Anda di halaman 1dari 9

Tetanus Generalisata Yang Diakibatkan Oleh Infeksi Odontogenik Pada

Pasien Dengan Oral Hygiene Buruk: Laporan Kasus (Generalized Tetanus


Caused By an Odontogenic Infection in a Patient With Poor Oral Hygiene: A
Case Report)

Putri Adinie Esca Nissa1, Endang Elisawaty2


Dokter Umum Rumah Sakit Islam Karawang1, Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.2
Surel: putriadiniesca27@gmail.com

Abstrak
Pendahuluan: Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang masih menjadi masalah dunia terutama di negara
berkembang. Tetanus disebabkan oleh neurotoksin bakteri gram positif anaerob Clostridium tetani (C.tetani).
Kejadian tetanus di dunia mencapai 1.000.000 kasus setiap tahun. Insidensi tetanus di Indonesia mencapai
0.2/100.000 populasi. Manifestasi klinis ditandai dengan spasme otot, rigiditas dan gangguan otonom. Point of
entry spora C.tetani melalui luka yang dalam atau kotor namun pada 7% kasus tidak ditemukan riwayat luka.
Tetanus akibat infeksi odontogenik jarang terjadi, namun harus menjadi pertimbangan etiologi pada kasus
tetanus tanpa riwayat luka. Laporan Kasus: Laki-laki 46 tahun datang ke RS dengan keluhan utama kaku pada
rahang dan sulit menelan sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai kaku pada leher, punggung
dan perut yang muncul 3 hari setelah keluhan utama. Riwayat luka dalam tiga minggu terakhir disangkal. Pasien
memiliki riwayat nyeri gigi sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit dan memiliki kebiasaan
menggunakan benda kotor untuk mengorek gigi yang nyeri. Riwayat imunisasi tidak diketahui. Hasil
pemeriksaan fisik pasien kompos mentis, tanda vital dalam batas normal, wajah risus sardonikus, trismus,
seluruh gigi terlihat atrisi, beberapa gigi nekrosis, edema gingiva, kuduk kaku ,dan perut papan. Diskusi: Kasus
ini menunjukkan pasien tetanus generalisata derajat II berdasar kriteria Pattel Joag dengan point of entry infeksi
odontogenik dan oral hygiene yang buruk. Tetanus point of entry odontogenik jarang terjadi namun tetap harus
menjadi perhatian tenaga medis. Tatalaksana yang komprehensif diperlukan untuk mencegah prognosis yang
buruk.
Kata Kunci: Tetanus, Infeksi Odontogenik, Oral Hygiene

Abstract
Introduction: Tetanus is an acute infectious disease that remains a worldwide problem, especially in
developing countries. Tetanus is caused by the neurotoxin of the anaerobic gram-positive
bacterium Clostridium tetani (C.tetani). The incidence of tetanus in the world reaches 1,000,000 cases every
year. The incidence of tetanus in Indonesia reaches 0.2 per 100,000 population. Clinical manifestations are
characterized by muscle spasms, rigidity, and autonomic disorders. The point of entry of C.tetani spores is
through deep or dirty wounds but in 7% of cases, no history of wounds was found. Tetanus due to odontogenic
infection is rare but should be an etiologic consideration in cases of tetanus without wound history. Case
Report: A 46-year-old man came to the hospital with a chief complaint of jaw stiffness and difficulty
swallowing 5 days before admission. The complaint was accompanied by neck, back, and abdomen stiffness that
appeared 3 days after the chief complaint. History of injury in the last three weeks was denied. The patient had
a history of dental pain two weeks before admission and had a habit of using dirty objects to scrape the painful
teeth. Immunization history was unknown. The patient's physical examination results were compos mentis, vital
signs within normal limits, facial risus sardonicus, trismus, all teeth visible attrition, some teeth necrosis,
gingival edema, stiff neck, and abdominal board. Discussion: This case shows a patient with grade II
generalized tetanus based on Pattel Joag criteria with point-of-entry odontogenic infection and poor oral
hygiene. Odontogenic point of entry tetanus is rare but should still be of concern to medical personnel.
Comprehensive management is required to prevent poor prognosis.
Keywords: Tetanus, Odontogenic Infections, Oral Hygiene
Pendahuluan
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh toksin bakteri gram positif
anaerob Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot dan kaku pada seluruh tubuh.
Tetanus merupakan penyakit serius yang mengancam nyawa dan masih menjadi masalah
dunia terutama pada negara berkembang dengan angka kejadian 1.000.000 pasien setiap
tahunnya di dunia. Dua pertiga kasus tetanus di dunia terjadi di Afrika Selatan dengan lebih
dari 40% kasus merupakan tetanus neonatorum. Tahun 2015, dilaporkan terdapat 56.743
kasus kematian akibat tetanus di seluruh dunia. Pada negara berkembang, mortality rate
tetanus lebih tinggi yaitu mencapai 28.000 per 100.000 populasi. Di Indonesia, insidensi
berkisar 0.2/100.000 populasi.1,2,3,4
Spora Clostridium tetani masuk kedalam tubuh melalui luka trauma, jaringan nekrosis, dan
jaringan yang kurang vaskularisasi, namun pada 7% kasus tetanus dengan point of entry yang
tidak jelas harus dipertimbangkan faktor odontogenik terutama pada pasien dengan oral
hygiene yang buruk.5,6,7 Sekitar 73% kasus tetanus yang diakibatkan karena masalah gigi
bersumber dari prosedur pencabutan gigi, perawatan akar gigi, abses periodontal dan
intraoral soft tissue trauma. Sedangkan 23% lainnya diakibatkan karena kerusakan gigi
dengan oral hygiene yang buruk.3,5,6
Tujuan laporan kasus ini adalah menunjukkan salah satu kasus tetanus yang jarang terjadi
dengan etiologi infeksi odontogenik, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan
tenaga kesehatan pada pasien dengan manifestasi klinis tetanus tanpa point of entry luka.

Laporan Kasus
Seorang laki-laki berusia 46 tahun datang ke RSUD Karawang dengan keluhan kaku pada
rahang dan sulit menelan sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan
kaku leher, perut dan punggung sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan demam,
kejang, berkeringat banyak, sesak nafas dan dada berdebar disangkal. Pasien mengeluh nyeri
gigi sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki kebiasaan mengorek gigi
yang nyeri dengan menggunakan benda yang kotor. Selama nyeri gigi pasien tidak berobat ke
dokter. Riwayat nyeri dan keluar cairan pada telinga disangkal. Riwayat luka selama tiga
minggu kebelakang disangkal. Riwayat vaksinasi tidak diketahui.
Pemeriksaan fisik kesadaran kompos mentis, TD 130/80 mmHg, Nadi 87x/menit reguler,
Respirasi 20x/menit, Suhu 36,7’C dan SpO2 97% tanpa bantuan oksigen. Status generalis
konjungtiva tidak anemis, thorax tampak simetris, auskultasi paru vesikuler kanan dan kiri,
tidak terdengar ronchi, bunyi jantung reguler, tidak terdengar murmur dan gallop. Ekstrimitas
akral hangat, tidak edema. Pemeriksaan neurologis ditemukan wajah tampak risus sardonicus
(gambar No.1), trismus sekitar 1 cm diukur dari jarak antar gigi yang intak, kuduk kaku,
perut papan, kaku pada punggung, tonus otot ekstrimitas meningkat. Status lokalis pada
bagian gigi yang terlihat tampak atrisi, terdapat beberapa gigi yang nekrosis serta edema
gingiva (gambar No.2). Tidak ditemukan luka pada area tubuh. Hasil pemeriksaan
laboratorium darah rutin dalam batas normal terdiri dari Hemoglobin 15,7 g/dL, Eritrosit 5,21
juta/Ul, Luekosit 6.980 /mm3, Trombosit 273.000/uL, dan Hematokrit 46,6% . GDS
meningkat 108,9 mg/dL, kreatinin 0,86 mg/dL dan peningkatan kadar ureum 45,9 mg/dL.
Hasil pemeriksaan EKG sinus rythm. Hasil Rontgen thorax dalam batas normal.
Berdasarkan keluhan utama pasien, timeline perjalanan penyakit serta hasil pemeriksaan fisik,
pasien di diagnosis Tetanus Generalisata Derajat II berdasarkan kriteria Pattel Joag. Terapi
yang diberikan berupa infus cairan Ringer Laktat 20 tpm, single dose ATS 10.000 Unit
intramuskular, Injeksi Metronidazole 3x500 mg, Injeksi Diazepam 3x10 mg dan Tizanidine
3x2 mg. Pasien juga dipasang selang NGT dan kateter urine.
Dilakukan follow up pada pasien selama dirawat. Pada hari ke-2 dirawat, pasien mengalami
kejang sebanyak tiga kali berupa kaku seluruh tubuh dan melenting (posisi opisthotonus)
selama kurang lebih tiga menit, saat kejang pasien sadar. Pemeriksaan tanda vital dalam batas
normal, pemeriksaan fisik trismus masih 1 cm diukur dari jarak gigi yang intak, kuduk kaku,
dan perut papan. Dosis diazepam naik menjadi 60 mg drip dalam 24 jam dengan
menggunakan infusion pump. Hari ke-3, kejang terjadi sebanyak satu kali selama kurang
lebih 3 menit, kejang berupa kaku seluruh tubuh, saat kejang pasien sadar. Pemeriksaan tanda
vital dalam batas normal, pemeriksaan fisik trismus mulai membaik sekitar 1,5 cm dihitung
dari jarak antar gigi yang intak, kuduk kaku dan perut papan. Hari ke-4 kejang terjadi satu
kali berupa kaku seluruh badan kurang lebih 2 menit, saat kejang pasien sadar. Tanda vital
dalam batas normal. Hari ke-5, kejang tidak ada, tanda vital dalam batas normal, pemeriksaan
fisik trismus membaik, pasien dapat membuka mulut dengan jarak 2 cm dihitung dari gigi
yang intak, kuduk kaku dan perut papan belum berkurang. Hari ke-7 pasien mengeluhkan
sulit BAK, terasa nyeri dan urine menjadi keruh, kejang tidak ada, sulit menelan masih ada.
Tanda vital tekanan darah pasien naik menjadi 150/90 mmHg, Nadi 98x/menit teraba reguler,
Suhu 36,5, Respirasi 21x/menit dan SpO2 97% tanpa oksigen. Pemeriksaan fisik trismus
masih 2 cm dihitung dari jarak antar gigi yang intak, kuduk kaku dan perut papan berkurang.
Dilakukan penggantian kateter urine dan pemberian Ketolorac 30 mg extra serta edukasi
pasien agar minum lebih banyak. Hari ke-8 keluhan BAK berkurang, pasien mulai dapat
mobilisasi miring kanan dan kiri, kejang tidak ada. Tanda vital tekanan darah pasien kembali
normal 120/80 mmHg. Hari ke-9, kondisi pasien berangsur membaik, pasien sudah bisa
membuka mulut lebar, nyeri menelan sudah berkurang, kejang tidak ada. Tanda vital dalam
batas normal. Pemeriksaan fisik trismus sekitar 3 cm dari jarak antar gigi yang intak ,kaku
pada leher, perut papan dan punggung berkurang. Diberikan diet lunak namun NGT tetap
terpasang. Hari ke-12 dirawat, keluhan kaku tubuh sudah sangat berkurang, pasien sudah
dapat membuka mulut lebar dan makan makanan yang lunak. Tanda vital dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik pasien dapat membuka mulut lebih dari 3 cm, kuduk kaku tidak ada, perut
papan masih ada namun jauh berkurang. Pasien pulang setelah 13 hari dirawat, selama
dirawat tidak ada riwayat penurunan kesadaran, sesak nafas, hiperhidrosis, maupun dada
berdebar.

Gambar 1.Risus Sardonicus

Gambar 2.Gigi dan Gusi Pasien


Diskusi
Pada laporan kasus ini, pasien datang dengan keluhan kaku pada bagian rahang, leher, perut
dan punggung yang didahului oleh trismus, hal tersebut menjadi ciri utama pada pasien
dengan suspek tetanus pada anak maupun usia lanjut.3
Masa inkubasi C.tetani bervariasi antara 1 hingga 21 hari, dengan rata-rata onset gejala
muncul pada hari ke-7 atau hari ke-8. 1 Masa inkubasi ini juga dipengaruhi oleh jarak luka
dengan sistem saraf pusat, semakin dekat jarak luka dengan sistem saraf pusat maka periode
inkubasi semakin pendek dan semakin buruk prognosisnya. 1 Pada kasus ini, keluhan trismus
muncul sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit, tiga hari kemudian keluhan kaku
bertambah pada leher, perut dan punggung. Trismus biasanya muncul sebagai manifestasi
pertama, hal ini dikarenakan neuromuscular junction pada otot masseter lebih sensitif pada
toksin C.tetani.8 Sekitar dua minggu sebelumnya pasien mengalami nyeri gigi, pasien juga
memiliki kebiasaan oral hygiene yang buruk yaitu selama nyeri gigi sering menggunakan
benda kotor untuk mengorek bagian gigi yang nyeri. Hal tersebut mendukung faktor risiko
point the entry bakteri pada kasus ini berasal dari infeksi odontogenik dengan onset yang
muncul pada hari ke-9 setelah pasien mengalami nyeri gigi.
Bakteri C.tetani melepaskan eksotoksin tetanolysin dan tetanospasmin. Tetanolysin berfungsi
untuk membantu proses multiplikasi bakteri, sedangkan tetanospasmin berperan sebagai
neurotoksin yang dapat menyebar melalui empat mekanisme. Pertama secara lokal, toksin
diabsorpsi melalui mioneural junction pada ujung-ujung saraf perifer ke kornu anterior
melalui susunan saraf pusat. Kedua melalui otot atau jaringan sekitar, ketiga melalui nodus
limfatik regional dan keempat melalui sirkulasi darah.9 Tetanospasmin dapat masuk ke
neuron sel saraf motorik di gray matter bagian ventral dari medulla spinalis dan batang otak,
kemudian mengikat ke bagian membran presinaps perikarion sehingga mencegah pelepasan
neurotransmitter inhibitor glisin dan asam gamma-aminobutiric (GABA) dari ujung
presinaps. Blokade dari inhibitor neurotransmitter tersebut mengakibatkan kontraksi skeletal
muscle sehingga mengakibatkan spasme otot.1,3,10 Disfungsi autonomic seperti hiperhidrosis,
takikardi dapat terjadi karena efek tetanospasmin di brainstem dapat meningkatkan pelepasan
adrenalin dan noreadrenalin pada sirkulasi pembuluh darah atau mempengaruhi sistem saraf
simpatis.10
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas empat macam yaitu tetanus umum atau generalisata,
tetanus lokal, tetanus sefalik dan tetanus neonatorum. Sebagian besar kasus tetanus
bermanifestasi sebagai tetanus generalisata.1
Tetanus generalisata ditandai dengan trismus, disfagia, risus sardonicus, spasme otot leher,
dada, perut, punggung dan esktrimitas. Tetanus lokal spasme otot terbatas pada bagian tubuh
yang mengalami luka. Tetanus sefalik biasanya pada pasien yang mengalami luka pada
bagian wajah, kepala atau leher, dan memiliki periode inkubasi yang pendek sekitar satu atau
dua hari, dan tetanus neonatorum ditandai dengan spastisitas, refleks hisap berkurang,
iritabilitas, demam dan opistotonus.11
Hasil pemeriksaan fisik tanda vital tekanan darah sempat mencapai 150/90 mmHg namun
rata-rata TD 120/80 mmHg, sedangkan manifestasi autonomic disorders adalah fluktuasi
tanda vital, kemungkinan saat dilakukan pemeriksaan TD, pasien mengalami kejang sehingga
TD naik. Status lokalis pada gigi ditemukan atrisi dan beberapa gigi nekrosis. Jaringan
nekrosis dapat menjadi sumber infeksi dari C.tetani.3 Tidak ditemukan adanya bekas luka
pada area tubuh pasien. Hasil lab ureum meningkat, peningkatan kadar ureum dan kreatinin
pada tetanus dapat diakibatkan dehidrasi akibat low intake karena mengalami trismus dan
disfagia.
Penentuan derajat atau grading pada diagnosis tetanus penting dilakukan untuk menentukan
prognosis. Grading dapat dilakukan dengan menggunakan kriterian Pattel Joag.
Kriteria Pattel Joag sebagai berikut:9
Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot, tulang belakang.
Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : waktu onsite 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 1000F atau aksila sampai 990F (37,60 C)
Dari kriteria tersebut, dibuat grading:
Derajat 1 : kasus ringan, minimal 1 kriteria K1 atau K 2, mortalitas 0%
Derajat 2 : Kasus sedang , minimal 2 kriteria (K1 + K2), biasanya inkubasi lebih dari 7 hari,
onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%
Derajat 3 : Kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, inkubasi kurang dari 7 hari, onset kurang
dari 2 hari, mortalitas 32%
Derajat 4: Kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
Derajat 5 : bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus puerperium,
mortalitas 84 %
Pada kasus ini, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
diagnosis pasien adalah tetanus generalisata derajat II berdasar kriteria Pattel Joag dengan
point of entry infeksi odontogenik tanpa adanya disfungsi otonom.
Farmakoterapi yang diberikan pada pasien yaitu ATS 10.000 Unit intramuskular dengan
dilakukan skin test terlebih dahulu. Saat ini penggunaan Human Tetanus Immunoglobulin
(HTIg) lebih direkomendasikan dibandingan dengan penggunaan ATS karena dari beberapa
studi yang menunjukkan tingginya insidensi efek samping berupa serum sickness (10%) dan
reaksi anafilaktik fatal pada 0,001% kasus. Namun baik ATS maupun HTIg memiliki
efektivitas yang sama serta tidak ada perbedaan output mortalitas dari keduanya. Walaupun
demikian disarankan ATS hanya diberikan apabila tidak tersedianya HTIg. 12 Dosis pemberian
HTIg untuk dewasa 250-500 Unit secara intramuskular. Imunisasi aktif tetanus toksoid (TT)
dapat diberikan sebagai tambahan imunitas dengan dosis pemberian 0,5 ml atau 5 Unit
intramuskular dengan jarak kurang dari satu bulan.11
Selain ATS, pasien juga diberikan antibiotik Metronidazole 3x500 mg secara iv. Dosis
pemberian metronidazole 30mg/kgBB/hari selama 7 sampai 10 hari, Metronidazole
merupakan antibiotik lini pertama untuk bakteri anaerob seperti C.tetani, metronidazole dapat
menurunkan 24% mortalitas.3 Selain Metronidazole, antibiotik spectrum luas seperti
Ceftriaxone juga dapat diberikan. Diazepam 60 mg drip dalam 24 jam serta Tizanidine 3x2
mg untuk membantu mengurangi spasme otot maupun kejang. Diazepam pada spasme sedang
seperti kasus ini diberikan dengan dosis 5-10 mg iv dengan maksimal pemberian dalam 24
jam 120 mg dalam bentuk drip. 7 Diazepam termasuk dalam obat golongan Benzodiazepine
yang memiliki sifat GABA Agonis sehingga menjadi lini pertama untuk mengurangi spasme
otot pada pasien tetanus.8 Pasien juga dipasang NGT, dan diberikan makanan cair karena
mengalami disfagia dan trismus. Pasien tidak diberikan oksigen melalui nasal canul karena
tidak ada riwayat tachypneu dan saturasi oksigen diatas 95%. Oksigen baru diberikan pada
pasien dengan tanda-tanda hipoksia, distress nafas ataupun sianosis.7
Komplikasi tetanus dapat diakibatkan karena spasme otot dan disfungsi autonomic yang
berdampak pada berbagai organ seperti pada pernapasan, kardiovaskular, ginjal,
gastrointestinal dan muskuloskeletal.7
Prognosis pasien berdasarkan Phillips score termasuk severitas ringan yaitu masa inkubasi
lebih dari 7 hari, site of infection odontogenik, riwayat imunisasi tidak diketahui dan belum
adanya tanda-tanda komplikasi.9 Tidak terdapat perbedaan prognosis kasus tetanus akibat
odontogenik dan non-odontogenik. Dalam sebuah penelitian, mortalitas kasus tetanus akibat
odontogenik mencapai 30,77%, sedangkan untuk kasus non-odontogenik mortalitas mencapai
5-50% bergantung pada derajat keparahan kasus.6

Pernyataan Penulis
Data yang ditampilkan sudah mendapat izin dari pasien dan dokter penanggungjawab pasien,
tidak terdapat konflik kepentingan dalam laporan kasus ini.

Daftar Pustaka
1. Tiwari TSP, Moro PL, Acosta AM. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. 14th
ed. Washington, D.C.: Centers for Disease Control and Prevention; 2021. 315–328 p.
2. Tertia C, Sumada IK, Wiratmi NKC. Tetanus Tipe General Pada Usia Tua Tanpa Vaksinasi: Laporan
Kasus Dan Tinjauan Pustaka. Callosum Neurology Journal. 2019 Sep;2(3):110–8.
3. Akbar M, Ruslin M, Yusuf ASH, Boffano P, Tomihara K, Farouzanfar T. Unusual Generalized
Tetanus Evolving from Odontogenic Infection: A Case Report and Review of Recent
Literature. Heliyon. 2022 Sep 23;8.
4. Shahi MJ, Habibzadeh S, Teimourpour R. Generalized Tetanus in an Adult Patient: A Case Report.
Journal of Advances in Medical and Biomedical Research. 2020 Oct 21;28(131):346–9.
5. Harum A. Dental Caries as Risk Factor of Tetanus. Journal of Medula. 2014 Dec;3(2).
6. Rodriguez EDM, Rubio MGA, Tirado GAV. Tetanus Secondary to Oral and Odontogenic Infections: a
Case Report and Systematic Literature Review. Infez Med. 2023 Mar 1;31(1):93–102.
7. PERDOSSI. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT, editors.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2016.
8. Adam RD, Victor M. Tetanus in Principles Of Neurology . 8th Edition . Mc Graw-Hill international
edition. Singapore. 2005 : 1042-1043
9. Safrida W. TATA LAKSANA TETANUS GENERALISATA DENGAN KARIES GIGI (LAPORAN
KASUS) MANAGEMENT OF GENERALIZED TETANUS IN CARIES (CASE REPORT).
Cakradonya Dental Journal [Internet]. 10(1):86–95. Available from:
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ
10. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using Botulinum Toxin against
Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Toxins (Basel). 2013 Jan 8;5:73–83.
11. Jofizal J, Sjahrir H, Kotambunan Si, Imran D. Modul Neuro-Infeksi. Jakarta: Kolegium Neurologi
Indonesia; 2008.
12. Leman MM, Tumbelaka AR. Penggunaan Anti Tetanus Serum dan Human Tetanus Immunoglobulin
pada Tetanus Anak Laporan Kasus. Sari Pediatri. 2010;12(4):283–8.

Anda mungkin juga menyukai