Anda di halaman 1dari 1

ASMARA AMERTA

Entah sejak kapan sebuah ingatan mampu menciptakan sebuah senyuman. Entah sejak
kapan sebuah tatapan mampu menciptakan sebuah perasaan. Sesuatu yang dikenal sebagai
pedang bermata dua. Dimana ia mampu menebas masalahmu, atau bahkan menebas dirimu
sendiri. Terkadang hal itu membuatku takut untuk melanjutkan Langkah dalam perjalanan
menggapainya. Tetapi, hal itu selalu mengenalkan dirinya sebagai sesuatu yang candu. Lepas
darinya adalah suatu hal yang sulit, atau bahkan tak mungkin. Sekali mengenalnya, selalu
akan mengenangnya. Ketika sebuah ingatan menjadi rindu, disitulah esensi dari cinta
semakin mengikat diriku.
Sungguh banyak jiwa yang menganggap bahwa cinta sekedar perihal suka, senang, dan
Bahagia. Tetapi hal itu bermakna berbeda bagi beberapa jiwa, dan mungkin aku adalah salah
satu yang mempercayai makna itu. Bahwasannya cinta selalu mengundang perasaan gelisah,
dimana kita harus berimajinasi akan masa depan yang bersifat ekspektasi. Banyak hal yang
begitu sakit bila dikaitkan dengan rasa itu.
Mungkin sebagai seorang remaja yang belum mengenal kerasnya realita sosial dan
berbagai kata luka maupun duka, diriku hanya akan memaknai cinta sebagai bagaimana cara
membuat seseorang tersenyum. Walau bahkan makna sesederhana itu menyimpan jutaan
kiasan yang begitu mendalam. Selalu ada rasa bahwa cinta harus dimaknai lebih darinya.
Berulang dan berulang pada dunia memaknai cinta, dalam suatu ruang waktu singkat
yang diberikan. Senyum menemani tangis, tangis menemani takut, dan takut menemani rasa
gelisah. Dari banyaknya jenis ekspresi emosional yang diketahui manusia, hanya beberapa
yang kutemui sebagai ungkapan ekspresif positif. Senyum dan tertawa, yang berdiri di antara
ungkapan rasa takut, gelisah, galau, kecewa, cemas, marah, dan lainnya. Kemana perginya
rasa bangga yang seharusnya menemani rasa kecewa? Diri ini tidak pernah merasa bangga
selama senyum dan tawa belum hadir di wajahnya.
Banyak pujangga dan seniman yang mengekspresikan cinta melalui lantunan syair,
lagu, sajak, dan berbagai karya lainnya. Bukankah seharusnya diri ini juga mengungkapkan
rasa itu melalui sebuah seni? Tahun demi tahun kulalui untuk memperdalam suatu seni
sederhana, yang bahkan begitu dicari banyaknya penguasa di dunia. “Seni untuk tersenyum”.
Apa gunanya menyaksikan indahnya dunia bila kita tidak bisa tersenyum. Apa gunanya
mendengar lelucon bila kita tidak bisa tertawa. Pada akhirnya Bahagia tidak bergantung pada
apa yang kita lihat maupun yang kita dengar. Semua itu bergantung pada bagaimana kita
mempercayai seni untuk tersenyum, yakni meyakini bahwa luka yang menyakiti bukanlah hal
yang selalu akan menemani. Dengan itu kita akan lebih berani untuk mengenal berbagai rasa
dengan berbagai resiko yang sering lalu Lalang dari ucapan ke ucapan. Mengambil
kebahagiaan dan melupakan kesedihan. Dengan itu aku bisa mengatakan, “Selamat datang
senyuman, selamat tinggal tangisan”.
Secara teori, cinta adalah sesuatu yang mudah untuk dikuasai.

Anda mungkin juga menyukai