Nim : 236000300111001
Universitas Brawijaya
A. Pendahuluan dan Tujuan
1. Pendahuluan
Krisis ekonomi makro terjadi setelah periode "oil boom" dan mencakup dua periode,
yaitu penurunan harga ekspor komoditas minyak pada 1982-1985 dan apresiasi Yen terhadap
Dolar Amerika serta masalah hutang luar negeri pada 1986-1988. Krisis ini memotivasi
pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan penyesuaian dalam berbagai bidang.
Awalnya, Indonesia menerapkan sistem etatisme di mana negara dan aparatur ekonomi
negara memiliki dominasi penuh atas sektor ekonomi, membatasi potensi dan kreativitas sektor
swasta. Namun, melalui kebijakan penyesuaian, pemerintah berusaha mengubah sistem ini
menjadi d'etatisme, di mana swasta dan masyarakat lebih banyak terlibat dalam sektor ekonomi
yang dianggap penting.
Bank Dunia mengidentifikasi tiga kriteria penting untuk keberhasilan privatisasi, yaitu
keinginan politik, kelayakan politik, dan kredibilitas. Keinginan politik mengacu pada
keinginan pemerintah dan institusi untuk mempertimbangkan keuntungan dan kerugian
reformasi. Kelayakan politik berarti menciptakan stabilitas politik, sementara kredibilitas
berfokus pada upaya mengurangi ketidakpercayaan investor.
2. Konsep Privatisasi
Privatisasi dijelaskan sebagai penyerahan beberapa fungsi atau aset yang biasanya
dikelola oleh pemerintah kepada sektor swasta. Ini bisa meliputi penjualan saham, pengalihan
kepemilikan, atau kerjasama antara sektor publik dan swasta dalam penyediaan layanan
publik.Tujuan privatisasi adalah meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan profitabilitas BUMN.
Privatisasi diharapkan dapat mengurangi beban anggaran pemerintah, memperbaiki
manajemen, dan meningkatkan pelayanan publik.
Terdapat berbagai model privatisasi yang dapat diterapkan, termasuk kontrak kerja,
waralaba, sistem voucher, subsidi produsen, pasar bebas, sumbangan sukarela, dan melayani
sendiri. Setiap model memiliki keunggulan dan batasan tersendiri. Keberhasilan privatisasi
dapat terlihat dari berbagai negara maju dan berkembang. Di negara maju, seperti Inggris,
Prancis, dan Amerika, privatisasi telah meningkatkan profitabilitas dan efisiensi sektor yang
diprivatisasi. Di negara berkembang, seperti Malaysia dan Thailand, privatisasi juga
memberikan manfaat ekonomi.
Proses seleksi BUMN yang layak untuk diprivatisasi harus mempertimbangkan kriteria
kuantitatif dan kualitatif. Beberapa kriteria kuantitatif melibatkan laba, aset, ROE, dan DER.
Sementara kriteria kualitatif melibatkan daya tarik bisnis, ketergantungan terhadap dukungan
pemerintah, dan kebutuhan modal investasi. Kebijakan privatisasi dapat berubah seiring
dengan perkembangan lingkungan ekonomi dan politik. Perubahan ini dapat berupa
penyesuaian terhadap kriteria seleksi, metode privatisasi, atau orientasi BUMN yang akan
diprivatisasi.
Dalam implementasi privatisasi, seringkali terbentuk aliansi politik antara BUMN dan
pihak lain. Ini bisa mencakup keterlibatan pihak-pihak yang memiliki hubungan politik dengan
pemerintah atau pemangku kebijakan. Aliansi politik ini dapat memengaruhi proses privatisasi.
Privatisasi merupakan perubahan fundamental dalam peran negara dalam perekonomian. Dari
pemilik dan penyedia layanan publik, negara beralih menjadi regulator dan pemantau. Ini
menunjukkan perubahan dalam peran pemerintah dalam ekonomi.
Negara didefinisikan sebagai organisasi yang mencakup pengertian yang paling luas
dalam masyarakat politik. Pemerintah, dalam konteks ini, hanya merupakan agen yang
melaksanakan kebijakan negara. Negara memiliki berbagai peran atau fungsi dalam kehidupan
kenegaraan, termasuk fungsi tradisional, pembangunan bangsa, manajemen ekonomi,
kesejahteraan sosial, pengendalian lingkungan, dan hak asasi manusia. Peran-peran ini
mencerminkan evolusi peran negara dari waktu ke waktu.
Salah satu peran penting negara adalah dalam sektor ekonomi, terutama melalui
BUMN. Pada awalnya, negara mungkin memiliki peran monopoli dalam beberapa sektor,
terutama untuk menyediakan barang publik yang tidak dapat dipasarkan dengan baik oleh
sektor swasta. Peran negara dalam ekonomi dapat berubah seiring dengan perkembangan
peradaban dan kondisi lingkungan. Misalnya, pada awal revolusi industri, negara memiliki
peran kecil karena investasi rendah dan pasar yang masih kosong. Namun, dengan
pertumbuhan ekonomi dan persaingan, peran negara dapat berkembang.
Di negara-negara dunia ketiga, peran negara dalam ekonomi seringkali lebih besar
karena kondisi pasar global yang kompleks dan kebutuhan modal yang besar. Negara dapat
terlibat dalam regulasi pasar dan memastikan keadilan sosial. Intervensi negara dalam berbagai
bidang kehidupan ekonomi-politik dapat berkisar dari fungsi administratif hingga tindakan
langsung. Hal ini tergantung pada kebijakan dan tujuan negara dalam konteksnya.
Intervensi negara dapat memiliki dua tujuan utama: produksi dan reproduksi kapital,
serta reproduksi tatanan sosial dan politik. Tujuan-tujuan ini dapat mengarah pada konflik dan
aliansi politik dalam pembuatan kebijakan publik. Kedudukan negara dalam konteks ini bukan
hanya sebagai regulator tetapi juga sebagai pemegang tanggung jawab untuk mencapai tujuan-
tujuan ekonomi-politik yang telah ditetapkan.
Perspektif ekonomi politik adalah kerangka kerja analitis yang digunakan untuk
memahami interaksi antara aspek ekonomi dan politik dalam pembuatan kebijakan publik.
Klasifikasi yang disebutkan, seperti yang diuraikan oleh Macintyre (1990) dan Mas'oed (1994),
adalah kerangka kerja yang dapat membantu dalam menganalisis kelompok kepentingan dan
aliansi politik yang mempengaruhi kebijakan publik. Berikut adalah penjelasan singkat tentang
setiap perspektif:
Setiap perspektif ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menganalisis
interaksi antara ekonomi dan politik dalam konteks kebijakan publik. Pemilihan perspektif
tergantung pada konteks khusus analisis dan masalah yang sedang dihadapi. Dengan
menggunakan salah satu dari perspektif ini, analis dapat lebih baik memahami bagaimana
kelompok kepentingan dan aliansi politik memengaruhi pembuatan kebijakan publik.
Analisis struktur ekonomi politik di kedua periode tersebut memungkinkan kita untuk
memahami perubahan dalam orientasi dan kebijakan pemerintah terkait dengan sektor publik,
peran BUMN, serta keterlibatan modal asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Perubahan ini tercermin dalam berbagai reformasi kebijakan yang dilakukan pada masa Orde
Baru untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan berkelanjutan.
Analisis kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia merupakan hal yang penting untuk
memahami perubahan dalam peran dan tugas BUMN serta bagaimana pemerintah
menghadapinya. Berikut adalah penguraian lebih lanjut mengenai hal ini:
BUMN di Indonesia memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak masa kemerdekaan.
Awalnya, peran BUMN lebih ditekankan pada pelayanan publik dan public utilities seperti
energi, transportasi, dan telekomunikasi.
Pada awalnya, pemerintah mensubsidi BUMN untuk memenuhi tugas-tugas mereka dalam
menyediakan layanan publik. Namun, pada era 1980-an, tekanan fiskal mulai meningkat,
terutama karena penurunan pendapatan dari sektor minyak, yang mengharuskan pemerintah
mencari cara untuk mengurangi beban subsidi.
Awalnya, peran BUMN lebih ditekankan pada penyediaan layanan publik, termasuk listrik, air,
dan transportasi. Namun, seiring berjalannya waktu, peran BUMN berkembang menjadi lebih
kompleks, termasuk dalam sektor industri, perbankan, pertambangan, dan banyak lagi.
Privatisasi BUMN adalah langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mengubah kepemilikan
dan pengelolaan BUMN dari sektor publik ke sektor swasta atau investor asing.
Periodisasi kebijakan privatisasi mencakup berbagai periode, dimulai dari era 1980-an hingga
saat ini. Pemerintah telah menjalankan program privatisasi seiring dengan kondisi ekonomi
dan kebutuhan fiskal.
Manajemen dan pengawasan kerja BUMN menjadi penting dalam upaya meningkatkan
efektivitas dan efisiensi mereka. Hal ini mencakup perubahan dalam tata kelola dan manajemen
internal BUMN.
Kinerja BUMN:
Kinerja BUMN dievaluasi secara berkala, dan pemerintah memperhatikan sejauh mana BUMN
mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan sosial yang telah ditetapkan.
Kinerja BUMN juga dinilai dari perspektif efisiensi operasional, profitabilitas, pelayanan
publik, dan dampak sosial dan lingkungan.
Model-model ini bervariasi tergantung pada sektor dan perusahaan BUMN yang bersangkutan
serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Aliansi politik atau kerja sama antara berbagai pihak dengan kepentingan politik
tertentu adalah fenomena yang umum terjadi di berbagai negara dan sektor. Aliansi semacam
ini dapat memainkan peran penting dalam mencapai tujuan tertentu dan meminimalisir
kendala, terutama dalam konteks perkembangan pasar global yang semakin terintegrasi. Di
Amerika Latin, contohnya, aliansi antara pemerintah, kapital domestik, dan perusahaan
multinasional telah terbukti berhasil dalam mencapai tujuan industri dalam negeri.
Dalam konteks Indonesia, praktik aliansi antara pemerintah, pengusaha domestik, dan
investor asing juga telah ada sejak masa Orde Lama. Namun, aliansi semacam itu mungkin
tidak selalu transparan atau diketahui oleh semua pihak. Pada tahun 1980-an, ketika terjadi
perubahan dari sistem politik etatisme ke d'etatisme, aliansi pemerintah-pengusaha menjadi
lebih terbuka dan menarik perhatian investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Aliansi antara pemerintah, pengusaha domestik, dan investor asing bisa menjadi faktor
penting dalam kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia. Privatisasi ini bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas BUMN. Dalam berbagai model privatisasi yang telah
diterapkan, seringkali dibutuhkan intervensi modal dan manajemen dari pihak swasta,
masyarakat, dan investor asing untuk membentuk aliansi.
Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam konteks aliansi politik ini termasuk:
Pemahaman yang mendalam tentang aliansi politik ini akan membantu dalam
menganalisis perkembangan ekonomi politik Indonesia, terutama dalam konteks reformasi dan
privatisasi BUMN.
Pada pembahasan ini, terlihat bahwa aliansi politik antara pemerintah dan pengusaha,
terutama dalam bentuk aliansi antara pemerintah dan pengusaha dari kelompok menengah atau
pengusaha klien, memiliki sejarah panjang di Indonesia. Pada masa Orde Lama, Presiden
Soekarno menjalin aliansi dengan trio pengusaha yang dikenal sebagai "pengusaha istana."
Mereka diberi sejumlah fasilitas kredit dan lisensi monopoli impor sebagai bagian dari upaya
pemerintah untuk mengakumulasi modal pembangunan.
Ketika Presiden Soeharto berkuasa, aliansi politik antara pemerintah dan pengusaha
domestik semakin diperkuat. Pemerintah berupaya mengumpulkan modal untuk mendukung
pembangunan Industri Substitusi Impor (ISI) yang menjadi fokus utama pada masa itu.
Peningkatan harga minyak bumi pada periode tersebut juga memberikan tambahan modal
pembangunan dari penjualan komoditas minyak. Dalam konteks aliansi ini, kelas menengah
atau pengusaha klien merupakan kelompok pengusaha swasta pribumi yang beroperasi dengan
dukungan dan proteksi dari berbagai jaringan kekuasaan pemerintah. Monopolitas yang
diberikan oleh pemerintah, terutama kepada kelompok bisnis yang terkait dengan pejabat-
pejabat tinggi, membantu perkembangan bisnis kelompok ini. Hal ini berkontribusi pada
pengumpulan dana pembangunan dan percepatan akumulasi modal.
Seiring dengan perkembangan waktu, kelompok bisnis yang memonopoli sektor swasta
di Indonesia melibatkan pengusaha keluarga Cina-Indonesia dan bisnis keluarga pejabat negara
atau keduanya. Mereka memainkan peran penting dalam menyediakan dana pembangunan dan
mengambil alih sektor-sektor yang sebelumnya menjadi peran dominan negara. Perlu dicatat
bahwa kontribusi pengusaha swasta dalam menyediakan dana pembangunan semakin
meningkat, sedangkan peran dana pemerintah semakin berkurang. Dana asing juga mengalami
penurunan dalam kontribusinya. Hal ini mencerminkan perubahan struktur pendanaan
pembangunan di Indonesia dari masa ke masa.
Dalam konteks ini, aliansi politik antara pemerintah dan pengusaha menjadi penting
untuk mengakumulasi modal pembangunan, terutama karena sumber daya alam dan bantuan
luar negeri saja tidak mencukupi. Aliansi semacam ini memainkan peran penting dalam
akselerasi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.
Privatisasi BUMN di Indonesia adalah upaya untuk menggaet berbagai pihak, termasuk
pengusaha, masyarakat, dan pihak ketiga, ke dalam manajemen sektor publik melalui berbagai
model privatisasi.
Informasi ini memberikan gambaran yang jelas tentang evolusi privatisasi BUMN di
Indonesia dan upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan sektor publik di negara tersebut.
C. Kesimpulan
1. Sejarah Privatisasi BUMN di Indonesia:
BUMN di Indonesia awalnya tumbuh sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk
mengimbangi pengaruh perusahaan Belanda, seperti The Big Five Trading House dan
The Three Bank, yang berkembang selama periode kolonial.
Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia menerapkan sosialisme dan nasionalisasi, yang
mengakibatkan nasionalisasi sejumlah besar perusahaan milik Belanda.
Jumlah BUMN dan BUMD meningkat seiring waktu, dengan total mencapai sekitar
200-an.
2. Perubahan dalam Kebijakan Privatisasi:
Pada awal tahun 1980-an, pemerintah Indonesia mulai menderegulasi beberapa sektor
strategis untuk mengurangi subsidi pemerintah dan mendorong sektor-sektor tersebut
untuk mandiri.
Pemerintah kemudian mengadopsi kebijakan privatisasi BUMN dengan tujuan
menggaet investasi dan menghasilkan efisiensi serta produktivitas.
3. Model-model Privatisasi:
Model-model privatisasi yang digunakan melibatkan berbagai bentuk, termasuk
merger, konsolidasi, likuidasi, penjualan, KSO, KM, go public, JV, dan BOT.
Pilihan model privatisasi dapat memiliki implikasi politik yang berbeda.
4. Implikasi Politik Privatisasi:
Privatisasi melalui merger, konsolidasi, dan likuidasi cenderung memiliki implikasi
politik yang kecil karena sebagian besar melibatkan rekonstruksi internal antar-BUMN.
Privatisasi melalui KSO, KM, JV, dan BOT memiliki implikasi politik yang signifikan,
dengan investor mendapatkan keuntungan besar, tetapi masyarakat dapat menghadapi
beban yang lebih besar.
Go public dianggap sebagai model privatisasi yang saling menguntungkan, di mana
investor, BUMN, dan masyarakat dapat merasakan manfaatnya.
5. Peran Investor Asing:
Investor asing banyak berperan dalam privatisasi BUMN Indonesia, terutama dalam
sektor manajemen, melalui KSO, KM, JV, dan BOT.
Pengusaha domestik juga terlibat dalam kepemilikan BUMN, seringkali dengan
melibatkan konsorsium dengan perusahaan asing.