Dari semua beban yang ada dihidupnya, beliau adalah orang yang ceria,
kesulitan dalam hidupnya tidak mengahalangi beliau dan keluarga nya
untuk hidup bahagia. Keseharianya pun penuh dengan kegiatan positif.
Seperti di malam hari nya, beliau menyiapkan beberapa bahan untuk
dagangan nya besok, seperti memotong sayuran, membuat adonan
gorengan dll. Di pagi hari nya, beliau mengolah bahan yang telah disiapkan
malam tadi untuk dijual di hari itu.
Selain itu, beliau juga menyiapkan makanan untuk anak dan
suami nya. Kegiatan sehari-hari nya cukup menyenangkan,
seperti siang saat setelah di wawancara, beliau membuat rujak
dari buah yang ia petik dari pohon miliknya.
Suami Beliau
Suami nya bekerja sebagai buruh bangunan. Pekerjaannya tidak setiap hari
ada, kadang tidak ada panggilan. Sehingga penghasilanya pun tidak tentu.
Pekerjaan nya yang memerlukan banyak tenaga terkadang membuat
beliau sakit, terutama di bagian kaki. Hal ini menghambat pekerjaanya.
Terkadang ketika ada panggilan, beliau tidak menerimanya karena cidera
di kaki nya.
Anak- anak Beliau
Beliau memiliki lima orang anak. Empat orang anak laki-laki dan satu orang
anak perempuan (Dalam foto tidak ada anak yang pertama). Anak pertama
(laki-laki) dan anak ketiga (Perempuan) mereka sudah menikah. Tersisa
anak kedua (Laki-laki) yang sekarang ini sudah bekerja, anak keempat
(Laki-laki) yang belum bekerja dan anak terakhir (Laki-laki) yang masih
duduk di bangku kelas 2 SMP.
Apa yang saya
lakukan?
Sebelum mengunjungi beliau, saya pergi ke toko sayuran untuk membeli
beberapa sayuran untuk beliau
Walaupun hanya sedikit, tetapi beliau terlihat
begitu senang, dan sangat berterimakasih
menerima pemberian dari saya.
Terima Kasih
Nama : Dea Febrina Irawan
NIM : 2101931
Kelas : 2B
Tepat setelah shalat maghrib, masih mengenakan sarung. Ayah meminta saya
untuk memakai mukena, ia menggelarkan sajadah di ruang tamu. Tidak ada pembicaraan
saat itu, ia hanya menyuruh saya berdiri di atas sajadah itu. Lalu berkata, “Ayah Ajari
Dea shalat ya”. Inilah awal dari kisah perjalanan keberagamaan hidup saya. Awal dari
bertumpuknya pertanyaan dalam hidup, kenapa saya harus mempelajari ilmu agama?
bagaimana saya harus mengamalkan ajaran agama? Kenapa Allah SWT memberikan
ujian hidup yang cukup berat kepada saya? apa yang harus saya lakukan jika saya
mendapatkan masalah dalam hidup dan bagaimana agar saya tetap istiqomah dalam
mengamalkan ajaran islam?
Hari demi hari mengaji di tempat itu, saya mulai menerima dan nyaman belajar di
sana. Ada beberapa penyebab kenapa saya mulai merasakan hal itu. Yang pertama karena
saya ingin mengalahkan teman saya. Tingkat bacaan di iqra ada 6 tingkatan, yaitu Iqra 1,
Iqro 2, Iqro 3 dan seterusnya. Hal inilah yang membuat mengaji menjadi ajang
perlombaan bagi saya dan teman-teman, siapa yang lebih tinggi tingkatannya maka dia
yang paling hebat dan yang kedua, ketika saya beranjak sekitar umur 8 tahunan, saya
terpesona dengan suara ustad yang sedang melantunkan ayat-ayat alquran dengan merdu,
ia mengaji untuk pembuka acara maulid nabi. Disitu saya menyadari bahwa mengaji itu
bukan hanya hafal huruf hijaiyah saja tetapi juga bagaimana kamu melantunkannya
dengan sempurna dilengkapi tajwid di setiap huruf nya. Persaingan yang biasa aku
lakukan tidak ada lagi, saya memfokuskan diri untuk memperbaiki ngaji. Ketika Iqra 6,
tingkat bacaan yang paling sulit menurut saya saat itu. Guru ngaji sering menyuruh saya
untuk mengulang ke iqra sebelumnya, cukup lelah saat itu, kadang saya menangis karena
kesal. Tapi tidak apa-apa, saya sadar belum sempurna, ada hal yang harus saya perbaiki.
Kebiasaan dapat membangun karakter diri. Mungkin itulah kalimat yang cocok
untuk mencerminkan saya saat kelas 4 SD. Ketika umur 9 tahun, saya mulai peka pada
penampilan. Saya cukup risih, kenapa teman-teman saya berkulit putih sedangkan saya
memiliki kulit yang cukup gelap. Saya teringat perkataan ibu “Jangan terlalu lama main
siang-siang nanti hitam”. Mungkin itu hanya alasan ibu untuk meminta saya tidur siang.
Tetapi saya salah mengartikan maksud nya. Ketika kelas 4, saya memutuskan untuk
berhijab, alasannya cukup aneh. Untuk memiliki kulit putih berarti saya harus melindungi
diri dari paparan sinar matahari. Oleh sebab itu lah saya mulai menggunakan rok seragam
yang panjang, baju dengan lengan panjang serta mengenakan hijab. Tetapi hal itu hanya
berlaku di sekolah saja, sedangkan ketika di rumah, saya melepas hijab.
Kebiasaan memakai hijab disekolah perlahan merubah diri saya. Ada rasa malu
ketika saya membuka hijab. Memperlihatkan rambut atau aurat saya pada orang lain. Saya
ingat perkataan guru PAI, ia mengatakan bahwa “Wanita yang mengumbar auratnya itu
berdosa” saat itu saya mulai berpikir, apa alasan Allah SWT memerintahkan makhluknya
untuk memakai hijab? lalu kenapa saya hanya menutup aurat hanya disekolah, kenapa
tidak dirumah atau di tempat lainya juga? Dan apa yang terjadi jika saya tidak menutupi
aurat? Pertanyaan sederhana itu yang selalu menjadi pertanyaan saya saat itu. Ketika
memasuki umur 11 tahun, saya mulai menyadari apa fungsi hijab bagi seorang
perempuan. Hijab tidak semata menutupi aurat, melainkan juga untuk menjaga
pandangan seorang muslimah agar tetap berperilaku baik sesuai kaidah agama. Yang
dimaksud menjaga pandangan disini adalah bagaimana wanita menjaga akhlaknya untuk
tidak melakukan sesuatu yang diluar syariat agama Islam.
Lingkungan yang buruk dapat berpengaruh. Saya tidak mampu memilah mana
yang baik dan benar. Saya dan teman saya sering melakukan kegiatan yang tidak baik,
tetapi bukan se-tingkat bolos sekolah, mungkin hanya seperti berdiam di luar kelas saja.
Selain itu, karena jabatan saya di kelas sebagai wakil KM membuat saya merasa tinggi
hati. Saya sering memerintah teman-teman saya. Sebenarnya memerintah hal-hal yang
baik seperti membaca buku, jangan diam diluar, jangan mengobrol seperti itu, tetapi
dengan cara yang salah, saya meneriaki mereka untuk patuh terhadap saya, terutama pada
teman laki-laki saya yang susah diberitahu.
Sikap buruk yang saya lakukan terhadap mereka, membuat mereka menjauhi saya.
Tidak ada teman saat itu, saya sulit mencari kelompok. Bahkan teman baik saya,
meninggalkan saya. Akibat perlakuan buruk itu pun, membuat nama baik ibu terseret.
“Seorang guru memiliki anak yang tidak baik yang sering menyakiti teman sekelas nya.”
Saya sangat terpukul saat itu. Saya mulai intropeksi diri “ya ALLAH apa salah saya”.
Setelah berdoa dan meminta ampun kepada Allah SWT saya menyadari bahwa kita harus
berbuat baik terhadap sesama, terutama sebagai pemimpin, kita harus memiliki sikap
yang baik. Seperti, bertaqwa kepada Allah, mencintai dan dicintai anggotanya,
mendoakan dan didoakan oleh umatnya. Dan juga Seorang pemimpin harus
mencerminkan sifat Rasulullah SAW yaitu siddiq, amanah, tabligh dan fathanah.
Belajar dari kesalahan sebelumnya, saya berusaha menjadi pribadi yang lebih
baik. Menjaga silaturahmi yang baik dengan teman dan juga menjaga nama baik orang
tua saya. Perubahan dalam diri saya dapat dirasakan di kelas tiga SMP. Saya menilai hal
tersebut dari banyak nya orang yang ingin berteman dengan saya. Mereka terlihat bahagia
ketika bersama saya, hal ini lah yang membuat saya tersadar bahwa berbuat baik kepada
sesama membuat kita hidup rukun, tenang dan bahagia.
Kebahagiaan yang saya dan teman-teman rasakan di SMA berhenti pada tahun
2019, ketika pandemi covid-19 melanda Indonesia dan dunia. Seluruh pekerjaan
dilakukan di rumah, termasuk kegiatan belajar mengejar. Hubungan Saya dan teman-
temanmsemakin menjauh. Ketakutan terhadap pandemi ini semakin terasa ketika
peningkatan kasus semakin tinggi. Saya prihatin melihat Indonesia, dengan adanya
pandemi ini berdampak pada semua sektor, seperti sektor ekonomi, pariwisata,
pendidikan dan banyak lagi. Keprihatinan saya membuat saya ingin membantu Indonesia,
tetapi apa yang bisa saya lakukan? Yang bisa saya lakukan hanya berdoa kepada Allah
SWT.
Suatu hari saya berdoa sehabis shalat dzuhur meminta kepada Allah SWT untuk
mengakhiri pandemi ini. Ketika berdoa saya merasa belum pantas meminta hal tersebut
kepada NYA. Saya berpikir bahwa selain meminta saya pun harus mentaati dan
melaksanakan ibadah dengan benar. Disitulah saya membenarkan bacaan shalat saya,
membenarkan bacaan tajwid nya, bahkan saya belajar membaca iqra kembali, bagaimana
cara membaca setiap huruf hijaiyah dengan baik dan benar. Hanya inilah usaha yang bisa
saya lakukan untuk membantu Indonesia, berdoa kepada Allah SWT. Hasil dari belajar
kembali shalat dan mengaji ini membuat perubahan bagi saya untuk jangka waktu yang
cukup panjang dan mungkin selamanya. Segala urusan yang saya lakukan di dunia
termasuk seperti ketika belajar untuk seleksi masuk perguruan tinggi, menjadi lebih
ringan, karena saya selalu melibatkan Allah SWT di setiap semua kegiatan dan pekerjaan
yang saya lakukan. Berdoa dan meminta hanya kepada Allah SWT.