Disusun Oleh :
PENDAHULUAN
Manusia tidak pernah terlepas dari yang namanya sejarah. Sejarah merupakan
segala peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang telah terjadi yang dapat
memberikan segala manfaat bagi kehidupan manusia baik itu menjadi sumber
inspirasi, edukatif, maupun sebagai sumber rekreatif bagi setiap manusia.
Khususnya sejarah mengenai peradaban Islam.
Sejarah mengenai peradaban Islam ini memberikan manfaat yang sangat besar
bagi para umat Islam di dunia. Di mana melalui sejarah peradaban Islam terdapat
berbagai cerita atau kronologi mengenai peristiwa-peristiwa yang berkaitan
dengan agama Islam baik itu pada zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
pada masa Khulafaurrasyidin, atau para tabi’in dan tabiuttabi’in.
Salah satu yang dikaji dalam sejarah peradaban Islam ialah mengenai
kerajaan-kerajaan yang berdiri sepeninggalan Rasulullah dan para sahabatnya,
diantara kerajaan-kerajaan tersebut adalah kerajaan Turki Ustmani yang berdiri
selama kurang lebih 7 abad lamanya. Kerajaan Turki Ustmani dipimpin oleh
banyak khalifah karena kerajaan ini berdiri dalam waktu yang lama. Banyak
peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa kerajaan Turki Ustmani, baik
itu mengenai konflik intern, ekstern, mengenai kejayaan-kejayaan yang diperoleh,
para pemimpinnya, faktor penyebab kemundurannya dan sebagainya. Sehingga
perlu mempelajari mengenai Kerajaan Turki Ustmani.
Hal inilah yang melatarbelakangi penyusunan makalah ini untuk mengkaji
lebih dalam mengenai kerajaan Turki Ustmani, baik itu mengenai latar belakang
kemunculannya, para pemimpinnya, kejayaan yang diperoleh serta faktor-faktor
yang menyebabkan keruntuhannya.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h.
193.
2
. Ibid., h. 194
3
B. Sejarah Berdirinya Kerajaan Turki Ustmani
Kerajaan Turki Ustmani didirikan oleh suku bangsa pengembara yang
berasal dari wilayah Asia Tengah, yang termasuk suku Kayi. Ketika bangsa
Mongol menyerang umat Islam, pemimpin suku kayi, Sulaiman Syah, mengajak
anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol tersbut dan lari ke
arah barat. Bangsa Mongol itu mulai menyerang dan menaklukan wilayah Islam
yang berada di bawah kekuasaan dinasti Khwarazm Syah tahun 1219-1220 M.
Sulaiman Syah meminta perlindungan kepada Jalal Ad-Din, pemimpin terakhir
dinasti Khwarazm Syah tersebut di Transoksania, sebelum dikalahkan oleh
assukan Mongol. Jalal ad-Din memberi jalan agar Sulaiman pergi ke Barat ke arah
Asia kecil, dan di sanalah mereke menetap. Sulaiman ingin pindah lagi ke wilayah
Syam setelah ancaman Mongol reda. Dalam usahanya pindah ke negri Syam
tersebut, pemimpin orang-orang Turki tersebut hanyut di suangi Euphrat yang
tiba-tiba pasang karena banjir besar, tahun 1228.[3]
Mereka akhirnya terbagi menjadi 2 kelompok, yang pertama ingin pulang
ke negeri asalnya, dan yang kedua meneruskan perantauannya ke wilayah Asia
Kecil. Kelompok kedua itu berjumlah sekitar 400 keluarga dipimpin oleh
Erthogrol (Arthogrol), anak Sulaiman. Mereka akhirnya menghambkan dirinya
kepada Sultan Ala ad-Din II dari Turki Saljuq Rum yang pemerintahannya
berpusat di Konya, Anatolia, Asia Kecil.[4]
Di sana di bawah pimpinan Ertoghrul mereka mengabdikan diri kepada
Sultan Seljuk yang sedang berperang melawan Bizanthium.[ 5] Pada waktu itu
bangsa Saljuq yang serumpun dan seagama dengan orang-orang Turki imigran
tadi melihat bahaya bangsa Romawi yang mempunyai kekeuasaan kemaharajaan
Romawi Timur (Bizantium). Dengan adanya tambahan pasukan baru dari saudara
sebangsanya itu pasukan Saljuq menang atas Romawi. Sultan gembira dengan
kemenangan tersebut dan memberi hadiah kepada Erthogrol wilayah yang
berbatasan dengan Bizantum.
3
. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam, cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 51.
4
. Ibid., h. 52
5
. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), h. 130.
4
Dengan senang hati Erthogrol membangun tanah perdikan itu dan
berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut dan merongrong wilayah
Bizantium. Mereka menjadikan Sogud sebagai pusat kekuasaannya. Dinasti
Saljuk Rum sendiri sedang surut pada saat itu. Dinasti tersebut telah berkuasa di
Anatholia bagian tengah kurang lebih dua ratus tahun lamanya, sejak tahun 1077
hingga tahun 1300.
Erthogrol mempunyai seorang putra yang bernama Usman yang
diperkirakan lahir tahun 1258. Nama Ustman itulah yang diambil sebagai nama
untuk kerajaan Turki Ustmani. Erthogrol meninggal tahun 1280. Ustman ditunjuk
untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemimpin suku bangsa Turki
atas persetujuan Sultan Saljuq, yang merasa gembira karena pemimpin baru itu
dapat meneruskan kepemimpinan pendahulunya. Sultan banyak memberikan hak
istimewa kepada Ustman dan mengangkatnya menjadi gubernur dengan gelar bey
di belakang namanya. Ustman juga diperbolehkan untuk mencetak uang sendiri
dan didoakan dalam khutbah jum’at. Namun demikian, sebagian ahli
menyebutkan bahwa Ustman adalah anak Sauji. Sauji itulah anak Erthogrol,
sehingga Usman adalah cucunya, bukan anaknya. Sauji telah meniggal sebelum
ayahnya meninggal. Ia meninggal dalam perjalanan pulang sehabis memohon
kepada Sultan Saljuq atas perintah ayahnya Erthogrol untuk tinggal menetap di
wilayahnya. Permohonan itu dikabulkan oleh Sultan makanya Erthogrol ketika
menerima berita ini sedih bercampur gembira. Sedih karena anaknya meninggal
dan gembira karena permohonannya untuk menettap di wilayah Saljuq itu
dikabulkan oleh Sultan.[6]
Ketika Erthogrol meninggal dunia tahun 1289 M, kepemimpinan
dilanjutkan oleh Ustman. Usman inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajan
Ustmani. Ustman memerintah antara tahun 1290 M dan 1326 M. Sebagaimana
ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya
menduduki benteng-benteng Bizanthium yang berdekatan dengamn kota Broessa.
Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuq Rum ini
kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil.
6
. Syafiq A. Mughni, Op . Cit., h. 52.
5
Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah
yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Usman dinyatakan berdiri. Penguasa
pertamanya adalah Usman yang sering disebut juga Ustman I.[7]
1. Periode Pertama
7
. Badri Yatim, Op. Cit., h. 130.
8
. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam, cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 53.
6
Periode ini dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai
kehancuran sementara oleh serangan Timur. Sultan-sultannya adalah sebagai
berikut:
a. Usman I 1299-1326
b. Orkhan (Putera Usman I) 1326-1359
c. Murad (Putera Orkhan) 1359-1389
d. Bayazid I Yildirim (Putera Murad) 1389-1402. [9]
9
. Ibid., h. 53.
10
. Ibid., h. 54.
11
. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), h. 131.
7
Ketika Murad I berkuasa (1359-1389 M) selain memantapkan keamanan
dalam negeri, ia melakukan perluasan daerah ke benua Eropa. Ia dapat
menaklukkan Adrionopel, Macedonia, Sopia, Salonia, dan seluruh wilayah bagian
Utara Yunani. Merasa cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa,
Paus mengobarkan semangat perang. Sejumlah bessar pasukan Eropa disiapkan
untuk memukul mundur Turki Ustmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman ,
raaja Honggaria. Namun Sultan Bayazid 1 dapat mengahancurkan pasukan sekutu
Kristen Eropa tersebut.[12]
Sultan Bayazid naik tahta tahun 1389 dan mendapat gelar Yaldirin dan
Yaldrum, yang berarti kilat karena terkenal dengan serangan-serangannya yang
cepat terhadap lawannya. Ia menaklukkan wilayah-wilayah yang belum
ditundukkan oleh para pendahulunya. Di masanya terjadi perang besar antara
pasukan Ustmani dengan ntentara sekutu Eropa. Bayazid tidak gentar menghadapi
pasukan sekutu di bawah anjuran Paus dan bahkan menghancurkan pasukan salib.
[13]
Ekspansi kerajaan Usmani sempta terhenti beberapa lama. Ketika ekspansi
diarahkan ke Konstantinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk
melakukan serangan ke Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara tahun
1402 M. Tentara Turki Ustmani mengalami kekalahan. Bayazid bersama
puteranya Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M. Kekalahan
Bayazid di Ankara itu membawa akibat buruk bagi Turrki Ustmani. Penguasa-
penguasa Seljuq di Asia Kecil melepaskan diri dari genggaman Turki Usmani.
Wilayah-wilayah Serbia dan Bulgaria juga memproklamasikan kemerdekaan.
Dalam pada itu putera Bayazid saling berebut kekuasaan. Suasana buruk ini baru
berakhir setelah Sultan Muhammad I (1403-1421 M) dapat mengatasinya. Sultan
Muhammad berusaha keras menyatukan negaranya dan mengembalikan kekuatan
dan kekuasaan seperti sediakala.[14]
12
. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h.
196.
13
. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam, cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 55.
14
. Badri Yatim, Loc. Cit., h. 131.
8
2. Periode Kedua
Periode ini ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan
sampai ekspansinya yang terbesar. Sultan-sultannya adalah:
a. Muhammad I (Putera Bayazid I) 1403-1421
b. Murad II (Putera Muhammad I) 1421-1451
c. Muhammad II Fatih (Putera Murad II) 1451-1481
d. Bayazid II (Putera Muhammad II) 1481-1512
e. Salim I (Putera Bayazid II) 1512-1520
f. Sulaiman I Qanuni (Putera Salim I) 1520-1566.[15]
15
. Syafiq A. Mughni, op. Cit., h. 58.
16
. Badri Yatim, Loc. Cit., h. 132.
9
Yang paling penting adalah bersatunya pasukan Eropa di bawah komando
negeri Honggaria dengan Huynade sebagai pemimpinnya. Serangan-serangan
terhadap dunia Islam membuahkan kemenangan, yang memaksa Murad II untuk
berdamai dengan mereka. Perdamaian dengan sumpah di bawah kitab suci
masing-masing agama itu Injil dan Al-Qur’an dikhanati oleh pihak Kristen.
Mereka bernafsu menyerang kembali Ustman tanpa menghiraukan perjanjian
yang telah dibuat belum lama berselang. Sultan Murad yang semula
mengundurkan diri dari panggung politik bangkit keembali guna menghadapi
penghinatan itu. Akhirnya dengan semangat yang tinggi dan serangan yang
dahsyat pasukan Huynade dapat dilumpuhkan dan ia lari ke Eropa. Sultan Murad
II meninggal setelah itu, pada tahun 1451 M, dan digantikan oeh putranya,
Muhammad II.[17]
Sultan Muhammad II naik tahta pada tahun 1451 M dengan mewarisi
kerajaan yang luas. Ia terkenal dengan nama Al-Fatih, sang penakluk atau
pembuka, karena pada masanya Konstantinopel sebagai ibu kota Bizantium
berabad-abad lamanya dapat ditundukkan. Hal itu terjadi pada tahu 1453 M.
Pasukan Ustmani memblokade kota berbenteng kat itu dari segala penjuru yang
akhirnya kota itu dapat ditaklukkan. Gereja Aya Sophia yang terkenal itu diubah
menjadi mesjid dan kebebasan beragama dijamin. Ibu kota Usmani dipindahkan
ke kota itu dari Edirne.[18] Telah berulang kali pasukan muslim sejak masa
Umayyah berusaha menaklukkan Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena
kokohnya benteng di kota tua itu. Dengan terbukannya kota Konstantinopel
sebagai benteng pertahanan terkuat keerajaan Bizanthium, lebih memudahkan
arus ekspansi Turki Ustmani ke benua Eropa. Dan wilayah Eropa bagian timur
semakin terancam oleh Turki Ustmani. Karena ekspansi Turki Usmani juga
dilakukan ke wilayah ini bahkan sampai ke pintu gerbang kota Wina, Austria.[19]
17
. Syafiq A. Mughni, Loc. Cit., h. 58-59.
18
. Ibid., h. 59.
19
. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h.
196.
10
Sultan Muhammad mengembangkan wilayahnya lebih lanjut setelah
penaklukan yang dinanti-nanti oleh umat Islam. Sultan meninggal tahun 1481 dan
diganti oleh putranya Bayazid II.
Berbeda bengan ayahnya Bayazid II lebih memnetingkan kehidupan
tasawuf daripada perang di medan laga. Kelemahannyaa di bidang pemerintahan
yang cenderung berdamai dengan musuh mengakibatkan Sultan itu tidak begitu
ditaati oleh rakyatnya, termasuk putera-puteranya. Bahkan terjadi perselisihan
yang panjang antara mereka. Akhirnya Sultan Bayazid II mengundurkan diri dari
pemerintahan tahun 1512 dan digantikan oleh puteranya Salim I.
Berbeda dengan ayahnya Sultan Salim I memiliki kemampuan memerintah
dan memimpin peperangan. Maka pada saat pemerintahannya wilayah Ustman
bertambah luas hingga menembus Afrika Utara. Syria dapat ditaklukan dan Mesir
yang diperintah oleh kam Mamalik ditundukkan pada tahun 1517 M. Gelar
khalifah yang disandang oleh al-Mutawakkil ‘ala Allah, salah seorang keturunan
Bani Abbas yang selamat daris serangan bangsa Mongol 1235 M dan pada saat itu
yang berada di bawah proteksi Mamluk, diambil alih oleh Sultan. Dengan
demikian sejak masa Sultan Salim para sultaan Ustmani menyandang juga gelar
khalifah. Walaupun sangat sebentar sekali berkuasa Sultan Salim sangat berjasa
membentangkan wilayahnya hingga mencapai Afrika Utara, suatu hal yang belum
pernah dilakukan oleh para pendahulunya. Ia meninggal tahun 1520 dan
digantikan oleh anaknya Sulaiman I.[20]
Pada masa Sultan Sulaiman I ini terjadilah zaman keemasan bagi kerajaan
Turki Ustmani. Wilayahnya mencapai kawasan yang luas, meliputi daratan Eropa
hingga Austria, Mesir dan Afrika Utara hingga Aljazair dan Asia hingga ke
Persia. Serta meliputi lautan Hindia, laut Arabia, laut Merah, Lut Tengah dan Laut
Hitam. Ia menyebut dirinya sebagai Sultan dari segala Sultan, raja diraja, pemberi
anugrah mahkota bagi raja-raja dan bayang-bayang Allah di muka bumi. Ia
membuat dan memberlakukan Undang-undang di wilayahnya sehingga ia disebut
al-Qanuni, pembuat Undang-undang. Orang Barat menyebutnya sebagai Sulaiman
yang agung, The Magnificent.
20
. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam, cet. 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 59.
11
Ia wafat taahun 1566 dan digantikan oleh putranya Salim II. Di masa
anaknya inilah mulai tampak kemunduran kerajaan Ustmani sedikit demi sedikit.
3. Periode Ketiga
Periode ini ditandai dengan kemampuan Ustmani untuk mempertahankan
wilayahnya, sampai lepasnya Hungaria. Namun kemunduran segera terjadi.
Dalam masa kemunduran Turki Ustmani setelah Sulaiman terdapat beberapa
Sultan yang berkuasa berturut-turut sebagai berikut:
a. Salim II (Putera Sulaiman I) 1566-1573
b. Murad III (Putera Salim II) 1573-1596
c. Muhammad III (Putera Murad III) 1596-1603
d. Ahmad I (Putera Muhammad III) 1603-1617
e. Mustafa I (Putera Ahmad I) 1617-1618
f. Usman II (Putera Ahmad I) 1618-1622
g. Mustafa I (Yang kedua kalinya) 1622-1623
h. Murad IV (Putera Ahmad I) 1623-1640
i. Ibrahim I (Putera Ahmad I) 1640-1648
j. Muhammad IV (Putera Ibrahim I) 1648-1687
k. Sulaiman III (Putera Ibrahim I) 1687-1691
l. Ahmad II (Putera Ibrahim I) 1691-1695
m. Mustafa II (Putera Muhammad IV) 1695-1703.[21]
21
. Ibid., h. 60.
12
Selama abad ke-16 sudah tampak bahwa Usmani hanya bisa bertahan
dengan perang yang terus menerus, sekarang keadaan itu harus disesuaikan
dengan kondisi aman. Pengganti Sulaiman tidak sesuai dengan tuntutan kondisi
itu. Sultan Muhammad II, Usman II, dan Muhammad IV sering menyertai
pasukan dalam ekspedisi, tetapi Murad IV adalah Sultan terakhir yang
mempertahankan tradisi ghazi. Jadi para sultan selanjutnya kurang terlibat
langsung dalam administrasi negara sekalipun mereka tetap dikelilingi oleh tradisi
kebesaran.
Namun ini tidak menyelamatkan pembunuhan Ustman II pada tahun 1628
dan pemakzulan Ibrahim pada tahun 1648 dan Muhammad IV pada tahun 1688.
Bahkan para penguasa dan jendral memainkan peran lebih penting dalam
pemerintahan, seperti Mehmed Saqoli Pasya di bawah Salim II, Sinan Pasya di
bawah Muhammad II, Murad Pasya dan Khalil Pasya di bawah Ahmad I dan
Ustman II. Di samping itu beberapa kelompok lain bersaing dalam mengatur
negara, seperti korps Janissari, Sipahi, lingkaran istana dan ulama’ dengan
instuisinya syaikh al-islam. Murad IV adalah satu-satunya sultan yang sanggup
menekan pengaruh kelompok-kelompok itu. Ia bahkan berhasil meningkatkan
kekuatan militer baru, Segban, berasama-sama Janissari. Sekalipun terdapat
gejolak keagamaan dari sebagian masyarakat melawan orang-oarangg kristen,
para negarawan itu menunjukkan sikap yang sangat toleran.
Ada pemberontakan agama yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah di
Asia Kecil, dan ini menunjukkan bahwa tradisi keagamaan lama abad ke-13 dan
ke-14 tidak seluruhnya lenyap. Pada tahun 1599 muncul gerakan Qara Yaziji dan
Urfa, pada tahun 1606 pemberontakan Qalender Oghlu di Sharukhan, yang
sempat beberapa tahun menguasai wilayah yang luas di Anatolia Barat, sampai
dihancurkan oleh Murad Pasya; pada tahun 1623-1628 terjadi pemberontakan
Abaza yang melawan Janissari. Di Anatolia timur ada gerakan pemisahan diri di
bawah seorang Kurdi bernama Janbulat di Syiria Utara.[22]
22
. Ibid., h. 62
13
4. Periode Keempat
Periode ini ditandai dengan secara berangsur-angsur surutnya kekuatan
kerajaan dan pecahnya wilayah di tangan para penguasa wilayah. Sultan-sultannya
adalah sebagai berikut:
a. Ahmad III (Putera Muhammad IV) 1703-1730
b. Mahmud I (Putera Mustafa II) 1730-1754
c. Usman III (Putera Mustafa II) 1754-1757
d. Mustafa III (Putera Ahmad III) 1757-1774
e. Abdul Hamid (Putera Ahmad III) 1774-1788
f. Salim III (Putera Mustafa III) 1789-1807
g. Mustafa IV (Putera Abd. Al-Hamid I) 1807-1808
h. Mahmud II (Putera Abd. Al-Hamid II) 1808-1839. [23]
23
. Ibid., h. 63.
14
Setelah Ahmad III kehidupan di istana menjadi lebih tenang. Kelas
penguasa dan para sultan mulai menyadari kelemahan kerajaan dan berusaha
mengatasinya dengan cara memperkenalkan pembaharuan militer. Salim III
melaksanakan pembaharuan militer, tetapi sangat sedikit yang mendukungnya.
Intitisi pasukan baru yang menyebabkan pemberonrakan Janissari yang didukung
oleh para ulama’. Mahmud II akhirnya mempertimangkan reformasi yang lebih
terencana. Ia akhirnya mengambil kesimpulan bahwa tidak ada jalan lain dalam
melaksanakan pembaharuan selain melakukan pembunuhan massal terhadap
Janissari, tindakan itu benar-baenar terjadi di Konstantinopel pada 16 Juni 1826.
[24]
Pada saat yang sama tarekat Bektassyyiyah ditindas. Lemahnya kerajaan
pusat telah menjadi karakterr kerajaan Usmani pada abad ke-18. Aljazair, Tunisia,
dan Tripoli diperintah oleh para Bey secara turun-temurun. Mesir diambil alih
oleh Ali Bey. Di Anattholia pada tahun 1739 ada pemberontakan yang berbahaya
dari Syari Beg Oghlu. Di Mesopotamia dan Iraq kondisinya juga demikian. Di
syiria kaum Druze memiliki amirnya sendiri dan daerah pantai dikuasai oleh
Jazzar Pasya dari Akka.
24
. Ibid., h. 64-65
15
5. Periode Kelima
Periode ini ditandai dengan kebangkitan kultural dan administratif dari
negara di bawah pengaruh ide-ide barat. Sultan-sultanya adalah:
a. Abdul Majid I (Putera Mahmuud II) 1839-1861
b. Abdul Aziz (Putera Mahmud II) 1861-1876
c. Murad V (Putera Abd. Majid I) 1876-1876
d. Abdul Hamid II (Putera Abd. Majid I) 1876-1909
e. Muhammad V (Putera Abd. Majid I) 1909-1918
f. Muhammad IV (Putera Abd. Majid I) 1918-1922
g. Abdul Majid II (1922-1924), hanya bergelar khalifah, tanpa sultan yang
akhirnya diturunkan pula dari jabatan khalifah. Turki Usmtani di hapus
oleh Kemal Attaturk dan Turki menjadi negara nasiona Republik Turki.[25]
25
. Ibid., h. 66.
26
. Ibid., h.67.
16
D. Peradaban Islam di Turki
Sejak masa Usman bin Ertaghrol yang dianggap pembina pertama kerajaan
Turki Usmani ini dengan nama imperium Ottoman timbullah kemajuan dalam
berbagai bidang agama Islam. Turki membawa pengaruh cukup baik dalam
bidang ekspansi agama Islam ke Eropa.
1. Bidang Pemerintahan dan Militer
Para pemimpin kerajaan Ustmani pada masa-masa pertama adalah orang-
orang yang kuat sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan
luas. Meskipun demikian, kemajuan kerajaan Ustmani hingga mencapai masa
keemasannya itu bukan semata-mata karena keunggulan politik para
pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan tersebut.
[27]
Untuk pertama kali, kekuatan militer kerajaan ini mulai diorganisasi dengan
baik dan teratur ketika terjadi kontak senjat dengan Eropa. Ketika itu pasukan
tempur yang besar sudah terorganisasi. Pengorganisasian yang baik, taktik dan
strategi tempur Ustmani berlangsung tanpa halangan berarti. Namun tidak lama
setelah kemenangan tercapai, kekuatan mliter yang besar ini dilanda kekisruhan.
Kesadaran perajuritnya menurun. Mereka merasa dirinya sebagai pemimpin-
pemimpin yang berhak menerima gaji. Akan tetapi keadaan tersebut segera dapat
diatasi oleh Orkhan dengan jalan megadakan perombakan besar-besaran dalam
tubuh militer.
Perbaharuan dalam tubuh orginisasi militer oleh Orkhan tidak hanya dalam
bentuk mutasi personil-personil pemimpin, tetapi juga diadakan perombakan
dalam keanggotaan. Bangsa-bangsa non Turki dimasukkan sebagai anggota dan
dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata
berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan
Jenissari dan Inkisyariah.
27
. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h.
200.
17
Pasukan inilah yang dapat mengubah negara Ustmani menjadi mesin perang
yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukan
negara-negara non-muslim.[28]
Di samping Jenisseri, ada lagi prajurit dari tentara kaum feodal yang dikirim
kepada pemerintah pusat. Pasukan ini disebut tentara atau militer Thaujjah.
Angkatan lautpun dibenahi, karena ia memiliki peranan yang besar dalam
perjalanan ekspansi Turki Ustmani. Pada abad ke-16 angkatan laut Turki Ustmani
mencapai puncak kejayaannya. Kekuatan militer Turki Ustmani yang tangguh itu
dengan cepat dapat menguasai wilayah yang sangat luas, baik di Asia, Afrika,
maupun Eropa.
Keberhasilan ekspansi tersebut dibarengi pula dengan terciptanya jaringan
pemerintah yang teratur. Dalam mengelola pemerintahan yang luas, sultan-sultan
Turki Ustmani senantiasa bertindak tegas. Dalam struktur pemerintahan, sultan
sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh Shadr Al-A’zham (perdana mentri) yang
membawahi Pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkat I. Di
bawahnya terdapat beberapa orang Az-Zanaziq atau Al-Alawiyah (bupati). Untuk
mengatur urusan pemerintahan negara, di masa Sultan Sulaiman I disusun sebuah
kitan undang-undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa Al-Abhur,
yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Ustmani sampai datangnya
reformasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini,
di ujung namannya ditambah gelar Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Kemajuan dalam
bidang kemiliteran dan pemerintahan ini membawa Dinasti Turki Usmani menjadi
sebuah negara yang cukup disegani pada masa kejayaannya.[29]
18
Sedangkan ajaran tentang perinsip-perinsip ekonomi, sosial kemasyarakatan
dan keilmuan mereka terima dari orang-orang Turki Ustmani yang terkenal sbagai
bangsa yang senang dan mudah berasimilasi dengan bangsa asing utnuk menerima
kebudayaan luar.[30]
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Ustmani lebih banyak
memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kkemiliteran sementara dalam
bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak begitu menonjol. Karena itulah
dalam khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuan terkemuka dari
Turki Usmani.[31]
3. Bidang Kebudayaan
Dinasti Ustmani di Turki telah membawa peradaban Islam menjadi
peradaban yang cukup maju. Pada zaman kemajuannya. Dalam bidang
kebudayaan Turki Ustmani banyak muncul tokoh-tokoh penting seperti yang
terlihat pada abad ke-16, 17, dan 18. Antara lain abad ke-17, muncul penyair
yanitu Nafi’ (1582-1636 M). Nafi’ bekerja untuk Murad Pasya dengan
menghasilkan karya-karya sastra Kaside yang mendapat tempat di hati para
Sultan.
Di antara penulis yang membawa pengaruh Persia ke dalam istana Usmani
adalah Yusuf Nabi (1642-1721 M), ia muncul sebagai juru tulis bagi Musahif
Mstafa, salah seorang menteri Persia dan ilmu-ilmu agama. Dalam bidang sastra
prosa Kerajaan Ustmani melahirkan dua tokoh terkemuka yaitu Katip Celebi dan
Evliya Celebi. Yang terbesar dari smeua penulis adalah Mustafa bin Abdullah,
yang dikenal dengan Katip Celebi dan Haji Halife (1609-1657 M). Ia menulis
buku bergambar dalam karya terbesarnya Kasyf Az-Zunun fi Asmai Al-Kutub wa
Al-Funun. Selain itu terdapat salah seorang penyair yang paling terkenal adalah
Muhammad Esat Efendi yang dikenal dengan Galip Dede atau Syah Galip (1757-
1799 M).
30
. Ibid., h. 202.
31
. Badri Yatim, op. Cit., h. 136.
19
Adapun di bidang seni arsitektur Islam pengaruh Turki sangat dominan,
misalnya bangunan-bangunan mesjid yang indah, seperti mesjid Al-Muhammadi
atau Majid Sultan Muhammad Al-Fatih, Masjid Agung Sultan Sulaiman, dan
masjid Aya Sophia yang berasal dari sebuah gereja.[32]
Pada masa Sulaiman di kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak
dibangun mesjid, sekolah, rumah sakit, gedung maka, jembatan, saluran air, villa,
dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah bangunan di bawah
koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.[33]
4. Bidang Keagamaan
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam
lapangan sosial dan politk. Masyarakat digolong-golongkan berdasarkan agama,
dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi
hukum yang berlaku. Karena itu ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan
besar dalam kerajaan dan masyarakat. Mufti, sebagai pejabat urusan agama
tertinggi, berwenang memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang
dihadapi masyarakat. Tanpa legitimasi Mufti keputusan hukum kerajaan bisa tidak
berjalan.
Pada masa Turki Ustmani tarekat juga mengalami kemajuan. Tarekat yang
paling berkembang ialah tarekat Bektasyi dan tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini
banyak dianut oleh kalangan sipil dan militer. Tarekat Bektasyi mempunyai
pengaruh yang amat dominan di kalangan tentara Jenissari, sehingga mereka
sering disebut tentara Bektasyi. Sementara tarekat Maulawi mendapat dukungan
dari para penguasa dalam mengimbangi Jenissari Bektasyi.[34]
Kajian mengenai ilmu keagamaan Islam, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan
hadis boleh dikatakan tiak mengalami perkembangan yang berarti. Para penguasa
lebih cenderung untuk menegakkan satu faham (mazhab) keagamaan dan
menekan mazhab lainnya. Sultan Abdul Hamid misalnya, begitu fanatik terhadap
aliran Al-Asy’ariyah.
32
. Samsul Munir Amin, Op. Cit.,h. 202.
33
. Badri Yatim, Op. Cit., h. 136.
34
. Ibid., h. 136.
20
Ia merasa perlu mempertahankan aliran tersebut dari kritikan aliran lain.
Sultan memerintah kepada Syaikh Husein Al-Jisr Ath-Tharablusi menulis kitab
Al-Hunus Al-Hamidiyah, yang mengupas tentang masalah ilmu kalam, untuk
melestarikan lairan yang dianutnya. Akibat kelesuan di bidang ilmu agama dan
fanatik yang berlebihan maka ijtihad tidak berkembang. Ulama hanya menulis
buku dalam bentuk syarah dan hasyiyah terhadap karya-karya klasik.[35]
Bagaimanapun kerajaan Turki Usmani banyak berjasa, terutama dalam
perluasan wilayah kekuasaan Islam ke benua Eropa. Ekspansi kerajaan ini untuk
pertama kalinya lebih banyak ditujuka ke Eropa Timur yang belum masuk ke
dalam wilayah kekuasaan dan agama islam. Akan tetapi karena dalam bidang
peradaban dan kebudayaan kecuali dalam hal-hal yang bersifat fisik
pekembangannya jauh di bawah kemajuan politik, maka bukan saja negeri-negeri
yang sudah ditaklukan itu, akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan pusat, tetapi
juga masyarakatnya tidak banyak yang memeluk agama Islam.[36]
35
. Samsul Munir Amin, Op. Cit., h. 204.
36
. Badri Yatim, Op. Cit., h. 137-138.
37
. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, cet.2, (Jakarta: Amzah, 2010), h.
205.
21
Pada masa Sultan Murad III (1574-1595) Kerajaan Usmani pernah berhasil
menyerbu Kaukasia dan menguasai Tiflis di laut Hitam (1577 M), merampas
kembali Tibris, ibu kota kerajaan Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri
urusan dalam negeri Polandia dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun
1593M.
Namun karena kehidupan moral Sultan yang kurang baik menyebabkan
timbulnya kekacauan dalam negeri. Apalagi ketika pemerintahan dipegang oleh
para sultan yang lemah seperti Sultan Muhammad III, dalam siatuasi yang kurang
baik itu, Austria berhasil memukul kerajaan Ustmani. Sesudah Sultan Ahmad I
(1603-1617 M) situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I. Karena
gejolak politik dalam negeri tidak dapat diatasinya, Syaikh Al-Islam,
mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II.
Pengganti Sultan Mustafa III adalah Sultan Abdul Hamid seorang Sultan
yang lemah. Pada masa Sultan Hamid mengadakan perjanjian dengan Catherine II
dari Rusia yang diberi nama perjanjian Kinarja, isinya yaitu kerajaan Ustmani
harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di laut Hitam kepada Rusia dan
memberi izin kepada armada Rusia untuk melintas selat yang menghubungkan
Laut Hitam dan laut puith, dan kerajaan Ustmani mengakui kemerdekaan Kirman.
[38]
Demikianlah proses kemunduran yang terjadi di kerajaan Ustmani selama
dua abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman al-Qanuni. Tidak ada tanda-
tanda membaik sampai abad ke 19 M. Oleh karena itu satu persatu negeri-negeri
di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya
negeri-negeri Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang
memberontak terhadap kekuasaan kerajaan Ustmani, tetapi juga beberapa daerah
di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak.[39]
38
. Ibid., h. 206.
39
. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 12, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), h. 166.
22
Banyak faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani itu mengalami
kemunduran, diantaranya adalah:
1. Wilayah kekuasaan yang sangat luas, administrasi pemerintahan bagi suatu
negara yang amat luas wilayahnya sangat rumit dan kompleks, sementara
administari pemerintahan kerajaan Ustmani tidak beres. Di pihak lain para
penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas, sehingga
mereka terlibat perang terus menerus dengan berbagai bangsa, hal ni tentu
menyedot potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun
Negara.
2. Heterogenitas penduduk, sebagai kerajaan besar, Turki Ustmani menguasai
wilayah yang amat luas, mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz,
dan Yaman di Asia. Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika, dan Bulgaria,
Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa. Wilayah
yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam, baik dari segi agama, ras,
etnis, maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beragam dan
tersebar di wilayah yang luas itu, diperlukan suatu organisasi pemerintahan
yang teratur.
3. Kelemahan para penguasa, sepeninggalan Sulaiman Al-Qanuni, kerajaan
Ustmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah baik dalam kepribadian
terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya pemerintahan menjadi kacau.
Kekacauan itu tidak pernah dapat diatasi secara sempurna, bahkan semakin
lama menjadi semakin perah.
4. Budaya Pungli (korupsi), pungli merupakan perbuatan yang sudah umum
terjadi dalam kerajaan Ustmani, setiap jabata yang hendak diraih oleh
seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang berhak
memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya Pungli ini
mengakibatkan dekadensi moral kian merajalela yang membuat pejabat
semakin rapuh.
23
5. Pemberontakan tentara Jenissari, kemajuan ekspansi kerajaan Ustmani banyak
ditentukan oleh kuatnya tentara Jenissari, dengan demikian dapat
dibayangkan bagaimana kalau tentara ini memberontak. Pemberontakan
tentara Jenissari terjadi sebanyak empat kali.
6. Merosotnya ekonomi, akibat perang yang tak pernah berhenti pereekonomian
negara merosot. Pendapatan berkurang sementara belanja negara sangat besar
untuk biaya perang.
7. Terjadinya Stagnasi dalam lapanagan Ilmu dan Teknologi, kerajaan Ustmani
kurang berhasil dalam mengembangkan ilmu dan teknologi, karena hanya
mengutamakan penegmbangan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak
diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak
sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju.[40]
40
. Ibid., h. 167.
41
. Samsul Munir Amin, op.cit., h. 209.
24
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
26