How to Cite: Andalas, E. F., Anggraini, P., & Widodo, J. (2022). Memori terorisme: Memori traumatis dan
strategi mengatasi trauma korban Bom Bali I dalam teks sastra Indonesia. Satwika :
Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial, 6 (1), 167-179. doi:
https://doi.org/10.22219/satwika.v6i1.20347
Erviani dan Anak Agung Lea merupakan 1999). Dalam bidang psikologi, psikolog
karya memoar yang berkisah mengenai biasanya memberikan bimbingan kepada
pengalaman hidup korban tragedi. Karya ini pasiennya untuk dapat menceritakan kisah
ditulis berdasarkan kisah nyata 15 korban mereka untuk tujuan penyembuhan. Pasien
tragedi Bom Bali 1. Kehadiran karya ini diajarkan untuk mengekpresikan cerita
menarik dalam sudut pandang memori melalui tulisan dalam bentuk jurnal, buku
karena karya ini merupakan bentuk dari harian, atau bentuk lainnnya. Dalam
memori individu. Artinya, memori yang studinya, Smyth dan Hockemeyer (Smyth &
ditulis dalam pengisahan merupakan Hockemeyer, 2008), menunjukkan bahwa
memori dari generasi 1, yaitu pelaku menulis ekspresif dapat menurunkan tingkat
peristiwa. hormon stres termasuk kortisol pada pasien
Luka Bom Bali I (2017) merupakan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
karya memoar. Hal ini karena bentuk Studi-studi tersebut memperlihatkan
memori korban tragedi Bom Bali I yang kekuatan tulisan dalam proses penyembuhan
dikisahkan berasal dari memori pelaku trauma seseorang. Sebagai salah satu
peristiwa. Melalui karya ini, bagaimana medium tulisan, karya sastra (dengan
peristiwa ini diingat dalam ingatan kolektif berbagai bentuknya) dapat menjadi medium
masyarakat Indonesia terekam. Sebagai teks terapi bagi orang yang mengalami peristiwa
memori karya ini menjadi bentuk simbolis traumatis. Dalam bukunya yang berjudul
dari sebuah ingatan budaya (Erll, 2011). Hal Poetry and Story Therapy: The Healing
ini karena teks sastra banyak merekam Power of Creative Expression, Chavis
berbagai peristiwa yang tidak terekam dalam (2011), menunjukkan bahwa puisi dapat
arsip sejarah (Kansteiner, 2002; Taylor, berperan dalam penyembuhan orang-orang
2003). Melalui teks-teks sastra bagaimana yang mengalami trauma. Dalam penelitian
sebuah masyarakat budaya meresepon, ini, Memoar Luka Bom Bali (2017) sebagai
mengungkapkan, menawarkan, ataupun memori korban-korban tragedi Bom Bali
mengembalikan pengalaman dan kisah yang dilihat sebagai bentuk dari skriptoterapi.
hilang dari arsip sejarah menjadi bagian Melalui pengisahan trauma-trauma yang
penting dalam memori sebuah masyarakat. dialaminya, para korban mencoba
Dengan kata lain, teks-teks sastra menjadi meluapkan sisi traumatis dari pengalaman-
ruang bagi suara-suara minoritas yang tidak pengalaman trauma masa lalunya kepada
mendapatkan tempat dalam arus wacana khalayak luas. Melalui karya ini, dengan
utama (official memory) (Hirsch, 2012). melihat sebagai bentuk skriptoterapi, akan
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diperoleh pandangan mengenai pengalaman
bertujuan mendeskripsikan representasi dan strategi mengatasi trauma oleh korban-
pengalaman traumatis dan strategi korban tragedi Bom Bali 1.
mengatasi trauma korban tragedi Bom Bali Selain itu, dengan memahami peristiwa
yang digambarkan dalam memoar Luka Bom tragedi Bom Bali 1 dari perspektif korban
Bali (2017). dapat menjadi media pembelajaran dan
Pemahaman mengenai kedua hal pemahaman bagi generasi masa kini yang
tersebut penting karena pengetahuan tidak mengalami atau mengetahui peristiwa
terhadap fungsi sastra sebagai media secara langsung (generasi pascamemori).
skriptoterapi dapat menjadi alat Teoretikus dan praktisi di bidang trauma
pembelajaran bagi masyarakat dalam menyadari bahwa menceritakan kisah hidup
menghadapi trauma. Luka Bom Bali seseorang tentang pengalaman traumatis
merupakan teks skriptoterapi. Studi dalam dapat menjadi jalan bagi penyembuhan
bidang medis menunjukkan bahwa menulis (Herman, 1992; Rose, 1999). Mereka juga
dapat menghilangkan rasa sakit dan menyadari bahwa membaca dan menulis
membantu pasien mengontrol emosi pada memiliki efek terapeutik bagi manusia
tingkat kognitif dan objektif (Esterling et al., (Henke, 2000) karena dalam karya kreatif,
seperti karya sastra, terdapat gambaran memory, yaitu produk kultural masyarakat
memorialisasi terapeutik atas sejarah dan tempat memori kolektif mengingat dan
trauma manusia (Tembo, 2014). Melalui melupakan suatu peristiwa. Dalam karya
sastra, berbagai pengalaman traumatik dan seperti ini, ingatan tidak hanya
strategi mengatasinya dapat menjadi dilembagakan tetapi sering menjadi identitas
pelajaran sekaligus memori historis bagi kolektif suatu masyarakat dalam mengingat
pembaca. Bahkan, bagi generasi yang tidak atau melupakan suatu peristiwa (Erll, 2018).
mengalami peristiwa tersebut (Hirsch, 2008, Dengan kata lain, sastra menjadi medium
2012). memori antargenerasi yang menghubungkan
Memoar Luka Bom Bali merupakan memori kolektif pelaku peristiwa dengan
gambaran dari pengalaman traumatik generasi yang tidak mengalami sama sekali
korban-korban tragedi Bom Bali 1 yang (Hirsch, 2012). Bahkan, karya sastra sering
harus kehilangan anggota keluarganya. menjadi media alternatif untuk melawan
Mereka harus berjuang melawan berbagai grand narasi yang dihasilkan oleh rezim
kesulitan dan memori traumatis yang sulit yang berkuasa melalui konstruksi sejarah
hilang dari ingatannya. Para korban Bom (Andalas & Qur’ani, 2020). Karenanya,
Bali 1 dalam menceritakan kisahnya harus melalui proses ini akan muncul kesadaran
menekan ingatan traumatisnya di alam historis baru dalam memahami suatu
bawah sadarnya. Sigmund Freud dan Josef peristiwa. Di sisi lain, karya kreatif seperti
Breuer, dalam “On the Psychical karya sastra, dapat menjadi alat bagi proses
Mechanism of Hysterical Phenomena” pemulihan kesehatan mental (memori) bagi
(1893) (Breuer & Freud, 1983), manusia (Wuriyanto & Andalas, 2020).
mendeskripsikan neurosis traumatis sebagai Diperlukan pemahaman terhadap dimensi
hasil dari represi ingatan yang tidak tekstual sastra yang tidak hanya
menyebabkan luka fisik. Memori traumatis membongkar ideologi teks berupa kesadaran
ini menjadi begitu berat mengendap di kultural, tetapi juga dapat menjadi alat bagi
dalam diri para korban karena memori ini proses pemulihan kesehatan mental korban-
tidak muncul dalam ingatan pasien ketika korban tragedi.
mereka dalam keadaan psikis normal, tetapi
menekan mereka di alam bawah sadarnya. 2. Metode
Melalui pengungkapan memori traumatis Jenis penelitian yang dilakukan adalah
ini, para korban berusaha melepaskan kualitatif. Pendekatan yang digunakan
berbagai emosi traumatis yang mengendap dalam analisis teks adalah psiko-historis.
di dalam dirinya. Ungkapan pengalaman Artinya, dalam penelitian ini, penelitian
traumatik dan strategi mengatasi trauma diarahkan pada usaha pemahaman dimensi
yang tergambarkan dalam karya memori traumatis korban insiden Bom Bali I dengan
menjadi bagian penting bagi pembelajaran mempertimbangkan aspek historisitasnya.
pembaca dalam memandang dan menyikapi Sumber data penelitian yang digunakan
peristiwa tragedi Bom Bali 1. Hal ini tidak adalah teks memoar Luka Bom Bali karya Ni
hanya akan memberikan aspek Komang Erviani dan Anak Agung Lea
pembelajaran, tetapi juga memberikan (2017). Teks ini bilingual, yaitu bahasa
gambaran mengenai dimensi traumatik yang Indonesia dan bahasa Inggris. Teknik
mendalam kepada korban-korban tragedi pengumpulan data dilakukan dengan
sehingga memunculkan dimensi etis pembacaan dekat, yaitu 1) membaca dengan
pembaca untuk lebih menghargai dan memperhatikan tema/pola dalam teks,
menujung nilai-nilai kemanusiaan. menganalisa teks yang memperlihatkan
Karya sastra bukanlah sekadar karya tema/pola tertentu, dan 3) mengembangkan
imajinatif yang tidak memiliki relevansi dan tesis awal. Melalui tahapan ini kemudian
nilai guna bagi masyarakat. Dalam konteks dilakukan analisis menggunakan model
memori, karya sastra menjadi site of Miles & Huberman (1992), yaitu display,
dilakukan oleh manusia terhadap suatu hal. Bom Bali I adalah banyaknya korban
Makna tidaklah bersifat baku, tetapi cair tragedi, mencapai 200 orang terbunuh dan
dan terus berubah sesuai dengan konteks 300 lainnya terluka (Nelson, 2006), yang
perkembangan manusia dalam memaknai diserang tanpa pernah tahu salah mereka.
suatu hal. Mereka pada malam itu hanya menikmati
Luka Bom Bali dapat dilihat sebagai suasana dan minuman di dua kafe populer
bentuk representasi peristiwa terorisme di Kuta ketika ledakan bom secara tiba-tiba
Bom Bali I yang terjadi di Indonesia pada terjadi.
2002. Hal yang menarik dalam representasi Dalam Luka Bom Bali, representasi
peristiwa Bom Bali I adalah gambaran di pengalaman traumatis yang tergambarkan
dalamnya merupakan perspektif korban memperlihatkan bahwa korban-korban
tragedi. Sebagai salah satu tujuan destinasi tragedi Bom Bali I mengalami hal yang
wisata dunia, keberadaan pariwisata di Bali disebut sebagai represi yang menghantui.
sangat penting karena menjadi tujuan Narasi yang dibangun dalam karya ini
destinasi wisata bagi turis mancanegara. menekankan mengenai ingatan traumatis
Misalnya, bagi warga Australia, Bali telah korban-korban yang berasal dari alam
menjadi tempat spesial untuk berlibur sejak bawah sadarnya yang senantiasa muncul
tahun 1970-an (Sobocinska, 2011). Akan menghantui korban-korban. Dalam sudut
tetapi, pada kenyataannya, peristiwa Bom pandang Freud dan Breuer (1983), memori
Bali I yang terjadi pada 2002 telah peristiwa traumatis ini ditekan secara
mengubah wajah dan citra Bali sebagai mendalam dalam alam bawah sadar
tujuan wisata internasional. Cukup banyak seseorang karenanya ingatan ini tidak
kekhawatiran karena pada kurun waktu ini muncul ketika kondisi pasien dalam
muncul berbagai wacana terror, mulai dari keadaan psikis normal. Melalui memoar
kelompok Jamaah Islamiah yang menjadi Luka Bom Bali, para korban
otak terror pengeboman di Indonesia dan mengekspresikan berbagai represi
kemunginan terjadinya aksi-aksi terorisme pengalaman traumatis dalam alam bawah
lanjutan di Indonesia. Hal ini terbukti sadarnya yang telah lama disimpan selama
kemudian, seperti peristiwa pengeboman di puluhan tahun. Mereka harus hidup dalam
hotel JW Mariot tahun 2003, pengeboman bayang-bayang (haunting) trauma yang
kedutaan Australia tahun 2004, dan Bom dirasakan pasca peristiwa Bom Bali I.
Bali II tahun 2005. Rangkaian aksi Luka Bom Bali menggambarkan contoh
terorisme di Indonesia ini menjadi titik mengenai represi pengalaman traumatis
buruk pencegahan dan keamanan aksis yang ada dalam alam bawah sadar korban-
terorisme dalam sejarah perkembangan korban tragedi Bom Bali I. Pada bagian
bangsa Indonesia. awal cerita, misalnya kisah yang dialami
Di tengah berbagai wacana yang oleh Tumini, “Keriuhan tawa itu tiba-tiba
muncul, memahami bagaimana peristiwa berubah jadi jerit kesakitan, kepanikan dan
Bom Bali dalam sudut pandang korban ketakutan. Sebuah ledakan mengguncang
menjadi sangat penting. Kami berpendapat tempat itu. Tumini yang tengah asyik
bahwa dengan memahami hal ini bukan meracik jungle juice, merasakan tubuhnya
hanya menjadi pengingat bagi generasi terlempar beberapa meter. Api menyambar
yang tidak mengalami secara langsung, sekujur tubuhnya…Sesaat kemudian ia
tetapi juga menjadi pelajaran bagi generasi menyadari ada luka robek besar di perutnya.
yang akan datang. Ia terus berlari mencari pertolongan,
Dalam Luka Bom Bali, tubuh dan sembari memegang perut.” (Erviani & Lea,
mental para korban Bom Bali dapat dilihat 2017:19). Kita bisa membayangkan
sebagai medium di mana pengalaman bagaimana kejamnya aksi terorisme. Dalam
traumatis korban-korban diekspresikan. konstrusi cerita ini, gambaran skala
Salah satu legasi terpenting dari peristiwa besarnya dampak dari letusan bom bisa
dirasakan oleh pembaca. Bahkan selain Lina ingat betapa ia sangat ketakutan ketika
Tumini, orang-orang yang saat itu juga harus terjebak dalam kemacetan di Jakarta,
sedang berada di sekitar Tumini mengalami dalam masa-masa pengobatannya. Melihat
hal yang sama. Dari kondisi yang normal keramian Jakarta saat itu membuatnya
kemudian dikejutkan oleh dentuman bom sangat ketakutan. Dentuman suara kembang
yang bahkan sampai menyebabkan luka api di malam Tahun Baru juga tak kalah
robek yang hampir mengeluarkan isi menakutkan baginya (Erviani & Lea,
perutnya. Bahkan ketika kondisi fisiknya 2017:78). Namun, satu hal yang masih
dapat disembuhkan setelah beberapa tahun ditakutinya, asap. Lina tak paham, kenapa
menjalani berkali-kali operasi, trauma rasa traumanya pada asap tak kunjung
mental terus melekat dalam alam bawah hilang sampai sekarang, setelah 15 tahun
sadarnya, seperti ketika melihat ada yang kejadian itu berlalu. Setiap kali ia mencium
membakar ataupun ketika ada berita tentang bau asap, Lina harus memastikan dari mana
terorisme di televisi ia langsung teringat asal asap itu datangnya. Maka setiap kali ia
kejadian pada malam itu (Erviani & Lea, mencium bau asap, ia selalu mencari
2017:25). sumbernya. Begitu pun dengan Ni Kadek
Pada narasi selanjutnya, gambaran Ardani Ketika waktu menunjukkan pukul
pengalaman traumatis peristiwa yang tujuh malam, ingatannya seringkali
dialami oleh korban tragedi Bom Bali I melambung pada malam aksi peledakan
memunculkan gambaran kengerian yang bom terjadi di hadapannya. Ardani tak
tidak terbayangkan. Misalnya, Ni Putu Ayu pernah berani jalan-jalan ke mall. Ia bahkan
Sila Prihana Dewi yang merasakan menghindari pergi ke pasar. Ia lebih
keriuhan, kepanikan, dan teriak kesakitan memilih datang ke warung kecil yang
ketika api melalap lokasi tempatnya berjualan sayuran di tepi jalan, ketimbang
bekerja. Dengan kondisi luka bakar dia juga ikut berdesakan di keramaian pasar.
menyadari ada luka menganga yang sangat Kembang api juga menjadi "musuhnya"
besar di tangannya (Erviani & Lea, sejak peristiwa bom itu terjadi (Erviani &
2017:33-34). Ni Wayan Ani tubuhnya Lea, 2017:90). Ni Made Kembang Arsini
terpental. Kuri-kursi dan meja beterbangan. dan Ngesti Puji Rahayu juga mengalami hal
Botol-botol minuman yang dibawanya, yang sama. "Sering ada tamu membakar
menimpa tubuhnya. Ia merasakan sakit luar kembang api. Bikin kaget. Saya sering latah
biasa di kepalanya. Ada sesuatu yang kalau sudah ada suara kembang api," kata
menembus kepalanya. Darah mengucu dia. (Erviani & Lea, 2017:97). Pernah, saat
deras dari kepala bagian belakangnya. melayani tamu, ada suara kembang api yang
Tubuhnya tiba-tiba kaku, tak bisa cukup keras. Ia langsung sembunyi di
digerakkan. Mulutnya tak biasa bicara. bawah meja sembari menutup telinga.
namun, kondisinya masih sadar dan bisa Bahkan ketika ia melihat pengunjung
melihat (Erviani & Lea, 2017:47). Di menggunakan tas ransel, rasa ketakutannya
kepalnya tertanam dua buah gotri yang selalu muncul. Kondisi yang sama juga
berasal dari ledakan bom pada malam terjadi pada Eko Sahriyono selama
kejadian. beberapa bulan paskah peristiwa itu, Eko
Dapak trauma peristiwa juga terus tak pernah berani keluar rumah. IDK Rudita
dialami oleh korban-korban tragedi. Bahkan Widia Putra Trauma lain yang dirasakan
bagi orang religius, seperti Gatot Indro Dechi adalah saat terjebak pada kemacetan
Subroto. Ia selalu merasa paranoid, bila yang tidak wajar. Disebut tidak wajar, bila
peristiwa pengeboman terjadi lagi. Gatot kawasan yang tidak biasa macet mendadak
ingat betul ketika selama beberapa minggu, macet. “Biasanya langsung keluar keringet
ia selalu menjalankan ibadah shalat Jumat dingin. Cemas. Darimana ini nanti
dalam kondisi ketakutan (Erviani & Lea, ledakannya datang, kata Dechi” (Erviani &
2017:62). Theolina Ferawaty Marpaung Lea, 2017:163).
mengatasi pasca trauma dengan 2 strategi, mabuk sebagai pelarian untuk melupakan
yaitu memperkuat sistem kepercayaan peristiwa dan meragukan agama Islam
(religiositas) dan mengingat keluarga atau kembali ke agama Islam dan
orang terdekat. menjadikannya sebagai pegangan dalam
Pada pengalaman traumatis korban- menjalani kehidupan kemudian (Erviani &
korban Bom Bali I, kepercayaan religius Lea, 2017:148-150).
berperan sangat penting dalam memberikan Bagi korban-korban Bom Bali I
kekuatan untuk “berdamai” dengan tersebut, strategi ini berhasil digunakan
kejadian dan pelaku bom Bali. Kekuatan untuk mengatasi trauma pasca peristiwa
kepercayaan religius dalam membantu pengeboman. Hal ini karena dalam sudut
korban-korban bom Bali I dalam melewati pandang sosio-kultural di Indonesia,
masa krisis mental pasca peristiwa. religiositas atau agama memiliki posisi
Kekuatan kepercayaan ini merujuk pada yang sangat penting bagi kehidupan
aspek spiritualitas masing-masing korban. manusia. Sedangkan dalam sudut pandang
Misalnya, Tumini yang lebih memilih untuk studi trauma, religiositas dan spiritualitas
berdamai dengan kondisi dan para pelaku dapat menjadi strategi untuk mengatasi
pengeboman. Ia mengambil sikap untuk trauma karena secara bersama-sama dengan
tidak menaruh dendam kepada para pelaku sumber daya emosional, fisik, dan kognitif
karena juga memiliki anak dan cucu yang menjadikan individu tersebut merasa tidak
mungkin saja di kemudian hari dapat terlalu terancam. Hal ini dilakukan dengan
melakukan kesalahan (Erviani & Lea, mengubah situasi yang mengancam
2017:29). Begitupun Ni Putu Ayu Sula menjadi tantangan dan dapat membantu
Prihana Dewi yang mengekspresikan individu tersebut memperoleh hasil yang
perasaannya melalui dialog dengan hakim positif melalui penderitaan yang dialami
di pengadilan. Ia menyatakan “Dendam (Doctor & Shiromoto, 2009). Selain itu,
juga nggak ada gunanya Pak. Dia juga melalui kerangka religiositas dan
nggak bisa ngembaliin kondisi saya seperti spiritualitas yang dibangun, para korban
semula” (Erviani & Lea, 2017:38). Bahkan yang mengalami trauma akan merasa
setelah 15 tahun kejadian berlalu, Ayu tetap memiliki makna hidup yang lebih baik,
tak menyimpan dendam kepada pelaku. dukungan sosial yang meningkat dari
Tidak berbeda dengan gambaran tersebut, komunitas agamanya, menerima kesulitan
Ni Wayan Ani juga menggambarkan bahwa yang dihadapi, dan memiliki sistem
kembali kepada religiusitas menjadi salah kepercayaan yang lebih kuat (Shaw et al.,
satu jalan baginya untuk kuat mengatasi 2005). Berbagai pendapat tersebut juga
trauma yang dideritanya. Bagi korban didukung pendapat Joseph (1998), Koenig
seperti Ni Wayan Ani, tetap menjaga (2013), dan Abdel-Khalek (2016) yang
hubungan dengan sang Pencipta melalui memperlihatkan adanya dampak positif
rasa syukur karena selamat dari maut sistem kepercayaan terhadap kesehatan
sekaligus memohon keselamatannya di fisik dan mental. Oleh karena itu, bagi
masa depan merupakan jalan yang paling korban-korban Bom Bali I, dukungan
rasional bagi dirinya saat itu (Erviani & Lea, spiritual dan agama diperlukan untuk
2017:50). Begitupun bagi Gatot Indro mengurangi rasa sakit akibat trauma dan
Subroto yang melawan rasa takutnya untuk menemukan cara untuk mengatasi
pergi ke masjid setelah peristiwa pengalaman traumatis, terutama melupakan
pengeboman. Ia menyatakan bahwa peristiwa dan berserah diri kepada
tujuannya ke masjid adalah beribadah. Jika kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
terjadi pengeboman lagi ia berpikir bahwa Dalam Luka Bom Bali, peran keluarga
itu sudah menjadi kehendak Tuhan (Erviani dan jaringan sosial korban juga sangat
& Lea, 2017:63). Bahkan bagi korban penting terhadap kesembuhan trauma
seperti Eko yang sebelumnya menjadikan korban pasca peristiwa Bom Bali I.
Esterling, B. A., L’Abate, L., Murray, E. J., Postmemory: Writing and Visual
& Pennebaker, J. W. (1999). Empirical Culture After the Holocaust. Columbia
foundations for writing in prevention University Press.
and psychotherapy: Mental and physical
health outcomes. Clinical Psychology Jones, D. M., & Smith, M. L. (2004). An
Review, 19, 79–96. edifice of denial: Australia’s regional
https://doi.org/10.1016/S0272- delusions. Round Table, 8533(373), 61–
7358(98)00015-4 74.
https://doi.org/10.1080/0035853042000
Freud, S. (2001). Mourning and Melancholia. 188193
In he Standard Edition of the Complete
Psychological Works of Sigmund Freud Joseph, M. (1998). The effect of strong
(1914–1916). Vintage. religious beliefs on coping with stress.
Stress Medicine, 14(4), 219–224.
Garci’a-Vera, M. P., Sanz, J., & Gutierrez, S. https://doi.org/10.1002/(SICI)1099-
(2016). A Systematic Review of the 1700(1998100)14:4<219::AID-
Literature on Posttraumatic Stress SMI800>3.0.CO;2-H
Disorder in Victims of Terrorist
Attacks. Psychological Reports, 119(1), Kansteiner, W. (2002). Finding Meaning in
328–359. Memory: A Methodological Critique of
https://doi.org/10.1177/0033294116658 Collective Memory Studies. History
243 and Theory, 41(2), 179–197.
Bom Bali 1 ke pelaku: “Saat umur 10 Smyth, J. M., & Hockemeyer, H. (2008).
tahun, saya lihat jenazah ayah hangus, Expressive writing and post-traumatic
bayangkan kalau Bapak jadi saya.” BBC stress disorder: Effects on trauma
News. symptoms, mood states, and cortisol
https://www.bbc.com/indonesia/indone reactivity. British Journal of Health
sia-50408538#:~:text=Aris Psycholog, 13(1), 85–93.
Munandar%2C sang ayah -
nama,ratusan orang lainnya luka-luka. Sobocinska, A. (2011). Innocence lost and
paradise regained Tourism to Bali and
Pedersen, L. (2007). Responding to Australian perceptions of Asia. History
decentralisation in the aftermath of the Australia, 8(2), 199–222.
Bali Bombing. Asia Pacific Journal of https://doi.org/10.1080/14490854.2011.
Anthropology, 8(3), 197–215. 11668380
https://doi.org/10.1080/1444221070151
9805 Taylor, D. (2003). The Archive and the
Repertoire: Performing Cultural
Pernice-Duca, F. (2010). Family Network Memory in the Americas. Duke
Support and Mental Health Recovery. University Press.
Journal of Marital and Family Therapy,
36(1), 13–27. Tembo, N. M. (2014). Traumatic Memory
https://doi.org/10.1111/j.1752- and ‘Scriptotherapy’ in Malawian
0606.2009.00182.x Poetry: The Case of Bright Molande’s
Seasons. English Academy Review,
Raphael, B., & Dunsmore, J. (2008). Journal 31(1), 51–65.
of Aggression , Maltreatment & Trauma
Terror and Trauma in Bali. October Wuriyanto, A. B., & Andalas, E. F. (2020).
2014, 37–41. Post Memori Tragedi 1965 dalam
https://doi.org/10.1300/J146v09n01 Karya Sastra Indonesia Modern:
Kajian Terhadap Novel Mutakhir
Rose, S. D. (1999). Naming and Claiming: Indonesia. Universitas Muhammadiyah
The Integration of Traumatic Malang.
Experience and the Reconstruction of
Self in Survivors’ Stories of Sexual
Abuse. In K. L. Rogers (Ed.), Trauma
and Life Stories: International
Perspectives. Routledge.
Shaw, A., Joseph, S., & Linley, P. A. (2005).
Religion, spirituality, and posttraumatic
growth: a systematic review. Mental
Health, Religion and Culture2, 8(1), 1–
11.
https://doi.org/10.1080/1367467032000
157981