Anda di halaman 1dari 87

METODE PENUNAIAN ZAKAT PROFESI:

STUDI PEMIKIRAN AL-QARADHAWI

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi


untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun Oleh:
Muhamad Rifki Ramdhani
11180530000040

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1444 H / 2023 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

METODE PENUNAIAN ZAKAT PROFESI:


STUDI PEMIKIRAN AL-QARADHAWI

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi


untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun Oleh:

Muhamad Rifki Ramdhani


11180530000040

Di bawah Bimbingan

Drs. Study Rizal, LK. M.Ag.


NIP. 19640428 199303 1 002

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1444 H / 2023 M
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Metode Penunaian Zakat Profesi: Studi


Pemikiran al-Qaradhawi” telah diajukan dalam sidang
skripsi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang dilaksanakan pada 24 februari
2023. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh
gelar sarjana sosial (S.Sos) pada program studi Manajemen
Dakwah dengan pilihan konsentrasi Manajemen Zakat,
Infaq, Shadaqah dan Wakaf (ZISWAF).
Jakarta, 24 Februari 2023

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Amirudin, M.Si Abdul Hafiz, S,Sos MA


NIP.198206082011011003 NIP.2023039402

Penguji I Penguji II

Dra. Rochimah Imawati, M.Si Dr. Muhamad Zen, MA.


NIP.196612032014112001 NIP.197801122014111001

Pembimbing

Drs. Study Rizal, LK., M.Ag.


NIP: 196404281993031002

ii
ABSTRAK

Muhamad Rifki Ramdhani, 11180530000040, Metode


Penunaian Zakat Profesi: Studi Pemikiran al-
Qaradhawi. Dibawah Bimbingan Drs. Study Rizal, LK.
M.Ag.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji metode penunaian


zakat profesi menurut al-Qaradhawi dalam kitab fiqh az-
zakat. Masalah yang diteliti adalah pandangan al-
Qaradhawi mengenai zakat profesi secara umum, dan
terkhusus pandangannya mengenai metode penunaian zakat
profesi yang terbagi menjadi dua, yaitu syarat dan cara
penunaian.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah library research dan berjenis kajian pemikiran
tokoh, serta menggunakan teknik analisis deskriptif dan
komparatif. Sumber primer penelitian ini adalah kitab fiqh
az-zakat, kemudian, sumber sekunder penelitian ini adalah
buku, jurnal ilmiah, fatwa, dan SK BAZNAS yang
kesemuanya berkaitan dengan metode penunaian zakat
profesi, sedangkan sumber tersiernya adalah kamus bahasa
Indonesia, Inggris, dan Arab.
Kesimpulan dari hasil pengkajian terhadap metode
penunaian zakat profesi menruut al-Qaradhawi adalah
pertama, zakat profesi merupakan zakat yang dikenakan
kepada seseorang yang memiliki profesi, kemudian
mengenai profesi, al-Qaradhawi membaginya menjadi dua,

iii
pertama profesi yang penghasilannya tidak bergantung
kepada orang lain, dan yang bergantung kepada orang lain.
Kedua, mengenai metode penunaian zakat profesi, nishab
yang ditentukan sebesar 85 gram emas setelah dikurangi
kebutuhan pokok dan merupakan harta murni hasil profesi
tanpa adanya campuran harta lain, terkait waktu
ditunaikannya adalah pada saat penghasilan diterima bagi
penghasilannya yang langsung mencapai nishab, atau
diakhir tahun setelah harta penghasilan dikalkulasikan
dengan sebab diperoleh secara berangsur-angsur.
Akan tetapi penulis tidak sepakat dengan waktu penunaian
jenis kedua, dengan alasan harta yang diperoleh secara
berangsur-angsur sekalipun mencapai nishab setelah
dikalkulasikan selama setahun, bukanlah kepemilikan
sempurna. Adapun kadar yang dikeluarkan adalah 2,5%.
Kata Kunci: Metode Penunaian, Zakat Profesi, al-
Qaradhawi.

iv
KATA PENGANTAR

Metode Penunaian Zakat Profesi: Studi Pemikiran al-


Qaradhawi sejatinya merupakan kegelisahan pribadi
penulis setelah berulang kali berkencan dengan literatur
zakat profesi, baik berupa buku maupun jurnal ilmiah,
dimana penulis menemukan hal yang memperkeruh
pemikiran masyarakat Islam Indonesia, yaitu perbedaan
pandangan mengenai metode penunaian zakat profesi.
Akhirnya lahirlah penelitian ini yang dibuat untuk
menjawab persoalan praktis tersebut, terlebih penelitian ini
juga merupakan ruang lingkup kajian serta tugas bagi
mahasiswa manajemen dakwah terhadap persoalan yang
ada di masyarakat dengan tetap berpegang teguh kepada
kebenaran, rasionalitas dan disiplin ilmu fikih zakat,
penelitian ini juga sekaligus merupakan syarat untuk
memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program
Strata Satu (S1) Program Studi Manajemen Dakwah,
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini lahir dari silih bergantinya purnama.
Penelitian ini sedikit banyak bahkan menjadi saksi betapa
romantisnya dunia seorang mahasiswa yang berkeinginan
meraih sebanyak-banyaknya pengetahuan. Semisal adanya
peristiwa berulang kali meninggalkan wanita akibat
terganggunya waktu berkencan dengan buku dan sajadah.
Efeknya ada seorang wanita yang mengatakan kepada
penulis “kau hanyalah pemuda yang hanya pintar mencari

v
teori bukannya mencari materi”. Maka, menjadi mustahil
bagi penulis untuk mengulangi kesalahan mahasiswa
umumnya yaitu menulis nama seseorang di lembar ini
dengan kalimat cinta seindah langit dan seanggun semesta.
Karena itu, penulis menyadari mulai dari awal hingga akhir
pada penyusunan skripsi ini, bukan merupakan hasil dari
semangat pribadi secara utuh, melainkan juga atas adanya
pancaran doa dari luar yang mendukung baik secara
material maupun non-material.
Oleh karena itu, pertama-tama penulis haturkan pujaan dan
pujian kepada Tuhan yang telah mempertemukan penulis
dan belajar kepada orang-orang hebat yang penulis akan
sebut namanya dibawah ini.
Pertama, terimakasih kepada civitas akademika yang telah
merawat kampus peradaban Islam Indonesia hingga saat
ini, yakni Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis,
Lc., MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kemudian kepada Suparto, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, dan jajaran
dekanat lainnya. Kemudian kepada Drs. Sugiharto, MA.
selaku Ketua Program Studi Manajemen Dakwah, beserta
jajarannya.
Kedua, , terimakasih kepada kalangan akademisi program
studi manajemen dakwah, pertama dosen penasihat
akademik, Hj. Mastanah, M.Si. Kedua, dosen pembimbing
skripsi, Drs, Study Rizal, LK, M.Ag. Kemudian, kepada

vi
dosen sekaligus mentor dalam pemikiran zakat, Dr.
Muhammad Zen, Lc. MA.
Ketiga, terimakasih kepada keluarga besar bapak Emen dan
bapak Rusdi, terkhusus ayah, Engkos Kosasih, S.Pd; dan
mamah, Novitasari yang telah mendukung pendidikan
penulis dari seluruh sisi, maaf sebelumnya penulis enggan
untuk berkuliah, hingga saat ini malah terlelap nyaman di
dalam dunia akademis secara utuh. Tak lupa juga kepada
adik, Aditia Gustiana.
Keempat, terimakasih kepada guru pertama yang mengajari
penulis berbagai dasar-dasar pemikiran islam, baik
intelektual maupun spiritual di pondok pesantren Ibn
Yusuf, yakni KH. Ukon Abdul Ghoni beserta istrinya Hj.
Siti Nuroniah.
Kelima, terimakasih kepada Prof. Dr. Rd. Mulyadhi
Kartanegara, seorang Guru Besar Filsafat Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, berkat diskusi bersamanya, penulis
semakin yakin untuk menekuni bidang pemikiran Islam
maupun kepenulisan.
Keenam, terimakasih kepada kalangan aktivis intelektual
ternama di Ciputat, Gatra Rialdy Putra, Ali Alatas dan
Muhamad Sibro Malisi, tiga orang ini merupakan mentor
sekaligus inspirasi penulis selama menjadi mahasiswa.
Selanjutnya, Shidqi Yahdikalla, kawan seperjuangan
penulis selama menjadi mahasiswa sekaligus aktivis. Selain
itu, ada juga Alamsyah, kawan bernalar dan berfilsafat yang
telah mengajari banyak hal kepada penulis.

vii
Terakhir, penulis utarakan maaf, selama ini hanya mampu
menyumbangkan dua buah karya bagi program studi
manajemen dakwah, karya tersebut berjudul “Humanisme
ZIS Chapter 1: Risalah 700 Umat Terberdayakan dan
Humanisme ZIS Chapter II: Risalah Raga dan Rasa”
semoga buku yang sekarang berada di perpustakaan utama
dan perpustakaan fakultas dakwah dapat bermanfaat bagi
mahasiswa manajemen dakwah yang masih berjuang
menempuh pendidikannya. Penulis pamit dengan sedikit
pemikiran yang didapat dan karya yang disumbangkan,
terimakasih.

Ciputat, 02 Januari 2023

Muhamad Rifki Ramdhani

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ............................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............... ii
ABSTRAK ........................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................v
DAFTAR ISI ..................................................................... ix

BAB I ...................................................................................1
PENDAHULUAN ...............................................................1
A. Latar Belakang ............................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................5
D. Kajian Terdahulu .......................................................6
E. Metodologi Penelitian .................................................9
F. Sistematika Penulisan ...............................................13

BAB II ...............................................................................16
KAJIAN TEORI...............................................................16
A. Definisi Zakat Profesi ...............................................16
B. Landasan Zakat Profesi ...........................................19
C. Metode Penunaian Zakat Profesi ............................26

BAB III ..............................................................................33


BIOGRAFI AL-QARADHAWI .....................................33
A. Riwayat Hidup ..........................................................33
B. Karya-karya Intelektual...........................................43

ix
BAB IV ..............................................................................46
METODE PENUNAIAN ZAKAT PROFESI
MENURUT AL-QARADHAWI .....................................46
A. Pandangan Zakat Profesi .........................................46
B. Pandangan Metode Penunaian Zakat Profesi ........51

BAB V................................................................................62
MEMBACA AL-QARADHAWI: SEBUAH
PERBANDINGAN DAN PENILAIAN ..........................62

BAB VI ..............................................................................70
PENUTUP .........................................................................70
A. Kesimpulan ................................................................70
B. Saran ..........................................................................72
DAFTAR PUSTAKA .......................................................73

x
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nurcholis Madjid di dalam bukunya yang
berjudul Islam Doktrin dan Peradaban mengatakan
bahwa, diantara empat disiplin keilmuan Islam yaitu
fikih, kalam, falsafah dan tasawuf, fikih adalah disiplin
ilmu yang paling menarik banyak perhatian di
masyarakat karena memiliki aspek praktis yang sangat
nyata, hal ini dapat dilihat pada pembagian
pembahasan di dalamnya yaitu fikih „ubudiyat, fikih
jinayat, fikih munakahat, dan fikih muamalat.1
Kemudian, dari empat pembagian pembahasan
di dalam fikih tersebut, fikih ibadah, dalam hal ini
adalah zakat, yang merupakan pokok persoalan umat
saat ini yang memerlukan kajian serius di dalamnya,
karena zakat merupakan bentuk ibadah yang sangat
lekat dengan masyarakat.
Dikatakan oleh Masdar Farid Mas‟udi, bahwa
pengkajian zakat sejak 12 abad yang lalu hingga pada
abad ini adalah seputar pemikiran dan filsafat zakat itu
sendiri, institusi pengelola zakat, dan manajemen
operasionalnya. Masdar menyatakan bahwa yang di
maksud dengan pemikiran dan filsafat zakat adalah

1
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 2008) Cetakan keenam, h. 231-234
2

pembahasan seputar hukum dan metode penunaian


zakat.2
Pada umumnya, pembahasan mengenai dasar
hukum dan metode penunaian pada satu jenis zakat
adalah sama, hal ini dapat kita temui pada pembahasan
fikih zakat klasik, dimana pembahasan mengenai jenis,
syarat dan dasar hukum langsung mendapat afirmasi,
baik oleh al-Qur‟an maupun hadits.
Permasalahan mengenai dasar hukum dan
metode penunaian zakat mulai muncul akibat adanya
pemikiran mengenai zakat dengan jenis baru seperti
zakat profesi, yang disebutkan dan dijelaskan secara
eksplisit oleh seorang tokoh fikih modern dari Mesir
bernama Yusuf al-Qaradhawi.
Kemunculan jenis zakat baru tersebut
mengandung perbedaan pandangan para ulama
ditingkat global maupun lokal seperti ulama di
Indonesia, baik dari sisi hukum maupun metode
penunaiannya.
Ali Trigiyatno menyatakan bahwa pandangan
tersebut terbagi menjadi dua kalangan yaitu pendukung
dan penerima. Perbedaan tersebut tidak hanya terjadi
pada lahirnya dua kalangan, akan tetapi perbedaan

2
Masdar Farid Mas‟udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat
(Pajak) Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991) Cetakan
pertama, h. 37
3

terus bergulir di dalam kalangan yang mendukung,


terutama di dalam masalah metode penunaiannya. 3
Muhammad Adiguna Bimasakti menyatakan
bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah
satu kalangan pendukung, tidak konsisten dalam hal
metode penunaian, terutama pada masalah haul, karena
fatwa MUI No 3 Tahun 2003 tentang zakat
penghasilan, dalam masalah haul berbeda dengan
pemikiran al-Qaradhawi.4
Masalah dalam metode penunaian zakat profesi
ini juga terdapat pada SK BAZNAS No 14 Tahun 2021
yang menyebutkan bahwa penunaian zakat profesi
dikenakan pada pegawai yang menerima penghasilan
perbulan yang apabila dikalkulasikan dalam setahun
mencapai nishab, serta tidak dikurangi kebutuhan
pokok, tentu hal ini berbeda dengan pandangan al-
Qaradhawi.5
Masalah-masalah ini tentunya menarik untuk
diteliti, adapun masalah yang dimaksud oleh penulis
adalah ke-tidak konsistenan dan ketidak patuhan
terhadap kaidah persyaratan zakat secara umum dari

3
Ali Trigiyatno, Zakat Profesi Antara Pendukung dan
Penolak, Jurnal Hukum Islam, Vol 4 No 2 2016, h. 137-139
4
Muhammad Adiguna Bimasakti, Meninjau Zakat
Penghasilan Pada Fatwa MUI No 3 Tahun 2003 dan Ijtihad Yusuf
Qardhawy, Jurnal Hukum islam, Vol 18 No 2, 2018, h. 18
5
Badan Amil Zakat Nasional, Nishab dan kadar Zakat
Penghasilan, diakses dari https://baznas.go.id pada sabtu 21 januari
2023, pukul 20.23
4

kalangan pendukung seperti MUI dan BAZNAS


dengan pemikiran al-Qaradhawi, nampaknya kalangan
ini hanya sepakat pada dasar hukumnya saja, akan
tetapi berbeda dalam masalah metode penunaiannya.
Hal ini menjadi semakin keruh karena adanya
perbedaan pandangan antara Fatwa MUI No 3 Tahun
2003 dengan SK BAZNAS No 14 Tahun 2021
mengenai metode penunaiannya, terutama dalam
masalah apakah harta yang hendak ditunaikan zakatnya
harus dikurangi kebutuhan pokok terlebih dahulu atau
merupakan penghasilan kotor.
Hal tersebut tentu saja berbahaya bagi
masyarakat, baik individu yang memiliki profesi yang
penghasilannya langsung mencapai nishab, maupun
bagi perusahaan yang langsung memotong penghasilan
karyawannya, karena perbedaan pandangan yang
terjadi pada dua institusi yang sama-sama memiliki
legitimasi yang kuat terkait hukum Islam -dalam hal ini
adalah zakat- di Indonesia.6
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini hendak
mengkaji, menganalisa dan menjelaskan metode
penunaian zakat profesi. Dari itu, oleh penulis,

6
Asrorun Niam Sholeh, dkk, Himpunan Fatwa Zakat Majelis
Ulama Indonesia 1976-2021, (Jakarta: Sekretariat Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, 2021) h. 13-16. Lihat juga Keputusan Ketua
Badan Amil Zakat Nasional Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Nilai
Nishab Zakat Pendapatan dan Jasa 2021.
5

penelitian ini diberi judul “Metode Penunaian Zakat


Profesi: Studi Pemikiran al-Qaradhawi”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Penulis kiranya perlu untuk mengantisipasi
masalah yang akan dipaparkan dalam skripsi ini agar
pembahasan tidak melebar dari objek penelitian yang
akan dikaji. Oleh karenanya, dikarenakan penelitian ini
hendak mengkaji pemikiran al-Qaradhawi tentang
metode penunaian zakat profesi, maka pembahasan
diluar hal tersebut seperti masalah dasar hukum dan
lainnya tidak akan dibahas secara mendalam.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan al-Qaradhawi mengenai
zakat profesi ?
2. Bagaimana pandangan al-Qaradhawi tentang
metode penunaian zakat profesi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan dibatasinya pembahasan dan mengacu
pada rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan pemikiran al-Qaradhawi tentang zakat
profesi
2. Menjelaskan pemikiran al-Qaradhawi tentang
metode penunaian zakat profesi
6

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Secara teoritis, penelitian ini mampu memberikan
pandangan terhadap metode penunaian zakat profesi
secara komperhensif yang bersumber langsung dari
pemikiran al-Qaradhawi sebagai tokoh utama yang
secara eksplisit menghadirkan wacana zakat profesi.
2. Secara praktis, penelitian ini mampu memberikan
panduan terhadap pribadi penulis, dan masyarakat
yang hendak menunaikan zakat profesi.
D. Kajian Terdahulu
Salah satu fungsi dari kajian terdahulu adalah
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dari
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai
tema yang diangkat dalam penelitian ini agar tidak
terjadi duplikasi. Berikut penulis hadirkan kajian
terdahulu yang membahas tema-tema yang lekat dengan
metode penunaian zakat profesi:
Pertama, sebuah penelitian yang berjudul
“Meninjau Zakat Penghasilan Pada Fatwa MUI No 3
Tahun 2003 dan Ijtihad Yusuf Qardhawy” ditulis oleh
Muhammad Adiguna Bimasakti. Dalam penelitian ini,
Bima berusaha untuk menemuka kesamaan antara fatwa
MUI dengan ijtihad Yusuf al-Qaradhawi dengan
menggunakan metode studi komparasi, kemudian Bima
menyimpulkan bahwa, nishab yang di fatwakan oleh
MUI tidak dikurangi kebutuhan pokok terlebih dahulu,
karena itu, harta seseorang masih terasa bias akibat
7

harta zakat dan harta lainnya tidak di pisahkan terlebih


dahulu, selain itu, Bima juga berpandangan bahwa haul
yang ditetapkan oleh fatwa MUI adalah tidak jelas
hitungannya serta tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
hadits mengenai haul.7
Berbeda dengan Bima, penelitian ini hendak
mengkaji aspek praktis dari zakat profesi dengan
langsung mengacu kepada tokoh yang bertanggung
jawab atas adanya zakat profesi, yakni al-Qaradhawi,
aspek praktis yang dimaksud adalah aspek metode
penunaian zakatnya.
Kedua, penelitian dengan judul “Teknik
Pengelolaan Zakat Profesi” ditulis oleh Shobirin. Dalam
penelitian ini, Shobirin secara langsung menuliskan hal-
hal yang tidak jelas dan tidak terbatas terkait zakat
profesi, alih-alih membahas secara langsung mengenai
teknik pengelolaan zakat profesi, Shobirin malah
berlalu lalang dalam pembahasan mengenai dasar
hukum dan hikmah diwajibkannya zakat profesi. Selain
itu, Shobirin juga tidak jelas akan menggunakan
pemikiran tokoh mana untuk menjelaskan pengelolaan
zakat profesi tersebut, terkadang Shobirin mengacu
pada fatwa, terkadang pada pemikiran tokoh seperti
Didin Hafidhudin dan al-Qaradhawi, namun Shobirin

7
Muhammad Adiguna Bimasakti, Meninjau Zakat
Penghasilan Pada Fatwa MUI No 3 Tahun 2003 dan Ijtihad Yusuf
Qardhawy, Jurnal Hukum islam, Vol 18 No 2, 2018, h. 18
8

sendiri tidak melakukan pentarjihan dan kesimpulannya


sendiri.8
Lain halnya dengan Shobirin, dalam penelitian
ini penulis akan secara eksplisit mengacu pada al-
Qaradhawi, adapun fatwa serta tokoh lain yang
dihadirkan, itu hanyalah sebagai rujukan yang
mendukung penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga
akan secara jelas membahas mengenai metode
penunaian zakat profesi.
Ketiga, penelitian dengan judul “Zakat Profesi
(Zakat Penghasilan) Menurut Hukum Islam” ditulis
oleh Tira Nurfitria. Dalam penelitian ini, selain
membahas mengenai hukum dan sejarah zakat profesi,
Tira juga membahas mengenai metode penunaian zakat
profesi, namun dikarenakan Tira tidak konsisten dalam
tokoh yang dipilih, akibatnya Tira berkesimpulan
bahwa metode penunaian zakat profesi dapat
dilaksanakan dengan dua qiyas sekaligus yakni emas
dan pertanian, muzakki nya pun ditentukan sesuai
dengan profesi yang digeluti, bilamana profesi yang
digeluti memberi penghasilan sebulan sekali, maka
qiyas zakatnya adalah emas dan perak, namun apabila
diluar itu maka qiyasnya adalah zakat pertanian.9

8
Shobirin, Teknik Pengelolaan Zakat Profesi, Jurnal Zakat dan
Wakaf, Vol 2 No 2, 2015, h. 320-336
9
Tira Nurfitra, Zakat Profesi (Zakat Penghasilan) Menurut
Hukum Islam, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol 1 No 1, 2015, h. 57-59
9

Bagi penulis, Tira agaknya membuat


kesimpulan yang memperkeruh pemahaman
masyarakat, karena Tira menyatakan apabila zakat yang
di analogikan dengan emas dan perak, maka zakat yang
akan ditunaikan haruslah pendapatan neto, adapun jika
zakatnya dianalogikan dengan pertanian, maka tidak
perlu dikurangi kebutuhan pokok terlebih dahulu, lebih
dari itu, Tira juga sama sekali tidak memberikan
pandangan subjektifnya dalam penelitian ini, sehingga
sulit sekali menemukan pandangan yang benar-benar
menurut pemikiran Tira sebagai penulis penelitian
tersebut
Tentunya, hal ini berbeda dengan penelitian
yang hendak dikaji oleh penulis, karena penelitian ini,
selain secara eksplisit membahas metode penunaian
zakat, pun secara jelas menggunakan pemikiran dari
tokoh yang menghadirkan wacana zakat profesi itu
sendiri, yakni al Qaradhawi.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode penelitian kepustakaan, yakni
metode penelitian yang bekerja pada tataran analitis,
penelitian ini tergolong ke dalam penelitian
kualitatif.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang menghasilkan data berupa tulisan dalam suatu
10

konteks tertentu, menurut Hamzah dengan mengutip


Furchan dan Maimun, metode penelitian
kepustakaan merupakan bagian studi tokoh yang
berada pada kuadran empat, yaitu penelitian
kualitatif tingkat tinggi. 10
Selanjutnya, penelitian ini berjenis kajian
pemikiran tokoh, yaitu sebuah kajian yang mengacu
kepada tokoh pemikiran yang relevan dengan
penelitian, adapun tokoh yang menjadi pilihan
dalam penelitian ini adalah Yusuf al Qaradhawi.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu
dua bulan, yakni pada bulan januari hingga februari
2023. Dalam dua bulan tersebut, penulis melakukan
pengumpulan data mengenai sumber-sumber terkait
melalui sumber tertulis seperti buku, jurnal, dan
artikel yang relevan. Kemudian dari data-data
tersebut disusunlah menjadi sebuah bentuk
penelitian ilmiah di tingkat strata satu yang disebut
dengan skripsi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dikarenakan penelitian ini menggunakan
penelitian dengan jenis studi kepustakaan (library
research). Maka pengumpulan data yang digunakan
10
Amir Hamzah, Metode Penelitian Kepustakaan (Library
Research): Kajian Filosofis, Teoritis, Aplikasi, Proses dan Hasil
Penelitian, (Malang: CV. Literasi Nusantara, 2020) Cetakan pertama, h.
9-20
11

adalah dengan menelusuri sumber-sumber yang


selaras dengan topik penelitian, baik berupa buku
maupun jurnal ilmiah.
Pengumpulan data adalah usaha yang
dilakukan untuk menggali informasi yang relevan
dengan masalah yang akan diteliti. Semua data
dalam penelitian ini akan dihimpun, diklasifikasi,
dikutip, dikelompokkan dan kemudian
dikomparasikan.11
Adapun sumber dalam penelitian ini terbagi menjadi
tiga:
1. Sumber Primer
Yaitu sumber data yang menjadi bahan pokok
dalam penelitian, sumber tersebut adalah karya
Yusuf al-Qaradhawi yang berjudul “Fiqh az-
zakat darosatun muqorinatun liahkamiha wa
falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati”
2. Sumber Sekunder
Yaitu sumber yang dapat menjadi penjelas
sumber primer:
a. Yusuf Al Qaradhawi, Perjalanan Hidupku
b. Ahmad Satori Islamil, dkk. FIkih Zakat
Kontekstual Indonesia
c. Oni Sahroni, dkk. Fikih Zakat Kontemporer
11
Amir Hamzah, Metode Penelitian Kepustakaan (Library
Research): Kajian Filosofis, Teoritis, Aplikasi, Proses dan Hasil
Penelitian, (Malang: CV. Literasi Nusantara, 2020) Cetakan pertama, h.
59-60
12

d. Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian


Modern
3. Sumber Tersier
Yaitu sumber yang menjadi pelengkap antara
sumber primer dan sekunder
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia
b. Kamus Al Munawwir
c. Oxford Advanced Leaner‟s Dictionary
4. Analisis Data
Pada penelitian ini, penulis menggunakan
beberapa bentuk analisis data, pertama analisis
deskriptif, yakni menguraikan pemikiran tokoh, hal
ini penulis lakukan guna menjelaskan terlebih
dahulu pandangan tokoh yang dipilih dalam
penelitian ini.
Selanjutnya, penulis juga menggunakan
analisis komparatif dengan membandingkan
pandangan tokoh utama dengan pandangan tokoh
lainnya, hal ini penulis lakukan untuk mengetahui
mana yang merupakan konsep asli, atau mengikuti,
dan mana juga yang bertolak belakang dengan
pandangan tokoh utama penelitian ini.
Pada tahap akhir, penulis memberikan
pandangan-pandangan subjektif atau tarjih terhadap
hasil dari analisis deskriptif dan komparatif diatas
dengan tetap berpegang pada pemikiran zakat secara
umum maupun zakat profesi itu sendiri, sehingga
13

akan terlihat jelas pula bagaimana pandangan yang


penulis sumbangkan dalam penelitian ini, Setelah
itu, barulah penulis akan memberikan kesimpulan
hasil dari penelitian yang ditemukan berdasarkan
pada data-data yang diperoleh.
5. Teknik Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis mengacu dan
berpedoman pada SK Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta mengenai “Pedoman Penulisan
karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.12
F. Sistematika Penulisan
1. Halaman Sampul
Halam sampul berisikan judul, program studi, logo
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, nama dan nim
penulis, Institusi penyelenggara, serta tahun
pengajuan skripsi.
2. Bab I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan hal-hal dasar penulisan
penelitian ini yang meliputi: 1). latar belakang; 2).
Batasan dan rumusan masalah; 3). Tujuan dan
Manfaat Penelitian; 4). Kajian Terdahulu; 5).
Metode penelitian; dan 6). Sistematika penulisan.

12
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor
507 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penulisan karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah jakarta
14

3. Bab II Kajian Teori


Bab ini akan membahas pengertian, landasan dan
metode penunaian zakat profesi secara umum
dengan berbagai sumber, baik berupa pemikiran
tokoh, fatwa MUI dan pandangan dari institusi
zakat di Indonesia yang disebut dengan BAZNAS
dengan mengacu pada Surat Keputusannya
mengenai zakat profesi.
4. Bab III Biografi al-Qaradhawi
Dikarenakan penelitian ini berkaitan dengan ide
dan gagasan seorang tokoh, maka dipandang perlu
untuk membahas biografinya dengan tujuan
mengetahui bagaimana pandangan tersebut
terbentuk, pada bab ini akan diulas riwayat dan
karya intelektual serta corak pemikiran zakatnya,
5. Bab IV Pandangan al-Qaradhawi Mengenai Metode
Penunaian Zakat Profesi
Bab ini merupakan bagian pokok dari penelitian
yang diangkat oleh penulis, karena pada bagian ini
akan dijelaskan pemikiran al-Qaradhawi mengenai
zakat profesi serta metode penunaiannya. Setelah
itu, akan dibandingkan dengan pandangan lain yang
juga membahas mengenai metode penunaian zakat
profesi, dengan demikian akan terlihat dengan jelas
bagaimana pemikiran al Qaradhawi mengenai
metode penunaian zakat profesi. Selanjutnya,
penulis akan melakukan refleksi atas pandangan
15

tersebut yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah


yang ada di dalam zakat, dengan begitu, maka akan
terlihat jelas pula pandangan subjektif dari penulis
terhadap masalah metode penunaian zakat profesi.
6. Bab V Penutup
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang
menjadi rekomendasi atas penelitian terkait metode
penunaian zakat profesi.
16

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Definisi Zakat Profesi
Secara bahasa, kosa kata zakat merupakan
bentuk mashdar dari kata zaka yang artinya bersih,
tumbuh dan berkembang, zakat juga memiliki arti lain
seperti an-nama (tumbuh), dan at-tharathu (kesucian).1
Kemudian kata zakat yang berasal dari bahasa
Arab ini juga diserap menjadi bahasa Indonesia, kata
zakat dalam bahasa Indonesia mengandung dua arti,
pertama zakat diartikan sebagai jumlah harta tertentu
yang wajib dikeluarkan oleh orang Islam dan diberikan
kepada orang yang berhak menerima (seperti fakir,
miskin dan lain-lain), kedua zakat sebagai rukun Islam
ketiga.2
Adapun secara istilah, zakat adalah nama dari
harta tertentu yang diambil dari harta tertentu dengan
kriteria tertentu dan diberikan kepada golongan
tertentu.3

1
Ahmad Warson Munawwir, dkk, Kamus Al-Munawwir:
Indonesia-Arab Terlengkap edisi 3 tahun 2007, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2007) Edisi ketiga, cetakan pertama, h. 577
2
Dendy Sugono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) h. 1630
3
Pengertian ini dikemukakan oleh al-Ghazi, berikut
merupakan teks arabnya:
‫اسم دلال خمصووص يؤخذ من مال خمصوص على وجو خمصوص يصرف لطائفة خمصوص‬
Lihat Ibn Qosim al Ghazi, Fath al-Qorib al-Mujib fi Syarh al-Faz atl-
Taqrib, (Beirut: Dar al-Minhaj, 2019) h. 176
17

Sedangkan di dalam Undang-undang nomor


23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, zakat
diartikan sebagai harta yang wajib dikeluarkan oleh
seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam.4
Selanjutnya, kata profesi adalah kata serapan
dari bahasa inggris yakni profession yang artinya
pekerjaan berbayar, terutama bagi pekerjaan yang
membutuhkan pendidikan dan pelatihan lanjutan
seperti arsitek, dokter dan lain-lain, selain itu
profession juga diartikan sebagai sebuah nama bagi
pekerjaan yang dilakukan semua orang dalam profesi
tertentu.5
Sedangkan kata profesi di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu,
baik berupa keterampilan, kejuruan dan sebagainya. 6
Zakat profesi adalah zakat yang ditunaikan
oleh seseorang berdasarkan penghasilan atau
pendapatan dari keahlian tertentu, baik yang dihasilkan
secara individu mutlak seperti dokter, arsitek,

4
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat
5
A. S. Hornby, Oxford Advanced Leaner‟s Dictionary, (New
York: Oxford University Press, 1995) Edisi kelima, h. 924
6
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id pada sabtu
21 januari 2023 pada 20.23
18

pengacara, maupun yang dihasilkan secara individu


yang berkaitan dengan individu lain seperti buruh,
karyawan.7
Zakat profesi juga dipadankan dengan bahasa
zakat penghasilan, sebagaimana terdapat di dalam
Fatwa MUI No 3 Tahun 2003 tentang zakat
penghasilan, pada bagian penetapan point pertama
yang berbunyi “Dalam fatwa ini, yang dimaksud
dengan “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti
gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang
diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat
negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin
seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya,
serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas
lainnya”.8
Dikatakan oleh Didin Hafidhudin, bahwa
zakat profesi merupakan jenis zakat modern yang
belum terlalu banyak dikenal dan dikaji di kalangan
masyarakat muslim, zakat profesi baru menjadi
perhatian penting sejak fatwa ulama yang di hasilkan
oleh Muktamar Internasional di Kuwait pada tanggal
29 Rajab 1404 H yang bertepatan dengan tanggal 30
April 1984 M bahwa salah satu kegiatan yang
menghasilkan kekuatan bagi manusia saat ini adalah
7
Ahmad Satori Ismail, dkk, Fikih Zakat Kontekstual
Indonesia, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, 2018) h. 207
8
Asrorun Niam Sholeh, dkk, Himpunan Fatwa Zakat Majelis
Ulama Indonesia 1976-2021, h. 16
19

kegiatan profesi, oleh karenanya penghasilan yang di


dapatkan atas profesi tersebut apabila telah mencapai
nisab, wajib dikeluarkan zakatnya.9
Muhammad Zen mengklaim bahwa zakat
profesi, dalam dunia pemikiran fikih disebut dengan al
mal al mustafad yang mengandung makna, harta halal
yang diperoleh melalui suatu keahlian dan telah
memenuhi kriteria kaidah persyaratan zakat yang
berlaku.10
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis
menyimpulkan bahwa zakat profesi adalah zakat yang
ditunaikan atas penghasilan dari profesi tertentu, baik
penghasilan dari profesi yang penghasilannya tidak
melibatkan pihak lain secara langsung seperti dokter,
maupun profesi yang melibatkan pihak lain secara
langsung seperti pegawai negeri sipil.
B. Landasan Zakat Profesi
Sebelum penulis mendeskripsikan penjelasan
mengenai landasan zakat profesi, terlebih dahulu akan
diuraikan landasan zakat secara umum berdasarkan al-
Qur‟an dan Hadits, setelah itu secara spesifik penulis
akan mendeskripsikan landasan zakat profesi.

9
Didin Hafidhudin, Zakat Dalam Perekonomian Modern,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2002) h.93-94. Lihat juga Ahmad Satori
Ismail, dkk, Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, h. 205
10
Muhammad Zen, Zakat Profesi Sebagai Distribusi
Pendapatan Ekonomi Islam, Jurnal Human Falah, Vol. 1 No. 1. 2014, h.
68
20

1. Landasan zakat secara umum


Pertama, landasan zakat di dalam al-Qur‟an
tercantum di dalam surah al-Baqarah ayat 43 yang
berbunyi:

ِ َِّٰ ‫ٱلزَك ٰوَة وٱرَكعوا۟ مع‬ ِ


‫ي‬
َ ‫ٱلركع‬ َ َ ُ ْ َ َّ ۟‫ٱلصلَ ٰوَة َوءَاتُوا‬
َّ ۟‫يموا‬
ُ ‫َوأَق‬

Artinya: Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah


zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.
Kedua, landasan zakat di dalam hadits
terdapat pada hadits yang di riwayatkan oleh Ibn
„Umar yang berbunyi:

ِ ِ ِ ِ َّ ‫َِب َعْب ِد‬


ُ‫الر ْْحَ ِن َعْبد اهلل بْ ِن عُ َمَر بْ ِن اخلَطَّاب َرض َي اهلل‬ ْ ِ‫َع ْن أ‬
‫ (بُِ َِن‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ُق ْو ُل‬ َّ ِ‫ت الن‬
َ ‫َِّب‬
ِ
ُ ‫ ََس ْع‬:‫َعْن ُه َما قَ َال‬
َّ ‫ َش َه َاد ِة أَ ْن الَ إِلَ َو إِالَّ اهللُ َوأ‬:‫س‬
‫َن ُُمَ َّم ًدا َر ُس ْو ُل‬ ٍ َْ‫ا ِإل ْسالَ ُم َعلَى َخ‬

ِ ‫ و‬،‫ت‬ ِ ِ َّ ‫ وإِي ت ِاء‬،‫الصالَِة‬ ِ


)‫ضا َن‬
َ ‫ص ْوم َرَم‬
َ َ ‫ َو َح ِّج البَ ْي‬،‫الزَكاة‬ َْ َ َّ ‫ َوإِقَ ِام‬،‫اهلل‬

‫ي َوُم ْسلِ ٌم‬


ُّ ‫َرَواهُ الْبُ َخا ِر‬

Artinya: Dari Abu „Abdirrahman „Abdullah ibn


„Umar ibn al-Khathab radhiyallahu „anhuma,
berkata, aku mendengar Nabi SAW. berkata, Islam
didirikan di atas lima dasar, mengkirarkan bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasul Allah, mendirikan salat, membayar zakat,
21

berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji bagi siapa


yang mampu. HR. Bukhori dan Muslim.
Pada landasan yang pertama yakni landasan
yang berlandaskan al-Qur‟an, tim penulis fikih zakat
kontekstual Indonesia menyatakan bahwa ayat
tersebut mengandung status hukum wajib terhadap
zakat karena sesuai dengan kaidah ushul fikih yang
menyatakan bahwa pada dasarnya perintah
menunjukkan pada kewajiban.11
Adapun hukum yang kedua yakni hukum yang
berlandaskan hadits, tim penulis fikih zakat
kontemporer menyatakan bahwa hadits tersebut
merupakan bukti serta landasan kewajiban zakat,
karena merupakan bagian dari rukun islam, jika
seorang muslim yang hartanya sudah memenuhi
kriteria zakat kemudian tidak menzakatkan
hartanya, maka seseorang tersebut telah
meruntuhkan bangunan keberislamannya.12
Menurut Penulis, pemaparan hukum zakat
berdasarkan al-Qur‟an dan hadits tersebut, memberi
pengertian wajib terhadap status hukum pada zakat,
hal ini juga menjadi logis dengan adanya hukuman
bagi orang yang enggan menunaikan zakatnya.

11
Ahmad Satori Ismail, Masdar Farid Mas‟udi, dkk, Fikih
Zakat Kontekstual Indonesia, h. 207-208
12
Oni Sahroni, dkk, Fikih Zakat Kontemporer, (Depok, PT
Raja Grafindo Persada, 2018) h. 13-14
22

Hukuman tersebut juga tercantum di dalam al-


Qur‟an dan hadits, berikut merupakan ayat al-
Qur‟an dan hadits yang menjelaskan hukuman bagi
orang yang enggan menunaikan zakat:
a. Q.S. At-Taubah ayat 34-35
ِ ‫ٱلرْىب‬ ِ ِ َّ
‫ان‬ ْ ‫ين ءَ َامنُو۟ا۟ إِ َّن َكث ًريا ِّم َن ْٱْل‬
َ ُّ ‫َحبَا ِر َو‬ َ ‫َٰي۟أَيُّ َها ٱلذ‬
ِ َّ ِ ِ ِ ِ ‫لَيأْ ُكلُو َن أَم ٰوَل ٱلن‬
‫ين‬ ُ َ‫َّاس بِٱلْبَٰط ِل َوي‬
َ ‫صدُّو َن َعن َسب ِيل ٱللَّو ۟ َوٱلذ‬ َْ َ
‫ضةَ َوَال يُ ِنف ُقونَ َها ِِف َسبِ ِيل ٱللَِّو فَبَش ِّْرُىم‬
َّ ‫ب َوٱلْ ِف‬ َّ ِ
َ ‫يَ ْكن ُزو َن ٱلذ َى‬
‫اب أَلِي ٍم‬
ٍ ‫بِع َذ‬
َ
‫اى ُه ْم َو ُجنُوبُ ُه ْم‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫يَ ْوَم ُُْي َم ٰى َعلَْي َها ِف نَار َج َهن‬
ُ َ‫َّم فَتُ ْك َو ٰى ِبَا جب‬
‫ورُى ْم ۟ َٰى َذا َما َكنَ ْزُُْت ِْلَن ُف ِس ُك ْم فَ ُذوقُوا۟ َما ُكنتُ ْم تَ ْكنُِزو َن‬
ُ ‫َوظُ ُه‬
Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas
dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih;
pada hari dipanaskan emas perak itu dalam
neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi,
lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan)
kepada mereka, inilah harta benda kalian yang
kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kalian
simpan itu.
23

b. Hadits Riwayat Imam Bukhari dari Abu


Hurairah, Rasulullah SAW. Mengatakan:

،‫ع‬
َ ‫أقر‬
َ ‫جاعا‬
ً ‫ِّل لو مالو ُش‬
َ ‫ ُمث‬،‫ فلم َيؤِّد زكاتَو‬،‫ماال‬
ً ُ‫َمن آتاه اهلل‬

‫ يعِن‬-‫يأخ ُذ بلِ ْه ِزَمتَ ِيو‬


ُ ،‫يوم القيامة‬
َ ‫طوقو‬
ِ ‫لو ز‬
ِّ ُ‫ ي‬، ‫بيبتان‬

‫َب‬
َّ َ ‫ َوَال َُْي َس‬:‫ مث تال‬.‫ أنا َكْن ُزك‬،‫ك‬ ِ
َ ُ‫ أنا مال‬:‫ مث يقول‬،‫ش ْدقَيو‬

‫ضلِ ِو ُى َو َخْي ًرا َذلُ ْم بَ ْل ُى َو‬


ْ َ‫اى ُم اهللُ ِم ْن ف‬ ِ
ُ َ‫ين يَْب َخلُو َن ِبَا آت‬
ِ َّ
َ ‫الذ‬
ِ ِ
ُ ‫َشٌّر َذلُ ْم َسيُطََّوقُو َن َما ََِبلُوا بِِو يَ ْوَم الْقيَ َام ِة َوللَِّو ِم َري‬
‫اث‬
ِ ِ ‫السمو‬
ٌ‫ض َواهللُ ِبَا تَ ْع َملُو َن َخبِري‬
ِ ‫ات َو ْاْل َْر‬ َ َ َّ
Artinya: Siapa yang dikaruniai oleh Allah
kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya,
maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi
oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat
berbisa dan sangat menakutkan dengan dua
bintuk di atas kedua matanya, lalu melilit dan
mematuk lehernya sambal berteriak, “saya
adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu
yang engkau timbun-timbun dulu,” Nabi
kemudian membaca ayat “sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya
mengira bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah
24

buruk bagi mereka. Harta yang mereka


bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-
lah segala warisan (yang ada) di langit dan di
bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Dengan adanya penjelasan langsung oleh Nabi
mengenai hukuman atau siksaan terkait orang-orang
yang enggan mengeluarkan zakatnya, maka jelaslah
bahwa zakat adalah kewajiban bagi setiap muslim.

2. Landasan Zakat Profesi


Secara eksplisit, wacana mengenai zakat
profesi sendiri dapat tergolong baru, karena itu para
ulama dengan teliti mencari sumber-sumber dalam
literatur islam, baik pemikiran maupun kesejarahan
untuk membuktikan adanya kewajiban atas zakat
profesi, kemudian memperkuatnya dengan fatwa
ulama. Karena itu, berikut penulis hadirkan sumber-
sumber yang menjadi penetapan hukum wajib atas
zakat profesi.
a. Landasan berdasarkan al Qur’an
Q.S. Al Baqarah ayat 267:

ِ ‫ٰي۟أَيُّها ٱلَّ ِذين ءامنو۟ا۟ أ‬


ِ ‫َنف ُقوا۟ ِمن طَيِّب‬
‫ٰت َما َك َسْبتُ ْم‬َ َُ َ َ َ َ
ِ َ ِ‫ض ۟ وَال تَي َّمموا۟ ٱ ْخلب‬ ِ
ُ‫يث منْو‬ َ ُ َ َ ِ ‫َخَر ْجنَا لَ ُكم ِّم َن ْٱْل َْر‬
ْ ‫َوِمَّا۟ أ‬
25

۟ ‫ضوا۟ فِ ِيو‬ ِِِ ِ


ُ ‫تُنف ُقو َن َولَ ْستُم بَِاخذيو إَِّال۟ أَن تُغْ ِم‬
َِ ‫َن ٱللَّو َغ ِِن‬
‫ْحي ٌد‬ ٌّ َ َّ ‫ٱعلَ ُمو۟ا۟ أ‬
ْ ‫َو‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman,


nafkahkanlah (di jalan Allah) Sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan Sebagian dari apa
yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu
kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah maha kaya lagi maha terpuji.
Menurut tim penulis fikih zakat kontekstual
Indonesia dengan mengutip Sayyid Quthub, ayat
267 surat al-Baqarah tersebut merupakan ayat
yang mencakup seluruh hasil usaha, baik usaha
yang ada pada zaman Nabi Muhammad maupun
sesudahnya, karena itu, segala jenis usaha, baik
yang berupa keahlian profesional, maupun non
profesional dikenakan zakat dengan syarat dan
ketentuan yang berlaku atasnya. 13
Memperkuat argumen tersebut, Quraish
Shihab di dalam bukunya tafsir al-misbah
menyatakan, apabila ayat tersebut dipahami

13
Ahmad Satori Ismail, dkk, Fikih Zakat Kontekstual
Indonesia, h. 207
26

dengan zakat, maka penghasilan dari segala jenis


profesi yang telah memenuhi persyaratan wajib
untuk dikeluarkan zakatnya. 14

b. Landasan berdasarkan fatwa MUI


Dasar hukum ini dijelaskan di dalam fatwa
MUI no 3 tahun 2003 tentang zakat penghasilan,
pada bagian penetapan point kedua tentang
hukum yang berbunyi:

“Semua bentuk penghasilan halal wajib


dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah
mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai
emas 85 gram”.15

C. Metode Penunaian Zakat Profesi


Kosa kata metode dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengandung dua arti, pertama, cara teratur
berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai
maksud (dalam Ilmu Pengetahuan dan sebagainya), dan
kedua, cara kerja yang teratur dan bersistem untuk
dapat melaksanakan suatu kegiatan dengan mudah
guna mencapai maksud yang ditentukan.16

14
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al Qur‟an, (Tangerang: Lentera Hati, 2005) Vol 1, cetakan
keempat, h. 577
15
Asrorun Niam Sholeh, dkk, Himpunan Fatwa Zakat Majelis
Ulama Indonesia 1976-2021, h. 16
16
Dendy Sugono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) h. 952
27

Pembahasan mengenai metode penunaian


zakat profesi ini meliputi syarat dan cara pembayaran.
Oleh karenanya terlebih dahulu penulis akan
memaparkan penjelasan mengenai syarat zakat secara
umum, kemudian akan dijelaskan persyaratan dan cara
pembayaran zakat profesi secara khusus melalui tokoh,
fatwa dan SK BAZNAS No 14 Tahun 2021.
Adapun syarat-syarat tersebut sebagaimana
dinyatakan oleh tim penulis fikih zakat kontekstual
Indonesia adalah sebagai berikut:17
1. Sempurna Hak Milik
Persyaratan pertama terkait harta zakat
adalah sempurna hak milik, maksudnya adalah
harta tersebut berada dibawah kontrol penuh
pemiliknya, dengan kata lain harta tersebut dapat
digunakan untuk apapun, dan kapanpun, karena itu
harta yang masih belum sempurna kepemilikannya
tidak dikenakan kewajiban zakat.
Dikatakan sempurna hak milik karena pada
dasarnya penunaian zakat merupakan pemberian
hak milik pribadi seseorang kepada orang lain, oleh
karenanya, ketika seseorang memiliki harta dengan
status sebagai pinjaman, maka orang tersebut tidak
terkena kewajiban zakat.
2. Halal

17
Ahmad Satori Ismail, dkk, Fikih Zakat Kontekstual
Indonesia, h. 47-68
28

Persyaratan kedua adalah halal. Hal ini


karena zakat tidak hanya berkaitan dengan kegiatan
sosial dan pemenuhan kebutuhan mustahik,
melainkan bentuk dari penghambaan seseorang
kepada Allah. Oleh karenanya, harta yang terkena
kewajiban zakat merupakan harta yang memiliki
status halal, baik pada harta itu sendiri, juga pada
cara memperolehnya. Dengan demikian, harta
dengan status haram tidak terkena kewajiban zakat.
3. Berkembang
Persyaratan ketiga adalah memiliki potensi
untuk dikembangkan. Potensi berkembang ini
dibagi menjadi dua, pertama berkembang oleh
pemilik harta, kedua berkembang oleh orang lain
tetapi atas nama pemilik harta.
4. Mencapai Nishab
Perysaratan keempat adalah mencapai
nishab. Nishab merupakan total minimal dari harta
yang akan ditunaikan zakatnya. Nishab merupakan
indikator terpenting di dalam menunaikan zakat,
karena nishab merupakan pembeda zakat dengan
bentuk filantropi lainnya seperti infaq, sedekah,
hadiah dan lain-lain.
5. Melebihi Kebutuhan Pokok
Persyaratan kelima adalah melebihi
kebutuhan pokok. Adapun yang dimaksud dengan
kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang jika tidak
29

terpenuhi akan membuat seseorang sengsara, atau


yang akan menghilangkan eksistensi manusia itu
sendiri, dalam hal ini, yang disebut kebutuhan
pokok adalah sandang, pangan dan papan.
6. Terbebas dari Hutang
Persyaratan keenam adalah terbebas dari
hutang. Point ini merupakan bentuk afirmasi atau
penjelas dari point pertama yakni sempurnanya hak
milik. Syarat hutang yang menggugurkan
kewajiban zakat adalah bahwa jumlah hutang
tersebut mengurangi pemenuhan nishab zakat
tertentu, dengan kata lain, adar hutang yang
dimaksud disesuaikan dengan nishab dari bentuk
harta yang akan ditunaikan zakatnya.
7. Haul
Persyaratan ketujuh adalah haul. Adapun
yang dimaksud dengan haul adalah telah berlalu
satu tahun. Haul dihitung berdasarkan tahun hijriah,
dengan kata lain hitungannya harus di dasarkan
pada tahun Islam dan bukan pada tahun masehi.

Setelah kita mengetahui persyaratan harta


yang dikenakan terhadap kewajiban zakat, selanjutnya
penulis akan menjelaskan persyaratan zakat profesi
sekaligus dengan cara pembayarannya, adapun
uraiannya adalah sebagai berikut:
30

Menurut Fatwa MUI no 3 tahun 2003 tentang


zakat penghasilan, mengatakan bahwa nishab zakat
profesi adalah 85 gram emas18 dengan kadar
pengeluarannya senilai 2,5%, adapun cara
pembayarannya dibagi menjadi dua yaitu ditunaikan
secara langsung ketika mendapatkan penghasilan, atau
dikalkulasikan dulu selama setahun dan dikurangi
kebutuhan pokok.19

Kemudian menurut SK Ketua Badan Amil


Zakat Nasional, Nomor 14 Tahun 2021 tentang Nilai
Nishab Zakat Pendapatan dan Jasa Tahun 2021,
menyatakan bahwa nishab zakat profesi disesuaikan
dengan nishab zakat emas yaitu 85 gram emas atau
senilai dengan Rp. 79.738.415,00 (tujuh puluh
sembilan juta tujuh ratus tiga puluh delapan ribu empat
ratus lima belas rupiah) pertahun atau Rp. 6.644.868.00
( enam juga enam ratus empat puluh empat ribu
delapan ratus enam puluh delapan rupiah) perbulan,
dengan kadar zakat 2,5%, ditunaikan ketika mendapat

18
85 gram emas tersebut senilai Rp. 79.738.415,00. Lihat SK
BAZNAS No 14 Tahun 2021 Tentang Nilai Nishab Zakat Pendapatan
dan Jasa Tahun 2021. Selanjutnya, persamaan antara nilai rupiah dan
dengan bobot 85 gram emas ini tidak akan dijelaskan kembali.
19
Asrorun Niam Sholeh, dkk, Himpunan Fatwa Zakat Majelis
Ulama Indonesia 1976-2021, h. 16
31

penghasilan berbentuk penghasilan kotor (bruto),


artinya tidak dikurangi dengan kebutuhan pokok.20

Sedangkan Didin Hafifudhin menyatakan


bahwa persyaratan dan cara pembayaran zakat profesi
di analogikan dengan zakat pertanian sekaligus zakat
emas dan perak.

Maka nishabnya adalah 653 kg padi atau


gandum, ditunaikan ketika mencapai nishab sebulan
sekali, dengan kadar zakat 2,5%, tanpa dipotong
kebutuhan pokok terlebih dahulu. Didin mengatakan
bahwa zakat profesi lebih baik ditunaikan sebulan
sekali karena mengikuti kebiasaan atau tradisi
penghasilan kebanyakan orang. 21

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis


menyimpukan bahwa zakat profesi ditunaikan pada
saat penghasilan diterima, karena sudah menjadi
kepemilikan yang sempurna, dengan nishab 85 gram
emas, dengan kadar penunaian zakat 2,5%, serta
merupakan penghasilan bersih, dengan kata lain,
penghasilan dikurangi kebutuhan pokok terlebih
dahulu, adapun yang dimaksud dengan kebutuhan
pokok disini adalah sandang, pangan dan papan yang

20
Keputusan Ketua Badan Amil Zakat Nasional Nomor 14
Tahun 2021 tentang Nilai Nishab Zakat Pendapatan dan Jasa Tahun
2021
21
Didin Hafidhudin, Zakat Dalam Perekonomian Modern,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2002) h. 97-98
32

jika tidak dipenuhi maka akan menimbulkan


kesengsaraan hidup bagi pemilik hartanya.

Dengan demikian, zakat profesi tidak dapat


dikenakan kepada pegawai yang mendapat penghasilan
kurang dari nishab emas, baik sekali dapat, maupun
yang didapat secara berangsur-angsur, karena jelaslah
bahwa dengan mewajibkan zakat kepada pegawai yang
mendapat penghasilan secara berangsur-angsur yang
hitungannya sekali dapat tidak mencapai nishab
menurut ketentuan zakat profesi ini, telah menyalahi
kaidah syarat harta zakat yang tidak lain adalah
kepemilikan penuh.
33

BAB III
BIOGRAFI AL-QARADHAWI
A. Riwayat Hidup
Yusuf ibn Abdullah ibn Ali ibn Yusuf al-
Qaradhawi lahir pada 9 September 1926 di Safat
Turab, sebuah daerah dataran rendah Mesir Barat yang
terletak diantara kota Thantha dan kota al-Mahallah al-
Kubra, nama al-Qaradhawi dinisbahkan kepadanya
karena garis keturunan kakek dari ayahnya yang
bernama Haji Ali al-Qaradhawi.1
Al-Qaradhawi memulai pendidikannya dengan
menghfal al-Qur‟an kepada Abu Zuwail, seorang
Kuttab2 di daerah Safat Turab. Pada usia sembilan
tahun, dibawah didikan Abu Zuwail, al-Qaradhawi
telah berhasil menjadi seorang yang hafal al-Qur‟an..3
Menariknya, pendidikan hafalan al-Qur‟an
bukanlah satu-satunya pendidikan yang ditempuh oleh
al-Qaradhawi secara intensif, karena pada usia tujuh
tahun ia telah menempuh pendidikan dasar di al-
Ilzamiyah. Jadi sebelum umur genap sepuluh tahun al-
Qaradhawi telah mampu menempuh dua pendidikan
intensif sekaligus.

1
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2003) h. 99
2
Kuttab adalah sebutan bagi seorang guru yang khusus untuk
mengajarkan hafalan Al Qur‟an
3
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 119-131
34

Pada saat di al-Ilzamiyah, al-Qaradhawi


mendapatkan pendidikan mengenai penulisan bahasa
Arab (khat) yaitu naskhi, riq‟ah, tsuluts dari Ali
Sulaiman Khalil dan beberapa pendidikan lain seperti
sirah (sejarah), mahfuzhat kepada Sa‟id Sulaiman
Tsabits.4
Sejak usia 12 tahun pasca menyelesaikan
studinya dengan Abu Zuwail serta studi lainnya di al-
Ilzamiyah, al-Qaradhawi berniat untuk melanjutkan
studinya ke al-Azhar pada tingkat ibtidaiyah. Pada usia
15 tahun ia mendaftarkan diri ke al-Azhar pada tingkat
ibtidaiyah, sebelum masuk, al-Qaradhawi mengisi
formulir dengan bantuan al-Battah, salah satu point
yang harus diisi adalah mengenai madzhab fikih, atas
rekomendasi al-Battah yang menyarankannya untuk
memilih madzhab Hanafi, akhirnya tanpa berpikiran
kritis, al-Qaradhawi menerima saran tersebut.5
Pendidikan yang ditempuh oleh al-Qaradhawi
selama di ibtidaiyah berjalan selama empat tahun, pada
tahun pertama, ia mempelajari Nahwu kepada
Muhammad Sya‟at, kemudian mempelajari ilmu fikih
kepada Muhammad asy-Syanawi.6

4
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 136-137
5
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 152-153
6
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 186-187
35

Pada saat menempuh pendidikan pertama


inilah al-Qaradhawi mengenal Hasan al-Banna pada
suatu ceramah mengenai hijrah Rasulullah Muhammad
pada bulan Muharram, Hasan al-Banna sendiri adalah
tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, yang disebut-sebut
sebagai gerakan dakwah religio-politik di Timur
Tengah.7
Sebetulnya pada saat itu pula al-Qaradhawi
ingin bergabung dengan Ikhwan, akan tetapi karena
ketidaktahuannya mengenai birokrasi pendaftaran,
akhirnya ia belum dapat bergabung saat itu.8
Walau demikian, pertemuan pertamanya
dengan Hasan al-Banna akan berpengaruh besar
terhadap corak pemikiran dan gerakan dakwahnya
semenjak tsanawiyah hingga akhir hayatnya.
Kemudian, pendidikan Nahwu ditempuhnya
kepada Rajab Zabadi, begitu pula pendidikan fikihnya
juga tetap dilanjutkan bersama asy-Syanawi. Selain itu,
al-Qaradahwi juga mempelajari ilmu mahfuzhat kepada
Bahi al-Khuli, menurut pengakuannya sendiri, ia
pernah menghafal bagian kitab An-Nadzarat yang
berjudul Ar Rahmah karya al-Manfaluthi. 9

7
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 161
8
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 180-181
9
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 166-177
36

Setelah itu, ia mendapat pendidikan nahwu


dan sharf dari Musthafa Ghubarah, disamping
pendidikan fikihnya kepada asy-Syanawi. Pada tahun
keempat inilah tahun yang menjadi saksi bergabungnya
al-Qaradhawi dengan ikhwanul muslimin melalui
sebuah acara yang diadakan oleh Ikhwan cabang
Thantha, saat itu al-Qaradhawi diundang untuk
membacakan syair-syair Arab, sejak diundang di acara
tersebut untuk membacakan syair, al-Qaradhawi telah
dikenal sebagai seorang penyair di kalangan anggota
ikhwan. 10
Al-Qaradhawi menempuh pendidikannya di
ibtidaiyah selama empat tahun sejak usia 15 hingga 18
tahun atau 1940-1944 M, pada saat memasuki usia 18
tahun al-Qaradhawi mempersiapkan diri untuk
melanjutkan jenjang pendidikannya ke tingkat
tsanawiyah, dan tetap memilih al-Azhar sebagai
lembaga pendidikannya.
Pada tahun 1944 M, al-Qaradhawi
melanjutkan pendidikannya di Al Azhar pada tingkat
tsanawiyah ditingkat ini, al-Qaradhawi tidak hanya
menempuh pendidikan di dalam kelas, melainkan juga
diluar kelas, tepat pada saat dirinya di penjara bersama
dengan anggota ikhwanul muslimin pada tahun 1948
M, dimana saat itu usianya baru menginjak 17 tahun.

10
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 178-180
37

Aktvitasnya sebagai seorang aktivis dan


pemikir muda yang memiliki daya tarik kuat terutama
di dalam bidang fikih telah dirasakannya selama
menjadi aktivis Ikhwan pada saat menempuh
pendidikan di tingkat tsanawiyah.
Di dalam buku autobiografinya, al-Qaradhawi
terlebih dahulu menjelaskan pergulatannya di dunia
pendidikan formal bersama beberapa gurunya di
tsanawiyah. al-Qaradhawi menyatakan, bahwa guru-
guru yang mengajar di tsanawiyah cenderung
dogmatis, dan seringkali menutup pintu pemikiran
kontekstual dalam pembahasan agama.
Dikatakan sendiri oleh al-Qaradhawi bahwa
para guru tersebut seringkali berkata “Segala bentuk
permasalahan agama telah dibahas oleh ulama-ulam
klasik dan tidak satupun persoalan yang mereka
sisakan untuk kita yang hidup di zaman ini”, ucapan-
ucapan ini menurut al-Qaradhawi menampilkan wajah
yang fanatik dari para guru, serta lebih parah dari itu
bahwa guru-guru di tsanawiyah cenderung memiliki
jiwa materialisme yang tinggi. 11
Al-Qaradhawi mendapat pendidikan fikih
madzhab Hanafi dari seorang guru yang bernama
Mahmud al-Diftar, di dalam kelas tersebut pernah al-
Qaradhawi mengajukan kritik mengenai pandangannya

11
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 201-202
38

terhadap ziarah kubur bahwa hal tersebut tidak sesuai


dengan sunnah Rasulullah Muhammad, kemudian
gurunya al-Diftar menyebut al-Qaradhawi sebagai
pengikut Wahhabi dan segera menutup diskusi
tersebut.
Pendidikan lain yang di dapat oleh al-
Qaradhawi adalah ilmu „arudh dan qafiyah, guru yang
mengajarnya adalah Amin al-Diftar. Selanjutnya al-
Qardhawi mendapatkan pendidikan ilmu balaghah
kepada Muhammad Mutawalli Asy-Sya‟rawi.12
Terdapat ilmu-ilmu lain yang dipelajari oleh
Al-Qaradhawi sejak duduk di bangku tsanawiyah, akan
tetapi al-Qaradhawi sendiri tidak menyebutkan seluruh
guru-guru yang mengajarkannya, ilmu-ilmu tersebut -
sebagaimana dikatakan oleh al-Qaradhawi- adalah ilmu
kalam, tafsir, hadits, bahasa Arab, nahwu dan sharf,
sejarah sastra Arab, qira‟at dan mahfudzat, manthiq
(logika), sejarah, bilogi, kimia, fisika.13 Demikian
ilmu-ilmu yang dipelajari oleh al-Qaradhawi di dalam
ruang kelas. Adapun ilmu-ilmu yang dipelajari oleh al-
Qaradhawi diluar kelas bersama ikhwanul muslimin.
Perjalanan intelektual al-Qaradhawi pada saat
di tsanawiyah sangat lekat dengan realitas sosial dan
pembacaan kontekstual terhadap permasalahan islam,
12
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 202-205
13
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 221-233
39

hal tersebut didapatkannya melalui Ikhwan, karena itu,


kita mendapatkan informasi langsung dari al-
Qaradhawi mengenai hikmah yang di dapatkannya
setelah bergabung dengan Ikhwan, pertama, ikhwanul
muslimin telah berhasil memperluas pemahaman dan
pemikirannya mengenai islam.14
Kedua, membangun pemahaman bahwa islam
adalah milik bersama, sehingga tugas-tugas agama
bukanlah tugas indivual melainkan tugas komunal,
ketiga, dengan bergabung bersama Ikhwan, al-
Qaradhawi tidak hanya menjadi seorang penceramah
islam, melainkan guru umat islam.
Keempat, al-Qaradhawi mampu untuk
memikirkan hal-hal besar seperti persoalan sosial yang
melanda umat, dan kelima, al-Qaradhawi mampu
mengakulturasikan antara pendidikan islam dan
pendidikan umum, karena baginya seluruh keilmuan
umum atau ilmu-ilmu kontemporer yang bersifat
empiris sekalipun harulah disesuaikan dengan Al
Qur‟an dan Al Sunnah.15
Pada saat menjadi aktivis Ikhwan di tingkat
tsanawiyah, al-Qaradhawi di tempatkan sebagai

14
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 305
15
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 305-308
40

anggota bidang kesiswaan dan dakwah. 16 Hal tersebut


yang menjadikan al-Qaradhawi amat sering berkeliling
Mesir untuk memberikan kajian dan khutbah jum‟at di
berbagai tempat, daerah-daerah tersebut seperti Kafr
Asy Syaikh, Mahallah Abu Ali, Mahallah Ziyad,
Samlawiyah, Farastaq. Kajian-kajian yang sering
disampaikan biasanya adalah tema-tema seputar
17
fikih.
Setelah selesai menempuh pendidikan di
tingkat tsanawiyah Al Azhar, al-Qaradhawi tetap
melanjutkan pendidikannya di Al Azhar dan memilih
Fakultas Ushuluddin, alasannya memilih Ushuluddin
karena, fakultas tersebut akan membuka lebih luas
wawasan keislamannya. 18 Hal itu adalah keinginan
pribadi al-Qaradhawi tanpa ada paksaan maupun
perintah dari siapapun.
Aktivitas perkuliahannya juga diisi dengan
kegiatan dakwah di berbagai tempat, karena pada saat
menempuh pendidikan sarjana tersebut, al-Qaradhawi
tetap aktif menjadi aktivis Ikhwan, aktivitasnya antara
lain menjadi penanggungjawab divisi Dakwah Ikhwan
cabang Al Azhar.

16
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 277
17
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 281-283
18
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 390 dan 482
41

Selain itu al-Qaradhawi juga menjadi seorang


khatib dan pendakwah tetap di Masjid Ali Thaha di
daerah al-Mahallah al-Kubra, kajian-kajian yang
diberikan seputar fikih, tauhid, dan persoalan-persoalan
kontemporer yang terdapat di umat dengan metode
tematis.19
Masjid Ali Thaha adalah saksi bisu awal mula
al-Qaradhawi menjadi seorang penulis, tulisan
pertamanya adalah kumpulan hadits-hadits yang
dibukukan dan di beri judul “Quthuf Daniyah min al-
Kitab wa al-Sunnah”, buku tersebut ditulis atas
permintaan jamaah masjid dari berbagai daerah seperti
Thantha, Samnud, Thalkha, dan Manshurah. Setelah
mengedit hadits-hadits tersebut, lahirlah kesadaran
untuk menulis dari hati al-Qaradhawi sebagai media
dakwahnya selain lisan. Masjid tersebut juga menjadi
pusat aktivitas anggota dan pendakwah Ikhwan, seperti
Misbah Abduh, Sayyid Naffadh, Muhammad Hauthar,
Abdus Sattar Nuwair dan Abdul Wahhab.20
Al-Qaradhawi menyelesaikan pendidikan
sarjana nya di tahun 1952 M dengan peringkat terbaik
pertama di Mesir. Kemudian dengan kecerdasannya di
bidang bahasa Arab, pada tahun 1954 al-Qaradhawi

19
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 427
20
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 428-431
42

mendapatkan rekomendasi untuk mengajar di fakultas


Bahasa dan Sastra Arab al-Azhar.21
Selanjutnya di tahun 1958 Al-Qaradhawi
mendapatkan gelar Diploma di Ma‟had Dirasat al-
„Arabiyah al-„Aliyah Al Azhar di bidang bahasa dan
Sastra Arab. Pendidikannya dilanjutkan dengan gelar
Magister yang diperoleh pada tahun 1960 di fakultas
Ushuluddin Al Azhar, hingga akhirnya pada tahun
1973 al-Qaradhawi menyelesaikan studi doktoralnya di
Al Azhar dengan disertasi yang berjudul Al Zakat wa
Atsaruha fi Hill al Masyakil al Ijtima‟iyah.22
Kita dapat menilai bahwa aktivitas pendidikan
al-Qaradhawi tidak lepas dengan Ikhwan, kendati
Ikhwan telah dibubarkan sejak tahun 1948. Karena itu,
di dalam buku fatwa-fatwa kontemporer jilid pertama,
al-Qaradhawi menegaskan bahwa Ikhwan telah sangat
mempengaruhi corak pemikirannya, yakni corak
berpikir yang terlepas dari fanatisme madzhab dan
memilih pikiran-pikiran yang paling dekat dengan al-
Qur‟an dan al-Sunnah sebagaimana yang diserukan
sendiri oleh pendiri ikhwanul muslimin yakni Hasan al-
Banna.23 Kita dapat menemukan beberapa kali al-

21
Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2001) h. 3
22
Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi, h. 3-4
23
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, Terj.
As‟ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) h. 16
43

Qaradhawi memberikan sanjungan-sanjungan kepada


al-Banna di dalam buku autobiografinya.
Al-Qaradhawi telah jatuh cinta kepada al-
Banna,24 sebagaimana dikatakan oleh Ipandang, al-
Qaradhawi sangat mengidolakan al-Banna, bagi al-
Qaradhawi, al-Banna merupakan sosok ulama yang
memurnikan pikirannya terhadap nilai-nilai islam tanpa
terpengaruh nasionalisme dan sekularisme, meskipun
demikian, sebagaimana nasihat al-Banna, al-Qaradhawi
tidak pernah mengikuti begitu saja pikiran-pikiran dari
al-Banna tanpa mengujinya secara kritis.25
Ishom Thalimah mengatakan bahwa karya-
karya dari al-Qaradhawi selalu bersandar kuat kepada
al-Qur‟an dan al-Sunnah, kritis, komparatif dan tidak
pernah terjebak kepada fanatisme madzhab.
Pengabdiannya terhadap ilmu pengetahuan
keislaman terus dilakukan oleh Al-Qaradhawi hingga
akhir hayatnya, al-Qaradhawi wafat pada 26 September
2022 di sebuah daerah bernama Doha yang terletak di
negara Qatar.
B. Karya-karya Intelektual
Al-Qaradhawi merupakan seorang ulama
modern yang dapat dikategorikan produktif dalam
menulis, sebagaimana dikatakan oleh Ishom Thalimah,
24
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, Terj. Cecep
Taufikurrahman, h. 245
25
Ipandang, Fikih & Realitas Sosial: Studi Kritis Fikih
Realitas Yusuf Al-Qaradhawi, (Yogyakarta: Bildung, 2019) h. 39
44

karya-karya al-Qaradhawi hampir berjumlah 100


dengan orisinalitasnya tersendiri.
Karya yang ditulis oleh Al-Qaradhawi
meliputi beberapa ilmu seperti fikih, ekonomi islam,
dakwah, tarbiyah dan lain-lain, meski demikian, al-
Qaradhawi sangat mencurahkan pemikirannya terhadap
fikih, berikut penulis hadirkan beberapa karya al-
Qaradhawi yang berkaitan dengan keilmuan seputar
fikih yang dituliskan dan dikategorikan oleh Ishom
Thalimah:26

a. Fikih dan Ushul Fikih


1) Al Halal wa al Haram fi al Islam
2) Fatawa Mu‟ashirah juz 1
3) Fatawa Mu‟ashirah juz 2
4) Fatawa Mu‟ashirah juz 3
5) Tasyir al Fiqh: Fiqh Shiyam
6) Al Ijtihad fi al Syariah al Islamiyah
7) Madkhal li Dirasat al Syariah al Islamiyah
8) Min Fiqh al Daulah fi al Islam
9) Al Fatwa Baina al Indhibath wa al Tasayyub
10) „Awamil al Sa‟ah wa al Murunah fi al Syariah
al Islamiyah
11) Al Fiqh al Islami Baina Al Shalah Wa Al Tajdid
12) Al Ijtihad al Mu‟ashir Baina Al Indhibath wa Al
Infirath

26
Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Al-Qaradhawi, h. 35-39
45

13) Ziwaj al Misyar


14) Al Dhawabith al Syariah li Baina al Masajid
15) Al Ghina wa al Musiqa fi Dhau‟il kitab wa al
Sunnah
b. Ekonomi Islam
1) Fiqh al zakat
2) Musykilat al Faqr wa Kaifa „Alajaha al Islam
3) Bai‟ al Murabahah li al Amir bi al Syira
4) Fawaid al Bunuk Hiya al Riba al Haram
5) Daur al Qiyam wa al Khalaq fi al Iqtishad al
Islami
6) Ilmu Al Qur‟an dan Ilmu Al Sunnah
7) Al Shabru wa al „Ilmu fi al Qur‟an al Karim
8) Al „Aqlu wa al „Ilmu fi Al Qur‟an al Karim
9) Kaifa Nata‟amal Ma‟a Al Qur‟an al Azhim
10) Kaifa Nata‟amal Ma‟a al Sunnah al
Nabawiyah
11) Tafsir Surat al Ra‟d
12) Al Madkhal li Dirasat al Sunnah al
Nabawiyah
13) Al Muntaqa fi al Taghib wa Tarhib (2 Juz)
14) Al Sunnah Mashdar li al Ma‟rifah wa Al
Hadharah
15) Nahwa Mausu‟ah li al Hadits al Nabawi
16) Quthuf Daniyyah min al kitab wa al Sunnah.
46

BAB IV
METODE PENUNAIAN ZAKAT PROFESI
MENURUT AL-QARADHAWI

Pada bab ini dijelaskan pandangan al-Qaradhawi


metode penunaian zakat profesi,, namun sebelum
menguraikan metode penunaiannya, terlebih dahulu penulis
akan menguraikan pandangan al-Qaradhawi mengenai
zakat profesi untuk memberikan pandangan yang utuh
mengenai pemikirannya terkait metode penunaian zakat
profesi.
A. Pandangan Zakat Profesi
1. Pengertian Zakat Profesi
Pengertian zakat secara bahasa diungkapkan
oleh al-Qaradhawi di dalam fiqh az-zakat
sebagaimana berikut:

,‫ وزكا فالن اذا صلح‬,‫الزكاة لغة مصدر ‘زكا‘ الشيء اذا منا وزاد‬
1
.‫فاالزكاة ىي الربكة والنماء والطهارة والصالح‬
Artinya: Zakat menurut bahasa merupakan masdar
dari kata “zaka” yakni sesuatu yang berkembang,dan
dikatakan zakat apabila bermnfaat. Maka zakat di sini
yaitu berkah, berkembang, suci dan
bermanfaat.Selanjutnya, al-Qaradhawi memberikan

1
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, (Beirut:
Muassasati ar-Risalah, 1973) h.37
47

pandangannya terhadap kata an-namaa dan at-


tharathu, pandangan tersebut adalah sebagai berikut:

‫ بل يتجاوزانو اىل‬,‫والنماء والطهارة ليسا مقصورين على ادلال‬

‫نفس معطي الزكاة كما قال تعال ( خذ من امواذلم صدقة‬


2
.) ‫تطهرىم وتزكيهم ِبا‬
Artinya: Dan kebermanfaatan dan kesucian zakat
tidak terletak pada harta, akan tetapi terletak pada diri
orang yang memberikan zakat seperti dalam firman
Allah (Ambillah harta dari zakat mereka guna
membersihkan dan untuk mensucikan mereka)
Adapun secara istilah, al-Qaradhawi dengan
mengutip Zamakhsyari mengatakan pengertiannya
sebagai berikut:

‫والزكاة ِف الشرع تطلق على احلصة ادلقدرة من ادلال الىت فرضها‬


3
.‫ كما تطلق على نفس اخراج ىذه احلصة‬.‫اهلل للمستحقي‬
Artinya: Dan zakat menurut syara‟ adalah bagian
harta yang ditentukan dan diwajibkan oleh Allah
untuk membagikannya kepada orang-orang yang
berhak. Seperti ketentuan diri seseorang dalam
mengeluarkan bagiannya.

2
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 38
3
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 37-38
48

Kemudian, terhadap pengertian zakat secara


istilah tersebut, al-Qaradhawi memberikan
pandangannya:

‫وَسيت ىذه احلصة ادلخرجة من ادلال زكاة الهنا تزيد ِف ادلال‬


4
.‫ وتوفره ِف ادلعِن وتقيو االفات‬,‫الذي اخرجت منو‬
Artinya: Dan sesuatu yang dikeluarkan dari Sebagian
harta itu dinamakan zakat, karena sesuatu yang
dikeluarkan itu akan menambah harta dari segi makna
dan dijauhi dari kebinasaan.
Sekarang kita akan beralih pada pengertian
profesi menurut al-Qaradhawi, pengertian tersebut
sebagaimana terdapat dibawah ini:

‫ ويدر على صاحبو‬,‫والعمل الذي يكسب منو االنسان ماال‬

‫ نوع يباشره الشخص بنفسو دون ان يرتبط برباط‬:‫دخال نوعان‬

‫ فدخلو ِف ىذه‬,‫ ويضطلع بعمل يدوي اوعقلى‬,‫احلضوع لغريه‬

‫ كدخل‬,‫ مستمد من ادلهنة الىت ميارسها‬,‫احلالة دخل مهي‬

‫ وغريىم‬,‫ والنحار‬,‫ واحلياط‬,‫ والفنان‬,‫ واحملامي‬,‫ وادلهندس‬,‫الطيب‬

‫ ونوع يرتبط فيو الشخص بغريه سواء كان‬,‫من ذوى ادلهن احلرة‬

‫غريه حكومة ام شركة ام فردا بعقد اجارة اشخاص ليقوم بعمل‬


4
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 38
49

‫ فدخلو حينئذ يتخذ صورة‬,‫ بدين اوعقلى اومزيج منهما‬,‫ما‬


5
.‫الرواتب واالجور وادلكافات‬
Artinya: Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua
macam, pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan
sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat
ketangkasan tangan maupun akal. Penghasilan yang
diperoleh dengan car aini merupakan penghasilan
profesional, seperti penghasilan seorang dokter,
insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu dan
lain-lainnya. Dan yang kedua, adalah pekerjaan yang
dikerjakan seseorang buat pihak lain, baik
pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan
perolehan upah, yang diberikan, dengan tangan, akal,
maupun keduanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti
itu berupa gahi, upah ataupun honorarium.
Berdasarkan pandangan al-Qaradhawi
mengenai zakat dan profesi tersebut, maka analisa
penulis dari beberapa ungkapan al-Qaradhawi diatas
adalah, zakat profesi menurut beliau merupakan
sejumlah harta tertentu yang dihasilkan dari jenis
profesi, baik profesi yang berdiri sendiri maupun
profesi yang bergantung pada orang lain. Kemudian
harta ini wajib diserahkan kepada mustahik apabila
telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
5
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati h. 487
50

2. Landasan Zakat Profesi


Al-Qaradhawi berpandangan bahwa ayat Al
Qur‟an yang sekaligus menjadi landasan zakat profesi
adalah ayat 267 surat al-baqarah, al-Qaradhawi
mengatakan bahwa kalimat ma kasabtum di dalam
ayat tersebut mengandung arti umum bagi segala
jenis usaha, dengan kata lain, apabila para ulama fikih
menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan ayat
yang menjadi landasan atas zakat perdagangan, maka
sudah tidak diragukan pula bahwa ayat tersebut
merupakan landasan zakat profesi, hal ini dapat
dilihat dari ungkapan al-Qaradhawi sebagaimana
berikut:

‫ فقولو‬,‫قولو تعال يا ايها الذين امنوا انفقو من طيبات ما كسبتم‬

‫ لفظ عام يشمل كل كسب من جتارة او وظيفة او‬,‫ما كسبتم‬

‫ فال غرو ان‬,‫ وقد استدل الفقهاء ِبا على زكاة جتارة‬.‫مهنة‬
6
.‫نستدل ِبا على زكاة كسب العمل وادلهنة‬
Artinya : Ucapan Allah SWT. wahai orang-orang
yang beriman, infakkanlah yang baik-baik dari apa
yang kamu usahakan, ucapan Allah Ma Kasabtum
merupakan kata umum yang artinya mencakup segala
macam usaha, perdagangan atau pekerjaan dan

6
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 506-507
51

profesi. Para ulama fikih berpegang kepada


keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan
zakat perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak
perlu ragu menggunakannya sebagai landasan zakat
pencarian dan profesi.
B. Pandangan Metode Penunaian Zakat Profesi
Pandangan al-Qaradhawi mengenai
pembahasan metode penunaian zakat profesi dapat
dilihat dengan menggunakan dua pembagian yakni
persyaratan dan cara pembayaran.
Bagian pertama yakni persyaratan,
pembahasannya meliputi beberapa masalah, berikut
merupakan point-point nya:
1. Berapakah besar nishab ?
2. Apakah dikurangi kebutuhan pokok ?
3. Apakah harta yang hendak ditunaikan untuk zakat
profesi boleh di campur dengan harta penghasilan non
profesi ?
Ketiga persoalan tersebut diberikan jawaban
dengan sangat jelas oleh al Qaradhawi di dalam Fiqh az-
Zakat. Marilah kita mulai dengan pembahasan persoalan
pertama mengenai berapakah besar nishab yang harus
dikeluarkan terkait zakat profesi ?; Terkait permasalahan
ini, al-Qaradhawi memberikan narasi yang menarik
sebagaimana dapat dilihat di bawah ini:
52

‫ وقد حددناه‬,‫واوىل من ذالك ان يكون نصاب النقود ىو ادلعترب ىنا‬

‫ وىذا القدر يساوي العشرين مثقاال‬,‫ جراما من الذىب‬58 ‫ِبا قيمتو‬

‫ كما ان الناس يقبضون رواتبهم واير داهتم با‬.‫الىت جاءت ِبا االثار‬
7
.‫ فا ْلوىل ان يكون ادلعترب ىو نصاب النقود‬,‫النقود‬
Artinya: Dan yang paling utama dari besar nishab
tersebut adalah bahwa nisab uang diukur dari nisab
tersebut yang telah kita tetapkan sebesar nilai 85 gram
emas. Besar itu sama dengan dua puluh misqal hasil
pertanian yang disebutkan oleh banyak hadits. Banyak
orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk
uang, maka yang paling baik adalah menetapkan nisab
gaji itu berdasarkan nisab uang.8
Atas narasi tersebut, jelas bahwa al-Qaradhawi
berpandangan nishab dari zakat profesi adalah 85 gram
emas, alasan yang diutarakan oleh al-Qaradhawi juga
menurut penulis dapat diterima, karena bentuk
penghasilan di era modern ini kebanyakan berbentuk
uang, karena itu qiyas nishab zakat profesi adalah zakat
uang.

7
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 513-514
8
Tentang pernyataan al-Qaradhawi mengenai nishab emas
sebesar 85 gram, lihat Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun
muqorinatun liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati,
h. 261
53

Persoalan kedua dalam zakat profesi adalah,


apakah harta yang ditunaikan berdasarkan penghasilan
kotor -atau dalam bahasa ekonomi disebut dengan bruto-
atau penghasil bersih -yang dalam bahasa ekonomi
disebut dengan neto-.
Dalam hal ini al-Qaradhawi memberi
pandangan bahwa harta yang ditunakan dalam zakat
profesi adalah harta yang sudah dikurangi dengan
kebutuhan pokok muzakki, selain itu, sebelum muzakki
hendak menunaikan zakatnya, terlebih dahulu, apabila
muzakki tersebut memiliki hutang, maka ia harus
mendahulukan pembayaran hutang tersebut, hal ini
sebagaimana dikatakan sendiri oleh al-Qaradhawi
sebagaimana berikut:

‫ وامنا قلنا تؤخذ من‬.‫فاالذي نرجحو اال تؤخذ الزكاة اال من الصايف‬

‫ ويعفى احلد‬,‫صايف االيراد او الراتب ليطرح منو الدين ان ثبت عليو‬

‫ ْلن احلد اْلدين دلعيشة االنسان‬,‫االدىن دلعيشتو ومعيشتو من يعولو‬


9
.‫ فهو من حاجة االصلية‬,‫امر ال غِن لو عنو‬

Artinya: Maka kita menegaskan pula bahwa zakat atas


gaji, upah dan sejenisnya, maka kita menegaskan pula
bahwa zakat tersebut hanya diambil dari pendapatan

9
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 517
54

bersih. Pengambilan dari pendapatan atau gaji bersih


dimaksudkan supaya hutang bisa dibayar bila ada dan
biaya hidup terendah seseorang dan yang menjadi
tanggungannya bisa dikeluarkan karena biaya terendah
kehidupan seseorang merupakan kebutuhan pokok
seseorang.
Setelah itu, al-Qaradhawi juga mengatakan
bahwa pengurangan harta untuk kebutuhan pokok ini
berlaku bagi muzakki dengan segala jenis profesi. Hal
ini khususnya terkait dengan seseorang yang memiliki
profesi non profesional yang penghasilannya diperoleh
setiap bulan, pada kasus tersebut, sebelum menunaikan
zakat, maka terlebih dahulu harus dikurangi kebutuhan
pokok, apabila setelah dikalkulasikan tidak mencapai
nishab, maka tidak ada kewajiban atas hartanya, hal ini
ditegaskan oleh al-Qaradahawi sebagaimana berikut:

‫فما بقي بعد ىذا كلو من راتب السنة وايرادىا تؤخذ منو الزكاة اذا‬

‫ فما كان من الرواتب واالجور ال يبلغ يف السنة‬,‫بلغ نصاب النقود‬

‫ كرواتب بعض العمال وصغار ادلو‬,‫نصاب نقديا بعد طرح ما ذكرناه‬


10
.‫ فال تؤخذ منو زكاة‬,‫ظفي‬

10
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 517-518
55

Artinya: Berdasarkan hal itu, maka sisa gaji dan


pendapatan setahun wajib zakat bila mencapai nisab
uang, sedangkan gaji dan upah setahun yang tidak
mencapai nishab uang -setelah biaya-biaya diatas
dikeluarkan- misalnya gaji pekerja-pekerja dan pegawai
kecil, tidak wajib diambil zakatnya.
Persoalan ketiga atau terakhir di dalam
persyaratan zakat profesi adalah, apakah harta yang
hendak di zakatkan atas nama zakat profesi boleh
tercampur dengan harta lain ?, seperti, seorang pegawai
negeri sipil yang juga sekaligus menjadi seorang
pedagang, apakah ketika melakukan kalkulasi, harta
penghasilan atas pekerjaannya sebagai pegawai negeri
sipil disatukan dengan harta penghasilan dari hasil
berdagang, atau hal tersebut merupakan harta yang
terpisah ?
Dalam hal ini, al-Qaradhawi menjelaskan
bahwa harta yang hendak di zakatkan merupakan harta
yang murni atas penghasilan profesinya, baik profesi
profesional maupun tidak, hal tersebut dapat dilihat
melalui ungkapannya sebagai berikut:
56

‫ بل‬,‫وامنا الكالم ِف ادلال ادلستفاد الذي اليكون مناء دلال عنده‬

,‫ او ىبة‬,‫ او غلة رأس مال‬,‫استفاد بسبب مستقل كأجر على عمل‬


11
.‫او حنو ذالك سواء أكان من جنس مال عنده أم من غري جنسو‬
Artinya: Dan yang kita bicarakan disini adalah harta
penghasilan yang berkembang bukan dari kekayaan lain,
tetapi karena penyebab bebas, seperti upah kerja,
investasi modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari
sejenis dengan kekayaan lain yang ada padanya atau
tidak sejenis dengannya.
Berdasarkan pandangan al-Qaradhawi
mengenai persyaratan zakat profesi tersebut, maka
analisa penulis dari beberapa ungkapan al-Qaradhawi
diatas adalah, al-Qaradhawi berpandangan bahwa nishab
zakat profesi adalah 85 gram emas setelah dikurangi
kebutuhan pokok, dan merupakan harta murni atas
profesi yang dikerjakan.
Sekarang kita akan beralih pada pembahasan
kedua di dalam metode penunaian zakat profesi, yakni
cara pembayaran, persoalan di dalam pembahasan ini
terbagi menjadi dua sebagaimana berikut:

1. Kapan waktu penunaian zakat profesi ?


2. Berapa kadar yang dikeluarkan dalam zakat profesi ?

11
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 491-492
57

Terhadap persoalan waktu tersebut, al-


Qaradhawi secara eksplisit menyatakan bahwa terdapat
dua kemungkinan dalam waktu penunaian zakat profesi.
Kemungkinan pertama, zakat profesi ditunaikan pada
saat diterima, dengan demikian, zakat profesi hanya
dikenakan kepada seseorang yang mengerjakan jenis
profesi profesional, dimana sekali penghasilannya
mencukupi nishab, oleh karenanya, bagi seseorang yang
sekali penghasilannya tidak mencukupi nishab, tidak
wajib zakat, hal ini dikatakan oleh al-Qaradhawi sendiri
sebagaimana berikut:

‫ ان يعترب نصاب ِف كل مبلغ‬:‫وىنا جند امامنا اجتا ىي او احتمالي‬

‫ فما بلغ منو نصاب كا الرواتب‬.‫يقبض من الدخل او ادلال ادلستفاد‬

‫ للموظفي والعاملي والدفعت الكبرية‬,‫ وادلكافات الكبرية‬,‫العالية‬

.‫ وما مل يبلغ نصاب منها فال زكاة فيو‬.‫لذوي ادلهنة احلرة ففيو الزكاة‬

‫ وبقصر‬,‫ فهو يعفى ذوي الرواتب الصغرية‬,‫وىذ االحتمال لو وجهو‬

‫ وِف ىذا حتقيق‬,‫وجوب الزكاة على كبار ادلوظفي ومن يف حكمهم‬


12
.‫للتقارب والعدل االجتماعي‬

12
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 514
58

Artinya: Dan disini kita menemui dua kemungkinan,


pertama, memberlakukan nisab dalam setiap jumlah
pendapatan atau penghasilan yang diterima. Dengan
demikian penghasilan yang mencapai nisab seperti gaji
yang tinggi dan honorarium yang besar para pegawai
dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran yang besar
kepada para golongan profesi, wajib dikenakan zakat,
sedangkan yang tidak mencapai nishab tidak terkena.
Kemungkinan ini dapat dibenarkan, karena
membebaskan orang-orang yang mempunyai gaji yang
kecil dari kewajiban zakat dan membatasi kewajiban
zakat hanya atas pegawai-pegawai tinggi dan tergolong
tinggi saja. Ini lebih mendekati kesamaan dan keadilan
sosial.
Kemungkinan kedua, zakat profesi dikenakan
pula kepada pegawai-pegawai yang penghasilannya
selama setahun mencapai nishab setelah dikurangi
kebutuhan pokok, walaupun diperoleh secara berangsur-
angsur selama 12 kali dalam setahun, hal ini dapat
dilihat dari pernyataan al-Qaradhawi sebagai berikut:

‫ وىو ضم الدخل او ادلال ادلستفاد على فرتات ِف مدة‬,‫الثاىن‬


13
.‫متقاربة‬

13
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 515
59

Artinya: Yang kedua, yaitu mengumpulkan gaji atau


penghasilan yang diterima berkali-kali itu dalam waktu
tertentu.
Dalam hal ini, al-Qaradhawi sendiri lebih
memberatkan pandangannya terhadap kemungkinan
pertama, karena menurut hasil tarjih nya sendiri, al-
Qaradhawi memandang bahwa dengan memilih
kemungkinan pertama, berarti telah memberi
keringanan kepada seorang pegawai yang
penghasilannya tidak mencapai nishab, baik pada saat
pertama kali diperoleh, maupun setelah dikalkulasikan
selama setahun. Hal ini dapat dilihat dari ungkapannya
sebagai berikut:

‫ومقتضى ىذا الرتجيح التخفيف عن اصحاب الرواتب الصغرية الىت‬

,‫ وكذالك الدفعات القليلة الىت تدفع لذوي ادلهن احلرة‬,‫ال تبلغ نصابا‬
14
.‫وال تبلغ الدفعة منها نصابا‬

Artinya: Dan pemilihan pendapat yang lebih kuat di atas


berarti memberikan keringanan kepada orang-orang
yang mempunyai gaji kecil yang tidak cukup senisab dan
kepada mereka yang menerima gaji kecil pada waktu-
waktu tertentu yang per satu kali waktu tidak cukup
nishab.

14
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 517
60

Persoalan kedua dalam zakat profesi adalah,


berapakah kadar yang dikeluarkan ?. Dalam hal ini, al-
Qaradhawi berpandangan bahwa kadar yang dikeluarkan
atas zakat profesi adalah seperempat puluh atau 2,5%,
dan jumlah ini berlaku bagi jenis profesi apapun, baik
profesi profesional maupun bagi profesi non profesional.
Dengan kata lain, al-Qaradhawi tidak mendikotomikan
atau membedakan kadar yang dikeluarkan atas profesi
manapun. Hal ini dapat dilihat pada ungkapannya
sebagaimana berikut:

‫واما الدخل الناتج عن العمل وحده كإيراد ادلوظفي وذوي ادلهن احلرة‬

‫ عمال بعموم‬,‫ فا لواجب فيو ربع العشر فقط‬,‫الناتج من اعماذلم‬

‫ سواء كانت مستفادة ام‬,‫النصوص الىت اوجبت ِف النقود ربع العشر‬


15
.‫حال عليها احلول‬

Artinya: Dan adapun penghasilan yang diperoleh dari


pekerjaan saja seperti pendapatan pegawai dan golongan
profesi yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka,
maka besar zakat yang wajib dikeluarkan adalah
seperempat puluh, sesuai dengan keumuman nash yang
mewajibkan zakat uang sebanyak seperempat puluh,

15
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun muqorinatun
liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati, h. 519
61

baik bagi harta penghasilan maupun yang harta bermasa


tempo.
Berdasarkan pandangan al-Qaradhawi
mengenai persyaratan zakat profesi tersebut, maka
analisa penulis dari beberapa ungkapan al-Qaradhawi
diatas adalah, al-Qaradhawi berpandangan bahwa waktu
penunaian zakat profesi terbagi menjadi dua, yaitu pada
saat memperoleh penghasilan, atau diakhir tahun setelah
dikalkulasikan sekalipun diperoleh secara berangsur-
asngur kemudian kadar zakat yang dikeluarkannya
adalah seperempat puluh atau 2,5%. Cara ini berlaku
bagi seluruh jenis profesi.
62

BAB V
MEMBACA AL-QARADHAWI: SEBUAH
PERBANDINGAN DAN PENILAIAN

Pada bagian ini penulis hendak melakukan


perbandingan sekaligus penilaian antara pandangan al-
Qaradhawi dengan pandangan yang telah diuraikan pada
bab dua. Penilaian yang dilakukan oleh penulis merujuk
pada pandangan metode penunaian zakat menurut al-
Qaradhawi, karena itu, sekalipun penulis melakukan
bantahan terhadap salah satu pandangan al-Qaradhawi,
sebetulnya, hal tersebut merupakan bentuk koreksi kecil,
yakni menunjukkan inkonsistensi pemikiran dari al-
Qaradhawi.
Pembahasan dibagi menjadi dua, pertama
mengemukakan dan memperkuat pandangan yang benar,
kedua mengemukakan dan melakukan bantahan terhadap
pandangan keliru. Berikut merupakan uraiannya:
1. Memperkuat pandangan yang benar
a. Mengenai pengertian zakat profesi, al-Qaradhawi
memandang bahwa zakat profesi adalah zakat yang
dikenakan kepada seseorang yang memiliki profesi,
baik profesi yang berdiri sendiri maupun yang
bergantung kepada orang lain untuk memperoleh
penghasilannya.
Pandangan ini sama dengan fatwa MUI, SK
BAZNAS, tim penulis fikih zakat kontektual
63

Indonesia dan Didin Hafidhudin yang telah penulis


uraikan pada bab dua.
Pengertian ini adalah pengertian yang benar, karena di
dalam realitas dapat dilihat bahwa, pembagian jenis
profesi seperti ini memang benar adanya.
Misalnya, kita dapat menyebutkan bahwa dokter
masuk ke dalam kriteria profesi yang berdiri sendiri,
karena ada saja seseorang yang bekerja sebagai
dokter akan tetapi tidak terikat dengan rumah sakit
tertentu, melainkan membangun praktek
pengobatannya sendiri, maka kita dapat menilai
bahwa dokter ini, secara penghasilan, adalah berdiri
sendiri tidak membutuhkan pihak lain secara
langsung.
b. Mengenai landasan zakat profesi, al-Qaradhawi
menyatakan bahwa landasannya adalah al-Qur‟an
surat al-baqarah 267, dimana dalam ayat tersebut
tertulis kalimat ma kasabtum yang maknanya adalah
umum mencakup segala jenis usaha. Pandangan ini
serupa dengan pandangan tim penulis fikih zakat
yang mengutip Sayyid Quthub, dan juga pandangan
dari Quraish Shihab.
Pandangan ini adalah benar, karena ayat ini tidak
mendikotomikan usaha yang dilakukan manusia, dan
karena ayat ini juga merupakan landasan zakat
perdagangan, maka sebagaimana dikatakan oleh al-
64

Qaradhawi, tidak perlu ada keraguan untuk


menjadikan ayat ini sebagai landasan zakat profesi.
c. Mengenai nishab, al-Qaradhawi memandang bahwa
nishab zakat profesi adalah 85 gram emas. Pandangan
ini sama dengan fatwa MUI dan SK BAZNAS.
Pandangan ini dapat diterima, besaran nishab atas
zakat profesi tentunya lebih baik dianalogikan dengan
zakat uang, karena penghasilan yang didapat oleh
seseorang pada zaman ini berbentuk uang, selain itu,
uang juga merupakan hasil qiyas dari zakat emas, dan
baik uang maupun emas, keduanya adalah barang
berharga yang dapat menjadi alat tukar di era modern
ini.
d. Mengenai pengurangan terhadap kebutuhan pokok,
al-Qaradhawi memandang bahwa harta yang hendak
ditunaikan zakat profesi hendaknya dikurangi
kebutuhan pokok terlebih dahulu. Pandangan ini sama
pada satu sisi dengan Fatwa MUI, karena hanya
berlaku bagi muzakki dengan jenis penghasilan dalam
kalkulasi setahun.
Penunaian zakat profesi yang hartanya telah dikurangi
kebutuhan pokok terlebih dahulu lebih masuk akal
dibandingkan pandangan yang mengatakan bahwa
harta yang hendak ditunaikan atas nama zakat profesi
tidak dikurangi kebutuhan pokok terlebih dahulu.
Alasannya adalah, kebutuhan pokok merupakan
65

syarat dari harta zakat secara umum, apabila hal ini


tidak dipenuhi, maka zakatnya dinyatakan gagal.
e. Mengenai kemurnian harta hasil profesi, dalam hal
ini, al-Qaradhawi lebih merincikan pandangannya
mengenai persyaratan harta zakat profesi, yakni
masalah kemurnian harta zakat profesi.
Tentunya hal ini pun perlu diperhatikan agar tidak
terjadi kekeliruan pada saat mengkalkulasikan harta
zakat, pandangan al-Qaradhawi mengenai kemurnian
harta zakat juga dapat diterima sebagaimana penulis
menerima pandangannya mengenai pengurangan
terhadap kebutuhan pokok, dengan kata lain, apabila
harta yang hendak ditunaikan zakatnya harus
dipisahkan dengan kebutuhan pokok, maka menjadi
masuk akal pula apabila harta yang hendak ditunaikan
zakatnya dipisahkan dengan harta lainnya, sehingga
harta zakat profesi merupakan harta penghasilan yang
murni didapat melalui pekerjaan profesi. Dikatakan
lebih terperinci, karena pandangan ini tidak
ditemukan pada pandangan lain yang penulis uraikan
pada bab dua.
f. Mengenai waktu penunaian, al-Qaradhawi
memandang bahwa waktu penunaian zakat profesi
terbagi menjadi dua, yakni pada saat penghasilan
diterima, atau ditunaikan di akhir tahun setelah
dikalkulasikan terlebih dahulu selama setahun,
66

dengan kata lain, hal ini berlaku bagi seseorang yang


mendapatkan penghasilan secara berangsur-angsur.
Pandangan ini sama pada satu sisi dengan fatwa MUI
dan SK BAZNAS, karena hanya berlaku pada
seseorang yang penghasilannya mencapai nishab pada
saat diterima.
Pandangan ini adalah yang benar dengan alasan
bahwa, harta tersebut sudah menjadi kepemilikan
penuh atau kepemilikan sempurna muzakki, selain
kepemilikan penuh itu sendiri sebagai syarat harta
zakat secara umum.
g. Mengenai kadar zakat yang dikeluarkan, al-
Qaradhawi memandang bahwa, kadar zakat profesi
adalah seperempat puluh atau 2,5%. Pandangan ini
sama dengan fatwa MUI, SK BAZNAS, maupun
Didin Hafidhudin.
Hal ini selain disepakati oleh ketiga pihak
sebagaimana telah disebutkan, alasan lainnya adalah,
karena analogi zakat profesi adalah zakat uang, dan
analogi zakat uang adalah zakat emas, dapat diketahui
bahwa kadar pengeluaran zakat emas adalah 2,5%,
maka kadar zakat profesi yang disepakati sebesar
2,5% tersebut dapat dibenarkan.
2. Bantahan terhadap pandangan yang Keliru
a. Mengenai nishab, pandangan dari Didin yang
menganalogikan nishab zakat profesi dengan zakat
pertanian senilai 653 kg padi atau gandum tidak dapat
67

diterima, sekalipun Didin mengatakan bahwa ada


kemiripan antara harta hasil profesi dengan harta hasil
pertanian, yakni penghasilan keduanya tidak terikat
antara bulan pertama dengan bulan-bulan selanjutnya.
Hal ini adalah keliru, sebab, jika Didin mengatakan
bahwa penghasilan dari bulan ke bulan tidak terikat,
maka konsekuensinya adalah, tidak ada zakat profesi
yang dikenakan kepada karyawan yang mendapatkan
penghasilan bulanan, sedangkan Didin sendiri
mengatakan bahwa perhitungan nishab karyawan
yang mendapat gaji bulanan adalah dengan
mengkalkulasikannya terlebih dahulu selama setahun.
b. Mengenai pengurangan kebutuhan pokok, pandangan
ini dikemukakan oleh fatwa MUI, SK BAZNAS, dan
juga Didin Hafidhudin yang mengatakan bahwa harta
yang hendak ditunaikan zakat profesi tidak dikurangi
kebutuhan pokok.
Pandangan yang mengatakan harta yang diperoleh
tidak dikurangi kebutuhan pokok terlebih dahulu
sesungguhnya memiliki kekeliruan karena
menganggap kebutuhan pokok hanya sebatas
sandang, pangan dan papan, karena kebutuhan pokok
tersebut juga meliputi hutang yang harus dibayarkan,
maka pandangan yang menyatakan bahwa harta
penghasilan atas profesi yang hendak dizakatkan
tidak dikurangi kebutuhan pokok terlebih dahulu
adalah keliru.
68

c. Mengenai waktu penunaian, pandangan ini


dikemukakan oleh al-Qaradhawi fatwa MUI dan SK
BAZNAS pada satu sisi dan dikemukakan pula oleh
Didin, yang mengatakan bahwa zakat profesi
dikenakan pula kepada pegawai yang penghasilannya
selama setahun mencukupi nishab setelah
dikalkulasikan sekalipun diberikan secara berangsur-
angsur.
Pandangan ini jelas mengalami kekeliruan dan
kesalahan berpikir, alasannya adalah, terdapat ketidak
konsistenan dalam kaidah persyaratan zakat yakni
kepemilikan penuh, dimana pada salah satu
pembahasan dalam syarat zakat sebagaimana terdapat
dalam fiqh az-zakat, al-Qaradhawi mengatakan
“Tentang Istilah Milik Penuh, maka maksudnya
adalah bahwa kekayaan itu harus berada
dibawah kontrol dan di dalam kekuasaannya,
atau seperti yang dinyatakan oleh sebagian ahli
fikih, bahwa kekayaan itu harus berada di
tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak
orang lain, dapat dipergunakan, dan faedahnya
dapat dinikmatinya.1.

1
Hal ini dikatakan sendiri oleh al-Qaradhawi pada bagian
pembahasan syarat harta zakat, yakni kepemilikan penuh, berikut
merupakan teksnya:
‫ومعِن متام ادللك ان يكون ادلال ِملوكا لو رقبة ويدا او كما شرحو بعض الفقهاء ان‬
.‫ وان تكون فوائدة حاصلة لو‬,‫ ومل يتعلق بو حق غريه وان يتصرف فيو باختياره‬,‫يكون ادلال بيده‬
69

Terhadap pernyataannya itu, pandangan ini jelas


keliru ketika mengatakan bahwa penghasilan yang
didapat secara berangsur-angsur dikenakan zakat,
karena harta penghasilan semacam itu masih belum
nampak kepada pemilik hartanya, karena itu tidak
bisa digunakan untuk apapun.
Dengan demikian, harta yang diterima oleh pegawai
yang mendapatkan penghasilan secara berangsur-
angsur, status hartanya harus dinilai sebagai status
kepemilikan tidak sempurna, dan tidak dikenakan
wajib zakat.

Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-zakat darosatun


muqorinatun liahkamiha wa falsafiha fi dhoui al-qur‟an wa as-sunnati,
h. 130
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang
penulis lakukan, maka kesimpulan dalam penelitian
skripsi ini adalah
1. Zakat profesi menurut al-Qaradhawi adalah zakat
yang wajib ditunaikan oleh seseorang yang memiliki
profesi tertentu dan telah memenuhi persyaratannya,
baik profesi yang penghasilannya bergantung
kepada orang lain, dengan kata lain menggunakan
sistem upah, gajih, atau honorarium, maupun profesi
yang penghasilannya tidak bergantung kepada orang
lain.
2. Menurut al-Qaradhawi, metode penunaian zakat
profesi adalah telah tercapainya harta penghasilan
senishab, yaitu 85 gram emas setelah dikurangi
kebutuhan pokok, dan merupakan harta murni hasil
penghasilan atas profesi yang dikerjakan, kemudian
mengenai waktu, waktu ditunaikannya terbagi
menjadi dua, yakni pada saat penghasilan di terima,
atau pada akhir tahun setelah penghasilannya
dikalkulasikan selama setahun, dan kadarnya adalah
2,5%. Akan tetapi Penulis tidak sepakat dengan
pandangan al-Qaradhawi mengenai jenis kedua
dalam waktu penunaian zakat, dengan alasan bahwa,

70
harta tersebut bukan merupakan kepemilikan
sempurna.

71
72

B. Saran
Mengacu hasil analisis, penelitian dan kesimpulan yang
sudah diuraikan diatas, penulis hendak memberikan
saran teoritis maupun praktis, adapun saran-saran
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian lainnya
mengkaji pemikiran al-Qaradhawi mengenai
berbagai jenis zakat yang dikategorikan sebagai
zakat baru, seperti zakat investasi, dan zakat
obligasi, terutama masalah metode penunaian
zakatnya.
2. Secara praktis, diharapkan kepada mahasiswa atau
pengkaji zakat di Indonesia dapat meninjau ulang
hasil fatwa MUI No 3 Tahun 2003 dan SK
BAZNAS No 14 Tahun 2021 mengenai metode
penunaian zakat profesi.
73

DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazi, Ibn Qosim. 2019. Fath al-Qorib al-Mujib fi Syarh


al-faz at-Taqrib. Beirut: Dar al-Minhaj.

al-Qaradhawi, Yusuf. 1973. Fiqh az-Zakat Darosatun


Muqorinatun Liahkamiha Wa Falsafatiha Fi Dhoui
al-Qur'an Wa as-Sunnati. Beirut: Muassasati ar-
Risalah.

—. 2003. Perjalanan Hidupku. Jakarta: Pustaka al-Kaustar.

Bimasakti, Muhammad Adiguna. 2018. “Meninjau Zakat


Penghasilan Pada Fatwa MUI No 3 Tahun 2003 dan
Ijtihad Yusuf Qaradhwy.” Jurnal Hukum Islam 18.

Hafidhudin, Didin. 2002. Zakat Dalam Perekonomian


Modern. Jakarta: Gema Insani Press.

Hamzah, Amir. 2020. Metode Penelitian Kepustakaan


(Library Research): Kajian Filosofis, Teoritis,
Aplikasi, Proses dan Hasil Penelitian. Malang: CV.
Literasi Nusantara.

Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Leaner's Dictionary.


New York: Oxford University Press.

Ipandang. 2019. Fikih & Realitas Sosial: Studi Kritis Fikih


Realitas Yusuf al-Qaradhawi. Yogyakarta: Bildung.

Ismail, Ahmad Satori, dkk. 2018. Fikih Zakat Kontekstual


Indonesia. Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional.
74

Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban.


Jakarta: Paramadina.

Mas'udi, Masdar Farid. 1991. Agama Keadilan: Risalah


Zakat (Pajak) Dalam Islam. Jakarta: Pustaka
Firdaus.

Munawwir, Ahmad Warson. 2007. Kamus al-Munawwir:


Indonesia-Arab Terlengkap. Edisi 3. Surabaya:
Pustaka Progresif.

Nurfitra, Tira. 2015. “Zakat Profesi (Zakat Penghasilan)


Menurut Hukum Islam.” Jurnal Ilmiah Ekonomi
Islam 57-59.

Sahroni, Oni, dkk. 2020. Fikih Zakat Kontemporer. Depok:


PT Raja Grafindo.

Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Misba: Pesan, Kesan


dan Keserasian al-Qur'an. Tangerang: Lentera Hati.

Shobirin. 2015. “Teknik Pengelolaan Zakat Profesi.” Jurnal


Zakat dan Wakaf 320-336.

Sholeh, Asrorun Niam, dkk. 2021. Himpunan Fatwa Zakat


Majelis Ulama Indonesia 1976-2021. Jakarta:
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Sugono, Dendy, dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
75

Talimah, Ishom. 2001. Manhaj Fikih Yusuf al-Qaradhawi.


Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Trigiyatno, Ali. 2016. “Zakat Profesi: Antara Pendukung


dan Penolak.” Jurnal Hukum Islam 137-139.

Zen, Muhammad. 2014. “Zakat Profesi Sebagai Distribusi


Pendapatan Ekonomi Islam.” Human Falah 68.

SUMBER LAINNYA

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011


Tentang Pengelolaan Zakat.

Surat Keputusan Badan Amil Zakat Nasional No 14 Tahun


2021 Tentang Nilai Nishab Zakat Pendapatan dan Jasa
Tahun 2021.

Anda mungkin juga menyukai