LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Disusun oleh:
Anggi Nahriyatussyifa B9404231017
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
Latar Belakang
Escherichia coli (E. coli) adalah penyebab kolibasilosis pada unggas
terutama strain Avian Pathogenic Escherichia coli (APEC) ( Ramirez et al. 2019).
Strain APEC dapat menyebabkan penyakit primer ataupun sekunder pada bangsa
unggas dan bersifat sistemik (Suryani et al. 2014). Kolibasilosis pada unggas
menyebabkan kerugian ekonomi karena menurunkan produksi, menambah biaya
pengobatan, dan menyebabkan kematian. Gejala klinis unggas yang terinfeksi
kolibasilosis menurut Barnes et al. (2003) adalah meningitis, panophthalmitis
(mata bengkak), osteoartritis, dan sinositis. Praktikum ini dilakukan pengambilan
sampel eksudat mata ayam Brahma untuk diisolasi dan identifikasi bakteri.
Identifikasi bakteri yang tepat dapat mempermudah dalam pemilihan pengobatan.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri dari
eksudat mata ayam Brahma.
METODE
TSA
Pewarnaan Gram
dan uji KOH 3%
Gambar 1 Diagram Identifikasi bakteri Gram negatif dan Gram positif (Lay 1994).
Bakteri gram negatif
Kokus, kokobasil,
dan basil
Uji Oksidasi
Positif Negatif
Non-eterobactericeae Eterobactericeae
Uji Biokimia
Gambar 2 Diagram alur identifikasi bakteri gram negatif. (MRVP: Methyl Red-
Voges Proskauer). Uji Fermentasi Gula: glukosa, sukrosa, maltosa,
manitol, dan laktosa (Lay 1994).
Bakteri gram
positif
Kokus Basil
Uji Katalase
Berspora Tidak
Bacillus berspora
Katalase positif Katalase negatif
Micrococcaceae Streptococcace
ae
Zhiel Neelsen
Kuning Merah
(fermentasi) (non-fermentasi)
Staphylococcus Staphylococcus
patogen Non-patogen
Menggumpal Cair
Staphylococcus Staphylococcus
patogen Non-patogen
Koleksi Sampel
Koleksi sampel dilakukan secara aseptis dengan menggunakan cotton swab
steril. Permukaan mata yang akan diambil dibersihkan dengan kapas alkohol,
kemudian bagian eksudat pada mata di swab dengan cotton swab steril dan
dimasukkan ke dalam media transport NaCl 0.85%. Selanjutnya tabung yang berisi
sampel dimasukkan ke dalam cool box (Lay 1994).
Pengamatan Koloni
Koloni bakteri yang tumbuh pada agar BA dan MCA diamati secara
makroskopis dengan memperhatikan parameter ukuran, bentuk, permukaan, aspek,
tepi, elevasi, pigmentasi, hemolisis, dan sifat tembus cahaya (Lay 1994).
Pewarnaan Gram
Koloni bakteri selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan Gram untuk melihat
morfologi, sifat Gram, dan kemurnianya. Pewarnaan gram dilakukan secara steril
dengan menggunakan ose steril dan api bunsen. Gelas objek dibersihkan dengan
alkohol 70%, selanjutnya diteteskan akuades. Isolat bakteri diambil menggunakan
ose kemudian digoreskan pada gelas objek dan dicampurkan dengan akuades
dengan membuat goresan melingkar dari arah dalam ke luar. Selanjutnya preparat
difiksasi dengan cara dilewatkan di atas api bunsen. Preparat kemudian diwarnai
dengan kristal violet 1–2 tetes dan didiamkan selama 1 menit, selanjutnya dibilas
dengan akuades. Preparat kemudian ditambahkan larutan lugol 1–2 tetes dan
didiamkan selama 1 menit, selanjutnya dibilas dengan akuades. Preparat
selanjutnya ditambahkan alkohol 96% dan didiamkan selama 30 detik, selanjutnya
dibilas dengan akuades. Pewarnaan terakhir preparat diwarnai dengan safranin 1–2
tetes dan didiamkan selama 1 menit, selanjutnya dibilas dengan akuades. Preparat
dikeringkan dan diamati di bawah mikroskop total perbesaran 1000 kali dengan
menambahkan minyak emersi. Hasilnya bakteri Gram positif akan terlihat berwarna
ungu, sedangkan bakteri Gram negatif akan terlihat berwarna merah (Lay 1994).
Uji KOH 3%
Uji KOH 3% dilakukan dengan cara meneteskan larutan KOH 3% sebanyak
1–2 tetes ke atas gelas objek. Isolat bakteri pada agar miring diambil dengan ose
steril dan dicampurkan dengan KOH 3% sampai. Hasil uji bakteri Gram positif
tidak akan terbentuk lendir, sedangkan bakteri Gram negatif akan terbentuk lendir
(Lay 1994).
Uji Oksidasi
Uji oksidasi dilakukan dengan cara meneteskan reagen oksidasi pada gelas
kemudian ditempelkan kertas saring. Selanjutnya isolat bakteri diambil
menggunakan ose steril dan ditempelkan pada kertas saring. Pengamatan reaksi
dilakukan segera setelahnya (kurang dari 20 detik). Hasil positif akan menunjukkan
warna keunguan pada kertas saring (Lay 1994).
Uji Katalase
Uji katalase dilakukan dengan meneteskan H2O2 3% pada tabung reaksi
sebanyak, kemudian isolat bakteri yang dibiakkan pada agar miring diambil dengan
cotton swab steril dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi H2O2 3% .
Pengamat reaksi dilakukan segera dengan melihat gelembung udara yang terbentuk.
Hasil positif akan menunjukkan gelembung udara, sedangkan hasil negatif tidak
akan menunjukkan gelembung udara (Lay 1994).
Uji Sitrat
Media uji sitrat berbentuk solid dan berwarna hijau. Isolat bakteri diambil
menggunakan ose secara aseptis kemudian digoreskan pada media dengan goresan
berkelok. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 18–24 jam. Pengamatan
dilakukan dengan melihat perubahan warna pada media. Hasil positif akan
menunjukkan perubahan warna pada media menjadi biru, sedangkan hasil negatif
tidak akan menunjukan perubahan warna pada media (Lay 1994).
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koleksi Sampel
Sinyalemen
Jenis hewan : Ayam
Ras : Ayam Brahma
Jenis kelamin : Jantan
Umur : +/- 4 bulan
Warna : Hitam-putih dominan putih
Anamnesa
Ayam Bharma yang menjadi sampel merupakan ayam yang berasal dari
daerah Kediri. Menurut keterangan penjual ayam Brahma ini datang seminggu yang
lalu pada (1 November 2023 tanggal kedatangan ayam; 7 November 2023 sampel
diambil). Sejak datang ayam sudah terlihat lemas dan tidak mau makan.
Temuan Klinis
Bulu ayam terlihat kusam, lembab, dan bulu terbalik (Gambar 5A). Mata
kiri bengkak disertai eksudat (Gambar 5B). Permukaan anus kotor dan terdapat
bekas ekskreta (Gambar 5C).
A B C
Gambar 5 Temuan klinis, A= bulu ayam kusam, B= mata kiri bengkak disertai
eksudat, C= permukaan anus terdapat sisa ekskreta.
Gambar 6 Pertumbuhan koloni bakteri pada media MCA. Bakteri terpisah (tanda
panah) disubkultur pada TSA.
Koloni terpisah pada media MCA selanjutnya disubkultur pada media TSA.
TSA berfungsi sebagai salah satu media yang umum digunakan untuk mengisolasi
mikroorganisme dalam kultur murni (Dwidjoseputro 1994). Bakteri murni hasil
subkultur pada TSA selanjutnya dilakukan pewarnaan Gram untuk melihat bentuk,
susunan dan sifat Gram. Hasilnya menunjukkan bakteri yang dihasilkan merupakan
bakteri Gram negatif dengan hasil pewarnaan berwarna merah dan berbentuk
monobasil yang termasuk (Gambar 8).
Tabel 1 Hasil pengamatan morfologi koloni bakteri Gram negatif pada media MCA
dan BA
Parameter MCA BA
Ukuran koloni Kecil Kecil
Bentuk koloni Bulat Bulat
Permukaan koloni Halus Halus
Aspek koloni Mengkilat Mengkilat
Tepi koloni Rata Rata
Elevasi Timbul Timbul
Pigmentasi Merah jambu Putih-kecoklatan
Sifat tembus cahaya Opaque Opaque
Sifat hemolisis - Α-hemolisis
Hasil Uji KOH 3% terbentuk lendir, sehingga bakteri yang diuji termasuk
ke dalam bakteri Gram negatif. Lendir terbentuk dari reaksi KOH 3% dengan
dinding sel bakteri, pada bakteri gram negatif memiliki lapisan lipid yang tebal dan
dinding sel yang tipis sehingga dapat dirusak oleh KOH 3%. Sel kemudian lisis dan
terbentuk lendir (Gambar 9).
Gambar 10 Hasil uji oksidasi dan uji katalase. (A) Uji oksidasi negatif ditandai
dengan tidak terjadi perubahan warna pada kertas saring. (B) Uji
katalase positif ditandai dengan terbentuk gelembung udara (tanda
panah).
Identifikasi bakteri dilanjutkan dengan uji biokimia yang terdiri atas uji
TSIA, indol, motilitas, sitrat, urea, uji MR-VP, dan uji fermentasi karbohidrat. Hasil
uji biokimia pada TSIA menunjukan hasil acid positif ditandai dengan warna
kekuningan pada bagian butt dan slant, terbentuk gas, dan tidak terbentuk endapan
hitam H2S (Gambar 11A). Hasil uji indole menghasilkan hasil positif yang
ditunjukan dengan adanya cincin merah dan pergerakan bakteri yang terlihat pada
pertumbuhan koloni di sekitar tusukan dan permukaan media (Gambar 11B). Hasil
uji sitrat dan urea dinyatakan negatif ditandai dengan tidak ada perubahan warna
pada media (Gambar 11C dan 11D). Bakteri E. coli tidak menggunakan sitrat
sebagai sumber karbon dan tidak mengubah urea menjadi amoniak sehingga akan
menunjukan hasil negatif pada uji sitrat dan urea (Barrow dan Feltham 2003). Hasil
uji MR positif dan hasil negatif pada uji VP (Gambar 11E dan 11F). Uji VP negatif
karena E.coli dapat memfermentasikan karbohidrat menjadi produk asam dan tidak
menghasilkan produk netral seperti asetonin (Rahayu dan Gumilar 2017).
Hasil uji fermentasi karbohidrat menunjukkan hasil bahwa bakteri dapat
memfermentasikan maltosa, manitol, glukosa, sukrosa dan laktosa. Hal ini
ditunjukkan dengan terbentuknya asam yang ditandai dengan perubahan warna
media menjadi kuning dan pembentukan gas (Gambar 12). Hasil ini menunjukkan
bahwa bakteri ini mampu memfermentasi karbohidrat.
A B C D E F
Gambar 11 Hasil uji kimia, (A) TSIA, (B) indol, (C) sitrat, (D) urea. (E) MR, (F)
VP.
Berdasarkan hasil uji biokimia yang tertera pada Tabel 2 sampel discharge
mata ayam mengarah pada bakteri E. coli. Hasil pengamatan yang didapat juga
sesuai dengan karakteristik yang disampaikan (Barrow dan Feltham 2003). Bakteri
E.coli khususnya avian pathogenic Escherichia coli (APEC) dapat menyebabkan
infeksi yang bersifat lokal dan sistemik pada ayam, kalkun, bebek dan spesies
burung lainnya (Dho dan Fairbrother 1999). Bakteri APEC menyebabkan penyakit
avian colibacillosis yang dapat merugikan sektor peternakan unggas. Gejala klinis
yang dapat teramati pada ayam yang terinfeksi colibacillosis adalah depresi,
anoreksia, bulu-bulu kasar, sayap menggantung dan kelemahan umum (Wibowo
dan Wahyuni 2008). Gejala klinis ini sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik pada
ayam Brahma yang menjadi sampel (Gambar 5).
Hasil identifikasi E. coli melalui uji biokimia dapat dikonfirmasi lebih lanjut
menggunakan deteksi molekular dengan transcription-polymerase chain reaction
(PCR). Deteksi molekular dimulai dengan mengekstraksi ribonucleic acid (RNA)
dengan cara rapid boiling. Metode ekstraksi rapid boiling merupakan metode
pemanasan yang dapat mengekstraksi DNA bakteri pada suhu tertentu dengan
mudah dan cepat (Adhyatma et al. 2020). Selanjutnya DNA yang didapatkan diuji
dengan PCR. Berdasarkan prosedur MyTaqTM HS Red Mix satu kali reaksi
membutuhkan template sebanyak 200 ng, primer (20 M) sebanyak 1 L, MyTaq
HS Red Mix 2× sebanyak 25 uL dan ditambahkan dH2O sampai volume menjadi
50 L. Primer yang digunakan adalah E. coli spesific universal stress protein A
(uspA) dengan panjang amplifikasi 884 bp. Proses amplifikasi dilakukan
menggunakan Thermal cycler yang terdiri dari tahap: (i) pre-denaturasi 1× (95 °C,
15 menit), (ii) siklus PCR 30× (95°C, 15 detik; 58°C, 30 detik; 72°C, 1 menit), (iii)
ektensi 1× (72°C, 10 menit; 12°C, 10 menit). Hasil PCR kemudian divisualisasi
dengan elektroforesis menggunakan agarose 1% dalam 1× TAE buffer. Selanjutnya
diamati menggunakan UV transluminator.
Tabel 2 Hasil Uji Biokimia pada Sampel Eye Discharge Mata Ayam Brahma
Media Hasil uji dari bakteri yang diisolasi
dari sampel eye discharge mata ayam
brahma
Oksidase -
Katalase +
Motility +
Sitrat -
Urea -
MR +
VP -
Keterangan: Hasil uji biokimia dari bakteri yang diisolasi dari sampel eye discharge mata ayam. (1)
Oksidase negatif; (2) Katalase positif; (3) TSIA 𝐴⁄𝐴, H2S negatif, gas positif; (4) Indol
positif, adanya bentukan cincin merah pada media; (5) Motilitas positif, kekaburan atau
pertumbuhan pada sekitar area tusukan; (6) Sitrat negatif, tidak terjadi perubahan warna
pada media; (7) Urease negatif, tidak terjadi perubahan warna pada media; (8) MR
positif, perubahan warna pada larutan media; (9) VP negatif, tidak terjadi perubahan
warna pada media.
DAFTAR PUSTAKA
Microsporum gypseum
Disusun oleh:
Aqila Tsabita B9404231028
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui informasi lebih mendalam terkait
Microsporum gypseum sebagai salah satu jamur yang dapat menyebabkan
penyakit kulit berupa ringworm pada hewan dan juga manusia.
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Epidemiologi
Tidak banyak informasi yang diketahui terkait epidemiologi infeksi
Microsporum gypseum. Berdasarkan penelitian oleh Moriello et al. (2020), dari 3
shelter kucing yang dilakukan pengujian terhadap dermatofitosis hanya 4 kucing
yang terinfeksi oleh Microsporum gypseum. Sedangkan berdasarkan penelitian
oleh Putriningsih dan Arjentinia (2018), diketahui infeksi M. gypseum pada sapi
bali mencapai 75% dari fungi dermatofita yang diisolasi dan diidentifikasi, akan
tetapi pada penelitian ini hanya digunakan 8 ekor sapi, sehingga hasil yang
didapat kemungkina tidak mewakili seluruh populasi.
2.4 Diagonis
2.4.1 Pengamatan Langsung
Salah satu teknik diagnosis untuk mengkonfirmasi keberadaan infeksi
dermatofita adalah dengan melakukan pengamatan langsung pada lesio di rambut
dan kulit. Teknik ini dilakukan dengan pengamatan menggunakan mikroskop
terhadap adanya hifa ataupun spora. Sampel rambut atau kulit diletakkan pada
objek glass dan diteteskan dengan mineral oil, senyawa klorofenol ataupun
potassium hidroksida (KOH) dengan konsentrasi yang bervariasi (Moriello et al.
2017). Sedangkan, berdasarkan Shalaby et al. (2016), digunakan larutan KOH
10% dan dicampurkan dengan Dimethyle sulphoxide (DMSO) 40% dengan
perbandingan 1:1. Sampel dibiarkan 5-8 menit. DMSO berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas dan dapat melembutkan keratin lebih cepat
dibandingkan dengan penggunaan KOH tunggal.
Selain dengan pemeriksaan langsung menggunakan mikroskop, diagnosis
ringworm di klinik umumnya dilakukan dengan menggunakan woodlamp, dimana
hasil positif akan menunjukkan adanya fluorescence. Berdasarkan Moriello et al.
(2017), dermatofita yang memproduksi fluorescence adalah anggota dari genus
Microsporum, akan tetapi berdasarkan laporan klinis M. gypseum dan M.
persicolor pada anjing dan kucing tidak menunjukkan adanya fluorescence.
2.4.2 Kultur Fungi
Kultur terhadap fungi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk
mengidentifikasi secara akurat terhadap agen penyebab ringworm (Nardoni et al.
2013).
Koleksi sampel
Koleksi sampel untuk diagnosis fungi sangat bervariasi, yakni dapat
dilakukan dengan pengambilan/pencabutan rambut (hair pluck) dari pinggiran
lesio, kerokan kulit (skin scraping) dari daerah kulit terinfeksi dengan
menggunakan scalpel hingga lapisan epidermis kulit terambil (Indrawati et al.
2018), skin tape sampling dengan cara menempelkan tape pada lesio lalu
ditempelkan pada permukaan plate untuk kultur, dan juga dengan MacKenzie
brush technique. Teknik ini umumnya dilakukan dengan melakukan sekitar 20
kali sapuan, atau selama 2-3 menit hingga sikat penuh dengan ramut. Penting
untuk menggunakan sikat gigi berbulu lembut untuk menghindari pengambilan
sampel yang traumatis pada telinga dan wajah hewan (Moriello et al. 2017).
Media kultur fungi
Media kultur fungi sangat beragam. Dermatophyte Test Medium (DTM)
merupakan media pertumbuhan jamur dermatophyta mengandung nutrisi dengan
antibiotik untuk menekan pertumbuhan berlebih bakteri dan jamur kontaminan
dan indikator warna untuk membantu identifikasi awal terhadap kemungkinan
spesies dermatofit. Perubahan warna media dari kuning menjadi merah
disebabkan oleh perubahan pH yang dipicu oleh pertumbuhan jamur (Moriello et
al. 2017). Selain itu berdasarkan Shalaby et al. (2016), dapat juga digunakan
media Sabouraud Dextrose Agar (SDA), dan Dermasel agar base, yang keduanya
diberikan suplementasi berupa chloramphenicol dan cycloheximide.
Chloramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Sedangkan,
cycloheximide digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur yang tidak
diinginkan.
Prosedur kultur fungi
Sampel diinokulasi di atas media kultur fungi, diinkubasi secara aerobik
pada suhu ruang (sekitar 25°C) hingga 4 minggu. Jika terdapat pertumbuhan
fungi, maka hasil kultur diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis mencakup warna (bagian depan dan belakang),
topografi, dan teksur. Sedangkan pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan
menggunakan mikroskop untuk identifikasi spesies dengan melihat karakteristik
conidia dan hifa fungi. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan menggunakan
tape berukuran kecil lalu ditempelkam secara perlahan ke permukaan koloni fungi
yang tumbuh, selanjutnya tape diletakkan di atas kaca objek yang telah diberikan
1 tetes zat pewarna methylene blue, lalu dilakukan pengamatan dengan
pembesaran objektif 10x hingga 40x. Berdasarkan Mihali et al. (2011), morfologi
mikroskopis dari Microsporum gypseum terlihat adanya hifa yang bersepta,
makrokonidia, dan mikrokonidia. Jika setelah 4 minggu tidak terlihat adanya
pertumbuhan fungi, maka hasil kultur dianggap negatif (Shalaby et al. 2016).
•
•
•
⚬
⚬
⚬
⚬
•
⚬
•
•
•
•
•
⚬
⚬
•
•
•
•
⚬
⚬
⚬
⚬
•
•
•
•
⚬
⚬
⚬
⚬
⚬
⚬
⚬ 40 mg/kg po. s.i.d)
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Disusun oleh:
Dea Khalissa Anidya B9404231069
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan bertujuan meneguhkan diagnosis penyakit akibat bakteri pada
ayam hias.
II METODE
2.2.2 Sinyalemen
Jenis Hewan : Ayam
Ras : Brahman
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 4 bulan
Gejala : discharge pada mata
Sampel : discharge mata
(A) (B)
Gambar 1. A) Kondisi mata ayam; B) Discharge pada mata
TSA Miring
Pewarnaan Gram KOH 3%
Pewarnaan Gram
Gram Positif Gram Negatif
Uji Biokimia
2.2.5 Kultur Bakteri pada Media Blood Agar (BA) dan MacConkey Agar (MCA)
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyeprotkan alkohol terlebih dahulu
ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga membara untuk
mensterilkan ose, ditunggu beberapa saat hingga ose diperkirakan tidak terlalu panas.
Sampel kemudian di ambil dan di torehkan ke BA dengan memanaskan pinggiran plate
agar untuk mecegah kontaminasi bakteri dari luar. Penutup plate dibuka namun tidak
terlalu besar kemudian discharge diambil menggunakan ose dan ditorehkan ke plate
agar dengan metode T streak plate (Gambar 3). Kultur pada media MCA dilakukan
dengan hal yang sama. Media diinkubasi selama 24–48 jam dalam suhu 37 o C.
Gambar 3. T streak plate method
2.2.6 Subkultur Bakteri pada Media Tryptic Soy Agar (TSA) Miring
Biakkan yang telah tumbuh diambil menggunakan ose bulat steril. Sebelumnya
pinggiran plate dipanaskan dengan bunsen kemudian dibuka sedikit untuk diambil
biakkan yang telah tumbuh. Biakkan ditorehkan ke TSA secara zigzag dengan mulut
tabung TSA berada didekat bunsen kemudian tutup tabung dengan kapas. Agar
diinkubasi selama 24 jam dalam suhu 37 oC.
A B
Gambar 4. A) MacConkey agar setelah dikultur bakteri; B) Blood agar setelah dikultur
bakteri
Koloni yang digunakan dalam laporan ini adalah koloni yang tumbuh dalam media
blood agar serta yang terpisah pada kuadran 3. Koloni tersebut selanjutnya disubkultur ke
dalam media Tryptic Soy Agar (TSA) miring yang berfungsi untuk membiakkan 1 jenis bakteri
untuk menghasilkan koloni homogen dan murni (Gambar 5A). Hasil subkultur dapat diketahui
homogenitasnya serta jenisnya melalui pewarnaan bakteri Gram. Warna ungu menunjukkan
bakteri Gram positif sedangkan warna merah menunjukkan bakteri Gram negatif. Selain jenis
Gram bakteri yang dapat diketahui, bentuk dan bakteri juga dapat terlihat dari hasil pewarnaan
Gram (Gambar 5B). Konsep pewarnaan bakteri Gram adalah kemampuan dinding sel pada
bakteri dalam mempertahankan kristal violet. Warna ungu yang terbentuk pada bakteri Gram
positif disebabkan karena bakteri Gram positif memilliki lapisan peptidoglikan yang lebih tebal
pada dinding sel sehingga kristal violet dapat tertahan dengan baik. Sedangkan bakteri Gram
negatif memiliki warna merah dikarenakan tipisnya dinding peptidoglikan serta tebalnya
lapisan lipid pada dinding sel bakteri. Sehingga ketika dilakukan penetesan dengan aseton
alkohol, warna kristal violet akan luntur sehingga bakteri Gram negatif hanya dapat mengikat
warna merah dari pewana fuksin (Tripathi dan Sapra 2023).
Subkultur yang tumbuh dalam media TSA diambil untuk dilakukan uji dengan
mencampurkan bakteri dengan larutan KOH 3%. Uji ini dilakukan setelah pewarnaan bakteri
Gram guna meneguhkan jenis bakteri (Gambar 5C), dengan 2 hasil yakni terbentuknya lendir
yang menunjukkan bahwa bakteri merupakan Gram negatif atau tidak terbentuk lendir yang
menunjukkan bahwa bakteri merupakan Gram positif. Munculnya lendir dari campuran KOH
3% dengan bakteri disebabkan dari luruhnya lapisan lipid pada dinding bakteri Gram negatif.
Lapisan lipid pada bakteri Gram negatif merupakan lapisan utama penyusun dinding bakteri,
berbanding terbalik dengan bakteri Gram positif yang tersusun oleh lapisan peptidoglikan
sebagai lapisan utamanya. KOH 3% akan meluruhkan lapisan lipid sehingga struktur dinding
sel bakteri akan hancur dan material genetik di dalam bakteri seperti DNA akan keluar. Lendir
yang terlihat dari reaksi tersebut merupakan struktur DNA yang memiliki konsistensi seperti
mukus (Hardiansyah et al. 2020).
A B C
Gambar 5. Hasil subkultur dan uji subkultur. A.) Subkultur pada media TSA miring; B.) Hasil
pewarnaan Gram Negatif; C.) Uji KOH 3%.
Hasil subkultur menunjukkan bakteri memiliki warna merah serta menghasilkan lendir
dari reaksinya terhadap KOH 3% yang dapat disimpulkan bahwa bakteri merupakan bakteri
Gram negatif. Bentuk bakteri terlihat sangat kecil sehingga cukup sulit untuk mengidentifikasi
bentuknya, beberapa bentuk yang bisa disimpulkan dari pengamatan mikroskopis yaitu bakteri
berbentuk coccus dengan susunan diplococcus. Beberapa bakteri Gram negatif dengan bentuk
coccus diantaranya adalah Neisseria dan Veillonella serta spesies Moraxella catarrhalis (Tille
2014). Kemudian dilakukan uji biokimia untuk mengidentifikasi sifat fisiologis bakteri biakan
murni. Proses biokimia erat kaitannya dengan metabolisme sel, yakni selama reaksi kimiawi
yang dilakukan oleh sel yang menghasilkan energi maupun yang menggunakan energi untuk
sintesis komponen-komponen sel dan untuk kegiatan seluler, seperti pergerakan (Rahayu dan
Gumilar 2017).
Uji indol dan motilitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam
mendegradasi asam amino triptopan menjadi asam piruvik, amonia, dan indol. Deteksi
keberadaan indol dilakukan dengan meneteskan larutan kovac ke media dengan reaksi positif
yang merubah warna agar menjadi ungu kebiruan. Motilitas bakteri juga akan terlihat dari ada
atau tidaknya cabang-cabang di sekitar area penusukan pada media, adanya cabang
menunjukkan bahwa bakteri merupakan bakteri motil yang memiliki alat gerak. Hasil yang
terlihat menunjukkan reaksi negatif bakteri terhadap uji indol dan motilitas (Tille 2014).
Uji methyl red dapat mengidentifikasi bakteri yang mampu mengubah glukosa menjadi
asam laktik, asam asetik, atau asam formik sebagai end product. Reagen methyl red sendiri
merupakan indikator pH yang akan tetap berwarna merah apabila bakteri memiliki pH 4,4 atau
kurang dan bakteri ini menunjukkan hasil yang positif. Uji voges proskauer digunakan untuk
mendeteksi asetonin pada bakteri dan uji menunjukkan hasil yang negatif tanpa perubahan
warna (Rahayu dan Gumilar 2017). Kemampuan bakteri dalam memfermentasi karbohidrat
dapat diketahui melalui uji gula-gula. Perubahan warna yang menandakan reaksi positif
menunjukkan bahwa bakteri dapat membentuk asam dari fermentasi glukosa, sukrosa,laktosa,
maltosa, dan manitol. Biakkan bakteri hanya menunjukkan hasil positif pada fermentasi
glukosa sedangkan dubius pada keempat uji gula lainnya (Panjaitan et al. 2020).
Makhluk hidup membutuhkan karbon untuk hidup. Molekul karbon yang bakteri
hasilkan dapat berasal dari berbagai hal yang menjadi pembeda dari tiap spesies bakteri.
Beberapa bakteri menggunakan sitrat untuk menghasilkan karbon dan akan mengubah media
menjadi warna biru. Karbon akan menaikkan pH yang merupakan penyebab perubahan warna
pada media. Beberapa bakteri seperti E. coli akan menunjukkan hasil negatif dalam uji sitrat.
Berdasarkan uji ini, bakteri yang diuji menunjukkan hasil negatif namun E. coli bukan
merupakan bakteri acuan untuk bakteri uji mengingat bentuk E. coli adalah basil (Rahayu dan
Gumilar 2017).
Uji oksidase dilakukan untuk mengetahui adanya partisipasi oksidase sitokrom pada
transport elektron bakteri dan pathmays metabolik nitrat pada bakteri. Gram negatif basil akan
menunjukkan hasil negatif namun ada beberapa Gram negatif yang juga menghasilkan reaksi
positif pada uji ini. Bakteri Neisseria sp. juga akan menunjukkan reaksi positif dalam uji ini.
Hasil yang didapat pada bakteri uji adalah negatif (Tille 2014).
Enzim katalase akan mengkatalisis dalam penguraian hidrogen peroksida (H 2O 2)
yang berbahaya menjadi air dan oksigen sehingga tidak menyebabkan bahaya bagi
organisme. Hidrogen peroksida terbentuk dalam metabolisme aerob, sehingga organisme
yang berhabitat pada lingkungan aerob mampu memecahkan senyawa tersebut. Bakteri yang
memiliki enzim katalase diindikasikan dengan terbentuknya gelembung pada media yang
disebabkan adanya gas oksigen dari penguraian H 2O2. Uji katalase menghasilkan reaksi
positif oleh bakteri ini (Panjaitan et al. 2020).
Uji urease digunakan untuk melihat bakteri mampu menghasilkan enzim urease.
Beberapa mikroorganisme mampu menghasilkan enzim urease yang menguraikan
mikromolekul urea (NH2)2CO) menjadi karbondioksida (CO2) dan amonia (NH3). Urea
menjadi amonium dan CO2 sehingga menyebabkan pH media menjadi basa dan akan terjadi
perubahan media dari jingga menjadi merah muda. Bakteri menunjukkan reaksi positif pada
uji urea (Dewi et al. 2017).
TSI adalah media yang mengandung laktosa, glukosa, sodium tiosulfat, digunakan
untuk menguji sifat sel yang mampu memproduksi H2S dan menggunakan sumber gula lactose
dan glukosa saja serta dapat menghasilkan asam jika menjadi kuning dan basa jika merah.
Hasil reaksi menunjukkan warna hitam pada media dengan warna butt berwarna kuning
sebelum 24 jam. Setelah didiamkan selama 24 jam media berubah seluruhnya menjadi warna
hitam (Zulkifli et al. 2016).
A B C D E F
G H I J K
Gambar 6. Hasi uji biokimia. A) Indol; B) MR-VP; C-G) Fermentasi karbohidrat; H) Sitrat; I)
Oksidase; J) Urea; K) TSI
Hasil uji biokimia dari biakkan bakteri dibandingkan dengan bakteri Gram negatif
coccus yang sejauh ini sudah diketahui (Tabel 2), namun hasil belum sepenhnya cocok dengan
studi literatur mengenai bakteri-bakteri yang telah diketahui. Uji indol motilitas, MR-VP,
sitrat, urea, serta TSI hingga saat ini masih belum ditemukan pembahasannya terhadap bakteri
Neisseria sp., hal ini dapat disebabkan karena umumnya uji biokimia pada bakteri Gram
negatif dilakukan untuk bakteri berbentuk basil. Terdapat beberapa uji spesifik yang dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi Neisseria sp. diantaranya adalah dengan mengkultur biakkan
ke dalam Chocolate Agar yang diperkaya dengan suplemen, antibiotik colistin, nisatin, dan
vankomisin. Media tersebut dinamakan Thayer-Martin Agar, penambahan colistin berfungsi
untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif basil, mencegah pertumbuhan jamur
dari nisatin, dan mencegah pertumbuhan Proteus spp. Beberapa media serupa yang dapat
digunakan diantaranya media Matin-Lewis, media GC-LECT, dan media New York City.
Media tersebut harus diinkubasi dalam suhu 35-37 oC selama 3 hari di ruangan kaya
karbondioksida dengan kelembaban tinggi (Tille 2014).
Tabel 2. Perbandingan hasil uji biokimia bakteri Gram negatif (Tille 2014).
Fermentasi Karbohidrat
Bakteri IM MR/VP C O K U TSI
G S L Ml Mn
Isolat discharge mata + K or A/A
-/- +/- D D D D - - + +
ayam (G) with H2S
Neisseria cinerea * * - - - - * * + + * *
Neisseria elongata * * - - - - * * + + * *
Neisseria flavescens * * - - - - * * + + * *
Neisseria gonorrhoeae * * + - - - * * + + * No H2S
Neisseria lactamica * * + - + + * * + + * *
Neisseria meningitidis * * + - - + * * + + * *
Neisseria mucosa * * + + - + * * + + * *
Neisseria subflava * * + D - + * * + + * *
Vellionella spp. * * - - - + * * D ? * *
Moraxella catarrhalis * * + - - - * * + + * *
Ket: IM = Indole Motility; MR/VP = Methyl Red/Voges-Proskauer; G = Glukosa; S = Sukrosa;
L = Laktosa; Mn = Manitol; M; = Maltosa; C = Sitrat; O = Oksidase; K = Katalase; U =
Urea; TSI = Triple Sugar Iron; * = uji belum tercatat pernah dilakukan.
IV SIMPULAN
Berdasarkan rangkaian uji yang dilakukan hingga uji biokimia bakteri, bakteri
merupakan golonga bakteri Gram negatif berbentuk coccus dengan susun diplo. Bakteri masih
belum dapat disimpulkan genusnya secara spesifik dikarenakan beberapa uji biokimia yang
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif diplococcus tidak secara akurat memiliki kemiripan
hasil. Uji spesifik menggunakan media chocolate agar seharusnya dilakukan untuk
mengetahui genus bakteri.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, A. K., Meylina, L., & Rusli, R. (2017). Isolasi bakteri dari tanah mangrove Rhizopora
sp. di Kota Bontang. Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences.
5(1):59-68.
Hardiansyah MY, Musa Y, Jaya AM. 2020. Identification of plant growth promoting
rhizobacteria from thorny bamboo rhizosphere with 3% KOH Gram test dan Gram
staining test. International Journal of Applied Biology. 4(2)7-18.
Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Maulana SA, Tosida T. 2023. Sistem diagnosa penyakit bakteri ayam ternak menggunakan
Metode Dempster Shafer. Jurnal Inovasi Teknologi dan Komputer. 1(1):6-10.
Panjaitan FJ, Bachtiar T, Arsyad I, Lele OK, Indriyani. 2020. Karakterisasi mikroskopis dan
uji biokimia bakteri pelarut fosfat dari rhizosfer tanaman jagung fase vegetatif. Jurnal
Ilmu Pertanian dan Lingkungan. 1(1):9-18.
Rahayu SA, Gumilar MH. 2017. Uji cemaran air minum masyarakat sekitar Margahayu Raya
Bandung dengan identifikasi bakteri Escherichia coli. Indonesian Journal of
Pharmaceutical Science and Technology. 4(2):50-56.
Tille PM. 2014. Diagnostic Microbiology 13 th Edition. Missouri (AS): Elsevier.
Tripathi N, Sapra A. 2023. Gram Staining. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Zulkifli L, Jekti DSD, Mahrus, Lestari N, Rasmi DAC. 2016. Isolasi bakteri endofit dari sea
grass yang tumbuh di kawasan Pantai Lombok dan potesinya sebagai sumber
antimikroba terhadap bakteri patogen. Jurnal Bilogi Tropis. 16(2):80-93.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Disusun oleh:
Farradiba Shafa Aqila B9404231046
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
Anjing Ajo merupakan salah satu anjing RSHP IPB University yang dilaporkan
mengalami diare pada tanggal 7 November 2023. Frekuensi diare Ajo pada hari kedua semakin
sering dengan konsistensi feses cair berwarna coklat, juga disertai muntah. Ajo pada saat kecil
memiliki masalah kulit dan sensitif terhadap pergantian pakan. Sebelum diare, Ajo diberikan
pakan Royal Canin Skin Care yang sudah expired. Ajo sempat di treatment dengan pemberian
curcuma. Riwayat vaskinasi lengkap, rutin pemberian obat cacing dan tetes kutu, serta sudah
di kastrasi satu bulan yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik secara inspeksi anjing Ajo tidak memiliki kelainan pada cara
berjalan, kondisi kulit tidak ditemukan lesi, kondisi kaki normal, aktif serta nafsu makan dan
minum baik. Adapun lesi yang ditemukan yaitu pada bagian anus terlihat berwarna merah
keunguan, basah, dan berlendir (Gambar 2).
A B C
Gambar 2 Kondisi diare Ajo (a), Kondisi feses Ajo cair berwarna coklat (b), Kondisi anus
Ajo (c)
Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik, dapat disimpulkan bahwa
anjing Ajo didiagnosis gastroenteritis karena keracunan pakan dengan prognosis fausta.
III METODE
Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel dilakukan pada 8 November 2023 di kandang anjing non infeksius
Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP) IPB University. Pengujian dilakukan selama 5 hari
dari 8 November 2023 – 12 November 2023 di Laboratorium Mikrobiologi, Rumah Sakit
Hewan Pendidikan (RSHP), Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB University.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada rangkaian pengambilan sampel yaitu cotton swab
steril, media transport Buffer Peptone Water (BPW), tabung reaksi tertutup, ice pack, cool box,
gloves, plastik. Alat yang digunakan pada rangkaian pengujian yaitu ose, bunsen, korek, cawan
petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, object glass, pipet, inkubator, dan mikroskop cahaya.
Bahan yang digunakan pada rangkaian pengujian yaitu sampel bakteri, media Blood Agar
(BA), Mac Conkey Agar (MCA), Tryptic Soy Agar (TSA), aquades, kapas, kristal violet, lugol,
aceton alkohol, safranin, KOH 3%, reagen H2O2 , reagen oksidase, media uji fermentasi
karbohidrat glukosa, sukrosa, laktosa, maltosa, manitol, media uji Triple Sugar Iron Agar
(TSIA), media uji sitrat, media uji hidrolisis urea, media uji indol, media uji Methyl Red Voges
Proukaver (MRVP), reagen Erhlich, reagen α-naphtol, KOH 40%, minyak emersi, alkohol
70%, alkohol 96%.
Koleksi Sampel
Sampel yang dikoleksi berupa swab anus. Cotton swab steril, media transport BPW,
dan label disiapkan. Hewan di handling kemudian cotton swab steril dimasukkan ke dalam
anus lalu langsung dimasukkan ke dalam media transport Buffer Peptone Water (BPW).
Tabung media transport diberi label yang berisi tanggal pengambilan sampel, nama hewan, dan
rute pengambilan sampel.
Diagram Prosedur Pengujian
Sampel
Kokus/kokobasil/basil
Uji Oksidase
Positif Negatif
(Non-enterobactericeae) (Enterobactericeae)
Uji Biokimia
Uji Sitrat
Subkultur bakteri yang terdapat pada media TSA dan media uji sitrat disiapkan. Ose
dipijarkan diatas bunsen lalu koloni biakan bakteri pada media TSA diambil satu mata ose
kemudian goreskan dengan pola zig-zag pada permukaan media sitrat secara aseptis. Hasil
positif dapat dilihat dari perubahan media berwarna biru, sedangkan hasil negatif media tetap
berwarna hijau.
Hasil kultur bakteri pada media Mac Conkey Agar (MCA), terlihat koloni bakteri
tumbuh dengan ukuran kecil, berbentuk bulat sempurna, berwarna merah jambu mengkilat
(Gambar 5). Media MCA merupakan media selektif dan deferensial yang digunakan untuk
mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri Gram negatif serta mampu membedakan bakteri
Gram negatif yang dapat memfermentasi laktosa dan non fermentasi laktosa. Media ini
mengandung garam empedu dan kristal violet yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
gram positif (Toruan et al. 2023). Koloni bakteri yang tumbuh pada media MCA berwarna
pink atau merah menandakan bakteri tersebut termasuk ke dalam bakteri yang dapat
menfermentasi laktosa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Maza et al. (2020) bahwa koloni
bakteri yang dapat memfermentasi laktosa akan ditandai dengan warna pink dan dikelilingi
warna pink yang lebih tua disekitar koloni akibat terjadinya pengendapan garam empedu.
Kelompok bakteri yang dapat memfermentasi laktosa pada media MCA yaitu Citrobacter spp.,
Enterobacter spp., Escherichia coli, Klebsiella spp., Plesiomonas shigelloides, Serratia spp.
(Tille 2014).
Gambar 5 Pertumbuhan koloni bakteri pada media Mac Conkey Agar (MCA), dan koloni
bakteri yang diambil untuk subkultur pada media Tryptic Soy Agar (TSA) (ditunjuk panah)
Koloni bakteri yang tumbuh pada media MCA, kemudian dilakukan subkultur pada
media Tryptic Soy Agar (TSA). Media TSA merupakan media non-selektif yang digunakan
untuk menumbuhkan berbagai jenis mikroorganisme. Media TSA mengandung pepton dari
kasein, soy meal, sodium chloride, dan agar yang dapat memberikan nutrisi untuk pertumbuhan
bakteri (Zulkifli et al. 2018). Hasil yang diperoleh koloni bakteri yang tumbuh pada media
TSA berwarna putih pucat (Gambar 6).
Gambar 6 Pertumbuhan koloni bakteri pada media Tryptic Soy Agar (TSA)
Koloni bakteri yang tumbuh pada media TSA selanjutnya dilakukan pewarnaan Gram
untuk melihat morfologi bakteri, kemurnian bakteri, dan menentukan kelompok bakteri Gram
negatif atau Gram positif. Bakteri Gram positif akan berwarna ungu sedangkan bakteri Gram
negatif akan berwarna pucat, tidak berwarna, ataupun merah (Hayati et al. 2019). Berdasarkan
hasil pewarnaan Gram pada koloni bakteri, terlihat warna koloni berwarna merah
mengindikasikan bahwa koloni bakteri tersebut termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram
negatif. Perbedaan warna pada kelompok Gram bakteri dapat dipengaruhi oleh kandungan
dinding sel bakteri. Bakteri Gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang lebih tebal
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif sehingga zat warna akan lebih lama bertahan pada
bakteri Gram positif yang memiliki dinding sel tebal (Dewi 2013). Adapun morfologi bakteri
yang terlihat yaitu memiliki bentuk batang pendek atau basil bergerombol (Gambar 7). Koloni
bakteri diyakini merupakan koloni murni karena memiliki morfologi yang sama. Sesuai dengan
pernyataan Restuati dan Gultom (2012), bahwa koloni murni merupakan koloni yang memiliki
morfologi yang sama artinya berasal dari satu pembelahan sel yang sama.
Gambar 7 Pewarnaan gram pada koloni bakteri yang tumbuh pada media TSA yang berasal
dari media Mac Conkey Agar (MCA)
Isolat bakteri yang telah murni pada media TSA, kemudian diuji dengan uji primer
yang terdiri dari uji KOH 3%, uji katalase, dan uji oksidase serta uji biokimia untuk
menentukan genus ataupun spesies bakteri dari isolat uji. Uji biokimia didasarkan pada
barbagai hasil metabolism yang disebabkan oleh daya kerja enzim suatu bakteri (Bibiana
1994). Uji biokimia terdiri dari uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA), uji indol, uji sitrat, uji
hidrolisis urea, uji Methyl Red Voges Prokauer (MR-VP), dan fermentasi karbohidrat. Hasil
uji primer dan uji biokimia pada isolat uji serta perbandingan hasil uji primer dan uji bikomia
dengan beberapa spesies bakteri yang memiliki hasil uji cenderung sama disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2 Hasil uji biokimia isolat uji dan beberapa spesies bakteri family Enterobacteroceae
(Barrow dan Feltham 2003)
Species Bakteri
Uji Isolat Escherichia Escherichia Escherichia Klebsiella Klebsiella Enterobacter Enterobacter
uji coli fergusoni vulneris oxytoca pneumoniae cloaca aerogenes
KOH + + + + + + + +
3%
Katalase + + + + + + + +
Oksidase - - - - - - - -
TSIA A/A A/A A/A A/A A/A A/A A/A A/A
+ Gas + Gas + Gas + Gas + Gas + Gas + Gas + Gas
- H 2s - H2s - H2s - H2s - H2s - H 2s - H2s - H2s
Motilitas - +/- + + - - +/- +
Indol - + +/- - - - - -
Urea - - - - + + +/- -
Sitrat - - +/- - + + + +
MR + + + + +/- +/- +/- +/-
VP - - - - +/- - +/- +/-
Glukosa + + + + + +/- + +
Sukrosa - +/- - - + +/- + +
Laktosa + +/- +/- +/- + + +/- +
Maltosa + + + + + + + +
Manitol + + + + + + + +
Berdasarkan hasil uji primer dan uji biokimia, terdapat kemiripan hasil uji antara isolat
uji dengan spesies bakteri Escherichia coli. Uji KOH 3% bertujuan untuk memastikan kembali
jenis Gram dari isolat bakteri yang tumbuh pada media TSA. Prinsip uji ini didasarkan pada
kekuatan dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri Gram positif lebih tebal sehingga resisten
terhadap KOH 3%, sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif lebih tipis sehingga lebih
mudah rusak menyebabkan materi genetik (DNA) keluar menyerupai lendir (sticky strings)
(Hardiansyah et al. 2020). Berdasarkan hasil uji KOH 3% terhadap isolat uji, menunjukkan
adanya lendir artinya koloni bakteri tersebut termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram
Negatif (Gambar 8)
Gambar 8 Terdapat lendir pada uji KOH 3% terhadap koloni bakteri yang tumbuh pada
media TSA yang berasal dari media Mac Conkey Agar (MCA)
Uji primer lainnya yaitu uji oksidase dan uji katalase. Uji oksidase bertujuan untuk
mengetahui kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim sitokrom oksidase (Alfajri et al.
2018). Uji ini juga dapat membantu untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang bersifat
patogen seperti Neisseria gonorhoea dan Pseudomonas aeruginosa (Lay 1994). Hasil positif
ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi biru sampai kehitaman pada kertas
saring akibat enzim sitokronm oksidase mengoksidasi reagen oksidase yang mengandung
dimetil p-fenillendiamin oksalat. Uji katalase bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri
dalam menghasilkan enzim katalase. Katalase merupakan enzim yang dapat menguraikan
hydrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan O2. Pada bakteri yang bersifat katalase positif
terlihat adanya pembentukan gelembung udara. Berdasarkan pengujian pada isolat bakteri,
menunjukkan hasil negatif pada uji oksidasi dan positif uji katalase (Gambar 9). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa isolat bakteri termasuk ke dalam family Enterobactericeae.
A B
Gambar 9 Hasil uji oksidase negatif (a), hasil uji katalase positif (b)
Setelah dilakukan uji primer selanjutnya dilakukan uji biokimiawi. Uji Triple Sugar
Iron Agar (TSIA) merupakan uji yang digunakann untuk melihat kemampuan bakteri dalam
memfermentasi glukosa, laktosa, ataupun sukrosa. Prinsip uji TSIA yaitu adanya pembentukan
asam dan basa oleh bakteri yang mampu membentuk H2S dan atau gas pada media (Karunia et
al. 2021). Pengamatan dilakukan dengan cara melihat perubahan warna pada slant (agar
miring) dan butt (dasar agar). Reaksi alkali ditunjukkan oleh warna merah, sedangkan reaksi
asam ditunjukkan oleh warna kuning. Jika media pecah ataupun butt terangkat artinya bakteri
tersebut menghasilkan gas CO2 dan jika media berubah warna menjadi hitam artinya terjadi
pembentukan H2S. Berdasarkan hasil pengujian TSIA pada isolat uji diperoleh hasil slant dan
butt berwarna kuning disertai dengan media terangkat ke atas menandakan pembentukan gas
(Gambar 10). Hasil tersebut menunjukkan bahwa isolat bakteri yang diuji dapat
memfermentasi glukosa, laktosa dan atau sukrosa. Bakteri yang memiliki hasil uji TSIA serupa
dengan hasil TSIA pada isolate uji yaitu Klebsiella sp., dan Escherichia coli (Maza et al. 2020).
Gambar 10 Hasil uji TSIA slant dan butt berwarna kuning disertai dengan pembetukan gas
Uji selanjutnya yaitu uji indol. Uji indol merupakan uji yang dilakukan untuk
mengetahui sifat bakteri yang dapat menghasilkan asam amino triptofan dan motilitasnya.
Asam amino triptofan merupakan komponen asam amino yang lazim terdapat pada protein
yang dapat digunakan oleh bakteri sebagai sumber karbon. Media indol yang telah
diinokulasikan isolat uji dan diinkubasi selama 24 jam kemudian ditetesi oleh reagen Kovacs
atau Ehrlich yang mengandung para-dimetil-aminobenzaldehid (Lay 1994). Hasil positif
ditunjukkan oleh terbentuknya cicin berwarna merah atau keunguan akibat reagen bereaksi
dengan indol yang dihasilkan oleh bakteri yang menggunakan triptofan sebagai sumber karbon
(Latifah dan Sofyanita 2023). Isolat bakteri bersifat motil jika koloni tumbuh menyebar di
sekitas bekas tusukan (Karunia et al. 2021) Berdasarkan hasil pengujian, isolat uji memiliki
hasil tidak motil serta uji indol negatif ditandai dengan tidak terbentuknya cincin berwarna
merah ataupun keungun setelah ditetesi oleh reagen Ehrlich (Gambar 11)
Gambar 11 Hasil uji indol negatif dan koloni bakteri tidak motil
Uji lainnya yaitu uji sitrat dan hidrolisis urea. Uji sitrat digunakan untuk melihat
kemampuan mikroorganisme dalam menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon.
Simmons’s citrate agar merupakan media yang mengandung Na sitrat sebagai sumber karbon,
NH4+ sebagai sumber N dan brom thymol blue sebagai indikator pH (Lay 1994). Hasil positif
akan ditunjukkan dengan perubahan warna media dari hujau menjadi biru yang disebabkan
oleh mikroorganisme yang menghasilkan sitrat akan mengubah pH media menjadi basa
(Ummamie et al. 2017). Uji hidrolisis urea merupakan uji yang digunakan untuk melihat
kemampuan mikroorganisme untuk menghidrolisis urea dengan enzim urease. Urea merupakan
produk dekarboksilasi asam amino tertentu yang dapat dihidrolisis menjadi ammonia dan
karbon dioksida dengan bakteri yang mengandung enzim urease (Puspita et al. 2020). Hasil
positif ditandai dengan perubahan warna media menjadi ungu. Berdasarkan hasil pengujian
pada isolat uji diperoleh hasil bahwa isolat uji menunjukkan hasil negatif baik pada uji sitrat
maupun uji hidrolisis urea (Gambar 12). Bakteri yang dapat memberikan hasil negatif untuk
uji sitrat dan hidrolisis urea yaitu bakteri genus Escherichia spp..
A B
Gambar 12 Hasil uji sitrat negatif (a), hasil uji hidrolisis urea negatif
Uji Methyl Red (MR) merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui kemampuan
bakteri dalam melakukan fermetasi asam campura. Penambahan inkidator methyl red pada
media MRVP dapat menunjukkan adanya perubahan pH menjadi asam. Methyl red akan
berwarna merah pada pH 4,4 dan akan berwarna kuning pada pH 6,2. Selain uji VP, dilakukan
juga uji Voges Proskauer (VP) yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu bakteri
dalam menghasilkan acetylmethylcarbinol atau acetoin (Puspita et al. 2020). Pada penambahan
KOH 40%, adanya acetoin akan ditunjukkan dengan perubahan warna media menjadi merah
muda dan akan lebih diperjelas dengan penambahan α-naphtol. Berdasarkan hasil pengujian
pada isolate uji diperoleh hasil potif pada uji MR dan negatif pada uji VP (Gambar 13).
A B C D E
\
Gambar 14 Hasil uji fermentasi glukosa positif (a), sukrosa negatif (b), laktosa positif (c),
mannitol positif (d). Maltosa positif (e)
Berdasarkan pengamatan makroskopis, mikroskopis, uji primer, dan uji biokimia, isolat
bakteri merupakan bakteri spesies Escherichia coli. Bakteri Escherichia coli merupakan
bakteri saluran pencernaan yang secara normal berada pada tubuh manusia maupun hewan.
Bakteri ini termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek dan
dapat bergerak menggunakan flagella. Bakteri ini akan menjadi patogen apabila jumlahnya
meningkat pada saluran pencernaan. Peningkatan jumlah Escherichia coli pada saluran
pencernaan salah satunya dapat disebabkan oleh kontaminasi pakan. Kejadian diare pada
anjing Ajo terjadi setelah pemberian pakan kadaluarsa dimana bakteri Escherichia coli
berperan dalam proses pembusukan (Rorong dan Wilar 2020). Bakteri Escherichia coli pada
pakan dapat menimbulkan gejala penyakit seperti diare, kholera, gastroenteritis dan berbagai
penyakit saluran pencernaan lainnya (Kurniadi 2013).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian pada isolat bakteri yang diperoleh dari swab anus anjing
Ajo yang terkena diare diperoleh kesimpulan bahwa isolat uji merupakan bakteri Gram negatif,
memiliki bentuk basil, dengan hasil uji biokimia sesuai dengan sifat bakteri Escherichia coli.
Penyebab diare pada anjing Ajo disebabkan oleh pakan kada yang terkontaminasi bakteri
Escherichia coli.
DAFTAR PUSTAKA
Alfajri S, Agustina F, Sari NP, Pramuanggit PN. 2018. Uji resistensi bakteri Vibrio
parahaemolyticum terhadap ekstrak makroalga Halimedadiscoidea, Halymenia dilatate,
dan Dictyota dichotoma. SIMBIOSA. 7(1): 33-46.
Barrow GI, Feltham RKA. 2003. Cowan and Steel’s Manual for The Identification of Medical
Bacteria. Cambridge (UK): Cambridge University Press.
Chandler M. 2011. Solutions in Veterinary Practice : Small Animal Gastroenterology. London:
Elsevier.
Gompper ME. 2013. Free Ranging Dogs and Wildlife Conservations. Oxford : Oxford
University Press.
Hardiansyah MY, Musa Y, Jaya AM. 2020. Identifikasi plant growth promoting Rhizobacteria
pada rizosfer bambu duri dengan Gram KOH 3%. Agrotechnology Research Journal.
4(1): 41-46.
Karunia E, Kurniatuhadi R, Yanti AH. 2021. Karakterisasi bakteri Bacillus sp. (kode NrLtF5)
yang diisolasi dari usus cacing nipah (Namalycastis rhodochorde). Jurnal Protobiont.
10(3): 69-73.
Kuniadi Y, Saam Z, Afandi D. 2013. Faktor kontaminasi bakteri E. coli pada makanan jajanan
di lingkungan kantin Sekolah Dasar Wilayah Kecamatan Bangkinang. Jurnal Ilmu
Lingkungan. 7(1)
Latifah ES, Sofyanita EN. 2023. Gambaran bakteri Escherichia coli pada jajanan gorengan
sepanjang jalan Tlogosari Raya Semarang. Jurnal Dunia Ilmu Kesehatan. 1(1): 22-27.
Lay BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Puspita I, A’yun NQ, Anita, Sumarsono T, Andiri A. 2020. Uji sensitivitas Escherichia coli
yang diisolasi dari air sumur galian dekat dengan septic tank terhadap ciprofloxacin.
National Conference for Umamah. 1-9.
Rahayu SA, Gumilar MH. 2017. Uji cemaran air minum masyarakat sekitar Margahayu Raya
Bandung dengan indentifikasi bakteri Escherichia coli. IJPST. 4(2): 50-56.
Restuati M, Gultom ES. 2012. Uji potensi bakteri yang berasosiasi dengan spons asal Pulau
Ngge (Sibolga) sebagai sumber antibakteri. Jurnal Saintika. 12(2): 98-104.
Rorong JA, Wilar WF. 2020. Keracunan makanan oleh mikroba. Techno Science Journal. 2(2):
47-60.
Sanjaya TA, Apriliana E. 2013. Deteksi Escherichia coli pada jajanan cendol yang dijual di
pasar tradisional Kota Bandar Lampung. Medical Journal of Lampung University. 2(5):
10-17.
Toruan SAL, Manu TT, Erviarti PR, Ikhsanita. 2023. Pemanfaatan air kelapa muda sebagai
media alternatif mac conkey untuk pertumbuhan Echerichia coli dan Salmonella thypi.
Journal of Indonesia Medical Laboratory and Science. 4(1): 25-36.
Ummamie L, Rastina, Erina, Ferasyi TR, Darniati, Azhar A. 2017. Idolasi dan identifikasi
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada keumamah di pasar tradisional
Lambaro, Aceh Besar. JIMVET. 1(3): 574-583.
Veronica LB, Suarjana IGK, Gelgel KTP. 2023. Perbedaan jumlah bakteri coliform dan E. coli
pada anjing diare dan anjing sehat. Buletin Veteriner Udayana. 15(4): 683-687.
Zulkifli L, Jekti DSD, Bahri S. 2018. Isolasi, karakterisasi dan identifikasi bakteri endofit kulit
batang srikaya (Annona squamosa) dan potensinya sebagai antibakteri. Jurnal Penelitian
Pendidikan IPA. 4(1): 21-29.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Disusun oleh:
Falsa Martiana Kencana Putri B9404231038
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.1.2 Sinyalemen
Nama : NN
Umur : 4 5 bulan
Jenis : Kucing
Jenis Kelamin : Betina
Sudah divaksinasi rabies dan belum disteril
Gram Positif
Kokus Batang
Uji Katalase
Negatif Positif
(Streptococceae) (Micrococceae)
Negatif Positif
(Micrococcus)
d
Bagan 1. Skema
( rancangan prosedur identifikasi bakteri
( (
(
1.1.5 Kultur Bakteri pada media Blood Agar (BA)
Meja kerja disterilkan terebih dahulu dengan cara menyempotkan alkohol
pada tempat yang akan digunakan. Sampel yang sebelumnya disimpan didalam
kulkas kemudian diambil dan disimpan di dalam rak tabung. Bunsen dinyalaka n
kemudian ose dipijarkan sampai merah, sampel bakteri diambil menggunaka n
ose yang dingin dan digoreskan pada lempengan agar dengan hati-hati supaya
tidak merusak lempengan agar dengan ose. Goreskan bakteri mulai dari zona
A, kemudian menyambung ke zona B dengan mengambil bagian bakteri dari
zona A, dan begitupun pada zona C. Ose dipijarkan sebelum diletakkan
kembali. Blood agar yang berisi sampel bakteri diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 37 o C. Pengamatan pertumbuhan koloni balteri dapat dilihat setelah 24
jam.
IV SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian bakteri pada swab mata NN menunjukkan bahwa
penyebab dari mata NN mengalami konjungtivitis adalah bakteri Staphylococcus
aureus. Hasi ini ditunjukkan dengan beberapa uji yang telah dilakukan yaitu Blood
agar, TSA, uji KOH, uji katalase, uji fermentasi glukosa mikroaerofilik, dan
penumbuhan bakteri pada media MSA. Pengobatan yang dapat dilakukan pada kucing
NN berupa pemberian antibiotik tetrasiklin karena Staphylococcus aureus sensitif
terhadap antibiotik tetrasiklin.
DAFTAR PUSTAKA
Buttner JN, Schneider M, Csokai J, Müller E, Eule JC. 2018. Microbiota of the
conjunctival sac of 120 healthy cats. Veterinary Ophthalmology. 1-9.
Chopra I, Roberts M. 2001. Tetracycline antibiotics: Mode of action, applicatio ns,
molecular biology, and epidemiology of bacteria resistance. Microbiology and
Molecular Biology Reviews. 65(2): 232-260.
CLSI (Clinical and laboratory Standard Institut). 2020. Performance Standards for
Antimicrobial Susceptibility Testing: 30 th Ed. CLSI Suplement M100, Wayner
PA: Clinical and Laboratory Stamdards Institute.
Febriza MA, Adrian QJ. 2021. Penerapan AR dalam Media Pembelajaran Klasifikas i
Bakteri. Jurnal BIOEDUIN. 11(1): 10-18.
Hardiansyah MY, Musa Y, Jaya AM. 2020. Identifikasi plant growth promoting
Rhizobacteria pada rizosfer bambu duri dengan Gram KOH 3%.
Agrotechnology Research Journal. 4(1): 41-46.
Jawetz, Melnick, Adelberg. 2014. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta(ID): Buku
Kedokteran EGC.
Karimela EJ, Ijong FG, Henny, Dien A. 2017. Karakteristik Staphylococcus aureus
yang di isolasi dari ikan asap pinekuhe hasil olahan tradisional kabupaten
sangihe. JPHPI. 20(1): 188-198.
Leboffe MJ, Pierce BE. 2011. A Photographic Atlas for Microbiology Laboratory.
4th Ed. Englewood (CO): Morton Publishing Company.
Mardiah. 2017. Uji resistensi Staphyococcus aureus terhadap antibiotic, amoxillin,
tetracyclin dan propolis. Jurnal Ilmu Alam dan Lingkungan. 8(16): 1-6.
Moon DC, Chooi JH, Boby N, Kim SJ, Song HJ, Park HS, Gil MC, Yoon SS, Lim SK.
2022. Prevalence of bacterial species in skin, urine, diarrheal stool, and
respiratory samples in cats. Pathogens. 11(324):1-12.
Nabila AI, Yusran, Oktarlina RZ. 2021. Perbandingan penggunaan kloramfenikol dan
levofloksasin pada pengobatan konjungtivitis bakterial. Medula. 11(4): 353-
356.
Naomi C, Suardana IW, Suarsana IW. 2019. Isolated hemolysis profile of
Streptococcus sp. isolation result from swine’s tonsil in slaughter house at
Punggul and Bongkasa Village. JVAS. 2(2): 46-51.
Rahmi, Y, Darmawi, Abrar M, Jamin F, Fakhrrazi, Fahrimal Y. 2015, Identifikas i
bakteri staphylococcus aureus pada preputium dan vagina kuda (equus
caballus). Medika Veterinaria. 9:156-157.
Riski K, Fakrurrazi, Abrab M. 2017. Isolasi bakteri Staphylococcus aureus pada ikan
asin talang-talang (Scomberoides commersonnianus) di Kecamatan Leupung
Kabupaten Aceh Besar. JIMVET. (01)3: 366-374
Suardana IW, Dinarini NMAA, Sukrama IDM. 2021. Indetifikasi spesies streptokokus
β-hemolisis hasil isolasi dari nasal dan tonsil babi dengan uji basitrasin. Bul Vet
Udayana. 13(1): 27-33.
Warsiti, Wardani SDK, Ramadhan AA, Yuliani R. 2018. Uji aktivitas antibakter i
ekstrak etanol bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) terhadap
bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal Farmasi Indonesia. 15(2): 75-82.
Yoni S, Astuti, Bernadeta, Siti U. 2010. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat
dari limbah kotoran ayam sebagai agen probiotik dan enzim kolesterol
reduktase. Prosiding Seminar Nasional Biologi 3 Juli 2010. Biologi FMIPA
UNY. Hlm 138-147
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Disusun oleh:
Ichlasul Khaerul Alim Pombalawo, S.K.H B9404231009
Dosen Pembimbing:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hewan merupakan habitat alami bagi populasi mikroorganisme yang kompleks.
Antara inang dan mikroorganisme terjadi homeostatis yang merupakan salah satu syarat
berfungsinya tubuh dengan baik dan sehat. interaksi berkelanjutan antara organisme dan
mikroorganisme komensal mempengaruhi perkembangan dan pengaturan sistem kekebalan
tubuh. Bakteri flora normal pada tubuh umumnya tidak menimbulkan masalah apapun,
namun dalam keadaan tertentu hal ini dapat menyebabkan dampak yang parah pada kondisi
Kesehatan.
Para ahli sejarah mengungkapkan bahwa manusia telah hidup berdampingan dengan
kucing sejak 5000 tahun silam. Pada masa mesir kuno, masyarakat telah memanfaatkan
kucing sebagai penjaga lumbung gandum untuk menghalau tikus di sepanjang sungai Nil.
Kucing mengalami domestikasi yang sempurna dan mampu berhubungan erat dengan
manusia. Kucing memiliki daya tarik karena sosoknya yang ramah, cerdas, bersahabat dan
sebagai peliharaan yang menyenangkan (Effendi dan Budiana 2014).
Staphylococcus merupakan salah satu genus bakteri oportunistika yang paling sering
diisolasi pada hewan dan manusia. pada mamalia, staphylococcus seara fisiologis berada di
di kulit, selaput lendir, rongga hidung, tenggorokan dan anus. Staphylococcus epidermidis
merupakan bakteri komensal kulit dan mukosa pada manusia, tetapi akhir-akhir ini banyak
ditemukan sebagai agen patogen infeksi nosokomial terutama pada pasien
immunocompromised, neonatus, dan pasien dengan peralatan medis invasif. Saat ini,
bagaimana membedakan S. epidermidis strain patogen dan komensal masih merupakan
tantangan besar, baik di laboratorium maupun bagi klinisi (Nuryastuti 2018).
Bakteri S. epidermis merupakan bakteri yang hidup parasit pada manusia atau pada
hewan berdarah panas (Chessa et al. 2016). Menurut (Becker et al. 2014) bahwa
Staphylococcus epidermis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada manusia
dan menyebabkan infeksi ketika kekebalan tubuh lemah.
1.2 Tujuan
Penelitian ini betujuan mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi kucing dalam
berbagai media dan melihat aktivitas antimikroba bakteri.
II METODE
1.2.2 Anamnesa
Kucing Pappin merupakan kucing rescue yang ditemukan pada 12 Januari
2015. Kucing mengalami bersin-bersin, hipersalivasi sejak 2021 dan terdapat ulcer
pada mulut. Kucing sudah diberikan berbagai antibiotik namun tidak kunjung
membaik. Riwayat vaksin kucing sudah diberikan vaksin rabies. Diagnosa klinis pada
kucing pippin ialah kucing mengalami rhinotracheitis dan stomatitis.
1.2.3 Persiapan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada rabu 8 november 2023. kemudian
disimpan dalam tabung eppendorf yang telah terisi buffered peptone water (BPW)
dengan cara di swab oral mengunakan cotton swab dan dimasukkan ke dalam tabung
eppendorf. Sampel lalu dibawa ke laboratorium dengan menggunakan transportasi
sepeda motor. Sampel disimpan di dalam kulkas sebelum digunakan.
1.2.4 Kultur bakteri pada media Blood agar (BA)
Sampel dikultur secara aseptis dengan menyeprotkan alkohol terlebih dahulu
ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga membara untuk
mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose diperkirakan tidak terlalu
panas. Plate agar dibagi menjadi tiga kuadran sesuai dengan teknik yang digunakan.
Sampel kemudian di ambil dan di torehkan ke BA dengan memanaskan pinggiran
plate agar untuk mecegah kontaminasi bakteri dari luar sebelum plate agar dibuka.
Penutup plate dibuka namun tidak terlalu besar kemudian discharge diambil
menggunakan ose dan ditorehkan ke plate agar dalam tiga kuadran. Blood agar diberi
label diinkubasi selama 24 - 48 jam dalam suhu 37 ℃.
1.2.5 Kultur bakteri pada media MacConkey agar (MCA)
Pengambilan sampel secara aseptis dengan menyeprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga membara
untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose diperkirakan tidak
terlalu panas. Plate agar dibagi menjadi tiga kuadran sesuai dengan teknik yang
digunakan. Sampel kemudian di ambil dan di torehkan ke MCA dengan memanaskan
pinggiran plate agar untuk mecegah kontaminasi bakteri dari luar sebelum plate agar
dibuka. Penutup plate dibuka namun tidak terlalu besar kemudian discharge diambil
menggunakan ose dan ditorehkan ke plate agar dalam tiga kuadran. MacConkey agar
diberi label dan diinkubasi selama 24 - 48 jam dalam suhu 37 ℃.
1.2.6 Kultur bakteri pada media Tryptic Soy Agar (TSA)
Biakkan yang telah tumbuh pada media blood agar diambil menggunakan ose
steril. Sebelumnya pinggiran plate dipanaskan dengan bunsen kemudian dibuka
sedikit untuk diambil biakkan yang telah tumbuh. Biakkan ditorehkan ke TSA secara
zigzag dengan mulut tabung TSA berada didekat bunsen kemudian tutup tabung
dengan kapas dan diberi label. Setelah itu, diinkubasi selama 24 - 48 jam dalam suhu
37 ℃.
1.2.7 Pewarnaan Gram
Koloni bakteri yang telah tumbuh diambil dengan menggunakan ose,
kemudian dioleskan pada kaca objek dan dihomogenkan dengan akuades. Kaca objek
difiksasi dengan melewatkan di atas api kecil. Crystal Violet diteteskan dan diamkan
selama 1 menit, dibilas dengan air mengalir. Sampel kemudian diteteskan lugol
selama 1 menit, dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya lakukan pemucatan
menggunakan aceton alkohol kurang lebih 20 detik. Safranin diteteskan dan diamkan
selama 1 menit, lalu dibilas dengan air mengalir. Sampel yang telah diberi pewarnaan
Gram diamati di atas mikroskop hingga pembesaran 100x dengan menggunakan
minyak imersi.
1.2.8 Uji KOH 3%
Uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi mikroorganisme dengan melihat
adanya lendir. KOH 3% diteteskan pada gelas objek, kemudian diteteskan atau
dicampurkan dengan isolat yang akan diuji. Setelah itu, dihomogenkan dan ditarik
untuk melihat apakah terbentuk lendir. Keberadaan lendir menandakan hasil yang
positif dan berarti bakteri tersebut merupakan gram negatif. Menurut Hardiansyah et
al. (2020), penentuan sifat gram dengan KOH 3% memiliki hasil yang sama dengan
pengujian pewarnaan gram. Pengujian KOH 3% pada bakteri mengindikasikan
bakteri Gram (+) memiliki dinding sel yang tebal dan lemak yang tipis sedangkan
Gram (-) berlemak tebal dan berdinding sel tipis yang berada di ruang periplasma.
KOH akan menyerang lemak (bilayer lipid) dan membuat sel Gram (-) pecah. Sel
yang pecah akan melepaskan materi genetik (DNA) yang merupakan substansi
melimpah di dalam sel bakteri. Molekul DNA sangat panjang bersifat sticky strings
(menyerupai lendir, getah atau dapat berarti lengket) yang memberikan hasil seperti
lendir saat diangkat dengan jarum inokulum.
Kultur ke
media BA Subkultur ke
dan MCA media TSA
b
Pewarnaan
b
Gram Coccus
MSA
Positif
Uji Koagulasi
1.2.12 Pengujian Aktivitas Antimikroba
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode difusi agar (disc
diffusion Kirby and Bauer). Pengujian aktivitas antimikroba ini menggunakan cakram
(paper disc) berukuran 6 mm dengan daya serap 50 μL tiap cakram. Isolat digoreskan
pada media Mueller Hinton Agar (MHA) pada seluruh permukaan baik arah vertikal
ataupun horizontal, setelah itu media diputar 360° untuk meratakan isolat pada
permukaan media. Cakram antibiotik diletakkan ke dalam media dengan memberi
jarak antara ketiga cakram antibiotik tersebut. Selanjutnya, media diinkubasi ke
dalam inkubator selama 18-24 jam, lalu diamati dan diukur zona bening yang terjadi
menggunakan jangka sorong.
III HASIL DAN PEMBAHASAN
a b
Gambar 2 (a) hasil kultur sampel media blood agar dan (b) hasil kultur
sampel media MacConkey.
Hasil pada media blood agar menunjukkan pertumbuhan koloni yang berbentuk bulat
datar dan berwarna putih dengan sifat koloni beta-hemolisis. Beta hemolisis adalah terjadi
lisis pada sel darah merah yang dilengkapi dengan kerusakan dan penggunaan Hb oleh
mikroorganisme, beta hemolisis menghasilkan hemolisis sempurna yang akan membentuk
zona bening di sekeliling koloni. Pada media MacConkey agar isolat tidak mengalami
pertumbuhan hal ini bisa disebabkan oleh bakteri yang bersifat Gram positif.
Aristyawan AD, Sugijanto NE, Suciati. 2017. Potensi Antibakteri dari Ekstrak Etanol Spons
Agelas cavernosa. Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 4(1):39–43
Bauer LA. 2008. Applied Clinical Pharmacokinetics, 2nd ed. Mc Graw-Hill Medical, New
York.
Becker K, Heilmann C, Peters G. 2014. Coagulase-Negative Staphylococci. Clinical
Microbiology Reviews. 27(4): 870–926.
Chessa D, Ganau G, Spiga L, Bulla A, Mazzarello V, Campus GV, Rubino S. 2016.
Staphylococcus aureus and Staphylococcus Epidermidis Virulence Strains As
Causative Agents Of Persistent Infections In Breast Implants. Plos One. 11(1):
E0146668.
Dewi AK. 2013. Isolasi, Identifikasi Dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus Terhadap
Amoxicillin Dari Sampel Susu Kambing Peranakan Ettawa (Pe) Penderita Mastitis
Di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Sain Veteriner. 31(2):138–150.
Dwijastuti NMS, Dewi IGAAS. 2023. Perbedaan Hasil Kultur Anaerob dengan Candle Jar
dan Gas Generating Sachet Untuk Bakteri Asam Laktat. Jurnal Biologi Makassar.
8(1): 92-100.
Effendi C, Budiana NS. 2014. Complete Giude Book For Your Cat. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Handayani R, Qamariah N, Mardova SA. 2018. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Batang
Saluang Belum terhadap Bakteri Escherichia coli. Borneo Journal of Pharmacy.
1(1):16– 18.
Hardiansyah M, Musa Y, Jaya A. 2020. Identifikasi plant growth promoting Rhizobacteria
pada rizoster bambu duri dengan gram KOH 3%. Agrotechnology Research Journal.
4(1): 41- 46.
Intan K, Diani A, Nurul ASR. 2021. Aktivitas Antibakteri Kayu Manis (Cinnamomum
burmanii) terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus. Jurnal Kesehatan Perintis.
8(2): 121-127.
Kateete DP, Kimani CN, Katabazi FA, Okeng A, Okee MS. 2010. Identification of
Staphylococcus aureus: DNase and Mannitol salt agar improve the efficiency of the
tube coagulase test. Ann Clin Microbiol Antimicrob 9: 23.
Nurjanna, Fajrihanif A. 2009. Populasi dan Pertumbuhan Bakteri Air Tambak Pada Media
Tryptic Soy Agar (TSA) dari Pabrik Berbeda. Buletin Teknologi Literatur Akuakultur.
1(8): 71-73.
Nuryastuti T. 2018. Staphylococcus epidermidis: how to turn from commensal to be a
pathogen lifestyle. Jurnal Medicine Science. 1(50): 113-127.
Rizki AF. 2020. Uji Daya Hambat Antibakteri Salep Ekstrak Etanol Daun Pandan Hutan
(Freycinetia sessiliflora) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus
epidermidis. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina. 5(1): 1–9.
Sari R, Prayudyaningsih R. 2017. Karakter Isolat Rhizobia Dari Tanah Bekas Tambang Nikel
Dalam Memanfaatkan Oksigen Untuk Proses Metabolismenya. Buletin Eboni. 14(2):
123-136.
Sarosa AH, PHT Santoso BI, Nurhadianty V, Cahyani C. 2018. Pengaruh Penambahan
Minyak Nilam Sebagai Bahan Aditif Pada Sabun Cair Dalam Upaya Meningkatkan
Daya Antibakteri Terhadap Staphylococcus aureus. Indonesian Journal Of Essential
Oil. 3(1):1–8.
Sinaga E. 2004. Infeksi Nasokomial dan Staphylococcus epidermidis. Jakarta (ID): EGC.
Sirait R. 2017. Penundaan Pemeriksaan Kultur Urin Pasien Dengan Penyimpanan
Menggunakan Coolbox Pada Pertumbuhan Bakteri Di Rsup Dr. Kariadi Semarang
(Doctoral Dissertation, Muhammadiyah University Of Semarang).
Syauqi A. 2017. Mikrobiologi Lingkungan Peranan Mikroorganisme Dan Kehidupan.
Jakarta (ID): Penerbit Andi.
Wargo KA, Edwards JD. 2014. Aminoglycoside-Induced Nephrotoxicity. Journal of
Pharmacy Practice. 27: 573– 577.
Yuka RA, Setyawan A, Supono. 2021. Identifikasi Bakteri Bioremediasi Pendegradasi Total
Amonia Nitrogen (TAN). Jurnal Kelautan. 1(14): 20-29.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Dosen Pembimbing :
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
Latar Belakang
Feline calicivirus (FCV) merupakan penyakit virus yang patogen dan sangat
menular dengan penularan yang sangat luas pada populasi kucing. Virus ini
merupakan virus single strain-RNA yang menyerang kucing domestik dan kucing
eksotis diseluruh dunia. Infeksi Feline calicivirus umumnya terkait dengan ulserasi
mulut dan air liur sindrom klinis lain yang dikaitkan dengan infeksi FCV termasuk
stomatitis kronis dan sindrom pincang (Berger et al. 2015). Beberapa kucing tetap
menjadi pembawa asimtomatik setelah infeksi akut FCV, menjadi sumber infeksi bagi
kucing lain yang rentan. FCV dikaitkan dengan gejala klinis yang berbeda termasuk
gejala pernapasan, ulcer pada mulut dan gingivitis atau stomatitis (Afonso et al 2017).
Proses identifikasi bakteri penyebab penyakit tertentu dimulai dari serangkaian
proses yang disebut isolasi bakteri. Pemisahan mikroorganisme diperlukan untuk
mengetahui jenis, mempelajari morfologi, fisiologi serta karakteristik mikroorganisme
tersebut. Isolasi merupakan serangkaian pemisahan mikroorganisme supaya
didapatkan kultur murni (isolat).
Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui tahapan-tahapan isolasi dan identifiksasi
bakteri dari sampel swab ulkus pada rongga mulut kucing domestik.
METODE
Prosedur Penelitian
Anamnesa dan Sinyalemen kucing 1
Nama Hewan : Wawa
Jenis Hewan : Kucing
Ras : DSH
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 5–6 tahun
Riwayat vaksinasi : belum vaksin
Rancangan Percobaan
KOH 3 % dan
Pewarnaan Gram
Basil Kokus
Uji Katalase
Negatif Positif
Perwarnaan Gram
Bakteri yang telah disubkultur dikeluarkan dari inkubator. Pewarnaan gram
dilakukan secara aseptis. Pertama alkohol 70% disemprotkan ke meja kerja. Kemudian
bunsen dinyalakan apinya. Gelas objek yang telah dipersiapkan dicuci terlebih dahulu
oleh alkohol 70% lalu dikeringkan. Aquades diambil menggunakan pipet lalu
diteteskan diatas gelas objek. Ose yang telah dipanaskan ditunggu sampai tidak panas
sekitar 1–2 menit. Lalu hasil subkultur dapat diambil menggunakan ose secukupnya
dan dihomogenkan pada aquades yang ada di gelas objek. Kemudian dapat dikeringkan
dengan dipanaskan secara perlahan di atas bunsen sampai kering. Setelah itu dapat
ditetesi kristal violet ditunggu selama 1 menit, kemudian lugol ditunggu selama 1
menit, kemudian diberi larutan aceton sebegai pemucat, kemudian dikeringkan dan
ditetesi safranin ditunggu 15 detik, hasil dapat dibilas dengan akuades lalu dikeringkan
dan dapat diamati dibawah mikroskop.
Uji KOH 3%
Uji KOH 3% dilakukan beriringan saat dilakukan pewarnaan gram. Gelas objek
yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%. Gelas objek yang telah bersih ditetesi
KOH 3%. Hasil subkultur dapat diambil menggunakan ose yang telah steril lalu
dihomogenkan dengan KOH 3% pada gelas objek. Hasil dapat diamati jika tampak
lendir dapat dikatakan bahwa bakteri tersebut merupakan bakteri gram negatif. Jika
hasil tidak menunjukan lendir dapat dikatakan bahwa bakteri tersebut merupakan
bakteri gram positif.
Uji Katalase
Gelas objek yang telah dibersihkan dengan alkohol 70% diberi penanda
lingkaran dengan marker lalu diteteskan H2O2. Kemudian ose yang yang telah
disterilkan dengan api bunsen ditunggu 1–2 menit. Hasil subkultur bakteri dari TSA
diambil menggunakan ose secukupnya lalu dihomogenkan dengan H2O2 yang ada di
gelas objek. Kemudian hasil dapat diamati jika terbentuk gelembung maka uji ini
positif dengan arah bakteri Micrococcaceae. Jika hasil tidak terbentuk gelembung maka
gelembung maka uji ini positif dengan arah bakteri streptococcaceae.
Gambar 8 Hasil kultur swab oral kucing Pippin pada media BA tampak atas
(gambar kiri) terdapat koloni berbentuk bulat kecil opaque putih (koloni 1)
dan koloni berbentuk bulat besar dan bening (gambar kanan).
SIMPULAN
Isolasi bakteri sampel swab ulcer rongga mulut kucing Pippin teridentifikasi
salah satu bakteri dengan jenis Micrococcus sp. Micrococcus sp. tidak termasuk bakteri
patogen namun pada keadaan tertentu bakteri ini dapat mengalami overgrowth yang
mengganggu kesehatan hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Afonso MM, Pinchbeck GL, Smith SI, Daly JM, Gaskell RM, Dawson S, Radford
AD. 2017. A Multi National European Cross Sectional Study of Feline
Calicivirus Epidemiology, Diversity and Vaccine Cross Reactivity.
Berger A, Barbara W, Marina LM, Felicitas SB, Sonja H, Anou D, Hans L, Regina
HL. 2015. Feline calicivirus and other repiratory pathogens in cats with
feline calicivirus related symptoms and in clinically healthy cats in switzerland.
BMC Veterinary Research . 11(282): 1-12.
Dewi AK. 2013. Isolasi, identifikasi dan uji sensitivotas Staphylococcus aureus
terhadap amoxicillon dari sampel susu kambing peranakan etawa (PE)
penderita mastitis di wilayah Girimulyo, Kulonproogo, Yogyakarta. JSV. 32(2):
138-150.
Entjang I. 2003. Mikrobiologi & Parasitologi.Bandung : PT Citra Aditya Bakti
Hadioetomo RS. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. Jakarta: PT Gramedia.Hardiansyah et al. 2020
Madigan MT, Martinko JM, Dunlap PV, Clark DP. 2006. Brock Biology of
Microorganisms 12th ed. San Francisco (US): Pearson Education.
Mangindaan REP, Losung F. 1991. Aktivitas hemolitik teripang (Bohadschia graeffei)
dari pantai Malalayang, Sulawesi Utara pada beberapa suhu dan pH. Jurnal
Ilmiah Sains. 13 (1): 27–33.
Panjaitan FJ, Bachtiar T, Arsyad I, Lele OK, Indriyani W. 2020. Karakterisasi
mikroskopis dan uji biokimia bakteri pelarut fosfat (BPF) dari rhizosfer
tanaman jagung fase vegetatif. CIWAL. 1(1): 9-17.
Yeh E, Pinsky BA, Banaei N, Baron EJ. 2009. Hair sheep blood, citrated and
defibrinated, fulfills all requirements of blood agar for diagnostic microbiology
laboratory test. Plos One. 4(7): 1-7.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Disusun oleh:
Muhammad Emir Kusuma Wardhana B9404231014
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi jenis bakteri dari
sampel kerokan kulit kucing kasus abses
II METODE
1.1.2 Sinyalemen
Gambar 1. Luka kucing Wawa yang diambil sampel dan hasil pemeriksaan
dengan lampu Wood dari sampel kerokan kulit.
1.1.5 Kultur Bakteri pada Media Blood Agar (BA) dan MacConkey (MCA)
Ukuran kecil
Bentuk bulat
Permukaan rata
Aspek mengkilat
Tepi halus
Elevasi timbul
Pigmentasi putih
Hasil dari uji KOH menunjukkan bahwa bakteri pada sediaan merupakan
bakteri gram tipe positif dikarenakan ketika bakteri dan reagen bercampur tidak ada
menunjukkan lendir pada sampel. Pengujian KOH 3% pada bakteri mengindikasikan
bakteri gram (+) memiliki dinding sel yang tebal dan lemak yang tipis sedangkan gram
(-) berlemak tebal dan berdinding sel tipis yang berada di ruang periplasma. KOH akan
menyerang lemak (bilayer lipid) dan membuat sel gram (-) pecah. Sel yang pecah akan
melepaskan materi genetik (DNA) yang merupakan substansi melimpah di dalam sel
bakteri (Hardiansyah et al. 2020).
Gambar 6. Hasil Pewarnaan Gram
Hasil uji katalase isolat menunjukkan adanya gelumbung gas yang terbentuk
setelah dihomogenkan dengan sediaan H2O2%, sehingga isolat bakteri tersebut Positif
terhadap uji katalase. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya gelumbung-
gelembung udara dan hasil negatif tidak terbentuknya gelembung-gelembung udara
(Sianipar 2020).
Gambar 8. Hasil Uji Glukosa Mikroaerofilik
Hasil uji glukosa mikroaerofilik terjadi perubahan warna pada glukosa dari
merah menjadi kuning, karena bakteri mampu memfermentasi glukosa (hasil positif).
Hasil ini menunjukkan bahwa bakteri yang diamati merupakan bakteri dari genus
Staphylococcus sp. Uji positif akan jika terjadi perubahan warna pada media glukosa
yang berubah menjadi warna kuning akibat bakteri membentuk asam dari fermentasi
glukosa (Panjaitan et al. 2021).
Hasil uji isolat bakteri pada media mannitol salt agar (MSA) terlihat bakteri
tidak mampu memfermentasi gula atau mannitol sehingga media MSA masih berwarna
merah. Hal ini mengindikasikan bahwa bakteri yang diamati ialah bakteri gram positif
Staphylococcus epidermidis karena merupakan bakteri yang tidak dapat
memfermentasi gula atau mannitol. Bakteri yang tidak mampu memfermentasi
mannitol tampak zona berwarna merah atau merah muda. Zona kuning menunjukkan
adanya fermentasi mannitol, yaitu asam yang dihasilkan, menyebabkan perubahan
phenol red pada agar yang berubah dari merah menjadi berwarna kuning (Panjaitan et
al. 2021)).
VI SIMPULAN
Disusun oleh:
Reza Mahdiah Reflianti B9404231053
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengisolasi dan mengidentifikasi jenis bakteri
pada sampel swab anus kucing domestik di shelter Rumah Kucing Parung.
II METODE
2.3.4 Kultur Bakteri pada Media MacConkey Agar (MCA) dan Blood Agar
(BA)
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyemprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga
membara untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose
diperkirakan tidak terlalu panas. Sampel kemudian di ambil dan di torehkan ke
media MCA dan BA dengan memanaskan pinggiran plate agar untuk mencegah
kontaminasi bakteri dari luar. Penutup plate dibuka namun tidak terlalu besar
kemudian sampel diambil menggunakan ose dan ditorehkan ke plate agar
dalam 3 kuadran. Media MCA dan BA diinkubasi selama 24–48 jam dalam
suhu 37 oC.
a b
Gambar 3 Kultur pada media (a) BA dan (b) MCA (9/11/2023)
2.3.5 Sub-kultur bakteri dari media MCA ke media Tryptone Soya Agar
(TSA)
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyemprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga
membara untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose
diperkirakan tidak terlalu panas. Sampel kemudian diambil dari media MCA
menggunakan koloni 1 (Tabel 1) dan di torehkan ke media TSA dengan
memanaskan pinggiran tabung reaksi agar untuk mencegah kontaminasi bakteri
dari luar. Penutup plate dibuka, namun tidak terlalu besar kemudian sampel
diambil menggunakan ose dan digoreskan ke tabung reaksi media TSA. Media
TSA diinkubasi selama 18–24 jam pada suhu 37 oC.
2.3.14 Kultur bakteri pada Chocolate agar (CA) dari media TSA
Bakteri di kultur secara aseptis dengan menyemprotkan alkohol terlebih
dahulu ke meja kerja. Bunsen dinyalakan kemudian ose dibakar hingga
membara untuk mensterilkan ose dan ditunggu beberapa saat hingga ose
diperkirakan tidak terlalu panas. Sampel dari media TSA kemudian di ambil
dan di torehkan ke media CA dengan memanaskan pinggiran plate agar untuk
mencegah kontaminasi bakteri dari luar. Penutup plate dibuka namun tidak
terlalu besar kemudian sampel diambil menggunakan ose dan ditorehkan ke
plate agar dalam 3 kuadran. Media CA diinkubasi selama 24–48 jam dalam
suhu 37 oC.
3.1 Hasil kultur bakteri pada media MacConkey Agar (MCA) dan Blood Agar
(BA)
Setelah media agar yang telah ditanami bakteri dan di inkubasi selama
kurang lebih 18–24 jam maka selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi
dari koloni bakteri yang tumbuh pada media agar tersebut (Tabel 1). Bakteri
terlihat tumbuh pada media MCA maupun pada media BA.
Koloni
yang
diambil
Bakteri gram
negative
coccus
Adanya
lendir
a b
Gambar 16 Hasil uji (a) MR dan (b) VP
Uji MR-VP (Methyl Red Voges-Proskauer) dilakukan untuk mengetahui
kemampuan bakteri dalam mengoksidasi glukosa dengan menghasilkan asam dengan
konsentrasi tinggi sebagai hasil akhirnya dan hasil asam yang terbentuk berubah
menjadi merah dengan ditambahkannya reagen metil merah (Sunatmo 2007). Hasil
dari uji menggunakan MR menunjukkan hasil yang positif ditandai dengan adanya
cincin merah pada atas tabung. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri selulolitik
hasil isolasi mampu mengoksidasi glukosa menjadi asam secara sempurna. Tabung VP
menunjukkan hasil positif dengan adanya perubahan warna merah muda pada tabung.
Uji VP ditujukan untuk mengevaluasi kemampuan organisme menghasilkan substansi
non asam atau produk akhir netral seperti asetilmetil karbonil dari asam organik sebagai
hasil metabolisme glukosa.
Pengujian fermentasi gula atau biasa disebut uji gula-gula dilakukan untuk
mengidentifikasi bakteri yang mampu memfermentasi karbohidrat. Uji fermnetasi gula
yang digunakan ini adalah maltosa, sukrosa, laktosa, glukosa, dan manitol. Pengujian
fermentasi gula ditandai dengan adanya perubahan warna dari warna merah menjadi
warna kuning dan juga terlihat adanya pembentukan gelembung gas pada tabung.
Perubahan warna yang terjadi menandakan bahwa bakteri ini membentuk asam dari
fermentasi gula. Hasil dari uji fermentasi gula menunjukkan hasil positif pada media
glukosa, maltosa, dan manitol ditandai dengan perubahan warna menjadi warna
kuning, sedangkan pada media sukrosa dan laktosa uji menunjukkan hasil negatif
ditandai dengan tidak adanya perubahan warna pada media. Hal ini menunjukkan
bahwa bakteri dapat memfermentasi glukosa, maltosa, dan manitol, sedangkan bakteri
tidak mampu memfermentasi sukrosa dan laktosa.
3.7 Hasil uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Uji TSIA (Triple Sugar Iron Agar) terdiri atas sukrosa, laktosa, dan glukosa.
Uji TSIA merupakan salah satu uji biokimia yang bertujuan untuk mengonfirmasi
apakah mikroorganisme yang ditemukan termasuk kedalam kelompok bakteri yang
dapat memfermentasi beberapa jenis gula sehingga membentuk asam atau basa
(Antriana 2014). Kadang kala terpecah akibat pembentukan gas ditandai dengan
adanya rongga-rongga dibagian blunt media oleh kelompok isolat bakteri yang mampu
menghasilkan gas (Wahyuni et al. 2018). Hasil yang didapatkan pada uji TSIA
menunjukkan terbentuknya warna kuning di bagian slunt (bersifat asam) dan merah di
bagian blunt (bersifat basa). Mutmainnah et al. (2008), menyatakan apabila bagian
slant dan blunt berwarna kuning membuktikan bakteri mampu memfermentasi
glukosa, laktosa, dan sukrosa. Pembentukan gas ditandai dengan adanya media retak
dan terangkat, dan pembentukan H2S ditandai dengan terbentuknya cincin hitam pada
media.
Uji oksidase berfungsi untuk menentukan ada tidaknya enzim oksidase pada
bakteri. Bila koloni berubah warna menjadi violet pada kertas oksidase menunjukkan
hasil positif pada uji oksidase, sementara hasil uji oksidase negatif ditandai dengan
warna merah pada kertas oksidase. Uji oksidase menunjukkan hasil negatif ditandai
dengan tidak adanya perubahan warna pada kertas saring, yang berarti tidak adanya
enzim oksidase pada bakteri.
Uji katalase berfungsi untuk menentukan ada tidaknya enzim katalase pada
bakteri. Katalase adalah enzim yang mengkatalisasi penguraian hidrogen peroksida
(H2O2). Hidrogen peroksida bersifat toksik terhadap sel karena bahan ini dapat
menginaktivasikan enzim dalam sel (Lay 1994). Bila terjadi pembentukan gelembung
udara, maka uji bersifat positif dan apabila tidak terbentuk gelembung-gelembung
udara maka uji bersifat negatif. Uji katalase menunjukkan hasil positif ditandai dengan
adanya gelembung udara pada kaca objek yang berarti bakteri dapat menghasilkan
enzim katalase dengan memecah H2O2 menjadi H2O dan O2.
Tabel kemungkinan bakteri
Bakter Morfol Sif M V Fermentasi Gula TS Uji Uji Uji Motil Oksi Kat
i ogi at R P IA Sitr Ure Ind itas dase alas
Gr at a ol e
am G L S M M
L N
Isolat Staphyl - + + + - - + + A/K - - - - - +
Reza ococcus (-
H2S)
Neisse Diploco - + + + - + + - (- - + - + +
ria ccus H2S)
Morax Diploco - - - - (- - - - +
ella ccus H2S)
Acinet Staphyl - + + + - - + - A/K - - - - - +
obacte ococcus (-
r H2S)
Veillon Staphyl - - - + + - K/K - - - - _
eila ococcus (+H2
S)
SIMPULAN
Berdasarkan hasil isolasi dan pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa hasil isolasi dan identifikasi bakteri dari asal sampel swab anus kucing domestik
di shelter Rumah Kucing Parung didapat jenis bakteri yaitu Acinetobacter sp.
DAFTAR PUSTAKA
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Disusun oleh:
Shafa Adela Putri B9404231068
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan identifikasi bakteri dari kucing
yang diduga mengalami flu, serta mengetahui mekanisme patogenesis terhadap
bakteri yang diidentifikasi.
II METODE PENELITIAN
2.2.2 Sinyalemen
Nama Hewan : Gebook
Jenis Hewan : Kucing
Ras : Domestic short hair
Jenis kelamin : Jantan
Umur : 3 tahun
Gejala : discharge pada nasal
Sampel : swab nasal
Hasil inkubasi bakteri pada media TSA yaitu koloni yang dibiakkan
tumbuh rata (Gambar 5A). Uji selanjutnya yaitu pewarnaan gram dan uji KOH
3%. Hasil dari pewarnaan Gram yaitu terdapat koloni yang berwarna merah dan
ungu dalam satu lapang pandang, sehingga dapat dikatakan bahwa koloni yang
tumbuh pada media TSA merupakan koloni yang belum murni (Gambar 5B).
Bentuk kedua koloni yaitu coccus dengan susunan seperti anggur. Hasil uji KOH
3% menunjukkan adanya lendir pada saat larutan KOH 3% dihomogenkan dengan
koloni bakteri, sehingga menunjukkan bahwa hasil uji KOH 3% positif (bakteri
Gram negatif) (Gambar 5C). Berdasarkan hasil kedua uji tersebut maka dilakukan
uji ulang pada media TSA dengan koloni yang berbeda, dengan harapan bahwa
koloni yang tumbuh pada media TSA yang baru merupakan koloni yang murni.
Uji selanjutnya yaitu uji fermentasi karbohidrat, uji oksidase, uji katalase,
uji motilitas dan uji indol. Hasil uji fermentasi karbohidrat menunjukkan adanya
perubahan warna dari merah menjadi kuning pada glukosa, maltosa, dan manitol,
sedangkan pada sukrosa dan laktosa mendapatkan hasil yang dubius (orange).
Hasil uji oksidase menunjukkan adanya hasil positif dikarenakan adanya
perubahan warna pada kertas saring menjadi ungu setelah digoreskan isolat
bakteri dan diteteskan larutan oksidase. Hasil uji katalase positif, hal tersebut
ditandai dengan munculnya gelembung pada saat isolat bakteri yang diletakkan di
kaca objek ditetesi oleh larutan H2O2. Hasil uji motilitas yaitu positif, ditandai
dengan adanya pergerakan pada tusukan ose dan tumbuhnya koloni pada
permukaan media. Hasil uji indol yaitu negatif dikarenakan tidak adanya
perubahan warna permukaan media setelah ditetesi reagen erlich.
Tabel 2. Hasil uji biokimia
Gambar
Jenis Uji Hasil
Sebelum perlakuan Setelah perlakuan
Fermentasi Glukosa : +
Karbohidrat Maltosa : +
Manitol : +
Sukrosa : -
Laktosa : -
Oksidase Positif
Katalase Positif
Motilitas Positif
Keterangan :
lingkaran
merah =
adanya
pertumbuhan
koloni pada
permukaan
media
Indol Negatif
IV PEMBAHASAN
V SIMPULAN
Bakteri yang diisolasi dan dikultur pada sampel nasal discharge kucing
kemungkinan berasal dari genus Bacillus. Bakteri penyebab utama adanya flu
pada kucing Gebook masih belum dapat diidentifikasi, adanya bakteri Bacillus
pada isolat dapat disebabkan adanya kontaminasi dengan agen penyebab utama
pada saat pengambilan sampel dan pengkulturan ke media agar.
DAFTAR PUSTAKA
Amin SS, Ghozali Z, Rusdiana M, Efendi S. 2023. Identifikasi bakteri dari telapak
tangan dengan pewarnaan Gram. CHEMVIRO J. Kim. dan Ilmu
Lingkung. 1(1):30–35.
Barrow G, Feltham R. 1993. Cowan and Steel’s Manual for the identification of
medical bacteria. Ed ke-3. Cambridge: Cambridge University Press.
Handayani K, Royanti V, Ekowati CN. 2023. Indeks keanekaragaman bakteri
Bacillus Sp. dari tanah Kebun Raya Liwa. Gunung Djati Conf. Ser.
18:2022.
Hardiansyah MY, Musa Y, Jaya AM. 2020. Identifikasi plant growth promoting
Rhizobacteria pada Rizosfer Bambu Duri dengan Gram KOH 3%.
Agrotechnology Res. J. 4(1):41–
46.doi:10.20961/agrotechresj.v4i1.40875.
Hikmawati F, Susilowati A, Ratna S. 2019. Deteksi jumlah dan uji patogenitas
Vibrio spp . pada kerang hijau (Perna Viridis) dikawasan Wisata Pantai
Yogyakarta. J. Biodiv Indones. 5(2):334–
339.doi:10.13057/psnmbi/m050234.
Maza LM, Pezzlo MT, Bittencourt CE, Peterson EM. 2020. Color Atlas of
Medical Bacteriology.
Mukamto, Ulfah S, Mahalina W, Syauqi A, Istiqfaroh L, Trimulyono G. 2015.
Isolasi dan karakterisasi Bacillus sp . pelarut fosfat dari rhizosfer
tanaman leguminosae. Jur. Biol. FMIPA Univ. Negeri Surabaya.
3(2):62–68.
Nuryanti S, Fitriana F, Pratiwi AR. 2021. Karakterisasi isolat bakteri penghasil
selulosa dari buah naga merah (Hylocereus polyrhizus). J. Ilm. As-Syifaa.
13(1):71–79.doi:10.33096/jifa.v13i1.768.
Panjaitan FJ, Bachtiar T, Arsyad I, Lele OK, Indriyani W. 2020. Karakterisasi
mikroskopis dan uji biokimia Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) dari rhizosfer
tanaman jagung fase vegetatif. J. Ilmu Pertan. dan Lingkung. 1(1):9–17.
Parija SC. 2012. Microbiology & Immunology 2nd Edition. Ed ke-2nd. India:
ELSEVIER.
Purwaningsih D, Wulandari D. 2021. Uji aktivitas antibakteri hasil fermentasi
bakteri endofit umbi talas (Colocasia esculenta L) terhadap bakteri
Pseudomonas aeruginosa. J. Sains dan Kesehat. 3(5):750–
759.doi:10.25026/jsk.v3i5.622.
Rindita. 2021. Modul Bakteriologi Dasar. Jakarta.
Taruklinggi UR, Suartha IN, Soma IG. 2021. Bacterial infectious rhinitis in cat: a
Case Report. Indones. Med. Veterinus. 10(2):316–
326.doi:10.19087/imv.2021.10.2.316.
Tjampakasari CR, Hanifah N. 2023. Kultivasi dan identifikasi bakteri anaerob
Bacteroides fragilis. MAHESA Malahayati Heal. Student J. 3(11):3717–
3729.doi:10.33024/mahesa.v3i11.11537.
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Disusun oleh:
Vapriel Andhika Pattikawa B9404231083
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan mengidentifikasi bakteri yang didapatkan dari abses pada
kaki kanan kucing di rumah kucing Parung, Bogor, Jawa Barat.
II METODE
(A) (B)
Gambar 3. A) Blood agar tanpa perlakuan; B) Blood agar setelah dikultur bakteri
Sampel yang telah tumbuh pada media BA, kemudian diambil menggunakan ose
dan dilakukan pewarnaan gram serta uji KOH 3%. Hasil pewarnaan gram dan Uji KOH
3% disajikan pada Gambar 4. Hasil uji menunjukkan sampel yang dibiakkan memiliki
warna biru dan berbentuk batang, selain itu hasil uji KOH 3% menunjukkan tidak ada
lendir yang terbentuk sehingga dapat disimpulkan bakteri yang tumbuh pada media BA
merupakan bakteri gram positif.
(A) (B)
Gambar 4 (A) Hasil Pewarnaan Gram; ( ) Koloni bakteri berbentuk batang, kecil dan
berwarna biru; (B) Hasil Uji KOH 3% menunjukkan tidak ada lendir yang
terbentuk.
Uji selanjutnya yang dilakukan adalah fermentasi gula dan uji indol. Hasil uji
fermentasi gula menunjukkan biakan bakteri pada glukosa, sukrosa, dan maltosa
menunjukkan hasil positif yang ditujukkan dengan perubahan warna menjadi kuning
serta terbentuknya gelembung udara pada tabung durham. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa bakteri memanfaatkan glukosa, sukrosa dan maltosa untuk
keberlangsungan fermentasi karbohidrat dan terbentuk gas. Perubahan media menjadi
warna kuning disebabkan karena indikator fenol merah. Bakteri dikatakan dapat
memfermentasi semua kabohidrat jika dalam prosesnya terjadi pengonversian piruvat
menjadi asam, yang selanjutnya diubah menjadi gas H2 dan CO2 yang terperangkap
dalam tabung durham (Haryati 2020). Biakan bakteri pada mannitol dan maltosa
menunjukkan hasil dubius. Uji indol merupakan uji untuk menentukan kemampuan
mikroorganisme dari sampel untuk menghasilkan indol dari triptofan. Asam amino
triptofan merupakan komponen asam amino yang lazim terdapat dalam protein,
sehingga asam amino dengan mudah dapat digunakan oleh mikroorganisme akibat
penguraian protein (Sarah et al. 2014; Kosasi et al. 2019). Hasil uji indol menunjukkan
hasil negatif. Hasil uji fermentasi gula dan uji indol disajikan pada Gambar 5.
A B C D E F
A
A
A
A
Gambar 5 (A) Hasil Uji Manitol, (B) Hasil Uji Glukosa, (C) Hasil Uji Laktosa, (D) Hasil Uji
Maltosa, (E) Hasil Uji Sukrosa, (F) Hasil Uji Indol, ( ) Gelembung udara pada
tabung durham
Uji berikutnya adalah uji katalase. Hasil uji ini menunjukkan hasil positif karena
terbentuknya gelembung udara di dalam tabung reaksi. Enzim katalase akan
mengkatalisis dalam penguraian hidrogen peroksida (H2O2) yang berbahaya menjadi
air dan oksigen sehingga tidak menyebabkan bahaya bagi organisme. Hidrogen
peroksida terbentuk dalam metabolisme aerob, sehingga organisme yang berhabitat
pada lingkungan aerob mampu memecahkan senyawa tersebut, bakteri yang memiliki
enzim katalase diindikasikan dengan terbentuknya gelembung pada media yang
disebabkan adanya gas oksigen dari penguraian H2O2 (Panjaitan et al. 2020). Hasil uji
katalase disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Hasil Uji Katalase, ( ) Gelembung yang terbentuk pada Uji Katalase.
Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan, bakteri yang diidentifikasi pada
praktikum ini diduga bakteri dengan genus Corynebacterium. Menurut Maza et al.
(2020), Corynebacterium merupakan bakteri gram positif berbentuk bacill yang
mampu memfermantasikan gula dan juga mengkatalisis H2O2. Corynebacterium
adalah genus bakteri yang termasuk dalam kelompok Actinobacteria. Bakteri ini
bersifat Gram-positif, artinya mereka memiliki dinding sel yang menahan pewarnaan
gram. Corynebacterium memiliki bentuk batang dan dapat ditemukan di berbagai
lingkungan, termasuk tanah, air, dan pada permukaan kulit manusia serta hewan.
Spesies Corynebacterium yang umum menyebabkan infeksi pada manusia adala C.
jeikeium, C. striatum, dan C. urealitikum. Spesies C. jeikeium merupakan spesies yang
paling sering diisolasi dari specimen klinis yang diketahui menyebabkan bakteremia
dan endocarditis katup prostetik. Infeksi juga terlihat pada pasien dengan
imunokompromais dengan gangguan darah dan organ padat serta bakteremia dan
sepsis. Selain itu, spesies ini juga resisten terhadap berbagai antibiotik. C. striatum,
merupakan spesies patogen terkait dengan beberapa infeksi pada manusia, seperti
endokarditis perangkat prostetik, sepsis dan bakteremia pada pasien
immunocompromised, infeksi saluran pernapasan, osteomielitis, meningitis, dan
infeksi luka. Bakteri ini juga merupakan penyebab patogen yang resistan terhadap
banyak obat dengan angka kematian tinggi. C. urealyticum biasanya diisolasi dari
spesimen urin dengan pH basa dan berhubungan dengan kristal struvite yang dikenal
sebagai sistitis bertatahkan basa. Organisme ini seringkali resisten terhadap berbagai
antibiotik.
Hasil identifikasi bakteri pada praktikum ini diduga adalah bakteri dengan genus
Corynebacterium, tetapi dugaan ini belum pasti karena keterbatasan waktu dan alat
bahan di laboratorium serta masih diperlukan beberapa uji lainnya untuk menguatkan
dugaan sampel tersebut adalah Corynebacterium. Beberapa uji yang dapat dilakukan
untuk menguatkan dugaan Corynebacterium adalah metode pewarnaan Ziehl Nessen,
uji Spora, Uji Urea, dan metode pemeriksaan dengan RapID CB Plus system. Metode
RapID CB Plus System adalah metode mikro menggunakan system 18 sumur dengan
substrat konvensional dan kromogenik untuk identifikasi corynebacteria. Panel sumur
yang diinokulasikan bakteri kemudian diinkubasi selama 4 hingga 6 jam pada suhu 35
hingga 37°C, kemudian reagen ditambahkan dan hasilnya diintepretasikan sesuai
ketentuan pabrikan. Warna kuning atau kuning oranye diartikan positif untuk 11 sumur
pertama, kemudian sumur yang tersisa jika berwarna ungu, merah atau merah muda
menunjukkan reaksi positif (Maza et al. 2020).
IV PENUTUP
4.1 Simpulan
Sampel abses diambil dari kaki kucing Lima di Rumah Kucing Parung
merupakan bakteri gram positif bacill. Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan,
diduga bakteri tersebut berasal dari genus Corynebacterium, namun dugaan ini belum
pasti karena masih harus memerlukan beberapa uji lagi untuk mengidentifikasi secara
pasti.
V DAFTAR PUSTAKA
de la Maza LM, Pezzlo MT, Bittencourt CE, Peterson EM. 2023. Color atlas of medical
bacteriology. Washington: ASM Press
Febriza MA, Adrian QJ, Sucipto A. 2021. Penerapan ar dalam media pembelajaran
klasifikasi bakteri. Jurnal Program Studi Pendidikan Biologi. 11(1): 10-18.
Hamidah MN, Rianingsih L, Romadhon. 2019. Aktivitas antibakteri isolat bakteri asam
laktat dari peda dengan jenis ikan berbeda terhadap E. coli dan S. aureus. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Perikanan. 1(2): 11-21.
Haryati K. 2020. Pengujian kualitas mikrobiologi ikan ekor kuning asap dari pasar
youtefa papua. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 23(3): 486-494.
Kosasi C, Lolo WA. Sedewi S. 2019. Isolasi dan uji aktivitas antibakteri dari bakteri
yang berasosiasi dengan alga Turbinaria ornata (turner) j. Agardh serta
identifikasi secara biokimia. Pharmacon. 8(2): 351-359.
Sarah MP, Fatimawali, Aaltje M. 2014. Identifikasi bkateri resisten merkuri pada urine
feses dan kalkulus gigi pada individu di kecamatan malalayang, manado,
sulawesi utara. Jurnal e-Biomedik. 2(2): 532- 540.
LAPORAN BAKTERI DAN MIKAL
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Dosen Pembimbing:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
Disusun oleh :
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesehatan adalah hal utama bagi kehidupan setiap makhluk hidup baik manusia,
tumbuhan dan hewan. Kucing dan anjing merupakan hewan yang sering dijadikan
peliharaan oleh manusia. Kedua hewan ini dapat terserang oleh berbagai macam
penyakit, salah satunya yaitu penyakit kulit. Menurut Putri et al. (2017), penyakit kulit
merupakan penyakit yang umum diderita oleh hewan mamalia, jika tidak ditangani
dengan cepat dan tepat maka penyakitnya dengan cepat dapat meluas sehingga dapat
mengganggu aktivitas kucing dan anjing atau bahkan menyebabkan kematian. Penyakit
kulit dapat disebabkan akibat oleh adanya infeksi jamur.
Menurut Campbell (2013), jamur adalah salah satu kingdom dalam sistem
klasifikasi makhluk hidup. Jamur merupakan makhluk hidup heterotrof atau menjadi
dekomposer di lingkungan. Pada umumnya, jamur tumbuh dengan baik di tempat yang
lembab. Jamur terdiri dari khamir dan kapang. Khamir biasanya uniselular, sedangkan
kapang berfilamen. Jamur dapat menginfeksi dan menimbulkan gangguan bagi hewan.
Jamur pada hewan biasanya didominasi oleh golongan Dermatofita, yang menginfeksi
kulit superfisial dengan satu atau lebih spesies jamur yang umumnya bersifat
keratofilik seperti Microsporum sp, Trichophyton sp, dan Epidermophyton sp. (Sudipa
et al. 2020). Selain golongan dermatofita, beberapa jenis jamur juga ditemukan
menginfeksi pada kucing yaitu jamur jenis Penicillium sp. dan Aspergillus sp.
Jamur dapat menginfeksi hewan kesayangan seperti anjing dan kucing. Infeksi
jamur pada hewan menyebabkan gejala klinis seperti kerontokan bulu di seluruh muka,
hidung dan telinga, perubahan yang tampak pada kulit berupa lingkaran atau cincin
dengan batas jelas dan umumnya dijumpai di daerah leher, muka terutama sekitar
mulut, pada kaki, dan perut bagian bawah. Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan
kerak, dan dibagian keropeng biasanya bagian tengahnya kurang aktif, sedangkan
pertumbuhan aktif terdapat pada bulu berupa kekusutan, rapuh dan akhirnya patah,
ditemukan pula kegatalan (Adzima et al. 2013).
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi sampel kerokan kulit yang
didapat dari kucing di Cibanteng dan anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan IPB
University.
II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1 Aspergillus flavus pada media PDA. (A) obverse, (B) reverse
(Khan 2021).
Gambar
2.3 Penicillium
Penicillium diklasifikasikan menurut sistem nama binomial yaitu Kingdom
Fungi, Filum Ascomycota, Kelas Eurotiomycetes, Ordo Eurotiales, Famili
Trichocomaceae, Genus Penicillium dan banyak spesies tersebar di alam (Fardiaz
1989). Karakteristik mikroskopis Penicillium sp. menurut literatur yaitu memiliki
rantai konidia bersel tunggal yang diproduksi dari sel khusus konidia yang disebut
fialid. Fialid dapat diproduksi secara tunggal, berkelompok atau dari metula yang
bercabang, dan akan berbentuk seperti sikat (penicillus). Beberapa jenis Penicillium
sp. yang terkenal antara lain P. notatum yang digunakan sebagai produsen antibiotik
dan P. camembertii yang digunakan untuk membuat keju biru (Purves dan Sadava
2003). Penicillium sp. merupakan jamur yang berkembang biak secara aseksual dengan
membentuk konidium yang berada di ujung hifa. Setiap konidium akan tumbuh
menjadi jamur baru. Konidium berwarna kehijauan. Konidium berbeda dengan
sporangium, karena tidak memiliki selubung pelindung seperti sporangium. Tangkai
konidium disebut konidiofor, dan spora yang dihasilkannya disebut konidia. Konidium
ini memiliki cabang-cabang yang disebut phialides sehingga tampak membentuk
gerumbul. Lapisan dari phialides yang merupakan tempat pembentukan dan
pematangan spora disebut sterigma (Purves dan Sadava 2003). Dinding spora relatif
impermeable, tetapi zat pewarna dapat dibuat menembusnya dengan pemanasan
preparat. Sifat impermeable ini juga bisa menghambat dekolorisasi spora pada tahap
pemberian alkohol yang biasanya cukup untuk dekolorisasi sel vegetatif. Bentuk dan
warna spora ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengidentifikasi jamur.
III METODE
3.1 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu sampel kerokan kulit, lactophenol cotton
blue (LPCB), mikroskop, pinset, gelas objek, cover glass, plastik klip, bunsen, korek,
media Potato Dextrose Agar (PDA), scalpel, dan blade.
Sampel 2
Nama : Ragil
Jenis hewan : Anjing
Ras : Mongrel
Umur : 1 tahun
Berat badan : 16 kg
Warna : Cokelat
Tanda khusus :-
Pada awalnya anjing menunjukkan adanya bercak bulat kemerahan yang gatal
serta alopecia pada bagian kaki depan sebelah kiri, beberapa hari kemudian ditemukan
bahwa bercak sudah menyebar ke bagian tubuh lainnya, terutama bagian ventral
abdomen. Hewan telah dilakukan pemeriksaan dengan wood lamp dan mendapatkan
hasil positif. Hewan sudah diberi pengobatan dengan pemberian antifungi sistemik dan
juga topikal, akan tetapi lesio berupa ringworm baru muncul di bagian tubuh lainnya.
Gambar 5 Pertumbuhan koloni Aspergillus flavus yang diisolasi dari kerokan kulit anjing
Ragil.
Jamur yang diisolasi dari kerokan kucing Wawa dan anjing Ragil teridentifikasi
dari jenis Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus dan Penicilium
sp.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiarto S. 2009. Pemanfaatan limbah kulit singkong, kulit pisang, dan kulit kentang
sebagai bahan pakan ternak melalui teknik fermentasi. Jurnal Teknik
Lingkungan. 10(3):257-263.
Adzima V , Jamin F, Abrar M. 2013. Isolasi dan identifikasi kapang penyebab
dermatofitosis pada anjing di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Jurnal
Medika Veterinaria. 7(1): 46-48.
Campbell. (2013). Intisari biologi edisi ke 6. Jakarta: Erlangga.
Enoch, DA, Ludlam HA, Brown NM. 2006. Invasive fungal infections: a review of
epidemiology and management options. J Med Microbiol. 55:809–818.
Fadaeifard, F., Mehdi, R., Hamidreza, B., Ebrahim, R., Ahmad, N. 2011. Freshwater
Fungi Isolated from Eggs and Broodstocks with an Emphasis on Saprolegnia in
Rainbow trout Farms in West Iran. Journal of Microbiology Research.
4(22):3649.
Fallo G. 2017. Pertumbuhan Fusarium verticillioides, Aspergillus flavus, dan Eurotium
chevalieri pada berbagai media. Jurnal Pertanian Konservasi Lahan Kering.
2(3): 39-41.
Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Gandi NLPG, Getas IW, Jannah M. 2019. Studi jamur Aspergillus fumigatus penyebab
aspergillosis di Pasar Cakranegara Kota Mataram dengan media pertumbuhan
potato dextrose agar (PDA). Jurnal Analis medika Bio Sains. 6(1): 1-9.
Hadioetomo, Ratna S. 2003. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama.
Hasanah U. 2017. Mengenal aspergillosis, infeksi jamur genus Aspergillus. Jurnal
Keluarga Sehat Sejahtera. 15(2): 76-86.
Jayanti PD, Batan IW, Sibang INAAN. 2022. Laporan kasus: dermatitis akibat infeksi
Curvularia sp., Penicilium sp., dan Aspergillus sp. pada anjing kampung.
Indonesia Medicus Veterinus. 11(6): 922-936.
Khoufache K, Puel O, Loiseau N, Delaforge M, Rivollet D, Coste A,Cordonnier C,
Escudier E, Botterel F, Bretagne S. 2007. Verruculogen associated with
Aspergillus fumigatus hyphae and conidia modifies the electrophysiological
properties of human nasal epithelial cells. BMC Microbiol. 7(1):5.
Khan R. 2021. Morphology of Aspergillus flavus. Malaysia: University Putra Malaysia.
Nurhidayah, Dhanty, Supriyadi. 2021. Identifikasi jamur patogen penyebab
dermatophyitosis pada jari kaki petani di bojongsari banyumas. JlabMed. 1(5)
:7-15.
Purves, Sadava. 2003. Life The Science of Biology 7th Edition. New York (USA):
Sinauer Associates Inc.
Putri MBP, Santoso E, Marji. 2017. Diagnosis penyakit kulit pada kucing
menggunakan metode modified KNearest neighbor. Jurnal Pengembangan
Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 1(12): 1797-1803.
Putri MC, Erina, Abrar M, Daud M. 2021. Isolasi dan identifikasi Aspergillud sp. pada
kantung hawa puyuh (Cortunix Japonica). Acta Veterinaria Indonesia. 9(2):
134-142.
Sudipa PH, Gelgel KTP, Jayanti PD. Identifikasi dan prevalensi jamur curvularia pada
anjing dan kucing di Kabupaten Badung, Bali Tahun 2020. Indonesia Medicus
Veterinus. 10(3): 432-440.
Walsh TH, Hayden RT, Larone DH. 2018. Larone’s Medically Important Fungi 6th
Edition. Washington DC: ASM Press.
Wulandari DE, Asrul. Lakani I. 2016. Seleksi jamur antagonis Aspergillus niger dari
beberapa lahan perkebunan kakao untuk mengendalikan Phytophthora
palmivora. J. Agroland. 23(3): 233-242.
Dosen Pembimbing:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
Disusun oleh:
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesehatan lingkungan merupakan suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang
optimal sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang
optimal pula (Notoatmodjo 2011). Banyak aspek kesejahteraan manusia dan hewan
dipengaruhi oleh lingkungan, diantaranya adalah penyakit yang terjadi di masyarakat
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor makanan. Makanan yang masuk ke dalam tubuh
manusia harus dijaga kualitasnya dari bakteri patogen yang dapat menyebabkan diare
salah satunya Escherchia coli yang dijadikan sebagai indikator kualitas makanan yang
baik (Prasetya et al. 2019). Bakteri ini termasuk flora normal manusia, namun dapat
menyebabkan penyakit yang serius seperti hemolytic uremic syndrome (HUS),
hemorrhagic colitis (HC), keracunan makanan, dan diare (Hemeg 2018).
Deteksi bakteri E. coli dilakukan menggunakan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR) adalah salah satu teknik deteksi molekuler yang digunakan untuk
mengidentifikasi penyakit infeksi yang disebabkan oleh Escherchia coli (Ismaun
2021). Metode ini memiliki banyak kelebihan yaitu dapat menghasilkan amplifikasi
produk yang akurat, cepat, spesifik, membutuhkan jumlah sampel yang sedikit dan
metode ini dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan diagnostic konvensional
(kultur). Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam
jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Teknik ini sangat berguna dalam
mengidentifikasi dan mendeteksi keberadaan mikroorganisme tertentu, termasuk
bakteri seperti E. coli. Reaksi berantai polymerase adalah suatu metode enzimatis untuk
amplifikasi DNA dengan cara in vitro. PCR ini pertama kali dikembangkan pada tahun
1985 oleh Kary B. Mullis. Amplifikas DNA pada PCR dapat dicapai bila menggunakan
primer oligonukleotida yang disebut amplifiers. Primer DNA suatu sekuens
oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA.
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi keberadaan
mikroorganisme patogen seperti bakteri E. coli pada sampel.
II TINJAUAN PUSTAKA
III METODE
2. Ekstraksi
Isolat bakteri diambil dan dimasukkan ke dalam 10 tabung eppendorf
steril yang telah terisi akuades. Sampel ditutup rapat dan tutup direkatkan
dengan plastic wrap. Seluruh tabung dimasukkan ke dalam air mendidih selama
5 menit. Setelah 5 menit, tabung dimasukkan ke dalam air dingin selama 5-10
menit untuk menghentikan pemanasan. Sampel kemudian divortex selama 3
menit. Proses pemanasan dan vortex diulangi sebanyak 3 kali. Larutan
supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf baru kemudian disimpan dalam
suhu -20 °C. Larutan supernatan yang sudah dingin diambil kemudian
disentrifugasi dalam kecepatan 5000 rpm selama 3 menit.
3. Amplifikasi
Supernatan yang berisi DNA murni dipisahkan dan dimasukkan ke
dalam mikrotube sebanyak 2 µl. Master mix kemudian dibuat dengan cara
mencampurkan PCR mix (24 µl), primer forward 10 (4 µl), primer reverse (4
µl), aquades (8 µl). Mastermix sebanyak 10 µl kemudian di campurkan ke
dalam masing-masing microtube yang berisi DNA murni. Microtube yang telah
berisi mastermix dan DNA dimasukkan ke dalam PCR untuk dilakukan
amplifikasi. Proses amplifikasi dilakukan pada kondisi awal denaturasi yaitu
95˚C dilanjutkan dengan 30 siklus denaturasi pada suhu 95˚C selama 15 detik,
annealing 58˚C selama 30 detik dan ekstensi 72˚C selama 1 menit dan
diperpanjang menjadi 10 menit. Suhu dan waktu yang digunakan pada setiap
tahapannya antara lain denaturasi, annealing, dan elongasi sudah tertera dalam
mesin. Gen spesifik yang digunakan dalam amplifikasi DNA E.coli yaitu UspA.
4. Elektroforesis
Elektroforesis diawali dengan menyiapkan agarose terlebih dahulu.
Agarose yang digunakan yaitu agarose 1%. Bahan yang perlu disiapkan yaitu
agarose dan TAE 10%. TAE 10% dibuat dengan mencampurkan TAE 4 mL
dan aquades 36 mL. Tahapan selanjutnya yaitu mencampurkan 0,4 gram
agarose dengan 40 mL TAE 10%, lalu pencetak sumur diletakkan ke dalam
cetakan agar dan kemudian larutan agar dituangkan ke dalam cetakan agar.
Agar didiamkan hingga mengeras, dan ketika sudah mengeras, cetakkan sumur
diangkat. Buffer TAE dituangkan ke dalam cetakan agar hingga mencapai
tinggi 1 mm diatas agar. Sebanyak 3 μl DNA sampel dihomogenkan dengan
loading dye 1 μl dan H2O sebanyak 6 μl. Selanjutnya larutan DNA dimasukkan
ke dalam sumur agarose 1% lalu kemudian dielektroforesis selama 30 menit
dengan tegangan 100 volt 80 A. DNA yang berkualitas baik akan terlihat
berpendar dan tidak smear ketika diamati menggunakan ultra violet
transilluminator.
IV PEMBAHASAN
Proses isolasi DNA pada praktikum ini dilakukan menggunakan metode boiling
cell. Metode boiling cell merupakan metode yang menggunakan suhu panas untuk
melisiskan sel, metode ini tergolong cepat, sederhana, dan merupakan metode yang
efektif digunakan untuk isolasi DNA bakteri. Proses tersebut membutuhkan tiga kali
sentrifugasi untuk mendapatkan sel, membuang debris sel setelah proses perebusan dari
jumlah total endapan DNA (Ismaun et al. 2021). Penyiapan template DNA sampel
yang digunakan untuk diamplifikasi dengan PCR, ekstraksinya dilakukan dengan cara
boiling method, karena metode ini cukup efisien dan ekonomis dimana Escherichia
coli termasuk bakteri Gram negatif yang memiliki dinding sel yang tidak terlalu tebal
sehingga mudah dilisiskan dengan pemanasan. Pada dasarnya, metode boiling dengan
pemanasan 100 oC ini mempercepat lisis dinding sel bakteri sehingga DNA dapat
diekstraksi sekaligus mempermudah proses denaturasi rantai DNA ketika dilakukan
amplifikasi dengan cara PCR.
Proses amplifikasi dilakukan pada kondisi awal denaturasi yaitu 95˚C
dilanjutkan dengan 30 siklus denaturasi pada suhu 95˚C selama 15 detik, annealing
58˚C selama 30 detik dan ekstensi 72˚C selama 1 menit dan diperpanjang menjadi 10
menit. Escherichia coli dalam sampel dapat diamplifikasi dengan PCR menggunakan
primer yang dirancang berdasarkan sekuens DNA yang mengkodekan 16S rRNA.
Salah satu pasangan primer rRNA telah didesain berdasarkan sekuens daerah V3 dan
V6 dari gen 16S rRNA telah digunakan untuk mendeteksi Escherichia coli (Tsen et al.
1998). Pasangan primer 16E1 pada daerah V3 dan 16E2 atau 16E3 pada daerah V6
merupakan sepasang primer yang telah terbukti dapat mengidentifikasi Escherichia
coli dan bersifat spesifik spesies terhadap galur Escherichia coli dan non-Escherichia
coli
Uji kualitas DNA dilakukan dengan menguji sampel yang diduga positif
terhadap bakreri Escerichia coli. Denaturasi merupakan tahap sebelum enzim
polimerasi bekerja, terjadi pembukaan rantai ganda tunggal. Tahap annealing
merupakan tahap yang penting karena merupakan tahap dari penempelan primer
setelah rantai ganda DNA terbuka. Pemilihan suhu annealing yang terlalu rendah akan
menyebabkan penempelan yang tidak spesifik, sedangkan suhu yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan sulit terbentuknya ikatan primer dan DNA template (Siallagan et
al. 2022). Suhu ekstensi primer yang digunakan adalah 72˚C. Jumlah siklus PCR juga
dapat menentukan spesifisitas produk PCR. Jumlah siklus yang dipakai dalam
penelitian ini yaitu 30 siklus. Jumlah tersebut masih dalam kisaran yang optimal.
Menurut (Ismaun et al. 2021) jumlah siklus yang optimal untuk PCR yaitu 25-45 siklus.
Jumlah siklus yang terlalu banyak dapat mengurangi aktivitas primer, dNTP, dan Taq
DNA polymerase sehingga produk PCR tidak spesifik.
Identifikasi E. coli dengan prosedur PCR dilakukan dengan amplifikasi dari gen
uspA yang mengkode E. coli-specific universal stress protein (uspA-PCR). Primer
yang digunakan adalah pasangan primer Ec1 / Ec2 (sekuens DNA yang mengapit gen
uspA). Primer ini menghasilkan amplikon 884-bp, dan memungkinkan identifikasi dan
membedakan E. coli dari bakteri lainnya (Osek dan Dacko 2001).
Ec2 ACGCAGACCGTAGGCCAGAT
Gambar 1 Konfirmasi bakteri E.coli dengan PCR. Isolat 1–10 positif E.coli dengan
panjang amplikon 844 bp.
V SIMPULAN
Berdasarkan hasil dari praktikum dapat disimpulkan bahwa isolat 1-10 yang
digunakan merupakan positif E.coli dengan panjang amplikon 844 pb.
DAFTAR PUSTAKA
Agüero M, Fernández J, Romero L, Mascaraque CS, Arias M, Sánchez-Vizcaíno JM.
2003. Highly sensitive PCR assay for routine diagnosis of African Swine Fever
Virus in clinical samples. J Clin Microbiol. 41(9):4431–4434.
doi:10.1128/JCM.41.9.4431-4434.2003.
Andreozzi E, Uhlich GA. 2020. PchE regulation of Escherichia coli O157:H7 flagella,
controlling the transition to host cell attachment. Int J Mol Sci. 21(13):4592.
doi:10.3390/ijms21134592.
Ashbolt NJ, Grabow WOK, Snozzi M. 2001. Indicators of Microbial Water Quality.
Fewtrell L, Bartram J, editor. London (UK): IWA Publishing.
Bhowmik A, Goswami S, Sirajee AS, Ahsan S. 2022. Phylotyping, pathotyping and
phenotypic characteristics of Escherichia coli isolated from various street foods
in Bangladesh. medRxiv. 2022.02.07.22270615. 46
doi:10.1101/2022.02.07.22270615.
Braz VS, Melchior K, Moreira CG. 2020. Escherichia coli as a multifaceted pathogenic
and versatile bacterium. Front Cell Infect Microbiol. 10:1-9.
doi:10.3389/fcimb.2020.548492
Chen J, Griffiths MW. 1998. PCR differentiation of Escherichia coli from other Gram-
negative bacteria using the gene encoding the universal stress protein. Lett. Appl.
Microbiol. 27: 369-371.
Fadllan F, Djuminar Ai, Hardiana AT, Dermawan Asep, Ernawati. 2019. Perbandingan
ekstraksi DNA Salmonella thypi dari kultur darah metode spin column dan
alcohol based. Jurnal Riset Kesehatan. 11(2): 232-242.
Fernández-Pinero J, Gallardo C, Elizalde M, Robles A, Gómez C, Bishop R, Heath L,
Couacy-Hymann E, Fasina FO, Pelayo V, et al. 2013. Molecular Diagnosis of
african swine fever by a new real-time PCR using universal probe library.
Transbound Emerg Dis. 60(1):43–58. doi:10.1111/j.1865-1682.2012.01317.x.
Godambe LP, Bandekar J, Shashidhar R. 2017. Species specific PCR based detection
of Escherichia coli from Indian foods. Biotech. 7(2):1–5. doi:10.1007/s13205-
017-0784-8.
Hemeg HA. 2018. Molecular characterization of antibiotic resistant Escherichia coli
isolates recovered from food samples and outpatient Clinics, KSA. Saudi Journal
of Biological Science. 25(1): 928- 931.
Ismaun, Muzuni, Hikmah N. 2021. Deteksi molekuler bakteri Echercia coli sebagai
penyebab penyakit diare dengan menggunakan teknik PCR. Jurnal Biologi
Makasar. 6(2): 1-9.
King DP, Reid SM, Hutchings GH, Grierson SS, Wilkinson PJ, Dixon LK, Bastos
ADS, Drew TW. 2003. Development of a TaqMan® PCR assay with internal
amplification control for the detection of African Swine Fever Virus. J Virol
Methods. 107(1):53–61. doi:10.1016/S0166-0934(02)00189-1.
Kvint K, Nachin L, Diez A, Nyström T. 2003. The bacterial universal stress protein:
function and regulation. Curr Opin. Microbiol. 6(2):140–145.
doi:10.1016/s1369-5274(03)00025-0.
Lee PY, Costumbrado J, Hsu CY, Kim YH. 2012. Agarose gel electrophoresis for the
separation of DNA fragments. J Vis Exp. 62: 1–5.
Notoatmodjo S. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni: Ed Revisi 2011. Rineka
Cipta. Jakarta.
Osek J, Dacko J. 2001. Development of a PCR-based method for spesific identification
of genotypic markers of shiga toxin-producing Escherichia coli strains. J Vet Med
B. 48: 771-778.
Prasetya YA, Winarsih IY, Pratiwi KA, Hartono MC, dan Rochimah DN. 2019.
Deteksi Fenotipik Escherichia coli Penghasil Extended Spectrum BETA-
LACTAMASES (ESBLS) Pada Sampel Makanan Di Krian Sidoarjo. Journal of
Biology. 8(1): 75-85.
Quinn PJ, Markey BK, Leonard FC, FitzPatrick ES, Fanning S, Hartigan PJ. 2011.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. 2nd ed. Iowa (IA): Blackwell
Scientific. hlm 263-273.
Siallagan CS, Syafii M, Samaullah MY, Susanto U, Pramudyawardani EF, Orastika D.
Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan. 8(8): 32-37.
Singh J, Birbian N, Sinha S, Goswami A. 2014. A critical review on PCR, its types and
applications. Int J Adv Res Biol Sci. 1(7):65–80. ISSN:2348–8069.
Tsen HY, Lin CK, Chi WR. 1998. Development and Use of 16 rRNA Gene Target
PCR Primers for The Identification of Escherichia coli Cells in Water. Journal of
Applied Microbiology. 85: 60-554.
Widodo WT, Huda C. 2021. Detection of Escherichia coli Using PCR Analysis
Without DNA Extraction. Fol. Med. Indones. 2(57): 147-150.
LAPORAN INDIVIDU
BAKTERI VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS
Disusun oleh:
Reza Mahdiah Reflianti B9404231053
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui taksonomi, klasifikasi, epidemiologi, jenis
hewan yang dapat terinfeksi, mekanisme infeksi, mode transmisi, potensi zoonotik,
jenis sampel, pendekatan diagnostik agen penyakit pada hewan, pengobatan, serta
pencegahan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus.
II PEMBAHASAN
2.1 Taksonomi dan Klasifikasi Agen Penyakit
Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif, halofilik,
bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob, dan mempunyai flagelum kutub
tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis (Austin 2010).
Perubahan bentuk morfologi V. parahaemolyticus dapat terjadi dengan perlakuan suhu
dingin dan kondisi lingkungan yang tidak menunjang (Chen 2009). Bakteri V.
parahaemolyticus dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan
produk makanan laut lainnya Bakteri V. parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh
manusia yang mengkonsumsi produk makanan laut seperti udang, kerang, ataupun ikan
mentah yang dimasak kurang sempurna (Sudheesh dan Xu 2001). Taksonomi dari
bakteri V. parahaemolyticus sebagai berikut.
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Vibrionales
Famili : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Species : Vibrio parahaemolyticus
2.2 Epidemiologi Penyakit
Infeksi Vibrio parahaemolyticus menimbulkan penyakit gastroenteritis pada
manusia, suatu diare hebat disertai dengan demam, sakit kepala, mual, dan kram perut,
sampai kematian. Penyakit ini terjadi biasanya karena mengonsumsi makanan laut
mentah atau kurang sempurna memasaknya, yang terkontaminasi V. parahaemolyticus
(Tada et al. 1992). Makanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus merupakan
penyebab utama outbreak foodborne disease gastroenteritis di dunia. Epidemiologi
gastroenteritis merupakan penyakit yang sangat umum ditemukan di belahan dunia
manapun, termasuk di negara maju. Berdasarkan data Riskesdas 2018, di Indonesia
prevalensi gastroenteritis adalah 6,8%.
Udang vannamei atau biasa disebut udang putih paling sering terserang bakteri
dari genus Vibrio, salah satunya dari spesies V. parahaemolyticus. Penyakit yang
disebabkan oleh bakteri vibrio salah satunya yaitu White Feces Disease (WFD).
Epidemiologi dari WFD banyak terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali,
Lombok, dan Sumbawa. Penyakit ini masuk ke Indonesia tahun 2014.
2.6 Jenis Sampel dan Pendekatan Diagnostik Agen Penyakit pada Hewan
Gejala penyakit dari vibriosis yang ditimbulkan salah satunya berupa
haemoragik dan eritema pada beberapa organ tubuh (pangkal sirip, rahang bawah,
daerah suntikan, usus), hepar pucat, dan ginjal bengkak. Jenis sampel yang dapat
diambil berdasarkan gejala vibriosis berupa haemoragik, luka seperti borok pada kulit,
luka kemerahan pada mulut, erosi kulit, dan mata menonjol. Untuk sampel larva dipilih
larva yang menunjukkan gejala berputar-putar (whirling), kulit pucat, serta
menunjukkan gejala kematian (Nitimulyo et al. 2005).
Ada beberapa pendekatan diagnostik Vibrio pada hewan yaitu dengan metode
kultur bakteri dilakukan dengan pengambilan sampel dari bagian luka, kemudian
bakteri di inokulasi dan dimurnikan pada media Thiosulphate Citrate Bile Sucrose
Agar (TCBSA, Oxoid, England). Penyimpanan bakteri murni dilakukan menggunakan
media Nutrient Agar (NA) (Oxoid) yang dilarutkan dalam larutan tiga garam (trisalt),
kemudian diinkubasi pada suhu 30ºC selama 24 jam. Setelah kepadatannya dihitung
dengan metode taburan, bakteri diinjeksi pada ikan dengan dosis 106 sel/ikan secara
intraperitoneal dengan tiga ulangan. Ikan kontrol diinjeksi dengan larutan trisalt steril
dengan dosis 0,25 ml/ikan. Ikan dipelihara dalam air steril dengan perlakuan aerasi,
penyifonan, dan pemberian pakan menggunakan pellet. Pengamatan dilakukan selama
7 hari setelah infeksi meliputi gejala eksternal dan internal. Reisolasi bakteri dilakukan
secara aseptis dari ginjal dan hati pada medium TCBSA. (Rahmawati 2023).
Polymerase Chain Reaction (PCR) juga dapat dilakukan dalam mendeteksi DNA V.
parahaemolyticus.
BACTERIA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
01 Vibrio spp. merupakan flora normal pada lingkungan, bakteri ini termasuk
bakteri akuatik yang dapat ditemukan di sungai, kolam, laut, perairan payau
seperti pantai atau muara sungai, serta umum terdapat selama kegiatan
budidaya udang (Vandenberghe et al. 2003)
V. parahaemolyticus sering ditemukan pada udang mentah, ikan mentah,
kerang, dan pangan hasil laut lainnya yang kurang sempurna memasaknya
(Volk dan Wheeler 1990).
Tujuan
02 Makalah ini bertujuan mengetahui taksonomi, klasifikasi, epidemiologi, jenis hewan
yang dapat terinfeksi, mekanisme infeksi, mode transmisi, potensi zoonotik, jenis
sampel, pendekatan diagnostik agen penyakit pada hewan, pengobatan, serta
pencegahan penyakit yang disebabkan oleh bakteri V.parahaemolyticus.
Taksonomi dan Klasifikasi
Kingdom Bacteria
Filum Proteobacteria
Kelas Gammaproteobacteria
Ordo Vibrionales
Famili Vibrionaceae
Genus Vibrio
Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat motil atau
bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk pertumbuhan dengan
oksidasi, fakultatif anaerob, dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat membentuk
spora serta bersifat zoonosis (Austin 2010).
Epidemiologi Penyakit
● .Penyakit yang disebabkan oleh bakteri vibrio salah satunya yaitu White Feces
Disease (WFD) pada udang vannamei. Epidemiologi dari WFD banyak terjadi di
Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Lombok, dan Sumbawa. Penyakit ini
masuk ke Indonesia tahun 2014
Jenis Hewan dapat Terinfeksi
BACTERIA
Laporan Kasus pada Hewan
Gastroenteritis
Musim panas seperti halnya
kasus di Amerika Serikat,
Canada, dan Jepang
Di Indonesia
Harus diwaspadai
34% Infeksi
Infeksi pada luka kulit
karena terpapar air laut
Gejala Klinis
Gejala klinis dari infeksi V.
parahaemolyticus dapat dilihat
secara visual dengan mengamati
kondisi hepatopankreas.
Hepatopankreas udang yang
terserang V. parahaemolyticus akan (A) Udang terinfeksi, hepatopankreas pucat,
berwarna pucat dan cenderung (B) Udang sehat, hepatopankreas normal.
Sumber: Rahmawati (2023)
keputihan.
BACTERIA
Histopatologi
Gambaran histopatologi udang yang
normal terdapat kondisi
hepatopankreas yang utuh,
sedangkan kondisi udang yang
terinfeksi V. parahaemolyticus
menunjukkan kerusakan pada
struktur hepatopankreas, sehingga Gambaran histopatologi organ hepatopankreas
udang
terlihat tidak utuh. Sumber: Rahmawati (2023)
BACTERIA
Mekanisme Infeksi
Proses infeksi bakteri Vibrio diawali oleh proses interaksi dengan pelekatan atau adesi
pada permukaan sel inang, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam sel,
kemudian dilanjutkan dengan tahap invasi dan penyebaran lokal atau sistemik dalam
tubuh inang. Tahap terakhir adalah pengeluaran dari tubuh inang.
Potensi Zoonotik
Dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Infeksi
umumnya terjadi melalui konsumsi makanan laut
mentah atau kurang dimasak.
Mode Transmisi
Horizontal dan Vertikal
Jenis Sampel dan Pendekatan Diagnostik
Sampel (bagian luka)
Pengobatan
Pengobatan yang umum dilakukan pada
penyakit vibriosis adalah dengan aplikasi
antibiotik.
Pencegahan
spesies mangrove juga digunakan untuk menghambat vibriosis
seperti Avicennia marina dan Sonneratia caseolaris. Maryani et al.
(2002), menyebutkan daun Avicennia alba mengandung senyawa
bioaktif yang dapat digunakan sebagai antioksidan, anti
inflammatory, dan anti cholinergic.
Hasil Pengobatan
Menurut Rusadi et al. (2019), hasil penelitian nya menunjukkan
bahwa pengobatan vibriosis menggunakan ekstrak daun Avicennia
alba termasuk kategori efektif mengobati udang vaname yang
terinfeksi bakteri vibrio, sehingga dapat meningkatkan
kelangsungan hidup
Simpulan
Bakteri Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat
motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob, dan mempunyai flagelum
kutub tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis. V.
parahaemolyticus sering ditemukan pada udang mentah, ikan mentah, kerang,
dan pangan hasil laut lainnya yang kurang sempurna memasaknya. Udang
vanname merupakan salah satu agen transmisi bakteri V. parahaemolyticus
menuju inang manusia. Penyebaran penyakit yang disebabkan bakteri Vibrio
pada organisme budidaya dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal.
Pengobatan yang umum dilakukan pada penyakit vibriosis adalah dengan
aplikasi antibiotik. Salah satu pencegahan yang dapat diterapkan adalah dengan
spesies mangrove digunakan untuk menghambat vibriosis seperti Avicennia
marina dan Sonneratia caseolaris. Pengobatan vibriosis menggunakan ekstrak
daun Avicennia alba termasuk kategori efektif mengobati udang vaname yang
terinfeksi bakteri vibrio, sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup
THANKS BREAKTHROUGH
Disusun oleh:
Shafa Adela Putri B9404231068
Dosen:
Dr. Drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui teknik diagnostik dari laporan kasus
penyakit pada hewan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Enteritidis.
BAB II PEMBAHASAN
LAPORAN KASUS
Laporan kasus: limfosarkoma disertai infeksi Salmonella Enteritidis pada
kucing
[Concurrent lymphosarcoma and Salmonella Enteritidis infection in a cat
: case report] (Bhaiyat et al. 2009)
STUDI KASUS
Salmonella enteritidis pada
Kucing
Shafa Adela Putri (B9404231068)
PPDH KELOMPOK C1
POKOK
BAHASAN
01. Pendahuluan
02. Pembahasan
03. Simpulan
Latar Belakang
Salmonella sp. • Bakteri Gram negatif
• Basil
• Tidak membentuk
Infeksi Saluran Pencernaan spora
• motil
KLEBSIELLA PNEUMONIAE
Disusun oleh:
Vapriel Andhika Pattikawa B9404231083
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Tujuan makalah ini adalah mengetahui taksonomi, epidemiologi, jenis hewan yang dapat
terinfeksi, mekanisme infeksi, mode transmisi, pendekatan diagnostik, pengobatan dan
pencegahan penyakit bakteri Klebsiella pneumoniae
II PEMBAHASAN
2.1 Taksonomi
Kingdom : Bacteria
Subkingdom : Negibacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gammaproteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobactericeae
Genus : Klebsiella
Species : Klebsiella pneumoniae
A B
C D
Gambar 1 (A) Pembesaran hati dengan banyak warna putih pucat dan fokus tidak teratur di
permukaan, (B) Nekrosis hepatoseluler ( ), (C) Hemoragi ( ), (D) Koloni bakteri
basofilik di hati ( ).
Sampel yang dikultur di media Blood Agar menunjukkan koloni bakteri non-hemolitik
(gamma hemolisis) dan termasuk bakteri yang mampu memfermentasikan laktosa.
Berdasarkan hasil uji biokimia, isolat bakteri teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae
(Tabel 1). Temuan histopatologi menunjukkan terjadinya hemoragi, multifocal nekrosis
hepatoseluler dan inflmasi infiltrasi sel (Gambar 1B dan 1C). Pada sampel hati ditemukan
koloni bakteri basofilik (Gambar 1D). Sampel yang dikultur pada media selektif Triptosa Sulfit
Cyclocerin (TSC) C. perfringens menunjukkan hasil negative. Pada media selektif XLD tidak
ditemukan koloni berwarna hitam yang menjadi ciri khas Salmonella.
Tabe 1. Hasil Uji Biokimia Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae dapat dideteksi dalam sampel tinja dan orofaring dari banyak
spesies psittacines sehat (Gibbs et al. 2007), namun demikian enterobacteria sebagian besar
bertindak sebagai patogen pernapasan, terutama pada unggas yang mengalami imunosupresi
dan stress (El Fertas-Aissani et al. 2013). Dalam laporan kasus ini, tampak kurangnya
kebersihan dan biosekuriti, masuknya burung-burung kenari baru tanpa proses karantina dan
pemantauan status kesehatan, burung mengalami stress dan imunosupressi terutama saat kawin
merupakan faktor penting dalam terjadinya infeksi Klebsiella pneumoniae.
Gambar 3. Mode Transmisi bakteri Klebsiella pneumoniae (Wyres dan Holt 2018).
lingkungan ke manusia atau hewan melalui kontak atau konsumsi sumber air yang
terkontaminasi
dari host kembali ke lingkungan melalui saluran pembuangan
manusia dari hewan yang terkontaminasi dengan cara kontak langsung atau hewan
dikonsumsi
Pendekatan Diagnostik
Kultur bakteri
Primerdesign genesig Kit for K. pneumoniae
Uji Hodge
Laporan Kasus
250 ekor burung terinfeksi di sebuah peternakan di Iran
Menunjukkan gejala anoreksia, lesu, diare, 30% populasi mati
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan burung terlihat sangat lemah, kahexia,
dehidrasi dan tinja mengalami perubahan warna di sekitar kloaka
Kemungkinan -> koksidiosis, enteritis nekrotikans, infeksi bakteri potensial
lainnya
Hasil koloni bakteri non-hemolitik dan termasuk bakteri yang mampu memfermentasikan laktosa.
Hasil uji biokimia-> Klebsiella pneumoniae (Tabel 1).
Temuan histopatologi -> hemoragi, multifocal nekrosis hepatoseluler dan inflmasi infiltrasi sel
(Gambar 1B dan 1C).
Sampel hati -> koloni bakteri basofilik (Gambar 1D).
Media selektif Triptosa Sulfit Cyclocerin (TSC) C. perfringens -> negatif.
Media selektif XLD tidak ditemukan koloni berwarna hitam yang menjadi ciri khas Salmonella.
Pengobatan
Resistensi
Meropenem
Kloramfenikol
Klebsiella pneumoniae ->
Siprofloksasin
enzim betalaktamase ->
Ampisilin
menghidrolisis cincin
Penisilin
betalaktam -> resistensi
Sefalosporin
terhadap antibiotik tersebut.
Aztreonam
Kapsul polisakarida ->
melindungi -> fagositosis &
bakterisidal serum
Thank You
LAPORAN KEGIATAN PPDH
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Trichophyton gallinae
Disusun oleh:
Farradiba Shafa Aqila B9404231046
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui karakteristik penyakit, mekanisme infeksi, metode
diagnosis, jenis pengobatan dan pencegahan terhadap infeksi dermatofitosis yang disebabkan
oleh kapang Trichophyton gallinae.
PEMBAHASAN
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Arthodermataceae
Genus : Trichophyton
Species : Trichophyton gallinae
C D
Gambar 2 Pewarnaan mikroskopis koloni jamur dengan pewarna LPCB terlihat hifa bersepta
dan makrokonidia (a), hifa melingkar berbentuk spiral (b), makrokonidia berbentuk clavate
terdiri dari 2-6 septa memilki dinding luar kasar (c)(d)
A B
C D
KESIMPULAN
Trichophyton gallinae merupakan spesies kapang utama yang menyebabkan
dermatofitosis pada ayam dengan lesi khas berupa terbentuknya kerak putih pada jengger dan
pial ayam ataupun kalkun. Penularan Trichophyton gallinae dapat terjadi secara langsung dan
tidak langsung. Spesies ini utama menyerang unggas tetapi juga bisa menginfeksi anjing,
kucing, monyet, tupai, tikus, hingga manusia. Metode diagnosis yang dapat dilakukan yaitu
dengan pemeriksaan langsung skin scrapping menggunakan KOH 20%, kultur kapang pada
media Sabouraud Dextrose Agar (SDA), slide culture, pemeriksaan secara mikroskopis, dan
tape smear. Terapi pengobatan yang dapat diberikan yaitu terapi secara topical dengan
pemberian krim antifungi golongan azole selama 2-8 minggu. Pencegahan dapat dilakukan
dengan selalu memperhatikan sanitasi personal, mengurangi kontak ataupun selalu
memperhatikan prosedur jika harus melakukan kontak langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Antoh L, Simarmata YTRMR. 2021. Laporan Kasus: Ringworm Pada Sapi Bali. Jurnal
Veteriner Nusantara.5(2): 1–5.
Chermette R, Ferreiro L, Guillot J. 2008. Dermatophytoses in animals. Mycopathologia. 166(5-
6): 385-405.
Faruqui AH, Khan KA, Harood ST. 1984. Scalp infection by Trichophyton gallinae (a case
report from Pakistan): tinea capitis durch Trichophyton gallinae (ain fallbericht aus
Pakistan). Mykosen. 27(12): 589-591.
Georg LK, Ajello L, Friedman L, Brinkman SA. 1962. A new species of 13 Microsporum
pathogenic to man and animals. Sabouraudia. 1:189-196.
Gordon MA, Little GN. 1968. Trichophyton (Microsporum?) gallinae ringworm in a monkey.
Sabouraudia. 6(3): 207-212
Gutierrez PP, Abuzara F, Becker F, Krause H, Merk HF, Frank J. 2006. Onychomycosis in a
diabetic patient due to Trichophyton gallinae. Journal Copmpilation. 49(3): 254-257.
Husna N, Wismandanu O, Sujatmiko B. 2020. Gambaran Kejadian dermatofitosis pada kucing
di pusat kesehatan hewan Kota Cimahi dengan pendekatan sistem informasi geografis.
Indonesia Medicus Veterinus. 9(4): 552–565.
Komarek J, Wurst Z. 1989. Dermatophytes in clinically healthy dogs and 12 cats. Veterinary
Medicine. 34(1): 59-63.
Korting HC, Zienicke H. 1990. Dermatophytoses as occupational dermatoses in industrialized
countries, report on two cases from Munich. Mycoses. 33(2): 86-89.
Miyasato H, Yamaguchi S, Taira K, Hosokawa A, Kayo S, Sano A., Uezato H, Takahashi K.
2011. Tinea corporis caused by Microsporum gallinae: the first clinical case in Japan.
Journal of Dermatology. 38(5): 473- 478
Murata M, Takahashi H, Takahashi S, Takahash Y, Chibana H, Murata Y, Sugiyama K,
Kaneshima T, Yamaguchi S, Miyasato H, Murakami M, Kano R, Hasegawa A, Uezato,
H, Hosokawa A, Sano A. 2013. Isolation of Microsporum gallinae from a fighting cock
(Gallus gallus domesticus) in Japan. Medical Mycology. 51(2): 144-149.
Nadira LA, Widyastuti SK, Soma IG. 2023. Dermatofitosis oleh Trichophyton spp. pada anak
kucing lokal. Veterinary Science and Medicine Journal. 5(10): 271-280.
Soedarmanto I, Yanuartono, Raharjo S, Nururrozi A, Guna JCA. 2020. Combination of
systemic and topical treatment for feline dermatophytosis: A Case Report. Acta
Veterinary Indonesia. 8(1): 18-23.
Sofariah M, Febram B, Winarsih W. 2021. Evaluasi penggunaan obat antifungal di salah satu
klinik hewan Kota Bogor pada tahun 2017 dan 2018. Jurnal Health Sains. 2(7): 907-
914.
Thongkham E, Junnu S, Borlace GN, Uopasai S, Aiemsaard J. 2022. Efficacy of common
disinfection processes against infective spores (arthroconidia) and mycelia
of Microsporum gallinae causing avian dermatophytosis. Veterinary World. 15(6):
1413-1422.
Tores G, Georg LK. 1956. A human case of Trichophyton gallinae infection. AMA Archives of
Dermatology. 74(2): 191-197.
Yamaguchi S. 2019. Endangered zoonotic fungal species from chicken (Gallus gallus
domestic). Medical Mycology Journal. 60(2): 45-49.
Yulianti D, Wismandanu O, Afriandi I. 2021. Pengetahuan, sikap, dan praktik pemilik kucing
yang berkunjung ke puskeswan Kota Cimahi terhadap kejadian dermatofitosis pada
kucing peliharaannya. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 31(3): 245–
256
PPDH LAB DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI
KELOMPOK C1
Trichophyton
gallinae
Farradiba Shafa Aqila | B9404231046
Latar Belakang
Megnin (1881)
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota Diidentifikasi
Class : Eurotiomycetes
Epidermophyton
Ordo : Onygenales
gallinae
Family : Arthodermataceae
Genus : Trichophyton Perubahan Genus
Species : Trichophyton gallinae
Trichophyton
gallinae
Epidemiologi
Berkembang
Kapang Menembus
biak Respon
menempel lapisan
memanfaatkan sistem imun
pada kulit epidermis
keratin
Spesies Tertular
Nama :X
Umur : 96 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Anamnesa : sudah bekerja sebagai peternak ayam selama 70 tahun,
lengan kanannya dipatuk oleh salah satu ayam. Beberapa minggu
kemudian muncul dua lesi eritema di lengan kanan disertai gatal. Secara
perlahan lesih tersebut semakin membesar, bersisik, dan membentuk
cincin dengan diameter 2 cm. Kemudian diambil skin scrapping untuk
dilakukan pemeriksaan. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dengan
KOH 20% ditemukan banyak hifa.
Metode Diagnosis
Hasil kultur Tricophyton gallinae yang diinkubasi pada suhu 26–28 C selama 17 hari
terlihat koloni tumbuh berwarna putih dengan permukaan bawah berwarna merah muda
(Miyasato et al. 2011)
Metode Diagnosis
Mikrokonidia berbentuk
bulat cenderung oval (a)
(b)
Terdapat duri halus pada
permukaan makrokonidia
(c)(d)
Metode Diagnosis
Trycophyton Verrucosum
Disusun oleh :
Falsa Martiana Kencana Putri B9404231038
Dosen :
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui taksonomi, epidemiologi, mekanis me
infeksi, pengobatan, serta pencegahan dari jamur Tricophyton verrucosum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Taksonomi dan Klasifikasi
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizimycotina
Class : Eurotiomycetes
Order : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Species : Trichophyton verrucosum
Trichophyton verrucosum dengan pengamatan makroskopis untuk koloni
berwarna abu-abu, putih, kuning, sedangkan koloni bagian bawah berwarna
kuning kecoklatan. Ciri mikroskopis Trichophyton verrucosum adalah adanya hifa
yang bersekat dan terdiri atas tiga bentuk spora yaitu mikrokonidia, makrokonid ia
dan klamidospora. Mikrokonidia berbentuk bulat, lonjong dan berbentuk buah pir;
makrokonidia panjang, halus dan multiseluler, sedangkan klamidospora sangat
melimpah dalam bentuk vegetatifnya (Simmarmata et al. 2018).
Koloni tumbuh lambat, kecil berbentuk kancing atau cakram, berwarna putih
hingga krem, dengan permukaan seperti suede hingga beludru, bagian tengah
terangkat, dan pinggiran datar dengan beberapa pertumbuhan terendam. Pigmen
terbalik dapat bervariasi dari tidak berpigmen hingga kuning. Hifa lebar dan tidak
beraturan dengan banyak klamidospora terminal dan interkalar. Klamidospora
sering kali berbentuk rantai. Ujung beberapa hifa lebar dan berbentuk gada, dan
kadang-kadang terbelah, sehingga menimbulkan efek “tanduk” (Pal dan
Chakravarty 2020).
Karakteristik dari mikrokonidia hingga piriform berbentuk ekortikus atau
kacang panjang yang khas dari Trichophyton verrucosum, Gambar 1. Semua srain
menghasilkan rantai klamidiospora yang khas, sering disebut dengan rantai
mutiara, Gambar 1 (de hong et al.2017). Jamur ini juga menunjukkan karakteristik
terminal dan mempunyai rantai infeksi ekotriks spora rambut yang khas (McPhee
et al. 2014).
A B
A B C
Gambar 2. Mikroskopis kultur T. verrucosum menunjukkan karakteristik vesikel
terminal (A), Rantai khas klamidokonidia yang dimaksud sebagai rantai
mutiara (B), Rantai infeksi ektotrik spora besar rambut khas T.
verrucosum (C) (McPhee et al. 2014).
Gambar 1. Nodul multifocal, koreng dan alopecia di kepala (A), daerah leher
(B), kaki depan (C), dada, perut, dan panggul (D)
Gambar 2. Makroskopis jamur pada hari pertama (A) dan hari kedua (B)
BAB III
SIMPULAN
Trichophyton verrucosum merupakan jamur zoofilik yang menyebabkan kurap
pada sapi. Jamur ini dapat menular dari hewan ke manusia dan memiliki masa inkubas i
penyakit sekitar 1 minggu. Mekanisme infeksi dari jamur ini yaitu melalui kontak
langsung ataupun terkena kontak dengan barang yang telah terkontaminas i.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu dengan sampel kerokan kulit dan
diinokulasikan pada media SDA untuk selanutnya damati makroskopis dan
mikroskopisnya. Pengobatannya dapat berupa obat topikal dan oral. Pencegahan yang
dapat dilakukan yaitu menjaga sanitasi personal dan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Coutellemont L, Chevrier S, Degeilh B, Belaz S, Gangneux JP, Gangneux FR. 2017.
Epidemiology of Trichophyton verrucosum infection in Rennes Univers ity
Hospital, France: A 12-year retrospective study. Medical Mycology. 55: 720-724.
De hoog GS, Dukik K, Monod M, Packeu A, Stubbe D, Hendrickx M, Kupsch C,
Stielow JB, Freeke J, Goker M, et al. 2017. Toward a novel multtioc us
phylogenetic taxonomy for the dermatophytes. NHI.182(1-2) 5-31.
Guo Y, Ge S, Luo H, Rehman A, Li Y, He S. 2020. Occurrence of Trichophyton
verrucosum in cattle in the Ningxia Hui autonomous region, China. BMC
Veterinary Research. 16 (187): 1-9.
Kaufman G, Benjamin Horwitz BA, Duek L, Ulman Y, Berdicevsky I. 2007. Infectio n
stages of the dermatophyte pathogen Trichophyton: microscopic characterizatio n
and proteolytic enzymes. Medical Mycology. 45(2): 149-155.
Lagowski D, Gnat S, Nowakiewicz A, Osinska M, Troscianczyk A, Zieba P. 2019. In
search of the source of dermatophytosis: Epidemiological analysis of
Trichophyton verrucosum infection in llamas and the breeder (case report).
Zoonoses and Public Health. 10(1): 1-8.
McPhee A, Cherian S, Barksdale S, Robson J. Trichophyton verrucosum an uncommo n
zoophilic dermatophyte infection. Sulivan Nicolaides Pathology [interne t].
[diunduh 2023 Nov 15]. Tersedia pada:
https://www.snp.com.au/media/7071/trichopyton- verrucosum_september-
2016.pdf.
Pal A, Chakravarty AK. 2020. Chapter 2 - Major diseases of livestock and poultry and
problems encountered in controlling them. India : Elsevier.
START
Latar Belakang
Dermatofita adalah jamur patogen yang menyebabkan mikosis
(dermatofitosis) pada jaringan superficial, seperti epidermis, rambut,
dan kuku. Trichophyton verrucosum paling umum terjadi menyerang
sapi. Jamur ini merupakan jamur zoofilik yang menyebabkan kurap
pada sapi. Infeksi pada manusia dapat terjadi akibat kontak langsung
dengan ternak atau benda terinfeksi dan biasanya menimbulkan
peradangan parah pada kulit kepala atau area tubuh yang terbuka
Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui taksonomi, epidemiologi,
mekanisme infeksi, pengobatan, serta pencegahan dari jamur
Tricophyton verrucosum.
Taksonomi
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizimycotina
Class : Eurotiomycetes
Order : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Species : Trichophyton verrucosum
Klasifikasi
Makroskopis berwarna abu- Mikrokonidia berbentuk bulat,
abu, putih, kuning bagian lonjong dan berbentuk buah pir;
bawah kuning kecoklatan makrokonidia panjang, halus
dan multiseluler
01 02 03
Umumnya Dapat bertahan pada Umum terjadi di
ditemukan pada lingkungan yang negara-negara yang
hewan ternak lembab dan hangat. lebih dingin dan
terutama sapi mungkin dipengaruhi
oleh kelembapan
Laporan Kasus
(Simarmata et al. 2018)
Sinyalemen Anamnesa
Jenis : Sapi Sapi telah diberi obat
Usia : 1 tahun, 8 bulan anthelmintic dan vaksinasi SE
Jenis Kelamin : Betina (Septicaemia epizootica). Sapi
BB : 78.1 kg dipelihara di laham semi intensif
Warna Rambut: Coklat dengan jumlah populasi 6 ekor
kemerahan sapi dan diberi pakan daun
Laucaena leucocephala.
Gejala Klinis
Nodul multifocal, koreng dan
alopecia di kepala (A),
daerah serviks (B), kaki
depan (C), dada, perut, dan
panggul (D)
.
Mekanisme Infeksi
.
Simpulan PAGE 09
Disusun oleh:
Ichlasul Khaerul Alim Pombalawo, S.K.H B9404231009
Kelompok C PPDH Periode 1 2023/2024
Dosen Pembimbing:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
Toksonomi dan Klasifikasi
Pasteurella multocida
Kingdom : Bakteri
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Order : Pasteurellales
Family : Pasteurellaceae
Genus : Pasteurella
Species : Pasteurella multocida
4 5
Mekanisme infeksi, Jenis Sampel
Transmisi dan Potensi
Zoonotik
6 7
Pengobatan & Hasil Pengobatan
Pencegahan Penyakit Penyakit
Etiologi & Epidemiologi
Infeksi pada
Transmisi langsung
permukaan mukosa
sering terjadi melalui Pasteurella multocida
dan umumnya melalui
pernapasan dan bersifat zoonosis
saluran respirasi dan
makanan.
digesti.
Jenis Sampel
Sampel diambil dari 6 ekor babi dengan terdapat 4
ekor yang positif.
Pemeriksaan mikrobiologi
❑ Blood agar
❑ Pewarnaan Gram
❑ Uji Oksidasi-Katalase
❑ Uji Urea
❑ Uji TSIA
❑ Uji IMVic
❑ Uji Glukosa
Lesio Patologi Anatomi Pengamatan Mikroskopik
Hasil Uji Mikrobiologi
Pengobatan & Pencegahan Penyakit
- Ciprofloxacin
- Kloramfenikol
Thank You
LAPORAN INDIVIDU PPDH DIAGNOSTIK
BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI
Microsporum gypseum
Disusun oleh:
Aqila Tsabita B9404231028
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui informasi lebih mendalam terkait
Microsporum gypseum sebagai salah satu jamur yang dapat menyebabkan
penyakit kulit berupa ringworm pada hewan dan juga manusia.
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Epidemiologi
Tidak banyak informasi yang diketahui terkait epidemiologi infeksi
Microsporum gypseum. Berdasarkan penelitian oleh Moriello et al. (2020), dari 3
shelter kucing yang dilakukan pengujian terhadap dermatofitosis hanya 4 kucing
yang terinfeksi oleh Microsporum gypseum. Sedangkan berdasarkan penelitian
oleh Putriningsih dan Arjentinia (2018), diketahui infeksi M. gypseum pada sapi
bali mencapai 75% dari fungi dermatofita yang diisolasi dan diidentifikasi, akan
tetapi pada penelitian ini hanya digunakan 8 ekor sapi, sehingga hasil yang
didapat kemungkina tidak mewakili seluruh populasi.
2.4 Diagonis
2.4.1 Pengamatan Langsung
Salah satu teknik diagnosis untuk mengkonfirmasi keberadaan infeksi
dermatofita adalah dengan melakukan pengamatan langsung pada lesio di rambut
dan kulit. Teknik ini dilakukan dengan pengamatan menggunakan mikroskop
terhadap adanya hifa ataupun spora. Sampel rambut atau kulit diletakkan pada
objek glass dan diteteskan dengan mineral oil, senyawa klorofenol ataupun
potassium hidroksida (KOH) dengan konsentrasi yang bervariasi (Moriello et al.
2017). Sedangkan, berdasarkan Shalaby et al. (2016), digunakan larutan KOH
10% dan dicampurkan dengan Dimethyle sulphoxide (DMSO) 40% dengan
perbandingan 1:1. Sampel dibiarkan 5-8 menit. DMSO berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas dan dapat melembutkan keratin lebih cepat
dibandingkan dengan penggunaan KOH tunggal.
Selain dengan pemeriksaan langsung menggunakan mikroskop, diagnosis
ringworm di klinik umumnya dilakukan dengan menggunakan woodlamp, dimana
hasil positif akan menunjukkan adanya fluorescence. Berdasarkan Moriello et al.
(2017), dermatofita yang memproduksi fluorescence adalah anggota dari genus
Microsporum, akan tetapi berdasarkan laporan klinis M. gypseum dan M.
persicolor pada anjing dan kucing tidak menunjukkan adanya fluorescence.
2.4.2 Kultur Fungi
Kultur terhadap fungi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk
mengidentifikasi secara akurat terhadap agen penyebab ringworm (Nardoni et al.
2013).
Koleksi sampel
Koleksi sampel untuk diagnosis fungi sangat bervariasi, yakni dapat
dilakukan dengan pengambilan/pencabutan rambut (hair pluck) dari pinggiran
lesio, kerokan kulit (skin scraping) dari daerah kulit terinfeksi dengan
menggunakan scalpel hingga lapisan epidermis kulit terambil (Indrawati et al.
2018), skin tape sampling dengan cara menempelkan tape pada lesio lalu
ditempelkan pada permukaan plate untuk kultur, dan juga dengan MacKenzie
brush technique. Teknik ini umumnya dilakukan dengan melakukan sekitar 20
kali sapuan, atau selama 2-3 menit hingga sikat penuh dengan ramut. Penting
untuk menggunakan sikat gigi berbulu lembut untuk menghindari pengambilan
sampel yang traumatis pada telinga dan wajah hewan (Moriello et al. 2017).
Media kultur fungi
Media kultur fungi sangat beragam. Dermatophyte Test Medium (DTM)
merupakan media pertumbuhan jamur dermatophyta mengandung nutrisi dengan
antibiotik untuk menekan pertumbuhan berlebih bakteri dan jamur kontaminan
dan indikator warna untuk membantu identifikasi awal terhadap kemungkinan
spesies dermatofit. Perubahan warna media dari kuning menjadi merah
disebabkan oleh perubahan pH yang dipicu oleh pertumbuhan jamur (Moriello et
al. 2017). Selain itu berdasarkan Shalaby et al. (2016), dapat juga digunakan
media Sabouraud Dextrose Agar (SDA), dan Dermasel agar base, yang keduanya
diberikan suplementasi berupa chloramphenicol dan cycloheximide.
Chloramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Sedangkan,
cycloheximide digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur yang tidak
diinginkan.
Prosedur kultur fungi
Sampel diinokulasi di atas media kultur fungi, diinkubasi secara aerobik
pada suhu ruang (sekitar 25°C) hingga 4 minggu. Jika terdapat pertumbuhan
fungi, maka hasil kultur diperiksa secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis mencakup warna (bagian depan dan belakang),
topografi, dan teksur. Sedangkan pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan
menggunakan mikroskop untuk identifikasi spesies dengan melihat karakteristik
conidia dan hifa fungi. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan menggunakan
tape berukuran kecil lalu ditempelkam secara perlahan ke permukaan koloni fungi
yang tumbuh, selanjutnya tape diletakkan di atas kaca objek yang telah diberikan
1 tetes zat pewarna methylene blue, lalu dilakukan pengamatan dengan
pembesaran objektif 10x hingga 40x. Berdasarkan Mihali et al. (2011), morfologi
mikroskopis dari Microsporum gypseum terlihat adanya hifa yang bersepta,
makrokonidia, dan mikrokonidia. Jika setelah 4 minggu tidak terlihat adanya
pertumbuhan fungi, maka hasil kultur dianggap negatif (Shalaby et al. 2016).
•
•
•
⚬
⚬
⚬
⚬
•
⚬
•
•
•
•
•
⚬
⚬
•
•
•
•
⚬
⚬
⚬
⚬
•
•
•
•
⚬
⚬
⚬
⚬
⚬
⚬
⚬ 40 mg/kg po. s.i.d)
TUGAS INDIVIDU
STUDI KASUS: Microsporum canis
Disusun oleh:
Dosen Pembimbing:
STASE DIAGNOSTIK
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2023
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dermatofitosis atau canine ringworm adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh kapang dermatofita. Dermatofitosis merupakan penyakit umum pada hewan
kesayangan seperti anjing dan kucing. Menurut (Moriello 2014) dermatofitosis
mudah menular, tidak mematikan, mudah diobati, dan termasuk zoonosis.
Umumnya dermatofitosis pada hewan kesayangan disebabkan oleh infeksi
Microsporum canis (M. canis), Microsporum gypseum (M. gypseum), dan
Trichopyton Mentagrophytes (T. mentagrophytes). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Indarjulianto et al. (2014) menggunakan 50 ekor anjing yang
menderita dermatofitosis disebabkan spesies M.canis.
Tujuan
Makalah ini bertujuan mengetahui cara mendiagnosa dermatofitosis pada
hewan kesayangan serta cara pengobatannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Klasifikasi Microsporum canis (NCBI)
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
Spesies : Microsporum canis
Canine Ringworm
Canine ringworm atau dermatofitosis adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh kapang dermatofita seperti M. canis. Dermatofitosis ditularkan melalui kontak
langsung dengan hewan yang terinfeksi atau benda-benda yang terkontaminasi
spora jamur. Menurut Outerbridge (2016) kapang dermatofita mempunyai enzim
yang dapat mencerna protein keratin, oleh karena itu banyak ditemukan pada bagian
yang kaya akan keratin seperti pada rambut, kulit, dan kuku. Penyakit dermatofita
dipengaruhi faktor predisposisi seperti umur, status gizi, dan manajemen
pemeliharaan.
Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi kapang dermatofita adalah lesi
berupa alopesia, eritrema, dan crusty pada bagian telinga, kepala, hingga abdomen
(Gambar 1). Hewan yang mengalami dermatofitosis dapat mengalami penurunan
jumlah eritrostit walaupun tidak dalam jumlah yang signifikan (Kurniawati et al.
2021).
Gambar 1 Gejala klinis dermatofitosis. (a) alopesia pada leher yang disertai dengan
eritrema. (b) alopesia pada bagian toraks sinistra yang disertai dengan
eritrema, dan krusta (Kurniawati et al. 2021).
Gambar 3 Hasil kultur pada SDA pada hari ke-14 (Indarjulianto et al. 2014)
Dermatofitosis pada anjing dan kucing dapat disebabkan oleh M. canis dan
zoonosis. Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus dermatofitosis
adalah pemeriksaan Wood’s lamp, uji natif dengan KOH 10%, dan pemeriksaan
hasil kultur pada SDA secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dermatofitosis dengan Wood’s lamp positif dan hasil kultur pada SDA secara
makroskopis dan mikroskopis memperlihatkan ciri-ciri M. canis. Terapi antifungi
dengan itraconazole peroral dan ketoconazole 2% topikal selama 1 bulan memiliki
keberhasilan persembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
TUGAS INDIVIDU
STUDI KASUS: MICROSPORUM CANIS
Anggi Nahriyatussyifa
B9404231017
STASE DIAGNOSTIK
PENDAHULUAN
Kingdom: Fungi
Phylum: Ascomycota
Class: Eurotiomycetes
Order: Onygenales
Family: Arthrodermataceae
Genus: Microsporum
Spesies: Microsporum canis
Tinjauan Pustaka
Dermatofitosis
Agen penyebab Lokasi
M. canis, M. gypseum, T. Rambut, kulit, dan kuku
mentagrophytes
Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020
Pemeriksaan Fisik
Alopesia, erythema, crusty, pustule pada bagian
kepala dan telinga.
Pembahasan
Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020
Pemeriksaan Penunjang
wood’s Lamp
KOH 3%
CBC
Kultur pada Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
(makroskopis dan mikroskopis)
Pembahasan
Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020
KOH 3%
Terlihat hifa
Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020
Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020
Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020
Laporan kasus:
Combination of Systemic and Topical Treatment for Feline
Dermatophytosis (Indrajulianto et al.2020
Pengobatan
Itraconazole dosis 10 mg/kg peroral sekali
sehari selama 21 hari (antifungi)
Ketoconazole 2% topikal selama 30 hari
(antifungi)
chlorpheniramine maleat (antihistamin)
Fish oil
Pencegahan
Manajemen pemeliharaan yang baik
Pemenuhan gizi
Simpulan
Disusun oleh:
Dea Khalissa Anidya B9404231069
Dosen:
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat bertujuan mengetahui penyakit dermatofitosis disebabkan oleh R.
erinacei dan potensi zoonosisnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Trichoophyton
Spesies : mentagrophytes
Varietas : erinacei
Bontems et al. (2020), melaporkan bahwa dalam rentang tahun 2008 – 2019 hanya tercatat
1 kasus infeksi T. erinacei yang terjadi pada hewan yakni landak di Switzerland. Di Spanyol juga
menunjukkan dari 20 landak yang diduga terjangkit dermatofitosis, 10 diantaranya terinfeksi oleh
T. mentagrophytes var. erinacei. Landak sendiri merupaka hewan eksotis yang kini mulai populer
untuk dipelihara. Tercatat 44.7% infeksi T. erinacei terjadi pada landak liar di New Zealand serta
9.5% insidensi tercatat di Prancis. Dermatofitosis sendiri merupakan penyakit mikosis yang kerap
menyerang landak dan T. erinacei biasanya sering ditemukan pada kasus dermatofitosis pada
landak, gejala klinisnya biasa terlihat di area abdomen. Penularannya pada manusia selalu
disebabkan oleh kontak langsung dengan landak maupun tidak langsung seperti infeksi disebabkan
oleh kontak manusia terhadap sarang landak. T. erinacei sendiri dapat bertahan pada lingkungan
selama 1 tahun dalam kondisi kering (Abarca et al. 2017).
2.2 Diagnosa
Secara klinis, landak yang terinfeksi T. erinacei menunjukkan kulit bersisik dan kering
dengan area botak. T erinacei biasanya dapat diisolasi dari area abdomen dan duri. Sampel dapat
ditumbuhkan pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA), Potato Dextrose Agar (PDA), dan
Malt Extrac Agar (MAE) selama 14 hari dalam suhu 25 oC. Hasil kultur jamur kemudian dapat
diamati secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, isolat T. erinacei terlihat
seperti kapas berwarna putih pada sisi atas dan memiliki warna kuring dengan sedikit jingga pada
sisi sebaliknya pada media agar. Gambaran mikroskopis dermatofita menunjukkan konidiospora
yang pendek dengan bentuk khas makrokonidia. Makrokonidia memliki 2 hingga 6 septa dengan
bentuk dan ukuran yang beragam seperti buah pir (Masaoodi et al. 2020).
Gambar 1. Gambaran makroskopis T. erinacei. A.) Koloni putih; B.) Koloni sisi sebaliknya
(Sumber: Abarca et al. 2017).
Gambar 2. Gambaran mikroskopis makrokonidia berbentuk seperti buat pir dengan ukuran
yang berbeda
2.4 Terapi
Hewan diberikan terapi berupa ketoconazole (30 mg/kg) S12J dan chlorhexidine topikal.
Lesio pada kulit landak nampak membaik setelah 4 minggu pemberian terapi. Ketoconazole sendiri
memiliki kinerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol pada dinding sel fungi. Sediaan ini
membunuh dermatofita dan disarankan untuk digunakan dalam jangka pendek (Wientarsih et al.
2018). Selain itu, sediaan antifungal topikal seperti enilconazole dan terbinafine yang
dikombinasikan dengan sediaan oral juga dianggap efektif digunakan sebagai terapi (Abarca et al.
2017).
DAFTAR PUSTAKA
Abarca ML, Castella G, Martorell J, Cabanes FJ. 2017. Trichopython erinacei in pet hedgehogs in
Spain: occurrence and revision of its taxonomic status. Medical Mycology. 55:164-172.
Bontems O, Fratti M, Salamin K, Guenova E, Monod M. 2020. Epidemiology of dermatophytoses
in Switzerland according to a survey of dermatophytes isolated in Lausanne between 2001
and 2018. Journal of Fungi. 6:95-103.
Borges-Corta J, Martins ML. 2014. Trichopython erinacei skin infection after recreational
exposure to an elephant in Southeast Asia. Pathog Glob Health. 108:58-59.
Concha M, Nicklas C, Balcells E, Guzman AM, Poggi H, Leon E, Fich F. 2012. The first case of
tinea faciei caused by Trichophyton mentagrophytes var. ericanei isolated in Chile.
International Journal of Dermatology. 51(3):283-285.
Gnat S, Lagowski D, Nowakiewicz A. 2022. European hedgehogd (Erinaceus europaeus L.) as a
reservoir of dermatophytes in Poland. Microbial Ecology. 84:363-375.
Masoodi NH, Mohammed BT, Janabi JKA. 2020. Occurrence, morphological, and molecular
characteristics of Trichopython erinacei in Iraq. Drug Invention Today. 14(6):1-9.
Phaitoonwattanakij S, Leeyaphan C, Bunyaratavej S, Chinhiran K. 2019. Trychopython erinacei
onychomycosis: yhe first to evidence a proximal subungual onchomycosis pattern. 11:198-
203.
Rhee DY, Kim MS, Chang SE, Lee MW, Choi JH, Moon KC, Koh JK, Choi JS. 2009. A case of
tinea manuum caused by Tryichophytn mentagrophytes var. erinacei: the first isolation in
Korea. Mycoses. 52(3):287-290.
Weishaupt J, Maurer AK, Lempert S, Nenoff P, Uhrla S, Hamm H, Goebeler M. 2013. A different
of hedgehog pathway: tinea manus due to Trichophyton erinacei transmitted by an African
pgmy hedgehog (Atelerix albiventris). Mycosis. 57(2):125-127.
Wientarsih I, Prasetyo BF, Purwono RM, Noviyanti L, Akbari RA. 2018. Obat–Obatan untuk
Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.
Yoon JS, Lee JH, Yu DH, Li YH, Lee MJ, Iwasaki T, Park JH. 2008. Dermatophytosis of the four-
toed hedgehog caused by Trichophyton erinacei. Journal of Veterinary Clinics. 25(3):207-
210.
TRICHOPHYTON
MENTAGROPHYTES VAR.
ERINACEI PADA LANDAK
Latar Belakang
T. erinacei merupakan penyakit dermatofitosis pada
landak yang kerap menginfeksi manusia. Kini landak semakin
popular untuk dipelihara, namun hewan ini kerap
menyebarkan penyakit zoonotik pada kulit manusia.
Tujuan
Makalah ini dibuat mengetahui penyakit
dermatofitosis yang disebabkan oleh T. erinacei dan potensi
zoonosisnya.
3
TINJAUAN PUSTAKA
TRICHOPHYTON MENTAGROPHYTES
VAR. ERINACEI
Kingdom : Fungi D E R MATO FI TA YANG PAL I NG U MU M ME NG I NF E KS I
Filum : Ascomycota
MARKETING L ANDAK ( T I NG K AT I NF E KS I 2 0 - 47%)
Kelas : Eurotiomycetes
Disseminate
Ordo : Onygenales
standardized
metrics Chile Korea
Famili : Arthrodermataceae
Kulit bersisik dengan pruritis Lesio pada jari tangan
Genus : Trichoophyton pada hidung pasien
Spesies : mentagrophytes
Riwayat: landak menggigit Riwayat: baru saja
Varietas : erinacei hidung pasien memelihara landak
5
DIAGNOSA
Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis
6
PRESENTATION TITLE
STUDI KASUS
(YOON ET AL. 2008)
7
Sinyalemen dan Anamnesa
Landak dibeli dari komunitas pecinta hewan satu bulan yang lalu. Pemilik
juga diketahui memiliki landak lain namun diletakkan pada kandang
terpisah dan tidak pernah ada kontak satu sama lain.
Jenis Hewan : Landak
Ras : Pygmy
Bobot : 100 g
Jenis kelamin : Betina
Umur : 2 bulan
Gejala Klinis
• Pruritis
• Eksorsirasi
• Crust pada wajahnya
8 • Lesio hanya terlihat di area wajah dan eritema bersisik di area leher
landak.
Diagnosa Penunjang
Sampel crust kulit diperiksa dengan pewarnaan hematoxyllin dan eosin
terlihat hifa dan artrokonidia. Diagnosa sementara: dermatofitosis.
Crust kulit dikultur pada media Saboraud Dextrose Agar (SDA). Setelah 10 hari
inkubasi, terlihat koloni bertekstur seperti kapas dan berwarna putih. Area
tengah koloni sedikit lebih tinggi dari area lainnya dan pada sisi satunya
terlihat berwarna kuning. Ketika koloni diamati melalui mikroskop akan
terlihat makrokonidia berbentuk seperti air mata pada sisi hifa. Makrokonidia
tersebut memiliki 2 hingga 6 septa serta bentuk dan ukurannya tidak serupa.
Terapi
• Ketoconazole oral
• Chlorhexidine topikal
9
THANK YOU
MAKALAH INDIVIDU BAKTERI DAN MIKAL
Disusun oleh :
Stase Diagnostik
Dosen Pembimbing :
Latar Belakang
Streptococcus agalactiae merupakan bakteri yang mempunyai peranan
penting dalam kasus mastitis. Bakteri ini secara serologik tergolong ke dalam
streptococcus grup B Lancefield dan merupakan penyebab 84,1% dari kasus
mastitis subklinis pada sapi perah. Mastitis merupakan kondisi peradangan pada
ambing yang sering memengaruhi laktasi sapi perah dan dapat menurunkan
produksi susu sebesar 2,6-43,1% (Marti-De et al 2020). Mastitis merupakan
masalah di seluruh dunia yang mengakibatkan kerugian yang besar pada peternakan
sapi perah akibat kualitas susu yang buruk, penurunan produksi susu, peningkatan
biaya obat dan pelayanan dokter hewan, tingginya jumlah ternak yang diafkir
sebelum waktunya dan tidak jarang terjadi kematian akibat penyakit tersebut
(Kumar et al 2010). Mastitis menjadi masalah serius dalam dunia industri susu
karena dapat mengakibatkan foodborne disease pada manusia dari kontaminasi
bakteri dalam susu (Cervinkova et al 2013). Peradangan pada ambing akibat
mastitis dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu mastitis klinis dan subklinis. Mastitis
subklinis merupakan penyakit yang paling sering menyerang sapi perah masa
laktasi dan berpotensi menurunkan produksi sehingga menimbulkan kerugian
ekonomi bagi peternak (Khasanah et al 2021).
Tujuan
.
PEMBAHASAN
2. Epidemiologi Penyakit
Mastitis merupakan peradangan pada jaringan internal ambing
(Subronto 2003). Mastitis sangat merugikan peternak secara ekonomi karena
dapat menurunkan produksi susu. Prevalensi mastitis pada sapi perah di
Indonesia sangat tinggi dan sebagian besar merupakan infeksi yang bersifat
subklinis. Kejadian mastitis di Indonesia sangat tinggi yaitu sekitar 97-98%
merupakan mastitis subklinis, sedangkan 2-3% merupakan kasus mastitis
klinis yang terdeteksi (Sudarwanto dan Sudarnika 2008). Bakteri penyebab
mastitis yang paling sering ditemukan yaitu Staphylococcus aureus,
Streptococcus agalactiae, Staphylococcus epidermidis, dan Escherichia coli,
sehingga efektivitas upaya pengendalian mastitis terhadap keberadaan bakteri-
bakteri tersebut penting untuk dipelajari (Subronto 2003).
3. Laporan Kasus pada Hewan : Mastitis subklinis pada sapi perah di Balai
Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden, Jawa
Tengah, Indonesia (Pole et al.2023).
Sinyalemen : Seekor sapi perah Friesian Holstein dengan eartag 5501,
berjenis kelamin betina, berumur ≥ 7 tahun memiliki bobot badan ≥ 500 Kg.
Anamnesa: Sapi telah mengalami partus sebanyak 3 kali dan pada saat
pemerahan didapatkan susu yang mengalami perubahan warna menjadi
kekuningan. Pemeriksaan Klinis: Suhu tubuh 38 ºC, frekuensi nafas
30x/menit, tidak terdapat pembengkakan pada ambing. Pemeriksaan
Penunjang: Uji mastitis menggunakan California Mastitis Test (CMT).
Diagnosa: Mastitis subklinis. Prognosa: Fausta.
Gambar 1. Sampel susu sebelum (A) dan setelah (B) pemberian reagen California
Mastitis Test (CMT). Massa gel terlihat saat sampel susu bereaksi dengan reagen
CMT (tanda panah hitam) membentuk gumpalan dan gel. Sampel ambing kuartir kiri
belakang (*). Sampel ambing kuartir kiri depan (**)
Sampel susu kuartir digores sebanyak 1 ose pada media Blood Agar
(BA) diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37°C. Koloni yang di duga S.
agalactiae tumbuh pada Blood Agar memiliki bentuk makroskopis
membentuk beta hemolisis, berbentuk bulat, berwarna transparan, cembung.
Uji CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson) dilakukan untuk
mengkonfirmasi positif S. agalactiae. Media Blood agar disiapkan dengan
bakteri S. Aureus sebagai penanda ditanam di garis tengah media blood agar
menggunakan ose. Bakteri yang diduga S, agalactiae kemudian ditanamkan
secara tegak lurus dengan S. aureus diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37°C.
Setelah inkubasi, koloni S. agalactiae akan memperlihatkan hasil uji positif
yang ditunjukkan dengan terjadinya zona hemolisis berbentuk mata anak panah
di sebelah goresan S. aureus (Lang dan Famer 2003).
Terapi yang diberikan dalam penelitian Pole et al. 2023 adalah injeksi
intramamari antibiotik Tirrexine LC, 1 dosis untuk setiap kuartir ambing
setelah pemerahan (q12h) sebanyak 3 kali. Pengobatan yang dilakukan pada
sapi adalah pemberian. Antibiotik Terrexine LC melalui intramamari. Dosis
pemberian setiap kuartir ambing adalah 1 dosis Terrexine LC yang diberikan
setiap selesai pemerahan sebanyak 3 kali pemberian. Teat dipping
menggunakan Povidone iodine 1%. Terrexine LC merupakan antibiotik
kombinasi yang memiliki kandungan zat aktif Cephalexin (200 mg) dan
Kanamycin monosulphate (100.000 IU). Kombinasi Cephalexin dan
Kanamycin telah dilisensi di Eropa pada tahun 2008 dan ditujukan untuk
pemberian langsung ke dalam ambing sapi yang terinfeksi (Silly et al 2012).
Kombinasi ini menawarkan spektrum aktivitas yang lebih luas dibandingkan
dengan spektrum masing-masing obat. Antibakteri ini, telah terbukti
menunjukkan efektivitas terhadap patogen mastitis terutama Staphylococcus
aureus, Streptococcus uberis, dan Escherichia coli (Maneke et al 2011).
Penanganan lainnya yang penting untuk dilakukan adalah memisahkan sapi
yang mengalami mastitis dalam kandang yang berbeda dengan sapi yang sehat
untuk mencegah penyebaran penyakit. Salah satu kegiatan setelah pemerahan
yang dapat menurunkan kejadian mastitis adalah celup puting (Putri et al
2015). Tindakan celup puting dengan menggunakan antiseptik bertujuan untuk
mencegah masuknya bakteri ke dalam ambing melalui lubang puting. Larutan
yang umum digunakan untuk celup puting yaitu Iodine, Chlorhexidine, Chlorin
4%, dan alkohol 70% (Siregar 2010).
SIMPULAN
Steptococcus agalactiae merupakan golongan bakteri gram positif,
berbentuk kokus, koloni rantai, salah satu agen penyabab mastitis pada sapi perah.
Salah satu yang dapat dilakukan untuk mastitis S. Agalactiae yaitu kultur bakteri
dengan media BA dan uji CAMP yang positif.
DAFTAR PUSTAKA
Blowey RW, Edmondson P. 2010. Mastitis Control in Dairy Herds. 2nd ed.
Cambridge: CAB International.
Cervinkova D, Vlkova H, Borodacova I, Makovcova J, Babak V, Lorencova A,
Vrtkova I, Marosevic D, Jaglic Z. 2013. Prevalence of mastitis pathogens in
milk from clinically healthy cows. Veterinarni Medicina. 58(11): 567-575.
Khasanah H, Setyawan HB, Yulianto R, Widianingrum DC. 2021. Subclinical
mastitis: Prevalence and risk factors in dairy cows in East Java, Indonesia.
Veterinary World. 14(8): 2102-2108.
Kumar RR. Yadav, RS. Singh. 2010. Genetic determinants of antibiotic resistance
in Staphylococcus aureus isolates from milk of mastitic crossbred cattle.
Curr. Microbiol. 60:379–386.
Lang S, Palmer M. 2003. Characterization of Streptococcus agalactiae CAMP
factor as a pore-forming toxin. J Biol Chem 278: 67-73
Maneke E, Pridmore A, Goby L, Lang I. 2011. Kill rate of mastitis pathogens by a
combination of cefalexin and kanamycin. Journal of Applied Microbiology.
110(1): 184-190.
Martí-De OA, Peris C, Molina MP. 2020. Effect of subclinical mastitis on the yield
and cheese-making properties of ewe’s milk. Small Ruminant Research.
184:106044.
Pole MY, Kholifah S, Bahmid NA, Purba FY.Pole.2023. Mastitis subklinis pada
sapi perah di balai besar pembibitan ternak unggul dan hijauan pakan ternak
baturraden, jawa tengah, Indonesia. ARSHI Vet Lett. 7 (1): 5-6
Silly P, Goby L, Pillar CM. 2012. Susceptibility of coagulasenegative staphylococci
to a kanamycin and cephalexin combination. Journal of Dairy Science. 95(6):
3448-3453.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak. (Mammalia). Edisi ke-3.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Sudarwanto,M. and E.Sudarnika 2008. Hubungan antara pH Susu dengan Jumlah
Sel Somatik Sebagai Parameter Mastitis Subklinik. Media Peternakan. 31(
2): 107-113.
Domain : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Order : Lactobacillales
Famili : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Spesies : Streptococcus agalactiae
KLASIFIKASI S. AGALACTIAE
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Dosen Pembimbing :
Dr. drh. Novericko Ginger Budiono, M.Si
Pada hewan, bakteri ini dapat menginfeksi berbagai jenis hewan mulai dari ayam, kelinci,
babi, kucing, anjing, kambing, domba, onta, kuda, sapi, hingga monyet dan kera. Infeksi
Staphylococcus aureus menyebabkan kerugian ekonomi besar pada hewan ternak, seperti
peternakan sapi perah karena menyebabkan radang ambing susu yaitu mastitis.
Seekor kucing persia, betina, berumur delapan bulan bernama Encil dengan bobot badan
2,9 kg diperiksa di Klinik Hewan, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Gadjah Mada pada tanggal 22 Mei 2019. Kucing Encil melahirkan enam
ekor anak/kitten, 10 hari sebelum diperiksa di klinik hewan. Tiga hari sebelum diperiksa, kucing
Encil menunjukkan gejala nyeri pada saat menyusui, terdapat luka berdarah pada mammae, nafsu
makan dan minum menurun, diikuti dengan kematian dua anak kucing Encil setelah menyusu.
Pemeriksaan Fisik
Status praesens kucing menunjukkan suhu tubuh 40,3°C, frekuensi nafas 64 kali per
menit, frekuensi pulsus 128 kali per menit. Pemeriksaan kulit dan rambut ditemukan turgor kulit
menurun dan rambut rontok pada bagian punggung. Pemeriksaan selaput lendir, sistem limfatika,
pernafasan, peredaran darah, pencernaan, urinaria, syaraf dan lokomosi tidak ditemukan ada
perubahan. Bentuk mammae bagian abdominal dekster asimetris, bengkak, merah, teraba hangat,
konsistensi keras, nyeri saat dipalpasi, disertai luka dengan akumulasi pus dan darah yang
melanjut menjadi gangrene.
Bakteri Staphylococcus sp. masuk melalui kanal puting ataupun melalui trauma pada
glandula mammae karena kuku maupun gigi anak kucing, terlebih saat induk menolak untuk
menyusui anaknya terjadi akumulasi susu yang dapat menyebabkan septikemia karena
mikroorganisme menyebar dari duktus ke sistem limfe (Demirel dan Ergin 2014).
Staphylococcus aureus mempunyai faktor virulensi berupa fibrinogen binding protein dan
fibrinectin binding protein yang menyebabkan perlekatan bakteri pada sel epitel mammae,
protein A yang bersifat antifagositik, α toksin (α hemolisin) yang merusak pembuluh darah
sehingga menyebabkan nekrosis koagulatif dari jaringan di sekitarnya, ditambah dengan kerja
eksoenzim dan leukocidin yang berperan dalam kerusakan jaringan menjadi gangrene dalam
beberapa hari (Markey et al 2013). Hal itu sesuai dengan hasil pemeriksaan sitologi glandula
mammae dengan ditemukannya hancuran sel epitel karena terjadi kerusakan jaringan mammae,
selain itu ditemukan sel radang limfosit sebagai respons inflamasi dan kumpulan bakteri di
sekitarnya (Wilson 2013).
Gambar 1. Mekanisme infeksi bakteri Staphylococcus sp.
Gambar 2. Hasil kultur pada media plat agar darah (PAD) setelah inkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam, Pewarnaan Gram positif dan uji Katalase (+)
Pencegahan dan pengendalian mastitis pada kucing memerlukan beberapa strategi dan
pendekatan yang tepat. Manajemen yang baik mungkin dapat diaplikasikan seperti menjaga
kebersihan kandang kucing. Tata laksana pengobatan infeksi S. aureus mencakup pemberian
antibiotik yang tepat, penilaian cepat terhadap sumber infeksi, dan kemungkinan lokasi infeksi
metastatik, dengan pemberantasan segera sumber infeksi atau fokus metastasis, jika
memungkinkan. Karena terdapat variasi geografis dalam kerentanan antimikroba, terapi empiris
harus dipilih berdasarkan pola kerentanan antibiotik lokal. Pilihan antibiotik yang pasti dan
lamanya terapi bergantung pada lokasi dan tingkat keparahan infeksi serta kerentanan antibiotik
dari isolat yang menginfeksi (Kalu et al. 2022). Pengobatan mastitis sering kali dimulai segera
dengan menggunakan antibiotik spektrum luas yang efektif melawan E. coli, Streptococcus, dan
Staphylococcus sampai hasil kultur dan sensitivitas tersedia. Isolat Staphylococcus tidak selalu
rentan terhadap penisilin sintetik yang resisten terhadap beta-laktamase, sefalosporin generasi
pertama, aminoglikosida, dan fluorokuinolon. Oleh karena itu, pengujian sensitivitas penting
untuk dilakukan. Amoksisilin/klavulanat dianggap sebagai pilihan pertama yang aman karena
aman untuk anak anjing dan anak kucing yang menyusui. Jika kelenjar mengalami abses atau
nekrotik, neonatus harus diangkat dan diberi susu buatan tambahan, jika usianya belum tepat
untuk disapih (Wilson 2013).
SIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
maka kucing Encil didiagnosis menderita mastitis gangrene yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus sp. Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah rutin dilakukan kompres hangat
disertai kombinasi antibiotik, antiinflamasi, antipiretik, dan multivitamin. Kucing mulai
menunjukkan perbaikan pada hari ke-8 pengobatan. Luka gangrene mulai menutup dan kering,
mammae tidak bengkak dan konsistensi tidak keras, palpasi tidak nyeri. Observasi kesembuhan
luka jahitan dilakukan hingga hari ke-14 hingga luka kering.
Daftar Pustaka
Demirel MA, Ergin I. 2014. Medical and surgical approach to gangreneous mastitis related to
galactostatis in a cat. Acta Scientiae Veterinariae. 42(1): 50.
Markey B, Leonard F, Archambault M, Cullinane A, Maguire D. 2013. Clinical Veterinary
Microbiology. 2 nd Edition. Irlandia: Mosby Elsevier. pp: 105-118.
Radji M. 2019. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Septiani, Dewi EN, Wijayanti I. 2017. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Lamun (Cymodocea
rotundata) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. IJFST.
13(1): 1-6.
Soedarto. 2015. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Wilson CR. 2013. Feline gangreneous mastitis. Can Vet Journal. 54: 292-294.
Staphylococcus aureus
Muhammad Emir Kusuma Wardhana (B9404231014)
2 SINYALEMEN DAN
ANAMNESIS
3 TREATMENT
4 SIMPULAN
PENDAHULUAN