuk bulat, berwarna transparan, cembung.

uji CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson)

Blood Agar media dengan bakteri S. aureus sebagai penanda


dan kultur BA ;diinkubasi 24-48 jam pada suhu 37°C.
Koloni S. agalactiae (uji positif) : adanya zona hemolisis
berbentuk mata anak panah di sebelah goresan S. aureus.
SIMPULAN

Steptococcus agalactiae merupakan golongan


bakteri gram positif, berbentuk kokus, koloni rantai,
salah satu agen penyabab mastitis pada sapi
perah. Salah satu yang dapat dilakukan untuk
mastitis S. Agalactiae yaitu kultur bakteri dengan
media BA dan uji CAMP yang positif
A WARM
THANK YOU
TO ALL OF YOU!
MAKALAH INDIVIDU BAKTERI DAN MIKAL

Laporan kasus : Mastitis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus

STAPHYLOCOCCUS AUREUS

Kamis, 16 November 2023

Muhammad Emir Kusuma Wardhana B9404231014


Kelompok C1 PPDH Periode 1 2023/2024
Stase Diagnostik

Dosen Pembimbing :
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
PENDAHULUAN
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi tersering di dunia
dan bakteri patogen pada manusia dan hewan yang terdapat pada permukaan kulit. Penularan
bakteri ini dapat terjadi melalui luka dan kontak langsung ataupun tidaklangsung. Tingkat
keparahan infeksinya pun bervariasi, mulai dari infeksi minor di kulit (furunkulosis dan
impetigo), infeksi traktus urinarius, infeksi traktus respiratorius, sampai infeksi mata dan Central
Nervous System (CNS) (Septiani et al 2017).
Klasifikasi agen penyakit Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut (Soedarto 2015):
Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Ordo : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus

Staphylococcus adalah bakteri gram positif (Gram +) berbentuk bulat. Staphylococcus


berdiameter 0,8 - 1,0 mikron, tidak bergerak, dan tidak berspora. Koloni mikroskopik
Staphylococcus berbentuk menyerupai buah anggur. Uji enzim katalase bersifat katalase positif.
Staphylococcus aureus membentuk koloni besar berwarna agak kuning dalam media yang baik.
Staphylococcus aureus biasanya bersifat hemolitik pada agar darah. Staphylococcus bersifat
anaerob fakultatif dan dapat tumbuh karena melakukan respirasi aerob atau fermentasi dengan
asam laktat. Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada suhu 15-45 ℃. Staphylococcus aureus
salah satu penyebab infeksi nosokomial yang menyebabkan keracunan makanan, dan sindrom
renjat toksik (toxic shock syndrome) (Radji 2019).

Pada hewan, bakteri ini dapat menginfeksi berbagai jenis hewan mulai dari ayam, kelinci,
babi, kucing, anjing, kambing, domba, onta, kuda, sapi, hingga monyet dan kera. Infeksi
Staphylococcus aureus menyebabkan kerugian ekonomi besar pada hewan ternak, seperti
peternakan sapi perah karena menyebabkan radang ambing susu yaitu mastitis.

Sinyalemen dan Anamnesis

Seekor kucing persia, betina, berumur delapan bulan bernama Encil dengan bobot badan
2,9 kg diperiksa di Klinik Hewan, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Gadjah Mada pada tanggal 22 Mei 2019. Kucing Encil melahirkan enam
ekor anak/kitten, 10 hari sebelum diperiksa di klinik hewan. Tiga hari sebelum diperiksa, kucing
Encil menunjukkan gejala nyeri pada saat menyusui, terdapat luka berdarah pada mammae, nafsu
makan dan minum menurun, diikuti dengan kematian dua anak kucing Encil setelah menyusu.
Pemeriksaan Fisik

Status praesens kucing menunjukkan suhu tubuh 40,3°C, frekuensi nafas 64 kali per
menit, frekuensi pulsus 128 kali per menit. Pemeriksaan kulit dan rambut ditemukan turgor kulit
menurun dan rambut rontok pada bagian punggung. Pemeriksaan selaput lendir, sistem limfatika,
pernafasan, peredaran darah, pencernaan, urinaria, syaraf dan lokomosi tidak ditemukan ada
perubahan. Bentuk mammae bagian abdominal dekster asimetris, bengkak, merah, teraba hangat,
konsistensi keras, nyeri saat dipalpasi, disertai luka dengan akumulasi pus dan darah yang
melanjut menjadi gangrene.

Dilakukan uji penunjang seperti pemeriksaan hematologi, pemeriksaan sitologi mamae,


dan pemeriksaan mikrobiologi. Diagnosis dan prognosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratoris meliputi pemeriksaan hematologi, sitologi, dan mikrobiologi,
kucing didiagnosis mengalami gangrene mastitis akibat infeksi Staphylococcus sp dengan
prognosis dubius.

Mekanisme Infeksi, Mode Transmisi, serta Potensi Zoonotik

Bakteri Staphylococcus sp. masuk melalui kanal puting ataupun melalui trauma pada
glandula mammae karena kuku maupun gigi anak kucing, terlebih saat induk menolak untuk
menyusui anaknya terjadi akumulasi susu yang dapat menyebabkan septikemia karena
mikroorganisme menyebar dari duktus ke sistem limfe (Demirel dan Ergin 2014).
Staphylococcus aureus mempunyai faktor virulensi berupa fibrinogen binding protein dan
fibrinectin binding protein yang menyebabkan perlekatan bakteri pada sel epitel mammae,
protein A yang bersifat antifagositik, α toksin (α hemolisin) yang merusak pembuluh darah
sehingga menyebabkan nekrosis koagulatif dari jaringan di sekitarnya, ditambah dengan kerja
eksoenzim dan leukocidin yang berperan dalam kerusakan jaringan menjadi gangrene dalam
beberapa hari (Markey et al 2013). Hal itu sesuai dengan hasil pemeriksaan sitologi glandula
mammae dengan ditemukannya hancuran sel epitel karena terjadi kerusakan jaringan mammae,
selain itu ditemukan sel radang limfosit sebagai respons inflamasi dan kumpulan bakteri di
sekitarnya (Wilson 2013).
Gambar 1. Mekanisme infeksi bakteri Staphylococcus sp.

Jenis sampel dan Pendekatan Diagnostik Agen Penyakit pada Hewan

Gambar 2. Hasil kultur pada media plat agar darah (PAD) setelah inkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam, Pewarnaan Gram positif dan uji Katalase (+)

Pengobatan dan Pencegahan Penyakit

Pencegahan dan pengendalian mastitis pada kucing memerlukan beberapa strategi dan 
pendekatan yang tepat. Manajemen yang baik mungkin  dapat diaplikasikan seperti menjaga
kebersihan kandang kucing. Tata laksana pengobatan infeksi S. aureus mencakup pemberian
antibiotik yang tepat, penilaian cepat terhadap sumber infeksi, dan kemungkinan lokasi infeksi
metastatik, dengan pemberantasan segera sumber infeksi atau fokus metastasis, jika
memungkinkan. Karena terdapat variasi geografis dalam kerentanan antimikroba, terapi empiris
harus dipilih berdasarkan pola kerentanan antibiotik lokal. Pilihan antibiotik yang pasti dan
lamanya terapi bergantung pada lokasi dan tingkat keparahan infeksi serta kerentanan antibiotik
dari isolat yang menginfeksi (Kalu et al. 2022). Pengobatan mastitis sering kali dimulai segera
dengan menggunakan antibiotik spektrum luas yang efektif melawan E. coli, Streptococcus, dan
Staphylococcus sampai hasil kultur dan sensitivitas tersedia. Isolat Staphylococcus tidak selalu
rentan terhadap penisilin sintetik yang resisten terhadap beta-laktamase, sefalosporin generasi
pertama, aminoglikosida, dan fluorokuinolon. Oleh karena itu, pengujian sensitivitas penting
untuk dilakukan. Amoksisilin/klavulanat dianggap sebagai pilihan pertama yang aman karena
aman untuk anak anjing dan anak kucing yang menyusui. Jika kelenjar mengalami abses atau
nekrotik, neonatus harus diangkat dan diberi susu buatan tambahan, jika usianya belum tepat
untuk disapih (Wilson 2013).

Hasil Pengobatan Penyakit

Antibiotik amoxicillin diberikan sebagai terapi utama karena merupakan antibiotik


spektrum luas dan memiliki efek bakterisidal yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
dinding sel bakteri. Pada infeksi bakteri Gram positif digunakan dosis 10 mg/kg secara per oral
sebanyak dua kali sehari. Terapi yang diberikan adalah rutin dilakukan kompres hangat setiap
pagi dan sore pada mammae, amoxicillin (10 mg/kg BB s2dd PO selama 8 hari), dexamethason
(0,125 mg/kg BB s2dd PO selama 3 hari), adenosin triphospat (ATP) (0,5 mg/kg BB s1dd IM),
asam tolfenamik 4% (6,5 mg/kg BB), lisin sirup (70 mg/kg BB s2dd PO selama 4 hari). Pada
hari ketiga pengobatan, luka menjadi terbuka dan bernanah, kemudian diberikan terapi povidon
iodine dan enbatic powder secara topikal. Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium maka kucing Encil didiagnosis menderita mastitis gangrene
yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus sp.

SIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
maka kucing Encil didiagnosis menderita mastitis gangrene yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus sp. Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah rutin dilakukan kompres hangat
disertai kombinasi antibiotik, antiinflamasi, antipiretik, dan multivitamin. Kucing mulai
menunjukkan perbaikan pada hari ke-8 pengobatan. Luka gangrene mulai menutup dan kering,
mammae tidak bengkak dan konsistensi tidak keras, palpasi tidak nyeri. Observasi kesembuhan
luka jahitan dilakukan hingga hari ke-14 hingga luka kering.
Daftar Pustaka

Demirel MA, Ergin I. 2014. Medical and surgical approach to gangreneous mastitis related to
galactostatis in a cat. Acta Scientiae Veterinariae. 42(1): 50.
Markey B, Leonard F, Archambault M, Cullinane A, Maguire D. 2013. Clinical Veterinary
Microbiology. 2 nd Edition. Irlandia: Mosby Elsevier. pp: 105-118.
Radji M. 2019. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Septiani, Dewi EN, Wijayanti I. 2017. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Lamun (Cymodocea
rotundata) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. IJFST.
13(1): 1-6.
Soedarto. 2015. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Wilson CR. 2013. Feline gangreneous mastitis. Can Vet Journal. 54: 292-294.
Staphylococcus aureus
Muhammad Emir Kusuma Wardhana (B9404231014)

PPDH Stase Diagnostik


OUTLINE 1 PENDAHULUAN

2 SINYALEMEN DAN
ANAMNESIS
3 TREATMENT

4 SIMPULAN
PENDAHULUAN

• Staphylococcus aureus merupakan


salah satu bakteri penyebab infeksi
tersering di dunia dan bakteri
patogen pada manusia dan hewan
yang terdapat pada permukaan
kulit
TOKSONOMI
Klasifikasi agen penyakit Staphylococcus adalah bakteri
Staphylococcus aureus (Soedarto (Gram +) berbentuk bulat (menyerupai
2015): buah anggur), berdiameter 0,8 - 1,0
Domain : Bacteria mikron, tidak bergerak, dan tidak
Kingdom : Eubacteria berspora. Uji enzim katalase (+), ada
Phylum : Firmicutes media agar darah bersifat hemolitik.
Class : Bacilli Staphylococcus aureus dapat tumbuh
Ordo : Bacillales pada suhu 15-45 ℃ (Radji 2010).
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus
MEKANISME
Staphylococcus aureus mempunyai
faktor virulensi berupa fibrinogen binding
protein dan fibrinectin binding protein
yang menyebabkan perlekatan bakteri
pada sel epitel mammae, protein A yang
bersifat antifagositik, α toksin (α
hemolisin) yang merusak pembuluh
darah sehingga menyebabkan nekrosis
koagulatif dari jaringan di sekitarnya,
ditambah dengan kerja eksoenzim dan
leukocidin yang berperan dalam
kerusakan jaringan menjadi gangrene
dalam beberapa hari (Markey et al 2013).
Sinyalemen dan Anamnesis
• Nama : Encil • Seekor kucing persia, betina, berumur
• Jenis hewan : Kucing delapan bulan bernama Encil dengan
bobot badan 2,9 kg diperiksa di Klinik
• Breed : Persia Hewan, Departemen Ilmu Penyakit
• Jenis kelamin : Betina Dalam . Kucing Encil melahirkan enam
ekor anak/kitten, 10 hari sebelum
• Umur : 8 bulan diperiksa di klinik hewan. Tiga hari
• BB : 2,9 kg sebelum diperiksa, kucing Encil
menunjukkan gejala nyeri pada saat
menyusui, terdapat luka berdarah pada
mammae, nafsu makan dan minum
menurun, diikuti dengan kematian dua
anak kucing Encil setelah menyusu.
PENDEKATAN DIAGNOSIS

Jenis sampel yang dapat diambil yaitu, darah dan susu.


Diagnosis pendekatan menggunakan pemeriksaan hematologi,
pemeriksaan sitologi mamae, pemeriksaan mikrobiologi. Diagnosis
dan prognosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratoris meliputi pemeriksaan hematologi, sitologi,
dan mikrobiologi, kucing didiagnosis mengalami gangrene mastitis
akibat infeksi Staphylococcus sp dengan prognosis dubius.
TREATMENT

Terapi yang diberikan adalah rutin dilakukan kompres hangat


setiap pagi dan sore pada mammae,
- Amoxicillin (10 mg/kg BB s2dd PO selama 8 hari),
- Dexamethason (0,125 mg/kg BB s2dd PO selama 3 hari),
- Adenosin triphospat (ATP) (0,5 mg/kg BB s1dd IM),
- Asam tolfenamik 4% (6,5 mg/kg BB),
- Lisin sirup (70 mg/kg BB s2dd PO selama 4 hari).
Pada hari ketiga pengobatan, luka menjadi terbuka dan
bernanah, kemudian diberikan terapi povidon iodine dan enbatic
powder secara topikal.
SIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan laboratorium maka kucing Encil didiagnosis menderita
mastitis gangrene yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus sp
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai