Anda di halaman 1dari 10

LEMBAR JAWABAN SEMESTER GANJIL  GENAP NILAI

UJIAN TENGAH SEMESTER WAKTU PELAKSANAAN UJIAN

UNIVERSITAS  UJIAN AKHIR SEMESTER HARI TANGGAL JAM RUANGAN


DIRGANTARA SABTU 23/12/23 12.30
MARSEKAL
SURYADARMA
TAHUN AKADEMIK 2023/2024

2 3 1 1 8 3 0 1 9
Nomor Induk Mahasiswa Paraf Mahasiswa
DIAH RATNA KARINA
Nama Mahasiswa
HUKUM MAGISTER HUKUM
Fakultas Program Studi
TEORI HUKUM – KELAS F
Mata Kuliah Paraf Dosen
Dr._NIRU_ANITA_SINAGA_SH_MH
Dosen Pengampu

Kelas Perkuliahan  Reguler Pagi  Reguler Sore  Blended Learning

1. Jelaskan latar belakang munculnya Teori Hukum Postmodernis.

Istilah Teori Hukum Postmodeernis muncul di Awal abad ke-19. Penggunaan teori sosial dan

budaya dalam perkembangan hukum saat ini memiliki peran yang sangat penting dan

signifikan. Perkembangan hukum yang terjadi tidak terlepas dari pengaruh teori-teori

sosial dan budaya yang ada. Teori sosial dan budaya sendiri dapat diartikan sebagai

penjelasan tentang bagaimana masyarakat berinteraksi dan bagaimana kebudayaan

mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam masyarakat.

Pada saat ini, penggunaan teori-teori sosial dan budaya dalam perkembangan hukum lebih

diperuntukkan untuk menghimpun berbagai teori yang secara substansial mengalami

perubahan fundamental. Perubahan ini memiliki dampak yang sangat penting bagi

perkembangan hukum, tidak hanya dari sudut pandang bahasa, tetapi juga menyangkut

substansi yang ada. Dengan adanya penggunaan teori-teori sosial dan budaya, maka

pengembangan hukum dapat lebih luas dan lebih akurat sesuai dengan konteks

masyarakat yang berbeda-beda.

Salah satu contoh penggunaan teori sosial dan budaya dalam perkembangan hukum saat ini

adalah melalui konsep pluralisme hukum. Konsep ini mencoba untuk memahami dan

mengakomodasi berbagai budaya dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Dengan
adanya pengakuan terhadap pluralisme hukum, maka hukum dapat lebih berpihak dan

sesuai dengan kebutuhan serta kepentingan masyarakat yang beragam.

Selain itu, beberapa teori sosial dan budaya yang muncul saat ini juga bukan semata-mata

sebagai reaksi terhadap teori yang ada sebelumnya. Namun, mereka juga mencoba

memberikan pandangan baru yang berbeda dari dominasi dan hegemoni teori yang sudah

mapan. Hal ini sejalan dengan esensi dari postmodernisme yang mencoba

mendekonstruksi modernisme dan menolak status quo serta menolak modernisme menuju

postmodern afirmatif. Dengan demikian, penggunaan teori-teori ini dalam konteks hukum

menjadi lebih beragam dan kaya.

Teori sosial dan budaya juga mempengaruhi perkembangan hukum melalui konsep-konsep

seperti konstruksi sosial, teori feminis, teori kritis, dan sebagainya. Konsep konstruksi

sosial menganggap bahwa hukum adalah hasil dari proses sosial dan bukan sesuatu yang

bersifat objektif. Sementara teori feminis lebih menekankan pada kesetaraan gender

dalam hukum dan menolak diskriminasi terhadap perempuan. Adanya pengaruh dari teori-

teori ini membuat hukum menjadi lebih inklusif dan memperhatikan berbagai aspek yang

sebelumnya mungkin diabaikan.

Penggunaan teori sosial dan budaya dalam perkembangan hukum saat ini memiliki peranan

yang sangat penting. Penggunaan teori-teori ini dapat memperkaya dan memperluas

pemahaman kita tentang hukum, serta membuat hukum menjadi lebih relevan dengan

konteks masyarakat yang beragam. Namun, tentu saja penggunaan teori-teori ini juga

perlu diimbangi dengan pemahaman yang mendalam dan implementasi yang tepat, sehingga

dapat memberikan dampak yang positif bagi perkembangan hukum secara keseluruhan.

Selain itu, pada paruh pertama abad ke-20, muncul berbagai disiplin ilmu, aliran, serta

doktrin baru yang umumnya radikal, termasuk aliran postmodern. Semua faktor ini

berkontribusi pada munculnya Teori Hukum Postmodernis.

Teori Hukum Postmodernis muncul sebagai respons terhadap kritik terhadap aliran

Modernisme yang dianggap gagal dalam mencapai tujuannya yang mulia untuk

mensejahterakan umat manusia. Aliran Modernisme pada saat itu dianggap telah merusak

tatanan kehidupan dan tidak mampu memenuhi prinsip dan pola pikir kaum modernis.
Selain itu, fenomena abad modern juga menunjukkan ketidaksesuaian dengan prinsip-

prinsip yang diusung oleh aliran Modernisme.

Penelitian dan konferensi yang dilakukan oleh beberapa akademisi, seperti yang

diselenggarakan oleh Sekolah Hukum Bucerius di Jerman pada Oktober 2017, turut

menjadi latar belakang munculnya Teori Hukum Postmodernis. Konferensi tersebut

membahas tentang tantangan hukum di era postmodernisme dan antara positivisme dan

postmodernisme. Menyadari adanya ketidakcocokan dan kegagalan aliran Modernisme,

Teori Hukum Postmodernis muncul sebagai alternatif pemikiran yang mencoba untuk

memberikan pandangan dan pendekatan baru dalam memahami dan menerapkan hukum di

era postmodernisme

2. Jelaskan inti dari Critical Legal Studies

Inti dari Critical Legal Studies (CLS) adalah pandangan bahwa hukum tidak bersifat netral,

tetapi sebaliknya, muncul dari hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Penganut aliran ini

meyakini bahwa logika dan struktur hukum tidak dapat dipahami tanpa

mempertimbangkan faktor-faktor politik, sosial, dan ekonomi yang mendukungnya.

Menurut mereka, hukum bukanlah entitas yang terpisah dari realitas kekuasaan dan

struktur sosial, melainkan merupakan alat yang digunakan oleh kelompok yang berkuasa

untuk mempertahankan dan memperkuat posisi mereka. Dengan kata lain, hukum bukanlah

suatu kebenaran objektif, tetapi lebih merupakan hasil dari kepentingan dan konflik di

dalam masyarakat. Penganut CLS berpendapat bahwa hukum sering kali digunakan untuk

menegakkan dominasi dan ketidaksetaraan, menciptakan ketidakadilan sistemik. Oleh

karena itu, mereka menekankan perlunya menganalisis hukum dalam konteks struktur

kekuasaan untuk memahami implikasi politis dan sosialnya. Dengan menggali asal-usul

hukum dan memeriksa hubungannya dengan struktur sosial, penganut CLS berupaya

mengungkap dan mengkritisi dimensi kekuasaan yang tersembunyi dalam sistem hukum.

Pandangan ini merangsang pemikiran kritis terhadap hukum, mengajukan pertanyaan

fundamental tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan oleh hukum, serta

bagaimana hukum dapat menjadi instrumen perubahan sosial yang lebih adil.

terletak pada pandangan bahwa hukum bukanlah suatu entitas netral, tetapi merupakan alat

yang digunakan oleh mereka yang memiliki kekayaan dan kekuasaan untuk menjalankan

penekanan terhadap masyarakat. Dalam perspektif ini, hukum bukanlah semata-mata

seperangkat aturan yang objektif, melainkan sebuah instrumen yang dikuasai oleh
kelompok yang berkuasa untuk mempertahankan dan memperkuat posisi sosio-ekonomi

mereka. Penganut CLS meyakini bahwa kekayaan dan kekuasaan memainkan peran sentral

dalam membentuk dan mengarahkan perkembangan hukum. Mereka yang kaya dan kuat

dapat menggunakan hukum sebagai alat untuk melindungi kepentingan mereka,

menciptakan norma-norma yang mendukung struktur sosial yang menguntungkan mereka,

sambil pada saat yang sama menekan atau menindas kelompok yang lebih lemah.

Dalam konteks ini, hukum dipandang sebagai refleksi dari ketidaksetaraan dan konflik

kepentingan dalam masyarakat. Penganut CLS menyoroti bagaimana hukum sering kali

digunakan untuk melegitimasi ketidakadilan dan memperkuat status quo yang

menguntungkan elit. Mereka menekankan bahwa analisis hukum tidak bisa dilepaskan dari

konteks sosial dan politik di mana hukum itu berkembang. Oleh karena itu, memahami

bagaimana hukum digunakan untuk mempertahankan kedudukan sosial tertentu menjadi

esensial untuk membongkar dimensi kekuasaan yang mendasarinya. Dengan demikian,

penganut CLS mendorong sebuah pandangan kritis terhadap hukum, menantang asumsi-

asumsi yang mendasarinya, dan mendorong untuk transformasi hukum agar lebih adil dan

setara dalam merespons kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.

Kritik terhadap hukum dan sistem hukum yang ada. CLS menekankan bahwa hukum bukanlah

suatu entitas netral dan objektif, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan politik, sosial, dan

ekonomi. CLS berpendapat bahwa hukum mencerminkan dan memperkuat ketidaksetaraan

dan dominasi dalam masyarakat. Mereka menolak pandangan tradisional bahwa hukum

adalah alat untuk mencapai keadilan, melainkan melihat hukum sebagai alat kontrol dan

pemelihara kekuasaan yang ada. Inti dari Critical Legal Studies (CLS) adalah kritik

terhadap cara tradisional dalam memahami dan menerapkan hukum. CLS muncul pada

tahun 1970-an di Amerika Serikat sebagai gerakan intelektual dalam ilmu hukum yang

menantang ortodoksi hukum dominan pada saat itu. Gerakan ini didasarkan pada gagasan

bahwa hukum bukanlah semata-mata tentang objektivitas dan netralitas, tetapi juga

merupakan produk dari kuasa dan kepentingan politik, ekonomi, dan sosial.

CLS berargumen bahwa hukum tercermin dalam distribusi kekuasaan yang tidak adil,

dengan mementingkan golongan elit dan menjaga status quo kekuasaan sosial. Mereka

juga menolak pandangan bahwa hukum dapat diterapkan dengan obyektif dan netral, dan

bahwa hukum berkaitan dengan keputusan teknis semata. Sebaliknya, mereka


menganggap bahwa hukum seharusnya dilihat sebagai instrumen politik yang memengaruhi

dan membentuk masyarakat. CLS mengkritik asumsi-asumsi dasar dalam teori hukum,

seperti rasionalitas hukum, perbedaan antara hukum positif dan hukum moral, serta nilai-

nilai keadilan yang dianggap netral dan universal.

Lebih lanjut, CLS menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat dalam

pemerebutan kekuasaan oleh berbagai kelompok sosial yang saling bersaing. Mereka

menekankan pentingnya mengekspos ketidakadilan yang mendasari sistem hukum, serta

kebutuhan untuk melibatkan perspektif-perspektif alternatif dalam menafsirkan hukum.

Dalam hal ini, CLS ingin mencapai transformasi sosial melalui kritisisme terhadap hukum

dan sistem hukum yang ada.

Melalui pendekatan kritis ini, CLS berusaha untuk membangun kesadaran akan sifat politik

dari hukum dan menyuarakan kebebasan individu, keadilan sosial, dan emansipasi kolektif.

Mereka menekankan pentingnya mempertanyakan otoritas dan ketidaksetaraan dalam

sistem hukum, serta mengadvokasi perubahan melalui proses sosial dan politik.

CLS juga menyoroti bahwa hukum sering kali memihak kepada kelompok yang berkuasa,

seperti kelas atas, ras tertentu, atau gender tertentu. Mereka menekankan pentingnya

memahami konteks sosial, politik, dan ekonomi dalam menafsirkan dan menerapkan

hukum. CLS juga menyoroti bahwa hukum sering kali tidak mampu mengatasi

permasalahan struktural dalam masyarakat, seperti ketidaksetaraan ekonomi atau

diskriminasi sistemik.

Pendekatan CLS juga menekankan pentingnya mempertanyakan otoritas hukum dan menggali

implikasi kekuasaan dalam hukum. Mereka menyoroti bahwa hukum tidak hanya tentang

aturan yang ada, tetapi juga tentang proses pembentukan aturan tersebut. CLS berusaha

untuk mengembangkan pemahaman yang lebih kritis tentang hukum dan mendorong

perubahan sosial yang lebih adil dan inklusi

3.Menurut Teori Hukum Pembangunan (Mochtar Kusumaatmadjaj) fungsi hukum dalam

masyarakat Indonesia yangg sedang membangun tidak hanya untuk menjamin

kepastian, ketertiban dan keadilan, tapi juga sebagai sarana pembaharuan

masyarakatka “law as a tool of social engenering atau "sarana pembangunan,

Jelaskan maksudnya!
Menurut Teori Hukum Pembangunan yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja,

hukum di Indonesia memiliki peran yang lebih luas daripada sekadar menjamin kepastian,

ketertiban, dan keadilan. Dalam konteks masyarakat yang sedang membangun, hukum

juga berfungsi sebagai sarana pembaharuan atau "law as a tool of social engineering."

Pandangan ini mengisyaratkan bahwa hukum bukan hanya sebagai instrumen pengaturan,

tetapi juga sebagai alat untuk mengarahkan perubahan sosial yang positif. Dengan kata

lain, hukum memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi transformasi masyarakat ke

arah yang lebih baik.

Mochtar Kusumaatmadja menekankan perlunya pembinaan hukum nasional untuk mendukung

peran hukum sebagai sarana pembangunan. Ini mencakup upaya pembaruan hukum, di

mana peraturan-peraturan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat

yang terus berkembang. Selain itu, pendidikan hukum juga dianggap sebagai aspek

penting dalam pembinaan hukum nasional. Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap

hukum dapat menciptakan partisipasi yang lebih aktif dalam proses pembangunan,

sehingga menciptakan kesadaran hukum yang lebih baik.

Pandangan ini mencerminkan gagasan bahwa hukum bukanlah entitas statis, melainkan

instrumen dinamis yang dapat membentuk arah perkembangan masyarakat. Dengan

melakukan pembaruan hukum dan meningkatkan pendidikan hukum, diharapkan

masyarakat dapat lebih efektif merespons perubahan zaman dan menghadapi tantangan

pembangunan. Dengan demikian, Teori Hukum Pembangunan menyoroti pentingnya hukum

sebagai kekuatan positif dalam membentuk perubahan sosial yang berkelanjutan dan

berkelanjutan dalam konteks masyarakat yang sedang membangun.

fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak hanya terbatas

pada menjamin kepastian, ketertiban, dan keadilan, tetapi juga sebagai sarana

pembaharuan atau sarana pembangunan masyarakat. Maksud dari "law as a tool of social

engineering" adalah bahwa hukum memiliki peran aktif dalam menciptakan perubahan

sosial yang diinginkan dalam masyarakat.

Dalam Teori Hukum Pembangunan yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, fungsi

hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak hanya terbatas pada
menjamin kepastian, ketertiban, dan keadilan semata. Namun, hukum juga dianggap

sebagai sarana pembaharuan masyarakat atau "law as a tool of social engineering".

Dalam konteks ini, Mochtar Kusumaatmadja menekankan bahwa hukum dapat digunakan

sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih

luas. Hukum menjadi salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengubah dan

memperbaharui struktur sosial yang ada dalam masyarakat.

Pembaharuan masyarakat melalui hukum mencakup berbagai bidang, seperti perubahan

dalam regulasi ekonomi, perlindungan lingkungan, penegakan hak asasi manusia, dan

pemberdayaan masyarakat. Melalui undang-undang dan kebijakan hukum yang disusun dan

dilaksanakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat yang mendorong perubahan sosial

positif.

Dalam pandangan Mochtar Kusumaatmadja, hukum juga dapat mempengaruhi dan

memperbaiki pola pikir dan perilaku masyarakat. Dengan menggunakan prinsip-prinsip

hukum yang sesuai dengan aspirasi pembangunan masyarakat, hukum dapat menjadi

katalisator bagi perubahan sosial yang lebih baik.

Dengan demikian, "law as a tool of social engineering" menggambarkan konsep bahwa hukum

bukan hanya sebagai perangkat legalitas semata, tetapi juga sebagai instrumen yang

dapat digunakan untuk membentuk dan mengarahkan transformasi sosial dalam

masyarakat Indonesia yang sedang membangun. Pentingnya peran hukum dalam proses

pembaharuan masyarakat ini menekankan bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak

dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi hukum sebagai sarana yang mendukung

perubahan dan kemajuan yang diinginkan.

4.Jelaskan beberapa prinsip dan inti tentang Teori Hukum Progresif Satjipto

Rahardjo.

Teori Hukum Progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo memiliki beberapa prinsip

dan inti yang menjadi landasan pandangannya terhadap hukum. Teori Hukum Progresif

yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo mendasarkan diri pada keprihatinan terhadap

kontribusi yang dianggap rendah dari ilmu hukum di Indonesia dalam memberikan
pencerahan bagi bangsa, khususnya dalam mengatasi krisis yang melibatkan bidang

hukum. Inti dari Hukum Progresif ini terletak pada keyakinan bahwa hukum harus

memiliki peran yang lebih proaktif dan konstruktif dalam menyelesaikan masalah sosial

yang kompleks.

Prinsip pertama dari Teori Hukum Progresif adalah kesadaran akan keterbatasan hukum

tradisional. Satjipto Rahardjo menyadari bahwa pendekatan hukum yang bersifat

formalistik dan mekanistik seringkali tidak mampu menanggapi dengan adekuat dinamika

dan kompleksitas masalah sosial. Oleh karena itu, Hukum Progresif menekankan perlunya

penyesuaian dan pengembangan hukum agar dapat lebih responsif terhadap kebutuhan

masyarakat.

Prinsip kedua adalah pandangan bahwa hukum bukanlah entitas yang terpisah dari realitas

sosial dan seharusnya dapat memainkan peran yang lebih progresif dalam pembangunan

masyarakat. Hukum tidak hanya dipandang sebagai alat pengaturan dan penegakan,

melainkan juga sebagai instrumen untuk mewujudkan perubahan sosial yang positif. Dalam

konteks ini, Hukum Progresif menciptakan ruang bagi hukum untuk menjadi motor

perubahan yang dapat membantu keluar dari krisis.

Satjipto Rahardjo juga menekankan pada pentingnya peran hakim sebagai agen perubahan.

Hakim dianggap tidak hanya sebagai penafsir pasif hukum, melainkan sebagai individu

yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa hukum berfungsi sebagai

instrumen perubahan yang positif. Oleh karena itu, Hukum Progresif mengajak para

penegak hukum untuk berperan aktif dalam membentuk masyarakat yang lebih adil dan

berkeadilan.

Teori Hukum Progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo mengusung prinsip-prinsip

yang mengubah paradigma tradisional hukum. Inti dari teori ini terletak pada pemahaman

bahwa hukum tidak pernah mencapai batas akhir yang pasti, melainkan senantiasa

bergerak dan gelisah dalam mencari kebenaran yang lebih dalam. Prinsip pertama dalam

teori ini adalah pengakuan terhadap sifat dinamis hukum, di mana hukum tidak dapat

dipandang sebagai suatu entitas statis yang terpisah dari perkembangan masyarakat.

Sebaliknya, hukum dipandang sebagai entitas yang senantiasa berkembang seiring dengan

perubahan sosial, ekonomi, dan budaya.


Satjipto Rahardjo menyoroti ketidakpastian yang inheren dalam hukum dan menekankan

pentingnya untuk melihat hukum sebagai suatu proses yang terus-menerus mencari

kebenaran yang lebih baik. Prinsip kedua adalah pemahaman bahwa hukum harus

memposisikan dirinya sebagai alat untuk mencapai kebenaran yang lebih dalam dan bukan

sekadar sebagai peraturan yang bersifat formalistik. Dalam kerangka ini, Hukum

Progresif memotivasi untuk menggali nilai-nilai keadilan yang mendasar dan mengarahkan

hukum ke arah pembentukan kebijakan yang lebih etis.

Pandangan ini memunculkan prinsip ketiga, yaitu peran yang kritis dari para penegak hukum,

terutama hakim, dalam menginterpretasikan dan mengaplikasikan hukum. Hakim bukanlah

semata pelaksana hukum, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat membawa

dampak positif terhadap masyarakat. Dengan menyadari kompleksitas hukum dan konteks

sosialnya, hakim diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan keadilan yang lebih

substansial.

5.Menurut Teori Hukum Integratif (Romli Atmasasmita) konsep hukum dapat dipahami

sebagai sistem norme system of normi, sebagai sistem perilaku (system of behavior)

dan sebagai sistem nilai (system of values) yang merupakan bagian dari aktivitas

masyarakat tertentu, pada waktu dan tempat tertentu, Jelaskan maksudnya!

Menurut Teori Hukum Integratif yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita, konsep hukum

dapat dipahami sebagai sistem norma (system of norms), sistem perilaku (system of

behavior), dan sistem nilai (system of values) yang merupakan bagian dari aktivitas

masyarakat pada waktu dan tempat tertentu.

Pertama, konsep hukum sebagai sistem norma mengacu pada aturan-aturan yang diakui dan

diterima oleh masyarakat sebagai pedoman dalam berinteraksi dan menjalankan

kehidupan sehari-hari. Norma-norma hukum ini meliputi peraturan-peraturan yang

tertulis maupun yang tidak tertulis, serta kebiasaan dan tradisi yang berlaku dalam

masyarakat. Norma-norma ini berfungsi untuk memberikan kepastian dan ketertiban

dalam tindakan dan hubungan antarindividu serta antarlembaga.

Kedua, konsep hukum sebagai sistem perilaku merujuk pada bagaimana hukum

mempengaruhi dan mengatur perilaku manusia dalam masyarakat. Hukum tidak hanya

berfungsi sebagai aturan yang harus dipatuhi, tetapi juga sebagai pendorong dan
pengatur tindakan manusia. Melalui hukum, masyarakat diarahkan untuk melakukan

tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang diakui dan dihormati oleh masyarakat.

Ketiga, konsep hukum sebagai sistem nilai menunjukkan bahwa hukum tidak dapat

dipisahkan dari nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat pada waktu dan tempat

tertentu. Nilai-nilai ini mencerminkan keyakinan, budaya, dan prinsip yang dijunjung

tinggi oleh masyarakat. Hukum tidak hanya mencerminkan nilai-nilai ini, tetapi juga

berperan dalam mempromosikan dan melindungi nilai-nilai tersebut.

Secara keseluruhan, Teori Hukum Integratif menggambarkan konsep hukum sebagai sistem

norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama

lain. Hukum tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks sosial, budaya, dan nilai-

nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum merupakan instrumen yang digunakan untuk

menciptakan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai