Anda di halaman 1dari 233

Bahasan seputar al-Asmâ` al-Husnâ di kalangan ulama dan sarjana

muslim di Indonesia, di samping adanya kesamaan, juga terdapat adanya


tren bahasan yang bervariasi terkait beberapa hal. Ada penulis yang KONSEP DAN DIMENSI
cenderung memfungsikan al-Asmâ` al-Husnâ sebagai wirid, zikir atau
bagian dari doa (fungsi ibadah); ada yang memfungsikannya sebagai
media mengenal Allah baik secara teologis maupun sufistik; ada yang
memfungsikannya sebagai media membangun karakter (akhlak); dan ada
pula yang memfungsikannya sebagai media dalam mencapai kesuksesan
bisnis, kesuksesan hidup rumah tangga dan kecakapan hidup.
Di kalangan ulama Kalimantan, sebagaimana ulama Nusantara lain-
nya, juga menjadikan al-Asmâ` al-Husnâ sebagai objek kajian baik dalam
AL-ASMÂ` AL-HUSNÂ
TELAAH TERHADAP KARYA INTELEKTUAL
perspektif teologis, sufistik maupun amaliyah. Kehadiran buku-buku yang
berisi paparan mengenai al-Asmâ` al-Husnâ terutama pada dua dekade ULAMA KALIMANTAN
terakhir (1993-2010) di kalangan ulama Kalimantan menimbulkan sejum-
lah pertanyaan. Mengapa karya semacam ini muncul? Apakah kemun-
culan karya-karya ini merupakan bentuk perubahan dalam penyajian
materi akidah yang selama ini didominasi oleh materi tentang sifat 20?
Ataukah kehadiran karya-karya ini merupakan kelanjutan dari tren
pembahasan sufistik terkait al-Asmâ` al-Husnâ sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Syekh Nafis al-Banjari dan Abdurrahman Shiddiq al-
Banjari? Ataukah karya-karya ini hadir tidak terkait dengan persoalan
tersebut, tetapi murni untuk memaparkan al-Asmâ` al-Husnâ semata
yang selama ini tidak banyak ditulis oleh ulama Kalimantan?
Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pemikiran mereka
di seputar al-Asmâ` al-Husnâ, seperti masalah pemaknaan nama-nama
Allah, ism al-A`zham, jumlah nama Allah, versi daftar nama Allah yang
mereka gunakan atau versi daftar nama Allah yang mereka susun sendiri,
interpretasi mereka tentang kata “ahshâhâ” dalam hadis al-Asmâ` al-
Husnâ dan tren, orientasi atau pendekatan mereka dalam memaparkan
al-Asmâ` al-Husnâ. Demikian pula, perlu juga dikaji apakah ada varian
pemikiran dalam paparan mereka mengenai al-Asmâ` al-Husnâ, apa saja
persamaan pemikiran mereka dan apa saja perbedaannya.

Rahmadi, S.Ag., M.Pd.I.


Drs. H. Abd. Rahman Jaferi, M.Ag.
Penerbit Nusa Litera Inspirasi ISBN 978-602-61944-5-9
Jl. Raya Cirebon - Kuningan
Jl. Pesantren No. 177
Kuningan, Jawa Barat 45556
literainspirasi@gmail.com
9 786026 194459
HP: 0856-9586-9769
KONSEP DAN DIMENSI AL-ASMÂ` AL-HUSNÂ:
TELAAH TERHADAP KARYA INTELEKTUAL
ULAMA KALIMANTAN

i
UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Ketentuan Pidana
Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus
juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

ii
KONSEP DAN DIMENSI AL-ASMÂ` AL-HUSNÂ:
TELAAH TERHADAP KARYA INTELEKTUAL
ULAMA KALIMANTAN

Rahmadi, S.Ag., M.Pd.I.


Drs. H. Abd. Rahman Jaferi, M.Ag.

Nusa Litera Inspirasi


2017

iii
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ: Telaah Terhadap Karya
Intelektual Ulama Kalimantan
Cetakan pertama Juli 2017
All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang

Penulis: Rahmadi dan Abd. Rahman Jaferi


Perancang sampul: Tim Nusa Litera Inspirasi
Penata letak: Tim Nusa Litera Inspirasi

Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ: Telaah Terhadap Karya


Intelektual Ulama Kalimantan
x + 222: 15,5 cm x 23 cm
ISBN: 978-602-61944-5-9

CV Nusa Litera Inspirasi

Jl. Raya Cirebon-Kuningan


Jl. Pesantren No. 177
Cilimus – Kuningan – Jawa Barat, 45556
Email: literainspirasi@gmail.com,
CP: 0856-9586-9769

Isi di luar tanggungjawab percetakan.

iv
KATA PENGANTAR

Buku ini berasal dari hasil penelitian yang berjudul “ Al-


Asmâ` al-Husnâ dalam Perspektif Ulama Kalimantan: Studi
Varian, Kesinambungan dan Perubahan Pemikiran” pada tahun
2015. Agar hasil riset ini dapat dijangkau oleh kalangan yang
lebih luas, maka kami menerbitkannya dalam bentuk buku.
Dalam edisi buku, kami melakukan beberapa revisi dan
menghilangkan beberapa bagian, salah satunya bagian metode
penelitian, agar tidak ‘mengganggu’ pembaca dengan istilah
dan paparan tentang riset. Termasuk dalam hal ini, kami me-
ngubah judul riset ini dengan judul sebagaimana terlihat pada
cover buku ini.
Atas terbitnya buku ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah ikut berkonstribusi dalam pro -
ses penerbitannya, terutama kepada pihak Penerbit Cakrawala
Budaya yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini.
Kami berharap semoga buku sederhana ini dengan
segala kekurangannya dapat memberikan kontribusi pengeta-
huan dan wawasan baru bagi kalangan masyarakat muslim se-
cara umum tentang al-Asmâ` al-Husnâ dan dapat dipergunakan
untuk berbagai kepentingan keagamaan. Khusus untuk kala-
ngan akademis buku ini diharapkan dapat menjadi informasi
ilmiah dalam memotret dinamika pemikiran Islam di kawasan
Kalimantan.

Banjarmasin, April 2017

Rahmadi, S.Ag.. M.Pd.I.

v
vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR | v
DAFTAR ISI | vii
DAFTAR TABEL | x
DAFTAR Gambar | x

BAB I PENDAHULUAN | 1-10

BAB II KONSEP Al-ASMÂ` Al-HUSNÂ | 11-27


A. Definisi Al-Asmâ` Al-Husnâ | 11
B. Dalil Normatif Mengenai Al-Asmâ` Al-Husnâ | 11
C. Beberapa Kaidah Terkait Al-Asmâ` Al-Husnâ | 13
D. Jumlah dan Varian Versi Al-Asmâ` Al-Husnâ | 15
E. Ism al-A’zham | 22
F. Makna Ahshâhâ (ihshâ`) | 22
G. Meneladani Al-Asmâ` Al-Husnâ | 24

BAB III BIOGRAFI ULAMA KALIMANTAN DAN KARYANYA


TENTANG Al-ASMÂ` Al-HUSNÂ | 28-72
A. Biografi Singkat Ulama Kalimantan Penulis Asmâ`
al-Husnâ | 29
1. Biografi Singkat Husin Qadri | 29
2. Biografi Singkat Dja’far Sabran | 33
3. Biografi Singkat Haderanie H.N. | 40
4. Biografi Singkat M. Zurkani Jahja | 45
5. Biografi Singkat Husin Naparin | 53
6. Biografi Singkat Muhammad Bakhiet | 59

vii
B. Deskripsi Literatur Al-Asmâ` al-Husnâ Karya
Ulama Kalimantan | 66
1. Senjata Mu`min karya Husin Qaderi | 66
2. Miftah-Ma’rifat karya Dja’far Sabran | 67
3. Asmaul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasauf
karya Haderanie H.N. | 69
4. 99 Jalan Mengenal Allah karya M. Zurkani
Jahja | 69
5. Memahami al-Asma al-Husna karya Husin
Naparin | 70
6. Mengenal al-Asma` al-Husna Jalan Menuju
Ma’rifat Allah karya Muhammad Bakhiet | 71

BAB IV KONSEP Al-ASMÂ` Al-HUSNÂ VERSI ULAMA


KALIMANTAN | 73-115
A. Versi Al-Asmâ` Al-Husnâ Ulama Kalimantan | 73
B. Versi Nama Allah yang Teragung
(Ism al-A’zham) | 78
C. Penetapan Nama Sebagai Nama Allah: Tawqîfiy
atau Ijtihâdiy | 81
D. Definisi Al-Asmâ` Al-Husnâ | 84
E. Jumlah Nama Allah | 86
F. Makna Ahshâhâ | 90
G. Makna Harfiyah Setiap Nama Allah | 95
H. Penyajian Nama Allah Secara Tunggal dan
Berdampingan | 103
I. Pengelompokan Nama-nama Allah | 108
J. Fungsi dan Dimensi Al-Asmâ` al-Husnâ Bagi
Hamba Allah | 110

BAB V KHASIAT DAN FADHILAT AL-ASMÂ` Al-HUSNÂ


MENURUT ULAMA KALIMANTAN | 116-137
A. Khasiat dan Fadhilat Al-Asmâ` Al-Husnâ Menurut
Husin Qadri | 116

viii
B. Fadilat dan Khasiat Al-Asmâ` Al-Husnâ Menurut
Haderanie H.N. | 127
C. Fadhilat dan Khasiat Al-Asmâ` Al-Husnâ Menurut
Muhammad Bakhiet, Husin Naparin dan Zurkani
Jahja | 134

BAB VI DIMENSI TEOLOGIS DAN SUFISTIK AL-ASMÂ` AL-


HUSNÂ MENURUT ULAMA KALIMANTAN
| 138-188
A. Dimensi Teologis dan Sufistik Al-Asmâ` al-Husnâ
Perspektif Dja’far Sabran | 139
B. Dimensi Teologis dan Sufistik Al-Asmâ` al-Husnâ
Perspektif Haderanie H.N. | 142
C. Dimensi Teologis dan Sufistik Al-Asmâ` Al-Husnâ
Perspektif Zurkani Jahja | 155
D. Dimensi Teologis dan Sufisme-Akhlaqi Al-Asmâ`
Al-Husnâ Perspektif Husin Naparin | 165
E. Dimensi Teologis dan Sufistik Al-Asmâ` Al-Husnâ
Perspektif Muhammad Bakhiet | 176
F. Dimensi Akhlak Al-Asmâ` Al-Husnâ: Meneladani
Akhlak Allah | 182

BAB VII VARIAN, KESINAMBUNGAN DAN PERUBAHAN


PEMIKIRAN | 189-202
A. Varian Pemikiran Ulama Kalimantan di Seputar Al-
Asmâ` Al-Husnâ | 189
B. Kesinambungan dan Perubahan Pemikiran | 194

BAB VIII PENUTUP | 203-207

DAFTAR PUSTAKA | 208-212


INDEKS | 213-221
TENTANG PENULIS | 222

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel al-Asmâ` al-Husnâ | 75


Tabel 2. Makna Harfiah Nama-nama Allah Versi Ulama
Kalimantan | 96
Tabel 3. Tabel Penyajian Nama Allah Secara Berdampingan
| 104
Tabel 4. Dimensi Akhlak dari al-Asmâ` al-Husnâ dari Hafizh
Dasuki yang Dikutip Husin Naparin | 166
Tabel 5. Sampel Al-Asmâ` Al-Husnâ dan Dimensi Akhlaknya
Menurut M. Zurkani Jahja, Husin Naparin
dan Muhammad Bakhiet | 183

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema konsep tawhîd al-Asmâ` yang dikemukakan


oleh Sabran | 142

x
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 1

BAB I

PENDAHULUAN

Nama-nama Allah yang terbaik (al-Asmâ` al-Husnâ) me-


rupakan salah satu media untuk mengenal Allah swt. Karena
itu, para ulama sejak masa klasik hingga kini selalu menja-
dikannya sebagai salah satu bahasan penting baik dalam kajian
teologi maupun sufisme. Telah banyak karya intelektual dari
kalangan ulama yang membahas masalah ini baik secara sing-
kat maupun mendalam. Beberapa ulama klasik yang membe-
rikan perhatian khusus tentang al-Asmâ` al-Husnâ di antaranya
adalah Imam al-Ghazali (w.1111M) dengan karyanya Al-
Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ` Allâh al-Husnâ, Ibnu Barjam al-
Andalusi (w. 536H) melalui karyanya Syarh al-al-Asmâ` al-
Husnâ, al-Qurthubi melalui karyanya al-Kitab al-Asna fi Syarh
al-Husna dan dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah melalui karyanya
al-Asmâ` al-Husnâ. Sementara ulama mutakhir Timur Tengah
yang menulis tentang al-Asmâ` al-Husnâ di antaranya adalah
‘Umar Ahmad al-Syarbashi dengan karyanya Mawsû’ah al- al-
Asmâ` al-Husnâ, ‘Abd al-Rahman bin Ishaq al-Zujaji dengan
karyanya Isytiqâq Asmâ` Allâh, Ibrahim bin al-Surri dengan
karyanya Tafsîr Asmâ` Allâh al-Husnâ, Muhammad bin Ahmad
Hamd al-Hamud dengan karyanya al-Nahj al-Asmâ` fî Syarh
Asmâ` Allâh al-Husnâ, Sulayman Al-Asyqar melalui karyanya al-
Asmâ` al-Husnâ, Ahmad Bahjat melalui karyanya Allâh fî al-
‘Aqîdah al-Islâmiyyah dan lainnya.
2 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Di Indonesia sejumlah ulama dan sarjana muslim juga


telah mempublikasikan karya intelektualnya tentang al-Asmâ`
al-Husnâ, seperti Khasiat dan Fadhilat Asmaul Husna karya M.
Ali Chasan Umar, “Menyingkap” Tabir Ilahi: Asma al-Husna
dalam Perspektif Al-Qur`an (1998) karya M. Quraish Shihab,
Kecerdasan 99 (99 Quotient): Cara Meraih Kemenangan dan
Ketenangan Hidup Lewat Penerapan 99 Nama Allah (2003) kar-
ya Sulaiman Al-Kumayi, 99Q for Family: Menerapkan Prinsip
Asmaul Husna dalam Kehidupan Rumah Tangga (2006) oleh
Sulaiman al-Kumayi, dan Asma`ul Husna for Success in Business
& Life (2009) karya Muhammad Syafii Antonio. Tentu masih
banyak lagi karya intelektual tentang al-Asmâ` al-Husnâ yang
ditulis oleh ulama dan sarjana muslim di Indonesia yang tidak
disebutkan di sini. Beberapa contoh di atas menunjukkan bah-
wa sebagaimana ulama Timur Tengah, kalangan muslim terdi-
dik di Indonesia juga menjadikan al-Asmâ` al-Husnâ sebagai
salah satu objek kajian mereka yang dituangkan dalam karya
tulis yang dicetak dan dipublikasikan.
Tema-tema penting yang menjadi bahasan para ulama di
seputar al-Asmâ` al-Husnâ, baik di Timur Tengah maupun di
Indonesia, adalah pemaknaan mengenai makna nama (ism),
jumlah dan versi nama-nama Allah, ism al-a’zham, pemahaman
tentang makna ahshâha (mengetahui, menghitung atau meme-
liharanya) yang terdapat dalam sejumlah hadis mengenai al-
Asmâ` al-Husnâ (H.R. Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, Ibnu Majah,
Ahmad dll.), penjelasan masing-masing nama, kategorisasi al-
Asmâ` al-Husnâ dan fungsi al-Asmâ` al-Husnâ. Beberapa tema
ini memunculkan berbagai variasi pendapat dan bahkan
kontroversi.
Beberapa karya ulama Timur Tengah tentang al-Asmâ`
al-Husnâ menampilkan versi nama-nama Allah yang merupa-
kan bagian dari al-Asmâ` al-Husnâ secara variatif. Meski hadis
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 3

tentang al-Asmâ` al-Husnâ riwayat al-Tirmidzi telah menyebut-


kan nama Allah berjumlah 99 nama dan mencantumkan daftar
semua nama Allah yang berjumlah 99 itu, tetapi banyak ulama
yang berpendapat bahwa jumlah nama Allah itu tidak terbatas
99 tetapi lebih dari itu dan tidak diketahui jumlah pastinya.
‘Umar Sulayman Al-Asyqar misalnya menyebutkan bahwa ada
sekitar 80-an nama yang disepakati, ada yang menyebut 99
nama bahkan ada yang menyebut lebih dari 200 nama. Al-
Asyqar sendiri telah menemukan 290 nama hasil kajian ulama
meski kebanyakan nama itu menurut al-Asyqar tidak termasuk
dalam kategori al-Asmâ` al-Husnâ.1 Al-Asyqar sendiri tidak
menjadikan daftar nama Allah yang terkandung dalam hadis al-
Tirmidzi yang sangat populer di Indonesia sebagai daftar yang
valid karena menurutnya, hadis yang memuat rincian nama-
nama Allah itu merupakan hadis yang lemah. 2 M. Quraish
Shihab mengutip pendapat Ibnu Katsir bahwa rincian nama
Allah yang terkandung dalam hadis al-Tirmidzi merupakan sisi-
pan yang dilakukan oleh ulama tertentu yang telah menghim-
pun nama-nama itu dari Alquran.3
Dengan tidak menjadikan rincian 99 nama Allah yang
terdapat dalam hadis al-Tirmidzi sebagai satu-satunya versi,
Al-Asyqar menyajikan versi sendiri yang sebagian di antaranya
berbeda dengan versi al-Asmâ` al-Husnâ dalam hadis al-
Tirmidzi. Meski al-Asyqar menetapkan 99 nama, namun ia
tidak memasukkan beberapa nama Allah yang telah populer
dalam kelompok al-Asmâ` al-Husnâ, seperti al-Bâ`its, al-Shabûr,
al-Waliy, al-Wâjid, al-Mu’izz, al-Mudzill, al-Rasyîd, al-Qâbidh, al-
Bâsith, al-Muqaddim, al-Mu`akhkhir, al-Razzâq, dan Dzû al-Jalâl

1 ‘Umar Sulayman al-Asyqar, Al-Asma` Al-Husna, terj. Syamsuddin TU dan


Hasan Suaidi (Jakarta: Qisthi Press, 2004), 11.
2 Al-Asyqar, Al-Asma` al-Husna, 11.
3 M. Qurasih Shihab, “Menyingkap Tabir Ilahi Al-Asma al-Husna dalam Pers-

pektif Al-Qur`an (Jakarta: Lentera Hati, 1998), xlii.


4 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

wa al-Ikrâm.4 Penyajian versi al-Asmâ` al-Husnâ yang didasar-


kan pada ijtihad dan metode pencarian masing-masing ulama
seperti ini merupakan gejala yang biasa di temui di kalangan
ulama karena usaha semacam ini telah dilakukan oleh ulama
klasik sejak dulu.
Di kalangan ulama dan sarjana muslim di Indonesia sen-
diri di samping adanya kesamaan, juga terdapat adanya tren
bahasan yang bervariasi terkait beberapa hal di seputar al-
Asmâ` al-Husnâ. Ada penulis yang cenderung memfungsikan al-
Asmâ` al-Husnâ sebagai wirid, zikir atau bagian dari doa (fungsi
ibadah); ada yang memfungsikannya sebagai media mengenal
Allah baik secara teologis maupun sufistik; ada yang memfung-
sikannya sebagai media membangun karakter (akhlak), dan
ada pula yang memfungsikannya sebagai media mencapai ke-
suksesan bisnis, kesuksesan hidup rumah tangga dan kecaka-
pan hidup. Tren pemikiran semacam ini lebih menonjol di kala-
ngan ulama di Indonesia daripada berusaha mencari dan me-
nyusun versi tersendiri dari nama-nama Allah sebagaimana
yang dilakukan al-Asyqar. Secara umum, versi 99 nama Allah
yang tercantum dalam hadis al-Tirmidzi merupakan versi
populer dan diterima banyak ulama di Indonesia.
Di kalangan ulama Kalimantan, sebagaimana ulama
Nusantara lainnya, juga menjadikan al-Asmâ` al-Husnâ sebagai
objek kajian baik dalam perspektif teologis, sufistik maupun
amaliyah. Di antara ulama Kalimantan yang membahas ini
dalam perspektif tauhid sufistik adalah Syekh Muhammad Nafis
al-Banjari dalam karyanya al-Durr al-Nafîs dan Syekh Abdur-
rahman Shiddiq al-Banjari dalam karyanya ‘Amal Ma’rifah.
Kedua ulama Banjar ini memiliki konsep yang sama mengenai
empat klasifikasi tauhid di mana salah satunya adalah tawhîd
al-Asmâ`. Keduanya memaparkan bahwa semua asmâ` yang

4 Al-Asyqar, Al-Asma` al-Husna, 13-20.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 5

tampak di alam ini hanyalah mazhhar (penampakan) dari


asmâ` Allah. Asmâ` yang terdapat pada makhluk tidaklah hakiki,
sebab yang hakiki hanyalah asmâ` Allah.5 Kedua ulama ini
membahas tawhîd al-Asmâ` menggunakan perspektif tasawuf
yang bercorak teosentris karena titik tekan mereka yang kuat
pada kaidah pengesaan nama-nama Allah. Keduanya belum me-
ngupas mengenai fungsi nama-nama itu dalam pengembangan
kepribadian muslim. Inilah tren dan tipe pemikiran awal ter-
kait al-Asmâ` al-Husnâ di kalangan ulama Banjar yang penga-
ruhnya tetap membekas sampai saat ini. Pada model pemikiran
ini, al-Asmâ` al-Husnâ tidak dijabarkan secara detil satu per
satu, dan konsepnya pun tidak dibahas secara konprehensif
karena memang fokus utamanya tidak pada uraian detil nama-
nama Allah tetapi pada konsep tauhidnya.
Pada pertengahan abad ke-20, pemikiran dan penulisan
di seputar al-Asmâ` al-Husnâ di kalangan ulama Kalimantan
menunjukkan tren baru. Jabaran mengenai al-Asmâ` al-Husnâ
mulai dikemukakan secara khusus. Husin Qadri (w. 1967), ula-
ma karismatik dari Martapura, menampilkan dalam bukunya
Senjata Mukmin nama-nama Allah secara lengkap (99 nama)
beserta dengan makna dan khasiatnya masing-masing. Rentang
kemunculan kitab Senjata Mukmin yang diperkirakan dipubli-
kasikan pada tahun 60-an dengan karya kedua tentang al-
Asmâ` al-Husnâ cukup lama. Setelah lebih tiga puluh tahun,
baru muncul kembali tulisan tentang al-Asmâ` al-Husnâ dari
ulama Kalimantan, yaitu Asma`ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/
Tasawuf (1993) karya Haderanie H.N. (w. 2008) ulama Kali-

5 Lihat bahasan ini pada Muhammad Nafis al-Banjari, “al-Durr al-Nafis”,


versi alih aksara Latin, dalam Tim Sahabat, Manakib Syekh Muhammad Nafis
al-Banjari dan Ajarannya (Kandangan: Tim Sahabat), h. 94-100. Konsep
yang sama dapat pula dilihat pada Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, Risalah
‘Amal Ma’rifah serta Taqrir (Banjarmasin: Toko Buku Mawaddah, t.th.), 26-
31.
6 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

mantan Tengah yang terkenal. Pada dekade awal abad ke-21,


sejumlah ulama Kalimantan terutama dari kalangan ulama
Banjar di Kalimantan Selatan menerbitkan karya mereka me-
ngenai al-Asmâ` al-Husnâ, yaitu M. Zurkani Jahja (w. 2004)
dengan karyanya Asmaul Husna jilid 1-2 (2002) yang kemudian
diterbitkan ulang dalam edisi baru dengan judul 99 Jalan
Mengenal Tuhan (2010), Husin Naparin dengan karyanya
Memahami al-Asma al-Husna (2010) terbit dalam dua jilid kecil
dan Muhammad Bakhiet dengan karyanya Mengenai Al-Asmâ`
Al-Husnâ Jalan Menuju Ma’rifat Allah Swt. (edisi Arab Melayu).
Kemunculan buku-buku ini berada dalam rentang waktu antara
1960-an hingga dekade awal abad ke-21 (2010).
Kehadiran buku-buku yang berisi paparan mengenai al-
Asmâ` al-Husnâ terutama pada dua dekade terakhir (1993-
2010) di kalangan ulama Kalimantan menimbulkan sejumlah
pertanyaan. Mengapa karya semacam ini muncul? Apakah
kemunculan karya-karya ini merupakan bentuk perubahan
dalam penyajian materi akidah yang selama ini didominasi oleh
materi tentang sifat 20? Ataukah kehadiran karya-karya ini
merupakan kelanjutan dari tren pembahasan sufistik terkait al-
Asmâ` al-Husnâ sebagaimana yang telah dilakukan oleh Syekh
Nafis al-Banjari dan Abdurrahman Shiddiq al-Banjari? Ataukah
karya-karya ini hadir tidak terkait dengan persoalan tersebut,
tetapi murni untuk memaparkan al-Asmâ` al-Husnâ semata
yang selama ini tidak banyak ditulis oleh ulama Kalimantan?
Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pemiki-
ran mereka di seputar al-Asmâ` al-Husnâ, seperti masalah pe-
maknaan nama-nama Allah, ism al-A`zham, jumlah nama Allah,
versi daftar nama Allah yang mereka gunakan atau versi daftar
nama Allah yang mereka susun sendiri, interpretasi mereka
tentang kata “ahshâhâ” dalam hadis al-Asmâ` al-Husnâ dan
tren, orientasi atau pendekatan mereka dalam memaparkan al-
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 7

Asmâ` al-Husnâ. Demikian pula, perlu pula dikaji apakah ada


varian pemikiran dalam paparan mereka mengenai al-Asmâ` al-
Husnâ, apa saja persamaan pemikiran mereka dan apa saja
perbedaannya.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas perlu
dilakukan kajian spesifik untuk mengupas pemikiran mengenai
berbagai aspek dari konsep al-Asmâ` al-Husnâ yang terdapat
dalam sejumlah karya intelektual ulama Kalimantan yang telah
diterbitkan dan beredar di kalangan masyarakat Kalimantan.
Kajian tentang pemikiran ulama Kalimantan telah dila-
kukan oleh sejumlah sarjana dan peneliti. Hawash Abdullah
atau H.W. Muhammad Shagir Abdullah dalam karyanya seperti
Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara
(1980) telah mengangkat sejumlah ulama yang ada di kawasan
Kalimantan yang merupakan bagian dari jajaran ulama Nusan-
tara yang berpengaruh, seperti Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Ahmad Khatib
Sambas terkait riwayat hidup, karya intelektual dan pemikiran
ketiganya. Hanya saja buku ini hanya berisi paparan biografi
dan pemikiran kolektif para ulama ini secara umum dan tidak
membahas topik al-Asmâ` al-Husnâ. Selain itu, buku ini hanya
mengemukakan ulama kalimantan yang hidup pada abad ke-18
dan ke-19. Buku berikutnya adalah karya Azyumardi Azra yang
berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusan-
tara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemi-
kiran Islam di Indonesia (1995) mengangkat dua ulama Kali-
mantan, yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh
Muhammad Nafis al-Banjari. Azra hanya membahas aspek
jaringan intelektual keduanya dengan ulama Haramain dan
kontribusi mereka dalam pembaruan Islam di Nusantara
terutama kawasan Kalimantan. Di samping menampilkan
8 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

ulama Banjar (Kalimantan) yang hidup pada abad ke-18 karya


ini tidak berkaitan dengan tema al-Asmâ` al-Husnâ.
Rahmadi dkk. dalam buku Islam Banjar: Dinamika dan
Tipologi Pemikiran Tauhid, Fiqih dan Tasawuf ketika memapar-
kan tentang tipologi pemikiran tauhid ulama Banjar telah
memyinggung tren pemikiran tentang al-Asmâ` al-Husnâ di
kalangan ulama dan sarjana muslim Banjar seperti Muhammad
Nafis al-Banjari, Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, Abuh Abdul
Malik, Husin Qadri, M. Jurkani Jahja, Husin Naparin dan Bahran
Noor Haira dkk.6 Hanya saja buku ini hanya membahas selintas
tentang tren penulisan dan pemikiran tauhid berbasis al-Asmâ`
al-Husnâ dan tentu saja tidak mendalam. Di samping itu
sejumlah ulama yang disebutkan hanya terbatas pada ulama di
wilayah Kalimantan Selatan saja. Perbedaan berikutnya yang
cukup menyolok adalah tulisan ini melibatkan karya intelektual
yang membahas al-Asmâ` al-Husnâ dari salah satu ulama
Banjar karismatik kontemporer yaitu Muhammad Bakhiet yang
pada buku Rahmadi dkk. tidak disinggung sama sekali. Padahal,
karya Muhammad Bakhiet yang berjudul Mengenal al-Asmâ` al-
Husnâ Jalan Menuju Ma’rifat Allah Swt. (edisi Arab-Melayu)
merupakan buku yang tebal dan cukup mendalam membahas
al-Asmâ` al-Husnâ.
Fadli Rahman dalam kajiannya “Tasawuf K.H. Haderanie
H. N.: Sebuah Paradigma Baru Mistisisme Islam di Kalimantan
Tengah” telah membahas pemikiran sufistik Haderani H.N. ten-
tang ma’rifah, mukâsyafah, musyâhadah dan mahabbah. Dalam
bahasannya, Fadli Rahman juga menyinggung masalah fenome-
na pencarian nama Allah selain yang 99 di kalangan masyara-
kat. Haderanie menemukan tiga nama, yaitu Tik Kullah, Kun
Kunung-kunung Kumasalah dan Nur Sari Marimarang yang

6 Baca Rahmadi dkk., Islam Banjar Dinamika dan Tipologi Pemikiran Tauhid,
Fiqih dan Tasawuf (Banjarmasin: Antasari Press, 2012), 43-50.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 9

tentu saja ditolak dan dinilai bidah oleh Haderanie .7 Sebagai-


mana topik kajiannya, Fadli Rahman tidak membahas secara
khusus pemikiran Haderanie seputar al-Asmâ` al-Husnâ. Karya
Haderani yang dikaji hanyalah Ilmu Ketuhanan: Ma’rifah, Muka-
syafah, Musyahadah dan Mahabbah (4M), sementara karya
Haderanie yang membahas secara khusus al-Asmâ` al-Husnâ
yaitu Asma`ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf tampak-
nya tidak dikaji. Selain itu, terlihat bahwa ulama Kalimantan
yang dikaji hanya satu ulama yaitu Haderanie H.N.
Kajian berikutnya, yang melibatkan dua ulama Kaliman-
tan adalah hasil kajian dari M. Adriani Yulizar dan Hamidi
Ilhami: Deskripsi Kitab Senjata Mukmin dan Risalah Doa. Kitab
Senjata Mukmin adalah karya Husin Qadri sedang Risalah Doa
adalah karya Dja’far Sabran. Fokus kajian kedua karya ulama
Kalimantan ini hanya pada deskripsi isi kedua kitab itu secara
keseluruhan dan tidak terfokus pada kandungan al-Asmâ` al-
Husnâ yang ada di dalamnya. Meski dalam kajian ini membahas
juga tentang al-Asmâ` al-Husnâ beserta doanya yang terdapat
dalam kitab Senjata Mukmin dan Ism al-A’zham yang terdapat
pada Risalah Doa,8 namun paparannya hanya berupa deskripsi
singkat sehingga paparannya tidak mendalam. Di samping itu,
kajian ini tidak menyertakan karya Dja’far Sabran yang berju-
dul Miftah Ma’rifat (Kunci Ma’rifat) yang di dalamnya menying-
gung tentang tawhîd al-Asmâ`.
Kajian berikutnya adalah kajian yang berjudul Studi
Komparatif Pemikiran H. Husin Qaderi dan H.M. Zurkani Jahja
tentang Konsep al-Asma` al-Husna yang Menunjukkan Perbua-

7 Fadli Rahman, “Tasawuf K.H. Haderanie H. N.: Sebuah Paradigma Baru


Mistisisme Islam di Kalimantan Tengah”, Jurnal Studi Agama dan Masya-
rakat, Vol. I, No. 1 (Juni 2004), 15-17.
8 Lihat M. Adriani Yulizar dan Hamidi Ilhami, “Deskripsi Kitab Senjata

Mukmin dan Risalah Doa”, Al-Banjari Jurnal Ilmu-ilmi Keislaman, Vol. 13 No.
1 (Januari-Juni 2014), 79 dan 91-92.
10 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

tan Allah (2014) oleh Nor Ainah. Kajian ini membandingkan


dua ulama yaitu Husin Qadri dan M. Zurkani Jahja tentang al-
Asmâ` al-Husnâ yang menunjukkan perbuatan Allah. Ini berarti
bahwa pada kajian ini nama-nama yang dikaji secara spesifik
hanya pada nama-nama yang diklasifikasikan berkaitan dengan
perbuatan Allah.9 Dengan demikian kajian ini sebenarnya me-
miliki cakupan masalah yang lebih terbatas dan jumlah ulama
yang lebih terbatas pula jika dibanding dengan apa yang akan
dituangkan dalam tulisan ini.
Dari beberapa studi atau kajian di atas, tidak satu pun
yang menunjukkan adanya kajian terkait al-Asmâ` al-Husnâ
secara khusus dari pemikiran kolektif beberapa ulama Kali-
mantan (Husin Qadri, Dja`far Sabran, Haderanie H.N., M.
Jurkani Jahja, Husin Naparin dan Muhammad Bakhiet) sebagai-
mana yang akan dipaparkan dalam buku ini. Inilah yang mem-
bedakan buku ini dengan kajian-kajian sebelumnya yang telah
dilakukan.
Sumber atau referensi yang akan digunakan untuk me-
nulis pemikiran ulama Kalimantan tentang al-Asmâ` al-Husnâ
adalah: (1) Senjata Mukmin (2) Miftah-Ma’rifah (Kunci Ma’ri-
fat), (3) Asma`ul Husna: Sumber Ajaran Tauhid/Tasauf, (4) 99
Jalan Mengenal Tuhan, (5) Memahami al-Asma al-Husna (bagian
1 dan 2), dan (6) Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ Jalan Menuju
Ma’rifat Allah Swt. Selain keenam buku ini, digunakan pula
buku Risalah Doa yang berisi paparan singkat Dja’far Sabran
mengenai Ism al-A’zham dan Permata yang Indah yang memuat
penjelasan Haderanie tentang konsep tawhîd al-Asmâ` Syekh
Muhammad Nafis al-Banjari.

9 Nor Ainah dan Zainal Abidin, “Studi Komparatif Pemikiran H. Husin Qaderi
dan H. M. Zurkani Jahja tentang Konsep al Asma al-Husna yang Menunjuk-
kan Perbuatan Allah,” Jurnal Studia Insania, Vol. 2 No. 2 (Oktober 2014),
159-163.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 11

BAB II

KONSEP AL-ASMÂ` AL-HUSNÂ

A. Definisi Al-Asmâ` Al-Husnâ

Menurut Quraish Shihab, kata al-asmâ` merupakan bentuk


jamak dari kata al-ism yang berarti “nama”. Al-ism sendiri berakar
pada kata assumu yang berarti ketinggian atau assimah yang berarti
“tanda”. Ini berarti bahwa nama merupakan tanda bagi sesuatu dan
harus dijunjung tinggi. Kata al-husnâ merupakan bentuk muannats
(feminin) dari kata ahsan yang berarti “terbaik”. Penyifatan al-asmâ`
(nama-nama Allah) dengan al-husnâ (terbaik) menunjukkan bahwa
nama-nama tersebut bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik diban-
dingkan dengan yang baik lainnya. Kata al-husnâ di sini menunjuk-
kan bahwa nama-nama Allah adalah nama-nama yang amat sempur-
na, tidak tercemar oleh kekurangan sedikitpun.1

B. Dalil Normatif Mengenai Al-Asmâ` Al-Husnâ

Dalam Alquran ditemukan empat ayat Alquran yang berbi-


cara tentang al-Asmâ` al-Husnâ, yaitu:

1 M. Quraish Shihab, “Menyingkap” Tabir Ilahi Asma al-Husna dalam


Perspektif Al-Qur`an (Jakarta: Lentera Hati, 1999), xxxvi.
12 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

1. Q.S. al-A’râf/7:180

             

    

180. hanya milik Allah asmâ` al-husnâ, maka bermohonlah


kepada-Nya dengan menyebut asmâ`al-husnâ itu dan tinggal-
kanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat
Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

2. Q.S. al-Isrâ`/17: 110

               

          

110. Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Al-Rahmân.


dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-
asmâ al-husnâ (nama-nama yang terbaik) dan janganlah
kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah
pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara
kedua itu".

3. Q.S. Thâhâ/20: 8

          

8. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)


melainkan Dia. Dia mempunyai Al-asmâ al-husnâ (nama-
nama yang baik),
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 13

4. Q.S. al-Hasyr/59: 24

               

       

24. Dialah Allah yang menciptakan, yang Mengadakan, yang


membentuk rupa, yang mempunyai Asmâ` al-Husnâ. Bertas-
bih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Sementara hadis Nabi yang berisi paparan mengenai al-


Asmâ` al-Husnâ di antaranya adalah hadis al-Tirmidzi yang berisi
daftar nama Allah yang paling populer, hadis tersebut adalah:

‫ان هلل تعاىل تسعة وتسعَني إمسا مائة غري واد م اداااا خل انجةة ا اذى ا إذ إ ا‬
‫ا اذرمح اذرديم املاذك اذق وس اذسالم املؤم املهيم اذعزيز انجبار املتكرب اخلاذق اذبارئ املا ر‬
‫اذغفار اذقهار اذ ااب اذرزاق اذفتاح اذعليم اذقابض اذباسط اخلافض اذرافع املعز املىل اذسميع اذباري‬
‫احلكم اذع ل اذطيف اخلبري احلليم اذعظيم اذغف ر اذشك ر اذعلي اذكبري احلفيظ املقيت احلسيب انجلي‬
‫اذكرمي اذرقيب اجمليب اذ اسع احلكيم اذ خوخ اجملي اذباعث اذشهي احلق اذ كي اذق ي املتني اذ يل‬
‫احلمي احملاي املب ئ املعي احملي املميت احلي اذقي م اذ اج املاج اذ اد اذام اذقاخر املقت ر‬
‫املق م املؤلر األول األلر اذظاار اذباط اذ ايل املتعايل اذرب اذت اب املةتقم اذعف اذرئ ف ماذك امللك‬
‫ذوانجالل واإلكرام املقسط انجامع اذغين املغين املانع اذضار اذةافع اذة ر اهلاخي اذب يع اذباقى اذ ارث‬
.‫اذرشي اذاب ر‬

C. Beberapa Kaidah Terkait Al-Asmâ` Al-Husnâ

Muhammad ibn Shâlih Utsaymin dalam Qawâ`id al-Mutslâ


mengemukakan beberapa kaidah dalam memahami al-Asmâ` al-
Husnâ. Ada tujuh kaidah yang ia kemukakan.
Kaidah pertama, semua nama-nama Allah adalah husnâ yang
bermakna “mencapai puncak kebaikannya”, karena mengandung
sifat sempurna yang tidak memiliki kekurangan dan keterbatasan
14 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

dari segi manapun. Nama-nama Allah telah sempurna ketika diung-


kapkan secara tunggal, dan jika satu nama digabung atau disanding-
kan dengan nama Allah yang lain maka tingkat kesempurnaannya
semakin tinggi.
Kaidah kedua, nama-nama Allah merupakan tanda-tanda jati
diri (al-a’lâm) Allah dan merupakan sifat-sifat (awshâf). Nama-nama
itu sama-sama yang merupakan tanda jati diri itu merujuk pada satu
yang dinamai yaitu Allah ‘Azza wa Jalla, sedang sifat-sifat menunjuk-
kan bahwa masing-masing nama memiliki makna yang khusus yang
berbeda dengan nama Allah yang lain. Misalnya, al-‘Alîm dan al-Hayy
semuanya merujuk pada Allah sebagai pemilik nama, tetapi makna
nama al-‘Alîm bukan makna dan tidak sama maknanya dengan al-
Hayy.
Kaidah ketiga, nama-nama Allah jika merupakan bentuk kata
sifat yang muta`addi (memerlukan objek), mengandung tiga perkara,
yaitu (1) nama itu ditetapkan sebagai nama bagi Allah, (2) kandu-
ngan sifat itu ditetapkan bagi Allah, dan (3) ketetapan hukum dan
perkaranya. Misalnya nama al-Samî’ mengandung tiga perkara, yaitu
nama itu ditetapkan sebagai nama Allah, nama al-Samî’ ditetapkan
sebagai sifat Allah, dan ditetapkan hukum dan perkaranya (terkait
objek), bahwa Allah mendengar rahasia dan bisikan tersembunyi.
Jika nama itu terkait sifat yang ghayr muta`addi (tidak memerlukan
objek) maka hanya terkait dua perkara saja, yaitu (1) nama itu dite-
tapkan sebagai nama Allah, dan (2) kandungan sifat itu ditetapkan
sebagai sifat Allah. Misalnya, nama al-Hayy, nama ini ditetapkan
sebagai nama Allah dan al-Hayat (hidup) ditetapkan sebagai sifat
Allah.
Kaidah keempat, petunjuk nama-nama Allah berkenaan de-
ngan Zat dan Sifat-Nya terdiri dari kelayakan (muthâbaqah), kandu-
ngan (tadhammun) dan konsekuensi (iltizâm). Misalnya, nama al-
Khâliq merujuk pada Zat Allah yang memiliki sifat mencipta pada
aspek muthâbaqah; menunjukkan hanya pada zat-Nya dan sifat men-
ciptanya secara substansi (tadhammun); dan menunjukkan adanya
sifat ‘Ilmu (mengetahui) dan Qudrat (kuasa) pada sisi konsekuensi
(iltizâm).
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 15

Kaidah kelima, nama-nama Allah bersifat tawqîfiyyah, akal


tidak memiliki ruang untuk menetapkan nama Allah. Pada aspek ini
wajib untuk berpijak pada Alquran dan sunnah saja. Jangan ditambah
dan jangan pula dikurangi, karena akal tidak dapat mencapai apa
yang sebenarnya benar terkait nama Allah. Untuk itu wajib hanya
berpegang pada nash yang ada. Menamai Allah dengan nama yang
Allah sendiri tidak menamai diri-Nya dengan nama itu atau menging-
kari nama yang Allah sendiri telah menamai diri-Nya dengan itu,
maka ini merupakan kejahatan (jinâyah) terkait hak Allah.
Kaidah keenam, Nama Allah tidak terbatas pada jumlah ter-
tentu, yakni nama Allah tidak terbatas pada 99 nama. Kaidah ketujuh,
penyimpangan terkait nama-nama Allah ada beberapa macam, yaitu
(1) mengingkari ketetapan dan sifat-sifat yang layak bagi Allah, (2)
menjadikan nama itu serupa (tasyabbuh) dengan sifat makhluk, (3)
menamai Allah dengan nama yang Allah sendiri tidak menamai diri-
Nya dengan nama itu, seperti nama al-Ab (Bapak) sebagaimana yang
dilakukan oleh kaum Nasrani.

D. Jumlah dan Varian Versi Al-Asmâ` Al-Husnâ

Menurut Muhammad ibn Shalih Utsaymin dalam Qawâ`id al-


Mutslâ, sebagai,ama yang dikemukakannya pada kaidah keenam,
bahwa al-Asmâ` al-Husnâ tidak terbatas pada jumlah atau bilangan
tertentu. Hadis yang menyatakan bahwa al-Asmâ` al-Husnâ itu ber-
jumlah 99 nama tidak menunjukkan bahwa nama Allah terbatas pada
jumlah itu. Pernyataan seperti ini menurut Utsaymin seperti orang
yang berkata: “Aku memiliki 100 dirham untuk disedekahkan”. Per-
nyataan ini tidak menafikan bahwa Anda memiliki dirham yang lain
yang tidak termasuk untuk disedekahkan.2
Quraish Shihab juga memaparkan bahwa kalangan ulama me-
miliki jumlah daftar nama yang berbeda-beda. Di antaranya al-
Thabathabai dalam Tafsîr al-Mîzân menyebutkan 127 nama, Ibnu
Barjam al-Andalusi menghimpun 132 nama, al-Qurthubi menyebut
200 nama (termasuk nama yang diperselisihkan), bahkan Abu Bakar

2 Al-‘Utsaymin, Qawâ`id al-Mutsla, 20-21.


16 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Ibnu Arabiy menyebutkan bahwa sebagian ulama telah menghimpun


nama-nama Allah dari Alquran dan Sunnah sebanyak 1000 nama. 3
Said al-Qahtani menyatakan bahwa al-Asmâ` al-Husnâ itu
tidak terbatas, tidak dibatasi oleh bilangan tertentu. Allah memiliki
nama dan sifat yang Ia rahasiakan sehingga tidak seorang pun yang
mengetahuinya. Menurut al-Qahtani, Allah membagi nama-nama-Nya
menjadi tiga bagian. Bagian pertama, nama yang Ia pergunakan
untuk menamai diri-Nya sendiri. Nama ini diungkapkan kepada siapa
yang Ia kehendaki saja. Nama-nama ini tidak tercantum dalam kitab-
Nya. Bagian kedua, nama-nama yang Ia turunkan dalam kitab-Nya
untuk memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Bagian
ketiga, nama-nama yang Ia rahasiakan di alam gaib, sehingga tidak
ada satu makhlukpun yang mengetahuinya.4
Daftar al-Asmâ` al-Husnâ versi Sayyid Sabiq yang dikemuka-
kannya dalam al-‘Aqâ`id al-Islâmiyyah adalah versi hadis al-Tirmidzi
dari Abu Hurairah. Versi ini merupakan versi populer dan banyak
digunakan di Indonesia. Daftar nama Allah pada versi ini adalah: 1)
Allâh, 2) Al-Rahmân, 3) Al-Rahîm, 4) Al-Malik, 5) Al-Quddûs, 6) Al-
Salâm, 7) Al-Mu`min, 8) Al-Muhaymin, 9) Al-‘Azîz, 10) Al-Jabbâr, 11)
Al-Mutakabbir, 12) Al-Khâliq, 13) Al-Bâri`, 14) Al-Mushawwir, 15) Al-
Ghaffâr, 16) Al-Qahhâr, 17) Al-Wahhâb, 18) Al-Razzâq, 19) Al-Fattâh,
20) Al-‘Alîm, 21) Al-Qâbidh, 22) Al-Bâsith, 23) Al-Khâfidh, 24) Al-
Râfi’, 25) Al-Mu’izz, 26) Al-Mudzill, 27) Al-Sâmi’, 28) Al-Bashîr, 29)
Al-Hakam, 30) Al-‘Adl, 31) Al-Lathîf, 32) Al-Khabîr, 33) Al-Halîm, 34)
Al-‘Azhîm, 35) Al-Ghafûr, 36) Al-Syakûr, 37) Al-‘Aliy, 38) Al-Kabîr,
39) Al-Hafîzh, 40) Al-Muqît, 41) Al-Hasîb, 42) Al-Jalîl, 43) Al-Karîm,
44) Al-Raqîb, 45) Al-Mujîb, 46) Al-Wâsi’, 47) Al-Hakîm, 48) Al-
Wadûd, 49) Al-Majîd, 50) Al-Bâ’its, 51) Al-Syahîd, 52) Al-Haqq, 53)
Al-Wakîl, 54) Al-Qawiyy, 55) Al-Matîn, 56) Al-Waliy, 57) Al-Hamîd,
58) Al-Muhshiy, 59) Al-Mubdi`, 60) Al-Mu‘îd, 61) Al-Muhyi, 62) Al-
Mumît, 63) Al-Hayy, 64) Al-Qayyûm, 65) Al-Wâjid, 66) Al-Mâjid, 67)
Al-Wâhid, 68) Al-Shamad, 69) Al-Qâdir, 70) Al-Muqtadir, 71) Al-
Muqaddim, 72) Al-Mu`akhkhir, 73) Al-Awwal, 74) Al-Âkhir, 75) Al-

3 Quraish Shihab, “Menyingkap” Tabir Ilahi, xlii.


4 Said al-Qahtani, Penjelasan Asmaul Husna, 129-130.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 17

Zhâhir, 76) Al-Bâthin, 77) Al-Wâliy, 78) Al-Muta‘âl(iy), 79) Al-Barr,


80) Al-Tawwâb, 81) Al-Muntaqim, 82) Al-‘Afuww, 83) Al-Ra`ûf, 84)
Mâlik al-Mulk, 85) Dzû al-Jalâl wa al-Ikrâm, 86) Al-Muqsith, 87) Al-
Jâmi’, 88) Al-Ghaniyy, 89) Al-Mughniy, 90) Al-Mâni’, 91) Al-Dhârr, 92)
Al-Nâfi’, 93) Al-Nûr, 94) Al-Hâdiy, 95) Al-Badî’, 96) Al-Bâqiy, 97) Al-
Wârits, 98) Al-Rasyîd, dan 99) Al-Shabûr.5
Daftar al-Asmâ` al-Husnâ versi al-‘Utsaymin yang dikemuka-
kannya dalam Qawâ`id al-Mutslâ merupakan nama-nama Allah yang
diambil dari Alquran dan hadis. Versi nama yang diambil dari
Alquran adalah:

Allâh al-Ahad al-‘Alâ al-Akram al-Ilâh


Al-Awwal al-Âkhir al-Zhâhir al-Bâthin al-Bâri`
Al-Barr al-Bashîr al-Tawwâb al-Jabbâr al-Hâfizh
Al-Hasîb al-Hafîzh al-Hafiy al-Haqq al-Mubîn
Al-Hakîm al-Halîm al-Hamîd al-Hayy al-Qayyûm
Al-Khabîr al-Khâliq al-Khallâq al-Ra`ûf al-Rahmân
Al-Rahîm al-Razzâq al-Raqîb al-Salâm al-Samî’
Al-Syâkir al-Syakûr al-Syahîd al-Shamad al-‘Âlim
Al-‘Azîz al-‘Azhîm al-‘Alîm al-‘Aliy al-Ghaffâr
Al-Ghafûr al-Ghaniyy al-Fattâh al-Qâdir al-Qâhir
Al-Quddûs al-Qadîr al-Qarîb al-Qawiyy al-Qahhâr
Al-Kabîr al-Karîm al-Lathîf al-Mu`min al-Muta‘âl
Al-Mutakabbir al-Matîn al-Mujîb al-Majîd al-Muhîth
Al-Mushawwir al-Muqtadir al-Muqît al-Mâlik al-Malîk
Al-Mawla al-Muhaymin al-Nashîr al-Wâhid al-Wârits
Al-Wâsi’ al-Wadûd al-Wakîl al-Waliyy al-Wahhâb
Al-‘Afuww

Nama Allah yang diambil dari hadis Nabi: al-Jamîl, al-Jawwâd,


al-Hakam, al-Hayiy, al-Rabb, al-Rafîq, al-Subbûh, al-Sayyid, al-Syâfiy,
al-Thayyib, al-Qâbidh, al-Bâsith, al-Muqaddim, al-Mu`akhkhir, al-
Muhsin, al-Mu‘thiy, al-Mannân, dan al-Witr.6
Daftar al-Asmâ` al-Husnâ versi ‘Umar Sulayman al-Asqar, ada-
lah sebagai berikut: (1.Allâh), (2. al-Rahmân dan 3. Al-Rahîm), (4.

5 Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, terj. Ali Mahmudi (Jakarta: Robbani Press,
2006), 29-37.
6 Al-‘Utsaymin, Qawâ`id al-Mutslâ, 22-24.
18 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Rabb al-‘âlamîn), (5. Al-Malik, 6. Mâlik al-Mulk dan 7. Al-Malîk), (8.


Al-Quddûs), (9. Al-Salâm), (10. Al-Mu`min), (11. Al-Muhaymin), (12.
Al-‘Azîz), (13. Al-Jabbâr), (14. Al-Mutakabbir), (15. Al-Khâliq, 16. al-
Khallâq, (17. al-Bâri` dan 18. al-Fâthir), (19. Al-Mushawwir), (20. al-
Ghâfir, 21. al-Ghafûr, dan 22. al-Ghaffâr), (23. Al-Qâhir, 24. Al-
Qahhâr), (25. Al-Wahhâb), (26. Al-Razzâq), (27. Al-Fattâh), (28. Al-
‘Âlim, 29. al-‘Alîm, 30. Al-‘Allâm), (31. Al-Samî’, 32. Al-Bashîr), (33. Al-
Hakîm, 34. Al-Hakam), (35. Al-Lathîf), (36. Al-Khabîr), (37. Al-Halîm),
(38. Al-‘Azhîm), (39. Al-Syâkir, 40. Al-Syakûr), (41. ‘Aliy, 42. Al-A’lâ,
43. Al-Muta‘âliy), (44. Al-Kabîr), (45. Al-Hâfizh, 46. Al-Hafîzh), (47. Al-
Muqît), (48. Al-Hasîb), (49. Al-Karîm, 50. Al-Akram), (51. Al-Raqîb),
(52. Al-Qarîb, 53. Al-Mujîb), (54. Al-Wâsi’), (55. Al-Wadûd), (56. Al-
Majîd), (57. Al-Syahîd), (58. Al-Haqq), (59. Al-Mubîn), (60. Al-
Muhîth), (61. Al-Wakîl), (62. Al-Qawiyy), (63. al-Matîn), (64. Al-
Waliyy, 65. Al-Mawla), (66. Al-Hamîd), (67. Al-Muhyi), (68. Al-Hayy,
69. Al-Qayyûm), (70. Al-Wâhid, 71. al-Ahad), (72. Al-Shamad), (73. Al-
Qadîr, 74. Al-Qâdir, 75. Al-Muqtadir), (76. Al-Awwal, 77. Al-Âkhir, 78.
Al-Zhâhir, 79. Al-Bâthin), (80. Al-Barr), (81. Al-Tawwâb), (82. Al-
‘Afuww), (83. Al-Ra`ûf), (84. Al-Ghaniyy), (85. Nûr al-Samâwât wa al-
Ardh), (86. Al-Hâdiy), (87. Badî’ al-Samâwât wa al-Ardh), (88. Al-
Nashîr), (89. Al-Wârits), (90. Al-Shâdiq), (91. Al-Jâmi’), (92. Al-Kâfiy),
(93. Al-Musta‘ân), (94. Al-Mannân), (95. Al-Dayyân), (96. Al-Syâfiy),
(97. Al-Muhsin), (98. Al-Mu‘thiy) dan (99. Al-Subbûh).7
Selain nama-nama di atas, Umar Sulaiman al-Asyqar juga me-
ngemukakan 21 nama yang dapat diperhitungkan sebagai bagian
dari al-Asmâ` al-Husnâ. Dua puluh satu nama ini masih bersifat
kemungkinan. Umar al-Asyqar sendiri tidak memasukkannya dalam
daftarnya tetapi ia merekomendasikan nama-nama ini bagi mereka
yang memiliki daftar yang berbeda dengannya atau bagi mereka yang
memiliki daftar nama yang tidak terbatas pada 99 nama saja.
Nama-nama yang mungkin bagian dari al-Asmâ` al-Husnâ
sebagaimana yang dikemukakan oleh Umar al-Asyqar adalah: (1. al-

7 Lihat detil uraian nama-nama ini pada: Umar Sulaiman al-Asyqar, al-Asma`
al-Husna, terj. Syamsuddin TU dan Hasan Suaidi (Jakarta: Qisthi Press,
2004), 21-330.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 19

Jalîl), (2. Al-A‘azz, 3. Al-Mu‘izz, 4. Al-Mudzill), (5. Al-Khâfidh, 6. Al-


Râfi’), (7. Al-Muqaddim, 8. Al-Mu`akhkhir), (9. Al-Qâbidh, 10. Al-
Bâsith, 11. Al-Razzâq), (12. Al-Hayiy, 13. Al-Satîr), (14. Al-Jamîl), (15.
Al-Thayyib, 16. Al-Jawwâd, 17. Al-Mâjid), (18. Al-Rafîq), (19. Al-Witr),
dan (20. Al-Sayyid).8
Berikutnya adalah daftar nama–nama Allah yang dikemu-
kakan oleh Sa’id al-Qahtani. Daftar yang disusunnya dan pilihan
nama yang dikemukakan berbeda dengan beberapa daftar sebelum-
nya. Daftar nama-nama Allah yang terdapat dalam daftarnya adalah
sebagai berikut.
1. Allâh, 2. Al-‘Aliyy, 3. Al-Kabîr, 4. Al-Hamîd, 5. Al-Qawiyy, 6.
Al-‘Afuww, 7. Al-Syahîd, 8. Al-Wadûd, 9. Al-Qâhir, 10. Al-Hakam, 11.
Al-Rahmân, 12. Al-Fattâh, 13. Nûr al-Samâwât wa al-Ardh, 14. Al-
Wâhid, 15. Al-Bâri`, 16. Al-Muqît, 17. Al-Kâfiy, 18. Al-Hayiy, 19. Al-
Mu‘thiy, 20. Al-Waliyy, 21. Al-Awwal, 22. Al-A’lâ, 23. Al-Samî’, 24. Al-
‘Azîz, 25. Al-Matîn, 26. Al-Ghafûr, 27. Al-Hafîzh, 28. Al-Syâkir, 29. Al-
Qahhâr, 30. Al-Quddûs, 31. Al-Rahîm, 32. Al-Razzâq, 33. Al-Rabb, 34.
Al-Ahad, 35. Al-Mushawwir, 36. Al-Wakîl, 37. Al-Wâsi’, 38. Al-Sittîr,
39. Al-Muqaddim, 40. Al-Mawla, 41. Al-Âkhir, 42. Al-Muta‘âliy, 43. Al-
Bashîr, 44. Al-Qadîr, 45. Al-Ghaniyy, 46. Al-Ghaffâr, 47. Al-Lathîf, 48.
Al-Syakûr, 49. Al-Jabbâr, 50. Al-Salâm, 51. Al-Karîm, 52. Al-Razzâq,
53. Al-Malik, 54. Al-Mutakabbir, 55. Al-Mu`min, 56. Dzû al-Jalâl wa al-
Ikrâm, 57. Al-Haqq, 58. Al-Ilâh, 59. Al-Mu`akhkhir, 60. Al-Nashîr, 61.
Al-Zhâhir, 62. Al-‘Azhîm, 63. Al-‘Alîm, 64. Al-Qâdir, 65. Al-Hakîm, 66.
Al-Tawwâb, 67. Al-Qarîb, 68. Al-Sayyid, 69. Al-Hasîb, 70. Al-Barr, 71.
Al-Akram, 72. Al-Hayy, 73. Al-Malîk, 74. Al-Khâliq, 75. Al-Muhaymin,
76. Jâmi’ al-Nâs, 77. Al-Jamî’a, 78. Al-Qâbidh, 79. Al-Mubîn, 80. Al-
Syâfiy, 81. Al-Bâthin, 82. Al-Majîd, 83. Al-Khabîr, 84. Al-Muqtadir, 85.
Al-Hâlim, 86. Al-Raqîb, 87. Al-Mujîb, 88. Al-Shamad, 89. Al-Hâdiy, 90.
Al-Wahhâb, 91. Al-Ra`ûf, 92. Al-Qayyûm, 93. Mâlik al-Mulk, 94. Al-

8 Lihat detil uraian nama-nama ini pada: Umar Sulaiman al-Asyqar, al-Asma`
al-Husna, 332-349.
20 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Khallâq, 95. Al-Muhîth, 96. Badî’ al-Samâwât wa al-Ardh, 97. Al-Rafîq,


98. Al-Bâsith, 99. Al-Mannân.9
Nama-nama Allah sebagaimana terlihat pada daftar di atas,
ada yang disajikan secara tunggal atau sendirian (mufrad), ada pula
yang disajikan secara berdampingan dengan nama lainnya (muqta-
ran bi ghayrih) dan ada pula yang disajikan dengan menyanding-
kannnya dengan kebalikannya (maqtûran bi muqâbilih). Pada umum-
nya, menurut al-Qahtani, nama-nama itu disebut secara tunggal.
Tetapi ada beberapa nama yang tidak boleh disebut sendirian tanpa
digandengkan dengan antonimnya (kebalikannya). Nama-nama se-
perti al-Mâni’ (Yang Menolak/Mencegah), al-Dhârr (Yang Memberi
Mudarat) dan al-Muntaqim (Yang Memberi Siksa), menurut al-
Qahtani, termasuk nama-nama yang tidak boleh disebut sendirian.
Nama-nama ini harus disandingkan dengan nama-nama yang memi-
liki makna kebalikannya. Karena itu, nama al-Mâni’ harus disanding
dengan nama al-Mu‘thiy (Yang Pemberi) sehingga menjadi al-Mu‘thiy
al-Mâni’. Nama al-Dhâr harus disandingkan penyebutannya dengan
nama al-Nâfi’ (Yang Memberi Manfaat) sehingga menjadi al-Dhârr al-
Nâfi’. Nama al-Muntaqim harus disanding dengan nama al-‘Afuww
sehingga menjadi al-Muntaqim al-‘Afuww. Demikian juga dengan
nama al-Mudzill disanding dengan al-Mu‘izz, sehingga menjadi al-
Mu‘izz al-Mudzill.10
Dalam perspektif Utsaymin semua nama yang disebut secara
sendirian semuanya mengandung makna baik dan bagus (al-hasan).
Jika satu nama digabungkan dengan nama yang lain maka gabungan
itu akan menghasilkan makna sempurna di atas sempurna (kamâl
fawqa kamâl). Penggabungan nama-nama banyak ditemukan dalam

9 Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahtani, Penjelasan Asma`ul Husna Menurut Al-
Qur`an dan As-Sunnah, terj. (Yogyakarta: Absolut, 2003), 423-433. Lihat
pada indeks Asmaul Husna. Pada saat menyajikan penjelasan al -Asmâ` al-
Husnâ, Sa`id al-Qahtani tidak mengikuti urutan daftar indeks ini, tetapi
menggunakan urutan nama yang berbeda. Pada bagian penjelasan nama-
nama itu ia mulai dari nama al-Awwal, al-Âkhir, al-Zhâhir dan al-Bâthin
(langsung menyajikan empat nama secara berdampingan dan bersamaan)
hingga diakhiri dengan nama al-Syâfiy. Lihat penjelasan detil nama-nama itu
pada halaman 133-394.
10 Sa’id al-Qahtani, Penjelasan Asma`ul Husna, 56-57.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 21

Alquran. Misalnya, al-‘Azîz al-Hakîm. Dalam nama al-‘Azîz mengan-


dung keperkasaan (al-‘izzah), dalam nama al-Hakîm mengandung
unsur kemampuan memutuskan hukum (hakam) dan mengandung
kebijakan (hikmah). Penggabungan keduanya menunjukkan kesem-
purnaan nama yang lain. Yaitu, keperkasaan Allah disertai dengan
hikmah. Keperkasaan dan kuasa-Nya tidak akan menyebabkan terja-
dinya kezaliman dan tindakan buruk. Demikian pula ketetapan
(hakam) dan kebijaksanaan (hikmah) Allah disertai dengan kekuatan
(al-‘izz) yang sempurna.11
Selain penyajian nama secara tunggal atau berdampingan, di
kalangan ulama ada pula yang melakukan kategorisasi nama-nama
Allah dalam kelompok nama tertentu. Sayyid Sabiq dalam bukunya
‘al-‘Aqâ`id al-Islamiyyah mengemukakan pengelompokan nama Allah
sebagaimana dikutipnya dari buku al-Dîn al-Islâmiy sebagai berikut:
Pertama, nama-nama Allah yang berhubungan dengan zat
Allah, yaitu al-Wâhid, al-Ahad, al-Haqq, al-Quddûs, al-Shamad, al-
Ghaniy, al-Awwal, al-Âkhir, dan al-Qayyûm. Kedua, nama-nama yang
berhubungan dengan penciptaan, yaitu al-Khâliq, al-Bari`, al-Mus-
hawwir, dan al-Badî’, Ketiga, nama-nama yang berkaitan dengan sifat
cinta dan kasih sayang selain lafazh Rabb, Rahmân, dan Rahîm, yaitu:
al-Ra`ûf, al-Wadûd, al-Lathîf, al-Halîm, al-Afuww, al-Syakûr, al-
Mu`min, al-Barr, Rafî’ al-Darajât, al-Razzâq, al-Wahhâb, dan al-Wâsi’.
Keempat, nama-nama yang berhubungan dengan keagungan dan
kemuliaan Allah, yaitu al-‘Azhîm, al-‘Azîz, al-‘Aliy, al-Muta’âliy, al-
Qawiyy, al-Qahhâr, al-Jabbâr, al-Mutakabiir, al-Kabîr, al-Karîm, al-
Hamîd, al-Mâjid, al-Matîn, al-Zhâhir, dan Dzû al-Jalâl wa al-Ikrâm.
Kelima, nama-nama yang berhubungan dengan ilmu Allah, yaitu al-
‘Alîm, al-Hakîm, al-Sâmi’, al-Khabîr, al-Ghâfir, al-Syahîd, al-Raqîb, al-
Bâthin, dan al-Muhaymin. Keenam, nama-nama yang berhubungan
dengan kekuasaan Allah dan pengaturan-Nya terhadap segala sesua-
tu, yaitu al-Qâdir, al-Wakîl, al-Waliyy, al-Hafîzh, al-Malik, al-Mâlik, al-
Fattâh, al-Hasîb, al-Muntaqim, dan al-Muqît. Ketujuh, ada nama-nama
lain yang tidak disebutkan dengan tegas dalam Alquran al-Karim,
akan tetapi diambil perbuatan-perbuatan atau sifat-sifat bagi Allah

11 Al-‘Utsaymin, al-Qawâ`id al-Mutslâ, 12-13.


22 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

yang tercantum dalam Alquran, yaitu: al-Qâbidh, al-Bâsith, al-Râfi’, al-


Mu’izz, al-Mudzill, al-Mujîb, al-Bâ’its, al-Muhshiy, al-Mubdi’. Al-Mu’îd,
al-Muhyi, al-Mumît, Malik al-Mulk, al-Jâmi’, al-Mughniy, al-Mu’thiy, al-
Hâdiy, al-Bâqiy, dan al-Wârits. Kedelapan, adapula nama-nama lain
bagi Allah yang diambil dari pengertian-pengertian yang terdapat
dalam Alquran, yaitu al-Nûr, al-Shâbir, al-Rasyîd, al-Muqsith, al-
Waliyy, al-Jalîl, al-‘Adl, al-Khafîdh, al-Wâjid, al-Muqaddim, al-Mu`akh-
khir, al-Dârr, dan al-Nâfi’.12

E. Ism al-A’zham

Menuru Sayyid Sabiq, selain memiliki al-Asmâ` al-Husnâ,


Allah juga memiliki Ism al-A’zham (nama Allah teragung) di antara
nama-nama tersebut. Jika berdoa dengan menggunakan nama itu
maka doa akan dikabulkan, atau jika meminta dengan nama tersebut
maka permintaan itu akan diperkenankan. Ulama berselisih penda-
pat dalam menentukan nama Allah teragung itu. Pendapat paling
kuat menurut Sayyid Sabiq adalah bahwa nama tersebut tersusun
dari beberapa nama Allah, yang apabila dipergunakan untuk berdoa
untuk berdoa dengan memenuhi syarat-syarat doa yang diperintah-
kan oleh syariat maka Allah akan memperkenankannya. Nama ini
menurut Sabiq bukanlah suatu rahasia dari berbagai rahasia yang
diberikan Allah kepada orang-orang tertentu yang dengan nama itu
lalu orang dapat melakukan keajaiban. Pandangan seperti ini menu-
rut Sabiq tidak keterangannya dalam Alquran dan sunnah Rasul.13

F. Makna Ahshâhâ (ihshâ`)

Sa`id al-Qahtani, makna ihshâ` itu memiliki tiga tingkatan.


Tingkatan pertama, meng-ihsha` lafazh-lafazhnya dan bilangannya.
Tingkatan kedua, memahami makna-makna dan kandungannya.

12 Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, 37-40.


13 Di sini Sayyid Sabiq mengemukakan beberapa versi kalimat dari bebeapa
hadis yang disebut sebagai ism al-A’zham. Lihat Sayyid Sabiq, Aqidah
Islamiyah, 41-44.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 23

Tingkatan ketiga, menggunakannya ketika berdoa. 14 Senada dengan


Sa’id al-Qahtani, al-Muhammad al-‘Utsaymin dalam Qawâ`id al-
Mutslâ bahwa makna al-Ahshâhâ memiliki tiga tingkatan makna,
yaitu (1) menghafalnya secara harfiah (lafazh), (2) memahami mak-
nanya, dan (3) beribadah kepada Allah dengan menggunakan al-
Asmâ al-Husnâ.15
Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawzi, makna ihsha` memiliki bebe-
rapa tingkatan, Tingkatan pertama, meng-ihsha` lafal dan jumlahnya.
Tingkatan kedua, memahami makna dan dalilnya. Tingkatan ketiga,
berdoa dengan Asma Allah baik berdoa dengan memuji Allah dan
beribadah kepada-Nya atau berdoa untuk meminta sesuatu kepada
Allah. Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauzi tingkatan inilah yang lebih
utama daripada orang yang menyatakan takhalluq dengan Asma
Allah. Perkataan ini bukan pernyataan yang benar karena berasal
dari para filosof: tasyabbuh bi al-ilâh (menyerupai Tuhan) sesuai
dengan batas kemampuan. Yang terbaik menurutnya adalah Asma
Allah untuk ta’abbud (ibadah) karena pernyataan ini selaras dengan
Alquran. Li ta’abbud mengandug makna bahwa al-Asmâ` al-Husnâ
difungsikan untuk beribadah dan meminta kepada Allah. Tingkatan
keempat, adalah ungkapan tasyabbuh (menyerupai Allah) yang
diingkari oleh al-Jawzi. Ungkapan tasyabbuh (menyerupai Allah)
yang terbaik adalah takhalluq (meniru akhlak Allah).16
Dari pernyataan Ibn al-Qayyim di atas menunjukkan bahwa
baginya makna Ihsha` yang benar adalah (1) menghafal lafal dan
jumlah Asma Allah, (2) memahami makna dan dalilnya, dan (3)
menggunakannya untuk beribadah dan berdoa atau meminta kepada
Allah. Yang ketiga ini menurutnya selaras dengan pernyataan Alqur-
an. Meski ia menyebut adanya kategori keempat, yaitu tasyabbuh,
namun ia tidak setuju dengan kategori keempat ini karena menurut-
nya berasal dari para filosof dan tidak disebutkan dalam Alquran.

14 Sa’id al-Qahtani, Penjelasan Asma`ul Husna, 126.


15 Lihat catatan kaki nomor 2 pada: Muhammad al-‘Utsaymin, Qawâ`id al-
Mutslâ, h. 21.
16 ‘Umar Sulayman al-Asyqar, Syarh Ibn al-Qayyim li Asmâ` Allâh al-Husnâ

(Yordania: Dar al-Nafa`is, 2008), 215-216.


24 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Meski begitu, dari tasyabbuh ini yang terbaik menurutnya adalah


konsep takhalluq (meniru akhlak Allah).
Namun banyak pula ulama yang tidak sejalan dengan Ibn Al-
Qayyim al-Jawzi mengenai konsep takhalluq. Quraish Shihab salah
satunya. Ia mengakui konsep takhalluq sebagai bagian dari makna
ahshâhâ yang dibenarkan dan mendapat rahmat dari Allah. Menu-
rutnya, ada terdapat aneka penafsiran mengenai makna ahshâhâ.
Antara lain, memahami maknanya dan mempercayainya atau mampu
melaksanakan kandungannya (berakhlak dengan nama-nama itu).
Baik sekedar membaca nama-nama Allah itu disertai dengan menga-
gungkan-Nya, atau sekedar mempercayai kandungan maknanya,
maupun menghafal, memahami maknanya dan mengamalkan kandu-
ngannya, kesemuanya, menurut Quraish Shihab dapat dikandung
oleh kata “ahshâhâ”. Karena itu mereka semua yang memaknai
ahshâhâ dengan cara-cara tadi mendapat curahan rahmat dari
Allah.17

G. Meneladani Al-Asmâ` Al-Husnâ

Quraish Shihab mengemukakan dua fungsi dari al-Asmâ` al-


Husnâ. Pertama, digunakan pada saat berdoa atau beribadah, menye-
ru nama-nama Allah tertentu ketika berdoa. Orang yang memohon
kepada Allah untuk mendapat rezeki, ia dapat menyebut atau menye-
ru nama Allah al-Razzâq. Fungsi kedua, yaitu menjadikan nama-nama
itu untuk meneladani sifat (akhlak) Allah, yaitu berakhlak dengan
sifat-sifat Allah kecuali sifat ulûhiyyah. Keberhasilan meneladani
Tuhan dalam sifat-sifat-Nya, menurut Quraish Shihab, merupakan
cermin dari keberhasilan keberagamaan. Meneladani sifat-sifat Allah
ini bukan berarti mempersamakan sifat manusia dengan Tuhan kare-
na Tuhan bersifat azaliy dan qadim dan memiliki kesempurnaan mut-
lak yang berbeda dengan makhluk-Nya.18
Menurut Quraish Shihab, keberhasilan meneladani Allah
menjadikan manusia sebagai manusia yang utuh, khalifah dan hamba

17 Quraish Shihab, “Menyingkap” Tabir Ilahi, xxxix.


18 Quraish Shihab, “Menyingkap” Tabir Ilahi, xxxviii.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 25

Allah. Untuk mencapai upaya ini, pakar tasawuf, menurut Quraish


Shihab, dalam meneladani sifat-sifat Tuhan menempuh tiga tahapan.
Pertama, meningkatkan ma’rifah melalui pengetahuan dan ketakwa-
an. Kedua, membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa
nafsu. Ketiga, menyucikan jiwa dengan jalan berakhlak dengan
akhlak Allah.19
Beberapa karya ulama di bawah ini yang berisi pembahasan
tentang al-Asmâ` al-Husnâ menyajikan beberapa fungsi dari Asma
Allah baik eksplisit maupun implisit, salah satunya adalah fungsi
pembentukan akhlak muslim dengan cara meneladani nama-nama
Allah sebagai imlikasi dari pengenalan, keimanan dan penghayatan
terhadap nama-nama itu.
Pertama, karya al-Ghazali mengenai al-Asmâ` al-Husnâ yang
berjudul al-Maqshad al-Asnâ Syarh al-Asmâ` Allâh al-Husnâ. Buku ini
selain berisi paparan teoritis mengenai konsep al-Asmâ` al-Husnâ,
paparan mengenai makna masing-masing nama dari 99 nama Allah,
juga berisi paparan mengenai implikasi moral yang akan membentuk
akhlak muslim.20 Namun menurut Mujiburrahman, al-Ghazali tidak
selalu menyajikan implikasi moral dari nama-nama Allah. Jika nama-
nama itu sudah jelas implikasi moralnya bagi pembaca, al-Ghazali
tidak lagi menjelaskannya secara khusus. Nama-nama yang dilewat-
kan itu, menurut Mujiburrahman, adalah al-Ghafûr, al-Muqît, al-
Majîd, al-Mâjid, al-Syahîd, al-Muhshiy, al-Muhyi, al-Mumît, al-Hayy,
al-Ra`ûf, al-Waliy, al-Muta’âl, al-Mâni’, al-Nûr, al-Wârits, al-Mubdi’, al-
Mu’îd, al-Wâjid, al-Awwal, al-Âkhir, al-Nâfi’, al-Dhârr, al-Bâqiy, al-
Ghaniy, al-Mughniy, al-Qâdir, al-Muqtadir, al-Zhâhir, dan al-Bâthin.21
Kedua, di Timur Tengah (Mesir), Ahmad Syarbashiy (Dosen
Universitas al-Azhar) dalam karyanya Mawsû’ah: Lahu al-Asmâ` al-
Husnâ Dhamîmah ilâ Asmâ` Allâh al-Husnâ (juz Awwal), yang salah
satu rujukan pentingnya adalah al-Maqshad al-Asnâ dari al-Ghazali,

19 Quraish Shihab, “Menyingkap” Tabir Ilahi, xxxviii-xxxix.


20 Lihat al-Ghazali, Al-Asma` Al-Husna Rahasia-rahasia Nama-nama Indah
Allah, Terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1998), 69-184.
21 Mujiburrahman, Konsep Tauhid dengan Pendekatan Asmaul Husna (Stud

atas al-Maqshad al-Ghazali) (Banjarmasin: IAIN Antasari, 2005), 96-97.


26 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

menguraikan al-Asmâ` al-Husnâ dengan memuat paparan tentang


bagaimana meneladani (ber-takhalluq) dengan Asma Allah. Beberapa
ungkapan yang ia gunakan di antaranya adalah wa al-takhalluq bi
ismi …, wa min adab al-mu`min ma’a ismi … atau wa min adab al-
takhalluq bi ismi … atau wa yanbaghiy an yatakhallaq al-mu’min bi
ismi…, wa hazhzhu al-mu`min min hâdzâ al-ismi … atau hazhzhu al-
‘Abdi min ismi …, dan sejenisnya.22
Ketiga, buku yang berjudul Wa Li Allâh al-Asmâ` al-Husnâ
Fad’uhu bi hâ karya Ahmad ‘Abd al-Jawad. Karya ini juga membahas
al-Asmâ` al-Husnâ dengan menyajikan aspek meneladani Asma Allah
sebagai implikasi moral dari penghayatan muslim terhadap Asma
Allah itu. Meski secara umum buku ini lebih banyak membahas ten-
tang dalil-dalil naqliy (Alquran dan hadis) dari nama-nama Allah
serta khasiat dan fadhilat dari nama-nama Allah itu, namun secara
konsisten ia juga menyajikan ‘bagian hamba’ dari nama-nama itu.
Ungkapan yang ia gunakan adalah “wa hazhzh al-‘abdi min ismi
rabbihi …” (diteruskan dengan nama Allah dan deretan perilaku atau
akhlak yang mesti ada pada diri hamba).23
Keempat, M. Quraish Shihab dalam karyanya “Menyingkap”
Tabir Ilahi: Asma al Husna dalam Perspektif Al-Qur`an di samping
menyajikan nama-nama Allah dengan menggunakan perspektif
Alquran dan secara konsisten juga menyajikan doa-doa pada akhir
setiap paparannya terhadap satu nama Allah, ia juga mengemukakan
implikasi dari keimanan dan penghayatan seseorang terhadap nama-
nama Allah. Dia menggunakan dua ungkapan atau kata kunci yang
sering ditulisnya secara bergantian, yaitu ‘buah yang diharapkan …”
“menghayati …” dan “meneladani” Asma Allah. Tidak sulit untuk
menemukan jejak pengaruh pemikiran yang melandasi bentuk papa-
ran seperti yang dilakukannya. Rujukan yang banyak disebutnya
adalah al-Maqshad al-Asnâ karya al-Ghazali sehingga sajian mengenai

22 Baca Ahmad Syarbashiy, Mawsû’ah: Lahu al-Asmâ` al-Husnâ Dhamimah ilâ


Asmâ` Allâh al-Husnâ, Juz Awwal (Beirut: Dar al-Jayl, 1987).
23 Baca Ahmad ‘Abd al-Jawad, Wa Li Allâh al-Asmâ` al-Husnâ Fad’uhu bi hâ

(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.).


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 27

bagaimana meneladani nama-nama Allah secara konsisten disajikan


di sepanjang tulisannya mengenai Asma Allah.24

24 Baca Quraish Shihab, “Menyingkap” Tabir Ilahi.


28 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

BAB III

BIOGRAFI ULAMA KALIMANTAN DAN


KARYANYA TENTANG AL-ASMÂ` AL-HUSNÂ

Bab ini akan menyajikan riwayat hidup enam ulama Kaliman-


tan yang memiliki karya intelektual mengenai al-Asmâ` al-Husnâ.
Ulama dimaksud secara berturut-turut adalah Husin Qadri, Dja’far
Sabran, Haderanie, M. Zurkani Jahja, Husin Naparain kemudian
Muhammad Bakhiet. Selain riwayat singkat hidup mereka, pada bab
ini disajikan pula deskripsi singkat mengenai karya-karya mereka
yang membahas al-Asmâ` al-Husnâ. Karya mereka secara berturut-
turut adalah Senjata Mu`min, Miftah-Ma’rifat (Kunci Ma’rifat), Asma`ul
Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf, 99 Jalan Mengenal Tuhan,
Memahami Al-Asma Al-Husna, Mengenal al-Asma` al-Husna Jalan
Menuju Ma’rifatullah. Beberapa karya mereka yang lain sebenarnya
ada yang digunakan juga dalam kajian ini, seperti Risalah Do’a karya
Dja’far Sabran, Ilmu Ketuhanan Permata yang Indah (Ad-Durrun
Nafis) dan Ilmu Ketuhanan Ma’rifat Musyahadah Mukasyafah Mahab-
bah 4M keduanya karya Haderanie serta Teologi Islam Ideal Era
Global (Pelbagai Solusi Problem Teologi) karya Zurkani Jahja. Hanya
saja ketiga karya ini hanya melengkapi karya mereka yang utama
mengenai al-Asmâ` al-Husnâ, karena itu beberapa buku ini tidak
dideskripsikan pada bab ini. Berikut ini adalah uraian mengenai
riwayat hidup dan karya intelektual ulama Kalimantan yang telah
disebutkan di atas.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 29

A. Biografi Singkat Ulama Kalimantan Penulis Asmâ` al-Husnâ

1. Biografi Singkat Husin Qadri

Husin Qadri merupakan ulama yang terkenal di Kalimantan


Selatan. Salah satu karyanya yang monumental, yaitu Senjata Mu’min
menjadi referensi penting dalam tradeisi amaliyah keagamaan
masyarakat Banjar. Karyanya ini pula yang membuat namanya selalu
diingat dan dikenang sebagai ulama yang memiliki pengaruh luas.
Sayangnya, riwayat hidup Husin Qadri tidak ditulis secara lengkap
sehingga tampak agak kontras dengan dirinya sebagai ulama yang
populer dan karismatik. Informasi tentang riwayat hidupnya dapat
dijumpai pada sejumlah literatur namun semuanya sama, hanya
menyajikan informasi yang minim tentang kehidupannya.
Husin Qadri lahir di Tunggul Irang Martapura pada tanggal
17 Ramadhan 1327 H (2 Oktober 1909 M). Ayahnya bernama Mufti
Ahmad Zaini dan ibunya bernama Hj. Sannah. Ayahnya, Mufti Ahmad
Zaini, (1889-1966 M) adalah seorang ulama sekaligus seorang mufti
pada zaman Belanda hingga masa kemerdekaan. Ia menjabat sebagai
mufti sampai jabatan ini dihapuskan oleh pemerintah. Setelah jaba-
tan mufti dihapuskan, ia kemudian menjabat sebagai kepala bagian
Kantor Departemen Agama Kabupaten Banjar. Ibunya, Hj. Sannah
merupakan zuriat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Silsilah
zuriatnya adalah Hj. Sannah binti Ni Angah binti Hamidah binti Mufti
Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.1 Nama Husin
Qadri sebagai keturunan Syekh Arsyad al-Banjari juga tercatat pada
buku yang ditulis oleh Abu Daudi (Irsyad Zein): Maulana Syekh

1 Muhammad Naufal, 1-Manaqib Al-Marhum Haji Abdurrahman bin Haji


Zainuddin, 2- Al-Marhum Haji Ahmad Zaini bin Abdurrahhman, 3- Al-Marhum
Haji Husin Qadri bin Haji Ahmad Zaini, 4- Al-Marhum Haji Badaruddin bin
Haji Ahmad Zaini, 5- Al-Marhum Haji Muhammad Rasyad bin Haji Ahmad
Zaini wa Yalihi al-Yawassulat (td), 3-4. Lihat pula Rahmadi, Jaringan
Intelektual Ulama Banjar Abad XIX dan XX (Studi Proses, Pola dan Ekspansi
Jaringan) (Banjarmasin: Antasari Press, 2010), 77 dan 121.
30 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar.2 Buku ini merupakan


buku otoritatif mengenai biografi Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari dan daftar keturunannya.
Husin Qadri memiliki lima saudara. Ia sendiri merupakan
anak pertama (sulung). Dua adiknya meninggal ketika kecil semen-
tara dua saudara perempuannya Hj. Mulia dan Hj. Arfah ketika
dewasa menetap di Makkah. Ketika masih kecil, ayahnya, Mufti
Ahmad Zaini, bercerai dengan ibunya, Hj. Sannah. Sang ayah kemu-
dian pergi merantau ke Singapura dan menetap di sana selama 20
tahun. Sementara ibunya kemudian menikah lagi dengan H. M. Shalih
(termasuk zuriat Syekh Arsyad al-Banjari). Dari perkawinan ibunya
ini, ia mendapat saudara tiri bernama Bahjah dan Hamdiah. Semen-
tara ayahnya yang tinggal di Singapura menikah lagi dengan Rafi’ah
binti Mulkhalid. Dari perkawinan ayahnya ini, Husin Qadri mendapat
tiga saudara tiri yaitu Muhammad Hasan, Abdul Karim dan Habibah.
Sebenarnya masih ada empat orang lagi anak sang ayah yang lahir di
sini, tetapi keempatnya meninggal dunia. Ketiga saudara tirinya yang
masih hidup tinggal dan bekerja di Singapura. Ayahnya kemudian
menikah lagi dengan Hj. Jannah di Martapura. Pernikahan ini terjadi
setelah kakek Husin Qadri, Tuan Guru Abdurrahman (H. Adu) me-
manggil ayahnya yang tinggal di Singapura untuk kembali ke Marta-
pura. Kakek Husin Qadri kemudian tidak lagi mengizinkan ayahnya
kembali ke Singapura dan kemudian menikahkannya dengan Hj.
Jannah. Dari perkawinan ini, Husin Qadri kembali mendapatkan
beberapa saudara tiri. Dari delapan anak yang lahir dari perkawinan
ayahnya yang ketiga, hanya empat yang hidup, yaitu Tuan Guru H.
Badaruddin (1937-1992), Tuan Guru H. Muhammad Rasyad (1939-
2000), Raudatus Sa’diyah dan Nurhana. Tuan Guru Badaruddin dan
Tuan Guru Muhammad Rasyad merupakan dua ulama yang terkenal
di Martapura.3

2 Lihat Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji
Besar (Martapura: Yapida, 2003), 338.
3 Tim Peneliti, Kiyai Haji Badruddin Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam

Martapura Kalimantan Selatan (Pusat Lektur Litbang Agama Departemen


Agama RI, 1985), 7-8; Rahmadi, Jaringan Intelektual Ulama Banjar Abad XIX
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 31

Guru-guru Tuan Guru Husin Qaderi adalah Mufti Ahmad Zaini


(ayah), Tuan Guru Abdurrahman (w. 1945), dan Tuan Guru Muham-
mad Kasyful Anwar (w. 1940). Sementara guru yang memiliki garis
keturunan dengan Syekh Arsyad al-Banjari adalah Tuan Guru Zainal
Ilmi (1886-1956) Dalam Pagar. Mufti Ahmad Zaini sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya merupakan ulama Martapura yang diangkat
menjadi mufti. Posisinya sebagai mufti menunjukkan bahwa ia meru-
pakan ulama yang diakui kedalaman pengetahuannya dan dihormati.
Sementara Tuan Guru Abdurrahman Tunggulirang merupakan ulama
berpengaruh di masanya. Kakek Husin Qadri ini merupakan guru
dari banyak ulama terkenal di Martapura. Ia pernah belajar di
Makkah selama bertahun-tahun dan pulang sekitar tahun 1912 M.
Salah satu gurunya di Makkah adalah Syekh Sayyid Bakri ibn Muham-
mad Syaththa pengarang kitab I’anat al-Thalibin. Guru Husin Qadri
yang tidak kalah pengaruhnya adalah Tuan Guru Muhammad Kasyful
Anwar. Gurunya yang satu ini merupakan ulama yang dikenal seba-
gai mu`assis dan pembaru Pondok Pesantren Darussalam dan pernah
menjadi pimpinan pesantren ini dari tahun 1922-1940. Sang guru
juga pernah belajar di Mekkah (1896-1912M) selama kurang lebih 17
tahun dan berguru dengan ulama Haramain yang terkenal pada saat
itu. Sebagaimana Tuan Guru Abdurrahman Tunggul Irang, ia juga
merupakan guru dari banyak ulama terkenal di Kalimantan Selatan
khususnya di Martapura dan memiliki sejumlah karya intelektual
dalam bentuk risalah. Sementara Tuan Guru Zainal Ilmi merupakan
zuriat Syekh Arsyad al-Banjari dan ulama berpengaruh di Dalam
Pagar serta menjadi guru dari banyak ulama berpengaruh pada saat
itu. Melalui para guru yang memiliki pengetahuan mendalam, berpe-
ngaruh dan terkenal ini tidak mengherankan jika Husin Qadri juga
kemudian tumbuh menjadi ulama yang berpengaruh pula. Ia sebe-
narnya pernah melaksanakan ibadah haji dan membawa adik tirinya,
Tuan Guru Badradudin, untuk belajar di Darul Ulum Makkah. Tetapi
tidak ada keterangan bahwa ia belajar di sana sedang sang adik
hanya dapat belajar selama satu tahun di Darul Ulum dan kemudian

dan XX (Banjarmasin: Antasari Press), 121-122. Abu Daudi, Maulana Syekh


Muhammad Arsyad, 338.
32 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

kembali ke Martapura. Kita hanya bisa menduga bahwa selama satu


tahun ia mendampingi adiknya di Makkah, kemungkinan besar ia me-
nyempatkan diri berguru atau setidaknya berkenalan dengan bebe-
rapa ulama yang terkenal di Makkah pada saat itu.
Setelah menjadi orang yang memiliki pengetahuan yang men-
dalam, Husin Qadri meneruskan jejak ayah dan kakeknya sebagai
ulama. Ia rajin melakukan dakwah melalui sejumlah pengajian baik
di rumah, di langgar, di Masjid dan di kampung-kampung secara
bergiliran. Selain di Masjid al-Karomah, setidaknya ada 15 langgar di
Martapura tempat ia mengajar dan berdakwah. Ia rajin melakukan
dakwah keliling dan terkadang mengajak adik tirinya, Tuan Guru
Badaruddin untuk ikut bersamanya. Aktivitas lainnya adalah menga-
jar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Sebagai dai dan
pengajar di majelis taklim dan pondok pesantren, tidak mengheran-
kan jika ia kemudian banyak memiliki murid yang kelak juga menjadi
ulama. Salah satu muridnya yang paling populer dan berpengaruh
adalah Tuan Guru Muhammad Zaini Abdul Ghani (w. 2005) atau juga
dikenal sebagai Guru Sekumpul atau Guru Ijai.
Menurut Abu Daudi, setiap kali pengajian Husin Qadri dilak-
sanakan di Masjid Jami Martapura, jamaah yang hadir selalu melim-
pah ruah. Dakwahnya sangat relevan dan peka dengan situasi masya-
rakat. Jika beliau melihaat ada hal-hal yang tidak sejalan dengan
hukum Islam termasuk masalah yang masih syubhat, maka beliau
langsung meluruskan dan memberikan bimbingan dengan bijaksana
dan penuh kasih-sayang. Ditambah lagi dengan sikap dan perilaku-
nya yang wara`, tawadhu’, lemah lembut, dan ramah dengan siapa-
pun. Senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya membuatnya dise-
nangi oleh masyarakat.4
Di samping berdakwah dan mengajar, Husin Qadri juga ikut
berorganisasi dan menduduki suatu jabatan di lembaga tertentu dan
bahkan pernah terlibat dalam dunia politik. Ia pernah menjabat
sebagai qadhi pada kantor kerapatan Qadhi Martapura. Ia juga
pernah menjadi anggota NU yang pada saat itu merupakan salah satu
partai politik pada era Orde Lama. Pada Pemilu pertama (1955),

4 Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad, 338-339.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 33

Husin Qadri terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili partai


NU. Pada tahun 1952 ketika NU menjadi partai politik, Husin Qadri
menjadi anggota Syuriah NU bersama dengan KH. Sabran dan KH.
Abdul Qadir. Pada periode kepengurusan PWNU masa khidmat 1961-
1964 dan kemudian digantikan dengan kepengurusan PWNU masa
khidmat 1965-1968, Husin Qadri menjadi anggota (a’wan) Syuriah
NU di mana Rois Syuriahnya pada saat itu adalah KH. Salman Djalil.5
Popularitas Tuan Guru Husin Qadri tidak hanya disebabkan
oleh pengaruh keulamaannya yang besar tetapi juga disebabkan oleh
karya tulisnya yang banyak digunakan oleh masyarakat muslim
Banjar. Karya intelektual Husin Qadri di antaranya adalah Senjata
Mu`min, Nur al-Hikmah, Manasik Haji dan ‘Umrah, dan Khutbah
Jumat. Adapula karyanya yang belum sempat diselesaikan seperti
Tafsir Alquran dan lainnya.6 Karyanya yang paling populer dan
banyak digunakan adalah Senjata Mukmin dan Manasik Haji dan
Umrah. Di antara karyanya itu, karyanya yang paling monumental
adalah Senjata Mu`min.
Tuan Guru Husin Qaderi meninggal pada tanggal 27 Jumadil
Awal 1387 H (2 September 1967 M) dan dimakamkan di Tunggul
Irang Martapura berdampingan dengan makam ayah dan kakeknya.
Beliau meninggalkan beberapa anak di antaranya adalah H. Naja-
muddin, H. Hasan Rusydi, dan H. Abdul Mu’adz.

2. Biografi Singkat Dja’far Sabran

Dja’far Sabran dilahirkan di Paliwara, Amuntai, Kabupaten


Hulu Sungai Utara pada tahun 1324/1920. Ayahnya bernama H.
Saberan bin H. Sanu dan ibunya bernama Hj. Rahmah binti H.
Sa’dullah. Ia merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Sauda-
ranya yang lain adalah (1) H. Anwar Sabran, (2) H. Ali Sabran, (3) Hj.

5 Tim Peneliti, Kiyai Haji Badruddin, 38. Rahmadi, Jaringan Intelektual Ulama
Banjar, 77. Ahdi Makmur dkk., Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama di
Kalimantan Selatan (1928-1984), Laporan Penelitian (Banjarmasin Puslit
IAIN Antasari, 1999), 35 dan 41.
6 Muhammad Naufal, Manaqib, 6. Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad

Arsyad, 339.
34 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Aliyah Sabran, (4) Abu Bakar Sabran, (5) Umar Sabran, (6) Hj. Sarah
Sabran, dan (7) H. Muhdar Sabran.7
Riwayat pendidikannya dimulai dari tahun 1927. Pada usia
tujuh tahun ia sempat mengecap pendidikan formal selama setahun
di Vervolkschool (1927). Di sekolah ini ia dibimbing oleh gurunya
yang bernama Muhammad Nashir. Kemudian pada tahun 1931-1939,
ia meneruskan studinya di Arabische school (Sekolah Arab) yang
didirikan oleh Muallim Abdurrasyid (w. 1934). Arabische School ke-
mudian berubah nama menjadi Madrasatur Rasyidiyah. Pimpinannya
juga berganti. Tuan Guru Abdurrasyid pindah ke Kandangan dan
digantikan oleh H. Juhri Sulaiman. Pada masa kepemimpinan Juhri
Sulaiman inilah Dja’far Sabran menempuh pendidikan di madrasah
ini hingga selesai (1939).
Para tenaga pengajar Madrasatur Rasyidiyah pada saat
Dja’far Sabran studi di madrasah ini adalah Juhri Sulaiman (Kepala
Sekolah), Ahmad Mansur (Sungai Karias), H. Muhammad Arsyad
(qari dari Tangga Ulin), H. Asy’ari (Tangga Ulin), H. Achmad Dahlan
(Lok Bangkai), H. Abdul Wahab Sya’rani (Palimbangan), H. Muslim
(Pakacangan), Ismail Jafri (Paliwara), H. Jafri Pekapuran (menantu H.
Abdurrasyid), H. Ahmad Jamhari (qari dari Paliwara), Asnawi Hasan
(Paliwara), dan H. Ahmad Affandi (Paliwara). 8 Inilah guru-guru
Dja’far Sabran di Madrasatur Rasyidiyah, walaupun barangkali tidak
semua guru-guru tersebut mengajar Dja’far Sabran secara langsung
di kelas.
Selama menempuh pendidikan formal di Madrasatur Rasyidi-
yah, Dja’far Sabran juga belajar secara nonformal dengan sejumlah
ulama yang banyak tersebar di Amuntai. Beberapa ulama yang pe-
ngajiannya diikuti oleh Djafar Sabran di luar dari jadwal pendidikan
formalnya (1931-1939) diantaranya adalah:

7 Kamarul Hidayat, Apa dan Siapa dari Utara: Profil dan Kinerja Anak Banua
(Jakarta: CV Surya Garini, tth), 66. M. Adriani Yulizar dan Hamidi Ilhami,
“Deskripsi Kitab Senjata Mukmin dan Risalah Doa” Al-Banjari Jurnal Ilmiah
Ilmu-ilmu Keislaman Vol 13 No. 1 (Januari – Juni 2014), 80.
8 Abdul Muthalib Muhyiddin dkk, 50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyah

Khalidiyah (Rakha) Amuntai Kalimantan Selatan 1922-1972 (Amuntai:


Rakha, 1972), 32.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 35

a. Tuan Guru Muhammad Khalid di Tangga Ulin (w. 1963). Di


sini ia mengikuti pengajian ilmu tasawuf. Tuan Guru Khalid
Tangga Ulin menurut informasi sang anak, yaitu H. Hamdan
Khalid, mengajar tasawuf menggunakan kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-
Dîn, Minhâj al-Âbidîn, dan al-Munqidz min al-Dhalâl. Beliau
juga mengajar kitab al-Hikam khusus untuk orang-orang ter-
tentu saja. Pada saat itu DJa’far Sabran masih muda (belasan
tahun) sehingga kemungkinan ia belajar tasawuf dengan
Tuan Guru Khalid Tangga Ulin tidak sempat mempelajari
kitab al-Hikam, tetapi hanya mempelajari kitab-kitab kara-
ngan Imam al-Ghazali.

b. Tuan Guru Muallim Abdur Rasyid di Pekapuran Amuntai


yaitu dengan pengajian bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman
lainnya.

c. Tuan Guru Muallim Juhri Sulaiman (w. 1970) di Tangga Ulin


Amuntai dengan pelajaran bahasa Arab dan Ilmu-ilmu
Keislaman. Ulama ini pernah belajar di Mesir selama kurang
lebih tujuh tahun setengah dan kemudian dipercaya dan di-
minta oleh Abdurrasyid (pendiri awal) untuk menggan-
tikannya di Arabische School.

d. Tuan Guru Muallim H. Arsyad di Tangga Ulin dengan penga-


jian Ilmu Fiqih (Ilmu hukum Islam). Ulama ini merupakan
salah satu guru yang mengajar di Arabische School periode
Tuan Guru Abdurrasyid. Selain guru agama, ia juga dikenal
sebagai qari dan khatib di Masjid Jami’ (lama) Amuntai Kota.
Ia juga mempelopori pengajian secara berkelompok.

e. Tuan Guru Muallim H. Asy’ari Sulaiman di Tangga Ulin


Amuntai dengan pengajian pelajaran Ilmu Tauhid. Ia adalah
menantu dari Tuan Guru Muhammad Khalid Tangga Ulin dan
juga saudara kandung dari H. Juhri Sulaiman. Ia merupakan
guru yang rajin, disiplin dan berpikiran maju serta tokoh
36 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

muballigh Islam yang berpendirian kuat. Karyanya dalam


bentuk risalah, yang terkenal adalah Sirâj al-Mubtadi`în yang
cukup populer di kalangan pengajian di Kalimantan Selatan.9

f. Tuan Guru Muallim H. Dahlan di Lok Bangkai dengan penga-


jian pelajaran ilmu fiqih (hukum-hukum Islam).

g. Tuan Guru Muallim H. Rawi di Panangkalaan Amuntai dengan


pengajian dan pelajaran ilmu-ilmu keislaman.

Dari sejumlah guru di atas, secara garis besar, Djafar Sabran


mempelajari ilmu alat (pengajian bahasa Arab) dan ilmu-ilmu keisla-
man. Ilmu-ilmu alat dimaksud di sini adalah nahwu, qawâ`id, sharf,
balâghah, arûdh qawâfi, ditambah dengan kaligrafi Arab. Sedangkan
ilmu-ilmu keislaman di antaranya adalah akidah, akhlak, sejarah
rasul, dan lain-lain. Pada kajian keislaman biasanya tuan guru me-
ngajarkan tentang riwayat-riwayat dan juga nasihat-nasihat. Kitab
yang digunakan di antaranya adalah Durrah al-Nâshihîn, Tanbîh al-
Ghâfilîn, dan Fadhâ`il al- ‘Amal. Pada pembelajaran fiqih yang
dipelajari adalah kitab Mazâhib al-Arba’ah dan Fath al-Mu’în. Pada
kajian hadis, kitab yang dipelajari adalah kitab Bulûgh al-Marâm,
Riyâdh al-Shâlihîn, Sahîh al-Bukhârî dan Sahîh Muslim. Tafsir Alquran
juga dipelajari pada pengajian tertentu.10
Di Madrasatur Rasyidiyah, Djafar Sabran mengikuti jenjang
pendidikan tiga tahun pada tingkat ibtidaiyah, tiga tahun pada ting-
kat tsanawiyah, dan dua tahun pada tingkat aliyah. Ia menyelesaikan
pendidikannya di madrasah ini pada tahun 1939. Ia kemudian ber-
keinginan melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Modern
Gontor bersama teman-temannya.11
Keinginan untuk melanjutkan studi ke Pondok Pesantren
Gontor akhirnya terwujud. Dja’far Sabran bersama dengan beberapa

9 Yulizar dan Ilhami, “Deskripsi Kitab”, 81.


10 Yulizar dan Ilhami, “Deskripsi Kitab”, 82.
11 Abu Nazla Muhammad Muslim Safwan, 100 Tokoh Kalimantan (Kanda-

ngan: Toko Sahabat, 2007), 258-259.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 37

orang sahabatnya sesama alumni Madrasatur Rasyidiyah, yaitu Abdul


Muthalib Muhyiddin, Djafri, Nafiah Hasan Basri, M. Noeh, Masdan dan
Idham Chalid (termuda) akhirnya dapat berangkat ke Jawa Timur.
Dari Amuntai mereka berangkat ke Banjarmasin menggunakan kapal
gandeng “Alice” dan dari Banjarmasin menuju Surabaya mereka
menumpang kapal Yansen. Dari Surabaya ke Gontor Ponorogo mere-
ka menggunakan taksi. Di Gontor mereka disambut oleh pelajar-
pelajar dari Amuntai yang telah tiba lebih dahulu. Saat itu, Pengasuh
Pondok Pesantren Gontor adalah KH. Achmad Sahal dan Direktur
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) adalah KH. Imam
Zarkasyi.12
Setelah satu tahun di Pondok Modern Gontor, Dja’far Sabran,
bersama Abdul Muthalib Muhyidin dan Idham Chalid duduk di kelas I
KMI onderbouw (setingkat SMP). Pada saat kenaikan kelas, mereka
dilompatkan ke kelas III onderbouw karena nilai angka rapor mereka
yang baik. Padahal, seharusnya mereka duduk di kelas II dulu.
Setahun kemudian mereka duduk di kelas I bovenbouw (setingkat
SMA). Mereka kemudian dapat menyelesaikan studi mereka di sini
selama dua tahun (1940-1942).13
Setelah menamatkan pendidikannya di KMI bovenbouw, pada
tahun 1942 Dja’far Sabran kembali ke ke Amuntai bersama teman-
temannya yang lain. Pada saat kepulangannya, Amuntai telah dikua-
sai oleh Jepang dan Madrasatur Rasyidiyah tempatnya dulu belajar
kini dalam kondisi ‘mati suri’. Para tokoh masyarakat terutama dari
kalangan ulama mengharapkan para alumni Gontor ini membang-
kitkan kembali Madrasatur Rasyidiyah. Akhirnya, pada tahun 1944,
Idham Chalid diangkat menjadi pemimpin Madrasatur Rasyidiyah,
sementara Dja’far Sabran bersama kawan-kawannya yang lain turut
membantu membenahi kembali Madrasatur Rasyidiyah dan sekali-
gus menjadi tenaga pengajarnya.14 Dengan semangat tinggi mereka

12 Arif Mudatsur Mandan (ed.), Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid:


Tanggung Politik NU dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008),
72-74.
13 Mandan (ed.), Napak Tilas, 83.
14 Mandan (ed.), Napak Tilas, 131.
38 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

mengembangkan kembali Madrasatur Rasyidiyah dan mengubah na-


manya menjadi Ma’had Rasyidiyah (1944) dan kemudian mengu-
bahnya menjadi Normal Islam (1945). Meski hanya mendapatkan
honor yang tidak seberapa dan hanya cukup setengah bulan saja,
Dja`far Sabran tidak berkecil hati. Ia kemudian bekerja luaran, yaitu
menjilid buku dan ternyata usaha jilidannya cukup laris. 15
Dja’far Sabran dan Abdul Muthalib Muhyiddin merupakan
dua orang yang berjasa dalam merintis Perguruan Normal Islam
Putri. Awalnya, pada tahun 1942, Dja’far Sabran merintis perguruan
Islam yang proses belajarnya dilakukan di rumah orangtuanya di
Paliwara A. Tempat belajar kemudian dipindah setelah ia dapat
membangun gedung belajar untuk pelajar putri yang kemudian
diberi nama Perguruan Islam Zahratun Nisa. Demikian juga, Abdul
Muthalib Muhyiddin memulai pengajian khusus wanita di rumah
pamannya. Pengajian ini menjadi cikal bakal terbentuknya Perguruan
Islam al-Fatah Amuntai, terutama setelah ia berhasil mendirikan
gedung sekolah. Pada tahun 1948/1949 lulusan Zahratun Nisa dan
al-Fatah digabungkan. Penggabungan inilah yang menjadi basis
terwujudnya Normal Islam Putri hingga kemudian terintegrasi de-
ngan Perguruan Normal Islam secara keseluruhan.16
Pada bulan Juli tahun 1952 Dja’far Sabran berhijrah dari kota
Amuntai Kalimantan Selatan ke kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Selama berada di kota Samarinda ia dipercaya menduduki beberapa
jabatan penting, di antaranya menjadi kepala sekolah Normal Islam
Samarinda tahun 1953-1961. Ia juga mendirikan Madrasah Takhash-
shush Diniyah untuk mendidik guru-guru agama berjumlah 30 orang
dan juga mendirikan Sekolah Dasar Islam Darul Falah (1968). Pada
tahun 1961 ia menjadi pegawai di kantor Jawatan Pendidikan Agama
Kotamadya Samarinda. Beberapa tahun kemudian ia diberi keperca-
yaan menjabat Kepala Inpeksi Pendidikan Agama (1968-1971). Ia
juga pernah menjadi ketua Nahdatul Ulama Provinsi pada tahun
1967-1972. Selain itu, ia juga sempat menjadi Dosen Luar Biasa pada
Fakultas Tarbiyah IAIN Samarinda (1966-1970). Terakhir ia terpilih

15 Mandan (ed.), Napak Tilas, 132-133.


16 Abdul Muthalib dkk, 50 Tahun, 57-59.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 39

menjadi anggota DPRD Tk I Kalimantan Timur selama dua periode


(1971) dan (1982).17 Meski menjadi pejabat dan anggota DPRD,
sebagai ulama ia tidak berhenti mengajar umat. Dari tahun 1961
hingga 1990, ia aktif melaksanakan beberapa pengajian baik di ru-
mah (rumah H. Abdul Ghani di Karang Mumus), di Langgar Attaqwa
maupun di tempat lainnya.
Di samping aktif memberikan pengajian dan mengelola
lembaga pendidikan, ia juga produktif menulis. Di sela banyak wak-
tunya yang ia habiskan untuk berdakwah dan mengajar ke berbagai
tempat, ia masih sempat menulis beberapa buku. Beberapa bukunya
yang telah terbit adalah Terjemah Maulid Diba, 99 Permata Hadis,
Syair Isra Mi`raj, Syair Nabi Yusuf dan Zulaikha, Tahlil dan Talqin,
Ikhtisar Sifat 20, Ayat Kursi, Risalah Doa I, Terjemah Qasidah Burdah,
Miftah Ma’rifah, Nurul Ma’rifah, Kunci Ma’rifah, Risalah Tauhid,
Risalah Doa II, Shalawat Kamilah, Risalah Fardhu Kifayah, Khutbah
Jumat dan Hari Raya, Fadhilah Surah Yasin dan Doa Arasy, Sembah-
yang Tarawih dan Fadhilatnya, dan Ma’rifatullah. Buku Risalah Doa
dan buku-buku karyanya yang lain sudah banyak tersebar di
berbagai daerah di Kalimantan bahkan di beberapa kota di Pulau
Jawa dan Sumatra serta kota-kota lainnya di Indonesia.18
Dja’far Sabran wafat di Samarinda pada tanggal 2 Juni 1990
dalam usia kurang lebih 70 tahun. Ia dimakamkan di samping Mesjid
Raya Darussalam di tengah kota Samarinda. Ia meninggalkan seorang
istri, Hj. Arfah (menikah tahun 1939) dan beberapa orang anak dan
cucu. Dja’far Sabran dikaruniai enam anak, dua orang laki-laki dan
empat orang perempuan, yaitu (1) Hj. Partiyah (Guru SDN), (2)
Mawardi, (3) Drs. H. Farid Wajidi, M.Pd. (pernah menjadi Kepala
Kanwil Depag Provinsi Kalimantan Timur), 4). Dra. Hj. Siti faridah
(Guru MAN Samarinda), (5) Dra. Hj. Siti Aminah, M.Ag (Guru MAN
Samarinda) dan (6) Hj. Siti Fatimah. Di antara anak-anaknya ini, tam-
paknya yang paling menonjol dan dapat meneruskan figurnya adalah
Drs. Farid Wajidy, M.Pd.

17 Kamarul Hidayat, Apa dan Siapa dari Utara, 66 dan Abu Nazla, 100 Tokoh
Kalimantan, 259.
18 Abu Nazla, 100 Tokoh Kalimantan, 260-261.
40 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

3. Biografi Singkat Haderanie H.N.

Sebagai seorang penulis buku tasawuf dan gemar dengan


masalah-masalah sufisme, Haderanie merupakan sosok yang cukup
unik. Dia merupakan ulama yang tidak hanya aktif dalam bidang
keagamaan, tetapi juga terlibat dalam masalah politik, pendidikan,
sosial dan birokrasi pemerintahan. Meski demikian, figurnya sebagai
ulama tetap yang paling menonjol. Karya-karya intelektualnya pun
telah tersebar di Indonesia.
Haderani H.N. lahir pada tanggal 16 Agustus 1933 di Puruk
Cahu (sekarang masuk wilayah Kabupaten Murung Raya Kalimantan
Tengah). Ia adalah putra kesepuluh dari pasangan H. Nawawi bin H.
Abdul Hamid asal Negara dengan Masudah binti H. Adam asal
Bakumpai. Nama ayahnya H. Nawawi (disingkat H.N.) inilah yang
kemudian melekat pada akhir namanya. Keluarga tempat Haderanie
tinggal merupakan keluarga yang taat dan memiliki pengetahuan
agama yang baik, bahkan termasuk elite religius di kalangan
masyarakat.
Pendidikan Haderanie berawal dari lingkungan keluarga,
mulai dari belajar mengaji (membaca Alquran) hingga belajar ilmu-
ilmu dasar agama Islam lainnya. Menurut Fadli Rahman, Haderanie
sendiri mengaku bahwa dasar-dasar Ilmu Keagamaan kebanyakan di
dapatnya dari sang ibu yang telaten mengajarkan ilmu-ilmu agama
Islam kepadanya. Kemampuan sang ibu untuk mengajarinya agama
tidak mengherankan, karena ibunya adalah anak seorang ulama. H.
Adam yang menjadi ayah ibuya dan sekaligus kakeknya, merupakan
ulama yang pernah mengajar di sejumlah tempat, mulai dari Kan-
dangan, Nagara hingga ke Puruk Cahu. Pengasuh dan pembimbing
Haderanie kecil lainnya adalah saudara ibunya, julak (bibi) Galuh,
istri H. Anwar yang masih mempunyai pertalian darah (keturunan
kelima) dengan Datu Kalampayan di Tanah Banjar, yakni Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari.19

19Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.” Jurnal Studi Agama
dan Masyarakat Vol. I No. 1 (Juni 2004), 6-7.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 41

Haderanie menempuh pendidikan formalnya di Sekolah


Rakyat (SR) selama tiga tahun dan juga menempuh pendidikan di
Madrasah Ibtidaiyyah di kampung kelahirannya, Puruk Cahu. Setelah
menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia dikirim oleh orangtuanya ke
Banjarmasin untuk melanjutkan pendidikannya. Di Banjarmasin ia
meneruskan pendidikannya di Sekolah Menengah Islam Pertama
(SMIP) Banjarmasin. Ia juga sempat mengikuti pendidikan kilat
mubaligh yang dipimpin oleh KH. Asnawi Hadisiswoyo (Kepala KUA
Provinsi Kalimantan tahun 1950).20
Semenjak mengikuti pendidikan kilat muballigh tersebut,
kecenderungan Haderanie untuk menjadi dai yang dicita-citakannya
sejak kecil menjadi semakin kuat. Melihat minat Haderanie yang kuat
untuk menjadi dai, orangtuanya kemudian mengirimnya ke Madra-
sah Muballighin Semarang, Jawa Tengah. Setelah selesai tingkat
madrasah ia kemudian meneruskan ke tingkat akademinya, yakni
Kulliyat Muballighin di tempat yang sama. Saat itu Madrasah dan
Kulliyat muballighin Semarang dipimpin oleh Prof. KH. Saifuddin
Zuhri (Mantan Menteri Agama era Soekarno). Dalam masa studinya
ini, Haderanie seangkatan dengan KH. Musta’in Ramli dan KH.
Muhammad Najib Wahab Hasbullah. Pada masa studinya ini pula, dia
mengenal seorang guru yang bernama KH. Khaliq (konsul NU) Jawa
Tengah yang menjadi guru spiritualitasnya. Sang guru pula yang
menyadarkannya bahwa di balik fenomena fisik terdapat nomena
psikis, yang tidak lain adalah dunia dzawqiyyat (intuitif) tasawuf.21
Setelah menamatkan pendidikannya di Semarang, Haderanie
kembali ke Muara Teweh. Di sana ia membangun organisasi NU (saat
itu NU adalah partai politik Islam) di Kabupaten Barito pada tahun
1955 bersama H. Usman Rafiq, H. Mawardi Yasin, H. Tarmizi dan H.
Gusti Muhammad Yusuf. Aktivitasnya di NU sebagai partai politik
menyeretnya dalam kehidupan politik. Pada saat itu, di daerahnya
ada enam partai politik yang berkembang, yakni tiga partai politik
Islam (NU, Masyumi dan PPTU) dan tiga partai nasionalis (PNI, PKI
dan PRM). Dari beberapa partai politik itu, ia memilih partai NU.

20 Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.”, 7.


21 Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.”, 7.
42 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Keterlibatannya dalam bidang politik ini membawanya juga terlibat


dalam jabatan politik dan pemerintahan. Dalam usianya yang masih
relatif muda, yakni 23 tahun, ia diserahi jabatan sebagai Ketua DPRD
Tk II peralihan Kabupaten Barito sebelum terbaginya Kalimantan
menjadi empat provisini (UU No. 27/1959) dan pernah pula ia
menjadi Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten Barito. 22
Meski telah menyelesaikan pendidikan yang tinggi untuk
ukuran masyarakat pada saat itu dan sibuk di organisasi NU, dia
masih tetap menuntut ilmu keagamaan secara tradisional (istilah
populernya di masyarakat adalah mangaji duduk). Dari pendidikan
nonformal inilah, ia banyak memperoleh ilmu dari para guru tasawuf
yang mumpuni. Diantara guru-gurunya tersebut ialah KH. Habran di
Tumbukan Banyu, Nagara (masih sepupu dari Haderanie sendiri dan
murid dari KH Anang Zainal Ilmi di Dalam Pagar Martapura), KH. Ali
di Nagara, KH. Hanafi Gobet di Banjarmasin dan KH. Abdussamad
dari Alabio. Selain itu, ia juga mengikuti tarikat Syadziliyah yang
merupakan satu-satunya tarikat yang dianutnya. Tarikat lainnya
yang berkembang di wilayah Barito saat itu adalah tarikat Naqsya-
bandiyah, tetapi tampaknya ia tidak menganut tarikat ini. Saat melak-
sanakan haji yang ketiga kali pada tahun 2001 ia sempat mengambil
ijazah talqin zikir dari syekh Abu Alawi Abd al-Hamid Alawi al-Kaff di
Mekkah. Kemudian ia mengijazahkannya kepada sembilan orang
muridnya untuk diamalkan dan diajarkan kepada masyarakat. 23
Haderanie pertama kali mengajar tauhid dan tasawuf kepada
beberapa kerabat dekatnya di Muara Teweh Kalimantan Tengah.
Murid-muridnya dengan cepat bertambah. Awalnya hanya kalangan
kerabat, pada tahap berikutnya diikuti juga oleh masyarakat sekitar.
Daya tarik dan popularitasnya di bidang keagamaan juga didukung
oleh kemampuannya dalam hal pengobatan metafisik secara islami.
Kemampuannya ini membuat masyarakat sekitar mulai ramai belajar
ilmu tauhid dan tasawuf kepadanya. Selain mengajar di pengajian, ia

22 Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.”, 7-8.


23 Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.”, 7-8.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 43

juga pernah menjadi tenaga pengajar honorer untuk mata pelajaran


Bahasa Inggris dan Tatabuku pada SMPN dan SMAN.24
Pada tahun 1962, ia hijrah ke Banjarmasin dan tinggal di
kawasan Sungai Miai. Sambil mencari nafkah untuk keluarganya, ia
masih sempat untuk mengajarkan ilmu tauhid dan tasawuf di
Banjarmasin (1966-1967). Pada tahun 1967, ia dipanggil ke Palangka
Raya untuk diangkat menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian
(BPH) Tk I Kalimantan Tengah dengan tugas membantu gubernur/
kepala daerah sampai akhir masa jabatan tahun 1972. Kesempatan
ini tidak disia-siakannya karena dengan posisinya ini ia bisa menga-
jar ilmu tauhid dan tasawuf di Palangka Raya ibukota provinsi
Kalimantan Tengah. Selama tinggal di sana, ia juga sempat menjadi
staf pengajar Fakultas Tarbiyah Palangka Raya pada awal pendirian-
nya. Saat menghadapi pemilu pada tahun 1971, ia diangkat oleh
Menteri Dalam Negeri sebagai anggota Pemilihan Daerah Tk. I
Kalimantan Tengah.25
Pada tahun 1972 ia pindah dan bermukim di Surabaya. Sejak
itu ia tidak lagi aktif dalam partai politik manapun. Karena itu
kegiatannya dapat difokuskan pada pengajaran tauhid dan tasawuf di
berbagai daerah di Jawa seperti Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta.26
Ia sesekali mengajar di beberapa tempat di kawasan Kalimantan
seperti Banjarmasin, Palangka Raya dan Muara Teweh. Di Surabaya
pula ia menulis karya-karya intelektualnya dan kemudian diterbitkan
dan beredar secara nasional. Karya intelektualnya diterbitkan oleh
Penerbit Nur Ilmu Surabaya dan PT Bina Ilmu Surabaya.
Walau sejak tahun 1972 namanya tidak lagi terdaftar pada
partai politik manapun, kepercayaan masyarakat dan pemerintah
masih melekat pada Haderanie karena ia dianggap memiliki penga-
laman dalam politik-pemerintahan. Setelah kembali ke Kalimantan

24 Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.”, 8 dan Lihat bagian
cover belakang buku: Haderanie, Ilmu Ketuhanan Ma’rifat Musyahadah
Mukasyafah Mahabbah (4M) (Surabaya: Nur Ilmu, t.th.).
25 Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.”, 8 dan Haderanie,

Ilmu Ketuhanan (4M), Lihat cover belakang.


26 Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.”, 8 dan Haderanie,

Ilmu Ketuhanan (4M), Lihat cover belakang.


44 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Tengah pada dekade 90-an, ia dipercaya untuk menduduki posisi


penting baik dalam bidang keagamaan maupun politik. Dalam kepe-
ngurusan NU, baik pusat maupun daerah, ia pernah diangkat sebagai
anggota Musytasar PBNU pusat (1999-2004) dan Musytasar DPWNU
Kalimantan Tengah (sejak berdiri hingga 2005). Dalam pemerin-
tahan, ia pernah menjabat sebagai anggota MPR RI utusan daerah
Kalimantan Tengah (1999-2004). Selama menjadi anggota MPR
fraksi DPD (F-UD) periode 1999-2004 ia aktif sebagai anggota Panitia
Ad hoc (PAH) III DPD. Pada pemilu April 2004 lalu, ia terpilih men-
jadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk provinsi
Kalimantan Tengah. Dalam organisasi keagamaan di Kalimantan
Tengah, ia dipilih sebagai ketua umum MUI Kalimantan Tengah
(1992-2008).27 Semua posisi ini menurut Fadli Rahman merupakan
indikator bahwa figur Haderanie tidak hanya seorang dai-sufi sema-
ta, namun juga merangkap sebagai figur negawaran yang handal.
Kedua karir ini ternyata saling mempengaruhi dan memberi sisi
positif antara satu dengan yang lainnya. Atas dedikasinya yang tinggi,
ia dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa oleh The Regents of
Northern California Global University di Jakarta pada tanggal 28 Juli
2002.28
Dalam bidang keagamaan, Haderanie tidak hanya menjadi
pendakwah, pengajar, atau menjadi aktivis organisasi Islam saja, dia
juga seorang penulis buku keagamaan. Terbukti ia telah menerbitkan
beberapa buku tasawuf. Karya-karyanya ini telah tersebar luas di
Indonesia. Ada empat karyanya yang terkenal, yaitu (1) Ilmu Ketuha-
nan Permata yang Indah (Addurun Nafis) Beserta Tanya Jawab, (2)
Ilmu Ketuhanan Ma’rifat Musyahadah Mukasyafah Mahabbah (4M) ,
(3) Asma`ul Husna: Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf, dan (4) Maut dan
Dialog Suci (terjemah dari Mukhtashar al-Tadzkirat Karya Imam
Qurthubi dan Mukhtashar al-Tadzkirat bi Ahwal al-Mawt wa Umur al-
Akhirah karya Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani).

27 Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.”, 9 dan Ruslan Andy
Chandra, “Anggota DPD KH Haderanie HN Meninggal Dunia”, http://www.
kabarindonesia.com (30 Desember 2008) (akses 21 Nopember 2015).
28 Fadli Rahman, “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.”, 9.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 45

Haderanie H.N. meninggal pada hari Ahad 28 Desember 2008


pada usia 75 tahun di RS Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan dan
kemudian dimakamkan di Komplek Makam Muslimin Jl. Tjiluk Riwut
Km. 2,5 Palangka Raya. Ia meninggalkan sejumlah anggota keluarga.
Istrinya bernama Mastian Ruslin binti Asran bin Ahmad dan anaknya
ada sembilan, yaitu: Ashary, Astuti Rahmi, Madurasmi, Murniwati,
Asrarul Haq, Asmarani, Asyraful Auliya, Asyiah Arrani, dan Kumala
sari.29

4. Biografi Singkat M. Zurkani Jahja

M. Zurkani Jahja merupakan intelektual-ulama. Di kalangan


intelektual dan akademisi, namanya dikenal sebagai pakar pemikiran
Islam, baik teologi, tasawuf maupun filsafat Islam. Penguasaannya
akan disiplin ilmu-ilmu keislaman dan kiprahnya di masyarakat me-
nempatkan dirinya sebagai salah satu ulama di Kalimantan Selatan
yang disegani.
M. Zurkani Jahja dilahirkan di Palimbangan, Amuntai,
Kabupaten Hulu Sungai Utara pada tanggal 15 Juni 1941 dan wafat
pada tanggal 7 Februari 2004. Ayahnya bernama H. Jahja, nama inilah
yang melekat pada nama akhirnya, sedang ibunya bernama Hj. Incil.
Zurkani memiliki empat saudara, yaitu H. Sufyan Suri, Hj. St. Asyiah,
H. Haderami, dan H. Abdul Wahid.30 Dia memiliki dua istri. Istri
pertama bernama Hj. Noor Hayati, dan setelah istri pertamanya me-
ninggal ia menikah lagi dengan Hj. Badiah Ma’ruf S.Ag. Dia memiliki
lima anak, yaitu Elvina Fitriani, S. Ag., Yusrina Hidayati, S.Ag., Roslina
Hayati S.Pd.I., Khalisah Artati, S.H.I. dan Ahmad Zaki Fuadi AMK.31
Sejak kecilnya, Zurkani mendapat pendidikan dari orangtua-
nya, terutama sang ayah yang sangat ketat dan disiplin dalam men-

29 Ruslan Andy Chandra, “Anggota DPD KH Haderanie HN Meninggal Dunia”,


http://www.kabarindonesia.com (30 Desember 2008) (akses 21 Nopember
2015).
30 Lihat pada bagian riwayat hidup, pada: M. Zurkani Jahja, Teologi Islam

Ideal di Era Global (Pelbagai Solusi Problem Teologi), (Banjarmasin: IAIN


Antasari, 1997), 36.
31 Hidayat, Apa dan Siapa dari Utara, 95-96.
46 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

didik anak, terutama dalam hal pendidikan agama. Selain mendapat


pendidikan di kalangan keluarga, ayahnya juga memasukkannya ke
lembaga pendidikan formal. Pendidikan formal Zurkani pada tingkat
dasar ditempuh di Sekolah Rakyat Negeri (SRN) Palimbangan (lulus
1953) dan Perguruan Sendi IMI Palimbangan. Pendidikannya di IMI
berlangsung pada sore hari selama 4 tahun (lulus 1954). Kemudian ia
meneruskan pendidikannya di Perguruan Normal Islam, Amuntai
Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah. Sejak memasuki perguruan
inilah mulai tumbuh cita-citanya untuk menjadi seorang pendidik
dan cendekiawan muslim. Setelah menamatkan studinya di Normal
Islam (lulus 1959) ia hijrah ke Banjarmasin untuk meneruskan pen-
didikannya di PGAN lengkap 6 tahun (1961). Setelah itu ia kembali
lagi ke Amuntai, meneruskan pendidikannya di tingkat sarjana muda
di Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari di Amuntai sambil bekerja
sebagai guru agama. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana mudanya
pada tahun 1965 dengan judul risalah: “Seni Sebagai Media Dakwah”.
Selanjutnya, ia meneruskan pendidikannya ke tingkat sarjana
lengkap. Kali ini ia harus menempuhnya di pulau Jawa. Zurkani
memilih IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk melanjutkan studi-
nya. Di sini ia memasuki Fakultas Ushuluddin (Jurusan Dakwah) dan
menyelesaikannya pada tahun 1970 dengan judul skripsi: “Dakwah
di Barito Selatan”. Ketika program pascasarjana di IAIN dibuka pada
awal 80-an (1982), Zurkani yang sudah bekerja (PNS), rela mening-
galkan pekerjaannya dan kembali melanjutkan pendidikannya di
Fakultas Pasca Sarjana (S2 dan S3) di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Ia berhasil menyelesaikan studi S3-nya pada tahun 1987
dengan disertasi yang berjudul: “Metode Pemikiran Abu Hamid al-
Ghazali dalam Teologi Islam” di bawah bimbingan Dr. Nurcholish
Madjid dan Prof. Dr. Baharuddin Harahap.32
Selain pendidikan formal di atas, Zurkani juga pernah mengi-
kuti kursus dan pelatihan di beberapa tempat. Di antara kursus/pela-
tihan yang diikutinya sejak dekade 50-an hingga 90-an adalah (1)

32Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal, 36 dan 39; Hidayat, Apa dan Siapa dari
Utara, 95; Lihat pula: M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali Pendekatan
Metodologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), v dan 281.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 47

Training Center IPNU/GP Anshor se-Kalimantan Selatan di Amuntai


(1956), (2) Kursus Kader Masyarakat (KKM) A IPNU/IPPNU,
Amuntai (1957), (3) Kursus Kader Masyarakat (KKM) B Negeri
(khusus) di Amuntai (1959), (4) Penataran P-4 Tingkat Provinsi di
Amuntai (1978), (5) Studi Purna Sarjana (SPS) Dosen-dosen Seluruh
Indonesia, Angkatan VIII di Yogyakarta, (1982), (6) Short Course on
University Administration, Macquarie University di Sidney, Australia
(1995), (7) Penataran Calon Penatar P-4 Tk. Nasional/Manggala di
Istana Bogor (1995), dan (8) Short Course Programe of Study in
Teaching Quality Assurance in Practice: The UK Experience di
University of New Castle Inggris (1999/2000).33
Selama menempuh pendidikan formal dan kursus/pelatihan,
ia pernah menoreh beberapa prestasi, yaitu menjadi peserta terbaik I
kursus kader masyarakat (KKM) B Negeri Khusus dari Kantor
Pendidikan Masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Utara (1959),
Sarjana teladan II Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga dari
Dekan Fakultas Ushuluddin Yogyakarta (1970) dan Peserta terbaik I
dalam Studi Purna Sarjana (SPS) dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia
angkatan VIII dari penyelenggara IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(1982).34
Karir Zurkani diawali sebagai guru agama ketika ia diangkat
oleh Kepala Jawatan Pendidikan Agama Departemen Agama dengan
jabatan Guru Agama Putera pada tanggal 1 Mei 1961. Ia kemudian
mengajar di Perguruan Normal Islam (1961-1967) dan guru agama
pada PGA 6 Tahun Rakha Amuntai (1963-1967) serta guru agama
pada SMAN Candi Agung Amuntai (1967). Ia kemudian pindah beker-
ja di Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Kalimantan
Selatan di Banjarmasin (1971-1977). Tetapi kemudian ia kembali
mengajar di Amuntai, yakni menjadi dosen luar biasa pada Fakultas
Ushuluddin dan Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari, Amuntai (1978-
1979). Setelah menyandang dosen luar biasa, Zurkani kemudian

33 Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal, 37 dan Lihat pula biodata penulis pada:
M. Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2010), 733.
34 Hidayat, Apa dan Siapa dari Utara, 97.
48 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

menjadi dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari (1980-


2004). Selain menjadi dosen tetap Fakultas Ushuluddin, ia juga
menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari
cabang Samarinda dan STIA Rakha Amuntai sejak tahun 1988 hingga
akhir dekade 90-an.35 Ketika Program Pascasarjana dibuka di IAIN
Antasari ia juga menjadi salah satu pengajar utama di program ini
dari tahun 2000 hingga 2004.
Jabatan yang pernah didudukinya di lembaga pendidikan dan
pemerintahan sejak dekade 60-an hingga dekade 90-an, adalah (1)
wakil kepala sekolah PGA 6 tahun Rakha Amuntai (1963-1967), (2)
Kepala Seksi Perguruan Agama pada Bidang Pendidikan Agama
Kanwil Departemen Agama Propinsi Kalimantan Selatan (1973-
1977), (3) Dekan Fakultas Tarbiyah Rakha Amuntai (1978-1980), (4)
Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin (1980-
1982), (5) Pembantu Rektor III IAIN Antasari Banjarmasin (1989-
1993), (6) Pembantu Rektor II IAIN Antasari Banjarmasin (1993-
1996), dan (7) Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarma-
sin (1996-2000). Jabatan akademik tertinggi yang telah diraihnya
adalah Guru Besar Ilmu Filsafat Islam. Pidato pengukuhan guru
besarnya disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka IAIN Antasari
pada tanggal 16 Agustus 1997 dengan judul orasi ilmiah: “Teologi
Ideal Era Global (Pelbagai Solusi Problem Teologis)”.36
Zurkani Jahja juga aktif berorganisasi dan terlibat dalam
kepengurusan beberapa perkumpulan. Posisinya di beberapa organi-
sasi dan lainnya sejak dekadee 60-an hingga dekade 90-an adalah (1)
Ketua Lembaga Sosial Desa (LSD) Palimbangan (1961-1963), (2)
Ketua Ranting IPQIR Desa Palimbangan (1961-1965), (3) Ketua Senat
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UNISAN Amuntai (1963-1965), (4)
Ketua Cabang PMII Amuntai (1964-1966), (5) Pemimpin Redaksi
Majalah Bulanan “Media Pendidikan Agama”, Banjarmasin (1975-
1977), (6) Ketua Pengurus Madrasah Ibtidaiyyah al-Irsyad Palimba-

35 Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal, 2 dan 37; Zurkani Jahja, Teologi Al-
Ghazali, 281; dan Zurkani Jahja, 99 Jalan, 733; Hidayat, Apa dan Siapa dari
Utara, 95-96.
36 Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal, 37; dan Zurkani Jahja, 99 Jalan, 733.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 49

ngan (1977-1987), (7) Ketua Dewan Pembina Pondok Pesantren al-


Istiqamah Banjarmasin (1985-1990), (8) Ketua Umum Panitia
Pembangunan Masjid Assa’adah Beruntung Jaya Banjarmasin (1991-
1996), (9) Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah NU Provinsi
Kalimantan Selatan Banjarmasin (1991-1996), dalam kepengurusan
Tanfidziyah ini ia bersama dengan H. Tabrani Basri (wakil ketua), H.
Babdera (wakil ketua) dan H. Husin Naparin (wakil ketua). Pada
kepengurusan periode ini ia menggantikan H.M. Saleh Fauzie (perio-
de 1986-1990); (10) Anggota Dewan Pakar ICMI Orwil Kalimantan
Selatan Banjarmasin (1992-1995), (11) anggota Dewan Pertimba-
ngan DPD Golkar Tk I Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin
(1994-1999), (12) Anggota Dewan Penasihat ICMI Orwil Kalimantan
Selatan Banjarmasin (1995-2004), (13) Anggota Pleno Pengurus MUI
Tk I Kalimantan Selatan Banjarmasin (1992-1996), (14) Anggota
Dewan Pertimbangan Pengurus MUI Tk I Kalimantan Selatan
Banjarmasin (1996-2004), (15) Anggota Senat IAIN Antasari Banjar-
masin (1994-2004), (16) Anggota Dewan Pakar Himpunan Peminat
Ilmu Ushuluddin (HIPIUS) Pusat Jakarta (1996-2004), (17) Anggota
Komisi Penelitian dan Pengembangan Daerah Tk. I Provinsi Kaliman-
tan Selatan (sejak 1997), (18) Anggota Gerakan Sasanga Banua Dati I
Kalimantan Selatan Banjarmasin (sejak 1997), (19) anggota Satgas
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) wilayah XI
Kalimantan (sejak 1996).37 Ia juga pernah menjadi Ketua Yayasan
Serba Bakti, Pondok Pesantren Suryalaya Perwakilan Banjarbamasin,
sekaligus Pimpinan Pondok Remaja Inabah (Pusat Rehabilitasi
Korban Narkoba) Banjarmasin.38
Selain sebagai aktivis, intelektual, pejabat dan pendidik,
Zurkani Jahja ternyata juga seorang mursyid tarikat. Di kediamannya,
di Komplek Margasari Kertak Hanyar ia membimbing tarikat Qadiriy-
yah wan Naqsyabandiyyah (TQN). Ia mengambil tarikat ini dari

37 Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal, 38. Untuk keterlibatannya dalam PWNU
lihat pula Ahdi Makmur dkk., Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama, 57.
Lihat pula kepengurusan PWNU 1991-1995 pada lampiran penelitian Ahdi
Makmur dkk.
38 Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Allah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren),

734.
50 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Syekh Tajul Arifin di Suralaya. Garis silsilah TQN cabang Margasari


Kertak Hanyar adalah sebagai berikut: Zurkani Jahja menerimanya
dari Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), Abah Anom menerima-
nya dari Syekh Abdullah Mubarak, Abdullah Mubarak menerimanya
dari Syekh Ahmad Thalhah Cirebon, Syekh Thalhah mengambilnya
dari Syekh Abdul Karim al-Bantani, dan al-Bantani mengambilnya
dari Ahmad Khatib Sambas (pendiri tarikat Qadiriyah-Naqsyaban-
diyah).39
Zurkani Jahja merupakan dosen dan intelektual muslim yang
produktif menulis. Berikut ini adalah tulisan-tulisannya dalam ben-
tuk makalah dan artikel ilmiah yang disajikan dalam acara diskusi,
seminar, pelatihan dan publikasi jurnal ilmiah, yaitu: (1) Asy’arisme
dan Primitivisme, (2) Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu): Studi
tentang Teologi dan Ajaran, (3) Islam dan Kebatinan: Studi tentang
Aliran Paryana Suryadipura, (4) Karakteristik Sufisme yang Berkem-
bang di Nusantara Abad ke-17 dan 18, (5) Karakteristik Intelektula
Muslim (Sebuah Refleksi terhadap Ayat 190-191 Ali Imran), (6)
Mengenal Allah dengan al-Asma` al-Husna, (7) Beberapa Catatan
Sekitar Etos Kerja Masyarakat Islam di Kalimantan Selatan, (8) Nilai-
nilai tradisi Keislaman dan Posisinya dalam Pembangunan, (9) Kesia-
pan dan Perilaku Generasi Muda Muslim dalam Mewujudkan Kemaju-
an Islam Ditinjau dari Syariat Islam, (10) Strata Pengajian Tasawuf
dalam Konsepsi Abu Hamid al-Ghazali, (11) Warisan Budaya Agama
dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esaa, (12) Ide
Pembaharuan Nurcholish Madjid, (13) Bahasa Banjar Arkais dalam
Kitab Sabil al-Muhtadin, (14) Hubungan Antara Syariat dengan
Kehidupan Spiritualitas (Tarikat), (15) Syariat, Sufisme dan Tarikat
(Refleksi terhadap Beberapa Kasus di Kalimantan Selatan), (16) Kon-
sepsi Agama Islam tentang Pembinaan Keagamaan dan Ketertiban
Masyarakat, (17) Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia
dalam Pandangan Islam, (18) Islam di Kalimantan Selatan (masukan
dalam Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu), (19) Pesantren

39 Rahmadi, Jaringan Intelektual Ulama Banjar Abad XIX dan XX (Studi


tentang Proses, Pola dan Ekspansi Jaringan) (Banjarmasin: Antasari Press,
2010), 262.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 51

Rasyidiyah Khalidiyah, (20) Sabil al-Miuhtadin, (21) Al-Ghazali, Sufis-


me dan Teologi, (22) Spiritualitas Islam, (23) Sufisme dan Kehidupan
Modern, (24) Beberapa Catatan Sekitar Moralitas Umat Beragama
dalam Masyarakat Pluralistik, (25) Tanggapan Terhadap Ajaran
Tasawuf Akhlak Achmad Abdullah Terang Banjarmasin, (26) Memilih
Masalah Penelitian untuk Skripsi Pada Fakultas Ushuluddin, (27) Etos
Kerja Masyarakat Islam di Kalsel, (28) Peranan Agama dalam Mem-
perkuat Jati Diri Bangsa, (29) Jenjang Pendidikann Akidah Umat Islam
Menurut Al-Ghazali, (30) Pendekatan Rasional terhadap Masalah
Akidah dan Moral, (31) Metodologi Penelitian Studi Naskah/Literatur
Histori, (32) Penyalahgunaan Ekstasi dan Sejenisnya, Ditinjau dari
Aspek Psikis, Fisik, Sosial dan Agama, (33) Samaniyah dan Tarekat-
tarekat Lainnya: Hubungan Ajaran, (34) Aktualisasi Filsfat dalam
Teologi Islam, (35) Dakwah dan Pemberdayaan Umat, (36) Pemikiran
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Bidang Teologi dan Tasawuf,
(37) Problematika Dakwah di Pedesaan, Unit Pemukiman Transmi-
grasi dan Masyarakat: Kerjasama Mengatasinya, (38) Pemahaman
Institusi keluarga serta Perubahan Posisi dan Peran Pria Wanita
dalam Keluarga Bahagia Sejahtera, (39) Kemungkinan Adanya Ko-
eksistensi antara Asyari dan Primitivisme (Himmah Palangkaraya),
dan (40) Teologi Islam Era Global (Pelbagai Solusi Problem Teolo-
gis).40 Selain itu, ia aktif pula menulis secara rutin di Tabloid Serambi
Ummah, membidangi rubrik Filsafat Islam, Tasawuf dan Kalam.
Tulisannya yang paling banyak dan populer di tabloid ini adalah
paparannya mengenai al-Asmâ` al-Husnâ yang ditulis mulai 7
Agustus 1998 hingga selesai pada edisi nomor 049. Tulisan inilah
yang kemudian diterbitkan dengan judul Asmaul Husna (dua jilid)
pada tahun 2002 oleh Grafika Wangi Kalimantan.
Karya intelektual Zurkani Jahja juga ada yang berbentuk
laporan hasil penelitian baik dilakukan secara individu maupun
berkelompok. Selama karier akademiknya sebagai dosen, ia pernah
beberapa kali melakukan penelitian. Inilah beberapa hasil penelitian-
nya: (1) Potensi Madrasah di Kalimantan Selatan (Anggota Tim

40Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal, 40-41; lihat pula Hidayat, Apa dan Siapa
dari Utara, 96-97.
52 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Peneliti), BAPPEDA, 1974, (2) Pemikiran-pemikiran Keagamaan


Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Anggota Tim Peneliti), IAIN
Antasari, 1989, (3) Faktor-faktor Penyebab Sedikitnya Calon Maha-
siswa Baru Fakultas Ushuluddin (Ketua Tim Peneliti), IAIN Antasari,
1990, (4) Transkripsi dan Anotasi Kitab Sabil al-Muhtadin (Anggota
Tim Peneliti), IAIN Antasari, 1992, dan (4) Unsur-unsur Filsafat dalam
Kitab Siraj al-Muhtadin Karya H. Asy’ari Sulaiman (penelitian
individu), IAIN Antasari 1996.41
Adapula beberapa karya intelektual Zurkani Jahja yang ditulis
dalam bentuk buku. Sebagiannya ada yang dicetak dan dipublikasi-
kan dan adapula yang belum diterbitkan dan dipublikasikan. Bebe-
rapa karya yang belum dipublikasikan ini hanya tersimpan di
perpustakaan dan beredar di kalangan terbatas berbentuk diktat.
Beberapa karyanya yang belum diterbitkan adalah: (1) Asal Usul
Aliran Kebatinan (1980), (2) Pengantar Studi Aliran Kebatinan
(1981), (3) Pengantar Psikologi Sosial (ADIB, Banjarmasin, 1981), (4)
Risalah Aliran Kebatinan di Indonesia (1982) dan Sejarah Keperca-
yaan Masyarakat Indonesia: Kejawen dan Kaharingan (1985).
Selanjutnya, karya intelektualnya yang telah dipublikasikan baik
sebagai tim penulis maupun penulis tunggal adalah sebagai berikut:
(1) Teologi al-Ghazali Pendekatan Metodologi (1996) diterbitkan oleh
pustaka Pelajar; (2) “Asal Usul Thorekat Qadiriyah Naqsabandiyah
dan Perkembangannya” sebagai kontributor dalam Harun Nasution
(ed.), Thoriqat Qadiriyah Naqsyabandiyah (diterbitkan oleh IAI Al-
Mubarakiyah, Tasikmalaya, 1990), (3) Sejumlah entri dalam
Ensiklopedi Islam Indonesia dan Ensiklopedi Sejarah dan Kebudayaan
Melayu, (4) Sebagai salah satu tim penulis pada buku Sejarah Banjar
(diterbitkan oleh Balitbangda Kalsel), dan terakhir adalah Asmaul
Husna (2 jilid) terbit pada tahun 2002 dan kemudian diterbitkan
ulang dan dipublikasikan secara nasional dengan judul baru 99 Jalan
Mengenal Tuhan (2010) diterbitkan oleh Pustaka Pesantren
Yogyakarta.42

41Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal, 39.


42 Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal, 39; Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal
Tuhan, 734.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 53

Zurkani Jahja dikenal sebagai sosok pemikir Ghazalian. Se-


mua sahabat dan murid-muridnya memahami dan memaklumi
bahwa ia sangat mengagumi dan dipengaruhi al-Ghazali.43 Karena
itulah ia kemudian menulis disertasi tentang pemikiran teologi al-
Ghazali dari sisi metodologinya. Kajiannya yang mendalam mengenai
metode teologi al-Ghazali berhasil menemukan dan memetakan
pemikiran teologi al-Ghazali yang sering dianggap tidak konsisten
oleh sejumlah pengkaji dan pengkritik al-Ghazali. Temuannya me-
nunjukkan bahwa bangunan pemikiran al-Ghazali merupakan bangu-
nan pemikiran yang sistematis dan utuh tanpa kontradiksi. Kajiannya
terhadap al-Ghazali ini tidak hanya menambah kedalaman dan
kekagumannya terhadap sosok al-Ghazali tetapi juga kemudian
mempengaruhi cara berpikirnya dalam menganalisis tema-tema
keislaman dengan menggunakan metode al-Ghazali. Manhaj (meto-
de) al-Ghazali yang ditemukan dan digunakannnya adalah sintesis
dari tiga metode, yaitu metode tekstual yang dikembangkan ulama
salaf, metode rasional-dialektis dari kalangan Kalam (Asyariyah) dan
metode spiritual-sufisme.44

5. Biografi Singkat Husin Naparin

Husin Naparin lahir di Kalahiang, Paringin, Hulu Sungai


Utara (Balangan) Kalimantan Selatan, tanggal 10 November 1947.
Ayahnya bernama H. Muhammad Arsyad (wafat 1961 M/ 1381 H)
dan ibunya bernama Hj. Rusiah. Istrinya bernama Dra. Hj. Unaizah
Hanafie (lahir 1954). Istrinya bekerja sebagai PNS (Guru. MAN I
Banjarmasin) dari tahun 1984-2005. Selanjutnya beralih menjadi
Kepala Sekolah Tsanawiyah SMIP 1946, Banjarmasin sejak 2006-

43 Mengenai komentar sahabat dan murid-muridnya mengenai dirinya lihat:


Tim Kafusari, Buletin Silaturrahmi Media Komunikasi Alumni Fakultas
Ushuluddin No. 3 (Mei 2011), 7-12.
44 Mujiburrahman, “Pengantar Penyunting: Ghazalianisme Zurkani Jahja, 99

Jalan Mengenal Tuhan, Ix-x


54 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

sekarang. Beliau menikah dengan istrinya ini pada hari Ahad 15 Juli
1979 di Banjarmasin.45
Riwayat Pendidikan Husin Naparin pada lembaga Pendidikan
Formal adalah (1) SDN Kalahiang, Paringin 1953 s/d 1959 (Ijazah
1959), (2) PGA Swasta Komplek Al Hasaniah, Layap Paringin 1959
s/d 1962, (3) Normal Islam Putera, Amuntai, Kalimantan Selatan
(sederajat Tsanawiah dan Aliyah) 1962 s/d 1966 (Ijazah tahun
1967), (4) Fakultas Ushuluddin, IAIN Antasari Cabang Banjarmasin
di Amuntai 1966-1969 (Sarjana Muda, ijazah tahun 1969), (5)
Fakultas Ushuluddin, Al Azhar University, Cairo, Jurusan Al-Da’wah
wa al-Irsyad, 1972/1973 (Lisence/Lc., ijazah tahun 1976), (6) Punjab
University, Lahore, Pakistan, Jurusan Islamic Studies (MA) tahun
1984 (ijazah 1986), (7) Islamic University, Islamabad, Pakistan,
Jurusan Bahasa Arab 1984 s/d 1987 (MA) (Ijazah tahun 1987).
Sementara pendidikan nonformalnya adalah (1) Kursus Bahasa
Inggris tingkat Intermediate di The American University, Cairo, tahun
1976/1977 dan tingkat Advanced di The House of Knowledge,
Islamabad, Pakistan tahun 1984 (ijazah tahun 1984) dan (2) Penata-
ran P4 pola pendukung 120 jam dari tanggal 17 November s/d 2
Desember 1981, di Jeddah, Piagam tahun 1981).46
Semasa studi ia rajin dan aktif mengikuti sejumlah organisasi.
Di antaranya adalah (1) Wakil Ketua Perkumpulan Pelajar Nahdhatul
Muta’allimin (Intra sekolah) 1965-1966, (2) Bendahara Persatuan
Pelajar Indonesia (PPI), Kairo, 1974-1975, (3) Pembantu Wakil Tetap
Pelajar Indonesia (pada Badan Solidaritas Perhimpunan Pelajar Asia
Tenggara di Kairo, 1973 s/d 1975, (4) Ketua Majelis Pembacaan Al
Qur’an (MPA) Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Kairo, 1976-1977,
(5) Penasihat Pelajar Indonesia di Pakistan tahun 1985-1986.47
Selain aktif berorganisasi, pada masa mudanya beliau juga
rajin mengikuti perlombaan. Dalam beberapa perlombaan ia berhasil

45 https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19 Nopember


2015)
46 https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19 Nopember

2015).
47 https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19 Nopember

2015)
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 55

meraih beberapa prestasi, yaitu (1) Juara terbaik I Lomba Pidato


antar pelajar Komplek Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai, 1964, (2)
Khatib terbaik II pada lomba khatib, Harlah Depag XXII se Kabupaten
Hulu Sungai Utara di Amuntai tahun 1969, (3) Qari terbaik I MTQ
Kecamatan Paringin, 1968, (4) Qari terbaik III MTQ Kecamatan
Paringin tahun 1969, (5) Qari terbaik III MTQ antar Mahasiswa se-
IAIN, tahun 1967, (6) Qari terbaik III MTQ Kecamatan Paringin tahun
1972, (7) Pembaca puisi terbaik III antarmahasiswa se-IAIN tahun
1967, dan (8) pembaca puisi terbaik I antar mahasiswa Indonesia di
Kairo, tahun 1975.48
Karir beliau dimulai sebagai (1) guru Normal Islam pada
tahun 1968-1972, (2) Pegawai Musim Haji KBRI Jeddah tahun 1975,
1977, dan 1978, (3) Pegawai setempat KBRI Jeddah (Local Staff)
pada bagian Tata Usaha dan kemudian Politik tahun 1978 s/d 1983,
(4) Dosen STAI Al Jami Banjarmasin.sejak tahun 1987, (5) Dosen
Luar Biasa pada IAIN Antasari Banjarmasin, di sini beliau mengajar
Bahasa Arab di Fakultas Dakwah dan Pasca Sarjana, mengajar ‘Ulum
Al-Qur’an & Bahasa Arab Program Khusus di Fakultas Ushuluddin,
mengajar Tarjamah pada Fakultas Tarbiyah, dan mengajar Fiqih
pada Fakultas Syariah Al-Falah Banjarbaru. (6) Sekarang sebagai
Dosen STAI Al Jami’ Banjarmasin dengan pangkat Pembina Tk I
(IV/b) dan jabatan sebagai Lektor Kepala Madya.49
Dalam karirnya sebagai ulama, pendidik dan organisatoris, ia
telah menduduki beberapa jabatan. Di antara jabatan yang pernah
didudukinya pada lembaga pendidikan pondok pesantren adalah: (1)
Pimpinan PP “Hunafaa” Banjarmasin tahun 1985 s/d sekarang, dan
(2) Ketua Umum Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Kota Ban-
jarmasin tahun 1992-1997. Untuk pengelolaan tempat ibadah (terka-
it kemasjidan) ia pernah menjabat (1) Ketua Bidang Peribadatan
Badan Pengurus Masjid Jami Banjarmasin, (2) Penasihat Pembangu-
nan Masjid Noor dan Masjid Agung Banjarmasin, (3) Ketua Umum

48 https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19 Nopember


2015)
49 https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19 Nopember

2015)
56 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Badan Pengelola Masjid Raya Sabilal Muhtadin tahun 1999-2001 dan


2001-2004, (4) Ketua Dewan Masjid Provinsi Kal-Sel tahun 1999-
2004, dan (5) Anggota Pengurus Badan Kesejahteraan Masjid Kal-
Sel sejak tahun 1991. Dalam bidang pendidikan secara organisasi
kelembagaan, ia pernah menjabat sebagai (1) Wakil Dekan STIT
Rakha tahun 1998, (2) Ketua STAI Al Jami Banjarmasin sejak tahun
1998, dan (3) Anggota Dewan Pertimbangan Pendidikan Provinsi
Kal-Sel. Pada organisasi keagamaan (Ormas Islam) ia pernah mendu-
duki jabatan sebagai (1) wakil ketua Komisi Fatwa MUI Provinsi Kal-
Sel, (1990-1995), (2) anggota Komisi Fatwa MUI (1995-2000), (3)
Sekretaris Komisi Fatwa MUI tahun 2001-2006, (4) Ketua Umum
MUI Kota Banjarmasin (1992-1997 dan 1997-2002), (5) Dewan
Hakim MTQ antar masyarakat Indonesia di Saudi Arabia tahun 1983,
(6) Dewan Hakim MTQ Kal-Sel sejak tahun 1990; ketua Koordinator
Dewan Hakim STQ di Barabai tahun 2002 dan MTQ Nasional XXII
tingkat Propinsi Kalimantan Selatan di Tanjung tahun 2003, STQ
2004 di Banjarmasin, (7) Ketua Bidang Tafsir Dewan Hakim MTQ di
Tapin tahun 2006, (8) Anggota LPTQ Propinsi Kal-Sel sejak tahun
1990, (9) Ketua I LPTQ Kal-Sel tahun 2003-2006, Penasehat LPTQ
Kalsel tahun 2006–2009, (10) Penasehat BAZ Kota Banjarmasin
tahun 2004 dan Anggota Pengurus BAZ Kal-Sel sejak tahun 1999,
(11) Ketua III Tanfiziah NU TK. I Kal-Sel tahun 1990-1995, (12)
Anggota Dewan Pakar ICMI Kal-Sel.50 Jabatan penting Husin Naparin
saat ini adalah sebagai Ketua MUI Provinsi Kalimantan Selatan.
Di samping itu, ia juga terlibat dalam struktur beberapa
organisasi dan lembaga sosial-budaya, ekonomi bahkan politik, Di
antaranya adalah (1) Anggota Pengurus Bank Mata Indonesia cabang
Banjarmasin tahun 2000-2004, (2) Anggota Lembaga Budaya Banjar,
(3) Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai Bulan Bintang Kal-Sel,
(4) Anggota Pengurus P 2A Kal-Sel. sejak tahun 1993, (5) Penasihat
Beberapa Organisasi seperti Bela diri “Honggo-Dremo,” Kota Banjar-
masin, Masyarakat Pemerhati Sungai Barito, Ikatan Pencinta Retorika
Indonesia Kal-Sel, Kerukunan Keluarga Kalahiyang (K3) Banjarma-

50 https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19 Nopember


2015)
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 57

sin, HIPPINDO Kalimantan Selatan, Badan Koordinasi Panti Asuha


Indonesia (BAKORPIN) tahun 2006 – 2011, (6) Sekretaris Keruku-
nan Keluarga Alumni Kairo, Banjarmasin, (7) Dewan Pakar Komisi
HAM Kal-Sel tahun 1998, (8) Anggota Panitia Pembangunan Mahligai
Al-Qur’an Kal-Sel tahun 2001, (9) Pengarah Tim Peneliti dan
Penasehat Pembentukan Daerah Kabupaten Balangan tahun 2001,
(10) Ketua Dewan Syariah Institut Khaira Ummah Banjarmasin, (11)
Wakil Ketua Badan Pengawas Pengurus Pusat Inkubasi Usaha Kecil
(PINBUK) Kal-Sel, (12) Anggota Badan Koordinasi Narkotika Nasio-
nal Kalimantan Selatan, (13) Anggota Dewan Penyantun Politeknik
Negeri Banjarmasin tahun 2001, (14) Penasehatan Perkawinan dan
Konsultasi Keluarga BP-4 Kalsel tahun 2003-2006, (15) Anggota
Dewan Pengawas Syari’ah Bank BPD Kalsel tahun 2004–2006, (16)
Ketua Umum Pusat Pengembangan ESQ Kalsel tahun 2004–2006,
(17) Ketua Umum Forum Umat Islam Kalimantan Selatan tahun
2006, (18) Pembina Program Study Akuntansi Lembaga Keuangan
Syari’ah (D.V), Politiknik Banjarmasin tahun 2006.51
Selain beraktivitas sebagai pendidik di perguruan tinggi ia
juga aktif dalam kegiatan dakwah dan sosial keagamaan. Di
antaranya ia menjadi (1) Penatar Calon Jemaah Haji sejak tahun
1997, Pembimbing Ibadah, Kaltrabu Travel, Banjarmasin, sejak tahun
2000 dan sebagai TPHD tahun 1994 dan TPIH tahun 1997, (2)
Melaksanakan Dakwah Islamiyah berupa ceramah, pengajian, khot-
bah, diskusi, penyaji makalah keagamaan di Kal-Sel, dan ceramah di
Kal-Teng, dan Kal-Tim; dalam berbagai kesempatan bulan Muharram,
Rabi’ul Awwal, Rajab dan Ramadhan dan sebagai Penyuluh Agama
Utama di Kalimantan Selatan), (3) Pengasuh Ruang Konsultasi Hidup
Dan Kehidupan RRI Nusantara III Banjarmasin sejak tahun 1993 dan
Radio Dakwah Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin sejak
tahun 1999, (4) Pengasuh Rubrik “FIKRAH” Harian Banjarmasin Post
sejak tahun 2000, (5) Pengasuh Rubrik Tanya-Jawab Agama Islam,
Kalimantan Post sejak tahun 1988, (6) Konsultan Tabloid Serambi

51 https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19 Nopember


2015)
58 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Ummah Banjarmasin, dan (7) Pembimbing Ibadah (Haji dan Umrah)


PT. Kaltrabu Indah Tour Banjarmasin.52
Sebagai seorang akademisi, maka kegiatan ilmiah juga men-
jadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya. Karena itu
banyak forum ilmiah yang sudah dihadirinya. Di antara yang pernah
diikutinya adalah: (1) Pembawa Makalah Pada Diskusi tentang
Ekonomi Islam Antar Mahasiswa Indonesia di Kairo, 25 Pebruari
1997, (2) Peserta Seminar tentang Minoritas Muslim di Dunia yang
diselenggarakan oleh King Abdul Aziz University, Jeddah, Saudi
Arabia, tahun 1981, (3) Peserta Seminar Pola Pembinaan LPTQ Tk. I
Kal-Sel. di Banjarmasin, 7 Agustus 1987, (4) Peserta Lokakarya
tentang Islam dan Kebersihan Lingkungan Hidup MUI Tk. I Kal-Sel.
tahun 1987, (5) Peserta Seminar Kelangsungan Hidup Anak, BKKBN
Tk. I Kal-Sel, Mei 1990 di Banjarmasin, (6) Peserta Musyawarah
Intern Umat Islam, Depag. Tk. I Kal-Sel. di Banjarmasin, Agustus
1990, (7) Pembanding makalah pada seminar Tasauf di IAIN Anta-
sari. 11-12 November 1993. dll., (8) ESQ Leadership Training
Jakarta, Oktober 2003, dan (9) Syariah Based Bisniss Training, Jakarta
2004.53
Di samping kesibukannya yang begitu padat, Husin Naparin
juga produktif menulis. Sejumlah bukunya telah dipublikasikan di
antaranya adalah (1) Bunga Rampai Timur Tengah Jilid I dan II (Bina
Ilmu, 1989), (2) Muhammad Rasulullah (Kalam Mulia, 1994), (3)
Aktualisasi Fungsi Masjid dalam Bidang Pendidikan (Kanwil Depag
Kalsel, 1990), (4) Tata Cara Berdoa (Bina Ilmu, 1997), (5) Istighfar
dan Taubat (Bina Ilmu, 1997 dan ElKahfi, 2005), (6) Tuntunan
Praktis Ibadah Jamaah Haji (Banjarmasin Post, 1999), (7) Siang
Malam Bersama Nabi Saw (PT Grafika Wangi Kalimantan, 2006), (8)
Fikrah jilid 1-4 (El-Kahfi, 2005), (9) Tuntunan Praktis Shalat Tahajud

52 https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19 Nopember


2015)
53 https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19 Nopember

2015)
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 59

(Grafika Wangi Kalimantan, 2007), (10) Memahami Al-Asma Al-Husna


(jilid 1-2) (PT Grafika Wangi Kalimantan, 2009).54

6. Biografi Singkat Muhammad Bakhiet

Muhammad Bakhiet (adapula yang menulisnya Bachiet) lahir


di Telaga Air Mata (Kampung Arab) Barabai (Kabupaten Hulu Sungai
Tengah) pada tanggal 1 Januari 1966. Ayahnya bernama (Tuan Guru)
H. Ahmad Mughni dan ibunya bernama Hj. Zainab. Ia memiliki tujuh
saudara, 1 laki-laki dan 6 perempuan, yaitu Hj. Zahrah, Hj. Bulkis, Hj.
Khamsah, Hj. Jum’ah, Hj. Syarifah, H. Abdussalam dan Siti Aminah. Ia
dan adiknya, H. Abdussalam menjadi ulama seperti ayah mereka.
Muhammad Bakhiet merupakan keturunan Syekh Muham-
mad Arsyad al-Banjari. Garis silisilahnya adalah sebagai berikut:
Muhammad Bakhiet bin Ahmad Mughni bin Ismail bin Muhammad
Thahir bin Syihabuddin bin Muhammad Arsyad al-Banjari. Meski
dalam buku tentang riwayat hidup dan daftar keturunan Syekh
Arsyad al-Banjari, nama Muhammad Bakhiet juga nama ayah dan
kakeknya tidak tercantum, tetapi informasi ketersambungannya de-
ngan Bani Arsyadi (keturunan Syekh Arsyad) telah populer dan
dimaklumi banyak orang. Dalam buku Abu Daudi, silsilah yang tertu-
lis hanya sampai pada Muhammad Thahir, yaitu Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari memiliki anak bernama Syekh Syihabuddin, dan
Syekh Syihabuddin memiliki anak bernama Muhammad Thahir, sam-
pai di sini garis silsilah pada buku Abu Daudi terhenti. Keterputusan
silsilah semacam ini juga dijumpai pada garis silsilah keturunan
Syekh Arsyad al-Banjari lainnya. Karena itu, biasanya Abu Daudi
menyatakan “dan anak-anak yang maklum pada mereka”.
Sebagai keturunan ulama besar, tradisi keulamaan Syekh
Arsyad al-Banjari juga mengalir pada diri Muhammad Bakhiet. Apala-
gi secara keseluruhan dari Syekh Arsyad hingga ayahnya, Ahmad
Mughni semuanya merupakan ulama yang berpengaruh. Syekh

54Lihat Biografi Penulis pada bagian belakang cover sampul depan pada:
Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna (Banjarmasin: PT Grafika
Wangi Kalimantan, 2013).
60 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Syihabuddin merupakan salah satu anak Syekh Arsyad yang menon-


jol. Selain belajar kepada Syekh Arsyad, ia juga belajar ke Makkah,
salah satu gurunya adalah Syekh Dawud al-Fathani (w. 1847) dan
Syekh Ahmad Marzuki. Ia pernah menjabat sebagai qadhi dan mufti
kerajaan Banjar dan pernah mengajar di Kerajaan Riau Lingga Pulau
Penyengat pada tahun 1842 pada masa pemerintahan Raja Ali Haji,
raja yang juga menjadi sahabatnya. Syekh Syihabuddin memiliki anak
yang bernama Muhammad Thahir yang menjadi ulama di Alabio.
Selanjutnya, Muhammad Tahir memiliki anak yang juga menjadi
ulama yang bernama Tuan Guru Ismail yang berasal dari Alabio
kemudian pindah ke Nagara. Di Nagara ia menjadi guru dari banyak
ulama baik yang berasal dari Nagara sendiri maupun yang berasal
dari luar Nagara. Tuan Guru Ismail memiliki tiga anak yang menjadi
ulama, yaitu Tuan Guru Abdul Wahab, Tuan Guru Syibli dan Tuan
Guru Ahmad Mughni. Ahmad Mughni, ayah Muhammad Bakhiet,
merupakan ulama berpengaruh terutama di Nagara, Kandangan dan
Barabai. Ia dan adiknya, Tuan Guru Syibli pernah belajar di Makkah
(Madrasah Shaulatiyah dan halaqah Masjidil Haram) selama bebera-
pa tahun. Gurunya di Makkah merupakan ulama-ulama yang berpe-
ngaruh dan populer di kalangan penuntut ilmu dari Asia Tenggara.55
Dengan adanya darah ulama yang secara berkesinambungan
mengalir dalam darah leluhur hingga pada diri Muhammad Bakhiet,
maka tidaklah mengherankan jika ia kemudian menjadi salah satu
ulama Banjar kontemporer terkemuka dan berpengaruh di Kaliman-
tan Selatan. Ia mewarisi bakat keulamaan dari ayah, kakek, dan
leluhurnya, ditunjang dengan pendidikan yang diperolehnya dari se-
jumlah ulama termasuk ayahnya sendiri semakin membentuk bakat
keulamaannya.
Pendidikan awal Muhammad Bakhiet dimulai di lingkungan
keluarga yang kental dengan nuansa keagamaan. Pendidikan formal
yang pernah ditempuhnya pada tingkat dasar hanya sampai berjalan
empat tahun. Ia hanya sampai pada kelas IV (1976). Ia lebih banyak
belajar secara nonformal kepada sejumlah guru terutama pada

55Lihat Rahmadi, Jaringan Intelektual Ulama Banjar, 53-55; Muslim Safwan,


100 Tokoh Kalimantan, 172-178.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 61

ayahnya. Pada tahun 1977, ia memasuki pendidikan di Pondok


Pesantren Ibnul Amin Pamangkih. Di pesantren ini ia belajar selama
tiga tahun (1977-1980). Di sinilah ia belajar kepada Tuan Guru
Mahfuz Amin, ulama berpengaruh pendiri pesantren Ibnul Amin.
Pada tahun 1980 ia meneruskan pendidikannya ke Pondok Pesan-
tren Darussalam Martapura. Tetapi ia tidak lama belajar di pesantren
ini, yakni hanya sekitar enam bulan. Ia kemudian pindah ke Pondok
Pesantren Darussalamah dan belajar di sini selama 1,5 tahun. Selama
tinggal di Martapura ia sempat berguru kepada seorang ulama
berpengaruh yaitu Tuan Guru Syukri Unus. Sekitar tahun 1982 ia
kembali ke Barabai, kembali berguru kepada ayahnya sendiri, Ahmad
Mughni. Selain itu ia juga belajar kepada Tuan Guru Abdul Wahab
pada bidang fiqih, H. Hasan dan H. Saleh pada bidang ilmu Nahwu.
Pendidikan Muhammad Bakhiet tidak hanya ditempuh di
Kalimantan Selatan. Ia juga pernah belajar ke Jawa Timur (Bangil).
Bangil merupakan wilayah di mana banyak ulama Banjar pernah
belajar karena di sini banyak dihuni oleh ulama dan haba`ib. Bebera-
pa ulama populer di Kalimantan Selatan yang pernah belajar di sini di
antaranya adalah Tuan Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani,
Muhammad Syukri Unus, Tuan Guru Ahmad Bakri, Tuan Guru
Asmuni (Guru Danau) dan lainnya. Muhammad Bakhiet belajar ke
Bangil atas petunjuk orangtuanya. Di sini ia berguru dan mengambil
Tarikat Alawiyah dengan Habib Zein al-Abidin Ahmad al-Aydarus.
Setelah satu tahun belajar di Jawa Timur, ia kembali ke
Barabai. Oleh sang guru ia diminta memperkenalkan dan menyebar-
kan Tarikat Alawiyah di kampung halamannya. Untuk mengemba-
ngkan tarikat ini, sang guru menyaratkan agar ia dapat menghimpun
40 orang jamaah. Pada tahap awal, ia mengumpulkan 40 orang yang
berasal dari kalangan keluarga sendiri, para santri dan tokoh
masyarakat.
Pada awalnya, pengajian tarikat ini berlangsung di Pondok
Pesantren Hidayaturrahman Barabai. Setelah berlangsung 40 minggu
(40 pertemuan), tempat pengajian dipindah ke Pondok Pesantren
Rahmatul Ummah karena jumlah jamaah semakin banyak. Pengajian
ini kemudian berubah namanya menjadi Nurul Muhibbin. Karena
62 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

jumlah jamaah semakin membesar, ia bersama masyarakat memba-


ngun sebuah majelis taklim yang dapat menampung jamaah penga-
jian yang lebih besar. Lokasi pengajian baru itu meliputi pesantren,
mushalla dan lapangan yang cukup luas dan dapat menampung
ribuan jamaah. Dengan semakin membludaknya jamaah, maka tari-
kat Alawiyahpun semakin populer dan semakin banyak pula pengi-
kutnya.56
Popularitas Muhammad Bakhiet juga semakin meningkat
seiring semakin meningkatnya jumlah jamaah yang menghadiri
pengajiannya. Jamaah yang datang tidak hanya dari wilayah Hulu
Sungai Tengah dan wilayah lain di Banua Anam (seperti Amuntai,
Paringin, Tanjung, Kandangan, Rantau), tetapi juga ada yang datang
dari Martapura, Banjarbaru dan Banjarmasin. Bahkan, ada juga yang
datang dari wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Selain itu, faktor media juga turut meningkatkan popularitas
Muhammad Bakhiet. Sejumlah ceramah yang disampaikannya pada
setiap pengajian direkam dan disebarkan dalam bentuk CD oleh
murid-muridnya. Pengajiannya juga diliput dan ditayangkan oleh
televisi lokal swasta di Banjarmasin. Ceramah-ceramahnya selain
direkam, ternyata juga ditranskrip, diedit dan kemudian diterbitkan
menjadi buku dan buletin. Buku dan buletin yang berasal dari cera-
mahnya ini juga menyebar luas di kalangan jamaah pengajian. Bebe-
rapa buku yang berasal dari ceramahnya dapat dijumpai di toko-toko
buku di beberapa wilayah di Kalimantan Selatan.
Ada tiga tempat pengajian yang diasuh oleh Muhammad
Bakhiet. Pertama, pengajian di Pondok Pesantren dan Majelis Taklim
Nurul Muhibbin di Jl Ramli Barabai Darat. Dalam seminggu di tempat
ini diadakan beberapa kali pengajian yang dihadiri oleh ribuan
jamaah. Pengajian kedua bertempat di Pondok Pesantren Nurul
Muhibbin Ilung jl. Gerilya Kecamatan Batang Alai Utara (10 km dari
kota Barabai). Pengajian ini dibuka pada tahun 2009. Pengajian
ketiga bertempat di Majelis Taklim Nurul Muhibbin Desa Manduin

56Mujiburrahman, Menjadi Kharismatik: Studi terhadap Tiga Figur Ulama


Banjar Kontemporer, Laporan Penelitian (Banjarmasin: IAIN Antasari,
2011), 86-87.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 63

Kabupaten Balangan (sekitar 20 km dari Barabai). Pengajian ini dibu-


ka pada tahun 2011. Semua pengajian yang diasuh oleh Muhammad
Bakhiet di ketiga tempat ini selalu dihadiri ribuan jamaah.
Selain di ketiga pengajian ini, ia juga mengadakan pengajian
di beberapa tempat yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.
Ia juga menyampaikan ceramah di beberapa tempat memenuhi un-
dangan masyarakat. Belakangan cabang Pondok Pesantren Nurul
Muhibbin juga berdiri di Kalimantan Timur, yakni di Kabupaten
Paser. Pesantren ini dipimpin oleh adiknya, H. Abdussamad, namun
pemimpin utamanya tetap Muhammad Bakhiet.
Nama Nurul Muhibbin yang secara harfiah berarti “cahaya
para pencinta” dikenal sebagai nama pondok pesantren, panti yatim
dan sekaligus nama majelis taklim yang dipimpin oleh Muhammad
Bakhiet. Nama ini pula yang dipakai untuk memberi judul salah satu
karya Muhammad Bakhiet, yaitu Nûr al-Muhibbîn fî Tarjamah
Tharîqah al-‘Arifîn min Sâdâtinâ al-‘Alawiyyîn. Nama Nurul Muhibbin
sendiri memiliki makna tertentu terutama bagi kalangan santri,
karena nama ini merupakan singkatan dari beberapa huruf, yaitu
huruf nun, waw, ra`, alif, lam, mim, ha`, ba`, ya` dan nun. Berikut
makna nama ini bila diurai berdasarkan masing-masing hurufnya.

1. Huruf nun, merupakan singkatan dari nahj al-sunnah wa al-


jamâ’ah (jalan ahlussunnah wal jamaah), yaitu jalan yang mesti
dilalui dalam meniti hidup dan kehidupan, jangan menyimpanag
sedikitpun dari jalan tersebut. Yang dimaksud dengan nahj al-
sunnah waljamaah secara khusus ialah bermazhab Imam Syafii,
beritikad Imam Asy’ari dan bertarikat Sadah Bani Alawi.

2. Huruf waw merupakan singkatan dari waqâr, yakni mempunyai


wibawa dan karisma serta citra yang baik sebagai thalab al-‘ilm
(penuntut ilmu).

3. Huruf ra` merupakan singkatan dari rusukh, yakni mempunya


keteguhan dalam mempertahankan sikap dan tidak plin plan
dalam mengambil keputusan.
64 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

4. Huruf alif merupakan singkatan dari amânah, maknanya adalah


amanah harus dipelihara sebaik-baiknya.

5. Huruf lam merupakan singkatan dari lisân shidq (lisan yang


benar), ini bermakna lisan benar tidak terbiasa berdusta dan
berkata dosa.

6. Huruf mim merupakan singkatan dari mahabbah, yang terdiri


dari mahabbah Allâh, mahabbah man ahabba Allâh, wa mahab-
bah man yuqarribu ilâ mahabbah Allâh (cinta kepada Allah, cinta
kepada orang yang cinta kepada Allah dan cinta kepada orang
atau sesuatu yang mendekatkan cinta kepada Allah). Mahabbah
ini harus selalu ditingkatkan dengan terus berusaha dan berdoa
kepada Allah swt.

7. Huruf ha` merupakan singkatan dari hifzh al-qalb wa al-jawârih


‘an al-ma’shiyah (memelihara hati dan anggota tubuh dari mak-
siat kepada Allah swt). terutama sifat kibr (sombong), tamak
(menghendaki yang ada pada makhluk), hasad (iri dengki) dan
memelihara perut, lisan dan kemaluan dari hal-hal yang dilarang
Allah swt.

8. Huruf ba` merupakan singkatan dari birr al-walidayn wa al-


ustâdzîn (berbakti kepada orangtua dan para guru yang mendi-
dik), yakni dengan selalu menyenangkan hati mereka dan tidak
menyakitinya.

9. Huruf ya` merupakan singkatan dari yaqîn bahwa Allah swt


Maha Tahu, Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Benar
dalam firman Nya; yakin bahwa Allah selalu menepati janji-Nya,
dan yaqin bahwa sesuatu yang ditakdirkan-Nya untuk kita pasti
sampai kepada kita dan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk
kita pasti tidak akan sampai kepada kita.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 65

10. Huruf nun merupakan singkatan dari nashîhah (selalu berkei-


nginan baik kepada siapapun dari kaum muslimin dan
muslimat).

Ada beberapa kitab atau risalah yang disandarkan kepadanya


sebagai pengarangnya meski namanya tidak tercantum pada seba-
gian risalah tersebut tetapi hanya mencantumkan nama Majelis
Taklim Nurul Muhibbin. Kitab-kitab itu di antaranya adalah Kitâb al-
Mahabbah min Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Kitâb al-Tafakkur min Ihyâ` ‘Ulûm
al-Dîn, Kitâb Adab al-Kasb min Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Kitâb al-Ikhlâsh,
Kitâb al-Shalâh min Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn. Semua kitab ini merupakan
terjemahan dari bagian-bagian kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn karya Imam
al-Ghazali. Meski demikian adapula kitab atau risalah yang secara
jelas mencantumkan namanya sebagai pengarang kitab tersebut,
seperti Nûr al-Muhibbîn fî Tarjamah Tharîqah al-‘Arifîn min Sâdâtinâ
al-‘Alawiyyîn dan Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ Jalan Menuju Ma’rifa-
tullâh. Semua kitab ini dalam bentuk Arab-Melayu dan diterbitkan
oleh Pondok Pesantren dan Majelis Taklim Nurul Muhibbin Barabai.
Pemikiran Muhammad Bakhiet sendiri tampaknya banyak
dipengaruhi oleh Imam al-Ghazali. Penggunaan kitab-kitab al-Ghazali
dalam pengajian dalam bentuk kitab-kitab terjemah sebagaimana
disebutkan di atas ditambah dengan beberapa kitab al-Ghazali
seperti Bidâyah al-Hidâyah dan Minhâj al-‘Abidîn mengindikasikan
keterpengaruhan itu. Paparannya mengenai Asma Allah pada karya-
nya Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ banyak mengutip pendapat Imam
al-Ghazali. Pengaruh kaum ‘Alawiyyîn (pemikiran haba`ib) juga terli-
hat cukup kentara. Ini dapat dilihat dari beberapa karya Haba`ib yang
pernah digunakan dalam pengajian seperti Fath al-Qarîb karya
Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid Abbas al-Mâlikiy, al-Manhaj al-Sawî Syarh
Ushûl Tharîqah al-Sâdâh ‘Aliy Bâ’alawiy karya al-Habîb Zayn Ibrâhîm
ibn Sumayth Bâ’alawiy al-Husayniy, dan Syarh ‘Ayniyyah karya al-
Habîb al-‘Allâmah Ahmad ibn ‘Alawiy al-Hisysyi. Pengaruh kaum
‘Alawiyyn semakin kentara jika memperhatikan rutinitas pembacaan
Râtib al-Haddâd, Burdah, dan Mawlid al-Habsyi sebelum pengajian
dilakukan. Yang terpenting dari itu adalah faktor Tarikat Alawiyah
66 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

yang diamalkan oleh Muhammad Bakhiet meneguhkan kuatnya pe-


ngaruh para Habaib pada dirinya.

B. Deskripsi Literatur Al-Asmâ` al-Husnâ Karya Ulama


Kalimantan

Ulama Kalimantan sebagaimana ulama di wilayah Nusantara


lainnya memiliki karya intelektual dalam bentuk tulisan (kitab atau
risalah) baik menggunakan huruf Latin berbahasa Indonesia maupun
dalam bentuk huruf Arab berbahasa Melayu. Karya mereka ada yang
sudah diterbitkan dan ada pula yang masih berbentuk manuskrip.
Dari sekian banyak karya intelektual ulama Kalimantan, terdapat
sejumlah karya mereka yang membahas tentang al-Asmâ` al-Husnâ
baik secara keseluruhan maupun sebagian saja. Berikut ini adalah
deskripsi singkat beberapa karya ulama Kalimantan dalam bentuk
buku atau kitab mengenai al-Asmâ` al-Husnâ secara khusus atau di
dalamnya terdapat pembahasan mengenai al-Asmâ` al-Husnâ yang
menjadi bagian dari isi buku.

1. Senjata Mu`min karya Husin Qaderi

Risalah Senjata Mu`min ditulis menggunakan huruf Arab


sedang bahasanya menggunakan bahasa Melayu. Risalah ini memiliki
156 halaman. Pada kebanyakan risalah yang dipublikasikan dan
beredar luas, terdapat data publikasi bahwa risalah ini merupakan
cetakan keenam bertahun 1391 H/1971 M. Ini berarti bahwa risalah
ini telah dicetak beberapa kali sebelum tahun itu. Pada bagian
muqaddimah ditemukan informasi bahwa pada cetakan keempat,
Husin Qadri menambahkan beberapa amalan berupa bacaan dan doa
yang sebelumnya tidak dijumpai pada cetakan sebelumnya.
Isi risalah ini memuat 74 konten. Secara garis besar, isi risa-
lah ini memuat tentang hizb, fadhilat dan khasiat sejumlah ayat
tertentu dan surah tertentu, al-Asmâ` al-Husnâ dan khasiatnya, doa-
doa, amalan-amalan, wirid, bacaan-bacaan dan salawat. Khusus
untuk uraian mengenai al-Asmâ` al-Husnâ (versi risalah cetakan
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 67

keenam) terdapat pada halaman 33 hingga halaman 90. Dengan


demikian, uraian mengenai al-Asmâ` al-Husnâ mencapai 57 halaman
atau sepertiga isi dari risalah ini.
Bahasan mengenai al-Asmâ` al-Husnâ dalam risalah ini dibagi
menjadi tiga bagian. Bagian pertama, Asmâ` Allâh al-Husnâ. Di sini
Husin Qaderi menyajikan hadis yang menyebutkan bahwa nama
Allah berjumlah 99 nama dan sekaligus deretan nama yang berjum-
lah 99 itu. Bagian kedua, Asmâ` Allâh al-Husnâ serta Doanya. Bagian
ini berisi seruan (tawassul) menggunakan 99 nama yang kemudian
disusul dengan doa termasuk di dalamnya hajat si pendoa. Bagian
ketiga, khasiat al-Asmâ` al-Husnâ. Pada bagian ini Husin Qadri
menguraikan dua hal yaitu makna dan khasiat al-Asmâ` al-Husnâ.
Pada tahap awal diuraikan makna masing-masing nama kemudian
dilanjutkan dengan uraian mengenai khasiat masing-masing nama
berikut cara mengamalkannya.
Pola bahasan Husin Qadri mengenai al-Asmâ` al-Husnâ dalam
risalah Senjata Mu`min ini menunjukkan bahwa ia tidak membahas
tentang konsep atau teori tentang al-Asmâ` al-Husnâ. Tujuan utama
uraiannya mengenai al-Asmâ` al-Husnâ adalah menyebutkan 99
nama-nama Allah, maknanya dan khasiatnya. Bagian paling penting
dari uraiannya adalah mengenai khasiat nama-nama Allah, inilah
yang menjadi misi utamanya.

2. Miftah-Ma’rifat karya Dja’far Sabran

Buku Miftah-Ma’rifat (Kunci Ma’rifat) diterbitkan oleh Toko


Buku Risalah Samarinda pada tahun 1982. Buku ini dicetak sebanyak
67 halaman (tidak termasuk cover dan halaman judul). Buku ini
menurut penulisnya dimaksudkan sebagai rintisan untuk memasuki
ilmu tasawuf, yakni rintisan untuk menyingkap tabir hikmat dan
rahasia mengenal Tuhan dengan pengenalan sebaiik-baiknya. Sebe-
lum membahas materi tasawuf semacam ini, penulis buku ini, me-
nyisipkan khulasah ilmu tauhid sebagai dasar pertama untuk
memasuki ilmu tasawuf.
68 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Isi buku ini mengupas sejumlah konsep tasawuf nazhari


ditambah dengan khulasah (uraian singkat) ilmu tauhid sebagai
pelengkap dan bekal dasar memahaminya. Isi buku ini secara detil
sebagaimana terlihat pada daftar isinya adalah: (1) muqaddimah, (2)
beberapa perintang salik, (3) keringkasan 20 sifat wajib bagi Allah,
(4) sifat ma’ani, (5) ta’alluq sifat ma’ani, (6) pada sifat ma’ani
terdapat pengertian adanya hubungan erat antara hamba dan Tuhan,
(7) sifat ma’nawiyah, (8) salik dan majzud, (9) fasal pertama,
tauhidul-af’al, (10) syirik jali, (11) syirik khafi, (12) bahan syirik, (13)
akwan adalah hijab, (14) ada empat mazhab terhadap perbuatan
yang nampak pada hamba, (15) fasal kedua tauhidul-asma, (16) fasal
ketiga tauhidus-sifat, (17) martabat pengabdian kepada Allah, (18)
tauhiduz-Zat, (19) mazhar iradat hamba, (20) wujud yang benar, (21)
tingkat ma’rifat, (22) alam naskhatul haq, (23) pandang yang banyak
pada yang satu, (24) perbedaan fana fillah dan maqam baqa billah,
(25) khatar dalam tajalli zat, (26) fana fillah dan baqa billah, (27)
perjalanan harus serta tawakkal, (28) hal-hal yang merusakkan
ubudiyah, dan (29) khulasah. Dari sekian banyak bahasan itu, fokus
utama buku ini tampaknya ada pada empat fasal, yaitu fasal tauhidul
af’al, fasal tauhidul-asma, fasal tauhidus-sifat, dan fasal tauhiduz-zat.
Konsep tauhid sufistik seperti ini mirip dengan pola tauhid sufistik
yang telah ditulis oleh Kalimantan yang terkenal, yaitu Muhammad
Nafis al-Banjari melalui karyanya al-Durr al-Nafis dan Abdurrahman
Shiddiq al-Banjari melalui karyanya ‘Amal Ma’rifat.
Dari sekian bahasan dan fasal di atas, ada beberapa bahasan
yang memiliki kaitan dengan masalah al-Asmâ` al-Husnâ, yaitu fasal
kedua mengenai tawhîd al-Asmâ` (mengesakan nama) yang terdapat
pada halaman 25-30. Pada bahasan mengenai alam nuskhat al-haq
(bahasan ke-22) yang terdapat pada halaman 45-50 juga bersinggu-
ngan dengan asma Allah, yakni nama al-Zhâhir dan al-Bâthin. Bagian-
bagian inilah yang akan dibahas pada bahasan mengenai pemahaman
dan pemikiran Dja’far Sabran mengenai al-Asmâ` al-Husnâ.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 69

3. Asmaul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasauf karya


Haderanie H.N.

Buku 99 Asmaul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasauf diter-


bitkan pertama kali pada tahun 1993 dan dicetak lagi pada tahun
2004. Buku ini merupakan salah satu karya Haderanie yang diter-
bitkan dan beredar secara nasional. Buku ini diterbitkan oleh PT Bina
Ilmu Surabaya setebal 282 halaman (bagian isi) dan 20 halaman pada
bagian awal.
Buku ini terdiri dari empat bab, ditambah seuntai kata
hormat dan lembaran al-Asmâ` al-Husnâ pada bagian awal kemudian
ditambah daftar pustaka (kepustakaan) dan ralat pada bagian akhir.
Bab pertama, merupakan muqaddimah. Pada bab ini dikemukakan
beberapa konsep al-Asmâ` al-Husnâ. Bab kedua merupakan rincian
uraian satu persatu al-Asmâ` al-Husnâ dari nama Allah (nama
kesatu) sampai al-Shabûr (nama ke-99). Bab ketiga berisi doa,
istighatsah dan tawassul, dan bagian keempat penutup.

4. 99 Jalan Mengenal Allah karya M. Zurkani Jahja

Buku 99 Jalan Mengenal Tuhan merupakan karya M. Zurkani


Jahja yang diterbitkan oleh Pustaka Pesantren Yogyakarta pada
tahun 2010. Buku ini merupakan buku kedua karya M. Zurkani Jahja
yang beredar secara nasional setelah buku Teologi al-Ghazali
Pendekatan Metodologi yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada
tahun 1996. Buku 99 Jalan Mengenal Tuhan ini pada mulanya meru-
pakan tulisan yang dipublikasikan di Tabloid Serambi Ummah pada
akhir dekade 90-an hingga awal tahun 2000-an dan kemudian diter-
bitkan dengan judul Asmaul Husna (dua jilid) oleh penerbit Grafika
Wangi Kalimantan pada tahun 2002. Setelah beberapa tahun beredar
secara terbatas di tingkat lokal, buku ini kemudian diterbitkan
kembali dengan judul sebagaimana telah disebutkan di awal.
Buku ini diterbitkan setebal 738 halaman untuk konten
utama dan terdapat xxx (30) halaman tambahan pada bagian awal
termasuk daftar isi. Pada bagian kandungan utama buku ini langsung
70 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

membahas satu per satu nama-nama Allah. Buku ini tidak membahas
konsep seputar al-Asmâ` al-Husnâ tetapi lebih fokus pada uraian
masing-masing nama Allah. Hanya pada bagian pengantar penulis
saja terdapat ‘sedikit’ bahasan mengenai konsep al-Asmâ` al-Husnâ.
Secara umum, buku ini menyajikan dua fungsi utama al-Asmâ` al-
Husnâ, fungsi al-Asmâ` al-Husnâ bagi Allah, yaitu untuk menjelaskan
kepribadian-Nya, dan fungsi al-Asmâ` al-Husnâ bagi hamba Allah
yaitu untuk tegaknya moral yang baik dalam kehidupan dengan cara
meneladani atau meniru kepribadian Allah melalui nama-nama-Nya.
Latar belakang penulisan al-Asmâ` al-Husnâ sendiri, sebagai-
mana diakui oleh M. Zurkani Jahja, didorong oleh keprihatinannya
mengenai belum dihayatinya makna al- al-Asmâ` al-Husnâ oleh setiap
muslim. Padahal, tulisan kaligrafi al-Asmâ` al-Husnâ terpampang di
mana-mana. Selain itu, peran al-Asmâ` al-Husnâ dalam kehidupan
kaum muslim sehari-hari kurang diketahui. Kondisi ini disebabkan
pengajaran agama di masyarakat tampaknya masih kurang memper-
hatikan hal ini.

5. Memahami Al-Asma Al-Husna karya Husin Naparin

Buku Memahami Al-Asma` al-Husna terdiri dari dua jilid kecil


(masing-masing ukuran 15x10). Pada buku bagian pertama (versi
cetakan keenam) terdiri dari 8 halaman awal (i-viii) dan 69 halaman
utama (halaman 70-72 kosong). Pada buku bagian kedua terdiri dari
10 halaman awal (i-x) dan 160 halaman utama (halaman 161 sampai
166 kosong). Kedua buku ini diterbitkan oleh PT Grafika Wangi
Kalimantan. Sejak diterbitkan pertama kali tahun Mei 2009 hingga
cetakan tahun 2013 buku ini telah mengalami cetak ulang sebanyak
enam kali.
Pada buku bagian pertama, memuat bahasan mengenai
konsep al-Asmâ` al-Husnâ. Pada buku ini diuraikan mengenai (1)
memahami al-Asmâ` al-Husnâ, (2) bilangan al-Asmâ` al-Husnâ, (3)
fungsi al-Asmâ` al-Husnâ, (4) Al-Asmâ` al-Husnâ selengkapnya, (5)
pembagian al-Asmâ` al-Husnâ, (6) Al-Asmâ` al-Husnâ dalam Alquran,
(7) Al-Asmâ` al-Husnâ dalam doa, (8) Doa dengan al-Asmâ` al-Husnâ,
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 71

(9) doa akhir surah al-Hasyr, (10) doa surah al-ikhlas dan (11) doa
ayat al-Kursyi.
Pada buku bagian kedua, bahasan yang terkandung dalam
buku ini adalah uraian satu per satu nama-nama Allah yang berjum-
lah 99 nama. Uraian dimulai dari nama nama Allah (nama urutan
pertama) hingga al-Shabûr (nama ke-99). Bahasan mengenai nama-
nama Allah pada bagian ini secara umum berisi uraian tentang tiga
hal, yaitu (1) makna nama secara lafzhiyah, (2) makna teologis-teo-
sentris nama-nama itu bagi Allah, dan (3) makna implikasi moralitas
secara antropologis nama-nama itu bagi manusia (umat Islam).
Materi isi kedua bagian buku ini sendiri, sebagaimana yang
dinyatakan oleh penulisnya pada bagian pengantar kata buku ini,
berasal dari materi pengajian yang telah disampaikan pada pengajian
karyawan dan pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Banjarmasin.
Materi semacam ini tampaknya dalam perspektif penulisnya perlu
dikemukakan dalam pengajian karena sebagaimana dikemukakannya
dalam “Pengantar Kata” bahwa selama ini masyarakat lebih banyak
mengkaji mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah yang wajib, jaiz dan
mustahil sebagaimana yang terdapat dalam Teologi Sanusiyyah,
tetapi jarang memanfaatkan al-Asmâ` al-Husnâ sebagai bahan kajian
untuk mengenal Allah. Pada umumnyas, menurut Husin Naparin, al-
Asmâ` al-Husnâ hanya sering dipakai sebagai amalan (bacaan) dalam
kehidupan sehari-hari.

6. Mengenal al-Asma` al-Husna Jalan Menuju Ma’rifat Allah


karya Muhammad Bakhiet

Kitab yang berjudul Mengenal al-Asma` al-Husna Jalan Menuju


Ma’rifat Allah Swt adalah karya ulama karismatik-populer di Kali-
mantan Selatan terutama di sekitar Kota Barabai, Nagara, Kandangan
dan Paringin. Kitab setebal 583 ini diterbitkan oleh Pondok Pesan-
tren dan Majlis Taklim Nurul Muhibbin Barabai Darat Hulu Sungai
Tengah. Kitab ini dicetak dan dipublikasikan dalam bentuk tulisan
Arab-Melayu. Tidak ditemukan tahun terbit tetapi dipastikan terma-
suk kitab yang dipublikasikan pada dekade terakhir.
72 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Kitab ini tampaknya tidak ditulis secara langsung oleh


Muhammad Bakhiet, tetapi disusun dan diedit oleh dewan penyun-
ting dan tim editor dari kalangan pesantren dan majelis taklim Nurul
Muhibbin sendiri. Materi yang terkandung di dalamnya merupakan
materi yang diambil dari ceramah-ceramah pengajian pada Majlis
Taklim Nurul Muhibbin Barabai yang diasuh oleh Muhammad
Bakhiet. Dengan demikian konten kitab ini secara keseluruhan ada-
lah ulasan-ulasan yang disampaikan sendiri oleh Muhammad
Bakhiet. Dewan penyunting dan tim editor kemudian menyajikannya
dalam bentuk kitab. Dewan penyunting kitab ini terdiri dari bebera-
pa tuan guru (kiyai) dan beberapa dewan pengajar (al-ustadz) yaitu
Abdul Wahab, Muhammad Wajihuddin, ‘Abdul Karim, Ahmad Mugh-
ni, Muhammad Ahyad dan Ahmad Syuhada. Sementara untuk tim
editor ada dua orang yaitu Muhammad Farid Wajdi dan Nashrullah.
Kandungan (konten) isi kitab ini secara garis besar terbagi
dua. Pertama, uraian tentang mengenal al-Asmâ` al-Husnâ atau
nama-nama Allah. Di sini diuraikan beberapa konsep mengenai al-
Asma` al-Husna, yaitu jumlah nama-nama Allah, penbagian nama-
nama Allah dalam beberapa kategori, alasan mengapa harus menge-
nal Allah melalui nama-nama-Nya, dan makna “ahshaha” (memeli-
hara) sebagaimana tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari. Uraian di seputar konsep al-Asmâ` al-Husnâ di sini hanya
merupakan uraian singkat sebagai pengantar ke pembahasan nama-
nama Allah. Kedua, berisi uraian mengenai nama-nama Allah yang
disajikan satu persatu dari nama “Allah” (nama pertama) hingga “al-
Shabûr” (nama ke-99). Uraian mengenai nama-nama Allah secara
garis besar terdiri dari tiga aspek, yaitu makna harfiah nama-nama
Allah, penjelasan teologis nama itu bagi Allah dan implikasi nama-
nama Allah itu jika diteladani oleh manusia.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 73

BAB IV

KONSEP AL-ASMÂ` AL-HUSNÂ


VERSI ULAMA KALIMANTAN

Bab ini memaparkan mengenai konsep al-Asmâ` al-Husnâ


menurut perspektif ulama Kalimantan. Pada bab ini akan dikemu-
kakan beberapa aspek mengenai al-Asmâ` al-Husnâ, yaitu versi daf-
tar nama Allah, versi Ism al-A’zham, dasar penetapan nama sebagai
nama Allah, definisi al-Asmâ` al-Husnâ, jumlah nama Allah, makna
ahshâha, makna harfiah setiap nama Allah, penyajian nama Allah se-
cara tunggal dan berdampingan, pengelompokan nama-nama Allah,
dan fungsi dan dimensi al-Asmâ` al-Husnâ bagi hamba Allah. Paparan
mengenai beberapa konsep Asmâ Allah ini akan memperlihatkan
bagaimana pemikiran ulama Kalimantan secara umum mengenai al-
Asmâ` al-Husnâ.

A. Versi al-Asmâ` al-Husnâ Menurut Ulama Kalimantan

Versi al-Asmâ` al-Husnâ yang dicantumkan dalam karya-


karya ulama Kalimantan adalah versi al-Asmâ` al-Husnâ yang terda-
pat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidziy dari Abu
Hurairah. Versi ini merupakan versi paling populer. Secara keselu-
ruhan ulama Kalimantan menggunakan versi ini. Tidak satu pun dari
mereka yang menggunakan versi lain. Meski Husin Naparin menggu-
nakan versi al-Asmâ` al-Husnâ dengan menyertakan nama al-Ahad
untuk menggantikan nama Allah agar daftar nama itu tetap berjum-
lah 99, namun secara umum daftar nama dan urutan nama tidak
memiliki perbedaan mencolok, kecuali adanya nama al-Ahad yang
74 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

ada pada daftar Naparin dan tidak ada pada ulama Kalimantan yang
lain. Dengan demikian, daftar Naparin dimulai dengan nama “al-
Rahmân” sementara ulama Kalimantan yang lain memulai daftarnya
dengan nama “Allah”. Haderanie menyertakan nama al-Ahad bersa-
maan dengan al-Wâhid dengan menulisnya secara berdampingan
mengunakan garis miring (/) menjadi “al-Wâhid/al-Ahad tetapi tetap
memulai daftarnya dari nama “Allah”.
Versi semacam ini sebenarnya diketahui dan dipahami oleh
ulama Kalimantan. Mereka sendiri tidak mempersoalkan hal ini.
Haderanie dalam bukunya, Asma’ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/
Tasawuf menjelaskan bahwa ada yang membicarakan al-Asmâ` al-
Husnâ dengan tidak mencantumkan nama Allah dalam urutan nama
99 itu, digantikan dengan nama “al-Ahad” (nama pada urutan ke-67)
setelah nama “al-Wâhid”. Argumen mereka adalah nama Allah sudah
mencakup keseluruhan nama Tuhan, semua nama yang ada dalam al-
Asmâ` al-Husnâ sudah terhimpun dalam nama Tuhan “Allah” yang
diistilahkan isim jâmi’. Sementara di pihak lain, nama Allah dicantum-
kan pada urutan pertama tanpa mencantumkan nama “al-Ahad”
karena nama ini dianggap semakna dengan ‘al-Wâhid”.1
Menurut Haderanie, keduanya memiliki alasan dan ketera-
ngan yang kuat dan didukung oleh nash serta sama-sama benar dan
tidak perlu dipertentangkan. Meski demikian, dalam paparannya
mengenai al-Asmâ` al-Husnâ baik pada bukunya Asma`ul Husna
Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf maupun Permata yang Indah, ia
menggunakan versi kedua, yaitu yang mencantumkan nama Allah
pada urutan pertama.2 Namun, ia mengakomodasi nama al-Ahad de-
ngan mendampingkannya dengan nama “al-Wâhid” sebagaimana
telah dikemukakan di atas.
Husin Naparin, dalam salah saatu catatan kakinya, pada
bukunya Memahami Al-Asma Al-Husna menyebutkan bahwa jika al-
Asmâ` al-Husnâ dimulai dari nama Allah, maka al-Ahad tidak terma-
suk di dalamnya (H.R. Tirmizi dari Abu Hurairah r.a.); tetapi jika

1 Haderanie HN., Asma`ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf, Cet. Ke-2


(Surabaya: PT Bina Ilmu, 2004), 12.
2 Haderanie, Asma`ul Husna, 12.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 75

dimulai dari al-Rahmân, maka nama al-Ahad termasuk salah satu


dari al-Asmâ` al-Husnâ.3
Versi daftar al-Asmâ` al-Husnâ yang terdapat dalam karya
ulama Kalimantan yang dibahas di sini, sebagaimana telah dising-
gung di atas, dapat dikelompokkan menjadi dua versi sebagaimana
terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Tabel al-Asmâ` al-Husnâ


Versi Husin Qadri, Haderanie,
Versi Husin Naparin
Zurkani Jahja, Muhammad Bakhiet
No Al-Asmâ` al-Husnâ No Al-Asmâ` al-Husnâ
1 Allâh 1 Al-Rahmân
2 Al-Rahmân 2 Al-Rahîm
3 Al-Rahîm 3 Al-Mâlik
4 Al-Mâlik 4 Al-Quddûs
5 Al-Quddûs 5 Al-Salâm
6 Al-Salâm 6 Al-Mu`min
7 Al-Mu`min 7 Al-Muhaymin
8 Al-Muhaymin 8 Al-‘Azîz
9 Al-‘Azîz 9 Al-Jabbâr
10 Al-Jabbâr 10 Al-Mutakabbir
11 Al-Mutakabbir 11 Al-Khâliq
12 Al-Khâliq 12 Al-Bâriy
13 Al-Bâriy 13 Al-Mushawwir
14 Al-Mushawwir 14 Al-Ghaffâr
15 Al-Ghaffâr 15 Al-Qahhâr
16 Al-Qahhâr 16 Al-Wahhâb
17 Al-Wahhâb 17 Al-Razzâq
18 Al-Razzâq 18 Al-Fattâh
19 Al-Fattâh 19 Al-‘Alîm
20 Al-‘Alîm 20 Al-qâbidh
21 Al-qâbidh 21 Al-Bâsith
22 Al-Bâsith 22 Al-Khâfidh
23 Al-Khâfidh 23 Al-Râfi’

3Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna (Banjarmasin: PT Grafika


Wangi Kalimantan, 2013), 17.
76 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

24 Al-Râfi’ 24 Al-Mu’izz
25 Al-Mu’izz 25 Al-Mudzill
26 Al-Mudzill 26 Al-Sâmi’
27 Al-Sâmi’ 27 Al-Bâshir
28 Al-Bâshir 28 Al-Hakam
29 Al-Hakam 29 Al-‘Adl
30 Al-‘Adl 30 Al-Lathîf
31 Al-Lathîf 31 Al-Khabîr
32 Al-Khabîr 32 Al-Halîm
33 Al-Halîm 33 Al-‘Azhîm
34 Al-‘Azhîm 34 Al-Ghafûr
35 Al-Ghafûr 35 Al-Syakûr
36 Al-Syakûr 36 Al-‘Aliy
37 Al-‘Aliy 37 Al-Kabîr
38 Al-Kabîr 38 Al-Hafîzh
39 Al-Hafîzh 39 Al-Muqît
40 Al-Muqît 40 Al-Hasîb
41 Al-Hasîb 41 Al-Jalîl
42 Al-Jalîl 42 Al-Karîm
43 Al-Karîm 43 Al-Raqîb
44 Al-Raqîb 44 Al-Mujîb
45 Al-Mujîb 45 Al-Wâsi’
46 Al-Wâsi’ 46 Al-Hakîm
47 Al-Hakîm 47 Al-Wadûd
48 Al-Wadûd 48 Al-Majîd
49 Al-Majîd 49 Al-Bâ’its
50 Al-Bâ’its 50 Al-syahîd
51 Al-syahîd 51 Al-Haqq
52 Al-Haqq 52 Al-Wakîl
53 Al-Wakîl 53 Al-Qawiyy
54 Al-Qawiyy 54 Al-Matîn
55 Al-Matîn 55 Al-Waliy
56 Al-Waliy 56 Al-Hamîd
57 Al-Hamîd 57 Al-Muhshiy
58 Al-Muhshiy 58 Al-Mubdi`
59 Al-Mubdi` 59 Al-Mu‘îd
60 Al-Mu‘îd 60 Al-Muhyi
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 77

61 Al-Muhyi 61 Al-Mumît
62 Al-Mumît 62 Al-Hayy
63 Al-Hayy 63 Al-Qayyûm
64 Al-Qayyûm 64 Al-Wâjid
65 Al-Wâjid 65 Al-Mâjid
66 Al-Mâjid 66 Al-Wâhid (al-Ahad)
67 Al-Wâhid 67 Al-Ahad
68 Al-Shamad 68 Al-Shamad
69 Al-Qâdir 69 Al-Qâdir
70 Al-Muqtadir 70 Al-Muqtadir
71 Al-Muqaddim 71 Al-Muqaddim
72 Al-Mu`akhkhir 72 Al-Mu`akhkhir
73 Al-Awwal 73 Al-Awwal
74 Al-Âkhir 74 Al-Âkhir
75 Al-Zhâhir 75 Al-Zhâhir
76 Al-Bâthin 76 Al-Bâthin
77 Al-Wâliy 77 Al-Wâliy
78 Al-Muta‘âl(iy) 78 Al-Muta‘âl(iy)
79 Al-Barr 79 Al-Barr
80 Al-Tawwâb 80 Al-Tawwâb
81 Al-Muntaqim 81 Al-Muntaqim
82 Al-‘Afuww 82 Al-‘Afuww
83 Al-Ra`ûf 83 Al-Ra`ûf
84 Malik al-Mulk 84 Malik al-Mulk
85 Dzû al-Jalâl wa al-Ikrâm 85 Dzû al-Jalâl wa al-Ikrâm
86 Ak-Muqsith 86 Ak-Muqsith
87 Al-Jâmi’ 87 Al-Jâmi’
88 Al-Ghaniyy 88 Al-Ghaniyy
89 Al-Mughniy 89 Al-Mughniy
90 Al-Mâni’ 90 Al-Mâni’
91 Al-Dhârr 91 Al-Dhârr
92 Al-Nâfi’ 92 Al-Nâfi’
93 Al-Nûr 93 Al-Nûr
94 Al-Hâdiy 94 Al-Hâdiy
95 Al-Badî’ 95 Al-Badî’
96 Al-Bâqiy 96 Al-Bâqiy
97 Al-Wârits 97 Al-Wârits
78 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

98 Al-Rasyîd 98 Al-Rasyîd
99 Al-Shabûr 99 Al-Shabûr

Dari dua daftar di atas, dapat dinyatakan bahwa pada


dasarnya ulama Kalimantan yang dikaji karyanya mengenai al-Asmâ`
al-Husnâ memiliki versi nama yang sama dan urutan nama yang
identik. Hanya satu nama yang membedakannya, yaitu nama al-Ahad.
Husin Naparin memasukkannya sebagai bagian dari 99 al-Asmâ` al-
Husnâ dan mengeluarkan nama Allah dari daftar. Haderanie menyan-
dingkan nama al-Wâhid dan al-Ahad sebagai nama yang identik dan
dapat dipertukarkan atau saling menggantikan. Namun, daftarnya
tetap sama dengan ulama lainnya, yakni 99 nama yang dimulai dari
nama Allah (nama pertama) hingga diakhiri dengan al-Shabûr (nama
ke-99).
Versi daftar al-Asmâ` al-Husnâ di atas juga menunjukkan
bahwa para ulama Kalimantan hanya mengikuti versi al-Asmâ` al-
Husnâ yang sudah populer sebagaimana yang dikemukakan dalam
hadis al-Tirmidzi. Tidak ada satupun dari mereka yang mencoba
untuk mencari dan menemukan sendiri nama-nama Allah sebagai-
mana yang dilakukan oleh ulama Timur Tengah seperti al-Qahtani,
al-Asyqar dan al-‘Utsaymin. Mereka tidak memiliki kecenderungan
untuk mencari versi yang berbeda dengan versi nama yang sudah
populer. Mereka tampaknya menerima versi populer yang sudah ada
dan memaparkan nama-nama itu sesuai urutan nama. Mereka me-
nganggap bahwa versi nama Allah yang mereka bahas merupakan
versi yang berasal dari Nabi. Tidak satupun mereka yang memper-
soalkan daftar Asma Allah yang terdapat pada hadis al-Tirmidzi
sebagai sisipan yang berasal bukan dari Nabi.

B. Versi Nama Allah yang Teragung (Ism al-A’zham)

Menurut Haderanie, selain berdoa dengan menggunakan al-


Asmâ` al-Husnâ, dianjurkan pula menggunakan ism al-a‘zham (nama
Allah yang teragung) karena menurut Rasulullah siapa saja yang
berdoa dengan nama itu doanya akan diperkenankan Allah Swt. Ada
beberapa pendapat ulama tentang ism al-A‘zham dimaksud. Pertama,
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 79

ism al-a‘zham adalah suatu nama yang diberikan Allah kepada orang
tertentu. Hal ini merupakan rahasia tersembunyi antara hamba
dengan Allah Swt. Kedua, ism al-a‘zham bukan hanya satu, nama
Allah ini diberikan kepada setiap orang secara berbeda-beda. Setiap
orang mendapatkannya untuk pribadinya sendiri. Ketiga, ism al-
a‘zham tidak berupa suatu nama yang bisa diucapkan dengan lisan
atau tulisan, tetapi dalam bentuk hakikat dari suatu nama Allah yang
wujud pada hamba tanpa disadari. Misalnya, seseorang memiliki sifat
kasih sayang yang menjelma dalam sikap dan perilakunya sehari-
hari, maka ketika ia berdoa dengan menyeru “Ya Allâh, ya Rahmân, ya
Rahîm!” maka doanya diperkenankan oleh Allah.4
Dalam bukunya, Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah,
Haderanie menyebutkan bahwa ism al-a‘zham disebut juga sebagai
“nama yang satu”. Banyak orang yang mencari nama yang satu ini.
Salah seorang gurunya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
ism al-a‘zham adalah suatu rahasia antara seorang hamba yang
dikasihi-Nya dengan Dia sendiri yang tidak dapat diketahui dan
disampaikan kepada orang lain.5
Haderanie menyebutkan kemungkinan lain. Berdasarkan
beberapa hadis yang dikutipnya, ia berpendapat bahwa ism al-
a‘zham tersembunyi dalam susunan kalimat yang cukup panjang.
Karena itu ia berkesimpulan bahwa tidak semua orang bisa menge-
tahui ism al-a‘zham dan berdasarkan hadis Rasulullah ia tersembunyi
dalam suatu kalimat yang cukup panjang.6
Pendapat Haderanie di atas tampaknya sejalan dengan
kesimpulan Sayyid Sabiq bahwa pendapat yang paling kuat (râjih)
adalah bahwa nama itu merupakan doa yang tersusun dari beberapa
nama dari nama-nama Allah, yang apabila dipergunakan oleh manu-

4 Haderanie, Asma`ul Husna, 7-8.


5 Haderanie HN., Ilmu Ketuhanan Permata yang Indah (Ad-Durrunnafis)
Beserta Tanya Jawab (Surabya: Nur Ilmu, t.th.), 71-72.
6 Haderani, Asma`ul Husna, 8-9; Ilmu Ketuhanan Permata yang Indah, 72-73.
80 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

sia untuk berdoa dengan memenuhi syarat-syarat doa yang diperin-


tahkan oleh syariat maka Allah akan memperkenankannya.7
Pembahasan mengenai ism al-a’zham juga dibahas oleh
Dja’far Sabran. Dia tidak memastikan bagaimana bentuk dan mana
lafal ism al-a’zham. Dalam bukunya yang terkenal, Risalah Do’a ia
hanya menyajikan empat versi ism al-A’zham yang diamalkan oleh
empat ulama berbeda. Pertama, ism al-a’zham yang diamalkan oleh
Usthum (Arif bi Allah pada zaman Nabi Sulaiman as): “Yâ Hayyu ya
Qayyûm yâ ilâhana wa ilâha kulli syai`in ilâhan wâhidan lâ ilâha illâ
Anta”. Kedua, ism al-a’zham yang diamalkan oleh ‘Ala ibn Hadhramiy:
“Yâ Halîmu yâ ‘Alîmu yâ ‘Aliyyu ya ‘Azhîm”. Ketiga, ism al-a’zham yang
amalkan oleh Musa al-Kazhim ibn Ja’far al-Shadiq: “Yâ Sâmi’a kulli
shawtin wa Sâbiqa kulli fawt, wa ya Kâsiya al-‘izhâmi lahman wa
munsyirahâ ba’da al-mawt, as`aluka bi asmâ`ika al-‘Izhâmi wa bi
ismika al-akbari al-makhzûni al-maknûni alladziy lam yaththali’
alayhi ahadun min al-makhlûqîn, ya halîman dzâ anâtin lâ yuqaddaru
‘ala anâtihi, yâ dzâ al-ma’rûf alladziy lâ yanqathi’uma’rûfuhu abadan
wa lâ tuhsha lahu ‘adadan farrij ‘anniy”. Keempat, ism al-‘azham
menurut al-Ghazali: “ wa ilâhukum ilâhun wâhidun lâ ilâha illâ huwa
al-Rahmânu al-Rahîmu. Alif lâm mîm. Allâhu lâ ilâha illâ huwa al-
Hayyu al-Qayyûm. Allâhuma inniy as`aluka bi anniy asyhadu annaka
Allâhula ilâha illâ Anta al-Ahad al-Shamad lam yalîd wa lam yûlad wa
lam yakun lahu kufuwan ahad”.8
Haderanie mengemukakan dua hadis yang berisi bacaan Ism
al-A’zham yang isinya agak mirip dengan versi al-Ghazali yang dike-
mukakan oleh Dja’far Sabran. Pertama, hadis dari Abu Dawud yang
berisi bacaan Ism al-A’zham berikut: “Allâhumma inniy as`aluka bi
anniy asyhadu Anta Allâh lâ ilâha illâ Anta al-Ahad al-Shamad alladziy
lam yalîd wa lam yûlad wa lam yakun lahu kufuwan ahad.” Kedua,
dari hadis Ahmad dan Abu Dawud: “Wa ilâhukum ilâhun wâhidun lâ

7 Lihat catatan kaki nomor 1 pada Al-Sayyid Sabiq, Al-‘Aqa`id al-Islamiyyah


(Beyrut: Dar al-Fikr, 1992), 31.
8 Dja’far Sabran, Risalah Do’a (Surabaya: Darssagaf, 2007), 128-129, 132-

133, dan 141.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 81

ilâha illâ huwa al-Rahmân al-Rahîm, Alif lâm mîm, lâ ilâha illâ huwa
al-Hayyu al-Qayyûm”.9
Ulama berikutnya yang juga membahas masalah ni adalah
Husin Naparin. Pada salah satu tulisannya dalam Kolom Fikrah di
harian Banjarmasin Post (2015) yang berjudul “Nilai Ismul A’zham”
ia menceritakan tentang kisah Nabi Yunus as. dan kaumnya. Dalam
tulisan ini, dipaparkan bahwa Nabi Yunus tidak sanggup lagi mem-
bujuk kaumnya untuk berhenti menyembah berhala dan membiar-
kan mereka mendapat azab dari Allah. Ketika azab itu sudah diha-
dapan mata, kaum Nabi Yunus bertobat dengan menyebut dua nama
Allah, yaitu al-Hayy dan al-Qayyûm. Karena bacaan ini Allah
menerima taubat kaum Nabi Yunus dan azab dibatalkan. Kedua nama
inilah, berdasarkan hadis Ahmad, yang merupakan ism al-a‘zham.
Belakangan, menurut Naparin, dua nama itu dirangkai dalam kalimat
“Yâ Hayyu yâ Qayyîm lâ ilâha illâ Anta” yang dibaca sebanyak 40 kali
sebelum salat shubuh.10
Beberapa pendapat dan versi tentang ism al-a’zham dari
beberapa ulama Kalimantan di atas menunjukkan bahwa mereka
tidak memiliki versi yang sama mengenai bacaan ism al-‘azham. Dari
enam ulama Kalimantan yang dikaji, Husin Qadri, M. Zurkani Jahja
dan Muhammad Bakhiet termasuk ulama yang tidak membahas ism
al-a’zham dalam tulisan mereka sehingga tidak ditemukan informasi
pendapat mereka tentang hal ini.

C. Penetapan Nama Sebagai Nama Allah: Tawqîfiy atau


Ijtihâdiy

Menurut Haderanie, kalangan ulama Ahl al-Sunnah wa al-


Jamaah tidak menyetujui dan tidak membenarkan pencantuman dan
penyebutan nama Allah semau-maunya. Seperti memberi nama Allah
dengan nama ‘Aqîl ‘Uqalâ` (Maha Berakal dari yang berakal). Nama
seperti ini tidak memiliki dasar, meskipun diakui bahwa Allah

9Haderani, Asma`ul Husna, 8-9.


10Husin Naparin, “Nilai Ismul A’zham”, Kolom Fikrah, Banjarmasin Post (13
Maret 2015).
82 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

menciptakan akal. Walaupun nama Allah tidak terbatas, namun hak


manusia untuk menyebut suatu nama untuk Allah haruslah didasari
oleh ajaran Rasulullah. Berdasarkan syair Abu al-Qasim al-Junayd
yang dikutip olehnya, Haderanie menyatakan bahwa “tidak ada yang
dapat mengenal Allah (termasuk jumlah nama-nama-Nya) pada
hakikatnya kecuali Allah yang Maha Mulia sendiri”. 11
Sejalan dengan Haderanie, menurut Muhammad Bakhiet,
nama Allah itu Maha Suci dari nama-nama yang tidak layak dan yang
tidak ada dasar Alquran dan hadisnya. Dengan pengertian bahwa
nama Allah tidak bisa ditambah atau dikurangi dari yang ditetapkan
dalam Alquran dan hadis. Contohnya adalah nama al-Khayr dan al-
Hasan, kedua nama ini tidak boleh digunakan untuk menyeru dan
berdoa kepada Allah karena nama-nama itu tidak tercantum dalam
Alquran dan hadis.12
Meski menekankan perlunya menggunakan nama untuk Allah
harus didasarkan ajaran Rasulullah, Haderanie tidak menolak peng-
gunaan nama dalam bahasa non-Arab yang pada dasarnya adalah
bentuk pengalihbahasaan atau memiliki makna sepadan dengan
nama Allah dalam bahasa Arab. Haderanie mencontohkan, penye-
butan nama Allah dalam bahasa Indonesia seperti “Tuhan Yang Maha
Esa”, “Yang Maha Pengasih dan Penyayang”, “Yang Maha Kuasa” dan
“Gusti Pangeran (dalam tradisi Jawa). Penyebutan seperti ini menu-
rut Haderanie tidak bermasalah, karena nama-nama itu merupakan
padanan dari nama Allah yaitu al-Ahad/al-Wâhid, al-Rahmân dan al-
Rahîm, al-Qâdir, dan al-Mâlik.13 Terkait masalah ini tampaknya
Haderanie yang membicarakannya. Muhammad Bakhiet sebagaima-
na terlihat di atas, meski senada dengan Haderanie dalam hal pene-
tapan nama Allah, tidak menyinggung masalah penyebutan nama
Allah dalam bahasa lain.
Pendapat Haderanie dan Muhammad Bakhiet di atas menge-
nai penetapan Allah menunjukkan bahwa dalam perspektif keduanya
nama Allah itu bersifat tawqîfiyah, artinya sudah ditetapkan oleh

11 Haderani HN., Asma`ul Husna, 5-6.


12 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 28.
13 Haderani HN., Asma`ul Husna, 6.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 83

Allah melalui Rasul-Nya (Alquran dan hadis). Tampaknya, sikap yang


sama juga ditunjukkan oleh ulama Kalimantan lainnya. Meskipun
hanya Haderanie dan Muhammad Bakhiet yang menyinggung masa-
lah ini dalam tulisannya, tetapi jika memperhatikan versi al-Asmâ` al-
Husnâ yang mereka gunakan, jelas menunjukkan bahwa mereka
hanya menggunakan daftar yang terdapat dalam hadis al-Tirmidzi.
Tidak satupun dari mereka yang mencantumkan nama Allah di luar
dari versi populer. Artinya, mereka memandang inilah nama-nama
Allah versi hadis. Karena itu, tidaklah mengherankan jika Zurkani
Jahja menulis: “Meskipun dalam Al-Qur’an sudah disebutkan bebera-
pa nama yang terbaik itu …, namun Nabi Muhammad menjelaskan
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa
nama-nama yang terbaik bagi Allah itu ada 99 buah. Kesembilan
puluh sembilan nama terbaik inilah yang disebut dengan Asmaul
Husna”.14
Pernyataan Zurkani Jahja di atas menunjukkan bahwa daftar
nama-nama Allah dalam hadis al-Tirmidzi dari Abu Hurairah dipan-
dang sebagai daftar yang berasal dari Rasulullah, bukan sisipan
sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ulama. Ulama Kalimantan
menggunakan versi ini dikarenakan mereka menganggap nama-
nama itu adalah nama-nama yang disusun dan diajarkan sendiri oleh
Nabi.
Perspektif ulama Kalimantan mengenai hal ini sejalan dengan
pemikiran al-Ghazali. Menurutnya, daftar nama tersebut terdiri dari
apa yang disebut oleh Rasulullah dan beliau menyusunnya dengan
sengaja untuk menghimpunnya dan mengajarkannya, menurut riwa-
yat Abu Hurairah, karena maksud yang yang jelas riwayat ini adalah
untuk membangkitkan keinginan untuk membaca nama-nama itu.
Dan membaca nama-nama ini akan sulit bagi umat kalau Rasulullah
tidak secara tersurat menghimpunnya. Ini membuktikan kesahihan

14 M. Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, (Yogyakarta: Pustaka


Pesantren, 2010), xvi.
84 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

riwayat Abu Hurairah, karena itu maka umat menerima versinya


yang termasyhur.15
Demikian juga mengenai pemberian nama bagi Allah tanpa
ada dasar Alquran dan hadisnya, yang tidak diperkenankan oleh
Haderanie dan Muhammad Bakhiet, juga sejalan dengan al-Ghazali.
Menurut al-Ghazali, tidak diperkenankan memberi nama kepada
Allah, karena penentuan nama bagi Allah merupakan otoritas-Nya.
Al-Ghazali menganalogikan, bisa saja terjadi ada orang yang menolak
dan marah ketika ia diberi nama oleh orang lain, karena namanya
merupakan otoritas individualnya. Jika pada manusia saja tidak bisa
seenaknya memberi nama, apalagi memberi nama kepada Allah.16
Kelompok aliran salafiy, seperti al-‘Utsaymin lebih tegas lagi
menyatakan bahwa tidak ada arena bagi akal manusia untuk mena-
mai Allah. Manusia tidak akan mampu mengetahui mana-nama yang
sesuai bagi hak Allah. Karena itu, orang harus berhenti pada nash.
Bagi ‘Utsaymin, menamai Allah dengan nama yang tidak diberikan
sendiri oleh Allah atau Allah mengingkari nama itu, maka itu adalah
kejahatan pada hak Allah. Manusia wajib untuk beradab dan mem-
batasi diri hanya pada nama yang terdapat pada nash (Alquran dan
hadis) saja.17

D. Definisi Al-Asmâ` Al-Husnâ

Ada dua ulama Kalimantan yang dibahas di sini yang tidak


mengemukakan definisi al-Asmâ` al-Husnâ, yaitu Husin Qadri dan
Dja`far Sabran. Karena itu, keduanya tidak diikutsertakan terkait
topik ini. Definisi yang dikemukakan oleh ulama Kalimantan menge-
nai al-Asmâ` al-Husnâ adalah sebagai berikut:

15 Al-Ghazali, Rahasia Nama-nama Indah Allah, terj. Ilyas Hasan (Bandung:


Mizan, 1998), 214.
16 Al-Ghazali, Rahasia Nama-nama Indah Allah, 217-219.
17 Muhammad ibn Shalih ibn ‘Utsaymin, Qawâ`id al-Mutsla (Cairo: Maktabah

Sunnah, 1994), 16.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 85

1. Menurut Haderanie HN. al-Asmâ` al-Husnâ berasal dari kata


asmâ` dan husnâ. Kata asmâ` adalah bentuk jamak dari ism yang
berarti nama-nama, sedang kata husnâ merupakan katan sifat
yang termasuk dalam rumpun isim tafdhîl (menunjukkan kata
lebih atau ter) dari kata “hasanah” yang berarti baik. Dengan
demikian, definsi al-Asmâ` al-Husnâ adalah nama-nama yang
terbaik bagi Allah Swt.18
2. Menurut M. Zurkani Jahja, al-Asmâ` al-Husnâ secara harfiah
berarti nama-nama yang terbaik. Istilah ini diambil dari bebe-
rapa ayat Alquran yaang menegaskan bahwa Allah mempunyai
berbagai nama terbaik. Melalui nama–nama tersebut, umat Islam
bisa mengetahui keagungan Allah dan menyeru nama-nama
tersebut ketika berdoa. Berdasarkan hadis Abu Hurairah nama-
nama itu berjumlah 99 nama. Ke-99 nama inilah yang disebut al-
Asmâ` al-Husnâ.19

3. Menurut Husin Naparin, yang mengutip beberapa sumber,


menjelaskan bahwa al-Asmâ` al-Husnâ adalah nama-nama Allah
yang indah dan paling baik, karena sifat-sifat Allah yang paling
sempurna (kamâl), paling agung (Jalâl) dan paling indah (jamâl)
ditunjukkan melalui nama-nama itu. Dikatakan nama-nama
indah, karena (1) mengandung pengertian-pengertian yang
indah; (2) menginformasikan sifat-sifat agung Allah Swt; (3)
menggambarkan berbagai perbuatan sebagai puncak keindahan,
keajaiban dan kekuasaan-Nya; (4) jiwa orang beriman menilai-
nya baik dan cenderung kepada-Nya.20

18Haderani HN., Asma`ul Husna, 2.


19Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, xv-xvi.
20 Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna, Cet. Ke-6 (Banjarmasin:

Grafika Wangi Kalimantan, 2013), 1-2.


86 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

4. Menurut Muhammad Bakhiet, al-Asmâ` al-Husnâ adalah nama-


nama yang bagus atau indah dan jumlahnya hanya diketahui
Allah.21

Definisi dari beberapa ulama Kalimantan di atas menun-


jukkan bahwa al-Asmâ` al-Husnâ adalah nama-nama Allah yang
terbaik. Nama-nama itu berfungsi untuk mengetahui keagungan
Allah dan menyeru-Nya dengan nama itu ketika berdoa. Jumlah
sebenarnya hanya Allah yang tahu, tetapi untuk mengenal-Nya cukup
melalui 99 nama saja. Nama-nama itu dapat menunjukkan sifat
kamâl (kesempurnaan), jalâl (keagungan) dan jamâl (keindahan)
Allah. Keindahan nama itu disebabkan mengandung makna yang
indah, sifat-sifat yang agung, dan dinilai baik oleh orang-orang yang
beriman.

E. Jumlah Nama Allah

Mengenai jumlah nama Allah tampaknya ulama Kalimantan


sepakat bahwa jumlah Asma Allah tidak terbatas, meski ada hadis
yang menyebut jumlah 99 nama. Beberapa pernyataan ulama
Kalimantan berikut ini menunjukkan hal itu.
Menurut Dja’far Sabran, nama Allah tidak terbatas pada
sembilan puluh sembilan nama, tetapi bagi-Nya nama yang banyak
sekali tidak terhitung dan tidak terkira jumlahnya.22 Menurut
Haderanie, pada dasarnya jumlah nama-nama Allah tidak terbatas. Ia
mengutip pendapat Ahmad ‘Aliy al-Buniy dalam kitab Syams al-
Ma‘ârif al-Kubrâ bahwa nama Allah tidak terbatas. Nama Allah yang
lebih agung adalah apa yang Allah sebutkan di dalam kitab-Nya.
Menurut Haderanie, ada beberapa nama dalam daftar al-Asmâ` al-
Husnâ yang tidak ditemukan [dalam Alquran], tetapi tercantum
dalam hadis. Misalnya, al-Kâfiy (Maha Mencukupi), al-Ma‘âfiy (Maha

21 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ Jalan Menuju Ma’rifa-


tullah (Barabai: Pondok Pesantren dan Majlis Taklim Nurul Muhibbin, t.th.),
4.
22 Dja’far Sabran, Miftah-Ma’rifat, 27.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 87

Memaafkan), dan al-Syâfiy (Maha Penyembuh). Semua nama ini baik


dan benar karena didukung oleh ucapan Rasulullah. 23
Menurut Husin Naparin, nama-nama Allah itu banyak sekali.
Ada yang mengatakan 300, 1001, dan ada pula yang mengatakan 124
nama. Padahal, sebenarnya nama-nama Allah tidak terhingga jumlah-
nya. Beberapa nama itu ada yang disebutkan dalam kitab suci-Nya.
Adapula nama-nama-Nya yang diajarkan kepada makhluk-Nya. Ada-
pula nama-nama-Nya yang dirahasiakan. Yang diajarkan Rasulullah
kepada manusia ada 99 nama. Ke-99 nama inilah yang diminta oleh
Rasulullah untuk dihafal.24
Menurut Muhammad Bakhiet, kita wajib mengitikadkan
bahwa Allah mempunyai nama, dan nama Allah itu sangat banyak.
Tidak ada yang tahu secara persis berapa jumlahnya. Hanya Allah
saja yang tahu. Terkait pengetahuan manusia mengenai nama-nama
yang sangat banyak itu, Bakhiet mengelompokkanya menjadi empat.
Pertama, Nama-nama Allah yang hanya diketahui oleh Allah sendiri,
selain diri-Nya tidak ada yang tahu. Kedua, ada yang hanya diketahui
oleh Allah dan para Nabi-Nya. Ketiga, ada nama-nama Allah yang
hanya diketahui oleh Allah dan para wali-Nya saja. Keempat, ada
nama yang diketahui secara umum oleh manusia. Menurut Bakhiet,
dari sekian banyak nama (yang dapat diketahui secara umum) itu,
ada 99 nama yang jika dipelihara akan membawa pemeliharanya
masuk surga.25
Pendapat para ulama Kalimantan di atas sejalan dengan
pendapat kebanyakan ulama bahwa jumlah nama Allah sebenarnya
tidak terbatas. Pendapat seperti ini misalnya dikemukakan oleh al-
Ghazali, al-“Utsaymin, al-Qahtani, Quraish Shihab dan lain-lain.
Penyebutan 99 nama tidak dimaksudkan untuk memberi batas
jumlah keseluruhan nama Allah. Al-Ghazali mencontohkan, misalnya,
ada raja yang memiliki seribu abdi; orang dapat mengatakan bahwa
raja memiliki 99 abdi, dan kalau mereka diminta bantuan 99 abdi itu
maka tidak ada musuh yang akan mampu melawannya. Menurut al-

23 Haderanie, Asma`ul Husna, 5.


24 Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna, 3-4.
25 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 2-3.
88 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Ghazali 99 abdi yang disebut bukan menegasikan jumlah seribu abdi


karena yang diperlukan cukup 99 abdi terpilih (dari 1000 abdi)
untuk memukul mundur lawan tanpa diperlukan tambahan. 26 Al-
;Utsaymin dalam Qawâ`id al-Mutslâ mencontohkan masalah ini
seperti orang yang berkata: “Aku memiliki 100 dirham untuk disede-
kahkan”. Pernyataan ini tidak menafikan bahwa Anda memiliki
dirham yang lain yang tidak termasuk untuk disedekahkan. 27
Meskipun ulama Kalimantan sepakat bahwa terdapat 99
nama Allah yang harus diperhatikan (dihafal, dibilang, dipahami dan
diteladani) dan jumlah nama Allah pada dasarnya tidak terbatas dan
tidak diketahui jumlah pastinya, namun pada sebagian kecil masyara-
kat muslim Kalimantan beredar pendapat bahwa nama Allah itu ada
seratus. Yang diperkenalkan ada 99 nama dan ada satu nama yang
dirahasiakan. Siapa saja yang mengetahui “nama yang satu” itu maka
ia otomatis masuk surga. Karena adanya pendapat semacam ini maka
muncul upaya untuk menemukan “nama yang satu” itu agar 99 nama
Allah genap menjadi 100. Pencarian nama ini kemudian berkembang
menjadi liar, karena masing-masing orang memiliki versi masing-
masing mengenai “nama yang satu” itu dan bahkan memiliki versi
nama yang aneh dan ganjil.
Haderanie, dalam bukunya, Ilmu Ketuhanan 4 M Ma’rifat,
Musyahadah, Mukasyafah, Mahabbah menceritakan bahwa sewaktu
masa belajar agama, ia berusaha mencari “nama yang satu” karena ia
mendapat informasi dari para orang tua dulu bahwa selain nama
Allah yang 99, ada pula nama-Nya yang ke-100. Siapa yang
“mengetahui” nama itu, maka orang itu masuk surga. 28 Berikut ini
adalah paparannya mengenai pencariannya itu:

Ada 3 (tiga) guru yang penulis hubungi dan mengajarkan


“nama yang satu” itu. Pengambilan ijazah untuk ini diharuskan
dengan syarat-syarat tertentu, di tengah malam tepat jam 00.
(jam 12), duduk beralas kain putih “sekebaya” (dua yard)

26Al-Ghazali, Rahasia Nama-nama Indah Allah, 210.


27Muhammad ibn Shalih ibn ‘Utsaymin, Qawa`id al-Mutsla, 17.
28 Haderanie HN, Ilmu Ketuhanan 4 M Ma’rifat, Musyahadah, Mukasyafah,

Mahabbah (Surabaya: Nur Ilmu, tth), 19.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 89

berhadapan dan berjabat tangan. Lalu guru itu membisikkan


“nama yang satu” sebanyak 3 kali. Bisikan itu tidak boleh
dengan suara yang bisa didengar oleh makhluk lain. Katanya,
bila cecak mendengar, cecak masuk sorga, bila semut
mendengar, semut masuk sorga.

Dari tiga guru yang penulis hubungi itu (mereka bukan ulama)
ternyata, masing-masing memberikan nama yang berbeda-
beda, padahal yang dicari “nama yang satu”.

Satu guru menyebutnya “Tik-Kullah”.


Satu guru lagi menyebutnya “Kun Kunung Kumasalah”. Guru
yang satunya lagi menyebutnya: “Nur Sari Marang”.

“Tik-Kullah” maksudnya; Titik atau titis Allah”. Semua manusia


adalah “titik/titis Allah”. Membedakan manusia di hadapan
Allah katanya hanyalah tergantung, tahu atau tidak tahu “nama
yang satu” ini. Beruntung yang tahu, dan rugi bagi yang tidak
tahu. Tentang nama; “Kun Kunung-Kunung Kumasalah” mak-
sudnya adalah, pancaran cahaya yang amat cemerlang (arti
bahasa Kunung-kunung = cemerlang/gemilang). Kumasalah,
adalah nama alam Tuhan. Bila menyebut nama itu meskipun
hanya di dalam hati sudah berarti berada di Alam Ketuhanan.
Segala senjata apapun bentuknya tidak akan mengenai tubuh
(salah = tidak kena).

Yang agak ganjil keterangannya adalah nama “Sari Marang”.


Kata itu kepanjangan dari nama Samar (tokoh pewayangan) Sa
= Sari, Mar =Marang. Samar (Semar) datang ke “bumi lamah”
(bumi) berupa pancar / cahaya dari Sangiang Wenang (Tuhan).
Jadi dinamakan Samar karena dia adalah “samarannya
Sangiang Wenang (Tuhan)”. 29

Setelah menceritakan pengalamannya terkait pencarian


“nama yang satu” Haderanie menganjurkan mereka yang memiliki
ilmu seperti di atas agar merevisi kepercayaan mereka dengan cara
mencari ulama yang ahli mengenai masalah nama Allah. Karena

29 Haderanie, Ilmu Ketuhanan 4M, 19-20.


90 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

menurutnya, ilmu semacam itu merupakan bid’ah yang dapat mem-


bawa kesesatan karena telah agak jauh bergeser dari ajaran yang
benar.30
Zurkani Jahja, pada bagian penutup bukunya, memaparkan
bahwa ada sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepadanya terkait
dalam al-Asmâ` al-Husnâ, di antaranya menanyakan tentang nama
Allah yang ke-100. Bahkan, pengetahuan tentang ini (nama tuhan ke-
100) dijadikan tolok ukur penilaian si penanya terhadap penguasaan
pengetahuannya mengenai dalam al-Asmâ` al-Husnâ. Zurkani Jahja
mengabaikan pertanyaan ini karena paparannya mengenai dalam al-
Asmâ` al-Husnâ didasarkan pada hadis al-Tirmidzi dari Abu Hurairah
yang isinya menyatakan bahwa jumlah nama Allah itu ada 99 dan
urutan nama itu dari nama Allah hingga al-Shabûr.31 Selain itu, papa-
rannya mengenai al-Asmâ` al-Husnâ dimaksudkan untuk memberi-
kan pengetahuan mengenai bagaimana menghayati dengan benar
nama-nama Allah itu. Menurutnya, menghayati al-Asmâ` al-Husnâ
dalam kehidupan merupakan sesuatu yang tidak gampang. Oleh
karena itu, tidak ada lagi waktu untuk mencari-cari nama lain yang
tidak dijelaskan oleh Rasulullah.32

F. Makna Ahshâhâ

Dalam hadis tentang al-Asmâ` al-Husnâ yang banyak diriwa-


yatkan oleh ulama hadis: “inna lillâhi tis‘atan wa tis‘ina isman mi`atan
illa wâhidan man ahshâhâ dakhala al-jannah” (H.R. Bukhari, Muslim,
al-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Baihaqy) terdapat kata “ahshâhâ”. Kata
ini menjadi salah satu perhatian ulama Kalimantan ketika mereka
memaparkan al-Asmâ` al-Husnâ. Berikut ini adalah paparan mereka
mengenai makna “ahshâhâ”.
Menurut Haderanie, hadis al-Tirmidziy menggunakan kata
“ahshâ” yang berarti menghitung, sementara dalam hadis Ibnu Majah,
menggunakan kata “hafizha” yang berarti menghafal. Pengertian

30 Haderanie, Ilmu Ketuhanan 4M, 20.


31 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 723.
32 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 726.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 91

“ahshâ” dan “hafizha” jika disatukan berintikan dan bertujuan pada


“kebenaran”, “keyakinan” dan “dijadikan pegangan” sehingga menda-
rah daging. Jika tidak dibenarkan, diyakini, dan dijadikan pegangan,
maka arti suatu “hafalan” sama sekali tidak mempunyai nilai apa-apa.
Ini berarti “ahshâ” dan “hafizha” yang dilakukan umat Islam adalah
meyakini, membenarkan dan memegang teguh terhadap al-Asmâ` al-
Husnâ untuk mencapai alam surgawi yang telah dijanjikan sebagai-
mana tersebut dalam hadis.33
Dalam bukunya, Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah (Addur-
run Nafis), dengan menggunakan perspektif sufistik, Haderanie
menyatakan bahwa menghafal nama-nama Allah bukanlah persoalan
yang sulit, semua orang bisa. Menghafal saja tidak cukup. Sebab,
orang fasik dan munafikpun dapat menghafalnya. Seorang mukmin
yang khâlish (mukmin yang bersih imannya) akan menghayati nama-
nama itu bagi dirinya dan segala sesuatu. Bagi mereka, Allah yang
memiliki banyak nama itu tajalliy atau tampak nyata dan lebih nyata
dari apapun juga.34
Menurut Haderanie, orang yang menghayati nama-nama
Allah akan berdampak besar dalam kehidupannya. Dia mencontoh-
kan, orang takut berbohong karena perbuatannya pasti didengar,
dilihat dan diketahui Allah, karena Allah adalah al-Samî’ (Mende-
ngar), al-Bashîr (Melihat) dan al-‘Alîm (Mengetahui). Apalagi Allah
adalah al-Qarîb (Maha Dekat), lebih dekat dari diri sendiri.35
Para ‘ârif bi Allâh, menurut Haderanie, merasakan benar
nyatanya al-Salâm (Maha Penyelamat), al-Mu`min (Maha Pengaman)
dan al-Muhaymin (Maha Pemberi Kebahagiaan). Dampaknya, mereka
tidak pernah merasa takut dan gentar menghadapi hidup. Para ‘ârif
itu juga yakin bahwa rezeki sudah dijamin oleh al-Razzâq (Maha
Pemberi Rezeki) berikut dengan ketentuan kadarnya oleh al-
Muqtadir (Maha Menentukan). Karena mereka tidak tahu berapa
jumlah yang diperoleh, mereka pun berdoa kepada al-Wahhâb (Maha
Memberi) dan al-Mujîb (Maha Memperkenankan). Mereka pun yakin

33 Haderanie., Asma`ul Husna, 3.


34 Haderanie, Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah, 76.
35 Haderanie, Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah, 76.
92 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

bahwa Allah tidak mendapat kesulitan untuk memperkenankan apa


yang mereka inginkan, karena Allah adalah al-Ghaniy (Maha Kaya)
dan al-Karîm (Maha Dermawan). Demikian pula ketika mereka
makan, mereka merasakan nyatanya Allah sebagai al-Muqît (Maha
Mencukupi, termasuk mencukupi makan dan minum). 36
Paparan Haderanie di atas menunjukkan bahwa dalam pers-
pektifnya, menghafal al-Asmâ` al-Husnâ bukanlah jaminan mutlak
bagi seseorang untuk masuk surga. Hanya menghafalnya tidaklah
cukup dan terlalu mudah. Bukan itu makna ihshâ`. Makna sejati ihshâ`
menurutnya adalah memahami, meyakini, membenarkan, memegang
teguh, dan menghayati nama-nama Allah hingga berdampak kuat
terhadap kehidupan seseorang. Bentuk ihshâ` seperti inilah yang
akan menjamin seseorang untuk masuk surga. Walaupun demikian,
Haderanie tidak ‘mengeluarkan’ dari kategori kelompok masuk surga
dalam konteks meng-ihshâ`, mereka yang memiliki pemahaman yang
terbatas mengenai nama-nama Allah, selama mereka berusaha untuk
memahami dan menghayati nama-nama Allah dan tidak sekadar
menghafalnya saja. Hal ini terlihat dari pembagian golongan orang
yang meng-ihshâ` nama-nama Allah.
Menurut Haderanie, ada tiga golongan dalam merespon dan
mengkaji al-Asmâ` al-Husnâ. Pertama, Golongan mubtadi (pemula),
yaitu golongan yang terbatas pengertian, pemahaman dan penghaya-
tannya terhadap isi al-Asmâ` al-Husnâ. Kedua, golongan mutawassith
(menengah), yaitu golongan yang mengerti dan memahami isi al-
Asmâ` al-Husnâ, tetapi belum sampai pada tingkat “kesadaran makri-
fat” atau “penghayatan sepenuhnya” terhadap makna hakiki yang
terkandung dalam setiap nama-nama Allah. Ketiga, golongan muntahi
(puncak), yaitu golongan yang mencapai tingkat kesadaran tertinggi,
sempurna makrifatnya, menghayati secara hakiki segala nama Tuhan
yang terdapat dalam a;-Asmâ` al-Husnâ. Meskipun terdapat tiga
golongan tersebut, semuanya dipastikan mendapat surga yang dijan-
jikan selama mereka tidak memiliki sikap yang bertentangan dengan
makna al-Asmâ` al-Husnâ.37

36 Haderanie, Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah, 76-77.


37 Haderanie, Asma`ul Husna, 3-4.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 93

Pemikiran Haderanie terkait makna ahshâ (ihshâ`) sejalan


dengan Zurkani Jahja. Menurut Zurkani Jahja, terdapat perbedaan
pendapat mengenai makna “membilang” (ahsha). Ada yang memak-
nainya “menghafal” dan ada pula yang memaknainya “menghayati-
nya dalam kehidupan”. Menurutnya, makna terakhir ini diperkuat
dengan hadis Nabi: “Berperilakulah kalian dengan perilaku Allah”.
Hadis ini, menurutnya, menganjurkan agar setiap muslim bersikap
dan berperilaku dengan ‘kepribadian’ Allah.38 Pernyataan ini menun-
jukkan bahwa dia lebih menekankan makna terakhir ini meski tidak
menafikan makna pertama. Uraiannya mengenai nama-nama Allah
menunjukkkan pilihannya itu.
Pada bagian penutup bukunya, 99 Jalan Mengenal Allah,
Zurkani Jahja kembali menyinggung mengenai makna ahshâhâ. M-
enurutnya, ada kesan bahwa makna ahshâhâ itu sekadar menghafal
nama-nama Allah saja sehingga muncul anggapan bahwa sangat
mudah untuk masuk surga, yakni hanya dengan menghafal Asmâ` al-
Husnâ. Padahal, menurutnya, hadis tentang al-Asmâ` al-Husnâ yang
memuat lafal “ahshâhâ” termasuk li al-targhîb fîh (untuk mengge-
markan). Sesuatu yang berat mengerjakannya, juga harus besar
iming-imingnya, demikianlah umumnya kecenderungan hadis-hadis
“fadhâ`il al-a‘mâl” (keutamaan beramal). Hadis ini menurutnya, tidak
boleh dipisah dari ayat Alquran dan hadis yang menegaskan kewa-
jiban seseorang muslim hingga kelak ia bisa masuk surga. Dari
pernyataannya ini menunjukkan bahwa, baginya, menghafal itu tidak
cukup. Diperlukan lebih dari itu. Karena itulah ia menegaskan bahwa
pengertian lain dari “ahshâhâ” adalah menghayatinya dalam kehidu-
pan. Seorang muslim tidak akan bisa membilang nama-nama terbaik
Allah dengan baik jika belum menghayatinya dalam kehidupan
sehari-hari.39
Menurut Husin Naparin penafsiran lafazh “ahshâ” memiliki
beberapa penafsiran, yaitu (1) menghafal dan beribadah dengannya;
(2) mencari dalam Alquran untuk memperoleh nama-nama itu; (3)
memahami dan mengamalkan tuntunannya; (4) berakhlak sesuai

38 Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, xviii.


39 Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, 725-726.
94 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

dengan asma yang dilafalkannya; (5) mengetahui arti-artinya; dan


(5) menghafal di luar kepala. Menurut Mahmud Samiy, sebagaimana
dikutip Naparin, maksud “ahshâ” tidak cukup dihafal saja, karena
surga tidak bisa dicapai tanpa melalui pengorbanan besar dengan
jiwa dan harta di jalan Allah. Versi makna “ahshâ” sebagaimana ter-
dapat pada buku Al-Qur`an dan Tafsirnya (Depatermen Agama RI)
yang dikutip oleh Naparin adalah menghafal, menghayati, dan
meresapinya. Sementara Ahmad al-Syarbashi, yang juga dikutip oleh
Naparin, memaknai “ahshâ” dengan mengenal semua nama tersebut,
memahami makna kandungannya, dan merasakan adanya pengaruh
makna-makna tersebut di dalam jiwa serta mengamalkan tuntunan
makna yang terkandung di dalamnya sehingga yang bersangkutan
menaati perintah dan menjauhi larangan Allah Swt, dengan itulah ia
berhak masuk surga.40
Muhammad Bakhiet memaknai “ahshâhâ” (ihshâ`) dengan
arti memelihara. Makna memelihara mengandung tiga pengertian.
Pertama, makrifat atau mengenal-Nya, yakni mengenal dengan yakin
dengan 99 nama Allah itu berdasarkan dalil ‘aqliy dan naqliy
(Alquran dan hadis). Kedua, bermakna ta’zhimuha (membesarkan-
Nya). Setelah mengenal nama-nama Allah maka akan tumbuh rasa
ta’zhîm, dan dari rasa ta’zhîm akan timbul keinginan untuk berakhlak
dengan akhlak Allah Swt. Ketiga, al-Sa’yu bi al-takhalluqi bi akhlâqi
al-asmâ` al-husnâ (berusaha berakhlak dengan akhlak-akhlak asma`
al-husna) sebagaimana sabda Nabi: “takhalluq bi akhlâq Allâh”.
Makna memelihara di sini harus mencakup ketiga macam makna di
atas, tidak cukup hanya menghafal nama-nama itu satu persatu di
luar kepala saja.41
Paparan sejumlah ulama Kalimantan di atas mengenai makna
“ahshâ” yang tercantum dalam hadis mengenai al-Asmâ` al-Husna
menunjukkan secara tegas bahwa makna “ahshâ” (menghafal, mem-
bilang atau memelihara) dalam konteks hadis itu tidak bisa dimaknai
hanya menghafal saja. Bagi mereka, makna “ahshâ” memiliki makna
yang lebih dalam dan lebih luas. Makna “ahshâ” yang paling men-

40 Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna, 5-6.


41 Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 3-4.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 95

dasar adalah mengenal dan menghayati nama-nama itu hingga


menimbulkan ketakziman dan makrifat kepada Allah yang pada
gilirannya menggiring seseorang untuk bertakhalluq (meniru dan
meneladani akhlak Allah) dalam kehidupannya. Dengan bertakhalluq,
maka nama-nama Allah telah menyatu dalam kepribadiannya. Inilah
yang dimaksud oleh Haderanie sebagai “mendarah daging” dalam
kehidupan muslim.

G. Makna Harfiyah Setiap Nama Allah

Selain menyajikan daftar nama-nama Allah dalam tulisannya


mengenai al-Asmâ` al-Husnâ, ulama Kalimantan menyajikan makna
harfiah dari nama-nama itu sebelum memberikan paparan lebih detil
masing-masing nama. Dari beberapa tulisan ulama Kalimantan yang
dikaji di sini, hanya buku Dja’far Sabran yang tidak menyajikan al-
Asmâ` al-Husnâ secara lengkap sehingga secara otomatis pula tidak
ditemukan paparanya mengenai penerjemahan nama-nama Allah itu
secara lengkap. Hanya ada beberapa nama yang ditulis oleh Dja’far
Sabran dalam bukunya, Miftah-al-Ma’rifat, yaitu al-Karîm (Pemurah),
al-Rahmân (Kasih sayang), al-Jâmi’ (Menghimpun), al-Mâni’ (Mence-
gahkan), al-Shabûr (sabar), al-Dhâr (memudaratkan).42
Karena Dja’far Sabran tidak mengemukakan daftar al-Asmâ`
al-Husnâ berserta makna harfiahnya secara lengkap, maka ia tidak
diikutsertakan dalam tabel daftar makna harfiah al-Asmâ` al-Husnâ
yang akan dikemukakan di bawah ini. Dengan demikian, hanya mak-
na harfiah al-Asmâ` al-Husnâ yang ditulis oleh Husin Qadri, Hadera-
nie, Zurkani Jahja, Husin Naparin dan Muhammad Bakhiet yang
disajikan dalam tabel di bawah ini.

42 Dja’far Sabran, Miftah-Ma’rifat, 27-29.


96 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Tabel 2. Makna Harfiah Nama-nama Allah Versi Ulama Kalimantan


N AL-ASMA` HUSIN HADE- ZURKANI HUSIN MUHAMMAD
O AL-HUSNA QADRI43 RANIE44 JAHJA 45 NAPARIN46 BAKHIET47
Nama bagi zat
yang wajib ada
Nama Yang
yang
Yang Diperuntukk
menghim-
mengeluark an bagi
punkan segala
an akan Nama bagi Nama Sejati Tuhan yang
1 Allâh sifat-sifat
sesuatu dari zat-Nya Tuhan sebenarnya
Ketuhanan
tiada kepada dan Berhak
yang
ada untuk
menyendiri
disembah
dengan wujud
haqiqi
Yang kasih
Yang Maha
sayang akan Yang sangat
Maha Pengasih Yang Maha
2 Al-Rahmân hambanya Pengasih
Pengasih Tak Pilih Pemurah
di dalam Penyayang
Kasih
dunia
Yang kasih
sayang akan
orang Yang sangat
Maha Yang Maha Yang Maha
3 Al-Rahîm mukminin di pengasih dan
Penyayang Penyayang Pengasih
dalam penyayang
negeri
akhirat
Yang Maha Yang memiliki
Yang Maha Yang Raja,
4 Al-Mâlik mempunyai Memiliki/M dan menguasai
Diraja Berkuasa
kerajaan aha Merajai (raja)
Yang Maha Maha Suci dari
Yang Maha Yang Maha
5 Al-Quddûs Suci dari Maha Suci segala yang
Suci Suci
kekurangan tidak patut
Sejahtera
Maha Yang Maha Yang Maha
6 Al-Salâm dari Yang selamat
Penyelamat Sejahtera Sejahtera
kekurangan
Yang Maha Yang Maha Memberi
Yang Maha
7 Al-Mu`min meamankan Memberi Pemberi keamanan
Terpercaya
akan Keamanan Aman (rasa aman)

43 Husin Qaderi, Senjata Mukmin, Versi Cet. Ke-1971 (td.), 37-90.


44 Haderanie H.N. Asma`ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasauf (Surabaya:
Bina Ilmu, 2004), xvi-xix.
45 M. Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan (Yogyakarta: Pustaka Pesan-

tren, 2010), xxv-xxix.


46 Husin Naparin, Memahami Al-Asma al-Husna (Banjarmasin: PT Grafika

Wangi Kalimantan, 2013), 10-17 dan Husin Naparin, Memahami Al-Asma al-
Husna (Bagian Kedua) (Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan, 2013),
1.
47 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asma` al-Husna Jalan Menuju Ma’rifa-

tullah (Barabai: Pondok Pesantren dan Majlis Taklim Nurul Muhibbin, tth.),
5-572.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 97

hambanya dan
Keimanan
Yang sangat Yang
Maha
Al- mengintai Yang Maha Yang Maha mengintai,
8 Cermat/Mah
Muhaymin dan Pemelihara Memelihara menguasai dan
a Teliti
memelihara memelihara
Yang Maha Yang Maha
Yang Maha
9 Al-‘Azîz Mengalahka Mulia/Berwi Mulia lagi Yang Mulia
Perkasa
n bawa Perkasa
Yang
Yang Maha Memuluskan
Yang Sangat Maha Yang Maha
10 Al-Jabbâr Berkehenda kehendak
Gagah Memaksa Memaksa
k dengan jalan
memaksa
Yang Yang melihat
Yang
Al- Menunggal Yang Maha hinanya segala
11 Maha Megah Memiliki
Mutakabbir dengan Arogan sesuatu selain
Kebesaran
kebesaran dia
Yang Menetapkan
Maha Tuhan Maha Yang Maha
12 Al-Khâliq meadakan menciptakan
Pencipta Pencipta Pencipta
makhluk sesuatu
Maha Yang
Yang Yang Maha
Pembuat/ Yang Maha mewujud-kan
13 Al-Bâriy menerbitkan Mengadakan
Maha Mengadakan apa yang telah
makhluk dari Tiada
Pelaksana direncanakan
Yang Yang Maha Yang Menciptakan
Al- Maha
14 merupakan Pemberi Membuat dengan sebaik-
Mushawwir Pembentuk
makhluk Rupa Bentuk baik susunan
Yang sangat Maha
Yang Maha Yang Maha Maha
15 Al-Ghaffâr mengampun Pemberi
Pengampun Pengampun Pengampun
i Ampun
Yang
Yang sangat Maha Yang Maha Yang Maha mengalah-kan
16 Al-Qahhâr
keras Perkasa Perkasa Perkasa seluruh
musuh-Nya
Yang Memberi
Yang Maha
Yang sangat Maha Yang Maha tanpa
17 Al-Wahhâb Pemberi
memberi Pemberi Pemberi mengharap
Karunia
imbalan
Yang sangat Maha Yang Maha Yang Maha
Memberi
18 Al-Razzâq memberi Pemberi Pemberi Pemberi
Rezeki
rizki Rezeki Rezeki Rezeki
Yang
Maha Yang Maha
membuka Yang Maha Yang
19 Al-Fattâh Membukaka Membuka
khazanah Pembuka Membukakan
n Hati
rahmat
Yang Yang Maha Yang Maha Yang Maha
20 Al-‘Alîm Maha Tahu
mengetahui Tahu Mengetahui Mengetahui
Maha
Memegang,
Yang
Maha Yang Maha
menegahkan Yang Maha Yang
21 Al-Qâbidh Mencabut, Menyampaik
atau Pengendali Menggenggam
Maha an Rezeki
memicikkan
Menggengga
m
98 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Maha
Yang
Mencurahka Yang Maha Yang Maha Yang
mehuraikan
22 Al-Bâsith n rezeki, Melapangka Melapangka Menghampark
atau
Nikmat dan n Rezeki n an
meluaskan
Rahmat
Yang Maha Yang Maha Yang Maha Yang
23 Al-Khâfidh merendahka Menjatuhka Menjatuhka Merendahka Me4rendahkan
n n n n Kebatilan
Yang
Yang Meninggikan
Maha Yang Maha Yang Maha
24 Al-Râfi’ mengangkat dan
Mengangkat Meninggikan Meninggikan
kan Mengangkat
kebenaran
Maha Yang Memberi
Yang Memberi Yang Maha Yang Maha Kerajaan
25 Al-Mu’izz
memuliakan Kemuliaan/ Memuliakan Terhormat kepada yang
wibawa dikehendaki
Mencabut
Yang Maha Yang Maha Yang Maha
kerajaan dari
26 Al-Mudzill menghinaka Menghinaka Menghinaka Menghinaka
yang
n n n n
dikehendaki
Yang Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
27 Al-Samî’
mendengar Mendengar Mendengar Mendengar Mendengar
Yang
Yang Maha Yang Maha Yang Maha
28 Al-Bashîr Menyaksikan
melihat Melihat Melihat Melihat
dan Melihat
Hakim yang Yang menghu-
tidak ada kumkan,
Yang
yang Maha Hakim Yang memu-tuskan,
29 Al-Hakam Memutuska
menolak Pengampun Maha Agung membuat
n Hukum
bagi undang-
hukumnya undang
Yang sangat Yang Maha Yang Maha Yang Maha
30 Al-‘Adl Maha adil
adil Adil Adil Adil
Yang
mengetahui
akan segala
Maha Yang Maha
maslahat Yang Maha Yang Maha
31 Al-Lathîf Lembut/hal Lembut dan
yang halus- Lembut Lembut
us Halus
halus dan
yang dalam-
dalam
Yang Mah Tidak ada yang
Yang Maha
mengetahui Waspada, tersembunyi
Dalam Yang Maha
32 Al-Khabir dengan Maha daripada-Nya
Pengetahua Mengetahui
batinnya Pemberi khabar-khabar
n-Nya
sesuatu Khabar batin
Yang tidak Maha Tidak
Yang Maha Yang Maha
33 Al-Halîm segera Penyantun/ bersegera
Penyantun Penyantun
menyiksa Penghiba menyiksa
Yang besar Yang Maha Yang Maha Yang Maha
34 Al-‘Azhîm Maha Agung
martabatnya Agung Agung Agung
Yang banyak Yang Maha
Maha Yang Maha Yang Maha
35 Al-Ghafûr mengampun Sempurna
Pengampun Pengampun Pengampun
i Ampunan-
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 99

Nya
Maha
Penerima Maha
Yang
Yang sangat Syukur Mensyukuri Yang Maha
36 Al-Syakûr Menerima
syukur Hamba, Amal Syukur
Syukur
Maha Hamba-Nya
Membalas
Yang maha
tinggi Yang Maha Yang Maha Yang Maha
37 Al-‘Aliy Maha Tinggi
kemuliaanny Tinggi Tinggi Tinggi
a
Yang
Yang Maha Yang Maha Yang Maha
38 Al-Kabîr mempunyai Maha Besar
Besar Besar Besar
kebesaran
Maha
Yang sangat Yang Maha Yang Maha Yang
39 Al-Hafîzh Penjaga/
memelihara Memelihara Penjaga Memelihara
Pemelihara
Yang
Mencipta-kan
Yang Maha
Yang Maha Keperluan
Menjadikan/ Yang Maha
40 Al-Muqît menjadikan Pemberi Pokok dan
Memberi Pemelihara
makanan Makan menyampai-
Makanan
kannya pada
manusia
Yang Maha
Yang Maha
mempadaka Menghitung Yang Maha Yang
41 Al-Hasîb Pembuat
n atau yang / Maha Mencukupi Menghitung
Perhitungan
menghisab Mencukupi
Maha Nyata
Yang maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
42 Al-Jalîl Kemuliaann
besar halnya Anggun Luhur Besar
ya
Maha
Yang mulia Maha
Yang Maha Yang Maha Pemurah,
43 Al-Karîm atau yang Mulia/Mura
Dermawan Dermawan Mulia dan
murahan h
Maha Penting
Maha
Yang Yang Maha Yang Maha Yang
44 Al-Raqîb Mengawasi/
mengintai Mengawasi Mengawasi Mengintai
Mengintip
Yang Maha Yang Maha Yang Maha Yang
45 Al-Mujîb memperken Memperken Mengabulka Mengabulka Memperkenan
ankan ankan n doa n kan
Yang luas
pada Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
46 Al-Wâsi’
pengetahua Memperluas Luas Luas Luas
nnya
Yang
Yang
Maha Yang Maha Yang Maha Mempunyai
47 Al-Hakîm mempunyai
Bijaksana “Bijaksana” Bijaksanas hikmah,
hikmah
bijaksana
Yang
Yang Sangat
mengasihi Maha Yang Maha Yang Maha
48 Al-Wadûd Mencintai
akan orang Pencipta Cinta Kasih Mengasihi
Hamba-Nya
mukmin
Yang Maha Tinggi Yang Maha Yang Maha
49 Al-Majîd Yang Mulia
sempurna Kemuliaan- Sempurna Mulia
100 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

kemuliaanny Nya Kemuliaan-


a Nya
Yang
Yang Maha Yang Maha Yang Maha
Menghidupkan
50 Al-Bâ’its membangkit Membangkit Membangkit Membangkit
Makhluk pada
kan makhluk kan kan kan
hari kiamat
Yang hadir Maha Yang Maha
Yang Maha Yang
51 Al-Syahîd dengan Menyaksika Menyaksika
Imanen Menyaksikan
ilmunya n n
Yang tahqiq
Yang Hakiki Yang Maha Yang Maha
52 Al-Haqq lagi nyata Maha Benar
Ada-Ny Benar Benar
adanya
Yang Maha Yang
Yang
diserahkan Penerima Kepada-Nya
Yang Maha Diserahkan
53 Al-Wakîl kepadanya Penyerahan, Diserahkan
Pemelihara Kepada-Nya
sekalian Maha Segala
Segala Perkara
pekerjaan Memelihara Perkara
Yang sangat Yang Maha Yang Maha Maha Sangat
54 Al-Qawiyy Maha Kuat
kuat Kuat Kuat Kuat
Yang Yang Maha Yang
sempurna Maha Sempurna Yang Maha Kekuatan-Nya
55 Al-Matîn
pada Kokoh/Kuat Kekuatan- Kokoh yang ber-
kekuatannya Nya sangatan
Yang
Yang
Maha Mencintai
menolong
Penolong/ Yang Maha Yang Maha orang yang
56 Al-Waliy akan orang
Maha Pelindung Melindungi dikehendaki
yang takut
Melindungi dengan cinta
kepadanya
yang khusus
Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
57 Al-Hamîd Yang terpuji
Terpuji Terpuji Terpuji Terpuji
Yang
menghingga Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
58 Al-Muhshiy
kan tiap-tiap Penghitung Menghitung Menghitung Menghitung
sesuatu
Maha
Yang Yang
Maha Yang Maha Mencipta-kan
59 Al-Mubdi` menzhahirk Menciptakan
Memulai Memulai tanpa Contoh
an makhluk Semula
Sebelumnya
Yang
Mencipta-kan
Maha sesuatu
Yang Yang Yang Maha
Pengulang/ dengan contoh
60 Al-Mu‘îd mengembali Mengembali Mengembali
Mengembali sebelumnya
kan kan Semula kan
kan (mengembalik
an ciptaan-
Nya)
Yang Maha Yang Maha Yang Maha
Yang Maha
61 Al-Muhyi menghidupk Menghidupk Menghidupk Menghidupk
Menghidupkan
an an an an
Yang Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
62 Al-Mumît
mematikan Mematikan Mematikan Mematikan Mematikan
Yang Maha
Yang Hidup Yang Maha
63 Al-Hayy Yang hidup Maha Hidup Hidup
Abadi Hidup
Mandiri
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 101

Maha
Yang berdiri Yang Maha Yang Maha Yang Berdiri
64 Al-Qayyûm Berdiri
sendiri Mandiri Mandiri Sendiri
Sendiri
Yang
Yang
mendapat Maha Cukup
Yang Selalu Mendapati apa
akan segala Kaya dengan Yang Maha
65 Al-Wâjid Mendapatka yang
yang Serba Menemukan
n dikehendaki-
dikehendaki Kemuliaan
Nya
nya
Yang besar Maha
Yang Maha Yang Maha
66 Al-Mâjid kemuliaanny Melimpahka Maha Mulia
Mulia Mulia
a n Kemuliaan
Yang
menunggal
Al-Wâhid pada zat- Yang Maha Yang Maha Yang Maha
67 Maha Esa
(al-Ahad) Nya, sifat- Esa Tunggal Tunggal (Esa)
Nya dan Af
‘al-Nya
Maha
Yang Yang Yang
Dibutuhkan/
diqashad Kepada-Nya Yang Maha Disampai-kan
68 Al-Shamad Maha
akan dia Semua Dibutuhkan Kepada-Nya
Tempat
segala hajat Bergantung Segala Hajat
Bergantung
Maha
Yang Maha Yang Maha Yang Maha
69 Al-Qâdir Yang kuasa Kuasa/
Kuasa Kuasa Kuasa
Menguasai
Yang Maha
Yang Lebih
Yang sangat Maha Berkuasa Yang Maha
70 Al-Muqtadir Bersangatan
kuasa Menentukan atas Segala Berkuasa
Maha Kuasa
Sesuatu
Yang Maha Yang Maha Yang Maha
Al- Yang
71 mendahuluk Mendahuluk Mendahuluk Mendahuluk
Muqaddim Mendahulukan
an an an an
Maha
Yang Mengakhirk Yang Maha Yang Maha Yang
Al-
72 mengkemud an/ Maha Mengakhirk Mengakhirk Mengemudian
Mu`akhkhir
iankan Mengemudi an an kan
akan
Yang Maha
Yang dahulu Maha
Awal (Tak Yang Maha Yang Maha
73 Al-Awwal dengan tiada Pertama dan
Bepermulaa Permulaan Awal
permulaan Utama
n)
Yang
kemudian Maha Akhir Yang Maha
Yang Maha Yang Maha
74 Al-Âkhir dengan tiada yang Tak Akhir (Kekal
Akhir Akhir
berkesudaha Terbatas Abadi)
n
Yang
tampak Yang Maha Yang Maha Yang Maha
75 Al-Zhâhir Maha Nyata
adanya bagi Zhahir Nyata Tampak
akal
Yang
Maha
terdinding Yang Maha Yang Maha Yang Maha
76 Al-Bâthin Tersembuny
daripada Batin Gaib Tersembunyi
i
mata
102 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Yang Yang
mengurus Memerintah,
Maha Yang Maha Yang Maha
77 Al-Wâliy segala Mengurus dan
Menguasai Penguasa Memerintah
pekerjaan Memelihara
makhluk Segala Sesuatu
Yang
Yang Maha
terangkat Maha
Al- Tinggi Yang Maha Yang Maha
78 pada Suci/Maha
Muta‘âl(iy) Kebesaran- Tinggi Tinggi
kebesaranny Ditinggikan
Nya
a
Maha
Yang
Dermawan/ Yang
memperbuat Yang Maha Yang Maha
79 Al-Barr Maha Melimpahka
kebaikan Dermawan Berbuat Baik
Melimpahka n Kebaikan
yang besar
n Kebaikan
Yang sangat Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
80 Al-Tawwâb menerima Penerima Penerima Penerima Menerima
taubat Tobat Taubat Taubat Taubat
Yang
Al- menyiksa Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
81
Muntaqim akan orang Penyiksa Pendendam Penyiksa Menyiksa
maksiat
Maha
Yang Yang Maha Yang Maha Yang Maha
82 Al-‘Afuww Memberi
memaafkan Pemaaf Memaafkan Memaafkan
Maaf
Yang Yang
Yang Maha
mempunyai Yang Maha Mempunyai
83 Al-Ra`ûf Maha Asih Belas Kasih
sangat kasih Pengasih ra`fah (kasih
Sayang
sayang sayang)
Yang
Yang Maha
Mâlik al- memiliki Maha Yang Maha Yang Memiliki
84 Mempunyai
Mulk akan Rajadiraja Otoriter Kerajaan
Kerajaan
kerajaan
Yang Yang
Yang Maha Yang
mempunyai Maha Memiliki
Dzû al-Jalâl Kebesaran Mempunyai
85 kebesaran Memiliki Keanggunan
wa al-Ikrâm serta Kebesaran dan
dan Kebesaran dan
Kemuliaan Kemuliaan
kemuliaan Kemurahan
Yang
Menganjurkan
Penengah orang yang
Yang sangat Maha Yang Maha
86 Ak-Muqsith Yang Maha dizhalimi
adil Mengadili Adil
Adil memaafkan
orang yang
menzhalimi
Yang Maha Yang Maha Yang
Yang Maha
87 Al-Jâmi’ menghimpu Menghimpu Mengumpul Menghimpunk
Pengumpul
nkan n kan an
Yang kaya Yang Maha Yang Maha Yang Maha
88 Al-Ghaniyy Maha Kaya
atau terkaya Kaya Kaya Kaya
Yang Maha Yang Maha
Yang Maha Yang Maha
89 Al-Mughniy mengkaya- Pemberi Memberi
Mencukupi Mengkayakan
kan Kekayaan Kekayaan
Yang Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
90 Al-Mâni’
menegahkan Menolak/ Mencegah Mencegah Menegah
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 103

Maha
Mencegah
Yang Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
91 Al-Dhârr menyampaik Memudharat Memudaratk Pemberi Memberi
an mudarat kan an Derita Mudarat
Yang Maha Yang Maha Yang Maha Yang Maha
92 Al-Nâfi’ memberi Pemberi Pemberi Pemberi Memberi
manfaat Manfaat Manfaat Manfaat Manfaat
Yang Yang Maha Yang Maha Yang Maha
93 Al-Nûr Nur
menerangi Menerangi Bercahaya Menerangi
Yang Maha Yang Maha Yang Maha
Yang Memberi
94 Al-Hâdiy memberi Pemberi Pemberi Pemberi
Petunjuk
petunjuk Petunjuk Petunjuk Petunjuk
Yang
Yang tidak Maha Yang Maha
Yang Maha Menciptakan
95 Al-Badî’ mempunyai Pencipta Kreator
Pencipta tanpa contoh
banding Keindahan Baru
terdahulu
Yang kekal Yang Maha Yang Maha Yang Maha
96 Al-Bâqiy Maha Kekal
adanya Kekal Abadi Kekal Kekal
Yang
kembali Maha
Yang Maha Yang Maha Yang Maha
97 Al-Wârits pada-Nya Pewaris/
Pewaris Mewarisi Mewarisi
sekalian Penjaga
makhluk
Yang
memberi Yang Maha
Maha Yang Maha Yang Maha
98 Al-Rasyîd petunjuk Cerdik dan
Cendekia Pembimbing Pandai
akan hamba- Pandai
Nya
Maha
Yang sangat Yang Maha Yang Maha Yang Maha
99 Al-Shabûr Memiliki
sabar Penyabar sabar Sabar
Kebesaran

H. Penyajian Nama Allah Secara Tunggal dan Berdampingan

Penyajian al-Asmâ` al-Husnâ pada karya ulama Kalimantan


menunjukkan bahwa secara umum mereka menyajikan nama-nama
itu sesuai dengan urutan daftar al-Asmâ` al-Husnâ yang sudah
populer di kalangan umat Islam Indonesia, yaitu urutan nama Allah
versi hadis al-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Urutan nama secara umum
dimulai dari nama Allah sampai nama al-Shabûr. Hanya Husin
Naparin yang memulai daftarnya dari nama al-Rahmân dengan
menambahkan nama al-Ahad untuk menggantikan nama Allah.
Dalam uraian mereka mengenai nama-nama Allah itu satu
persatu, ulama Kalimantan terbagi ke dalam dua pola penyajian. Pola
pertama, nama-nama Allah itu disajikan satu per satu sesuai urutan
104 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

yang populer. Pola kedua, nama-nama Allah disajikan secara beru-


rutan sesuai urutan populer, namun ada sebagian nama yang disa-
jikan secara bersamaan dengan nama lain dalam satu uraian dengan
menggandengkan dua atau lebih nama-nama Allah. Husin Qaderi dan
M. Zurkani Jahja termasuk pada pola pertama. Keduanya menyajikan
nama-nama Allah satu per satu tanpa menggandengkan dua atau
lebih nama Allah dalam satu sajian. Haderanie, Husin Naparin dan
Muhammad Bakhiet termasuk pada pola kedua, dalam sajian mereka
mengenai nama-nama Allah, mereka menyajian dua atau lebih dari
nama-nama Allah secara bergandengan dalam satu uraian. Meski de-
mikian, ketiganya memiliki versi masing-masing dalam menyanding-
kan nama-nama Allah. Berikut ini adalah nama-nama yang mereka
sajikan secara bersandingan.

Tabel 3. Tabel Penyajian Nama Allah Secara Berdampingan


Versi Muhammad
Versi Haderanie Versi Husin Naparin
Bakhiet
 (2) al-Rahmân (3) al-  (1) Al-Rahmân (2)  (12) Al-Khâliq (13)
Rahîm al-Rahîm al-Bâri` (14) al-
 (4) al-Malik (84)  (9) al-Jabbâr (15) al- Mushawwir
Mâlik al-Mulk Qahhâr  (21) Al-Qâbidh (22)
 (9) al-‘Azîz (25) al-  (11) al-Khâliq (12) al-Bâsith
Mu’izz al-Bâri` (13) al-  (23) Al-Khâfidh (24)
 (10) al-Jabbâr (11) al- Mushawwir al-Râfi’
Mutakabbir (16) al-  (14) al-Ghaffâr (34)  (25) Al-Mu‘izz (26)
Qahhâr al-Ghafûr al-Mudzill
 (12) al-Khâliq (13) al-  (20) al-Qâbidh (21)  (54) Al-Qawiyy (55)
Bâri (14) al- al-Bâsith al-Matîn
Mushawwir  (22) al-Khâfidh (23)  (59) Al-Mubdi` (60)
 (15) al-Ghaffâr (35) al-Râfi’ al-Mu‘îd
al-Ghafûr (80) al-  (24) al-Mu‘izz (25)  (61) Al-Muhyi (62)
Tawwâb al-Mudzill al-Mumît
 (23) Al-Khâfidh (24)  (26) al-Samî’ (27) al-  (69) Al-Qâdir (70)
al-Râfi’ Bashîr al-Muqtadir
 (27) al-Samî’ (28) al-  (28) al-Hakam (29)  (71) Al-Muqaddim
Bashîr al-‘Adl (72) al-Mu`akhkhir
 (29) al-Hakam (30)  (30) al-Lathîf (31) al-  (73) Al-Awwal (74)
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 105

al-‘Adl Khabîr al-Âkhir


 (33) al-Halîm (34) al-  (33) al-‘Azhîm (37)  (75) Al-Zhâhir (76)
‘Azhîm (35) al-Ghafûr al-Kabîr (41) al-Jalîl al-Bâthin
 (37) al-‘Aliy (38) al-  (35) al-Syakûr (99)  (91) Al-Dhâr (92) al-
Kabîr al-Shabûr Nâfi’
 (39) al-Hafîzh (40) al-  (36) al-‘Aliy (78) al-
Muqît Muta’âliy
 (42) al-Jalîl (43) al-  (48) al-Mâjid (65) al-
Karîm Majîd
 (44) al-Raqîb (45) al-  (53) al-Qawiyy (54)
Mujîb (46) al-Wâsi’ al-Matîn
 (49) al-Majîd (66) al-  (55) al-Waliy (77) al-
Mâjid Wâliy
 (50) al-Bâ`its (87) al-  (58) al-Mubdi` (59)
Jâmi’ al-Mu‘îd
 (51) al-Syahîd (52) al-  (60) al-Muhyi (61)
Haqq al-Mumît
 (54) al-Qawiyy (55)  (62) al-Hayy (63) al-
al-Matîn Qayyûm
 (57) al-Hamîd (58) al-  (66) al-Wâhid (67)
Muhshiy al-Ahad
 (59) al-Mubdi` (60)  (69) al-Qâdir (70) al-
al-Mu’îd Muqtadir
 (61) al-Muhyi (62) al-  (71) al-Muqaddim
Mumît (63) al-Hayy (72) al-Mu`akhkhir
 (67) al-Wâhid/al-  (73) al-Awwal (74)
Ahad (68) al-Shamad al-Âkhir
 (69) al-Qadîr (70) al-  (75) al-Zhâhir (76)
Muqtadir al-Bâthin
 (71) al-Muqaddim  (88) al-Ghaniy (89)
(72) al-Mu`akhkhir al-Mughniy
 (73) al-Awwal (74) al-  (91) al-Dhâr (92) al-
Âkhir Nâfi’
 (75) al-Zhâhir (76) al-
Bâthin
 (77) al-‘Aliy (78) al-
Muta’âliy
 (79) al-Barr (80) al-
106 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Tawwâb
 (82) al-‘Afuww (83)
al-Ra`ûf
 (84) Mâlik al-Mulk
(85) Dzû al-Jalâl wa
al-Ikrâm
 (88) al-Ghaniyy (89)
al-Mughniyy
 (91) al-Dhâr (92) al-
Nâfi’
 (94) al-Hâdiy (98) al-
Rasyîd

Dari daftar di atas terlihat bahwa ketiga ulama Kalimantan ini


menyajikan beberapa nama al-Asmâ` al-Husnâ secara berdampingan
baik mengandeng dua atau tiga nama Allah. Penggandengan dua atau
tiga nama ini dalam satu sajian menyebabkan bahasan nama-nama
Allah tidak lagi berurutan secara hirarkis (dari nama satu sampai
nama kesembilan puluh sembilan) secara simultan tetapi pada bebe-
rapa bagian bahasan nama terjadi lompatan-lompatan urutan akibat
pendampingan nama-nama itu. Kondisi semacam ini terlihat pada
daftar uraian al-Asmâ` al-Husnâ dari Haderani dan Husin Naparin.
Namun, kondisi yang sama tidak terjadi pada daftar uraian Muham-
mad Bakhiet. Meski juga memaparkan al-Asmâ` al-Husnâ dengan
menyandingkan beberapa nama, namun urutan nama secara hirarkis
tidak mengalami perubahan. Paparan nama yang dikemukakan
Muhammad Bakhiet tetap berurutan karena ia hanya menyanding-
kan nama-nama yang saling berdekatan dan merupakan kelanjutan
nama yang ada dalam daftar.
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa ulama Kalimantan
yang paling banyak melakukan penggandengan atau penyandingan
nama-nama Allah dalam satu rangkaian adalah Haderanie. Sementara
yang paling sedikit melakukannya adalah Muhammad Bakhiet.
Dalam beberapa bahasan, pendampingan nama-nama Allah
itu, satu atau dua nama kadang memberikan makna yang saling
menguatkan antara satu nama dengan nama lainnya, bahkan
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 107

menunjukkan adanya saling keterkaitan. Tetapi dalam banyak baha-


san pula pendampingan nama-nama itu hanya dipaparkan kemiri-
pannya saja, dan bahasannya pun berdiri masing-masing tanpa dika-
itkan satu nama dengan nama lainnya sehingga tidak ada makna baru
yang muncul dari penggandengan nama-nama itu.
Bahasan tentang al-Asmâ` al-Husnâ yang berusaha menun-
jukkan keterkaitan antara satu nama dengan nama lainnya dapat
dilihat pada bahasan Muhammad Bakhiet pada beberapa nama. Beri-
kut ini adalah beberapa contohnya. Pertama, ketika membahas nama
Allah “al-Quddûs”, Bakhiet menjelaskan bahwa kalau dilihat urutan
nama Allah: al-Rahmân, al-Rahîm, al-Malik dan al-Quddûs, maknanya
Allah bukan sekedar Raja tetapi raja yang didahului al-Rahmân dan
al-Rahîm, dan juga Raja yang Maha Suci dari segala sesuatu yang
tidak patut dengan-Nya. Jika seseorang telah mengamalkan tiga asma
tersebut baru ia menjadi raja maka ia adalah seorang raja yang qudus
atau suci dari kezhaliman.48
Kedua, ketika membahas nama Allah “al-Mu`min”, Bakhiet
menjelaskan bahwa jika seseorang ingin berakhlak dengan nama
Allah “al-Mu`min” maka ia harus terlebih dahulu berakhlak dengan
mengamalkan makna nama-nama Allah sebelum al-Mu’min, yaitu
Allah, al-Rahmân, al-Rahîm, al-Malik, al-Quddûs, dan al-Salâm.49
Ketiga, ketika membahas nama Allah “al-Mutakabbir”,
Bakhiet menjelaskan bahwa orang yang bisa bernama al-Mutakabbir
adalah orang yang terlebih dahulu telah memiliki deretan sifat
sebagaimana yang terdapat pada surah al-Hasyr, yaitu al-Malik, al-
Mu`min, al-Muhaymin, al-‘Azîz dan al-Jabbâr. Jika ia telah memiliki
deretan nama (sifat) ini barulah seseorang dapat menyandang nama
al-Mutakabbir.50
Keempat, ketika membahas nama Allah “al-Hakam”, Bakhiet
menjelaskan bahwa jika seseorang ingin meneladani nama Allah “al-
Hakam” maka ia harus memiliki sembilan sifat sesuai urutan nama,
yaitu al-‘Alîm, al-Qâbidh, al-Bâsith, al-Khâfidh, al-Râfi’, al-Mu‘izz, al-

48 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asma` al-Husna, 32.


49 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asma` al-Husna, 43.
50 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asma` al-Husna, 59.
108 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Mudzill, al-Samî’, dan al-Bashîr. Dengan demikian, orang baru


mampu bersifat Hakam jika ia memiliki (1) pengetahuan, (2) mampu
menciutkan hati orang-orang jahat (3) mampu menyenangkan hati
orang-orang yang benar, (4) mampu merendahkan orang-orang yang
salah, (5) mampu meninggikan orang yang benar, (6) mampu memu-
liakan yang benar, (7) mampu menghinakan yang salah, (8) mampu
melihat, dan (9) mampu mendengar.51

I. Pengelompokkan Nama-nama Allah

Haderani HN mengelompokkan nama-nama Allah ke dalam


tiga kategori. Pertama, nama yang berhubungan dengan zat-Nya. Dari
99 nama Allah, nama yang terkait dengan zat ini hanya satu yaitu
“Allah”. Nama ini oleh ahli Tauhid disebut ism al-Zat dan nama ini
tidak boleh dipakai untuk nama manusia. Kedua, asma/nama yang
berhubungan dengan sifat, seperti al-Rahmân, al-Rahîm, al-‘Azîz dan
al-Hakîm. Ketiga, asma.nama Allah yang berhubungan dengan af‘al-
Nya (perbuatan-Nya), seperti al-Salâm, al-Khâliq, al-Razzâq dan lain-
lain.52
Husin Naparin membagi atau mengelompokkan asma Allah
ke dalam delapan kelompok. Kedelapan kelompok tersebut berikut
dengan nama-nama Allah yang termasuk di dalamnya adalah sebagai
berikut.
Pertama, asma yang berhubungan dengan Zat-Nya. Dalam
kelompok ini terdapat 11 nama, yaitu al-Quddûs, al-Haqq, al-Hayy, al-
Qayyûm, al-Wâhid, al-Ahad, al-Shamad, al-Awwal, al-Âkhir, al-
Ghaniyy, dan al-Mughniy. Kedua, asma yang berhubungan dengan
penciptaan-Nya. Dalam kelompok ini terdapat empat nama, yaitu al-
Khâliq, al-Bâri, al-Mushawwir, dan al-Badî’. Ketiga, asma yang berhu-
bungan dengan sifat-Nya. Dalam kelompok ini terdapat 18 nama,
yaitu al-Rahmân, al-Rahîm, al-Salâm, al-Mu`min, al-Ghaffâr, al-Wah-
hâb, al-Razzâq, al-Râfi’ al-Lathîf, al-Halîm, al-Syakûr, al-Ghafûr, al-
Wâsi’, al-Wadûd, al-Barr, al-Tawwâb, al-‘Afuww dan al-Ra`ûf.

51 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asma` al-Husna, 146-147.


52 Haderani, Asma`ul Husna, 4.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 109

Keempat, asma yang berhubungan dengan keagungan-Nya. Pada


pengelompokan ini terdapat 15 nama, yaitu al-‘Azîz, al-Jabbâr, al-
Qahhâr, al-‘Azhîm, al-‘Aliy, al-Kabîr, al-Karîm, al-Majîd, al-Qawiyy, al-
Matîn, al-Hamîd, al-Mâjid, al-Zhâhir, al-Muta‘âliy, dan Dzu al-Jalâl wa
al-Ikrâm. Kelima, asma yang berhubungan dengan ilmu-Nya. Pada
kelompok ini terdapat sembilan nama, yaitu al-Muhaymin, al-‘Alîm,
al-Samî’, al-Bashîr, al-Khabîr, al-Raqîb, al-Hakîm, al-Syahîd, dan al-
Bâthin. Keenam, asma yang berhubungan dengan kekuasaan-Nya.
Pada kelompok ini terdapat sembilan nama, yaitu al-Mâlik, al-Fattâh,
al-Hâfizh, al-Muqît, al-Hasîb, al-Wakîl, al-Qâdir, al-Muqtadir, dan al-
Muntaqim. Ketujuh, asma yang berhubungan dengan kemampuan-
Nya. Pada kelompok ini terdapat 18 nama, yaitu al-Qâbidh, al-Bâsith,
al-Mu‘izz, al-Mudzill, al-Mujîb, al-Bâ`its, al-Muhshiy, al-Mubdi`, al-
Mu‘îd, al-Muhyi, al-Mumît, Mâlik al-Mulk, al-Jâmi’, al-Mâni’, al-Dhârr,
al-Hâdiy, al-Bâqi, dan al-Wârits. Kedelapan, asma yang berhubungan
dengan kehendak-Nya. Pada kelompok ini terdapat 15 nama, yaitu al-
Mutakabbir, al-Hakam, al-‘Adl, al-Hafîzh, al-Jalîl, al-Waliyy, al-Wâjid,
al-Muqaddim, al-Mu`akhkhir, al-Wâliy, al-Muqsith, al-Nâfi’, al-Nûr, al-
Rasyîd, dan al-Shabûr.53
Husin Naparin juga memberikan penjelasan bahwa ada bebe-
rapa ketentuan yang harus diperhatikan ketika seorang muslim
memperlakukan atau berinteraksi dengan nama-nama Allah.
Pertama, ada nama Allah yang tidak boleh dinisbatkan kepada selain
Dia seperti “Allâh’ dan “al-Rahmân” kecuali ditambah kata “’abd” di
awalnya, seperti ‘Abd al-Allâh atau ‘Abd al-Rahmân. Manusia juga
tidak bisa bertakhalluq (berakhlak) dengan sifat ini, tetapi hanya bisa
berta’alluq (bergantung) kepada-Nya. Kedua, ada nama Allah yang
dibolehkan untuk bertakhalluq dengan nama itu seperti al-Karîm dan
al-Rahîm. Ketiga, ada nama Allah yang bisa disebut sendirian, seperti
al-‘Azhîm dan al-Syakûr. Keempat, ada nama Allah yang tidak boleh
disebut sendirian, seperti Ya Mumît, seharusnya Ya Muhyi Ya Mumît.
Juga tidak dibenarkan menyeru ya Dhârr, yang benar Ya Nâfi’ Ya
Dhâr.54

53 Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna, 18-21.


54 Husin Naparin, Memahami Al Asma Al-Husna, 5-6.
110 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Muhammad Bakhiet membagi asma Allah menjadi tiga


kelompok. Pembagian ini mirip dengan pengelompokan yang dibuat
oleh Haderanie. Pertama, Nama-nama Allah yang menunjukkan Zat-
Nya, yaitu Allah dan al-Haqq. Kedua, nama-nama Allah yang berkai-
tan dengan sifat-Nya seperti al-‘Alîm dan al-Samî’. Ketiga, nama-nama
Allah yang berkaitan dengan af’al-Nya seperti al-Khâliq dan al-
Mushawwir. Jika seseorang menyeru “Ya Allâh, Ya Haqq” berarti ia
menyebut nama Allah berkaitan dengan Zat-Nya. Jika seseorang me-
nyeru “Ya ‘Alîm, Ya Samî’” berarti ia menyebut nama Allah yang
menunjukkan akan sifat-Nya. Jika seseorang menyeru “Ya Khâliq, Ya
Mushawwir”, berarti ia menyebut nama Allah yang berkaitan dengan
af’al-Nya.55

J. Fungsi dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ Bagi Hamba Allah

Menurut Zurkani Jahja, keberadaan al-Asmâ` al-Husnâ mem-


punyai beberapa aspek. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut:

Pertama, menjelaskan “kepribadian” Allah, sehingga setiap


orang akan bisa mengenal Allah dengan baik. Kedua, nama-
nama terbaik itu bisa digunakan manusia untuk memohon
pertolongan ketika berdoa kepada Allah. Ketiga, demi tegaknya
moral yang baik dalam kehidupan maka setiap orang perlu
mewujudkan makna “kepribadian’Allah dalam kehidupannya
pribadi, atau dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, ma-
nusia, alam semesta, dan Tuhan. Keempat, jika kurang mampu
menghayatinya dalam kehidupan , minimal bisa membacanya
secara rutin setiap hari, sehingga dapat menghafalnya di luar
kepala. Kalau disederhanakan maka hanya ada dua fungsi
utama Asmaul Husna, yaitu bagi Allah, untuk menjelaskan
kepribadian-Nya, dan bagi hamba (manusia) untuk tegaknya
moral yang baik dalam kehidupan. 56

55 Muhammad Bakhiet, Mengenal Al-Asmâ` al-Husnâ, 2.


56 Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, xviii.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 111

Husin Naparin juga mengemukakan fungsi al-Asmâ` al-Husnâ


sebagaimana yang dikemukakan oleh Zurkani Jahja di atas. Kesama-
an ini disebabkan Naparin mengutip tulisan Zurkani Jahja, Asmaul
Husna Jilid 1 (versi awal dari buku 99 Jalan Mengenal Tuhan). Fungsi
al-Asmâ` al-Husnâ yang dikemukakannya adalah (1) mengenal
kepribadian Allah Swt; (2) menjadikannya sebagai sarana untuk
berdoa kepada-Nya; (3) mengaplikasikan maknanya dalam kehidu-
pan karena Rasulullah Saw menganjurkan kepada seorang mukmin
agar berakhlak dengannya (takhalluq bihâ); (4) menjadikannya
sebagai sarana untuk berzikir. Naparin juga mengemukakan dua
fungsi utama al-Asmâ` al-Husnâ sebagaimana dikemukakan oleh
Zurkani Jahja di atas, yaitu (1) fungsinya bagi Allah, untuk menje-
laskan kepribadian-Nya, dan (2) fungsinya bagi manusia, yaitu untuk
tegaknya moral yang baik dalam kehidupan.57
Pada umumnya, al-Asmâ al-Husnâ di kalangan masyarakat
Kalimantan, terutama masyarakat Banjar, hanya dilihat pada sisi
fungsinya sebagai media menyeru Allah ketika berzikir dan berdoa.
Adapula yang mrendijadikannya bacaan-bacaan khusus untuk ama-
lan tertentu yang didasarkan pada khasiat nana-nama itu sebagaima-
na yang diajarkan para ulama. Salah satu pedoman dan panduan
mereka dalam hal ini adalah buku yang ditulis oleh Husin Qadri,
Senjata Mu`min. Perspektif seperti ini juga didukung beberapa ayat
Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk menggunakan al-
Asmâ` al-Husnâ saat berdoa.
Di samping fenomena di atas, ulama Kalimantan ternyata
sejak dulu juga telah menjadikan al-Asmâ` al-Husnâ sebagai bagian
dari konsep tauhid sufistik, yaitu tawhîd al-af‘al, tawhîd al-Asmâ`,
tawhîd al-shifat, dan tawhîd al-Dzat. Syekh Muhammad Nafis al-
Banjari dalam karyanya al-Durr al-Nafis dan Syekh ‘Abd al-Rahman
Shiddiq al-Banjari telah membahas konsep tawhîd al-Asmâ` pada
karya mereka masing-masing. Hanya saja, kedua kitab ini merupakan
kitab tasawuf tingkat tinggi sehingga banyak orang awam yang
belum mengenal dan mengetahuinya.

57 Husin Naparin, Memahami Al Asma Al-Husna, 7.


112 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Nafis dan ‘Abd al-
Rahman Shiddiq al-Banjari dilanjutkan oleh Dja’far Sabran dan
Haderanie HN. Dja’far Sabran dalam karyanya Miftah-al-Ma’rifat dan
Haderanie HN dalam karyanya Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah
telah membahas paparan yang identik dengan kedua ulama Banjar
tadi. Realitas ini menunjukkan bahwa al-Asmâ` al-Husnâ telah
dimanfaatkan sebagai bagian dari ajaran tasawuf Nazhari.
Haderanie HN dalam bukunya Asma`ul Husna menyatakan
bahwa para ulama ahli tauhid dan tasawuf hampir sepakat bahwa al-
Asmâ` al-Husnâ termasuk sumber ajaran ilmu tauhid dan tasawuf
ketuhanan. Karena itu dikenallah ajaran tentang tauhid al-Asmâ.
Pada konsep ini terdapat penjelasan bahwa apabila seseorang telah
sampai pada tingkat tajalli asmâ` (tampak nyata nama-nama Allah)
berarti orang itu telah termasuk pada tingkat tinggi dalam keimanan-
nya. Dalam ajaran sifat Dua Puluh terdapat penjelasan bahwa segala
nama-nama Allah , sifat-sifat-Nya dan Zat-Nya adalah qadim dan tidak
terbatas. Qadim artinya “sedia lebih dahulu, tanpa awal dan tanpa
akhir”. Ini berarti, menurut Haderanie, Asma Allah sudah ada bersa-
ma qadimnya Zat dan sifat.58
Paparan Zurkani Jahja, Husin Naparin dan Muhammad
Bakhiet mengenai masing-masing nama memiliki tendensi yang sama
yaitu membagi paparannya menjadi dua. Paparan pertama, paparan
mengenai nama-nama Allah yang bersifat teosentris, yakni paparan
yang terfokus pada upaya memperkenalkan Allah melalui nama-
nama-Nya. Paparan semacam ini ditujukan untuk mengenal Allah
(ma’rifat Allah) atau mengenal kepribadian Allah. Paparan semacam
ini memiliki dimensi tauhid (‘aqidah) dan dimensi sufistik. Paparan
kedua, paparan mengenai nama-nama Allah yang bersifat antropo-
sentris, yakni paparan yang ditujukan bagaimana impilikasi moral
nama-nama Allah itu bagi pembentukan kepribadian manusia
dengan cara meneladani nama-nama Allah itu dalam kehidupan.
Paparan semacam ini memiliki dimensi sufistik yaitu dimensi tasa-
wuf akhlaqi. Unsur dimensi tasawuf akhlaqi dalam paparan mereka

58 Haderanie, Asma`ul Husna, 4.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 113

disebabkan adanya prinsip untuk berakhlak dengan akhlak Allah


(takhalluq bi akhlâq Allâh).
Selain itu, dalam paparan al-Asmâ` al-Husnâ dalam karya ula-
ma Kalimantan ditemukan paparan mengenai doa, zikir, dan fadhi-
lat/khasiat masing-masing nama Allah. Paparan semacam ini menjadi
fokus utama Husin Qadri dalam buku Senjata Mukmin-nya. Haderanie
dalam beberapa paparannya juga cukup banyak memaparkan aspek
ini dalam karyanya Asma`ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf
meski tidak sespesifik Husin Qadri dalam Senjata Mukmin-Nya. Husin
Naparin membahas aspek ini pada bukunya Memahami Al-Asma Al-
Husna (bagian pertama). Pada buku ini ia mengemukakan: (1)
menyeru Allah lewat al-Asmâ` al-Husnâ, (2) berdoa dengan al-Asmâ`
al-Husnâ, (3) doa akhir surah al-Hasyr, (4) doa surah al-Ikhlas, dan
(5) doa Ayat Kursi. Pada buku bagian keduanya, paparan semacam
ini tidak lagi muncul kecuali pada nama-nama tertentu secara
sporadis. Paparan al-Asmâ` al-Husnâ Zurkani Jahja dan Muhammad
Bakhiet secara sporadis juga memuat paparan tentang zikir dan doa
dengan al-Asmâ` al-Husnâ tetapi hanya pada nama-nama tertentu
saja. Adanya paparan semacam ini baik yang spesifik maupun yang
hanya sporadis menunjukkan bahwa paparan mereka mengenai al-
Asmâ` al-Husnâ juga mengandung dimensi tasawuf ‘amaliy.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa paparan ulama
Kalimantan mengenai al-Asmâ` al-Husnâ lebih banyak mengandung
dimensi sufistik baik dalam ranah tasawuf nazhari (teoritis), tasawuf
akhlaqiy (tasawuf etis-moralis) maupun tasawuf ‘amaliy (tasawuf
ritualis). Meski demikian, paparan yang mengandung dimensi teolo-
gis (tauhid/aqidah) juga cukup menonjol terlihat pada paparan
Zurkani Jahja dalam bukunya, 99 Jalan Mengenal Tuhan yang banyak
menggunakan pendekatan teologi modern.
Zurkani Jahja tampaknya cukup menyayangkan diabaikannya
al-Asmâ` al-Husnâ ini sebagai materi akidah di kalangan masyarakat
Kalimantan Selatan. Pengikut teologi Asy’ariah yang bercorak Sanu-
siyyah menurutnya hanya mengenal Allah melalui sifat-sifat wajib,
mustahil dan jaiz bagi Allah. Ia juga prihatin dengan diabaikannya al-
Asmâ` al-Husnâ sebagai basis ajaran moral (akhlak). Yang terjadi
114 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

dalam pengamatannya, al-Asmâ` al-Husnâ hanya dijadikan sebagai


hiasan kaligrafi di masjid dan di rumah kaum muslimin atau hanya
dijadikan sebagai amalan dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya,
al-Asmâ` al-Husnâ perlu dikembangkan untuk mencapai tujuan
teologi modern yaitu mengenal Allah sekaligus menegakkan moral
yang ideal dalam kehidupan pribadi masing-masing.59 Pada bagian
penutup bukunya, Zurkani Jahja kembali menegaskan tujuan
penulisan bukunya sebagaimana dikutip di bawah ini:

Tujuan pokok buku ini adalah memenuhi keinginan penulis


untuk mengajak para pembaca mengenal Allah, Tuhan kita,
melalui nama-nama-Nya yang disebut sebagai Asmaul Husna.
Selama ini kita banyak belajar mengenal Allah lewat sifat-sifat-
Nya yang terkenal dengan “Sifat Dua Puluh.” Oleh karena itu,
jadilah uraian Asmaul Husna selama ini sebagai tambahan kha-
zanah pengetahuan kita untuk lebih mengenal Allah hingga sam-
pai ke tingkat yakin. Melalui “Sifat Dua Puluh” yang disusun
berdasarkan hukum akal, maka pengenalan Allah difokuskan
pada rasio. Adapun uraian Asmaul Husna dalam buku ini, selain
melalui rasio, pengenalan Allah juga melalui pengalaman dan
perasaan yang selalu dialami manusia dalam kehidupannya,
Selain itu, uraian Asmaul Husna juga bertujuan membimbing
umat agar dalam hidupnya bersikap seperti makna yang terkan-
dung dalam Asmaul Husna, sesuai dengan kemampuannya seba-
gai manusia. Dengan demikian, insyaallah terwujud masyarakat
yang didambakan, yakni masyarakat Islam yang kuat imannya
kepada Allah dan bermoral baik (al-akhlâq al-karîmah) dalam
kehidupan bersama, baik dalam hubungan secara vertikal
kepada Allah maupun secara horisontal kepada lingkungan. 60

Pola penyajian al-Asmâ` al-Husnâ pada 99 Jalan Mengenal


Tuhan, menurut Mujiburrahman yang menjadi penyunting buku
tersebut, dilatarbelakangi kekaguman Zurkani Jahja yang besar
kepada Imam al-Ghazali. Temuannya terhadap metode teologi al-
Ghazali yang luwes dan konprehensif menjadi inspirasi untuk me-

59 Zurkani Jahja, 99 Jalan, xv-xix.


60 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 723-724.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 115

ngembangkan teologi Islam di era modern. Metode itu menga-


komodasi tiga metode, yaitu metode tekstual, metode rasional dan
metode sufisme. Metode ini kemudian digunakannya dalam mema-
parkan al-Asmâ` al-Husnâ. Pertama, ia menjelaskan makna nama
Allah dengan merujuk pada Alquran dan hadis (metode tekstual).
Kedua, ia juga mengemukakan argumen-argumen rasional yang
didasarkan pada pemikiran ahli Kalam terdahulu dan temuan ilmiah
masa kini (metode rasional). Ketiga, ia kemudian melanjutkan papa-
rannya dengan menganalisis implikasi moral dan spiritual dari setiap
nama Allah yang merujuk pada tradisi tasawuf (metode sufisme).61

61 Mujiburrahman, “Pengantar Penyunting: Ghazalianisme Zurkani Jahja”,


dalam Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, ix-x.
116 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

BAB V

KHASIAT DAN FADHILAT AL-ASMÂ`


AL-HUSNÂ MENURUT ULAMA KALIMANTAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai dimensi ibadah


(ritual) dari al-Asmâ` al-Husnâ yang dikemukakan oleh ulama
Kalimantan. Pada paparan ini Dja’far Sabran tidak dilibatkan karena
ia tidak menyinggung aspek ini dalam bukunya. Dengan demikian,
pada bab ini hanya dikemukakan paparan dari Husin Qadri, Hadera-
nie H.N. M. Zurkani Jahja, Husin Naparin dan Muhammad Bakhiet.
Sebagaimana nanti akan terlihat, kadar paparan mereka mengenai
hal ini tidak sama. Husin Qadri merupakan ulama Kalimantan yang
mengkhususkan diri pada dimensi ini. Menyusul kemudian Hadera-
nie, karena ia cukup banyak menyajikan amalan zikir terkait al-Asmâ
al-Husnâ baik disertai aspek fadhilat dan khasiatnya atau tidak.
Hanya saja jika dibanding dengan Husin Qadri, paparan Haderanie
masih jauh lebih sedikit karena memang ia tidak memfokuskan diri
membahas hal ini tetapi hanya sebagai pelengkap saja. Sementara
Husin Naparin, Muhammad Bakhiet dan M. Zurkani Jahja tidak
banyak membahas masalah ini. Sebagaimana nanti terlihat aspek ini
hanya ditemui pada beberapa nama.

A. Khasiat dan Fadhilat Al-Asmâ` Al-Husnâ Menurut Husin


Qadri

Paparan Al-Asmâ` Al-Husnâ yang disajikan oleh Husin Qadri


sepenuhnya menyajikan khasiat dan fadhilat masing-masing nama
Allah dan dilengkapi dengan makna masing-masing nama itu. Dalam
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 117

menyajikan khasiat setiap nama, secara umum ia menyajikan nama


Allah dengan menggunakan seruan “ya” seperti yâ Rahmân, yâ Rahîm
dan seterusnya. Hanya ada sedikit nama yang tidak disertai kata
seruan semacam itu. Husin Qadri kemudian menjelaskan berapa kali
nama Allah itu dibaca, dizikirkan atau ditulis. Biasanya, ia selalu
menyebutkan angka yang jelas. Pada beberapa nama terdapat jumlah
yang dapat dilebihkan atau dikurangi dari jumlah yang ditulis.
Secara umum, ia menganjurkan nama-nama Allah itu dizikir-
kan atau dibaca secara lisan, hanya ada beberapa nama diperintah-
kan untuk ditulis pada makanan, kertas dan ada pula yang ditulis di
atas tanah. Sebagian tulisan itu dihapus atau dilarutkan dengan air,
kemudian airnya diminum.
Unsur berikutnya yang banyak disebutkan adalah kapan atau
waktu apa bacaan itu dibaca. Meski dalam beberapa khasiat, Husin
Qadri tidak menyebutkan waktu menzikirkan nama tertentu dari Al-
Asmâ` Al-Husnâ. Aspek berikutnya yang sering disebutkan adalah
dalam kondisi apa orang yang menzikirkan nama tertentu dari Al-
Asmâ` Al-Husnâ. Kadang, ada yang dalam kondisi takut, khawatir,
mengharapkan sesuatu, atau sedang dalam keadaan menghajatkan
sesuatu dan sebagainya. Selanjutnya, pada bagian akhir dari setiap
paparannya mengenai khasiat nama tertentu dari Al-Asmâ` Al-Husnâ
adalah hasil yang akan diperoleh orang menzikirkan nama-nama
Allah itu, inilah wujud khasiat yang diperoleh si pengamal (pembaca
atau penzikir Al-Asmâ` Al-Husnâ).
Di bawah ini adalah paparan Husin Qadri mengenai khasiat
dan fadilat masing-masing nama Allah. Untuk efisiensi, di sini hanya
dikemukakan sepertiga dari 99 nama Allah yang terdapat dalam
Senjata Mu`min karya Husin Qadri, yaitu dari nama Allah (nama
pertama) sampai al-Halîm (nama ke-33).

1. Khasiat dan fadhilat ism al-Dzât: Allah

Jika dibaca “Ya Allah” 5000 kali setiap hari maka akan rezeki dari
berbagai penjuru akan datang kepada pembacanya. Jika dizikir-
kan setelah salat fardhu 66 kali selama 66 hari, pengamalnya
118 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

akan mendapat sebutan besar, kebaikan yang banyak pada ‘alam


‘ulwa dan sufla. Jika dibaca “Ya Allah Ya Hû” 1000 kali akan
diberi keyakinan yang sempurna dan jika dibaca 100 kali pada
hari Jumat sebelum salat Jumat dalam keadaan suci dan hadir
hati maka akan ditunaikan segala yang dituntutnya. 62

2. Khasiat dan fadhilat Nama al-Rahmân

Jika dizikirkan dengan membaca Ya Rahmân 100 kali maka Allah


akan mengeluarkan lupa dan lalai dalam hatinya.63

3. Khasiat dan fadhilat Nama al-Rahîm

Jika dizikirkan “Ya Rahîm” 100 kali setiap hari, maka Allah
jadikan hatinya “tipis” (lembut?, pen.) dan kasih sayang pada
makhluk. Jika takut terhadap kejahatan sesuatu yang dibencinya
maka hendaknya membaca “Ya Rahmân ya Rahîm” 100 kali
maka akan diamankan dari kejahatan sesuatu yang dibencinya. 64

4. Khasiat dan fadhilat Nama al-Malik

Jika dizikirkan “Ya Malik” setiap hari setelah fajar atau tergelin-
cir matahari 121 kali akan dikayakan dengan sebab tertentu
atau melalui pintu yang dibukakan oleh Allah.65

5. Khasiat dan fadhilat Nama al-Quddûs

Jika dizikirkan “Yâ Quddûs” setiap hari saat tergelincir matahari


100 kali, akan bersih hatinya. Jika dizikirkan 1000 kali insya
Allah diselamatkan dari bala`. Jika ditulis pada roti lafazh: “Sub-

62 Husin Qadri, Senjata Mu`min (Banjarmasin: Toko Buku Mutiara, t.th.), 37-
38.
63 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 38.
64 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 39-40.
65 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 40.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 119

bûhun Quddûsun rabb al-malâ`ikati wa al-rûh” mengiringi salat


Jumat dan membaca nama itu 185 kali setelah itu roti dimakan,
akan buka hatinya untuk beribadah dan diselamatkan dari
kebinasaan.66

6. Khasiat dan fadhilat Nama al-Salâm

Jika “Yâ Salâm” dibacakan sebanyak 121 atau 132 kali dikepala
orang yang sakit dengan suara nyaring setidaknya didengar oleh
yang sakit dengan mengangkat dua tangan, akan disembuhkan
atau dikurangi sakitnya, selama belum sampai ajalnya. 67

7. Khasiat dan fadhilat Nama al-Mu`min

Jika “Yâ Mu`min” dibaca oleh orang yang takut pada sesuatu
(seseorang) sebanyak 136 kali, dirinya dan hartanya akan aman
dari orang yang ditakutinya. Jika dibaca oleh orang yang sudah
merasa aman, maka rasa amannya semakin bertambah.68

8. Khasiat dan fadhilat Nama al-Muhaymin

Orang yang menzikirkan “Yâ Muhaymin” 100 kali setelah salat


dua rakaat disertai hadir hati di hadapan Allah, akan dibersihkan
zhahir dan batinnya dan tetap nur dalam hatinya. Jika dibaca
setelah salat isya sebanyak 145 kali, akan kuat hafalannya dan
hilang lupanya.69

66 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 40-41.


67 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 41-42. Ada pula dua bacaan yang
dikemukakan di sini, tetapi menurut penulis kedua nama itu hanyalah
ucapan yang tidak ditujukan pada nama Allah, al-Salâm, meski secara
kebahasaan memiliki kaitan.
68 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 42.
69 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 43.
120 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

9. Khasiat dan fadhilat Nama al-‘Azîz

Orang yang menzikirkan “Yâ ‘Azîz” 40 kali sehari selama 40 hari


terutama setelah salat subuh, akan dikayakan, dimuliakan dan
tidak dihajatkan ia pada seseorang dari makhluk. 70

10. Khasiat dan fadhilat al-Jabbâr

Orang yang menzikirkan “Yâ Jabbâr” setiap hari 206 atau 226
kali pagi dan sore, ia tidak akan dizhalimi oleh orang zhalim dan
jika orang zalim melakukannya, maka Allah akan membalaskan-
nya.71

11. Khasiat dan fadhilat al-Mutakabbir

Orang yang menzikirkan “Yâ Mutakabbir” tiap hari sebanyak 662


kali, maka orang yang takabbur akan tunduk padanya dan jika
dibaca 10 kali sebelum berjima’ dengan istrinya, akan diberi
rizki anak yang salih.72

12. Khasiat dan fadhilat al-Khâliq

Orang yang menzikirkan “Yâ Khâliq” saat tengah malam 731 kali,
akan diterangkan hati dan dirinya. Jika dibaca 5000 kali oleh
seseorang yang kehilangan harta atau lama kehilangan kekasih,
akan didatangkan harta atau kekasihnya itu.73

13. Khasiat dan fadhilat al-Bâri`

70 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 43.


71 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 44.
72 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 44.
73 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 45.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 121

Orang yang menzikirkan “Yâ Bâri`” 100 kali setiap hari selama
tujuh hari berturut-turut, akan mendapat keselamatan dan tidak
mengalami ketakutan di dalam kuburnya. Jika dizikirkan 100
kali pada malam hari selama tujuh malam berturut-turut, maka
akan dijadikan pada tangannya kemampuan menyembuhkan
segala penyakit.74

14. Khasiat dan fadhilat al-Mushawwir

Orang yang menzikirkan “Yâ Mushawwir” 336 kali atau lebih


setiap hari, maka akan menjadi segala apa yang dikerjakannya.
Jika dibaca oleh perempuan yang tidak mau beranak (‘aqir)
disertai puasa tujuh hari berturut-turut, dengan membacanya
setiap kali akan berbuka 21 kali, dan saat berbuka dengan selalu
minum air dan tidak banyak makan, maka akan dirupakan (di-
wujudkan) anak dalam rahimnya.75 Masih ada lagi khasiat lain
yang tidak disebutkan di sini.

15. Khasiat dan fadhilat al-Ghaffâr

Orang yang membaca “Yâ Ghaffâr” 100 kali mengiringi salat


Jumat, Allah akan menampakkan bekas keampunan. Jika seseo-
rang ingin memiliki banyak harta dan anak serta diberi berkah
rezekinya, hendaknya membaca “astaghfirullâha innahu kâna
Ghaffâra” tujuh kali, akan dikabulkan keinginannya itu. 76

16. Khasiat dan fadhilat al-Qahhâr

Orang yang menzikirkan “Yâ Qahhâr” 206 kali atau lebih setiap
hari, maka akan dikeluarkan dari hatinya kecintaan pada dunia
dan kebesaran yang lain selain dari Allah dan tampak baginya
pertolongan Allah dari musuhnya. Jika dibaca 100 kali baik di

74 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 45.


75 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 46.
76 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 47.
122 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

rumah atau di masjid oleh yang memiliki hajat sambil mengang-


kat kedua tangannya maka akan ditunaikan hajatnya. 77

17. Khasiat dan fadhilat al-Wahhâb

Orang yang senantiasa menzikirkan “Yâ Wahhâb” 300 kali atau


lebih setiap hari setelah salat, maka akan mendapatkan kekaya-
an, kebesaran, terkabul (permintaan) dan haybah. Jika selalu
dibaca sebanyak 40 kali pada sujud terakhir salat dhuha maka
akan mendapat kekayaan haybah dan terkabul (permintaannya)
kepada Allah.78

18. Khasiat dan fadhilat al-Razzâq

Di antara khasiatnya adalah orang yang menzikirkan “Yâ


Razzâq” 10 kali sebelum salat subuh pada setiap sudut/arah
(jihat) rumah, dimulai dari arah kanan dari arah kiblat, dan diu-
sahakan menghadap kiblat pada setiap jihat (jika mungkin),
maka akan diluaskan rezekinya.79

19. Khasiat dan fadhilat al-Fattâh

Orang yang menzikirkan ‘Yâ Fattâh’ 71 kali setelah salat subuh


dengan menghantarkan tangan di atas dadanya, maka hatinya
akan bersih dan bercahaya, dimudahkan pekerjaannya, dan
dikeluarkan rasa cinta dunia dari hatinya. 80

77 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 46.


78 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 47.
79 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 48-49.
80 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 49-50.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 123

20. Khasiat dan fadhilat al-‘Alîm

Orang yang menzikirkan “Yâ ‘Alîm” atau lebih bagus lagi “Yâ
‘Alîm al-Ghayb wa al-Syahâdah” 100 kali setelah salat lima wak-
tu, maka akan mendapat ilmu ma’rifah, kasyaf dan iman yang
sempurna.81

21. Khasiat dan fadhilat al-Qâbidh

Orang yang menzikirkan “Yâ Qâbidh” 1000 kali dengan niat men-
cegah orang zalim untuk menzaliminya atau menzalimi orang
lain, maka orang zalim itu tidak akan mampu melakukannya
pada malam atau hari itu. Jika orang menzikirkannya pada ma-
lam Jumat 100 kali maka semakin dekat ia dengan Allah, dan
ditulis pada roti kemudian dimakannya selama 40 hari berturut-
turut, maka ia tidak akan merasa kesakitan dan kelaparan.82

22. Khasiat dan fadhilat al-Bâsith

Orang yang menzikirkan “Yâ Bâsith” 10 kali setelah salat dhuha,


maka akan diluaskan rezeki dan ilmunya. Jika dizikirkan 300 kali
atau lebih sambil mengangkat kedua tangan dan kemudian
diusapkan ke wajah, maka akan dibuka bagi pembacanya salah
satu pintu dari pintu kekayaan.83

23. Khasiat dan fadhilat al-Khâfidh

Orang yang menzikirkan “Yâ Khâfidh” 500 kali dengan niat agar
ditunaikan hajatnya, maka akan ditunaikan hajatnya dan jika
dibaca 1000 kali maka akan aman dari segala musuh. 84

81 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 50.


82 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 51.
83 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 51.
84 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 51-52.
124 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

24. Khasiat dan fadhilat al-Râfi’

Orang yang menzikirkan “Yâ Râfi’” 70 kali tiap hari atau malam,
maka orang zalim dan pencuri tidak akan mampu mencapainya.
Jika dibaca 70 kali ketika didatangi orang zalim, maka ia akan
mendapat keamanan dari orang zalim itu. Jika dibaca 40 atau
100 kali setiap malam senin atau Jumat setelah salat magrib atau
isya, maka ia memiliki haybah di antara makhluk.85

25. Khasiat dan fadhilat al-Mu‘izz

Orang yang membaca “Yâ Mu‘izz” 140 kali setiap malam Jumat
atau malam Senin setelah Magrib maka Allah memunculkan
haybah (gentar) di dalam hati makhluk kepadanya sehingga ia
tidak merasa takut selain kepada Allah.86

26. Khasiat dan fadhilat al-Mudzill

Orang yang menzikirkan “Yâ Mudzill” ketika mengalami ketaku-


tan sebanyak 75 kali dilanjutkan dengan salat di mana ketika ia
sujud disebutnya nama yang ditakutinya baik orang zhalim
maupun macan (binatang), maka ia akan aman daripada yang
ditakutinya itu. Jika dibaca sebanyak 1000 kali setiap hari sela-
ma tujuh hari, maka musuhnya akan ditolakkan darinya. Kemu-
dian, jika ada orang yang sulit ditagih hutangnya, hendaknya si
peminjam banyak-banyak membaca “Yâ Mudzill” siang dan
malam, maka orang yang berhutang akan sadar untuk memba-
yarnya. 87

85 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 52.


86 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 53.
87 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 53-44. Bacaan pada sujud ketika menyebut

nama dapat dilihat pada halaman 53.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 125

27. Khasiat dan fadhilat al-Samî’

Orang yang membaca “Yâ Samî’ sebanyak 500 kali setelah salat
Dhuha pada pagi hari Kamis kemudian berdoa dengan menyebut
hajatnya, akan diperkenankan doanya dan ditunaikan hajatnya
(doanya mustajab). Jika banyak dizikirkan siang dan malam,
akan disembuhkan dari penyakit tuli.88

28. Khasiat dan fadhilat al-Bashîr

Orang yang konsisten menzikirkan “Yâ Bashîr” 100 kali baik


sebelum atau sesudah salat Jumat, insya Allah diterangkan hati-
nya dan diberi tawfiq perkataan dan amal salihnya. Selain
khasiat ini Husin Qadri menyebut beberapa khasiat lagi.89

29. Khasiat dan fadhilat al-Hakam

Orang yang berzikir “Yâ Hakam” sebanyak 68 kali saat tengah


malam dalam keadaan suci dari hadats, dan hadir hati ketika
membacanya, insya Allah hatinya akan menjadi tempat rahasia
dan hikmah.90

30. Khasiat dan fadhilat al-‘Adl

Orang yang menzikirkan “Yâ ‘Adl” 104 kali setelah salat, insya
Allah ia mendapatkan popularitas, banyak keadilan dan tertarik
hati banyak orang kepadanya. Jika ditulis pada 20 potong (suap)
roti, pada hari atau malam Jumat, kemudian dimakannya, insya
Allah ditundukkan segala makhluk baginya. 91

88 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 54.


89 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 54-55. Untuk beberapa khasiat berikutnya
lihat halaman 55.
90 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 56.
91 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 56.
126 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

31. Khasiat dan fadhilat al-Lathîf

Orang yang menzikirkan “Yâ Lathîf” 129 atau 133 kali tiap setiap
hari kemudian membaca ayat: Allahu Lathîfun bi ‘ibâdihi wa
yarzuqu man Yasyâ`u wa Huwa al-Qawiyyu al-‘Azîz sebanyak 9
kali. Insya Allah akan diberi tawfiq, disampaikan kepadanya
barang yang diinginkannya, dan didahulukan rezeki yang baik
dan bagus.92

32. Khasiat dan fadhilat al-Khabîr

Orang yang berzikir “Yâ Khabîr” 812 kali setiap hari selama
tujuh hari, insya Allah akan datang kepadanya nuraniyah
dengan segala khabar yang diinginkannya. Jika ia ingin melihat
sesuatu, hendaknya ia membaca firman Allah: “Alâ Ya’lamu man
khalaqa wa Huwa al-Lathîfu al-Khabîr” sembilan kali ketika hen-
dak tidur, ia akan melihat di dalam tidurnya sesuatu yang dike-
hendakinya. Jika disakiti oleh seseorang, hendaknya banyak
menzikirkan Yâ Khabîr, insya Allah akan lepas daripadanya. 93

33. Khasiat dan fadhilat al-Halîm

Jika seorang pemimpin konsisten menzikirkan “Ya Halîm” 88


kali setelah salat, ia akan tetap dalam pangkatnya (posisinya).
Jika ditulis 41 kali di atas kertas kemudian dihapus dengan air
mawar atau dengan air biasa, kemudian disapukan airnya ke
barang-barang pencarian atau alatnya, akan tampak berkah pa-
danya, atau jika disiramkan ke rumah atau sawah/kebun, akan
aman dari kejahatan.94

92 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 56-57. Pada zikir di sini terdapat doa yang
dibaca setelah menzikirkan Ya lathîf dan membaca ayat di atas. Teks doanya
dapat dilihat pada halaman 57.
93 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 57.
94 Husin Qadri, Senjata Mu`min, 58-59.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 127

B. Fadilat dan Khasiat Al-Asmâ` Al-Husnâ Menurut Haderanie


H.N.

Paparan Haderanie tetang al-Asmâ` al-Husnâ terkait khasiat


dan fadhilat secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori. Kategori pertama, nama-nama Allah yang dipaparkan
khasiat dan fadhilatnya. Hanya saja jumlah nama Allah yang disajikan
khasiat dan fadhilatnya lebih sedikit dibanding dengan nama-nama
Allah yang tidak dipaparkan khasiat dan fadhilatnya. Nama-nama
Allah yang dipaparkan khasiat dan fadhilatnya itu adalah: Allah, al-
Rahmân, al-Rahîm, al-Malik (dan al-Malik al-Mulk), al-Quddûs, al-
Salâm, al-Mu`min, al-Muhaymin, al-‘Azîz, al-Mu‘izz, al-Jabbâr, al-
Mutakabbir, al-Qahhâr, al-‘Alîm, al-Bâsith, al-Lathîf, al-Wâsi’, al-
Hakîm, al-Bâ`its dan al-Jâmi’, dan al-Wâjid.
Kategori kedua, nama-nama Allah yang tidak disajikan kha-
siat dan fadhilatnya, tetapi Haderanie menyajikan doa-doa tertentu
yang relevan dengan nama-nama itu meski di dalam teks doa terse-
but ada yang tidak terdapat nama Allah yang dibahas. Kasus sema-
cam ini dapat dilihat pada bahasannnya mengenai nama Allah: al-
Wahhâb, al-Razzâq, al-Qâbidh, al-Khâfidh, al-Rafî’, al-Muntaqim, al-
‘Afuww, dan al-Ra`ûf
Kategori ketiga, nama-nama Allah yang tidak disajikan sama
sekali aspek khasiat dan fadhilatnya. Jumlah nama-nama Allah dalam
kategori ini lebih besar daripada nama Allah yang dipaparkan khasiat
dan fadhilatnya. Nama-nama Allah itu adalah al-Khâliq, al-Bâri`, al-
Mushawwir, al-Samî’ dan al-Bashîr, al-Hakam dan al-‘Adl, al-Khabir,
al-Halîm, al-‘Azhîm, al-Syakûr, al-‘Aliy, al-Kabîr, al-Hafîzh, al-Muqît,
al-Hasîb, al-Jalîl, al-Karîm, al-Raqîb, al-Mujîb, al-Wadûd, al-Majîd, al-
Mâjid, al-Syahîd, al-Haqq, al-Wakîl, al-Qawiyy, al-Matîn, al-Waliyy, al-
Hamîd, al-Muhshiy, al-Mubdi`, al-Mu‘îd, al-Muhyi, al-Mumît, al-Hayy,
al-Qayyûm, al-Wâhid/al-Ahad, al-Shamad, al-Qadîr, al-Muqtadir, al-
Muqaddim, al-Mu`akhkhir, al-Awwal, al-Âkhir, al-Zhâhir, al-Bâthin,
al-Wâliy, al-Muta‘âliy, al-Barr, Mâlik al-Mulk, Dzû al-Jalâl wa al-Ikrâm,
128 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

al-Muqsith, al-Ghaniy, al-Mughniy, al-Mâni’, al-Dhârr, al-Nâfi’, al-


Hâdiy, al-Rasyîd, al-Badî’, al-Bâqiy, al-Wârits dan al-Shabûr.
Di bawah ini adalah paparan Haderanie mengenai nama-
nama Allah yang termasuk pada kategori pertama dan kedua di atas,
yaitu:

1. Khasiat (keistimewaan) dan Fadilat (keutamaan) Nama


Allah

Menurut Haderanie keutamaan nama ini, sebagaimana dikutip-


nya dari Syams al-Kubra karya Ahmad bin ‘Ali al-Buniy, adalah
jika seseorang memperbanyak menyebut nama Allah maka tidak
ada satupun (orang jahat) yang dapat memandangnya. Jika ism
al-Dzat (Allah) dibaca sebanyak 5000 kali setiap hari akan dapat
memudahkan rezeki dan tidak lewat satu minggu rezeki itu akan
datang dari segala penjuru. Jika dibaca sebanyak 66 kali dengan
didahului kata “yâ” (yâ nidâ`) kemudian ditambah dengan doa
tertentu sebanyak 10 kali, maka akan terlaksana semua keingi-
nan, baik berupa keinginan yang baik maupun keinginan yang
tidak baik.95

2. Khasiat dan Fadhilat nama al-Rahmân dan al-Rahîm

Menurut Haderanie fadilat wirid dan zikir dengan nama al-


Rahmân-al-Rahîm dirangkaikan dalam ucapan basmalah adalah
(1) setiap pekerjaan yang dimulai dengan ucapan basmalah
tidak akan sia-sia, (2) bacaan basmalah dapat menghindarkan
dari seretan malaikat zabaniah (malaikat penjaga neraka).
Membaca basmalah ketika hendak tidur sebanyak 21 kali akan
terpelihara dari sihir dan tindak keja-hatan, (3) jika mewiridkan

95 Haderanie H.N., Asma`ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf


PT Bina Ilmu, 2004), 20. Untuk teks doa yang dimaksud dapat dibaca pada
halaman 21-22.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 129

al-Rahmân sebanyak 299 kali dan al-Rahîm 258 kali setelah salat
kemudian berdoa, maka doanya akan dikabulkan. 96

3. Khasiat dan Fadhilat Nama al-Malik (dan al-Malik al-Mulk)

Menurut Haderanie jika mewiridkan “Yâ Malik wa yâ Malik al-


Mulk” setelah salat wajib dan sunnat sebanyak 100 kali ditam-
bah dengan doa tertentu sebanyak 10 kali dengan me-nadahkan
tangan, akan memberikan ketentraman hati, dibe-rikan jalan
keluar dari masalah yang dihadapi dan dikabulkan apa yang
dihajatkan.97

4. Khasiat dan Fadhilat Nama al-Quddûs

Menurut Haderanie untuk mengamalkan nama al-Quddûs adalah


dengan cara banyak bertasbih (mengucap subhânallâh) dan me-
lakukan salat tasbih karena keduanya membawa kecemerlangan
batin.98

5. Khasiat dan Fadhilat Nama al-Salâm

Menurut Haderanie untuk mengamalkan nama al-Salâm dapat


dilakukan dengan membaca doa selamat yang sudah menjadi
tradisi keagamaan masyarakat muslim Indonesia saat mengada-
kan acara selamatan atau kenduri. Dapat pula dengan mewirid-
kan nama al-Salâm dengan mewiridkan bacaan “Allâhumma
antassalâm …” (dst) yang biasa dibaca setelah salat Magrib. Jika
mengharapkan keselamatan dan kesejahteraan maka wajar jika

96Haderanie, Asma`ul Husna, 32-33.


97 Haderanie, Asma`ul Husna, 43-44. Untuk teks doa yang dimaksud dapat
dibaca pada halaman 43.
98 Untuk beberapa bacaan tasbih dan tatacara salat tasbih dan keuta-

maannya menurut Nabi dapat dibaca pada Haderanie, Asma`ul Husna, 51-55.
130 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

doa dan wirid di atas diamalkan dengan istiqamah (terus-


menerus).99

6. Khasiat dan Fadhilat Nama al-Mu`min

Untuk merasakan keamanan jiwa dan penerang hati, hendaknya


membaca “Yâ Mu`min Jalla Jalâluh” sebanyak 136 kali, kemudian
membaca surah al-Nûr ayat 55, dilanjutkan berdoa dengan
menggunakan bahasa sendiri. Bacaan ini dilakukan setelah salat
wajib dan bisa juga diwiridkan pada waktu senggang meski
tanpa wudhu.100

7. Khasiat dan Fadhilat Nama al-Muhaymin

Menurut Haderanie, jika seseorang ingin mendapatkan kesela-


matan, keamanan, dan penjagaan Allah Swt sampai tujuan saat
melakukan perjalanan jauh baik sendiri maupun bersama-sama,
hendaknya membaca “Yâ Muhaymin yâ Salam”. Saat hendak naik
atau berada di dalam kendaraan hendaknya membaca bacaan ini
berkali-kali, yaitu: “Yâ Muhaymin yâ Salâm; salimna wa al-
muslimîn; bi al-nabiy khayr al-anâm; wa bi umm al-mu`minîn”.101

8. Khasiat dan Fadhilat Nama al-‘Azîz dan al-Mu’izz

Menurut Haderanie, orang yang banyak berdzikir dengan nama


Allah al-‘Azîz maka orang itu akan terhindar dari rasa minder
ketika berhadapan dengan pejabat karena Allah menjadikannya
disayangi orang lain, terlihat berwibawa dan mendapatkan
kemulian dalam kehidupan agama maupun dunia. Allah akan
mengamankannya dari hal-hal yang menakutkan. Sementara

99 Haderanie, Asma`ul Husna, 58-61. Untuk teks doa selamat dapat dibaca
pada halaman 58-59 sedang bacaan wirid al-Salam dapat dibaca pada
halaman 61.
100 Haderanie, Asma`ul Husna, 68.
101 Haderanie, Asma`ul Husna, 73.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 131

berzikir dengan al-Mu’izz secara terus-menerus akan membuat


orang yang hina menjadi mulia, yang tersembunyi menjadi tam-
pak, menguatkan himmah (kemauan), dan membantu menghi-
langkan penutup pada tabiat dan hati.102
9. Khasiat dan Fadhilat Nama al-Jabbâr, al-Mutakabbir dan al-
Qahhâr

Menurut Haderanie, ada beberapa keutamaan dan keistimewaan


ketiga nama ini, yaitu: (1) orang yang membaca tiga ayat ter-
akhir surah al-Hasyr akan dijaga dan didoakan 70.000 malaikat;
(2) berangsur-angsur akan menghilangkan keangkuhan dan
kesombongan diri; (3) segala problem kehidupan akan selesai
dengan tuntas; (4) tembus pandang dengan ketajaman perasaan
dan pandangan mata hati; (5) mudah menyerap ilmu-ilmu yang
halus mengenai ilmu ketuhanan.103

10. Khasiat dan fadhilat nama al-Ghaffâr, al-Ghafûr dan al-


Tawwâb

Haderanie tidak menyebutkan langsung keutamaan ketiga nama


ini tetapi ia memaparkan keutamaan istighfar dan tobat. 104
Pemaparan seperti ini sejalan dengan nama Allah al-Ghaffâr, al-
Ghafûr dan al-Tawwâb.

11. Khasiat dan fadhilat nama al-Wahhâb, al-Razzâq dan al-


Fattâh

Di sini Haderanie tidak memaparkan aspek khasiat dan fadhilat


ketiga nama ini, tetapi ia hanya menyajikan doa untuk muba-
lig/penceramah yang diawali dengan pembacaan “yâ Fattâh” (3

102 Haderanie, Asma`ul Husna, 78.


103 Haderanie, Asma`ul Husna, 86-87.
104 Haderanie, Asma`ul Husna, 107-109.
132 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

kali) dilanjutkan dengan doa yang terdapat pada Q.S. al-A ‘râf:
89.105

12. Khasiat dan fadhilat nama al-‘Alîm

Menurut Haderanie, pengamalan nama al-‘Alîm adalah dibaca


150 kali setelah salat Magrib atau subuh sambil tetap duduk di
atas sajadah dengan menghadap kiblat. Sebelum membacanya
berkonsentrasi sejenak sambil memohon apa yang diinginkan
kepada Allah, maka keinginan akan dikabulkan. 106

13. Khasiat dan fadhilat nama al-Qâbidh, al-Bâsith, al-Khâfidh


dan al-Rafî’

Dari keempat nama Allah ini, Haderanie hanya mengemukakan


amalan terkait dengan nama al-Bâsith, sementara tiga nama
lainnya tidak dipaparkan khasiat dan fadhilatnya. Menurut
Haderanie, jika seseorang mengamalkan shalawat al-Bâsith (al-
basthah) dengan istiqamah akan mendapat kemudahan curahan
rezeki.107

14. Khasiat dan fadhilat nama al-Lathîf

Menurut Haderanie, khasiat dan fadhilat nama ini adalah dapat


membuat rukun pihak-pihak yang bermusuhan, menciptakan
kerukunan rumah tangga dan terpelihara dari segala bentuk
kejahatan seperti pencurian atau perampokan. Cara membaca-
nya adalah dimulai dengan membaca Allah sebanyak 66 kali

105 Haderanie, Asma`ul Husna, 113.


106 Haderanie, Asma`ul Husna, 117.
107 Lihat bacaan shalawat al-Bâsith pada Haderanie, Asma`ul Husna, 122.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 133

kemudian membaca “Yâ Lathîf” 129 kali yang dilanjutkan de-


ngan doa tertentu.108

15. Khasiat dan fadhilat nama al-Wâsi’

Mengutip kitab Syams al-Ma’ârif al-Kubrâ, Haderanie menyajikan


khasiat dan fadhilat nama al-Wâsi’ yang dikemukakan oleh ‘Ali
al-Buniy, bahwa jika nama ini dizikirkan maka Allah akan me-
luaskan rezekinya, diperindah akhlaknya, dan mendapatkan
ilmu serta kefasihan lidahnya. Haderanie menambahkan bahwa
jika seseorang selalu merasa kesempitan hati karena banyak
masalah sehingga bingung dan serba salah, maka untuk menghi-
langkannya dalam waktu singkat adalah dengan melakukan salat
malam (salat tahajjud) di tengah malam, kemudian menzikirkan
bacaan berikut: “Yâ Hayyu yâ Qayyûm yâ Wâsi’ al-maghfirah”
sebanyak 1000 kali.109

16. Khasiat dan fadhilat nama al-Hakîm

Keistimewaan dan keutamaan nama al-Hakim, menurut Ahmad


al-Buniy yang dikutip oleh Haderanie adalah nama ini jika dibaca
secara terus-menerus maka akan tercapai apa yang dikehendaki.
Haderanie juga menambahkan jika seseorang menghadapi
masalah yang rumit dan mengalami kesulitan menghadapi pili-
han, hendaknya ia salat istikharah kemudian setelah salam
membaca “Yâ Hakîm” 78 kali, kemudian membaca doa istikha-
rah, setelah itu baca lagi “Yâ Hakîm” 10 kali tanpa bernafas
sambil menunggu adanya khatar (getaran).110

17. Khasiat dan fadhilat nama al-Bâ`its dan al-Jâmi’

108 Teks doa dapat dilihat pada Haderanie, Asma`ul Husna, 140.
109 Haderanie, Asma`ul Husna, 172.
110 Haderanie, Asma`ul Husna, 175-176.
134 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Menurut Haderanie, jika seseorang hendak membangkitkan


usaha dan kondisi ekonominya serta semangat kerjanya, maka
hendaknya ia rutin salat Dhuha. Setelah salat dibaca “Yâ Bâ`its”
sebanyak 773 kali disertai dengan doa sesuai dengan apa yang
dikehendaki. Kemudian jika ingin merukunkan orang-orang
yang bermusuhan atau berbantahan, hendaknya membaca “Yâ
Jâmi’ sebanyak 700 kali, kemudian dilanjutkan dengan membaca
Q.S. al-Hijr: 47 sebanyak 70 kali. DI dalam hati berdoa agar Allah
menghilangkan dendam dan permusuhan dan kemudian mem-
persatukan mereka yang bermusuhan.111

18. Khasiat dan fadhilat nama al-Wâjid

Menurut Haderanie, jika ingin mencari sesuatu hingga menda-


patkannya maka hendaknya membaca “Yâ Wâjid” sebanyak-
banyaknya. Apa yang dicari akan didapat dengan izin dan rida
Allah.112

19. Khasiat dan fadhilat nama al-Muntaqim, al-‘Afuww dan al-


Ra`ûf

Haderanie tidak menyebutkan khasiat dan fadhilatnya tetapi


pada kedua nama ini Haderanie menyajikan doa yang selaras
dengan nama-nama Allah itu. Doa ini berasal dari hadis Muslim
dan Haderanie mengutipnya dari kitab al-Adzkâr al-Nawawiyah.
Inilah teks doa (huruf Latin) tersebut: “Allâhumma ashlih liy
dîniy alladziy huwa ‘ishmatu amriy wa ashlih liy dunyâya allatiy
fîhâ ma‘âsyiy wa ashlih liy âkhiratiy allatiy ilayhâ ma‘âdiy waj’al li
al-hayâti ziyâdatan liy fiy kulli khayr, waj‘al al-mawta liy râhatan
min kull syay`.113

111 Haderanie, Asma`ul Husna, 184.


112 Haderanie, Asma`ul Husna, 218.
113 Haderanie, Asma`ul Husna, 244.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 135

C. Fadhilat dan Khasiat Asmaul Husna Menurut Muhammad


Bakhiet, Husin Naparin dan Zurkani Jahja

Muhammad Bakhiet dalam karyanya Mengenal al-Asmâ` al-


Husnâ tidak banyak mengemukakan aspek fadhilat dan khasiat nama
Allah. Jika dibanding dengan Husin Qadri dan Haderanie paparannya
mengenai hal ini jauh lebih sedikit. Kondisi ini dapat dimaklumi
karena memang paparan Muhammad Bakhiet tidak dikhususkan
berbicara mengenai hal itu, tetapi ia lebih terfokus pada dua aspek
yaitu mengenal Allah (ma’rifatullâh) melalui nama-nama-Nya dan
meneladani asma (akhlak) Allah. Inilah dua misi utama yang terkan-
dung dalam karyanya itu. Karena itu, tidak mengherankan jika kemu-
dian ia hanya mengemukakan sisi fadhilat dan khasiat asma Allah
pada nama-nama tertentu saja yang dianggap diperlukan. Contohnya,
ketika Bakhiet membahas nama Allah “al-Fattâh” ia mengemukakan
fadhilat dan khasiat nama al-Muhaymin dan al-Fattâh. Di sini ia
menyatakan (teks diubah ke aksara Latin):

Orang-orang yang hafalannya kurang, suka lupa, lebih-lebih


para penuntut ilmu hendaklah meamalkan “Yâ Muhaymin”
(145 kali) sesudah salat Isya. Anggaplah ini amalan wajib bagi
para penuntut ilmu. Dan juga mengamalkan “Yâ Fattâh” (71
kali) sesudah salat Shubuh dengan tangan kanan di dada, kiri,
supaya Allah Swt membukakan pintu ilmu dan mudah menda-
patkan ilmu. Begitu juga para pedagang supaya dibukakan pin-
tu rizki. Petani dan pegawai juga baik meamalkan agar dibuka-
kan pintu karirnya. 114

Ketika Bakhiet menyajikan nama Allah “al-Halîm”, ia hanya


menyajikan doa dari Rasulullah tanpa menyebutkan sisi fadhilat dan
khasiatnya. Inilah teks doa (diubah ke huruf Latin) tersebut: “Allâ-

114 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ Jalan Menuju Ma’rifa-


tullah, (Barabai: Pondok Pesantren dan Majelis Taklim Nurul Muhibbin,
t.th.), 48 dan 99.
136 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

humma aghniniy bi al-‘ilmi wa zayyiniy bi al-hilmi wa akrimniy bi al-


taqwa waj’alniy bi al-‘âfiyah”.115
Kemudian pada saat membahas nama Allah “al-Bashîr”,
Bakhiet menyajikan bacaan (teks diubah ke huruf Latin): “Allâhu
ma‘iy, Allâhu nâzhirun ilayya, Allâhu syâhidun ‘alayya”. Menurut
Bakhiet jika bacaan ini selalu diamalkan setiap malam 11 kali dibaca
di dalam hati tanpa suara dan dirasakan maksudnya pada diri
seseorang maka Allah memberinya kemampuan selalu murâqabah.
Amalan ini menurutnya merupakan amalan yang telah diajarkan
ulama terdahulu.116
Berbeda dengan Husin Qadri, Haderanie dan Bakhiet, Husin
Naparin tidak mengemukakan aspek fadhilat dan khasiat al-Asmâ` al-
Husnâ, ia hanya mengemukakan bacaan menyeru Allah lewat al-
Asmâ` al-Husnâ dan rangkaian doa dengan menggunakan 99 al-
Asmâ` al-Husnâ yang cukup panjang. Selain itu ia juga menyajikan
rangkaian doa yang terdapat pada akhir surah al-Hasyr, doa surah al-
Ikhlas, dan doa ayat Kursi, di mana pada ketiga surah ini terdapat
beberapa nama Allah.117 Hanya saja Husin Naparin tidak mengemu-
kakan apa fadhilat dan khasiat bacaan dan doa itu. Ia juga tidak
menyebutkan kapan bacaan dan doa itu dibaca dan berapa kali ia
dibaca. Ia hanya menyajikannya begitu saja tanpa ada penjelasan
bagaimana menggunakan bacaan dan doa itu.
Kalau Husin Naparin masih menyajikan bacaan dan doa al-
Asmâ` al-Husnâ yang cukup panjang, maka Zurkani Jahja hanya
menyajikan doa yang memuat rangkaian 99 al-Asmâ` al-Husnâ pada
bagian akhir bukunya. Sama halnya dengan Husin Naparin, Zurkani
Jahja juga tidak menyebutkan fadhilat dan khasiat doa itu, kapan dan
bagaimana membacanya. Ia hanya menyajikannya sebagai penutup
bukunya. Meski demikian, sebagai perkecualian, Zurkani Jahja ter-
nyata menyajikan satu bacaan berikut dengan khasiat dan fadhilat-
nya. Sayangnya, ia tidak menyajikan teks dan lafal Arabnya, tetapi

115 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 181.


116 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 145.
117 Husin Naparin, Memahami Al-Asma al-Husna (Banjasrmasin: PT Grafika

Wangi Kalimantan, 2013), 33-67.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 137

terjemahnya saja. Terjemahan bacaan itu adalah “Dengan nama


Allah, yang tidak ada sesuatu pun bersama-Nya, yang bisa memudha-
ratkanku,baik di muka bumi maupun di bawah kolong langit ini,
sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui”. Zikir ini
menurutnya sebagaimana diajarkan Nabi dibaca pagi dan sore.
Dengan membacanya setiap hari diharapkan jiwa akan tenang
menghadapi kehidupan.118
Dari paparan di atas dapat ditemukan satu poin pentig, yaitu
bahwa semua ulama yang dikemukakan di sini menyadari bahwa al-
Asmâ` al-Husnâ memiliki fungsi sebagai sarana berdoa bagi kaum
muslimin. Hanya titik penekanan mereka saja yang berbeda, Husin
Qadri secara keseluruhan fokus pada paparan semacam ini karena
memang bukunya diperuntukkan untuk itu. Dengan kuantitas yang
lebih rendah dibanding Husin Qadri, Haderanie juga menyajian aspek
yang sama meski hanya sebagai pelengkap, bukan fokus utama.
Sementara Zurkani Jahja, Husin Naparin dan Muhammad Bakhiet,
fokus utama mereka tidak pada aspek fadhilat dan khasiat al-Asmâ`
al-Husnâ dalam praktik zikir, wirid dan doa, fokus mereka adalah
dimensi akidah (mengenal Allah) dan dimensi akhlak (meneladani)
dari al-Asmâ` al-Husnâ. Karena itu wajar jika kemudian aspek fadhi-
lat dan khasiat al-Asmâ` al-Husnâ minim sekali dalam pembicaraan
mereka.

118 M. Zurkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Allah (Yogyakarta: Pustaka Pesan-


tren, 2010), 674. Untuk teks doa Asmaul Husna beserta terjemahnya lihat
pada halaman 727-731.
138 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

BAB VI

DIMENSI TEOLOGIS DAN SUFISTIK AL-ASMÂ`


AL-HUSNÂ MENURUT ULAMA KALIMANTAN

Pada bab sebelumnya (bab v) telah dikemukakan dimensi


ibadah (ritual) dari al-Asmâ` al-Husnâ. Pada bab itu telah dipaparkan
bagaimana ulama Kalimantan menyajikan aspek khasiat dan fadhilat
dari al-Asmâ` al-Husnâ ketika nama-nama itu dijadikan wirid, zikir
dan media untuk berdoa. Dimensi ritual dari al-Asmâ` al-Husnâ ini
telah dikemukakan secara khusus dan konprehensif oleh Husin Qadri
melalui karyanya Senjata Mu`min dan sebagiannya lagi oleh
Haderanie H.N.
Pada perkembangan berikutnya, dimensi ritual dari al-Asmâ`
al-Husnâ tidak lagi ditonjolkan oleh ulama Kalimantan berikutnya.
Sejumlah karya ulama Kalimantan mengenai al-Asmâ` al-Husnâ
menunjukkan bahwa mereka beralih pada dimensi teologis dan
dimensi sufistik-akhlaqi dari al-Asmâ` al-Husnâ. Dalam paparannya,
mereka lebih fokus pada pembahasan mengenai muatan teologi dan
muatan sufistik yang dapat diungkap dari Asma Allah itu. Ciri yang
paling menonjol pada perkembangan mutakhir dari paparan mereka
mengenai al-Asmâ` al-Husnâ adalah adanya penekanan pada impli-
kasi moral atau pembentukan akhlak muslim melalui pemahaman
dan penghayatan nama-nama Allah. Berikut ini adalah paparan
dimensi teologis dan sufistik dari al-Asmâ` al-Husnâ yang dikemuka-
kan oleh Dja’far Sabran, Haderanie, M. Zurkani Jahja, Husin Naparin
dan Muhammad Bakhiet.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 139

A. Dimensi Teologis dan Sufistik Al-Asmâ` al-Husnâ Perspektif


Dja’far Sabran

Dalam karyanya, Miftah-Ma’rifat (Kunci Ma’rifat), Dja’far


Sabran mengemukakan empat konsep tauhid di kalangan pakar
tasawuf syuhudiy. Empat konsep tauhid itu adalah tawhîd al-Af‘âl,
tawhîd al-Asmâ`, tawhîd al-shifât, dan tawhîd al-Dzât. Meski ia tidak
mengemukakan secara jelas sumber rujukan konsepnya itu, tampak-
nya ia dipengaruhi oleh tulisan dua ulama Kalimantan yang cukup
populer di Nusantara, yaitu Muhammad Nafis al-Banjari penulis al-
Durr al-Nafis dan Abdurrahman Shiddiq al-Banjari penulis ‘Amal
Ma’rifah. Paparannya mengenai tawhîd al-Asmâ`, sebagaimana akan
dipaparkan setelah ini, menunjukkan kemipiripan dan kesamaan
gagasan. Karena itu dapat dinyatakan bahwa konsep yang ditulisnya
merupakan kesinambungan dan kelanjutan dari konsep yang telah
dikembangkan oleh kedua ulama Kalimantan itu. Berikut ini adalah
paparan Dja’far Saran mengenai konsep tawhîd al-Asmâ`.
Menurut Sabran, segala sesuatu memiliki nama dan nama
yang diberikan itu didasarkan pada hikmah atau manfaat dari
sesuatu itu. Misalnya, api diberi nama seperti itu karena ia pembakar
dan pemanas; air karena ia pendingin dan penyembuh haus; cahaya
karena ia penerang, dan sebagainya. Orang yang menganjurkan
untuk berbuat baik dalam segala hal dinamai pemimpin, penganjur,
pendidik, pembela, penolong, dan sebagainya. Orang yang dapat
mengangkat benda berat disuebut al-qawiy (orang kuat). Orang yang
mendidik dan mengajar murid disebut al-mursyid (pencerdas); orang
yang bersifat belas kasih dan selalu memberi disebut al-karîm
(pemurah); hakim yang adil dalam melaksanakan hukum disebut al-
‘adl (yang adil), dan sebagainya. Inilah yang dimaksud dengan asmâ`.
Ia bukan sekedar dibuat untuk menyebut sesuatu, tetapi asmâ` itu
mengandung arti manfaat atau hikmah dari sesuatu yang dinamai. 119
Semua nama, menurut Sabran, ‘dipinjamkan’ kepada semua
makhluk yang ada, baik berupa benda, hewan, manusia, maupun

119Dja’farSabran, Miftah-Ma’rifat (Kunci Ma’rifat) (Samarinda: TB Risalah,


1982), 25-26.
140 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

malaikat. Di antara makhluk itu ada yang disebut penyembuh, peno-


long, pemurah, yang kuat, pencerdas, penunjuk, pendidik dan seba-
gainya. Semua sebutan (nama) ini merupakan sebutan majazi, bukan
sebutan hakiki. Hal ini disebabkan keberadaan makhluk bersifat
khayâli dan wahm, bukan ada sebenarnya. Karena itu semua sebutan
atau asmâ` dikembalikan kepada yang ada hakiki, kepada musamma
(yang memiliki nama sebenarnya), yaitu Zat Wajîb al-Wujûd, Allah.120
Menurut Sabran, jika pada perspektif lahiriah, obat adalah
penyembuh, maka pada perspektif batin, Tuhanlah yang berhak ber-
nama Penyembuh. Demikian pula, jika pada zahirnya ada orang yang
pemurah dan bersifat kasih sayang, sebenarnya Tuhanlah yang ber-
nama al-Karîm dan al-Rahmân. Semua nama yang dinisbatkan pada
makhluk hanyalah mazhar asmâ` Allah.121
Menurut Sabran tajalli hak Allah disela-sela dinding mazhar-
Nya melalui dua isim (nama), yaitu Jâmi’ (Yang Menghimpunkan) dan
Mâni’ (Mencegahkan). Maknanya adalah binasa semua mazhar di
dalam Ahadiyyat Allâh (keesaan Allah swt), yaitu pertama Jâmi’ dan
kedua Mâni’. Pada isim Jâmi’ (menghimpunkan) maknanya adalah
seluruh makhluk datang dari Allah swt (syuhûd al-katsrah fi al-
wahdah), memandang yang banyak (berasal) dari yang satu. Pada
Mâni’ bermakna mencegah adanya makhluk datang selain dari Allah
(syuhûd al-wahdah fî al-katsrah: melihat yang satu pada yang ba-
nyak). Simpulannya adalah dua isim ini mengandung makna bahwa
sekalian alam ini datang dari dan kembali pada Allah bukan pada
selain-Nya. Karena itu, jika dilihat ada hamba yang mempunyai sifat
pemurah, maka itu adalah mazhar dari nama Allah, yaitu al-Karîm
yang tampak (zahir) pada hamba. Jika ada orang yang sabar terhadap
penderitaan, maka sifat itu merupakan mazhar dari nama Allah al-
Shabûr. Demikian pula jika ada orang yang memudaratkan orang
lain, maka itu merupakan mazhar dari nama Tuhan, al-Dhâr. Demiki-
an seterusnya. Ringkasnya, menurut Sabran, semua yang bernama

120 Sabran, Miftah-Ma’rifat, 26-27.


121 Sabran, Miftah-Ma’rifat, 27.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 141

pada makhluk sebenarnya adalah mazhar asmâ` Tuhan Yang Maha


Esa.122
Jika sudah tajalli asmâ` ini pada hamba, maka menurut Sab-
ran, tidak ada akwan ini dan akwan itu, semua merupakan mazhar
dan makhluk, dan Allah adalah hakikat segala akwan, sebagaimana
firman Allah:
    

Artinya: Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah


Allah.

Menurut Sabran, maksud dari ayat di atas adalah: “Kemana


saja engkau menghadapkan mukamu atau hatimu, rohmu atau akal-
mu, maka di situlah melihat hakikat wujud Allah SWT”. 123
Konsep tawhîd al-Asmâ` yang dikemukakan oleh Sabran di
atas, secara ringkas dapat dilihat pada skema yang dibuat oleh
Sabran berikut ini.124

122 Sabran, Miftah-Ma’rifat, 27-29.


123 Sabran, Miftah-Ma’rifat, 28.
124 Sabran, Miftah-Ma’rifat, 28-29.
142 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Asmâ` Allah

Mâni’ Jâmi’
(Yang Menegahkan) (Yang Menghimpunkan)

Syuhûd al-wahdah fi al- Syuhûd al-katsrah fî al-


katsrah wahdah

Pandang yang satu pada Pandang yang banyak


yang banyak) pada yang satu)

Dengan pengertian tidak Dengan pengertian semua


ada akwan yang datang akwan adalah dari Allah
selain dari Allah Swt. SWT.

Gambar 1. Skema konsep tawhîd al-Asmâ` yang dikemukakan oleh


Sabran

B. Dimensi Teologis dan Sufistik Al-Asmâ` al-Husnâ Perspektif


Haderanie H.N.

Paparan Haderanie mengenai masing-masing Asmâ` Allah


pada Al-Asmâ` al-Husnâ secara umum banyak menyajikan aspek
konteks sosial yang relevan dengan nama Allah yang disajikan. Papa-
ran mengenai situasi sosial, masalah dan isu sosial yang terjadi dan
menjadi perhatian Haderanie tidak jarang lebih dominan daripada
bahasan mengenai ulasan esensi nama Allah yang dibahas. Ilustrasi-
ilustrasi baik faktual, historis, maupun kisah fiktif sering ditemui
dalam sejumlah paparannya mengenai al-Asmâ` al-Husnâ.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 143

Dalam paparannya mengenai Al-Asmâ` al-Husnâ, pada bebe-


rapa bagian bahasannya ia mengangkat masalah-masalah teologis
dalam ilmu Kalam. Demikian juga dengan topik dan konsep sufistik
dalam paparan beberapa nama Allah yang relevan juga disajikan
secara khusus.
Paparan terkait dengan aspek teologis dalam ilmu Kalam
dapat dilihat dari beberapa paparan berikut. Pertama, pada paparan-
nya mengenai al-Quddûs, Haderanie menjelaskan bahwa untuk
meyakini Allah al-Quddûs harus dengan menggunakan ilmu tauhid
yang benar. Untuk itu perlu dipelajari Ilmu Kalam yang di dalamnya
membahas tentang Sifat 20 yang mengungkap sifat-sifat Allah yang
wajib, mustahil dan jaiz. Meyakini sekurang-kurangnya 20 sifat Allah
ini merupakan fardhu ‘ain karena itu ia wajib secara mutlak untuk
dipelajari. Jika tidak, menurut Haderanie, syahadat seseorang tidak
memiliki nilai.125
Kedua, pada paparannya mengenai nama al-Khâliq, al-Bâri`
dan al-Mushawwir, Haderanie menjelaskan kata perintah “kun” yang
terdapat dalam Surah Yâsîn ayat 82 menggunakan perspektif ilmu
Kalam (teologi). Pertanyaan yang muncul di antaranya adalah: apa-
kah Allah berhajat pada kata “kun”? Jika ia berhajat pada kata ini
berarti Ia lemah. Haderanie mengemukakan tiga jawaban tentang
hal ini. Pertama, Allah tidak berhajat pada kalam “kun” dan tidak
menyandarkan kehendak-Nya padanya untuk mencipta, mengatur
dan sebagainya. Kata ini justru menunjukkan bahwa Allah memiliki
sifat Kalam (sifat berkata-kata). Kedua, tidak ada jeda waktu antara
saat berkehendak mengucapkan kata “kun” dengan saat lahirnya kata
“kun”. Pada kehendaknya itulah adanya ucapan/kalam. Ketiga, uca-
pan/kalam Allah tidak dengan suara dan huruf. Adanya suara “kun”
muncul setelah kalam Allah itu ada pada lidah/lisan Rasulullah
saw.126
Ketiga, pada paparannya mengenai nama al-Samî’ dan al-
Bashîr, Haderanie menjabarkannya dengan menggunakan perspektif

125 Haderanie, Asma`ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf (Surabaya:


Bina Ilmu, 2004), 45-46.
126 Haderanie, Asma`ul Husna, 98-99.
144 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Ilmu Kalam. Menurutnya, Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah meyakini se-


penuhnya bahwa Allah mendengar dan melihat dengan pendenga-
ran-Nya dan penglihatan-Nya. Allah mendengar dan melihat tidak
menggunakan telinga dan mata. Allah melihat dan mendengar tidak
menggunakan alat atau elemen lain selain Dzat-Nya sendiri. Hadera-
nie mengingatkan jangan sampai ada penafsiran terkait nama atau
sifat ini yang mengarah pada penyamaan sifat-sifat Allah dengan
makhluk, karena Ia laysa kamislihi syay`un. Demikian juga dengan
kata-kata “yad Allâh” (tangan Allah) atau “wajh Allâh” (muka Allah).
Kedua kata ini jangan diartikan secara harfiyah untuk menghindari
penyamaan antara Allah dan makhluk.127
Keempat, paparannya mengenai nama Allah, al-Karîm, Hade-
ranie menjabarkan konsep khâriq li al-‘âdah (salah satunya tentang
karamah yang berkaitan dengan al-Karîm) dalam perspektif Ilmu
Kalam. Salah satu suatu keadaan luar biasa (khâriq li al-‘âdah) adalah
karâmah. Menurutnya, secara fungsional ada empat jenis khâriq li al-
‘âdah (merobek hukum kebiasaan), yaitu: (1) mukjizat, sesuatu yang
luar biasa yang dikaruniakan kepada para Nabi dan Rasul untuk
melemahkan hujjah/argumentasi orang-orang yang tidak beriman,
(2) karâmah (kemuliaan/kemurahan) adalah suatu keistimewaan
dan luar biasa yang dikaruniakan oleh Allah kepada para wali/ula-
ma/syekh sebagai pertanda/petunjuk tentang kemuliaan mereka, (3)
ma’ûnah (pertolongan), keluarbiasaan yang diperuntukkan bagi
orang-orang beriman yang awam, dan (4) istidrâj, yaitu keluarbiasa-
an yang diberikan disertai kebencian kepada orang-orang kafir,
musyrik, atau munafik.128
Kelima, paparannya mengenai al-Qayyûm, Haderanie menja-
barkan bahwa amat mustahil Allah berhajat atau bergantung kepada
sesuatu yang lain. Pasti Allah berdiri “dengan sendirinya”, Allah al-
Qayyûm. Dalam pelajaran sifat Dua Puluh, dikenal salah satu sifat
Allah: Qiyâmuhu Ta‘âla bi Nafsihi (Allah berdiri dengan sendiri-
Nya).129

127 Haderanie, Asma`ul Husna, 129.


128 Haderanie, Asma`ul Husna, 164-166.
129 Haderanie, Asma`ul Husna, 205.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 145

Keenam, paparannya mengenai nama Allah, al-Qâdir dan al-


Muqtadir, Haderanie memberikan jabaran yang di antaranya meru-
pakan bahasan Ilmu Kalam. Di antara paparannya, Haderanie menje-
laskan bahwa dalam pelajaran sifat 20 terdapat sifat Qudrat yang
berarti kuasa. Semua kekuasaannya pada makhluk merupakan
qayyûmiyyah-nya Qudrat Allah (berdirinya kodrat Allah) padanya.
Dalam Ilmu Kalam, menurut Haderanie, terdapat tujuh sifat yang
disebut sifat maknawi, artinya pada pengertiannya tujuh sifat itu ada
pada manusia, namun pada hakikatnya bukan milik mutlak manusia.
Tujuh sifat maknawi itu adalah Qudrah (kuasa), Irâdah (berkema-
uan), ‘Ilm (tahu), Hayâh (hidup), Sama’ (mendengar), Bashar (meli-
hat), dan Kalâm (berkata-kata). Haderanie menolak pendapat Mu‘ta-
zilah yang tidak mengakui adanya sifat Allah, sifat-sifat maknawi bagi
mereka hanyalah “hâl”. Kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah
berpendapat bahwa sifat maknawi itu bukan hâl tetapi sifat. Hâl bisa
terpisah dari Dzat sementara sifat tidak bisa terpisah dari dzat. Nama
Allah Qâdir(un) menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat Qudrat. 130
Paparan Haderanie terkait nama Allah, al-Muqtadir diarah-
kan pada pembahasan secara khusus mengenai qadhâ` dan qadar.
Dalam jabarannya, ia menjelaskan bahwa nama Allah, al-Muqtadir,
menetapkan adanya qadhâ` dan qadar, takdir baik maupun buruk
untuk makhluknya dan segala sesuatu. Menurut pakar Ilmu Kalam,
qadhâ` adalah kumpulan segala takdir pada azal yang sudah ada
sebelum terjadi. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan dengan pola
(blue print), sementara qadar/takdir adalah ketentuan Allah yang
berlakunya sesuai dengan qadhâ` Allah pada azal. 131 Terkait masalah
qadhâ` dan qadar, Haderanie menolak teori khalq dari Mu’tazilah
sebagaimana ditulisnya berikut ini:

Sering dipermasalahkan orang tentang qadla dan qodor ini, ada


yang berpendapat bahwa penentuan kadar bagi makhluk
khususnya manusia hanya pada “khalqnya” (penciptaannya)
semula. Di situlah terdapatnya ukuran-ukuran atau qadar/tak-

130 Haderanie, Asma`ul Husna, 224-225.


131 Haderanie, Asma`ul Husna, 225.
146 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

dir misalnya manusia, pada “khalq” sudah tersedia lebih dahulu


kemampuan, akal (intelegensia) tabiat, nafsu dan lain-lain me-
nurut ukuran. Di sinilah letaknya apa yang disebut “keterbata-
san” manusia. Untuk selanjutnya, nasib baik ataupun tidak
tergantung dengan kemampuan manusia itu sendiri. Dalam hal
ini Allah tidak perlu tahu. Paham ini adalah paham Muktazilah
yang dikenal dengan teori khalq. Seorang kafir bukan
ditetapkan lebih dahulu ia menjadi kafir. Seorang miskin bukan
pula ditetapkan lebih dahulu dia miskin. Kekafiran atau kemis-
kinan itu adalah karena manusia itu sendiri, yang karena
kehendaknya sendiri, pemikirannya sendiri, daya mampunya
sendiri, sesuai dengan ukuran (qadar) yang ada padanya se-
waktu penciptaannya semula. Nanti, setelah manusia itu mati,
baru Allah Swt mengadakan kualifikasi (sortir) mana yang
harus ke surga mana yang harus ke surga. 132

Haderanie tidak sependapat dengan pandangan Muktazilah


di atas termasuk juga pandangan aliran ini bahwa tidak adil jika Allah
menetapkan terlebih dahulu seseorang menjadi kafir. Bagi Hadera-
nie, Muktazilah hanya menggunakan rasio saja. Ahl al-Sunnah wa al-
Jam’ah juga menghargai akal tetapi ada lagi landasan yang lebih kuat,
yaitu sunnatullah dan sunnah rasul. Menurutnya, nash Alquran dan
sunnah menunjukkan bahwa qadar/takdir sudah ditetapkan lebih
dahulu termasuk musibah yang menimpa manusia. Banyak dalil yang
menunjukkan hal ini. Menurutnya, Ahl al-Sunnah wa al-Jam’ah
berpegang bahwa Allah telah menetapkan terlebih dahulu nasib baik
maupun jelek di akhirat. Penetapan seperti ini bukan ketidakadilan,
tetapi justru Allah Maha Adil, maka Allah berbuat dengan menetap-
kan takdir terlebih dahulu. Tidak seorang makhluk pun yang bisa
mengerti rahasia di balik apapun yang sudah ditetapkan Allah. Keadi-
lan Allah tidak mungkin dan mustahil untuk bisa diukur oleh cara
berpikir kaum Mu’tazilah.133
Perspektif teologis yang digunakan Haderanie tidak hanya
memiliki pola seperti di atas. Dia tidak hanya berbicara tentang

132 Haderanie, Asma`ul Husna, 225-226.


133 Haderanie, Asma`ul Husna, 226.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 147

aspek ilmu Kalam, tetapi ia juga sering menyisipkan fenomena sosial-


historis dan kritik sosial-keagamaan dalam paparannya. Beberapa
contoh berikut merupakan indikator mengenai hal itu.
Contoh pertama, pada paparannya mengenai nama Allah, “al-
Mu`min”, Haderanie memaparkan tentang fenomena atheisme anti
Tuhan yang didasarkan pada paham materialisme dialektika logika
(Madilog) yang menitikberatkan kepercayaannya pada kekuasaan
benda dan dijalin dengan kemampuan berpikir dialektis. Paham yang
dibawa oleh Karl Marx dan kemudian mempengaruhi tokoh Rusia,
Lenin dan kemudian diterapkan pada beberapa negara seperti Eropa
Timur dan Uni Soviet. Paham materialisme kemudian merambah ke
berbagai negara sehingga hampir seperdua penduduk bumi terpe-
ngaruh dengan paham ini. Di Indonesia sendiri diguncang dengan
peristiwa G 30 S PKI yang komunis. Menurut Haderanie, yang paling
ironi dari paham materialisme-komunis adalah kebencian mereka
terhadap agama, menolak yang gaib termasuk adanya Tuhan sang
Pencipta. Mereka menuduh agama sebagai racun, merobohkan tem-
pat ibadah, melarang pemuda belajar agama dan menghapus budaya
agama.134
Menurut Haderanie, ajaran atheis anti Tuhan pada dasarnya
adalah perkosaan terhadap diri pribadi yang nyata-nyata memiliki
naluri berkepercayaan. Naluri ini akan muncul ketika seseorang
mulai melemah secara fisik karena saat itu orang yang anti Tuhan
mulai mencari pegangan. Inilah yang terjadi pada Joseph Stalin
menjelang kematiannya, berteriak-teriak memanggil nama Tuhan-
nya. Tidak hanya itu, di penghujung abad XX negara adidaya anti
Tuhan, Uni Soviet, hancur berantakan, bubar dan saling cakar-
cakaran.135
Paparan di atas merupakan beberapa contoh uraian Hadera-
nie mengenai beberapa nama Allah yang menggunakan perspektif
teologi (Ilmu Kalam). Beberapa contoh ini cukup untuk menunjukkan
tren teologis yang cukup kentara dalam paparan Haderanie menge-
nai nama-nama Allah. Selanjutnya berikut ini dikemukakan beberapa

134 Haderanie, Asma`ul Husna, 65.


135 Hadeanie, Asma`ul Husna, 66.
148 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

tren sufistik dalam paparan Haderanie terhadap sejumlah nama


Allah.
Paparan terkait dengan tema sufistik dalam ilmu Tasawuf
dapat dilihat dari beberapa paparan berikut. Pertama, paparan Hade-
ranie mengenai konsep tauhid dalam perspektif tasawuf nazhari/
falsafi.
Paparan Haderanie mengenai tawhîd al-Asmâ` pada buku
Ilmu Ketuhahan Permata Yang Indah (Addurrunnafis) Beserta Tanya
Jawab, didasarkan pada teks al-Durr al-Nafîs karya Syekh Muham-
mad Nafis al-Banjari yang ia transliterasi dan diindonesiakan.
Dengan demikian, pemikiran utama pada buku ini adalah pemikiran
tasawuf Muhammad Nafis, sedang Haderanie memberikan beberapa
catatan (penjelasan) dan menyertakan tanya jawab pada bagian
akhir buku ini. Meski basis utamanya adalah pemikiran Muhammad
Nafis, Haderanie tampaknya sepenuhnya mendukung pemikiran
tasawuf yang terkandung dalam al-Durr al-Nafîs. Penjelasan tamba-
han yang ia berikan tidak hanya menunjukkan dukungannya dan
penguasaannnya pada kitab itu tetapi juga memberikan sajian ten-
tang pemikiran tasawufnya sendiri.
Menurut Nafis al-Banjari, sebagaimana yang disajikan Hade-
ranie, kaifiyat mengesakan nama Allah adalah dengan memandang
dengan mata kepada dan syuhûd mata hati bahwa segala nama
apapun juga pada hakikatnya kembali ke sumbernya/asalnya, yairu
nama Allah. Wujud apapun di alam ini tentu ada yang diberi nama
(wujud musamma). Sementara dalam arti hakiki bahwa tidak ada
yang mawjûd selain Allah. Jika dibandingkan dengan wujud Allah,
segala yang mawjûd di alam pada hakikatnya hanyalah khayal dan
wahm (persangkaan). Karena itu dapat dimusyahadahkan bahwa
pada hakikatnya segala nama apapun juga kembali kepada nama-
nama Allah sebagai sumbernya. Wujud Allah “qâ`im” pada segala
nama sesuatu. Zhahir nama sesuatu itu pada hakikatnya adalah satu,
yakni sesuatu itu merupakan pembuktian/kenyataan dari wujud
Allah Yang Maha Esa.136

136Haderanie, Ilmu Ketuhanan Permata yang Indah (Addurrunnafis) Beserta


Tanya Jawab (Surabaya: CV Amin, t.th.), 50-51.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 149

Haderanie memberikan catatan terhadap pemikiran Nafis di


atas sebagai berikut. Catatan Pertama mengenai istilah wujud
musamma yang digunakan oleh Nafis al-Banjari. Haderanie membe-
rikan catatan penjelasan mengenai istilah ini sebagai berikut:

Misalnya kita melihat seseorang yang bernama si A, maka


nama “A” ini adalah suatu nama dari seseorang. Seseorang ini
disebutkan Ujud Musamma. Si Ujud Musamma tadi andaikata
kita bandingkan dengan Ujud Allah tentu tidak akan seban-
ding. Atau dengan perkataan lain si Ujud Musamma tadi, sama
sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan Ujud Allah.
Allah Maha Kuat, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Pintar,
Maha Hebat dan sebagainya, tetapi seseorang atau sesuatu itu,
amat lemah, amat tidak berdaya, penuh dengan serba kekura-
ngan dan lain-lain. 137

Catatan kedua mengenai istilah qâ`im yang digunakan oleh


Nafis al-Banjari, dalam hal ini Haderanie memberikan catatan seba-
gai berikut:

Maksud ini bukan seperti berdirinya pohon pada akar atau


seperti berdirinya jasad karena adanya roh, yang satu saat bisa
berkumpul dan berpisah. Pengertian ini tidak dapat diterima.

Akan tetapi, bilamana kita melihat sesuatu (yang tentu ada


namanya) dengan penuh perhatian/konsentrasi, sebenarnya
yang terlihat itu adalah “adanya” bukan “sesuatu”, namun si-
sesuatu dengan adanya itu sukar untuk diceraikan dan dipi -
sahkan. Si sesuatu berbentuk dan berupa, tetapi si “adanya” itu
tidak berbentuk dan bukan pula berupa.

“Adanya” si sesuatu adalah maujud (yang diadakan) sedang


Allah SWT. adalah Ujud (ada yang kekal abadi, sedia tanpa
permulaan).

137 Ilmu Ketuhanan Permata yang Indah, 50-51.


150 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Allah SWT. bernama Ad-Dhohir (Maha Nyata) lebih nyata dari


segala yang nyata bahkan lebih nyata daripada diri sendiri. 138

Pemikiran Nafis al-Banjari yang dikemukakan oleh Haderanie


adalah mengenai isim Jâmi’ (menghimpun/pemusatan) dan isim
Mâni’ (pencegahan/yang menggagalkan). Konsep Jâmi’ memiliki kai-
fiyat yaitu musyâhadah dimulai dari segala kenyataan kemudian
terhimpun/terpusat kepada Yang Satu (Allah SWT). Inilah yang
dimaksud dengan syuhûd al-katsrah fî al-wahdah (pandangan yang
banyak pada yang satu). Konsep Mâni’ mencegah adanya pandangan
bahwa segala kenyataan makhluk ini adalah dari makhluk juga, tetapi
sebenarnya dari Allah jua nyatanya segala isi alam ini. Inilah yang
dimaksud dengan syuhûd al-wahdah fî al-katsrah (pandang yang satu
pada yang banyak).139
Kaifiyat mengesakan asma Allah dengan menggunakan kon-
sep ini adalah jika melihat seseorang yang pemurah maka harus
dipandang bahwa sifat pemurah adalah milik Allah, sementara yang
terlihat pada diri hamba hanyalah mazhhar dari nama Allah, yaitu al-
Karîm (Maha Pemurah). Demikian pula jika ada orang yang penya-
bar, maka sifat itu sebenarnya adalah mazhhar dari nama Allah, yaitu
al-Shabûr (Maha Penyabar). Nama al-Karîm dan al-Shabûr adalah
bagian dari nama-nama Allah, karena itu cara pandang yang sama
juga digunakan pada nama-nama Allah yang lain sesuai dengan
kenyataan nama itu pada si hamba/makhluk.140
Kedua, ketika Haderanie memaparkan ism al-Dzât, Allah. Saat
memaparkan nama ini, ia memaparkan beberapa isyarat atau simbol
huruf dan angka terkait dengan bentuk fisik manusia, telapak tangan,
dan isyarat kelakukan salat. Terkait bentuk fisik manusia, ia menge-
mukakan bahwa bentuk wajah manusia dilihat sepintas berbentuk
huruf mim (‫)م‬. Huruf ini mengisyaratkan kebenaran dan kehadiran
Muhammad saw (‫)محمد = م‬. Bentuk fisik manusia ketika berdiri
merupakan isyarat huruf alif ( ‫ )أ‬yang menunjukkan kepastian adanya

138 Ilmu Ketuhanan Permata yang Indah, 51.


139 Ilmu Ketuhanan Permata yang Indah, 55.
140 Ilmu Ketuhanan Permata yang Indah, 56.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 151

Allah (‫) أهلل = أ‬. Terkait kelakuan orang ketika salat, ia mengemukakan
bahwa berdiri tegak saat salat menunjukkan huruf alif (Allah), ruku’
menunjukkan huruf ha`, sujud menunjukkan huruf mim (Muham-
mad), duduk menunjukkan huruf dal. Seluruh kelakuan salat itu
dengan isyarat hurufnya dapat dibaca “Ahmad” (alif+ha`+mim+dal).
Terkait dengan telapak dan punggung telapak tangan, ia mengemu-
kakan bahwa telapak tangan kiri dengan ibu jari ditekuk ke jari
telunjuk membentuk huruf Allah (kelingking= alif, jari manis= lam.
Jari tengah = lam, dan telunjuk dan ibu jari = ha`), sementara jika
tangan kanan dilihat dari punggung tangan juga membentuk huruf
Allah. Garis tangan pada telapak tangan kiri membentuk angka Arab,
delapan puluh satu ( ١٨), sementara garis tangan pada tepalak tangan
kiri membentuk angka Arab delapan belas ( ٨١). Bila keduanya
dijumlahkan, 81 + 18 = 99. Jumlah ini mengisyaratkan bahwa al-
Asmâ` al-Husnâ seluruhnya terhimpun dalam ism al-Dzât: Allah.141
Isyarat huruf dan angka dengan makna seperti ini di kalangan
masyarakat Banjar di Kalimantan biasanya banyak dijumpai dalam
naskah atau tulisan yang diklaim berisi ajaran ilmu sabuku, ilmu
hakikat, dan ilmu rahasia, terutama paparan mengenai kelakuan salat
yang membentuk lafal “Ahmad” ( ‫)احمد‬.
Kedua, pada paparannya mengenai nama Allah al-Quddûs,
Haderanie menyajikan unsur sufistik dalam paparannya. Dia menya-
jikan tentang metode pembersihan jiwa di kalangan pengikut tarikat
(mursyid dan sâlik). Umumnya, pembersihan jiwa itu, menurut Hade-
ranie, dilakukan dengan cara, khalwat, zikrullah, berpuasa, dan ber-
jaga malam. Keempat cara ini merupakan rukun untuk mencapai wali
abdal.142
Ketiga, pada paparannya mengenai nama Allah “al-Hasîb”,
Haderanie memaparkan satu konsep tasawuf yang terkait dengan
nama ini, yaitu konsep muhâsabah. Menurutnya, muhâsabah adalah
menghitung sikap dan tingkah laku diri sendiri lahir dan batin; mana
yang baik dan mana pula yang salah menurut ajaran Allah dan Rasul.
Salah satu sandaran tentang konsep ini adalah pernyataan ‘Umar ibn

141 Haderanie, Asma`ul Husna, 16-18.


142 Haderanie, Asma`ul Husna,49-51.
152 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Khaththab: “Hasibû anfusakum qabla an tuhâsabû”. Kaum sufi, menu-


rut Haderanie, menerapkan muhâsabah bagi diri mereka sendiri,
tetapi bukan berarti mereka mengabaikan kepentingan masyarakat,
bahkan kepedulian mereka sebenarnya lebih besar daripada kaum
nonsufi. Tuduhan bahwa kaum sufi adalah kaum yang sangat egois
menurutnya merupakan tuduhan yang salah dan tidak berdasar.
Ajaran muhâsabah bukan hanya untuk kalangan sufi, konsep ini
justru sangat bermanfaat bagi manusia secara keseluruhan. Setiap
orang yang beriman kepada Allah dan Rasul seyogyanya bertanya
pada dirinya sendiri: “Apakah yang telah kulakukan, sudah benarkah
menurut ajaran Allah dan Rasul?” Menurutnya, perilaku dan kisah
kehidupan sufi menunjukkan bahwa betapa orang-orang sufi itu
benar-benar merasa takut luar biasa kepada perhitungan Allah, al-
Hasîb.143
Keempat, pada paparannya mengenai nama Allah “al-Jalîl”,
Haderanie mengemukakan konsep mengenai Allah ber-tajalliy. Me-
nurutnya ungkapan “Allah tajalliy” sering kali disalahpahami, seakan-
akan Allah menampakkkan diri-Nya dengan menempati suatu wujud.
Menurutnya, pengertian ini sangat keliru dan bisa membawa kemu-
syrikan. Jika sekiranya Allah menempati sesuatu wujud, berarti
wujud yang menempati sama besarnya dengan wujud yang ditem-
pati. Ini mustahil dan tidak bisa diterima oleh akal. Padahal Allah
muhîth bi kulli syay` (Kâna Allâh bi kulli syay`in muhîtha). Tajalliy
Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Haderanie pada bukunya 4M
adalah: Allah menampakkan sendiri tanpa ada yang lain dari Dia
dengan kesempurnaan sifat-sifat-Nya nur-Nya yang laysa kamitslihi
syay`un. Contohnya pada kasus Nabi Musa pada Q.S. al-A’raf: 143, di
mana Nabi Musa pingsan tiada daya adalah gambaran kefanaan
dirinya; gunung sebagai “titik pandang” mata lahir hilang hancur
berkeping-keping, sirna menjadi debu (faja’alahu dakkan); yang ada
hanya Dia dengan keesaan-Nya.144 Dengan demikian, menurut

143 Haderanie menyajikan beberapa kisah sufi, yaitu Fudhayl ibn ‘Iyyad,
Rabi’ah al-‘Adawiyyah, dan al-Haris al-Muhâsibiy. Lihat Haderanie, Asma`ul
Husna,158-160.
144 Haderanie, Asma`ul Husna,162-163.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 153

Haderanie, pada saat itu Nabi Musa dalam keadaan fanâ` (dalam
pengertian tasawuf), sedang seiring gunung menghilang (Allah tidak
menempatinya), yang terlihat dan tampak hanyalah Allah tanpa
disertai yang lain.
Kelima, pada paparannya mengenai nama Allah a-al-Muhyi,
al-Mumît, al-Hayy dan al-Qayyûm, Haderanie menjelaskan tentang
konsep mati hissi dan mati maknawi. Mati hissiy disebabkan oleh
mati segala indra atau bisa pula karena keluarnya roh. Mati maknawi
ialah mati dalam pengertiannya saja. Menurutnya, setiap mukmin
perlu menyadari akan datangnya kematian hissiy. Tetapi sebelum
kedatangannya, seseorang harus menyadari dan menghayati mati
maknawi dengan cara melatih dan mendidik diri untuk mempersiap-
kan diri menghadapi kematian hissiy. Jiwa dilatih agar tidak terikat
kuat dengan dunia atau kepada sesuatu selain Allah. Dalam latihan
mati maknawi, ditekankan latihan jiwa yang disebut “râdhiyatan
mardhiyyah” (ridha dan diridhai). Artinya, ridha rohnya keluar dari
jasad dan diridhai datangnya di hadirat Allah. 145
Keenam, pada paparannya mengenai nama Allah, al-Wâhid
dan al-Shamad, Haderanie berkomentar tentang paham wahdat al-
wujûd (kesatuan yang ada). Sebagian orang menyamakan paham ini
dengan pantheisme (paham serba ada). Paham ini banyak ditentang
(terutama oleh ahli fiqih) dan banyak pula dibela oleh ulama. Menu-
rut Haderanie, apapun nama pahamnya, yang penting ukurannya
adalah apakah paham itu sesuai atau bertentangan dengan Alquran
dan sunnah. Jika ada ungkapan-ungkapan tertentu dari paham ini
yang bertentangan dengan Alquran dan sunnah, maka tidak ada
alasan untuk tidak menolaknya. Tetapi. ia mengingatkan bahwa
karangan-karangan Ibnu Arabiy amat banyak menggunakan rumus
dan simbol. Banyak kesulitan memahaminya. Begitu juga para sufi
yang lain seperti Muhammad ibn ‘Abd al-Jabbar ibn al-Hasan al-
Nafari. Karena kesulitan memahami pemikiran mereka maka sulit
rasanya memberikan vonis pada Ibnu ‘Arabiy dan ajarannya dengan
vonis dhâllun mudhillun (sesat dan menyesatkan) sepanjang rumu-
sannya berbentuk rumus dan kinâyah. Karena itu, menurut Hadera-

145 Haderanie, Asma`ul Husna, 215.


154 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

nie, biarlah wahdat al-wujûd itu menjadi milik Ibnu ‘Arabiy. Ungka-
pannya yang baik dan bermutu dapat diterima sepanjang tidak
bertentangan dengan syari’at. Wahdat al-wujûd pada dasarnya ingin
mengungkapkan keesaan Allah dengan retorikanya sendiri. 146
Ketujuh, pada paparannya mengenai Allah “al-Bâqiy” Hadera-
nie mengemukakan konsep sufi mengenai fanâ` fî Allâh dan baqâ` bi
Allâh. Haderanie mengingatkan bahwa ilmu zawqiy semacam ini
memerlukan penjelasan yang panjang. Kalau sedikit penjelasannya
mungkin ada yang tidak puas. Yang penting jangan menuduh atau
memvonis dhâllun mudhillun, kufur, syirik dan sebagainya. Tuduhan
demikian amat mengerikan dan terlalu besar resikonya di hadapan
Allah.147
Fanâ` fî Allâh wa baqâ` bi Allâh bermakna “lenyap dalam Allah
dan kekal dengan Allah”. Pengertian lenyap (fanâ`) adalah dalam arti
hakiki, dibanding dengan adanya Allah swt. Fanâ` (lenyap) tidak diar-
tikan seperti suatu benda yang tadinya ada dihadapan kemudian
hilang dan tidak terlihat lagi. Karena mungkin saja benda yang tidak
ada di hadapan berada di tempat lain yang tidak terlihat. Fanâ` di sini
bermakna bahwa hamba lenyap kepada Allah atau pada Allah (fî
Allâh), bisa juga diartikan fanâ` dalam genggaman Allah. Sedang
baqâ` bi Allâh memiliki kaitan dengan ungkapan ayat “mâ ‘ind Allâh
Bâq” (apa yang berada di sisi Allah adalah kekal), artinya sufi yang
‘ârif bi Allâh “selalu merasa dalam genggaman Allah”. Fanâ` fî Allâh
berarti dia adalah mukmin ‘ind Allâh (mukmin di sisi Allah), ketika
mukmin berada di sisi Allah maka ia termasuk dalam bagian mâ (apa
saja) ‘ind Allâh (di sisi Allah) yang kekal, yakni kekal di sisi Allah
(baqâ` bi Allâh).148

146 Haderanie, Asma`ul Husna,221-222.


147 Haderanie, Asma`ul Husna,265.
148 Haderanie, Asma`ul Husna, 266-268.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 155

C. Dimensi Teologis dan Sufistik al-Asmâ` al-Husnâ Perspektif


Zurkani Jahja

Paparan Zurkani Jahja seputar al-Asmâ` al-Husnâ pada ma-


sing-masing nama, secara umum biasanya dimulai dari paparan
mengenai makna lafziyah kebahasaan (termasuk akar kata). Ia juga
mengemukakan dalil Alquran yang relevan untuk memaparkan
masing-masing nama. Gaya paparan semacam ini mirip dengan gaya
paparan M. Quraish Shihab dalam memaparkan al-Asmâ` al-Husnâ.
Selain itu, gaya paparan semacam ini dipengaruhi oleh metodologi
teologi al-Ghazali, salah satunya menggunakan pendekatan tekstual
(dalil naqli). Meski demikian, di banyak tempat, Zurkani Jahja memu-
lai paparannya dengan ilustrasi-ilustrasi atau cerita pendek yang
kemudian dihubungkan dengan nama-nama Allah yang relevan.
Tidak itu saja, keterpengaruhannya yang besar pada metode
teologi al-Ghazali dan juga pada karya-karya al-Ghazali, terutama al-
Maqshad al-Asnâ fî Syarh al-Asmâ` al-Husnâ yang banyak dikutipnya,
menjadikan paparannya tidak hanya bersifat teosentris tetapi juga
antroposentris, sehingga secara keseluruhan gaya paparannya bersi-
fat teoantroposentris dan kontekstual. Sisi kontekstualitas paparan-
nya terlihat dari paparannya yang banyak menyajikan ilustrasi yang
relevan terkait fenomena kehidupan manusia yang terjadi ketika ia
memaparkan nama-nama tertentu dari al-Asmâ` al-Husnâ.
Dalam menguraikan al-Asmâ` al-Husnâ, Zurkani Jahja secara
umum lebih dominan mengedepankan dimensi teologis daripada
dimensi sufistik. Meski berbasis pada teologi Asy’ariyyah dan
Ghazalian, paparan teologisnya ternyata dipengaruhi oleh perkemba-
ngan wacana teologi modern pada masanya. Salah satu paparan yang
menyolok mengenai sejumlah asma Allah adalah paparnnya menge-
nai sunnatullah (hukum Allah yang diberlakukan-Nya di alam).
Konsep sunnatullah terlihat begitu penting baginya mengingat pem-
bicaraan tentang sunnatullah banyak disajikan di banyak tempat
dalam karyanya. Pembicaraan tentang sunnatullah baik dalam porsi
yang kecil maupun besar (tidak termasuk yang hanya disebut
sepintas) dapat dilihat ketika ia memaparkan beberapa asma Allah
156 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

berikut: al-Rahmân, al-Malik, al-Bâri`, al-Qâbidh, al-Hakam, al-‘Adl, al-


Halîm, al-Hafîzh, al-Mujîb, dan al-Majîd.
Ketika memaparkan nama Allah, al-Rahmân, Zurkani Jahja
menyajikan konsep sunnatullah sebagai berikut. Menurutnya, sunna-
tullah merupakan hukum Allah yang ditetapkan di alam. Alam patuh
terhadap hukum ini sementara manusia dapat mematuhinya atau
tidak. Sementara hukum agama merupakan hukum yang wajib
dipatuhi oleh manusia. Siapapun yang mematuhi sunnatullah akan
mendapat ganjaran dan hidup yang layak di dunia meskipun ia ada-
lah orang yang melakukan kemaksiatan (nakal). Sementara orang
yang taat pada hukum agama akan mendapat ganjaran di dunia dan
di akhirat. Orang yang hanya pada taat pada sunnatullah akan
mendapat ganjaran di dunia sementara di akhirat ia akan celaka. 149
Nama Allah al-Rahmân bermakna Maha Pengasih tanpa pilih
kasih karena tidak membedakan antara manusia yang beriman dan
orang yang tidak beriman, yang taat atau yang maksiat. Sunnatullah
tidak membedakan manusia. Siapa yang mematuhi sunnatullah
dalam bekerjaakan mendapat ganjaran yang setimpal sesuai dengan
sunnatullah yang ditaatinya.150
Ketika membahas nama Allah al-Malik, Zurkani menyatakan
bahwa Allah yang membuat aturan-aturan Allah di alam tidak harus
tunduk pada aturan-aturan tersebut. Dia berhak mengubah aturan
tersebut sesuai kehendak-Nya, Namun Dia mencipta sesuatu biasa-
nya sesuai dengan aturan tersebut. Itulah sebabnya aturan ini dise-
but sunnatullah (tradisi Allah). Aturan-aturan yang sudah diketahui
disebut teori dalam ilmu pengetahuan. Mungkin masih banyak yang
belum diketahui. Jika ada penyimpangan dari aturan tersebut itu
pertanda bahwa Allah menghendaki terjadinya suatu kemukjizatan
dalam rangka melumpuhkan musuh-musuh para Rasul-Nya.151
Ketika membahas nama Allah al-Bâri`, Zurkani cukup pan-
jang memaparkan mengenai sunnatullah. Aturan-aturan yang tetap
tak berubah di alam ini disebut dengan hukum-hukum Tuhan yang

149 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 13.


150 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 14.
151 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 28-29.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 157

berlaku pada alam semesta, oleh kaum sekuler disebut “hukum


alam” dan dalam khasanah Islam disebut Sunnatullah (tradisi Allah).
Meski Allah mengadakan sesuatu dengan aturan itu ia bisa saja
mengadakan sesuatu tanpa menggunakan aturan itu. Ia tidak memer-
lukan aturan itu, karena jika memerlukannya maka Ia bukan Tuhan.
Peristiwa mukjizat pada para Nabi menjadi bukti bahwa ia tidak
memerlukan sunnatullah, Ia dapat mengubahnya sesuai kehendak-
Nya.152
Hukum kausalitas (aturan sebab akibat) yang dipahami
dengan hukum probabilitas (aturan terjadinya peluang), merupakan
sunnatullah (tradisi Allah) yang disebut sebagai hukum kebiasaan
(hukm al-‘âdah). Jika disikapi dengan benar hukum-hukum ini maka
tidak ada alasan untuk bagi orang untuk bersikap fatalis atau pasrah
tanpa usaha. Orang tidak tahu apa yang telah diciptakan Allah dalam
takdirnya, apakah ia bahagia atau celaka. Orang tidak boleh berdiam
diri saja dengan berkeyakinan bahwa jika Tuhan menghendaki maka
ia akan bahagia meski tanpa bekerja mewujudkannya.153 Dalam hal
ini Zurkani Jahja memberikan ilustrasi berikut ini:

Pintarnya sesorang mahasiswa diyakini sebagai diadakan Tuhan


(al-Bâri`). Jadi bukan “belajar” yang “menjadikan” pintar pada
mahasiswa karena pada hakikatnya Tuhanlah yang mengada-
kannya. Akan tetapi “belajar” diakui memberi peluang besar bagi
pintarnya mahasiswa. Hal ini karena Tuhan “biasa” mengadakan
“pintar” pada mahasiswa setelah ia rajin “belajar”. Namun, tidak
semua mahasiswa yang “belajar” bisa menjadi orang “pintar”.
Hanya mereka yang dikehendaki Tuhan, yang diadakan-Nya
pintar pada mahasiswa. Kalau Tuhan menghendaki, bisa saja
terjadi seorang mahasiswa “pintar” tanpa “belajar”. Jika peristi-
wa terakhir ini yang terjadi, maka suatu kemukjizatan telah
hadir pada diri mahasiswa itu. Dan hal ini sangat langka, meski-
pun peluang untuk itu tetap terbuka. Ia tidak mengetahui apa
kehendak Tuhan dengan peristiwa mukjizat itu. Mahasiswa ha-
nya tahu bahwa banyak “tradisi Allah” (sunnatullah) di alam ini

152 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 96.


153 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 96-97.
158 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

yang sudah diketahui manusia dalam berbagai penelitian mere-


ka, sehingga ilmu pengetahuan bisa berkembang pesat, terma-
suk ilmu belajar agar jadi pintar. Oleh karena itu kepada ilmu
yang sudah diketahuinya inilah nahasiswa harus mendasarkan
langkah-langkahnya untuk menjadi orang yang pintar, bukan
berpangku tangan sambil menunggu terjadinya kemukjizatan
atas dirinya meski secara teologis terdapat peluang. 154

Pada paparannya mengenai nama Allah, al-Qâbidh, Zurkani,


kembali memberikan paparan mengenai sunnatullah terkait adanya
“penyempitan” rezeki pada seseorang. Menurutnya, dalam masalah
rezeki juga berlaku hukum-hukum Allah (sunnatullah) yang berlaku
sama bagi semua makhluk. Siapapun yang mematuhinya akan men-
dapatkan hasil sebagaimana yang dijanjikan, tidak peduli muslim
atau nonmuslim. Karena itu, tidak mustahil jika ada sementara
nonmuslim yang beruntung memiliki banyak rezeki. Hal itu karena
dalam pekerjaan mereka berpegang teguh pada hukum-hukum
Tuhan yang berlaku dalam alam semesta, hukum yang sudah banyak
tertuang dalam ilmu pengetahuan yang mereka kenal sebagai hukum
alam.155
Namun Zurkani kembali mengingatkan bahwa dalam “me-
nyempitkan” rezeki, Allah tidak terikat pada hukum yang dibuat-Nya.
Sunnatullah hanyalah “tradisi” (sunnah) Allah dalam mewujudkan
sesuatu. Jika Allah ingin mewujudkan sesuatu dengan hukum itu,
niscaya akan terjadi, dan inilah tradisi yang biasa dilakukan Tuhan
sehingga dianggap sebagai keniscayaan. Akan tetapi Allah bisa saja
tidak menggunakan hukum tersebut atau setidaknya memotong mata
rantainya, maka itupun bisa terjadi dan secara teologis juga dibenar-
kan.156
Berdasarkan sunnatullah seorang menjadi sempit rezekinya
karena ia melanggar hukum-hukum Tuhan tersebut. Hukum Tuhan
tidak diindahkan, baik hukum di alam semesta maupun agama.
Karena itu, bagi muslim yang mengalami kesempitan rezeki harus

154 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 96-97.


155 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 160-161.
156 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 161.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 159

mengoreksi dirinya karena ada kemungkinan usahanya tidak sesuai


dengan hukum-hukum Tuhan yang berlaku di alam semesta dan bisa
juga karena ia melanggar hukum agama (misalnya tidak membayar
zakat). Jika seorang muslim setelah mengoreksi dirinya mendapati
bahwa ia telah hidup serasi dengan hukum-hukum Tuhan (sunna-
tullah) yang berlaku, berarti sempitnya rezeki adalah cobaan dari
Allah, di mana ia harus tabah menghadapinya.157
Dalam paparannya mengenai nama Allah al-Hakam, Zurkani
membahas adanya dua hukum, yaitu hukum yang diciptakan Tuhan
berlaku untuk alam semesta, termasuk manusia yang disebut sunna-
tullah dan hukum agama yang berlaku bagi manusia dan jin. Hukum
yang pertama sebagiannya sudah terungkap dalam berbagai ilmu
pengetahuan modern, sebagai hasil metode ilmiah, meskipun karak-
teristiknya belum final dan kedua dikenal sebagai hukum agama
Islam. Di sini Allah yang menjadi hakim pada kedua hukum itu, yakni
memberi ganjaran kepada siapa yang melanggar sunnatullah-Nya
maupun hukum agama-Nya. Sebenarnya, menurut Zurkani, Allah
tidak terikat pada kedua hukum itu. Akan tetapi dalam kondisi
“biasa” Tuhan akan menepati janji yang telah ditegaskan dalam
hukum-hukum yang dibuat-Nya. Ketidakterikatan itu tampak dalam
masalah khawâriq li al-‘âdah. Sunnatullah berlaku jika alam semesta
masih ada, jika alam semesta telah sirna (kiamat) sunnatullah tidak
berlaku lagi.158
Ketika membahas nama Allah al-‘Adl, Zurkani juga mengait-
kan bahasannya dengan sunnatullah. Dalam konteks ini, sunnatulah
merupakan bentuk keadilan Tuhan. Demikian juga dengan hukum
agama di dalamnya penuh keadilan yang menjamin kesejahteraan
manusia secara keseluruhan.159 Sementara dalam bahasannya me-
ngenai nama Allah al-Hafîzh, ia menegaskan bahwa adanya sunna-
tullah merupakan bentuk pemeliharaan Allah untuk menjaga eksis-
tensi jagat raya. Sunnatulah berfungsi untuk menjaga keseimbangan

157 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 162-163.


158 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 224-225.
159 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 233.
160 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

dan keserasian komponen-komponen jagat raya melalui aturan yang


ditetapkan Allah.160
Pada bahasannya mengenai nama Allah al-Mujîb, Zurkani
lagi-lagi mengaitkannya dengan sunnatullah. Di sini Zurkani tampak-
nya tidak sepakat dengan pandangan bahwa doa hanya untuk
ketentraman jiwa dan dianggap tidak mengubah kehidupan. Meski
dikabulkan doa itu tetapi pengabulannya sesuai dengan hukum kau-
salitas yang berlaku di alam raya. Menurutnya, hukum kausalitas
adalah hukum probabilitas. Hukum sunnatullah ini meski tetap
berlaku tetapi ia tunduk pada Tuhan. Karena itu, Allah bisa saja
mengabulkan doa melalui proses hukum alam atau tidak mengguna-
kannya tetapi melalui “kemukjizatan” yang dikehendaki-Nya.161
Sejalan dengan paparannya mengenai sunnatullah, hukum
kausalitas, ia juga menekankan konsep teologi yang terbebas dan
terhindar dari fatalisme. Ketika ia membahas nama Allah al-Jabbâr,
Zurkani mengemukakan bahwa orang yang sepenuhnya sadar bertu-
hankan al-Jabbâr, harus menerima dengan lapang dada segala kehen-
dak Tuhan atas dirinya dan tidak menggerutu jika tujuannya belum
tercapai. Orang itu sadar bahwa kehendak Tuhan belum sesuai
dengan kehendaknya. Kehendak Tuhan yang sebenarnya, belum
diketahui kecuali sesudah suatu perbuatan mencapai finishnya. Oleh
karena itu, ia bukan seorang penganut Jabariyyah yang hanya fatalis
menunggu nasib. Ia akan menggunakan potensinya untuk bekerja
mencapai tujuan sesuai hukum-hukum Tuhan yang berlaku di alam
ini. Kewajibannya hanya berusaha akan tetapi hasil kerjanya sangat
ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Perkasa (al-Jabbâr).162
Ungkapan yang senada juga dikemukakan oleh Zurkani ketika
ia membahas nama Allah al-Razzâq. Menurutnya, Allah al-Razzâq
telah menyediakan rezeki bagi semua makhluk-Nya. Jika ada manusia
yang rezekinya sulit dan sedikit, maka kemungkinan hal itu disebab-
kan oleh dua hal. Pertama, yang bersangkutan belum banyak tahu
hukum-hukum Tuhan terkait pemberian rezeki. Karena itu ia harus

160 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 306.


161 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 355.
162 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 76-77.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 161

banyak belajar hukum-hukum tersebut. Kedua, karena yang bersang-


kutan memang diberikan sedikit reezeki, karena jika diberi banyak ia
akan menjadi jahat karena hartanya itu (Q.S. 42: 27). Oleh karena itu,
menurut Zurkani, dia harus tetap bekerja keras untuk mencari
rezekinya, tidak boleh fatalis, karena dia tidak tahu berapa banyak
rezeki yang disediakan Tuhan untuknya.163
Bahasan mengenai sunnatullah kembali mengemuka ketika
Zurkani membahas nama Allah, al-Majîd. Di sini ia menegaskan bah-
wa bersandar pada sunnatullah bukan satu-satunya jalan mencapai
tujuan. Memang sunnatullah telah ditetapkan berlakunya di alam dan
tidak berubah pemberlakuannya, karena itu dalam melakukan usaha
atau kerja perlu dilandasi pada ilmu pengetahuan dan pengalaman
yang didasarkan pada sunnatullah ini. Namun, ia kembali mengingat-
kan bahwa bisa saja “keajegan” sunnatullah itu terlampaui melalui
“mukjizat” yang terjadi karena adanya doa yang dipanjatkan kepada
Tuhan. Ini menunjukkan bahwa manusia dikelilingi ketidakpastian
yang misterius. Manusia tidak boleh berpandangan “pasti” tetapi juga
tidak perlu “bingung”. Manusia harus tetap bekerja untuk mencapai
tujuannya sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimili-
kinya. Tetapi ia juga tidak boleh lupa berdoa. Karena ia tidak tahu
apakah tujuannya itu diberikan Allah kepadanya melalui proses
sunnatullah ataukah melalui jalan “kemujizatan” atau sejenisnya. 164
Dalam paparannya mengenai nama Allah al-Wakîl, Zurkani
membahas mengenai bagaimana seorang mukmin meneladani kepri-
badian Allah melalui namanya al-Wakîl dengan cara bertawakkal.
Bertawakkal berarti menyerahkan segala masalah yang dihadapi
kepada Allah untuk mencapai tujuannya. Ia yakin bahwa Allah akan
mencapaikan tujuannya. Hanya ia tidak tahu apakah tujuannya akan
tercapai melalui cara biasa melalui sunnatullah atau melalui kemukji-
zatan. Ia hanya tahu ilmu pengetahuan mengenai pencapaian tujuan
melalui proses kerja, karena itu ia bekerja sesuai proses yang

163 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 137.


164 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 386-387.
162 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

diketahuinya, ini bukan berarti akan membatalkan tawakkalnya


kepada Allah.165
Ketika membahas nama Allah al-Muhyi, lagi-lagi Zurkani
menggunakan konsep sunnatullah dalam paparannya. Menurutnya,
pemberian kehidupan (hayat) pada sesuatu secara empiris melalui
sebab tertentu sesuai dengan sunnatullah yang berlaku. Tanah yang
kering dan tandus tidak akan jadi subur tanpa adanya hujan yang
menyiraminya. Begitu pula seorang bayi tidak akan lahir dari seorang
ibu tanpa adanya hubungan intim antara si ibu dengan lawan jenis-
nya. Menurut Zurkani, itulah sunnatullah. Akan tetapi sunnatullah ini
akan tunduk kepada Allah jika Dia menginginkan cara lain, yaitu
melalui kemukjizatan, seperti kelahiran ‘Isa putra Maryam. 166
Beberapa contoh di atas sudah menunjukkan bahwa Zurkani
banyak memberikan interpretasi teologis nama-nama Allah dengan
menggunakan konsep sunnatullah. Selain nama-nama Allah di atas,
bahasan tentang sunnatullah juga disinggung ketika membahas nama
Allah seperti al-Mumît.
Selain dimensi teologis yang dominan dipaparkan oleh
Zurkani Jahja dalam analisisnya terhadap al-Asmâ` al-Husnâ, papa-
rannya juga memuat dimensi sufistik dalam sejumlah nama Alllah.
Memang dimensi sufistik tidak begitu dominan (terutama terkait
sufisme falsafi) dibanding dimensi teologis, tetapi dimensi sufistik
secara implisit tidak dapat dipisahkan dari paparannya terutama
ketika ia membahas bagaimana meneladani nama-nama Allah itu
bagi muslim. Berikut ini adalah beberapa paparannya terhadap bebe-
rapa nama Allah yang di dalamnya secara eksplisit berisi interpretasi
sufistik terhadap nama-anama Allah.
Pertama, ketiga membahas nama Allah al-Quddûs, Zurkani
memberikan paparan sufistik. Menurutnya, dalam sufisme, manusia
dipandang memiliki dualisme, yaitu memiliki ruh suci yang berasal
dari Tuhan yang suci dan ketika ruh itu masuk ke dalam jasmani
(material) maka kesucian ruh akan terganggu. Keluarga, harta dan
tahta dapat menghalangi seseorang untuk menyadari kesucian ruh-

165 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 419.


166 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 481.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 163

nya, sebaliknya ia malah dapat berlumuran dosa dan lupa beribadah


karena kesibukannya dengan materi-jasmaniah. Karena itu, dalam
sufisme al-Ghazali terdapat maqâm tobat sebagai maqâm pertama
para sâlik sebelum menjalani maqâm lainnya. Maqâm ini berfungsi
untuk menyucikan kalbu (ruh) yang ternoda agar bersih kembali. 167
Ketika memaparkan nama Allah al-Salâm, Zurkani memapar-
kan bagaimana muslim “meniru” sifat Allah ini, yaitu mengikuti
tuntunan hadis bahwa muslim yang baik adalah ketika orang lain
“selamat” dari kejahatan lidah dan tangannya. Dalam sufisme, menu-
rut Zurkani, terdapat ungkapan: “yang merembes dari suatu bejana
adalah isinya”. Berdasarkan ungkapan ini perbuatan jahat yang terbit
dari lidah dan tangan seseorang, yang berdampak pada kesejahte-
raan orang lain, adalah berasal dari isi tubuhnya, yaitu kalbu. Ini
berarti lidah dan tangan yang jahat berasal kalbu yang tidak sejah-
tera. Padahal hati yang sejahtera (qalb Salîm) bermanfaat bagi seseo-
rang ketika ia menghadap Allah.168
Ketika ia membahas nama Allah “al-Ghafûr” dan “al-Hasîb”,
Zurkani mengemukakan konsep muhâsabah di kalangan sufi. Ketika
menjelaskan nama al-Ghafûr, ia menyertakan penjelasan bahwa
kaum sufi selalu mengadakan “perhitungan” (muhâsabah) terhadap
perbuatannya setiap saat, bahkan dalam setiap nafas kehidupan.
Diperhitungkan berapa amal kebaikan yang dikerjakan pada saat
nafas masih keluar masuk tubuhnya, dan berapa perbuatan jahat
yang dikerjakan pada saat nafas yang sama. Dengan itu, segala
perbuatan dosa akan tampak di matanya setiap saat, dan karenanya
terdorong untuk segera bertobat.169 Demikian pula ketika memapar-
kan nama al-Hasîb, konsep muhâsabah kembali dikemukakan. Di
antara paparannya adalah bahwa hendaknya manusia dalam setiap
nafas kehidupannya selalu melakukan perhitungan terhadap kebai-
kan dan keburukannya. Minimal sekali sehari perhitungan dilakukan
untuk mengevaluasi dan sekaligus mengadakan muhâsabah guna
perbaikan pada hari yang dihadapi. Banyaknya perbuatan baik, tidak

167 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 37-38.


168 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 46.
169 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 273-274.
164 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

untuk arogan kepada orang lain, tetapi untuk perbaikan masa depan,
kualitas dan kuantitas. Sebaliknya, banyaknya perbuatan buruk
mendorong berbuat tobat, agar segala perbuatan itu dihapus Allah
karena sudah disesali terjadinya dan tidak dilakukan lagi pada masa
depan. Hal ini tidak akan terwujud jika tidak ada muhâsabah yang
menyadari bahwa al-Hasîb akan memperhitungkan kelak segala nilai
perbuatan kita pada masa di dunia.170
Ketika ia membahas nama Allah “al-Jalîl” Zurkani mengemu-
kakan konsep mahabbah dalam tasawuf. Berikut ini adalah paparan-
nya mengenai “al-Jalîl” menggunakan konsep mahabbah sebagai
berikut:

Al-Mahabbah (cinta kepada Tuhan) termasuk salah satu


maqam (stasion) tertinggi bagi seorang salik (orang yang
menjalani kehidupan sufi). Menghayati sifat Tuhan Jalal yang
dimiliki oleh Tuhan al-Jalil, banyak terkait dengan maqam ini.
Seorang manusia yang menghayatinya, tentu akan memandang
Allah sebagai Tuhan Yang Maha Cantik (al-Jamil), yang pasti
dicintainya, karena manusia cenderung mencintai suatu yang
dianggapnya cantik. Kemahacantikan Allah, karena Dia memili-
ki sifat-sifat kesempurnaan (al-Kamil), yang dapat dilihatnya
dengan mata hati (batinnya). Di antara sifat-sifat kesempurna-
an yang dimiliki Tuhan ialah: Maha Kaya dalam arti bahwa Dia
tidak berhajat kepada yang lain, dan segala sesuatu memerlu-
kan-Nya. Maha Raja, dalam makna Dia mengaku kekuasaan
tertinggi dan semua makhluk tunduk kepada-Nya. Maha Tahu,
dalam arti bahwa Dia sangat mengetahui segala sesuatu dan
Dialah yang menjadi sumber segala pengetahuan. Dan banyak
lagi sifat-sifat kesempurnaan lain yang dimiliki-Nya. Sehingga
Dia betul-betul Tuhan yang mempunyai sifat Jalal, Kamal, dan
Jamal. Segala kesempurnaan yang tidak komplit dalam alam
semesta ini yang dimiliki berbagai jenis makhluk Tuhan yang
ada, semuanya merupakan sinar dan manifestasi kesempurna-
an yang mutlak dari Tuhan. 171

170 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 323.


171 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 328-329.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 165

Semua paparan di atas menunjukkan bahwa meski Zurkani


sangat dominan menyajikan al-Asmâ` al-Husnâ dengan pendekatan
teologis, tetapi ia juga dalam beberapa kesempatan menyajikan al-
Asmâ` al-Husnâ dengan menggunakan pendekatan sufistik. Paparan-
nya mengenai implikasi moral dari Asma Allah sudah merupakan
manifestasi dari pendekatan sufistiknya meski dikemas dalam
kemasan teologis.

D. Dimensi Teologis dan Sufisme-Akhlaqi al-Asmâ` al-Husnâ


Perspektif Husin Naparin

Paparan Husin Naparin pada Asma Allah secara umum terba-


gi dua, yaitu bagian untuk Allah dan bagian untuk seorang mukmin
dari nama-nama itu. Bagian untuk Allah bermakna agar mukmin
mengenali “kepribadian” Allah (ma’rifah Allâh) dan bagian untuk
mukmin bermakna agar mukmin membentuk kualitas kepribadian
atau karakter mukmin yang selaras dengan “kepribadian” Allah
sebagai implikasi dari keimanan dan penghayatan terhadap al-Asmâ`
al-Husnâ.
Untuk maksud di atas, setelah memaparkan dimensi ibadah
(ritual) dari al-Asmâ` al-Husnâ pada bagian pertama bukunya, Mema-
hami Al-Asma AL-Husna, Husin Naparin kemudian berkonsentrasi
pada bagian kedua bukunya membahas secara khusus mengenai al-
Asmâ` al-Husnâ dengan menyajikan dimensi akidah (mengenal Allah)
dan dimensi akhlak (meniru kepribadian Allah) bagi mukmin. Sema-
ngat dan maksud ini sebenarnya indikasinya sudah dapat dilihat
pada bagian pertama bukunya. Pada buku pertama Husin Naparin
mengutip tulisan H.A. Hafizh Dasuki dkk., Ensiklopedi Islam (jilid I),
sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.172

172 Tabel dimodifikasi dari tabel yang tertera pada: Husin Naparin,
Memahami AL-Asma Al-Husna (Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan,
2013), 10-17.
166 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Tabel 4. Dimensi Akhlak dari al-Asmâ` al-Husnâ dari Hafizh Dasuki


yang Dikutip Husin Naparin
No Nama Allah Makna Bagi Allah Makna Bagi Mukmin
1 Al-Rahmân Yang Maha Pemurah Mengasihi sesama
2 Al-Rahîm Yang Maha Pengasih Menyayangi sesama
Yang Maha Raja,
3 Al-Malik Pandai mengatur
Berkuasa
4 Al-Quddûs Yang Maha Suci Bersih dan suci
Yang Maha
5 Al-Salâm Menyelamatkan
Sejahtera
Yang Maha
6 Al-Mu`min Memberi keamanan
Terpercaya
Yang Maha
7 Al-Muhaymin Merawat dan memelihara
Memelihara
8 Al-‘Azîz Yang Maha Perkasa Gagah dan mampu
Yang Maha
9 Al-Jabbâr Kuat tidak lemah
Berkehendak
Yang Memiliki Berwibawa tidak
10 Al-Mutakabbir
Kebesaran sombong
11 Al-Khâliq Yang Maha Pencipta Berkreasi
Yang Maha Meng-
12 Al-Bâri` Menata/memiliki misi
adakan dari tiada
Yang Membuat
13 Al-Mushawwir Kreatif
Bentuk
Yang Maha
14 Al-Ghaffâr Pemaaf
Pengampun
15 Al-Qahhâr Yang Maha Perkasa Tegas
Yang Maha Pemberi
16 Al-Wahhâb Tidak pelit/sosial
Karunia
Yang Maha Pemberi Berusaha keras mencari
17 Al-Razzâq
Rezeki rezeki
Yang Maha
18 Al-Fattâh Melapangkan kesusahan
Membuka Hati
Yang Maha Selalu belajar setiap
19 Al-‘Alîm
Mengetahui kesempatan
Yang Maha
20 Al-Qâbidh Ekonomis tidak boros
Pengendali
21 Al-Bâsith Yang Maha Penyantun/Dermawan
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 167

Melempangkan
Yang Maha
22 Al-Khâfidh Rendah hati
Merendahkan
Yang Maha
23 Al-Râfi’ Tidak minder
Meninggikan
Yang Maha
24 Al-Mu’izz Mencerahkan
Terhormat
Yang Maha
25 Al-Mudzill Tidak angkuh
Menghinakan
Yang Maha
26 Al-Samî’ Lembut/empati ucapan
Mendengar
27 Al-Bashîr Yang Maha Melihat Berpandangan baik
Yang Maha Memu- Bijak menentukan
28 Al-Hakam
tuskan sesuatu keputusan
29 Al-‘Adl Yang Maha Adil Adil
30 Al-Lathîf Yang Maha Lembut Lemah lembut
Yang Maha
31 Al-Khabîr Waspada dan hati-hati
Mengetahui
Yang Maha
32 Al-Halîm Santun
Penyantun
33 Al-‘Azhîm Yang Maha Agung Kharismatik
Yang Maha
34 Al-Ghafûr Suka memberi maaf
Pengampun
Yang Maha Berterima kasih dan pan-
35 Al-Syakûr
Menerima Syukur dai menghargai sesuatu
36 Al-‘Aliy Yang Maha Tinggi Bercita-cita tinggi
37 Al-Kabîr Yang Maha Besar Berbesar hati
38 Al-Hafîzh Yang Maha Penjaga Memelihara dengan baik
Yang Maha
39 Al-Muqît Kuat/tidak lemah
Memelihara
Yang Maha Mem- Memperhitungkan dengan
40 Al-Hasîb
buat Perhitungan teliti
41 Al-Jalîl Yang Maha Luhur Berusaha sepenuh hati
Yang Maha
42 Al-Karîm Berbudi luhur/dermawan
Dermawan
Yang Maha
43 Al-Raqîb Teliti/waspada
Mengawasi
44 Al-Mujîb Yang Maha Penolong/memenuhi
168 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Mengabulkan harapan
45 Al-Wâsi’ Yang Maha Luas Berwawasan luas
Yang Maha
46 Al-Hakîm Bijak dalam bertindak
Bijaksana
Yang Maha
47 Al-Wadûd Menyejukkan hati
Mengasihi
Mulia/pandai
48 Al-Majîd Yang Maha Mulia
menghormati
Yang Maha Tidak putus asa/selalu
49 Al-Bâ’its
Membangkitkan bangkit
Yang Maha Menyengal
50 Al-syahîd
Menyaksikan mati/menelaah
51 Al-Haqq Yang Maha Benar Jujur dan benar
Yang Maha
52 Al-Wakîl Bertanggung jawab
Pemelihara
53 Al-Qawiyy Yang Maha Kuat Teguh pendirian dan fisik
54 Al-Matîn Yang Maha Kokoh Disiplin
Yang Maha
55 Al-Waliy Loyal
Melindungi
56 Al-Hamîd Yang Maha Terpuji Terpuji
Yang Maha
57 Al-Muhshiy Efisien/terukur
Menghitung
58 Al-Mubdi` Yang Maha Mulai Pencetus/pemrakarsa
Yang Maha
59 Al-Mu‘îd Berserah diri/tawakkal
Mengembalikan
Yang Maha Menyerahkan dan
60 Al-Muhyi
Menghidupkan bersemangat
Yang Maha
61 Al-Mumît Ingat kematian
Mematikan
Yang Maha Hidup
62 Al-Hayy Menghidupi/menyantuni
Mandiri
Yang Maha
63 Al-Qayyûm Mandiri
Menemukan
Yang Maha
64 Al-Wâjid Penemu/selalu berinovasi
Menemukan
Bersifat dan bersikap
65 Al-Mâjid Yang Maha Mulia
mulia
66 Al-Wâhid (al- Yang Maha Tunggal Pemersatu dari
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 169

Ahad) keceraiberaian
67 Al-Ahad Yang Maha Esa Mandiri
Yang Maha
68 Al-Shamad Penolong
Dibutuhkan
69 Al-Qâdir Yang Maha Kuat Penentu
Yang Maha
70 Al-Muqtadir Menguasai urusan
Berkuasa
Yang Maha
71 Al-Muqaddim Prioritas
Mendahulukan
Yang Maha Mempertimbangkan
72 Al-Mu`akhkhir
Mengakhirkan dengan cermat
Yang Maha
73 Al-Awwal Pioner
Permulaan
74 Al-Âkhir Yang Maha Akhir Visi ke depan
75 Al-Zhâhir Yang Maha Nyata Transparan dan jujur
Menjaga rahasia dan aib
76 Al-Bâthin Yang Maha Gaib
orang
Yang Maha
77 Al-Wâliy Melindungi sesama
Memerintah
Tidak sombong dan tinggi
78 Al-Muta‘âl(iy) Yang Maha Tinggi
hati
Yang Maha
79 Al-Barr Membawa kebaikan
Dermawan
Yang Maha
80 Al-Tawwâb Menyesali khilaf
Penerima Taubat
81 Al-Muntaqim Yang Maha Penyiksa Adil dalam keputusan
82 Al-‘Afuww Yang Maha Pemaaf Pemaaf
83 Al-Ra`ûf Yang Maha Pengasih Belas kasihan
Yang Maha Mem-
84 Mâlik al-Mulk Berkecukupan
punyai Kerajaan
Yang Maha Memiliki
Dzu al-Jalâl wa
85 Kebesaran serta Kharismatik
al-Ikrâm
Kemuliaan
86 Ak-Muqsith Yang Maha Adil Pandai menempatkan diri
Yang Maha
87 Al-Jâmi’ Bekerjasama
Pengumpul
88 Al-Ghaniyy Yang Maha Kaya Mencukupi
89 Al-Mughniy Yang Maha Menyantuni
170 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Mencukupi
Yang Maha
90 Al-Mâni’ Mencegah ketidakbaikan
Mencegah
Yang Maha Pemberi
91 Al-Dhâr Waspada akan kerusakan
Derita
Yang Maha Pemberi
92 Al-Nâfi’ Memberi manfaat
Manfaat
Yang Maha
93 Al-Nûr Pemberi pencerahan
Bercahaya
Yang Maha Pemberi
94 Al-Hâdiy Amar ma’ruf
Petunjuk
95 Al-Badî’ Yang Maha Pencipta Berkreasi
96 Al-Bâqiy Yang Maha Kekal Memelihara kebaikan
97 Al-Wârits Yang Maha Mewarisi Melestarikan
Cerdas dan mengasah
98 Al-Rasyîd Yang Maha Pandai
otak
99 Al-Shabûr Yang Maha Sabar Penyabar

Konten tabel di atas bukan merupakan pemikiran orisinal


dari Husin Naparin tetapi semangat dan maksudnya sejalan dengan
pemikirannya. Pemikiran Husin Naparin baru terlihat ketika ia
memaparkan al-Asmâ` al-Husnâ pada bagian kedua bukunya.
Pada bagian kedua bukunya Husin Naparin memaparkan al-
Asmâ al-Husnâ dengan menyajikan dimensi akidah dan dimensi
sufisme (tasawuf akhlaki) dari nama Allah. Pada dimensi akidah, ia
memaparkan nama-nama Allah dengan menyajikan makna lafziyah
nama Allah dan makna nama itu jika disandarkan pada Allah.
Kadang-kadang, ia menyajikan beberapa dalil Alquran atau hadis
untuk melengkapi paparannya. Namun perlu dicatat, ternyata dalam
paparannya, ia memaparkan nama-nama Allah dengan sajian yang
steril dari persoalan-persoalan Kalam atau teologi yang pelik,
kontroversial dan menjadi isu polemik. Ia memaparkan nama-nama
Allah secara singkat, sederhana dan mudah dipahami. Tampaknya, ia
tidak ingin terlibat dalam persoalan kontroversial. Karena itulah ia
tidak menyajikan dalam porsi yang cukup mengenai masalah-
masalah Kalam seperti masalah perbuatan manusia, masalah sebab
akibat, takdir, sifat 20, qiyâmuhu ta’âlâ bi nafsihi, dan lainnya
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 171

sebagaimana yang dibahas dalam ilmu Kalam. Kalaupun ia menulis


kata terkait konsep itu, ia tidak memberikan penjelasan lanjutan.
Meski begitu, ada juga bahasan Kalam yang disinggung sepintas.
Contohnya adalah ketika ia memaparkan nama Allah “al-Dhâr” dan
“al-Nâfi’”. Berikut ini adalah kutipan tulisan Husin Naparin tentang
hal itu:

Allah SWT adalah Adh-Dhar (Yang Maha Pemberi Mudharat)


dan An-Nafi’ (Yang Maha Pemberi Manfaat) karena Dia adalah
Dzat yang daripada-Nya-lah berasal kebaikan dan kejahatan,
kemanfaatan dan kemudharatan. Semua dinisbatkan kepada
Allah SWT baik dengan perantara malaikat, manusia, benda-
benda mati maupun tanpa perantara. Oleh sebab itu, jangan
diyakini racun dapat mencelakakan dengan sendirinya, makanan
mengenyangkan dengan sendirinya, semua itu hanyalah sebab
yang ditundukkan kepada mereka. 173

Selain hampir tidak menyajikan pembahasan Kalam, Husin


Naparin juga ‘menghindar’ dari pembahasan yang berkaitan dengan
konsep-konsep sufistik dalam memaparkan al-Asmâ` al-Husnâ.
Kalaupun ia menyinggung konsep-konsep tasawuf seperti tawakkal,
muhâsabah dan lainnya, lagi-lagi ia tidak menjabarkannya meski
dengan paparan singkat.
Namun uniknya, ia justru memberikan porsi yang cukup
mengenai perspektif sains dalam penciptaan alam. Ada dua tempat di
mana Husin Naparin menyertakan unsur sains dalam paparannya.
Hal ini dapat dilihat ketika ia membahas nama Allah “al-Mubdi`” dan
“al-Mu’îd, hal yang sama dapat pula dilihat ketika ia membahas nama
“al-Awwal” dan “al-Âkhir”. Inilah tulisan Husin Naparin:

Tentang penciptaan, dunia ilmu pengetahuan mengatakan


bahwa alam semesta berasal dari suatu benda padat yang
kemudian terpisahkan oleh ledakan besar yang disebut “Big
Bang”. Hal ini terjadi sekitar dua belas milyar tahun yang lalu,
melahirkan planet-planet dan benda-benda angkasa. Masing-

173 Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna, Bagian Kedua, 146.


172 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

masing benda-benda langit tersebut menjauh satu sama lain


dan meluas, nampak pada observasi para ahli lewat teropong
bintang; hal ini mereka sebut dengan teori “expanding univer-
sy”, padahal empat belas abad lebih masa yang lalu Allah swt
berfirman:

          

            

Artinya: Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui


bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu
yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan
dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?

Di dalam ayat yang lain disebutkan:

     

Artinya: dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami)


dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa

Para ahli meyakinkan suatu saat akan terjadi kehancuran


universal (kiamat) yaitu setelah alam semesta berkembang
(meluas) sampai ukuran maksimum, sesudah itu akan menyu-
sut dan mengecil sehingga benda-benda langit saling bertubru-
kan diremas oleh gravitasi yang maha kuat dan akhirnya
masuk kembali dalam simularitas menuju ke–tiada-an. Saat itu
terjadi proses kebalikan Big Bang disebut “Big Crunch”, di
mana alam semesta dari “tiada” akan dikembalikan kepada
“tiada”. Kita yakin itu adalah perbuatan Allah swt. karena Dia
adalah al-Mubdi` dan al-Mu’îd.174

Selain tulisan ini, ketika ia membahas nama al-Awwal dan al-


Âkhir, tulisan serupa juga ditemui. Inilah tulisan yang dimaksud:

174Husin Naparin, Memahami AL-Asma Al-Husna, Bagian Kedua (Banjar-


masin: PT Grafika Wangi Kalimantan, 2013), 94-96.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 173

… Ilmu pengetahuan berkata bahwa alam semesta ada


permulaannya. Edwind Habble (1928) mengemukakan bahwa
alam semesta dahulunya hanyalah suatu benda padat, kemu-
dian terpisahkan oleh suatu ledakan besar yang disebut “Big
Bang”. Teori ini dibenarkan oleh Staven Hawking (1980). Hal
ini memperkuat pendapat para teolog bahwa langit dan bumi
adalah permulaan dan hadits (temporal). Bandingkan teori Big
Bang dengan Q.S. al-Anbiya: 30.

          

 

Artinya: Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui


bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu
yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.

Ilmu pengetahuan berkata pula bahwa alam semesta ada


akhirnya. Teori “Big Crunch” (Pengerutan Besar) yang menun-
jukkan alam semesta akan berakhir, persis seperti yang diya-
kini para teolog bahwa alam semesta berasal dari “tiada”,
akhirnya kembali “tiada” .175

Paparan semacam ini tidak terlepas dari pengaruh salah satu


referensi yang dipakai oleh Husin Naparin ketika menjelaskan nama-
nama Allah dalam bukunya, yaitu karya M. Zurkani Jahja yang
berjudul Asmaul Husna (jilid 1 dan II). Buku ini kemudian diterbitkan
ulang dengan judul baru, yaitu 99 Jalan Mengenal Allah, salah satu
buku yang juga menjadi objek kajian penelitian ini. Tetapi, Husin
Naparin hanya merujuk pada buku versi pertama (Asmaul Husna),
karena saat ia menulis bukunya, Memahami Al-Asma` al-Husna, buku
versi kedua (99 Jalan Mengenal Allah) belum diterbitkan.
Ciri khas utama Husin Naparin dalam memaparkan setiap
nama Allah adalah ia selalu konsisten menyajikan mengenai sikap
dan perilaku apa yang harus dimiliki seorang mukmin terkait dengan

175 Husin Naparin, Memahami AL-Asma Al-Husna, Bagian Kedua, 119-120.


174 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

nama Allah yang dibahas. Paparannya ini menunjukkan akan perha-


tiannya pada dimensi sufisme-akhlaki dari al-Asmâ` al-Husnâ seba-
gaimana telah disebutkan di atas. Berikut ini beberapa contoh dimen-
si akhlak yang menjadi bagian dari seorang mukmin yang beriman
dengan Asma Allah, yaitu:

1. Al-Mâlik (Allah Yang Maha Berkuasa). Bagian seorang


mukmin dari sifat al-Mâlik adalah:
a. Tidak terlena akan pangkat dan jabatan yang dimiliki
karena semua itu adalah anugerah Allah Swt. untuk
dapat digunakan sebagai sarana kepentingan agama;
b. Menguasai seluruh kerajaannya (hatinya) agar
seluruh pasukannya (nafsu) dan rakyatnya (anggota
badan) taat kepadanya;
c. Bersyukur akan nikmat jabatannya dan pangkat, dan
selalu memohon pertolongan kepada-Nya.176

2. Al-Quddûs (Allah Yang Maha Suci). Bagian seorang


mukmin dari sifat al-Quddûs adalah:
a. Membersihkan “irâdah” (keinginannya) dari syahwat
hewani dan amarah; membersihkan pengetahuan dari
perdebatan tentang sesuatu yang bersifat azali;
b. Membersihkan batin dari yang selain Allah SWT
sehingga tidak ada yang ia inginkan kecuali Allah SWT
dan ganjaran-Nya;
c. Memelihara kebersihan batin meliputi kebersihan
akidah dari kesyirikan; hati dari penyakit hati seperti
takabbur, dengki dan kikir; pergaulan dari silang
sengketa dengan siapapun; dan bersihnya harta dari
yang haram dan syubhat; dan kebersihan lahir men-
cakup jasmani, pakaian, rumah, perabot dan barang-
barang apa saja yang dimliki dari najis dan yang
diharamkan.177

176 Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna, Bagian Kedua, 9.


177 Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna, Bagian Kedua, 10-11.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 175

3. Al-Salâm (Allah Yang Maha Sejahtera). Bagian seorang


mukmin dari sifat al-Salâm adalah:
a. Menjaga hati dari penyakit hati dan memelihara diri
dari perbuatan tercela dan dosa, lahir dan batin;
b. Memelihara keselamatan keluarga, tetangga, lingku-
ngan dan seluruh manusia, dengan mengedepankan
perdamaian; tergambar dengan ucapan salam sesu-
dah shalat dan ketika bertemu antar sesama, yaitu:
“Assalâmu ‘alaykum wa rahmatullâh”.178

4. Al-Mu`min (Allah Yang Maha Mengamankan). Bagian


seorang mukmin dari sifat al-Mu`min:
a. Memberikan rasa aman kepada siapapun yang berada
di sampingnya yang merasa khawatir akan keamanan
dirinya, agama dan kehidupan dunianya;
b. Memberikan keamanan kepada orang lain dari azab
Allah SWT dengan memberikan petunjuk ke Jalan-
Nya;
c. Selalu kontak dengan al-Mu`min sehingga mendo-
rongnya untuk menebarkan rasa aman, dengan demi-
kian ia telah menebarkan sifat al-Mu`min.179

Pola paparan seperti di atas secara konsisten disajikan dari


nama Allah yang pertama (al-Rahmân dalam versi Husin Naparin)
hingga nama yang ke-99 (al-Shabûr). Jika dikumpulkan semua poin-
poin sikap, perilaku dan tindakan (akhlak) yang dikemukakannya
secara keseluruhan maka akan didapatkan sekumpulan perilaku
akhlak mulia yang begitu banyak. Inilah yang diinginkan oleh Husin
Naparin, yaitu seorang mukmin yang dihiasi akhlak mulia dan
terhindar dari akhlak tercela melalui pemahaman dan penghayatan
seorang mukmin terhadap nama-nama Allah. Perlu dicatat bahwa
kumpulan akhlak yang dikemukakannya tidak hanya terbatas pada
akhlak individual, tetapi di dalamnya berisi muatan akhlak terhadap

178 Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna, Bagian Kedua, 12.


179 Husin Naparin, Memahami Al-Asma Al-Husna, Bagian Kedua, 14,
176 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

sesama manusia (akhlak sosial), dan akhlak terhadap lingkungan


sekitar. Tidak kalah pentingnya adalah akhlak kepada Allah.

E. Dimensi Teologis dan Sufistik Al-Asmâ` Al-Husnâ Perspektif


Muhammad Bakhiet

Secara umum paparan Muhammad Bakhiet mengenai al-


Asmâ` al-Husnâ dalam bukunya: Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ Jalan
Menuju Ma’rifatullâh lebih banyak menyajikan dimensi sufistik dari-
pada dimensi teologis (masalah ilmu Kalam). Paparan sufistiknya ter-
hadap Asma Allah juga lebih banyak menyajikan dimensi insaniyyah
dalam arti ia lebih banyak membahas fungsi nama-nama itu untuk
kesalihan dan kebaikan moralitas (akhlak) muslim. Meski demikian
dalam beberapa bagian ia juga menyajikan paparan Asma Allah
dengan perspektif tasawuf falsafi/Nazhariy. Berikut ini beberapa
contoh tren pembahasan Muhammad Bakhiet terkait al-Asmâ` al-
Husnâ.
Salah satu contoh dimensi tasawuf akhlaqi dalam paparan
Asma Allah adalah ketika ia membahas nama “al-‘Alîm”. Ketika mem-
bahas nama ini, ia menyajikan beberapa tugas sebagai akhlak muslim
terhadap Allah al-‘Alîm. Menurut Bakhiet, akhlak orang yang beriman
dengan nama Allah “al-‘Alîm” adalah dengan melaksanakan dua tugas
berikut. Tugas pertama, merasa cukup dengan pengetahuan Allah
ketika melakukan ketaatan. Maksudnya, ibadah apapun yang dilaku-
kan, baik salat maupun ibadah lainnya, ia tidak peduli apakah ibadah-
nya diketahui atau tidak diketahui orang lain, yang penting baginya
adalah cukup Allah saja yang mengetahui ibadahnya dan ia puas de-
ngan pengetahuan Allah itu. Karena itu, ia bisa ikhlas ketika beriba-
dah, karena ikhlas adalah merasa cukup dengan pengetahuan Allah.
Berbeda dengan riya yang tidak puas dengan pengetahuan Allah swt.
Tugas kedua, selalu sibuk dengan ilmu pengetahuan semasa hidup-
nya, yakni menjadi orang berilmu (al-‘âlim), penuntut ilmu (al-
muta’allim), atau menjadi pendengar ilmu (al-sâmi’) dan tidak akan
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 177

menjadi orang keempat, yakni bukan berpengetahuan, bukan penun-


tut ilmu, bukan pula pendengar.180
Pola yang sama dapat pula dilihat ketika ia membahas nama
Allah “al-Bashîr”. Di sini Bakhiet mengemukakan bahwa jika orang
yang beriman dengan nama Allah al-Bashîr maka baginya ada dua
tugas berupa akhlak, yaitu untuk membenarkan dan membuktikan
keyakinan itu. Dua tugas itu adalah, pertama, memelihara pengliha-
tan dari yang diharamkan. Orang yang dapat melakukan hal ini akan
merasakan manisnya ibadah. Beberapa hal yang diharamkan untuk
dilihat adalah (1) laki-laki memandang seluruh tubuh perempuan,
kecuali jika ada alasan syar’iy yang membolehkannya, (2) perempuan
melihat seluruh badan laki-laki kecuali jika ada alasan syar’iy yang
membolehkannya, (3) perempuan memandang antara pusat dan
lutut sesama perempuan, (4) laki-laki memandang aurat laki-laki, (5)
memandang hina sesama muslim, (6) Melihat ke dalam rumah orang
lain tanpa seizin pemiliknya, (7) memandang sesuatu yang disembu-
nyikan oleh pemiliknya, dan (8) memandang sesuatu yang munkar.
Tugas kedua, meyakini bahwa dirinya selalu dilihat oleh Allah. Selalu
ingat bahwa Allah senantiasa melihatnya adalah bagian dari murâqa-
bah orang yang ihsân.181
Dimensi sufisme falsafi dalam paparannya mengenal al-
Asmâ` al-Husnâ dapat dilihat pada beberapa bahasannya, di antara-
nya adalah ketika ia membahas nama “al-Khabîr”. Di sini Bakhiet
membahas mengenai Nur Muhammad yang biasa dibahas dalam
wacana tasawuf falsafi. Bakhiet menjabarkannya sebagai berikut.
Menurutnya, segala sesuatu yang ada di alam ini diciptakan dari Nur
Muhammad saw dan Nur Muhammad diciptakan oleh Allah dari Nur-
Nya. Yang awal diciptakan oleh Allah swt pada alam ini adalah Nur
Nabi Muhammad Saw. Dari Nur Nabi itu terpancar segala sesuatu
yang ada melalui ciptaan demi ciptaan, baik yang sekarang maupun
yang akan datang. Segala sesuatu tidak bisa lepas dari pengetahuan
Allah swt karena segala sesuatu datangnya dari Nur Nabi Muhammad
saw dan Nur Nabi dari Allah swt. Adapun maksud Nur Nabi tercipta

180 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 106-107.


181 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 141-144.
178 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

dari Allah swt yaitu dari zat Allah swt, artinya Nur Nabi diciptakan
tidak melalui “kun”, sedang makhluk selain Nur Nabi diciptakan
melalui “kun” dan “kun” ini Kalam Allah swt. Kalam Allah swt itu isim
sifat sementara nur adalah isim zat. Jadi Nur Muhammad itu dicipta-
kan Allah dari isim zat dan dari Nur Muhammad itu Allah swt men-
ciptakan segala sesuatu, sehingga segala sesuatu itu tidak bisa terle-
pas dari pengetahuan Allah karena berhubungan dengan Nur zat.
Sebagai perumpamaan, di badan seseorang diletakkan alat berupa
magnet, dan magnet itu berhubungan dengan seseorang berupa alat
perekam. Kemana saja orang yang membawa magnet itu akan selalu
diketahui dan jelas terlihat lewat layar yang ada. Seperti itulah segala
sesuatu yang tidak terlepas dari Nur Nabi, sedang Nur Nabi berasal
dari Nur Allah. Jadi segala sesuatu apapun selalu diketahui oleh Allah
dan diketahui oleh Nabi.182
Masalah Nur Muhammad kembali dibahas secara singkat ke-
tika Bakhiet membahas nama Allah “al-Kabîr”. Di sini ia mengemuka-
kan bahwa menurut ulama sufi, akal itulah yang biasanya dikatakan
Nur Muhammad. Pada hakikatnya Nur Muhammad itu adalah akal.
Dengan akal Allah swt menciptakan seluruh yang ada di dunia. 183
Konsep tasawuf falsafi juga disajikan oleh Muhammad
Bakhiet ketika ia memaparkan nama “al-Raqîb”. Dalam ulasannya ia
mengemukakan tentang konsep al-Baqâ` dan tahapan-tahapan yang
harus ditempuh untuk mencapainya. Ulasan Bakhiet di bawah ini
memperlihatkan bagaimana ia memaparkan konsep baqâ` dan
tahapannya (teks diubah ke Latin).

Kedudukan yang paling tinggi dalam ilmu tasawuf adalah


maqâm baqâ`, maqâm inilah yang selalu diimpikan oleh para
murid yang menghendaki kedudukan yang tinggi di sisi Allah
swt.

Seseorang tidak akan bisa mencapai maqâm baqâ` bi Allâh jika


belum melewati tangga-tangganya, yaitu maqâm murâqabah.

182 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 169-170.


183 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 214.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 179

Jika kita tidak menginginkan maqâm baqâ`, berarti kita tidak


ada keinginan untuk ma’rifat kepada Allah swt, karena orang
yang ma’rifat kepada Allah swt harus melalui maqâm baqâ` ini.
Kata ulama sufi: “Jika seseorang tidak menghendaki yang de-
mikian berarti orang itu impoten, ia tidak ingin merasai”.

Orang yang punya jiwa impoten tidak ingin mengenal Allah


swt, sedangkan orang yang punya keinginan mengenal Allah
swt, berusaha mencapai maqâm baqâ`, mereka itulah orang-
orang yang punya jiwa yang sehat dan punya selera yang
tinggi. Dan murâqabah inilah tangga mencapai maqâm baqâ`.

Dalam perjalanan menuju Allah swt, sebelum kita mencapai


maqâm baqâ` itu, kata ulama ahl al-sulûk kita harus terlebih
dahulu melaksanakan atau mencapai beberapa macam yang
harus dilalui, yaitu: (1) musyârathah, (2) murâqabah, (3)
muhâsabah, (4) mujâhadah, (5) mu‘âqabah, (6) muhâdharah,
(7) mukâsyafah, (8) musyâhadah, (9) fanâ` fî Allâh, (10) baqâ`
bi Allâh.184

Beberapa tahapan (tangga) untuk mencapai maqâm baqâ`


yang disebutkan di atas harus dijalani secara berurutan dari tahapan
satu hingga tahap kesepuluh. Mengenai makna masing-masing kese-
puluh tahapan ini, Bakhiet menjelaskannya sebagai berikut. Musya-
rathah bermakna seorang murid mensyaratkan dirinya sendiri untuk
melaksanakan segala kebaikan dan meninggalkan maksiat. Murâqa-
bah bermakna bahwa seorang murid selalu merasa dirinya dan
gerak-geriknya diawasi oleh Allah. Muhâsabah bermakna melakukan
perhitungan terhadap dirinya. Mujâhadah bermakna berjuang mela-
wan nafsu secara terus-menerus. Mu’âqabah bermakna menindak
nafsu yang telah melanggar persyaratan (tahapan pertama), misalnya
hukumannya dengan membaca Alquran dua juz. Muhâdharah
bermakna setiap saat merasakan kehadiran Allah swt. Mukâsyafah
bermakna membuka keadaan diri di hadapan Allah swt dengan
segala kelemahan dan kelalaian diri. Musyâhadah bermakna menyak-

184 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 249.


180 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

sikan Allah pada setiap sesuatu yang dilihat. Bila musyâhadah ini
dapat dilakukan maka akan didapat beberapa cahaya, yaitu (1)
lawâ`ih (seperti kilat menyambar), (2) thawâli’ (lebih lama sedikit
dari yang pertama), dan lawâmi’, di sini diberi maqâm fanâ`, hilang
segala sifat tercela berganti dengan sifat mulia. Di sinilah akhirnya
maqâm baqâ` diberikan.185
Konsep-konsep tasawuf falsafi kembali dikemukakan oleh
Bakhiet ketika ia memaparkan nama Allah “al-Wâhid”. Dalam papa-
rannya mengenai nama ini, ia menjelaskan keesaan Allah ke dalam
tiga bagian. Pertama, Maha Tunggal pada Dzat. Hakikat menauhidkan
Dzat Allah adalah tidak melihat sesuatu melainkan mata hati melihat
Allah baik sebelum maupun sesudah melihat sesuatu itu. Apapun
yang dilihat oleh mata zhahir maka mata hati melihat Allah (pada-
nya) baik sebelum atau sesudahnya, atau penglihatan mata zhahir
dan mata hati terjadi bersamaan. Kedua, Maha Tunggal pada sifat.
Hakikat menauhidkan Allah pada sifat adalah tidak melihat sesuatu
apapun melaikna mata hati melihat bahwa sesuatu itu bekas dari
sifat Allah. Jika melihat sesuatu yang memiliki sifat maka itu adalah
kezhahiran dari sifat Allah swt, baik sebelum atau sesudah, atau
bersamaan ketika melihat sesuatu. Ketiga, Maha Tunggal pada af’âl.
Hakikat tauhid af’âl adalah tidak melihat sesuatu melainkan hati
melihat sesuatu sebagai ciptaan atau karya Allah swt. atau hasil dari
perbuatan Allahswt. Untuk bisa mengesakan Allah pada af’âl adalah
dengan meyakini bahwa tidak ada yang memberi bekas pada segala
sesuatu melainkan bekas dari perbuatan Allah.186 Paparan semacam
ini selain mengandung unsur ajarna tasawuf juga mengandung unsur
bahasan Kalam.
Berikut ini adalah pemaparan mengenai nama Allah “al-
Wâhid” oleh Muhammad Bakhiet dengan menggunakan perspektif
teologi (Ilmu Kalam). Pada bahasannya ini ia mengaitkannya dengan
konsep sebab dan musabbab. Menurutnya, sebab-sebab yang ada
sebagaimana terlihat oleh manusia, seperti adanya kenyang sebab
makan, hilang dahaga sebab minum air, terbakar sebab tersentuh api,

185 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 250-252.


186 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 383.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 181

basah ketika tersentuh air, itu hanyalah sebab yang tidak bisa
memberi bekas. Yang memberi bekas hanyalah perbuatan Allah.
Untuk memahami sebab dan musabbab dengan i’tikad yang benar ia
mengemukakan empat golongan yang memiliki pemahaman yang
berbeda. Golongan pertama, mereka yang berkeyakinan bahwa sebab
itu bisa memberi bekas, seperti makan, minum dan lain sebagainya,
antara sebab dan musabbab saling berkaitan, yang mengenyangkan
adalah makan, yang menghilangkan dahaga adalah minum, yang
membakar adalah api, dan yang membasahi adalah air. Para ulama
sepakat bahwa i’tiqad seperti ini adalah kafir. Golongan kedua,
mereka yang mempercayai bahwa sebab tidak memberi bekas pada
dirinya sendiri, tetapi memberi bekas dengan kekuatan yang diletak-
kan Allah swt padanya. Golongan ini berkeyakinan bahwa makanan
tidak mengenyangkan, minuman tidak menghilangkan dahaga, api
tidak menghanguskan, dan air tidak membasahi. Makan bisa menge-
nyangkan karena Allah meletakkan kekuatan itu pada makanan,
demikian juga dengan air dan api. Semuanya memberi bekas karena
adanya kekuatan yang diletakkan Allah padanya. Itikad golongan
kedua ini menurut ulama dinilai fasiq. Golongan ketiga, mereka yang
mempercayai bahwa sebab tidak memberi bekas, yang memberi
bekas adalah perbuatan Allah melalui perantara sebab dan musab-
bab, seperti jika makan akan kenyang dan jika tidak makan tidak
kenyang. Jika makan maka Allah mengenyangkannya, jika tidak
makan maka tidak akan ada kenyang. Pendapat ketiga ini, menurut-
nya, merupakan pendapat orang jahil dan bisa membawa kepada
kafir. Golongan keempat, mereka yang mempercayai bahwa sebab
tidak bisa memberi bekas, dan tidak pasti dengan adanya sebab lalu
ada musabbab, yang memberi bekas adalah fi’il atau perbuatan Allah
swt. Seperti bila makan belum tentu kenyang, minum belum pasti
dahaga akan hilang, api belum tentu membakar, air belum tentu
membasahi. Adanya kenyang karena sebab makan, itu karena ada
bekas dari fi’il dan irâdah Allah swt. namun makan itu sendiri tidak
pasti menimbulkan kenyang, tersentuh api belum tentu terbakar.
Inilah, menurut Bakhiet, itiqad yang benar dan selamat. 187

187 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 384-389.


182 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

F. Dimensi Akhlak Al-Asmâ` Al-Husnâ: Meneladani Akhlak


Allah

Paparan yang cukup menonjolkan aspek peneladanan sifat-


sifat Allah melalui asma-Nya secara dominan diperlihatkan oleh
Zurkani Jahja, Husin Naparin dan Muhammad Bakhiet lewat karya
mereka masing-masing mengenai al-Asmâ` al-Husnâ. Haderanie
sebenarnya secara umum banyak menekankan aspek ini tetapi ia
tidak memberikan porsi khusus secara konsisten dalam karyanya
sehingga pembaca bisa saja tidak menyadari aspek ini dalam
karyanya. Namun sebagai bukti bahwa ia juga menyajikan hal ini
dapat dilihat pada paparannya mengenai nama Allah “al-Halîm”.
Ketika memaparkan nama ini, Haderanie mengemukakan pernyataan
yang menurutnya adalah hadis, yaitu: “Takhallaqû bi khulûq Allâh
(berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah)”. Berdasarkan hadis ini,
sifat Halîm Allah seharusnya menjadi akhlak muslim. Haderanie
menyatakan bahwa muslim/mukmin dituntut untuk menghiasi diri
dengan sifat hilm (rasa iba dan santun). Rasa iba dan santun
merupakan perasaan yang amat halus yang terletak pada bagian
terdalam pada hati manusia. Orang yang selalu bersikap lemah-lem-
but, baik tutur bahasanya, suka membantu orang yang menderita
tanpa meminta pujian atau ingin pamer, akan digelari masyarakat
sebagai orang yang pengiba dan penyantun. Menurutnya, amat
beruntung orang yang memiliki watak demikian karena telah
menerima karunia cahaya “hilm” dari Allah, al-Halîm.188 Sayangnya,
pola paparan semacam ini tidak konsisten diaplikasikan oleh
Haderanie dalam karyanya.
Untuk memberikan gambaran bagaimana para ulama Kali-
mantan memaparkan dimensi akhlak al-Asmâ` al-Husna maka beri-
kut ini akan dikemukakan beberapa Asma Allah dengan deretan
akhlak yang harus dimiliki oleh seorang mukmin sebagai bentuk
peneladanan terhadap nama-nama itu. Di sini sengaja dipilih bebe-
rapa nama yang ‘tampaknya tidak pantas’ ditiru oleh seorang

188 Haderanie, Asmaul Husna, 145.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 183

mukmin dan bagaimana beberapa ulama di bawah ini ‘menyiasati’


dimensi akhlaknya.

Tabel 5. Sampel Al-Asmâ` Al-Husnâ dan Dimensi Akhlaknya Menurut


M. Zurkani Jahja, Husin Naparin dan Muhammad Bakhiet
Al-Asmâ` Perspektif
No Dimensi Akhlak
al-Husnâ Ulama
Menerima dengan lapang dada
segala kehendak Tuhan atas diri-
nya dan tidak menggerutu bila
tujuannya tidak tercapai. Ia sadar
bahwa kehendak Tuhan belum
sesuai dengan kehendaknya. Ke-
hendak Tuhan yang sebenarnya
belum diketahui kecuali setelah
Zurkani Jahja
sesudah perbuatan mencapai
finishnya. Oleh karena itu ia bukan
penganut Jabariyyah yang hanya
fatalis menunggu nasib. Akan te-
tapi ia menggunakan potensi yang
diberikan untuk bekerja mencapai
1 Al-Jabbâr tujuan sesuai hukum-hukum
Tuhan yang berlaku di alam ini. 189
Bagian dari seorang mukmin dari
sifat al-Jabbâr adalah (1) mengi-
mani sifat ini dan mentaati sya-
ri’at-Nya; (2) menerima dengan
lapang dada berlakunya kehen-
Husin Naparin
dak-Nya terhadap diri; (3) beru-
saha dengan azam (tekad), se-
dangkan hasilnya diserahkan ke-
pada Allah SWT, itulah tawak-
kal. 190
Muhammad Buah dari keimanan terhadap al-
Bakhiet Jabbâr adalah melakukan dua hal.

189 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 76-77.


190 Husin Naparin, Memahami AL-Asma Al-Husna, Bagian Kedua, 19.
184 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Pertama, harus mengerti kehen-


dak Allah swt yang Maha Lembut
(mensyukuri, merasakan, dan me-
renungi nikmat) sebelum Allah
SWT memaksakan kehendak-Nya
(untuk mensyukuri nikmat-Nya),
baik dalam masalah harta, kese-
hatan, pasangan hidup dan lain-
nya. Kedua, harus mampu mene-
rapkan kebaikan-kebaikan yang
dikehendakinya terhadap orang-
orang dekatnya, seperti anak-
anak dan dan keluarganya, bah-
kan juga kepada makhluk Allah
SWT secara umum. Agar kehen-
daknya dapat dipatuhi orang lain
maka ia harus terlebih dahulu
menjadi orang mulia, setelah
menjadi orang mulia barulah ke-
hendaknya dapat dilaksanakan
orang lain. 191
Semua sikap orang tidak boleh
terjadi, karena semua penyebab
arogansi (pengetahuan, kekuasa-
an dan kekayaan) tersebut sema-
ta-mata pemberian orang, bukan
berasal dari diri sendiri. Hanya
Allah yang berhak bersikap aro-
gan karena semua itu milik Allah
2 Al-Mutakabbir Zurkani Jahja
semata, yang diberikan kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan
diambil-Nya kembali kapan Dia
kehendaki. Kekuasaan, kekayaan,
dan ilmu pengetahuan yang dibe-
rikan Allah itu, tidak boleh diteri-
ma dengan sikap arogan kepada
sesama manusia, tetapi diterima

191 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 57-58.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 185

dengan rasa syukur dan terima


kasih kepada Allah. 192
Bagian seorang beriman dari sifat
al-Mutakabbir ialah: (1) mengi-
mani bahwa hanya Allah SWT
yang berhak memiliki sifat Al-
Mutakabbir, tetapi tidak mereflek-
sikan dalam kehidupan karena
sifat ini sangat tercela jika dimiliki
Husin Naparin
oleh manusia; (2) tidak membe-
sarkan diri (takabbur), jika memi-
liki kekayaan, pangkat dan jaba-
tan, ilmu dan kecerdasan karena
semua itu adalah milik Al-Muta-
kabbir; menyadari ancaman Allah
SWT akan akibat takabbur. 193
Apabila seorang hamba sudah
beriman dengan nama Allah swt
al-Mutakabbir ini, maka keima-
nannya itu akan menimbulkan
beberapa akhlak yang terpuji:
Pertama, ia akan bersifat tawadhu
(rendah hati). Sifat tawadhu ini
akan melahirkan beberapa sifat
yang mulia: (1) menerima yang
Muhammad
benar dari siapapun, baik dari
Bakhiet
orang yang mulia ataupun tidak,
asalkan yang benar pastilah dite-
rimanya, (2) suka berbakti kepa-
da orang lain atau suka menolong
orang lain, (3) selalu bermanis
muka di hadapan siapapun, (4)
mudah untuk ditemani. Kedua,
melihat sesuatu selain Allah SWT
(termasuk diri sendiri) kecil dan

192 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 83.


193 Husin Naparin, Memahami AL-Asma Al-Husna, Bagian Kedua, 22.
186 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

tidak berarti, yang besar hanya


Allah. 194
Seorang mrukmin yang bertuhan-
kan al-Muntaqim seharusnya me-
naruh dendam terhadap musuh-
musuh Tuhan. Musuh Tuhan yang
utama pada diri manusia adalah
hawa nafsu, sebab semua keja-
hatan dan pelanggaran terhadap
aturan-aturan Tuhan disebabkan
Zurkani Jahja
oleh hawa nafsu. Begitu pula seo-
rang mukmin yang percaya bahwa
Tuhan akan menyiksa orang yang
durhaka, niscaya ia akan segera
bertobat dari segala kesalahan-
nya, agar dosanya jadi sirna dan ia
terlepas dari siksa yang disedia-
kan Allah. 195
3 Al-Muntaqim Bagian seorang mukmin dari sifat
Al-Muntaqim adalah: (1) mena-
namkan rasa takut akan azab
Allah SWT, dengan rasa takut itu
menghindarkan diri dari segala
macam kemaksiatan; (2) mena-
namkan rasa takut hanya kepada
Allah SWT, dengannya lalu tum-
Husin Naparin buh keberanian berjuang untuk
membela agama-Nya dan dalam
menghadapi hidup dan kehidu-
pan; (3) memperingatkan musuh-
musuh Allah dan para pelaku
maksiat akan adanya azab Allah
SWT yang dahsyat; di samping
memelihara diri agar tidak tunduk
kepada nafsu hewani yang berten-

194 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 61-63.


195 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 613-614
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 187

tangan dengan ajaran-ajaran-


Nya. 196
Orang yang beriman dengan nama
Allah swt al-Muntaqim mesti ber-
Muhammad akhlak atau bersifat dengan (1)
Bakhiet mesti takut kepada Allah swt, dan
(2) menyiksa musuh-musuh-Nya
(salah satunya nafsu). 197
Seseorang mukmin harus mengi-
kuti etika dalam berakidah, bah-
wa Allah-lah yang menjadikan
sesuatu mudarat. Tetapi dalam
pembicaraan sehari-hari, ia harus
Zurkani Jahja
mengucapkan bahwa hal itu ada-
lah berasal dari dirinya sendiri.
Janganlah sesuatu yang jelek
(mudarat) disandarkan kepada
Allah. 198
Bagian seorang mukmin dari
kedua sifat ini (al-Dhâr dan al-
Nâfi’) adalah: (1) mengharapkan
4 Al-Dhâr
kemanfaatan dan menolak kemu-
daratan hanya kepada Allah SWT
yang bersifat al-Dhâr dan al-Nâfi’,
tidak kepada yang lain; (2) tidak
Husin Naparin
melakukan kemudaratan bagi diri
sendiri dan alam sekitar, bahkan
berupaya membawa manfaat bagi
orang lain di manapun berada dan
kapanpun; (3) sabar menghadapi
kemudaratan dan menerima ke-
baikan. 199
Muhammad Orang yang beriman dengan nama
Bakhiet Allah swt al-Dhârr (dan al-Nâfi’)

196 Husin Naparin, Memahami AL-Asma Al-Husna, Bagian Kedua, 129.


197 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 457-458.
198 Zurkani Jahja, 99 Jalan, 673.
199 Husin Naparin, Memahami AL-Asma Al-Husna, Bagian Kedua,147.
188 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

akan takut kepada Allah karena


Allah swt mampu mendatangkan
kemudaratan kepadanya, dan ia
berharap kepada Allah karena
nama-Nya al-Nâfi’ agar apa yang
diberikan kepadanya membawa
manfaaat dunia dan akhirat, dan
ia hanya bersandar kepada Allah
Swt. Inilah tiga perkara buah dari
keimanan kepada nama Allah swt
al-Dhârr dan al-Nâfi’, yaitu: (1)
khawf (takut kepada Allah Swt),
(2) rajâ` (mengharap hanya pada
Allah Swt), dan (3) tawakkal
(bersandar hanya kepada Allah
Swt). 200

200 Muhammad Bakhiet, Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ, 525.


Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 189

BAB VII

VARIAN, KESINAMBUNGAN
DAN PERUBAHAN PEMIKIRAN

A. Varian Pemikiran Ulama Kalimantan di Seputar Al-


Asmâ` Al-Husnâ

Paparan pada bab-bab sebelumnya menunjukkan bahwa


pada dasarnya konsep-konsep al-Asmâ` al-Husnâ yang dikemu-
kakan oleh ulama Kalimantan memiliki banyak kesamaan. Ada-
nya kesamaan itu salah satunya disebabkan oleh latar belakang
tradisi keagamaan mereka yang sama, yaitu sama-sama berla-
tar tradisi Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja). Mereka semua
menganut teologi Asy’ariyyah dan sufisme al-Ghazali, mazhab
fiqih Syafi’iy. Mereka juga memiliki banyak kesamaan dalam
merujuk pemikiran dari ulama lainnya yang diakui oleh Aswaja.
Meski kadar keterikatan mereka dengan tradisi ini berbeda,
tetapi mereka lebih banyak berada dalam lingkaran tradisi
pemikiran Islam yang sama.
Varian pemikiran yang akan dikemukakan di bawah ini
lebih banyak menunjukkan tren atau kecenderungan masing-
masing ulama dalam memaparkan al-Asmâ` al-Husnâ. Pada
umumnya paparan mereka memiliki dua dimensi, yaitu dimen-
si ilahiyyah (teosentris) dan dimensi insaniyyah (antroposen-
tris). Paparan dimensi ilahiyyah mengarah pada pemaknaan
dan pemahaman terhadap sifat-sifat atau “kepribadian” Allah
190 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

melalui Asma-Nya. Dimensi ini mengarah pada ma’rifah kepada


Allah. Sementara paparan dimensi insaniyyah mengarah pada
dua dimensi, yaitu dimensi ibadah (doa, zikir, dan wirid) dan
dimensi akhlak (takhalluq). Dimensi ibadah mengarah pada
pembentukan kesalihan dan ketakziman hamba dalam beriba-
dah, sementara dimensi akhlak mengarah pada pembentuk
karakter (akhlak) muslim melalui peneladanan nama-nama
Allah yang berjumlah 99 nama itu. Varian-varian semacam ini-
lah yang akan dilihat berikut dengan pendekatannya masing-
masing.
Varian pemikiran ulama terkait al-Asmâ` al-Husnâ dapat
dipilah menjadi beberapa tren pemikiran. Varian pertama,
pemikiran dan pemaparan dengan pendekatan ritualistik.
Paparan dengan pendekatan ini lebih menekankan dimensi
ibadah. Ulama dengan pendekatan ini memaparkan al-Asmâ`
al-Husnâ dengan menonjolkan fungsi Asma Allah sebagai sara-
na berdoa dan menjadi bacaan-bacaan zikir dan wirid. Aspek
fadhilat dan khasiat masing-masing nama Allah menjadi bagian
penting dalam pendekatan ini.
Ulama Kalimantan yang paling menonjol pada varian ini
adalah Husin Qadri melalui karyanya, Senjata Mu’min. Dalam
hal ini, Husin Qadri belum ada duanya, karena secara keseluru -
han paparannya mengenai al-Asmâ` al-Husnâ mewakili tren ini.
Ulama berikutnya yang juga cukup banyak mengemukakan
khasiat dan fadhilat al-Asmâ` al-Husnâ adalah Haderanie HN.
Hanya saja paparan Haderanie tidak sebanyak Husin Qadri.
Haderanie hanya mengemukakan aspek ini pada beberapa
nama saja, tidak konsisten secara keseluruhan. Nama-nama
yang tidak dipaparkan fadhilat dan khasiatnya lebih banyak
dibanding nama-nama Allah yang disajikan fadhilat dan kha-
siatnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Haderanie memang
tidak memfokuskan bahasannya mengenai hal itu. Dia hanya
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 191

menyisipkan bacaan (doa, zikir dan wirid yang diambil dari


nama-nama Allah) sebagai pelengkap dan penutup paparannya
pada nama tertentu, dan itu pun hanya pada beberapa nama
saja.
Ulama berikutnya, Husin Naparin, tidak menyebutkan
aspek fadilat dan khasiat setiap nama, tetapi ia hanya menyaji-
kan sejumlah bacaan dan teks doa al-Asmâ` al-Husnâ. Yang
paling sedikit memaparkan aspek ini adalah Zurkani Jahja dan
Muhammad Bakhiet. Zurkani Jahja hanya menyajikan doa al-
Asmâ` al-Husnâ pada bagian akhir bukunya. Muhammad Bak-
hiet hanya menyajikannya beberapa nama saja. Setidaknya ada
tiga nama yang disebutkan fadhilat dan khasiat membacanya,
yaitu al-Fattâh, al-Muhaymin dan al-Bashîr (Pada nama al-
Bashîr, Bakhiet menyajikan bacaan: “Allâhu ma’iy, Allâhu nâzhi-
run ilayya, Allâhu syâhidun ‘alayya”).
Varian kedua, pemaparan al-Asmâ` al-Husnâ dengan
pendekatan teologi. Pendekatan ini paling dominan digunakan
oleh M. Zurkani Jahja. Meski perspektif teologi yang digunakan
adalah perspektif teologi Asy’ariyyah terutama teologi al-
Ghazali, namun ia mengadaptasikannya dengan modernitas.
Karena itu dalam paparannya ia selalu menekankan perlunya
aktivisme dan menghindari sikap fatalisme dalam menghadapi
kehidupan kekinian. Ia juga banyak membahas tentang hukum
kausalitas dan sunnatullah saat memaparkan asma Allah. Dia
menekankan untuk pentingnya menaati sunnatullah itu sambil
tetap mengingatkan bahwa “mukjizat” yang tidak sejalan de-
ngan kebiasaan yang berlaku dalam hukum sunnatullah itu bisa
saja terjadi. Di samping itu, dalam beberapa kesempatan, ia
juga memamfaatkan teori-teori sains dalam mengulas nama
Allah, seperti teori Big Bang (dentuman besar) dan Big Crunch
(pengerutan besar) ketika memaparkan alam semesta yang
berasal dari “tiada” kemudian dikembalikan menjadi “tiada”.
192 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Meski dimensi teologi dominan dalam paparannya, tetapi ia


juga dalam beberapa kesempatan juga menggunakan konsep
tasawuf seperti muhâsabah (ketika memaparkan al-Hasîb),
mahabbah (ketika memaparkan al-Jalîl), dan murâqabah
(ketika memaparkan al-Raqîb).
Secara umum, paparan teologis Zurkani Jahja mengenai
al-Asmâ` al-Husnâ mengarah pada dua dimensi, yaitu dimensi
ilahiyyah (ma’rifah) dalam rangka mengenal ‘kepribadian’ Allah
dan dimensi insaniyyah dalam rangka bagaimana makna-mak-
na nama Allah itu disadari, dihayati, dilekatkan, dan dijadikan
sebagai perilaku dan pribadi muslim sesuai dengan kemam-
puan dan kapasitasnya sebagai manusia (takhalluq).
Varian ketiga, pemaparan al-Asmâ` al-Husnâ dengan
menggunakan pendekatan tasawuf. Pada pendekatan ini terpo-
la lagi menjadi dua varian, yaitu ada yang menggunakan tasa-
wuf falsafi dan ada pula yang menggunakan pendekatan tasa -
wuf akhlaqi (tasawuf akhlak). Pemaparan dengan pendekatan
tasawuf falsafi terdapat pada karya Dja’far Sabran, Miftah
Ma’rifah, dan Haderanie pada bukunya Permata yang Indah,
yakni pada bahasan mereka tentang tawhîd al-Asmâ`. Tawhîd
al-Asmâ` merupakan bagian dari empat rangkaian konsep
tauhid sufistik, yaitu tawhîd al-Af’âl, tawhîd al-Asmâ`, tawhîd
al-Shifât dan tawhîd al-Dzât. Ulama lainnya seperti Muhammad
Bakhiet juga mengulas konsep ini secara sepintas. Ulasan yang
lebih singkat hanya mengenai tawhîd al-af’âl, tawhîd al-shifât
dan tawhîd al-Dzât (tanpa tawhîd al-Asmâ`) ketika membahas
nama “al-Wâhid”. Tetapi ia tidak memberikan rincian lebih luas
sebagaimana yang dilakukan oleh Dja’far Sabran dan Hadera-
nie. Zurkani Jahja dan Husin Naparin juga tidak memaparkan
hal ini. Kalau Dja’far Sabran hanya menyajikan konsep tawhîd
al-Asmâ`, Haderanie lebih banyak lagi menyajikan konsep-
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 193

konsep tasawuf falsafi, seperti tajalliy, fanâ` dan baqâ`, wahdah


al-wujûd dan lainnya.
Selanjutnya, model pemaparan al-Asmâ` al-Husnâ de-
ngan menggunakan pendekatan tasawuf akhlaqi (tasawuf
akhlak). Model pemaparan semacam ini secara dominan disaji-
kan oleh Muhammad Bakhiet dalam karyanya Mengenal al-
Asma` al-Husna. Hampir secara keseluruhan paparannya me-
ngenai nama-nama Allah menggunakan pendekatan ini. Meski
ada beberapa sajiannya yang menyinggung konsep tasawuf
falsafi seperti konsep Nur Muhammad, fanâ` dan baqâ`, hijâb,
musyâhadah dan lainnya, dan ada pula menyinggung masalah
yang berkaitan dengan ilmu Kalam seperti masalah taqdir
(ketika membahas “al-Salâm”), sebab dan musabbab (ketika
membahas “al-Wâhid”) dan lainnya, namun jumlahnya tidak
banyak dan sporadis. Termasuk juga dalam varian ini adalah
paparan Husin Naparin dalam bukunya Memahami Al-Asma Al-
Husna (Bagian Kedua). Hanya saja jika dibanding antara kedua-
nya, dimensi tasawuf dalam paparan Muhammad Bakhiet lebih
kental dibanding Husin Naparin yang lebih cenderung ke di-
mensi akhlak.
Bahasa akhlak Husin Naparin lebih banyak mengarah
pada bagaimana bersikap dan berperilaku yang baik terhadap
Allah, diri sendiri dan masyarakat sekitarnya. Meski dominan
menggunakan perspektif akhlak, ia juga menggunakan ilmu
Kalam (teologi) dalam beberapa kesempatan. Adanya perspek-
tif teologi ini disebabkan ia menggunakan buku Zurkani Jahja
sebagai salah saatu referensi membawanya ke bahasan teologi.
Paparan Bakhiet dan Husin Naparin sama-sama mene-
kankan dimensi insaniyyah, yakni bagaimana membentuk akh-
lak rabbâniy pada diri hamba (dmensi takhalluq). Pada paparan
Bakhiet, dimensi insaniyyah lebih dominan daripada dimensi
194 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

ilahiyyah sementara pada Naparin lebih seimbang antara


keduanya.
Varian keempat, paparan yang memberikan keseimba-
ngan dalam penggunaan pendekatan teologi dan pendekatan
tasawuf dalam memaparkan Asma Allah. Tren seperti ini terda-
pat dalam karya Haderanie yang berjudul Asma`ul Husna
Sumber Ajaran aTauhid/Tasawuf. Pada dasarnya, baik Zurkani
Jahja dan Muhammad Bakhiet juga menggunakan dua pende-
katan ini, meski Zurkani Jahja lebih kuat unsur teologisnya
sementara Bakhiet lebih kuat unsur sufismenya. Haderanie
tampaknya lebih seimbang menggunakan keduanya sebagai-
mana terlihat pada judul bukunya. Pendekatan teologis yang
digunakan Haderanie dalam memaparkan Asma Allah menggu-
nakan perspektif teologi Asy’ariyah yang dianutnya sementara
perspektif tasawuf yang digunakan ada yang mengarah pada
tasawuf falsafi/nazhariy dan ada pula yang mengarah pada
tasawuf akhlaqi. Dalam karyanya mengenai al-Asmâ` al-Husnâ
keduanya (falsafi dan akhlaqi) disajikan dengan porsi yang
tampak seimbang. Memang tidak semua Asma Allah disajikan
dengan menggunakan kedua perspektif itu, kadang dalam ba -
nyak paparan ia menyajikan fenomena sosial sebagai ilustrasi
sekaligus memberikan respon kritis padanya. Haderanie juga
banyak mengulas aspek sejarah dan dalam beberapa kesem-
patan menyinggung masalah sains terkait masalah teologi.

B. Kesinambungan dan Perubahan Pemikiran

Kesinambungan pemikiran terkait al-Asmâ` al-Husnâ


dapat dilihat dari adanya paparan mengenai tawhîd al-Asmâ`
menggunakan perspektif tasawuf falsafi/nazhariy. Ulama Kali-
mantan yang membahas ini adalah Dja’far Sabran dan Hadera-
nie H.N. Pemikiran keduanya merupakan kesinambungan dari
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 195

pemikiran ulama Banjar sebelumnya yaitu Syekh Muhammad


Nafis al-Banjari dan Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari.
Paparan Dja’far Sabran tentang tawhîd al-Asmâ` dalam Miftah
al-Ma’rifah dan paparan Haderanie tentang Tawhîd al-Asmâ`
dalam karyanya Permata yang Indah dan Asmau`ul Husna
Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf dipengaruhi oleh kedua ulama
Banjar tadi. Hampir tidak ada perbedaan antara paparan Syekh
Nafis dan Syekh Abdurrahman Shiddiq dengan paparan Dja’far
Sabran dan Haderanie. Haderanie sendiri telah mengalihbaha-
sakan risalah al-Durr al-Nafîs ke Bahasa Indonesia dan menyi-
sipkan penjelasan dan tanya jawab di dalamnya. Sehingga da -
pat dikatakan bahwa konsep ini memang dikutip dari karya
tasawuf salah satu ulama Banjar terkenal itu atau malah
keduanya.
Paparan al-Asmâ` al-Husnâ dengan menggunakan kon-
sep tawhîd al-Asmâ` merupakan pemikiran awal ulama Kali-
mantan (terutama ulama Banjar) terkait al-Asmâ` al-Husnâ,
yaitu pada era Nafis al-Banjari (abad ke-18) dan Abdurrahman
Shiddiq (awal abad ke-20). Setelah parapan dengan perspektif
ini berikutnya, pada dekade 60-an, muncul varian baru dalam
memaparkan al-Asmâ` al-Husnâ. Tren baru ini dapat dilihat
pada karya Husin Qadri, Senjata Mu`min, yang secara khusus
menyajikan fadhilat dan khasiat al-Asmâ` al-Husnâ. Tren ini
tampaknya belum ada yang menyamainya di kalangan ulama
Kalimantan. Karena belum ditemukan adanya buku atau risalah
yang sama dengan karya Husin Qadri ini. Haderanie meski
mengemukakan beberapa keutamaan dan keistimewaan bebe-
rapa nama Allah namun hanya terbatas pada beberapa puluh
nama saja dan jumlahnya tidak sampai setengah dari 99 nama
Allah. Husin Naparin hanya mengemukakan beberapa bacaan
dan doa al-Asmâ` al-Husnâ tanpa menyebutkan apa fadhilat
dan khasiatnya. Zurkani Jahja hanya menyajikan doa al-Asmâ`
196 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

al-Husnâ di akhir bukunya, sementara Muhammad Bakhiet


hanya menyebut fadhilat dan khasiat al-Asmâ` al-Husnâ hanya
beberapa nama saja (kurang dari lima nama).
Pada dekade 90-an dan dekade awal abad ke-21, telah
terjadi perubahan signifikan dibanding sebelumnya. Model
tawhîd al-Asmâ` dan model fadhilat dan khasiat al-Asmâ` al-
Husnâ mengalami pergeseran dengan munculnya tren baru.
Tren baru itu adalah paparan (interpretasi atau pemaknaan) al-
Asmâ` al-Husnâ yang lebih terfokus pada dimensi ilahiyyah
dalam bentuk ma’rifah (mengenal Allah melalui nama-nama-
Nya) dan dimensi insaniyyah dalam bentuk pembentukan akh-
lak (takhalluq) secara bersamaan. Perspektif yang digunakan
tidak lagi semata perspektif tasawuf falsafi (dimensi ilahiyyah)
dan perspektif fadhilat dan khasiat (dimensi ritual), tetapi
menggunakan perspektif yang lebih luas yaitu perspektif teo -
logi (akidah) dan tasawuf (termasuk akhlak). Pada model ini
yang ditekankan adalah mengenal Allah melalui asma-Nya dan
meneladani asma itu serta mempraktikkannya dalam kehidu-
pan seorang muslim. Paparan semacam ini merupakan bentuk
paparan yang bersifat teoantroposentris (dimensi ilahiyyah-
insaniyyah) dari nama-nama Allah. Model paparan semacam ini
menjadi fokus utama karya Zurkani Jahja, Husin Naparin dan
Muhammad Bakhiet. Haderanie meski tidak konsisten dan
tidak secara keseluruhan dapat juga dimasukkan dalam kate-
gori ini terutama pada bukunya Asma`ul Husna Sumber Ajaran
Tauhid/Tasawuf.
Meski secara umum, paparan Zurkani Jahja, Husin
Naparin dan Muhammad Bakhiet bersifat teoantroposentris
(menekankan dimensi ilahiyyah-insaniyyah), dalam banyak
tempat mereka ternyata lebih banyak memaparkan dimensi
antroposentrisnya (dimensi yang menekankan aspek insaniy-
yah) dibanding dimensi teosentris (dimensi ilahiyyah) dari al-
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 197

Asmâ` al-Husnâ. Artinya, dalam memberikan pemaknaan terha-


dap Asma Allah, porsi penjelasan mereka mengenai apa yang
harus diteladani oleh manusia (muslim) dari nama-nama Allah
itu lebih besar daripada penjelasan mengenai bagaimana ka -
rakter Allah secara teologis.
Penekanan pada aspek pembangunan karakter, akhlak
atau kepribadian sebagai implikasi dari pemahaman terhadap
nama-nama Allah terlihat dari beberapa ungkapan yang mere-
ka kemukakan. Zurkani Jahja menggunakan beberapa ungka-
pan seperti “ seorang muslim yang meyakini … akan …”, seo-
rang muslim yang menyadari makna … (nama Allah tertentu),
“penghayatan terhadap makna … (nama Allah tertentu) akan
…”, “seorang muslim yang ingin melekatkan makna nama
terbaik Allah, hendaklah …”, “sikap muslim yang ingin mele-
katkan “baju” ilahi pada dirinya …”, “jika mukmin ingin berpe-
rilaku seperti sifat Tuhan …”, “jika ingin berpribadi seperti …
(nama Allah tertentu)”, dan sejenisnya. Zurkani Jahja banyak
memiliki ungkapan selain beberapa ungkapan tadi yang kese-
muanya mengarah pada bagaimana seorang muslim menelada-
ni kepribadian Allah.
Husin Naparin secara umum menggunakan ungkapan
“bagian seorang mukmin dari sifat … (tergantung nama yang
dibahas) antara lain … dst (dilanjutkan dengan menyajikan
beberapa karakter yang harus dibangun oleh mukmin). Semen-
tara Muhammad Bakhiet mengungkapkannya dengan beberapa
ungkapan seperti “ berakhlak dengan akhlak Allah …”, “menga-
malkan makna-makna …”, “buah dari keimanan terhadap nama
… (tergantung nama yang dibahas) akan menghasilkan akhlak
…”, “iman terhadap nama … akan menimbulkan satu akhlak
untuk meneladani sifat-sifat dari …”, “tugas bagi orang yang
beriman dengan … (nama Allah tertentu)”, “akhlak orang yang
beriman dengan nama Allah …”, “ .. membuahkan satu akhlak
198 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

atau perangai hidup bagi kita …”, “ seseorang yang ingin


meneladani nama Allah …” dan ungkapan sejenis lainnya.
Penyajian semacam ini jelas dipengaruhi oleh Imam al-
Ghazali yang banyak dikutip baik oleh Zurkani Jahja maupun
Muhammad Bakhiet. Zurkani Jahja secara tegas menyebut
karya al-Ghazali, al-Maqshad al-Asna sebagai rujukannya se-
mentara Muhammad Bakhiet, meski tidak menyebut nama
kitab ini dalam karyanya secara langsung, tetapi nama al-
Ghazali sering disebut dalam paparannya mengenai Asma
Allah. Sementara Husin Naparin tidak merujuk secara langsung
pada al-Ghazali, namun karena banyak mengutip tulisan
Zurkani Jahja maka secara tidak langsung ia juga bersinggu-
ngan dengan pengaruh al-Ghazali.
Pengaruh al-Ghazali tidak hanya pada ketiga ulama
Kalimantan ini. Di Indonesia, pengaruh al-Ghazali dalam kon-
teks peneladanan Asma Allah dalam kepribadian muslim juga
dapat dilihat pada M. Qurish Shihab dalam karyanya “Menying-
kap” Tabir Ilahi: Asma al Husna dalam Perspektif Al-Qur`an.
Quraish Shihab menggunakan dua ungkapan atau kata kunci
yang sering ditulisnya secara bergantian, yaitu “menghayati”
dan “meneladani” Asma Allah. Sementara di Timur Tengah
(Mesir), Ahmad Syarbashiy (Dosen Universitas al-Azhar) dalam
karyanya Mawsû’ah: Lahu al-Asmâ` al-Husnâ Dhamîmah ilâ
Asmâ` Allâh al-Husnâ (juz Awwal), salah satu rujukan penting-
nya adalah al-Maqshad al-Asnâ dari al-Ghazali, termasuk ketika
mengurai tentang bagaimana meneladani (ber-takhalluq)
dengan Asma Allah. Beberapa ungkapan yang ia gunakan di
antaranya adalah wa al-takhalluq bi ismi …, wa min adab al-
mu`min ma’a ismi … atau wa min adab al-takhalluq bi ismi …
atau wa yanbaghiy an yatakhallaq al-mu’min bi ismi…, wa
hazhzhu al-mu`min min hâdzâ al-ismi … atau hazhzhu al-‘abdi
min ismi …, dan sejenisnya.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 199

Kehadiran sajian al-Asmâ` al-Husnâ di kalangan ulama


Kalimantan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya menun-
jukkan adanya orientasi baru dalam memaknai nama-nama
Allah. Orientasi baru ini diarahkan untuk membentuk karakter
muslim dengan cara meneladani akhlak atau kepribadian Allah
sebagaimana dipahami dari Asma-Nya. Meski fungsi ta’abbudi
dari al-Asma` al-Husna yakni sebagai doa, zikir dan wirid tetap
dipertahankan meski dalam porsi kecil, namun orientasi uta-
manya adalah bagaimana al-Asmâ` al-Husnâ digunakan untuk
membangun karakter muslim di samping meningkatkan keima-
nan kepada Allah melalui pemahaman terhadap nama-nama-
nya.
Pada sisi lain, orientasi baru yang mengakibatkan terja-
dinya perubahan itu adalah adanya gagasan dan upaya untuk
melengkapi kajian ilmu tauhid yang selama ini berkembang di
kalangan masyarakat. Selama ini, pengajian di kalangan masya-
rakat Kalimantan (khususnya urang Banjar) dalam bidang tau-
hid menggunakan konsep teologi sifat 20 yang bercorak
Asy’ariyyah-Sanusiyyah. Zurkani Jahja melihat bahwa kajian
tauhid yang hanya berkutat pada ajaran sifat 20 harus dileng -
kapi dengan materi baru. Dalam hal ini ia mengusulkan agar
menggunakan al-Asmâ` al-Husnâ untuk menyajikan materi
akidah Islam. Zurkani menginginkan agar materi akidah Islam
yang disajikan kepada umat Islam di era global adalah model
akidah dengan ciri sebagai berikut:

Akidah yang materinya tidak tercerabut dari sumber utama-


nya, Alquran dan hadis, yang konprehensif dan menjamah
semua aspek kehidupan. Akidah yang tersusun dalam bentuk
yang sistematik dan diolah dengan menggunakan bahan-bahan
yang relevan dan aktual. Akidah yang mampu mendorong
keterlibatan aktif manusia dalam segala kesibukan kehidupan
global. Akidah yang mampu menenangkan dan menenteram-
kan jiwa sepanjang hari dalam kehidupan seseorang. Akidah
200 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

yang mampu tidak membuat jiwa belah (split personality) bagi


seseorang karena keterlibatannya dalam kehidupan budaya
dan sains modern. Akidah yang mampu menangkal segala
pelbagai unsur yang berbahaya, baik dari buih kemajuan
filsafat dan sains modern maupun dari agama sempalan yang
sering muncul kepermukaan. Dan tentu saja, akidah yang
mampu mendorong umat mematuhi segala aturan yang islami
dalam kehidupan, baik dalam hubungannya dengan Allah,
maupun dengan sesama manusia dan alam senesta. 1

Materi akidah yang ideal dan selaras dengan kehidupan


global sebagaimana yang digagas oleh Zurkani Jahja salah
satunya adalah menyertakan materi tentang al-Asmâ` al-Husnâ
untuk melengkapi (atau bahkan menggantikan) materi Sifat 20.
Dalam hal ini ia menulis:

Untuk menyajikannya sebagai materi akidah yang konpre-


hensif memang memerlukan suatu penelitian yang intensif
terhadap Alquran dan hadis sebagai sumber akidah, juga
terhadap literatur Kalam sebagai kekayaan kultural berharga
bagi umat Islam. Yang penting hasilnya menggambarkan impli-
kasi semua objek kepercayaan tersebut bagi gerak kehidupan
manusia yang memerlukan akidah tersebut. Barangkali penge-
nalan terhadap Allah melalui nama-nama-Nya (al-Asma` al-
Husna) lebih relevan dengan maksud ini ketimbang hanya
dengan mengenal sifat-sifat-Nya, seperti selama ini. al-Asma`
al-Husna memang lebih komplit dibanding “sifat 20”, dan lebih
berorientasi kepada segala masalah kehidupan manusia. 2

Tidak hanya itu, paparan Zurkani Jahja tentang al-Asmâ`


al-Husnâ sebenarnya merupakan perwujudan dari gagasannya

1 M. Zurkani Jahja, Teolohi Islam Ideal Era Global (Pelbagai Solusi Problem
Teologis), Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Madya Ilmu Filsafat Islam
pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin (16 Agustus 1997)
(Banjarmasin: IAIN Antasari, 1997), 9-10.
2 Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal Era Global, 11-12.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 201

mengenai teologi ideal di era global. Selain menggagas penggu -


naan al-Asmâ` al-Husnâ dalam materi akidah sebagai bagian
dari teologi idealnya, ia juga mendorong penggunaan akidah
Islam yang berusaha menyelaraskan antara teologi dan sains
modern.3 Karena itu, wajar jika dalam memaparkan al-Asmâ`
al-Husnâ, ia begitu dominan mengupas konsep sunnatullah.
Setengah dari nama-nama Allah yang dipaparkannya selalu
menyinggung sunnatullah di dalamnya. Selain itu, dalam bebe-
rapa kesempatan ia juga mengupas masalah hukum kausalitas
dan menggunakan teori Big Bang dan Big Crunch. Teologi ideal
berikutnya yang juga banyak mempengaruhi paparannya me-
ngenai al-Asmâ` al-Husnâ adalah teologi yang berusaha mema-
dukan iman al-‘awwâm, iman al-mutakallimin dan iman al-
‘ârifîn. Teologi semacam ini dibangun atas beberapa argumen,
yaitu argumen tekstual, argumen rasional dan argumen
spiritual (pengetahuan kasyaf atau ma’rifah). Teologi integral
semacam struktur teologi al-Ghazali.4 Gagasannya yang berpi-
jak pada metode teologi al-Ghazali, kemudian ia aplikasikan
ketika memaparkan al-Asmâ’ al-Husnâ. Mujiburrahman ketika
memberi kata pengantar buku 99 Jalan Mengenal Tuhan
menyatakan:

Kalau kita memperhatikan buku “99 Jalan Mengenal Allah”


karya Zurkani Jahja ini maka kita akan melihat bagaimana dia
berusaha menerapkan semua metode al-Ghazali tersebut. Dia
mencoba mencari rujukan Alquran dan hadis untuk menjelas-
kan makna setiap nama Allah. Dia juga berusaha menjelaskan
makna setiap nama Allah itu dengan mengemukakan argu-
men-argumen rasional, baik yang telah dikembangkan oleh
para ahli kalam di masa lalu atau pun temuan-temuan ilmiah
di masa kini. Selanjutnya, Zurkani tidak berhenti sampai di
situ, sebab ia juga mencoba memberikan analisis mengenai

3 Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal Era Global, 13.


4 Zurkani Jahja, Teologi Islam Ideal Era Global, 19-20.
202 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

implikasi moral dan spiritual dari setiap nama Allah; sebuah


analisis yang sangat berakar kuat pada tradisi tasawuf.5

5 Mujiburrahman, “Pengantar Penyunting: Ghazalianisme Zurkani Jahja”


dalam Zurkani, 99 Jalan Mengenal Allah, x.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 203

BAB VIII

PENUTUP

Dari sejumlah paparan pada beberapa bab sebelumnya


dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait pemikiran ulama
Kalimantan tentang al-Asmâ` al-Husnâ. Kesimpulan pertama,
versi daftar nama al-Asmâ` al-Husnâ yang digunakan oleh ula-
ma Kalimantan adalah versi populer yang berasal dari hadis al-
Tirmidzi. Dari versi populer yang digunakan, ada dua versi
daftar yang digunakan, yaitu daftar al-Asmâ` al-Husnâ yang
dimulai dari ism al-Dzât (Allah) hingga nama terakhir (al-
Shabûr) dan daftar yang dimulai dari nama al-Rahmân dan
diakhiri dengan nama al-Shabûr. Pada daftar kedua, nama Allah
digantikan dengan nama al-Ahad. Bagi ulama Kalimantan, daf-
tar nama ini merupakan daftar nama yang bersifat tawqîfiyyah,
yakni disusun oleh Nabi. Karena itu mereka tidak berusaha
berijtihad untuk menyusun daftar sendiri sebagaimana yang
banyak dilakukan oleh ulama lainnya. Bagi mereka, tidak
diperkenankan menamai Allah tanpa dilandasi dalil Alquran
dan hadis. Dari segi jumlah nama Allah mereka menggunakan
daftar al-Asmâ` al-Husnâ yang berjumlah 99. Meski demikian,
mereka menegaskan bahwa sebenarnya jumlah nama Allah itu
tidak terbatas pada jumlah itu. Hanya Allah yang tahu jumlah
persisnya. Sementara terkait ism al-a’zham, ulama Kalimantan
tidak memiliki kesepakatan nama dan urutan nama yang dapat
dipastikan sebagai ism al-a’zham. Sebagian mereka ada yang
204 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

menyajikan begitu saja beberapa alternatif sebagai kemung-


kinan, namun ada pula yang menegaskan susunan kalimat
tertentu sebagai kalimat yang mengandung ism al-a’zham.
Kesimpulan kedua, definisi ulama Kalimantan tentang
al-Asmâ` al-Husnâ menunjukkan bahwa al-Asmâ` al-Husnâ ada-
lah nama-nama Allah yang terbaik. Nama-nama itu berfungsi
untuk mengetahui keagungan Allah dan menyeru-Nya dengan
nama itu ketika berdoa. Jumlah sebenarnya hanya Allah yang
tahu, tetapi untuk mengenal-Nya cukup dengan jumlah 99
nama. Nama-nama itu menunjukkan sifat kamâl (kesempurna-
an), jalâl (keagungan) dan jamâl (keindahan) Allah. Keindahan
nama itu disebabkan mengandung makna yang indah, sifat-sifat
yang agung, dan dinilai baik oleh orang-orang yang beriman
sehingga ia cenderung kepada-Nya.
Kesimpulan ketiga, dalam perspektif ulama Kalimantan,
makna “ahshâhâ” yang terdapat dalam hadis populer tentang
al-Asmâ` al-Husnâ memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan-
tingkatan itu adalah: (1) menghafalnya, (2) memakainya untuk
beribadah (berdoa, berzikir dan mengamalkan wirid), (3)
memahami maknanya hingga memunculkan ketakziman pada-
Nya, (4) berpeguh teguh dan menghayatinya hingga berdam-
pak dalam kehidupan berupa terbentukya ma’rifah (pengena -
lan yang benar kepada Allah) dan terbentuknya akhlak (takhal-
luq) yang mulia yang didasarkan pada nama-nama Allah yang
terbaik.
Kesimpulan keempat, ada empat varian pendekatan
yang digunakan oleh ulama Kalimantan dalam memaparkan al-
Asmâ` al-Husnâ. Varian pertama, pemaparan al-Asmâ` al-Husnâ
dengan pendekatan ritualistik (ta’abbudiy). Paparan dengan
pendekatan ini lebih menekankan dimensi ibadah, yakni me-
maparkan al-Asmâ` al-Husnâ dengan menonjolkan fungsi Asma
Allah sebagai bacaan-bacaan zikir, wirid dan doa yang disertai
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 205

dengan penjelasan mengenai fadhilat dan khasiatnya masing-


masing. Varian kedua, pemaparan al-Asmâ` al-Husnâ yang
dominan menggunakan pendekatan teologis. Pada pendekatan
ini, Asma Allah dibahas dengan menggunakan perspektif teo -
logi Asy’ariyyah. Adapula yang menekankan secara khusus
pada teologi al-Ghazali dan mengadaptasikannya dengan
perkembangan modern dan sains. Varian ketiga, pemaparan al-
Asmâ` al-Husnâ yang lebih dominan menggunakan pendekatan
sufistik (tasawuf). Pendekatan ini terbagi menjadi dua tren, ada
yang cenderung menggunakan tasawuf falsafi dan ada pula
yang cenderung menggunakan tasawuf akhlaqi (tasawuf akh-
lak). Pemaparan al-Asmâ` al-Husnâ dengan pendekatan tasa-
wuf falsafi menekankan pada pengenalan kepada Allah melalui
konsep tawhîd al-Asmâ`. Sementara pendekatan tasawuf akhla-
qi lebih menekankan pada pembentukan akhlak (takhalluq)
muslim dengan cara meneladani “kepribadian” Allah melalui
nama-nama-Nya yang terbaik. Varian keempat, paparan yang
menggunakan pendekatan teologi dan pendekatan sufistik yang
seimbang dalam memaparkan Asma Allah. Pendekatan ini
menyajikan al-Asmâ` al-Husnâ dengan menekankan pada pe-
ngenalan Allah sekaligus menghayatinya hingga menimbulkan
dampak bagi kehidupan muslim berupa keimanan dan perilaku
yang baik. Pada varian ini, nama Allah kadang dibahas dengan
melibatkan isu-isu sufisme kadang melibatkan isu-isu Kalam,
dan bahkan keduanya.
Kesimpulan kelima, kesinambungan pemikiran terkait
al-Asmâ` al-Husnâ di kalangan ulama Kalimantan dapat dilihat
dari adanya paparan mengenai tawhîd al-Asmâ` menggunakan
perspektif tasawuf falsafi/nazhariy. Kesinambungan pemikiran
terkait dimensi ritualistik juga masih ditemukan meski dalam
kadar yang lebih rendah, karena fokus ulama Kalimantan
kontemporer mengalami perubahan. Pada dekade 90-an dan
206 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

dekade awal abad ke-21, telah terjadi perubahan besar diban-


ding sebelumnya. Model tawhîd al-Asmâ` dan model fadhilat
dan khasiat dari al-Asmâ` al-Husnâ mengalami pergeseran
dengan munculnya tren mutakhir yang memaparkan al-Asmâ`
al-Husnâ dengan menekankan dimensi ilahiyyah dalam bentuk
ma’rifah (mengenal) Allah melalui nama-nama-Nya dan dimen-
si insaniyyah dalam bentuk pembentukan akhlak (takhalluq)
secara bersamaan. Perspektif yang digunakan tidak lagi pers-
pektif tasawuf falsafi (dimensi ilahiyyah) dan perspektif
fadhilat dan khasiat (dimensi ritual), tetapi berubah menggu-
nakan perspektif teologis (akidah/kalam) dan tasawuf akhlak.
Pada model ini yang ditekankan adalah mengenal Allah melalui
asma-Nya dan meneladani asma itu dengan menjadikannya
sebagai bagian dari pribadi muslim.
Demikianlah beberapa kesimpulan yang dapat ditarik
dari paparan-paparan ulama Kalimantan tentang al-Asmâ` al-
Husnâ yang dalam tertuang dalam karya intelektual mereka.
Dari paparan mereka itu banyak aspek yang bisa dimanfaatkan
oleh umat Islam, khususnya masyarakat muslim di kawasan
Kalimantan. Pertama, pemaparan mengenai al-Asmâ` al-Husnâ
dari para ulama termasuk di dalamnya adalah para ulama di
kawasan Kalimantan merupakan pemaparan yang kaya dimen-
si, baik dimensi ritual, teologis, sufistik, akhlaqi bahkan dimensi
sosial, karena itu para tokoh agama yang berkecimpung dalam
pembinaan umat (ulama, ustadz, guru agama, dai) sebaiknya
memanfaatkan al-Asmâ` al-Husnâ yang terdapat dalam karya
mereka dalam memberikan bimbingan akidah, tasawuf, akhlak
dan ritual. Hal ini dimaksudkan agar al-Asmâ` al-Husnâ tidak
lagi difungsikan secara terbatas hanya pada dimensi ritualnya
saja tetapi juga pada dimensi teologi (ma’rifah) dan dimensi
sufistik-akhlaqi (moralitas-spiritual).
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 207

Kedua, Secara praktis, al-Asmâ` al-Husnâ sebaiknya


digunakan secara lebih luas dalam pengajian agama (majelis
taklim) dan pembelajaran di kelas baik dalam rangka menga-
jarkan akidah maupun mengajarkan akhlak. Pengajian dan
Pembelajaran akidah yang selama ini banyak menggunakan
konsep sifat 20 sebaiknya dilengkapi atau diteruskan dengan
pembahasan al-Asmâ` al-Husnâ untuk memperkaya wawasan
akidah umat Islam.
208 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hawash. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-


tokohnya di Nusantara. Surabaya: al-Ikhlas, 1980.
‘Abd al-Jawad, Ahmad. Wa Lillah al-Asma` al-Husna Fad‘uhu bi
ha. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Al-Buraikan, Ibrahim Muhammad bin Abdullah. Pengantar
Studi Aqidah Islam. Terj. Muhammad Anis Matta. Jakarta:
Robbani Press, 1998.
Al-‘Asyqar,Umar Sulayman. Syarh Ibn al-Qayyim li Asmâ` Allâh
al-Husnâ. Yordania: Dar al-Nafa`is, 2008.
Al-‘Asyqar, Umar Sulaiman. Al-Asma` al-Husna. Terj. Syamsud-
din TU dan Hasan Suaidi. Jakarta: Qisthi Press, 2004.
Al-Ghazali. Al-Asma` Al-Husna Rahasia Nama-nama Indah Allah.
Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1998.
As-Segaf, Alawy bin Abdul Qadir. Mengungkap Kesempurnaan
Sifat-sifat Allah dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2001.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar
Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung:
Mizan, 1995.
Bahjat, Ahmad. Menegnal Allah Risalah Baru tentang Tauhid.
Terj. Muhammad Abdul Ghoffar, E. M. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001.
Bakhiet, Muhammad. Mengenal al-Asma` al-Husna Jalan Menuju
Ma’rifat Allah Swt. Barabai: Pondok Pesantren dan
Majlis Taklim Nurul Muhibbin, tth.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 209

Banjarmasin.tribunnews.com/kolom/fikrah
Daudi, Abu. Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan
Haji Besar. Martapura: Yapida, 2003.
Furchan, Arif dan Agus Maimun. Studi Tokoh Metode Penelitian
Mengenai Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Habanakah, Abdurrahman. Pokok-pokok Akidah Islam. Terj.
A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Haderanie H.N. Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah (Ad-
Durrunnafis). Surabaya, CV Amin, t.th.
--------. Ilmu Ketuhanan: Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah,
Mahabba (4M). Surabaya: CV Amin, t.th.
--------. Asma`ul Husna: Sumber Ajaran Tauhid/Tasauf.
Surabaya: Bina Ilmu, 1993.
Hamim, M. Rubai. Meneliti Asmaul Husna dalam Al-Qur`an.
Bandung: Al-Ma’arif, 1993.
Hidayat, Kamarul. Apa dan Siapa dari Utara: Profil dan Kinerja
Anak Banua. Jakarta: CV Surya Garini, t.th.
Hornby, AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current
English. Oxford: Oxford University Press, 1995.
https://husinaparin.wordpress.com/about/ (akses, Kamis 19
Nopember 2015)
Ibn ‘Utsaymin, Muhammad ibn Shalih. Qawa`id al-Mutsla. Cairo:
Maktabah Sunnah, 1994.
Jahja, M. Zurkani. 99 Jalan Mengenal Tuhan. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2010.
---------. Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
--------. Teolohi Islam Ideal Era Global (Pelbagai Solusi Problem
Teologis), Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Madya
Ilmu Filsafat Islam pada Fakultas Ushuluddin IAIN
Antasari Banjarmasin (16 Agustus 1997). Banjarmasin:
IAIN Antasari, 1997.
210 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana,


2003.
Malik, Abduh Abdul. Sifat Dua Puluh dan Asma Allah al-Husna.
t.tp.:,tp., t.th.
Makmur, Ahdi dkk., Sejarah Perkembangan Nahdlatul Ulama di
Kalimantan Selatan (1928-1984), Laporan Penelitian.
Banjarmasin: Puslit IAIN Antasari, 1999.
Mandan, Arif Mudatsur (ed.). Napak Tilas Pengabdian Idham
Chalid: Tanggung Politik NU dalam Sejarah. Jakarta:
Pustaka Indonesia Satu, 2008.
Muhyiddin, Abdul Muthalib dkk. 50 Tahun Perguruan Islam
Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amuntai Kalimantan
Selatan 1922-1972. Amuntai: Rakha, 1972.
Mujiburrahman, dkk. Menjadi Kharismatik: Studi terhadap Tiga
Figur Ulama Banjar Kontemporer, Laporan Penelitian.
Banjarmasin: IAIN Antasari, 2011.
Mujiburrahman. Konsep Tauhid dengan Pendekatan Asmaul
Husna (Stud atas al-Maqshad al-Ghazali). Banjarmasin:
IAIN Antasari, 2005.
Naparin, Husin. Memahami al-Asma al-Husna. Banjarmasin: PT
Grafika Wangi Kalimantan, 2010.
--------. Memahami al-Asma al-Husna, Bagian Kedua.
Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan, 2010.
--------. “Nilai Ismul A’zham”, Kolom Fikrah, Banjarmasin Post.
13 Maret 2015.
Naufal, Muhammad. 1-Manaqib Al-Marhum Haji Abdurrahman
bin Haji Zainuddin, 2- Al-Marhum Haji Ahmad Zaini bin
Abdurrahhman, 3- Al-Marhum Haji Husin Qadri bin Haji
Ahmad Zaini, 4- Al-Marhum Haji Badaruddin bin Haji
Ahmad Zaini, 5- Al-Marhum Haji Muhammad Rasyad bin
Haji Ahmad Zaini wa Yalihi al-Yawassulat (t.d.).
Qaderi, Husin. Senjata Mukmin. t.tp: tp., t.th.
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 211

Rahmadi, dkk. Islam Banjar: Dinamika dan Tipologi Pemikiran


Tauhid, Fiqih dan Tasawuf. Banjarmasin: IAIN Antasari
Press, 2012.
Rahmadi. Jaringan Intelektual Ulama Banjar Abad XIX dan XX
(Studi Proses, Pola dan Ekspansi Jaringan). Banjarmasin:
Antasari Press, 2010.
Rahman, Fadli. “Ajaran Tasawuf KH. Haderanie H.N.” Jurnal
Studi Agama dan Masyarakat Vol. I No. 1 (Juni 2004).
Ruslan Andy Chandra, “Anggota DPD KH Haderanie HN
Meninggal Dunia”, http://www.kabarindonesia.com (30
Desember 2008) (akses 21 Nopember 2015).
Sabiq, al-Sayyid. Al-‘Aqa`id al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Fikr,
1992.
Sabran, Dja`far. Miftah-Ma’rifah (Kunci Ma;rifat). Samarinda: TB
Risalah,
--------. Risalah Do’a. Surabaya: Darussagaf, 2007.
Shafwan, Abu Nazla Muhammad Muslim. 100 Tokoh Kalimantan
1. Kandangan: Penerbit Sahabat, 2007.
Syarbashiy, Ahmad. Mawsu’ah: Lahu al-Asma` al-Husna
Dhamimah ila Asma` Allah al-Husna, Juz Awwal. Beirut:
Dar al-Jayl, 1987.
Shiddiq, Abdurrahman. Risalah Amal Ma’rifah serta Taqrir.
Banjarmasin: Toko Buku Mawaddah, t.th.
Shihab, Muhammad Quraish. “Menyingkap” Tabir Ilahi: Asma al
Husna dalam Perspektif Al-Qur`an. Jakarta: Lentera Hati,
1998.
Sjarifuddin, dkk. Sejarah Banjar. Ideham, M. Suriansyah, et. al.,
(eds.). Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengemba-
ngan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007.
Tim Peneliti. Kiyai Haji Badruddin Pimpinan Pondok Pesantren
Darussalam Martapura Kalimantan Selatan. Pusat Lek-
tur Litbang Agama Departemen Agama RI, 1985.
212 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Tim Sahabat. Manakib Syekh Muhammad Nafis dan Ajarannya.


Kandangan: Toko Sahabat, 2003.
Umar, M. Ali Chasan. Khasiat dan Fadhilat Asmaul Husna.Sema-
rang: Karya Toha Putra, t.th.
www.dpd.go.id (akses, Kamis 19 Nopember 2015).
Yulizar, M. Adriani dan Hamidi Ilhami, “Deskripsi Kitab Senjata
Mukmin dan Risalah Doa” Al-Banjari Jurnal Ilmiah Ilmu-
ilmu Keislaman Vol 13 No. 1 (Januari – Juni 2014).
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 213

INDEKS

‘ Al-‘Afuww, 17, 18, 19, 77, 102, 169


‘Abd Al-Rahman Bin Ishaq Al-Zujaji, 1 Al-‘Alâ, 17
‘Al-‘Aqâ`Id Al-Islamiyyah, 21 Al-‘Alîm, 14, 17, 18, 21, 91, 107, 109,
‘Amal Ma’rifah, 4, 5, 139 110, 123, 127, 132, 176
‘Ârif bi Allâh, 154 Al-‘Âlim, 17
‘Ind Allâh, 154 Al-‘Aliy, 17, 21, 104, 109, 127
‘Umar Ahmad Al-Syarbashi, 1 Al-‘Azhîm, 17, 21, 104, 109, 127
Al-‘Azîz, 16, 17, 18, 19, 75, 97, 166
Al-A‘Azz, 19
9 Al-A’lâm, 14
99 Jalan Mengenal Allah, 49, 69, 93, Al-Ab, 15
137, 173, 201, 202 Alabio, 42, 60
99 Jalan Mengenal Tuhan, 6, 10, 28, Al-Ahad, 17, 18, 21, 73, 74, 77, 78, 80,
47, 52, 53, 69, 83, 85, 93, 96, 110, 82, 101, 103, 104, 108, 127, 168,
111, 113, 114, 115, 201, 209 203
99 Permata Hadis, 39 Al-Âkhir, 17, 20, 21, 25, 104, 105, 108,
127, 171, 172
Al-Akram, 17
A Al-Asmâ` Al-Husnâ, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
Abdul Karim, 30, 50, 72 8, 9, 10, 11, 13, 15, 16, 17, 18, 20,
Abdul Muthalib Muhyiddin, 34, 37, 38 22, 23, 24, 25, 26, 28, 51, 65, 66, 67,
Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari, 5, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 78, 82,
6, 8, 68, 139, 195 83, 84, 85, 86, 87, 90, 91, 92, 93, 94,
Abu Bakar Ibnu Arabiy, 16 95, 103, 106, 107, 110, 111, 112,
Abu Bakar Sabran, 34 113, 114, 116, 127, 135, 136, 137,
Abu Daudi, 29, 30, 31, 32, 33, 59 138, 142, 151, 155, 162, 165, 166,
Addurun Nafis, 44 170, 171, 174, 176, 177, 178, 179,
Ahmad Bahjat, 1 180, 181, 182, 184, 186, 187, 188,
Ahmad Khatib Sambas, 7, 50 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195,
Ahmad Mansur, 34 196, 197, 198, 199, 200, 203, 204,
Ahmad Mughni, 59, 61 205, 206, 207
Ahmad Zaki Fuadi, 45 Al-Awwal, 16, 17, 18, 19, 77, 101, 104,
Ahshâha, 2, 73 169
Ahshâhâ, 22, 23, 90 Al-Bâri, 17, 18, 104, 108, 120, 127,
Aktualisasi Fungsi Masjid Dalam 143, 156, 157
Bidang Pendidikan, 58 Al-Barr, 17, 18, 19, 77, 102, 169
Al Azhar University, 54 Al-Bashîr, 17, 91, 104, 108, 109, 125,
Al-‘Adl, 22, 104, 109, 125, 127, 156, 127, 136, 143, 177, 191
159 Al-Bâsith, 3, 17, 22, 104, 107, 109,
Al-‘Afuww, 20, 104, 108, 127, 134 123, 127, 132
214 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Al-Bâthin, 17, 20, 21, 25, 68, 104, 105, Al-Khallâq, 17, 18
109, 127 Al-Kitab Al-Asna Fi Syarh Al-Husna, 1
Al-Dârr, 22 Allah ‘Azza Wa Jalla, 14
Al-Dhâr, 20, 95, 104, 140, 171, 187 Allâh Fî Al-‘Aqîdah Al-Islâmiyyah, 1
Al-Dhârr, 20, 25, 109, 128, 187 Al-Lathîf, 17, 21, 104, 108, 126, 127,
Al-Dîn Al-Islâmiy, 21 132
Al-Durr Al-Nafîs, 4, 148, 195 Al-Majîd, 17, 25, 104, 109, 127, 156,
Al-Fattâh, 17, 21, 109, 122, 131, 135, 161
191 Al-Mâjid, 16, 19, 77, 101, 168
Al-Ghaffâr, 17, 18, 104, 108, 121, 131 Al-Malîk, 17
Al-Ghafûr, 16, 17, 19, 76, 98, 167 Al-Mâlik, 17, 21, 82, 109, 174
Al-Ghaniyy, 17, 104, 108 Al-Mâni’, 20, 25, 95, 109, 128
Al-Ghazali, 1, 25, 26, 35, 46, 50, 52, 53, Al-Mannân, 17
65, 69, 80, 83, 84, 87, 114, 155, 163, Al-Maqshad Al-Asnâ, 25, 26, 155, 198
189, 191, 198, 201, 205, 209, 210 Al-Maqshad Al-Asnâ Fî Syarh Asmâ`
Al-Hafiy, 17 Allâh Al-Husnâ, 1
Al-Hafîzh, 17, 21, 104, 109, 127, 156, Al-Matîn, 17, 18, 21, 104, 109, 127
159 Al-Mawla, 17, 18, 19
Al-Hâfizh, 17, 109 Al-Mu`Akhkhir, 16, 19, 77, 101, 169
Al-Hakam, 17, 104, 107, 109, 125, 127, Al-Mu`Min, 17, 21, 91, 107, 108, 119,
156, 159 127, 130, 147, 175
Al-Hakîm, 16, 17, 18, 19, 76, 99, 168 Al-Mu‘Izz, 20, 104, 107, 109, 124, 127
Al-Halîm, 17, 21, 104, 108, 117, 126, Al-Mu‘Thiy, 17, 20
127, 135, 156, 182 Al-Mubîn, 17
Al-Hamîd, 17, 21, 104, 109, 127 Al-Mudzill, 16, 19, 76, 98, 167
Al-Haqq, 17, 21, 104, 108, 110, 127 Al-Muhaymin, 17, 21, 91, 107, 109,
Al-Hasan, 20 119, 127, 130, 135, 191
Al-Hasîb, 16, 17, 18, 19, 76, 99, 167 Al-Muhîth, 17
Al-Hayiy, 17 Al-Muhsin, 17
Al-Hayy, 14, 17, 25, 81, 104, 108, 127, Al-Mujîb, 17, 22, 91, 104, 109, 127,
153 156, 160
Al-Hikam, 35 Al-Muntaqim, 20, 21, 109, 127, 134,
Alice, 37 186, 187
Al-Ilâh, 17 Al-Muqaddim, 3, 17, 22, 104, 109, 127
Al-Jabbâr, 17, 21, 104, 107, 109, 120, Al-Muqît, 17, 21, 25, 92, 104, 109, 127
127, 131, 160, 183 Al-Muqtadir, 17, 25, 91, 104, 109, 127,
Al-Jalîl, 19, 22, 104, 109, 127, 152, 164, 145
192 Al-Mushawwir, 16, 17, 18, 19, 75, 97,
Al-Jamîl, 17 166
Al-Jawwâd, 17 Al-Muta‘Âl, 17
Al-Jawwâd, 19 Al-Mutakabbir, 16, 17, 18, 19, 75, 97,
Al-Kabîr, 16, 17, 18, 19, 76, 99, 167 166, 184, 185
Al-Karîm, 17, 21, 92, 95, 104, 109, 127, Al-Nâfi’, 20, 22, 25, 104, 105, 109, 128,
140, 144, 150 171, 187
Al-Khabîr, 16, 17, 18, 19, 76, 167 Al-Nahj Al-Asmâ` Fî Syarh Asmâ` Allâh
Al-Khâfidh, 16, 19, 75, 98, 104, 167 Al-Husnâ, 1
Al-Khâliq, 14, 17, 21, 104, 108, 110, Al-Nashîr, 17
120, 127, 143 Al-Nûr, 22, 25, 109, 130
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 215

Al-Qâbidh, 3, 17, 22, 104, 107, 109, Al-Wâjid, 3, 22, 25, 109, 127, 134
123, 127, 132, 156, 158 Al-Wakîl, 17, 21, 109, 127, 161
Al-Qâdir, 17, 21, 25, 82, 104, 109, 145 Al-Waliyy, 17, 21, 109, 127
Al-Qahhâr, 17, 21, 104, 109, 121, 127, Al-Wârits, 17, 22, 25, 109, 128
131 Al-Wâsi’, 16, 17, 18, 19, 76, 99, 168
Al-Qâhir, 17 Al-Witr, 17
Al-Qarîb, 17, 65, 91 Al-Zhâhir, 17, 20, 21, 25, 68, 104, 109,
Al-Qawiyy, 17, 21, 104, 109, 127 127
Al-Qayyûm, 17, 21, 80, 81, 104, 108, Amuntai, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 45, 46,
127, 144, 153 47, 48, 54, 55, 62, 210
Al-Quddûs, 16, 17, 18, 19, 75, 96, 166, Arabische School, 34, 35
174 Arûdh Qawâfi, 36
Al-Qurthubi, 1, 15 Ashary, 45
Al-Ra`ûf, 17, 21, 25, 104, 108, 127, 134 Asia Tenggara, 54, 60
Al-Rabb, 17 Asma`Ul Husna For Success In
Al-Râfi’, 16, 19, 75, 76, 98, 167 Business & Life, 2
Al-Rafîq, 19, 20 Asma`Ul Husna Sumber Ajaran
Al-Rahîm, 16, 17, 19, 75, 96, 166 Tauhid/ Tasawuf, 5
Al-Rahmân, 17, 74, 75, 81, 82, 95, 103, Asmarani, 45
104, 107, 108, 109, 118, 127, 128, Asmaul Husna Jilid 1-2, 6
140, 156, 175, 203 Asrarul Haq, 45
Al-Raqîb, 17, 21, 104, 109, 127, 178, Astuti, 45
192 Asyiah Arrani, 45
Al-Rasyîd, 3, 22, 104, 109, 128 Asyraful Auliya, 45
Al-Razzâq, 3, 17, 21, 24, 91, 108, 122, Australia, 47
127, 131, 160 Awshâf, 14
Al-Salâm, 17, 91, 107, 108, 119, 127, Ayat Kursi, 39, 113
129, 163, 175, 193 Azaliy, 24
Al-Samî’, 14, 17, 91, 104, 108, 109, Azyumardi Azra, 7
110, 125, 127, 143
Al-Satîr, 19 B
Al-Sayyid, 17, 211
Al-Shâbir, 22 Baharuddin Harahap, 46
Al-Shamad, 17, 21, 80, 104, 108, 127, Bahran Noor Haira, 8
153 BAKORPIN, 57
Al-Subbûh, 17 Balâghah, 36
Al-Syâfiy, 17, 20, 87 Bangil, 61
Al-Syahîd, 17, 21, 25, 104, 109, 127 Banjarmasin, 5, 8, 25, 29, 31, 33, 37,
Al-Syâkir, 17, 18, 19 41, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 50, 51, 52,
Al-Syakûr, 17, 21, 104, 108, 109, 127 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 62, 71, 75,
Al-Tawwâb, 17, 104, 108, 131 81, 85, 96, 118, 165, 200, 209, 210,
Al-Thayyib, 17 211, 222
Al-Tirmidzi, 2, 3, 4, 13, 16, 78, 83, 90, Banjarmasin Post, 57, 58, 81, 210
103, 203 Banua Anam, 62
Al-Wadûd, 17, 21, 108, 127 Baqâ` bi Allâh, 154, 179
Al-Wahhâb, 17, 21, 91, 122, 127, 131 Barabai, 56, 59, 60, 61, 62, 65, 71, 72,
Al-Wâhid, 17, 21, 74, 78, 82, 104, 108, 86, 96, 135, 208
127, 153, 180, 192, 193 Barito Selatan, 46
216 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Belanda, 29 H
Bi Al-Ilâh, 23
BKKBN, 58 H. Abdul Ghani, 39
Bukhari, 2, 72, 90 H. Abdul Mu’adz, 33
Bulûgh Al-Marâm, 36 H. Abdul Wahab Sya’rani, 34
H. Abdul Wahid, 45
H. Abdussalam, 59
C H. Achmad Dahlan, 34
Cairo, 54, 84, 209 H. Ahmad Jamhari, 34
H. Ahmad Mughni, 59
H. Ali Sabran, 33
D H. Anwar Sabran, 33
Darul Falah, 38 H. Asy’ari, 34, 35, 52
Darul Ulum Makkah, 31 H. Farid Wajidi, 39
Datu Kalampayan, 40 H. Gusti Muhammad Yusuf, 41
Dhâllun Mudhillun, 153, 154 H. Haderami, 45
Dja’far Sabran, 9, 10, 28, 33, 34, 36, H. Hasan Rusydi, 33
37, 38, 39, 67, 68, 80, 86, 95, 112, H. Jafri Pekapuran, 34
116, 138, 139, 192, 194 H. Jahja, 45
Djafri, 37 H. Juhri Sulaiman, 34, 35
Durrah Al-Nâshihîn, 36 H. M. Shalih, 30
Dzawqiyyat, 41 H. Muhammad Arsyad, 34, 53
H. Muhdar Sabran, 34
H. Nawawi, 40
E H. Saberan Bin H. Sanu, 33
Elvina Fitriani, 45 H. Sufyan Suri, 45
Eropa, 147 H. Tarmizi, 41
ESQ Leadership Training, 58 H.W. Muhammad Shagir Abdullah, 7
Habib Zein Al-Abidin Ahmad Al-
Aydarus, 61
F Habibah, 30
Haderanie H.N., 5, 9, 10, 40, 41, 42, 43,
Fadhâ`Il Al- ‘Amal, 36
Fadhilah Surah Yasin Dan Doa Arasy, 44, 45, 69, 96, 127, 128, 138, 142,
209, 211
39
Fadli Rahman, 8, 9, 40, 41, 42, 43, 44 Hakam, 21
Fanâ` Fî Allâh, 154 Hamdiah, 30
Hawash Abdullah, 7
Farid Wajidy, 39
Fath Al-Mu’în, 36 HIPPINDO, 57
Hissiy, 153
Fikrah, 58, 81, 210
Hj. Aliyah Sabran, 34
Hj. Arfah, 30, 39
G Hj. Badiah Ma’ruf, 45
Hj. Bulkis, 59
Galuh, 40
Hj. Incil. Zurkani, 45
Ghayr Muta`Addi, 14
Hj. Jum’ah, 59
Gontor, 36, 37
Hj. Khamsah, 59
GP Anshor, 47
Hj. Mulia, 30
Guru Danau, 61
Hj. Noor Hayati, 45
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 217

Hj. Partiyah, 39 Irsyad Zein, 29


Hj. Sannah, 29, 30 Ism Al-A’zham, 9, 10, 22, 73, 78, 80
Hj. Sarah Sabran, 34 Istighfar dan Taubat, 58
Hj. Siti Aminah, 39 Isytiqâq Asmâ` Allâh, 1
Hj. Siti Faridah, 39
Hj. Siti Fatimah, 39
Hj. St. Asyiah, 45
J
Hj. Syarifah, 59 Jawa Tengah, 41
Hj. Zahrah, 59 Jawa Timur, 37, 61
Hj. Zainab, 59 Jeddah, 54, 55, 58
Hulu Sungai Tengah, 59, 62, 71 Jinâyah, 15
Husin Naparin, 6, 8, 10, 49, 53, 54, 56, Joseph Stalin, 147
58, 59, 70, 71, 73, 74, 75, 78, 81, 85, Juhri Sulaiman, 34, 35
87, 93, 95, 96, 103, 104, 106, 108,
109, 111, 112, 113, 116, 135, 136,
137, 138, 165, 166, 170, 171, 172,
K
173, 174, 175, 182, 183, 185, 186, Kabupaten Barito, 41
187, 191, 192, 193, 195, 196, 197, Kaligrafi Arab, 36
198 Kalimantan Timur, 38
Husin Qadri, 5, 8, 9, 10, 28, 29, 30, 31, Kalimantan Post, 57
32, 33, 66, 67, 75, 81, 84, 95, 111, Kalimantan Selatan, 6, 8, 29, 30, 31,
113, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 33, 34, 36, 38, 45, 47, 48, 49, 50, 51,
122, 123, 124, 125, 126, 135, 136, 53, 54, 56, 57, 61, 62, 113, 210, 211
137, 138, 190, 195, 210 Kalimantan Tengah, 8, 9, 40, 42, 43,
44, 62
I Kalimantan Timur, 39, 62, 63
Kamâl Fawqa Kamâl, 20
I’anat Al-Thalibin, 31 Kandangan, 5, 34, 60, 62, 71, 211, 212
IAIN Antasari, 25, 33, 45, 46, 47, 48, Karang Mumus, 39
49, 52, 54, 55, 62, 200, 209, 210, Karl Marx, 147
211, 223 Kerajaan Riau Lingga Pulau, 60
IAIN Samarinda, 38 KH Anang Zainal Ilmi, 42
IAIN Sunan Kalijaga, 46, 47 KH. Abdul Qadir, 33
IAIN Syarif Hidayatullah, 46 KH. Abdussamad, 42
Ibn Al-Qayyim Al-Jawzi, 23 KH. Achmad Sahal, 37
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, 1 KH. Ali, 42
Ibnu Barjam Al-Andalusi, 1, 15 KH. Asnawi Hadisiswoyo, 41
Ibnu Majah, 2, 90 KH. Hanafi Gobet, 42
Ibnul Amin, 61 KH. Imam Zarkasyi, 37
Ibrahim Bin Al-Surri, 1 KH. Khaliq, 41
Idham Chalid, 37, 210 KH. Muhammad Najib Wahab
Ihshâ`, 22, 92, 93, 94 Hasbullah, 41
Ikhtisar Sifat 20, 39 KH. Musta’in Ramli, 41
Ilmu Kalam, 143, 147, 171, 176, 193 KH. Sabran, 33
Ilmu-Ilmu Alat, 36 KH. Saifuddin Zuhri, 41
Iltizâm, 14 KH. Salman Djalil, 33
Inggris, 43, 47, 54 Khalisah Artati, 45
IPNU, 47
218 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Khasiat Dan Fadhilat Asmaul Husna, Mawardi, 39, 41


2, 212 Mawsû’ah Al- Al-Asmâ` Al-Husnâ, 1
Khawâriq Li Al-‘Âdah, 159 Mazâhib Al-Arba’ah, 36
Khutbah Jumat Dan Hari Raya, 39 Memahami Al-Asma Al-Husna, 28, 59,
King Abdul Aziz University, 58 70, 74, 75, 85, 87, 94, 109, 113, 171,
KMI Onderbouw, 37 174, 175, 193
Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah, Mengenai Al-Asmâ` Al-Husnâ Jalan
37 Menuju Ma’rifat Allah Swt, 6
Kumala Sari, 45 Mengenal Al-Asma` Al-Husna, 28, 71,
Kun Kunung-Kunung Kumasalah, 8 96, 107, 108, 193, 208
Kunci Ma’rifah, 39 Miftah Ma’rifah, 39, 192
Kursus Kader Masyarakat, 47 Mu`Assis, 31
Muallim Abdurrasyid, 34
Muara Teweh, 41, 42, 43
L Mufrad, 20
Lahore, 54 Mufti Ahmad Zaini, 29, 30, 31
Langgar Attaqwa, 39 Muhammad Bakhiet, 6, 8, 10, 28, 59,
Lembaga Sosial Desa, 48 60, 61, 62, 63, 65, 71, 72, 75, 81, 82,
Lenin, 147 84, 86, 87, 94, 95, 96, 104, 106, 107,
Li Ta’abbud, 23 108, 110, 112, 113, 116, 135, 136,
Lok Bangkai, 34, 36 137, 138, 176, 177, 178, 179, 180,
LPTQ, 56, 58 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187,
188, 191, 192, 193, 194, 196, 197,
198
M Muhammad Bin Ahmad Hamd Al-
M. Ali Chasan, 2, 212 Hamud, 1
M. Noeh, 37 Muhammad Hasan, 30
M. Quraish Shihab, 2, 3, 11, 26, 155 Muhammad Ibn Shâlih Utsaymin, 13
M. Zurkani Jahja, 6, 9, 10, 28, 45, 46, Muhammad Nafis Al-Banjari, 5, 7, 8,
47, 69, 70, 81, 83, 85, 96, 104, 116, 68, 139
137, 138, 173, 183, 191, 200 Muhammad Nashir, 34
Ma’rifatullah, 28, 39 Muhammad Rasulullah, 58
Macquarie University, 47 Muhammad Syafii Antonio, 2
Madrasah Shaulatiyah, 60 Muhammad Syukri Unus, 61
Madrasatur Rasyidiyah, 34, 36, 37 Muhammad Thahir, 59, 60
Madurasmi, 45 Muhâsabah, 151, 163, 171, 179, 192
Mahligai Al-Qur’an, 57 MUI, 44, 49, 56, 58
Makkah, 30, 31, 60 Murniwati, 45
Manasik Haji Dan Umrah, 33 Mursyid, 49, 139, 151
Maqtûran Bi Muqâbilih, 20 Musabbab, 180, 193
Martapura, 5, 29, 30, 31, 32, 33, 42, Musamma, 140, 148, 149
61, 62, 209, 211 Muslim, 2, 34, 36, 50, 58, 60, 90, 134,
Masdan, 37 211
Masjid Raya Sabilal Muhtadin, 56, 57 Musyâhadah, 8, 150, 179, 180, 193
Masjidil Haram, 60 Muta`Addi, 14
Mastian Ruslin, 45 Muthâbaqah, 14
Masudah, 40
Masyumi, 41
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 219

N Puruk Cahu, 40, 41

Nafiah Hasan Basri, 37


Nafis Al-Banjari, 148, 149, 150, 195
Q
Nahdatul Ulama, 38 Qadim, 24, 112
Nahwu, 36, 61 Qawâ`Id, 36
Nasrani, 15 Qawâ`Id Al-Mutslâ, 13, 15, 17, 21, 23,
Nur Sari Marimarang, 8 88
Nurcholish Madjid, 46, 50 Qiyâmuhu Ta’âlâ Bi Nafsihi, 170
Nurhana, 30 Quraish Shihab, 11, 15, 16, 24, 25, 27,
Nurul Ma’rifah, 39 87, 198
Nurul Muhibbin, 61, 62, 63, 65, 71, 72,
86, 96, 135, 208
R
O Rabbâniy, 193
Râdhiyatan Mardhiyyah, 153
Orde Lama, 32 Rafi’ah Binti Mulkhalid, 30
Rahmadi, 8, 29, 30, 33, 50, 60, 211,
P 222
Rahmi, 45
Pakacangan, 34 Raja Ali Haji, 60
Pakistan, 54 Rantau, 62
Palangka Raya, 43, 45 Raudatus Sa’diyah, 30
Palimbangan, 34, 45, 46, 48 Risalah Do'a, 9, 10, 28, 34, 39, 80, 211,
Paliwara, 33, 34, 38 212
Paringin, 53, 54, 55, 62, 71 Risalah Fardhu Kifayah, 39
Pekapuran, 35 Risalah Tauhid, 39
Penerbit Nur Ilmu, 43 Riyâdh Al-Shâlihîn, 36
Perkembangan Ilmu Tasawuf Dan Roslina Hayati, 45
Tokoh-Tokohnya di Nusantara, 7, Rusia, 147
208
Pesantren Hidayaturrahman, 61
Pesantren Nurul Muhibbin Ilung, 62
S
Pesantren Rahmatul Ummah, 61 Sa’id Al-Qahtani, 19, 20, 22, 23
Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah, 46, Sahîh Al-Bukhârî, 36
51 Said Al-Qahtani, 16
PGAN, 46 Sâlik, 151, 163
PINBUK, 57 Samarinda, 38, 39, 48, 67, 139, 211
PKI, 41, 147 Santri, 61, 63
PMII, 48 Sarjana Muslim, 2, 4, 8
PNI, 41 Sayyid Sabiq, 16, 17, 21, 22, 79, 80
Pondok Pesantren Darussalam, 30, Sekolah Rakyat Negeri, 46
31, 32, 211 Semarang, 41
Ponorogo, 37 Senjata Mukmin, 5, 9, 10, 33, 34, 96,
PPTU, 41 113, 210, 212
PRM, 41 Shalawat Kamilah, 39
Pulau Jawa, 39 Sharf, 36
Punjab University, 54 Siang Malam Bersama Nabi Saw, 58
220 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

Sidney, 47 Tasyabbuh, 15, 23


Singapura, 30 Tata Cara Berdoa, 58
Sirâj Al-Mubtadi`În, 36 Tauhid Sufistik, 4, 68, 111, 192
Siti Aminah, 59 Tawadhu’, 32
Soekarno, 41 Tawhîd Al-Asmâ, 4, 9, 10, 68, 111, 139,
STAI Al Jami’, 55 141, 142, 148, 192, 194, 195, 196,
STIA Rakha, 48 205
Sufistik, 4, 6, 8, 68, 91, 112, 113, 138, Tawqîfiyyah, 15, 203
143, 148, 151, 155, 162, 165, 171, Telaga Air Mata, 59
176, 205, 206 Terjemah Maulid Diba, 39
Sulaiman Al-Kumayi, 2 Terjemah Qasidah Burdah, 39
Sulayman Al-Asyqar, 1, 3 The American University, 54
Sungai Karias, 34 Tik Kullah, 8
Sungai Miai, 43 Timur Tengah, 1, 2, 7, 25, 58, 78, 198,
Surabaya, 37, 43, 69, 74, 80, 88, 96, 208
128, 143, 148, 208, 209, 211 Tuan Guru Abdul Wahab, 60, 61
Syair Isra Mi`Raj, 39 Tuan Guru Abdurrahman, 30, 31
Syair Nabi Yusuf Dan Zulaikha, 39 Tuan Guru Abdurrasyid, 34, 35
Syarh Al-Al-Asmâ` Al-Husnâ, 1 Tuan Guru Ahmad Bakri, 61
Syekh Abu Alawi Abd Al-Hamid Alawi Tuan Guru Ahmad Mughni, 60
Al-Kaff, 42 Tuan Guru Asmuni, 61
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Tuan Guru H. Badaruddin, 30
7, 29, 30, 40, 51, 52, 59, 209 Tuan Guru H. Muhammad Rasyad, 30
Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari, 4, Tuan Guru Ismail, 60
5, 7, 10, 111, 195 Tuan Guru Mahfuz Amin, 61
Syekh Nafis Al-Banjari, 6 Tuan Guru Muallim H. Dahlan, 36
Syekh Syihabuddin, 59, 60 Tuan Guru Muallim H. Rawi, 36
Syuhûd, 140, 148, 150 Tuan Guru Muhammad Kasyful
Anwar, 31
Tuan Guru Muhammad Zaini, 32, 61
T Tuan Guru Syibli, 60
Ta’abbud, 23 Tuan Guru Zainal Ilmi, 31
Tabloid Serambi Ummah, 51, 58, 69 Tuntunan Praktis Ibadah Jamaah
Tadhammun, 14 Haji, 58
Tafsîr Asmâ` Allâh Al-Husnâ, 1 Tuntunan Praktis Shalat Tahajud, 58
Tahlil dan Talqin, 39
Tajalliy, 91, 152, 193 U
Takhalluq, 23, 24, 26, 94, 111, 113,
190, 192, 193, 196, 198, 205, 206 Ulama Kalimantan, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 28,
Tanbîh Al-Ghâfilîn, 36 66, 73, 74, 75, 78, 81, 83, 84, 86, 87,
Tangga Ulin, 34, 35 88, 90, 94, 95, 103, 106, 111, 113,
Tanjung, 56, 62 116, 138, 139, 189, 195, 198, 199,
Tarikat Alawiyah, 61, 65 203, 204, 205, 206
Tasawuf, 5, 25, 35, 40, 41, 42, 43, 44, Ulûhiyyah, 24
45, 67, 68, 111, 112, 113, 115, 139, Umar Al-Asyqar, 18
148, 151, 153, 164, 170, 171, 176, Umar Sabran, 34
177, 178, 180, 192, 193, 194, 196, Uni Soviet, 147
202, 205, 206 UNISAN, 48
Konsep dan Dimensi Al-Asmâ` Al-Husnâ 221

University Of New Castle, 47 Yogyakarta, 20, 43, 46, 47, 49, 52, 69,
Utsaymin, 15, 17, 20, 21, 23, 78, 84, 83, 96, 137, 209, 210
87, 88, 209 Yusrina Hidayati, 45

V Z
Vervolkschool, 34 Zurkani Jahja, 10, 28, 46, 47, 48, 49,
50, 51, 52, 53, 69, 75, 83, 85, 90, 93,
95, 110, 111, 112, 113, 114, 115,
W
116, 135, 136, 137, 155, 156, 157,
Wahdat Al-Wujûd, 154 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164,
Wahm, 140, 148 182, 183, 184, 185, 186, 187, 191,
192, 193, 194, 195, 196, 197, 198,
199, 200, 201, 202
Y
Yansen, 37
222 Telaah Terhadap Karya Intelektual Ulama Kalimantan

TENTANG PENULIS

Rahmadi, S.Ag., M.Pd.I. adalah dosen tetap pada Fakultas


Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin. Lahir di
Batulicin pada tanggal 10 Oktober 1974. Pendidikan program
sarjana ditempuh di Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Jurusan
Pendidikan Agama (tamat tahun 1999) dan Program magister
ditempuh di Program Pascasarjana IAIN Antasari Konsentrasi
Pemikiran Pendidikan Islam (tamat tahun 2008). Sekarang me-
miliki jabatan sebagai lektor kepala (IV/a) sekaligus ketua juru-
san Studi Agama-Agama.
Drs. H. Abd. Rahman Jaferi, M.Ag. adalah dosen tetap
pada Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjar-
masin. Lahir di Tanah Habang Lampihong pada tanggal 16
Agustus 1953. Menempuh pendidikan sarjana muda (tamat
tahun 1977) dan sarjana lengkap jurusan Perbandingan Agama
(tamat tahun 1980) di Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari. Ke-
mudian menempuh pendidikan S2 Program Pascasarjana IAIN
Antasari pada Prodi Filsafat Islam konsentrasi Tasawuf (tamat
tahun 2002). Jabatan akademis sekarang adalah Lektor Kepala
(IV/c) dengan mata kuliah keahlian Ilmu Perbandingan Agama.

Anda mungkin juga menyukai