Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

MENJADI MANUSIA ANTARBUDAYA

Di Susun Oleh:

1. Rahmadi (21521039)
2. Siti Nurhaliza (215210

Dosen Pengampu:

Femalia Valentine, M.A.

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP

2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Komunikasi Antarbudaya dengan judul “Menjadi Manusia Antarbudaya”. Shalawat
dan salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW, beserta
keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan agama Islam.
Kemudian dari pada itu, kami mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada pihak-pihak yang telah membantu demi terselesaikannya makalah ini,
diantaranya: Dosen Pengampu Ibu Femalia Valentine, M.A. dan Teman-teman
Mahasiswa dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kekeliruan, maka dari itu kami mengharapkan saran dan kritik positif yang bersifat
membangun sehingga makalah ini bisa diperbaiki seperlunya. Akhirnya kami berharap
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kelompok kami khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.  Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Curup, 19 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .........................................................................................................i
Daftar Isi ...................................................................................................................ii
BAB I    PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................2
C. Tujuan Pembelajaran ...............................................................................2

BAB II    PEMBAHASAN
A. Pengertian Manusia Antarbudaya .............................................................3
B. Batasan dan Peranan Manusia Antarbudaya..............................................4
C. Konflik Antar Bangsa dan Kesalahpahaman Budaya................................5
D. Cara-Cara Untuk Mengatasi Konflik Antarbangsa Dan Kesalahpahaman
Antarbudaya...............................................................................................6
BAB III    PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dalam hidup kesehariannya tidak akan lepas dari kebudayaan, karena
manusia adalah pencipta dan pengguna kebudayaan itu sendiri. Manusia hidup karena
adanya kebudayaan, sementara itu kebudayaan akan terus hidup dan berkembang
manakala manusia mau melestarikan kebudayaan dan bukan merusaknya. Dengan
demikian manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena
dalam kehidupannya tak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan,
setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan, bahkan kadangkala
disadari atau tidak manusia merusak kebudayaan.

Menurt Gudyskunts dan Kim, manusia antarbudaya adalah orang yang telah
mencapai tingkat dalam proses antarbudaya yang kognisi, afeksi dan prilakunya tidak
terbatas tetapi terus berkembang melewati prameter-prameter psikologi suatu budaya1.
Menurut pendapat saya sendiri manusia antar budaya merupakan manusia yang
memahami budaya manusia yang lainnya, sehingga dia bisa beradaptasi dengan
budaya baru tanpa adannya menimbulkan suatu masalah terhadap suatu budaya.

Dengan menjadi manusia antarbudaya, tidak berarti kita kehilangan identitas


kita sebagai warga dari bangsa dan budaya tertentu, tidak pula berarti bahwa kita
wajib mengikuti setiap budaya yang kita dapatkan dilingkungan baru, tetapi kita dapat
berprilaku dengan cara yang dapat dipahami dan diterima budaya lain tapi juga
diterima budaya kita sendiri. Kita dapat menjadi manusia antarbudaya sementara kita
pun menjadi manusia Indonesia dan menganut suatu Agama. Contohnya seperti ketika
kita disuguhi dengan makanan yang tidak bisa kita makan jika dipandang dari sudut
Agama, maka jika orang tersebut merupakan manusia antarbudaya, dia akan bisa
menerima keputusan kita untuk tidak menerima sesuatu yang telah disuguhkan
tersebut.

1
Dyah Gandasari., dkk. Komunikasi Lintas Budaya, (Jakarta: Yayasan Kita Menulis, 2021), hlm. 101.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu manusia antarbudaya?
2. Bagaimana batasan dan peranan manusia antarbudaya?
3. Bagaimana konflik antar bangsa dan kesalahpahaman budaya dan cara-cara untuk
mengatasi konflik antarbangsa dan kesalahpahaman antarbudaya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui manusia antarbudaya.
2. Untuk mengetahui batasan dan peranan manusia antarbudaya.
3. Untuk mengetahui konflik antar bangsa dan kesalahpahaman budaya dan cara-
cara untuk mengatasi konflik antarbangsa dan kesalahpahaman antarbudaya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Manusia Antarbudaya

Hubungan yang erat antara manusia terutama masyarakat dan kebudayaan


lebih jauh telah diungkap oleh Melville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski,
dalam bukunya yang mengemukakan bahwa cultural determinism berarti segala
sesuatu yang terdapat didalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu, kemudian Herkovits memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang superorganic, karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke
generasi tetap hidup. Walaupun manusia yang menjadi anggota masyarakatnya sudah
berganti karena kelahiran dan kematian.2

Konsep manusia antarbudaya dikemukakan oleh William B. Gudykunts dan


Young Yun Kim, Communicating With Stranger: An Aproarch To Intercultural
Communication. Konsep-konsep lain seperti manusia multibudaya, manusia universal,
manusia internasional dan manusia marjinal digunakan oleh beberapa penulis lain
untuk menunjuk karakter yang serupa.3 Manusia antarbudaya dapat disebut orang-
orang yang dapat mengatasi masalah-masalah budaya secara efektif, baik dalam
konteks nasional ataupun terlebih lagi dalam konteks internasional.

Adler mengatakan bahwa, manusia multibudaya adalah orang yang identitas


dan loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan dan yang komitmennya bertaut
dengan suatu pandang bahwa dunia ini adalah komunitas global, ia adalah orang yang
secara intelektual dan emosional terikat kepada kesatuan fundamental semua manusia
yang pada saat yang sama mengakui, menerima dan menghargai perbedaan mendasar
antara orang-orang yang berbeda budaya. Menurut Walsh dalam buku komunikasi
antarbudaya mengungkapkan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri manusia antarbudaya,
yaitu:

1. Mengetahui budaya lain selain budaya sendiri.


2
Selo Soemardjan. Setangkai Bunga Sosial, (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 1964), hlm. 115.
3
William B. Gudykunts & Young Yun Kim. Communication With Strangers: Aproach to Intercultural
Communication, (Reading: Addison-Wesley, 1984), hlm. 229.

3
2. Mampu beradaptasi dengan budaya yang lain tanpa harus meninggalkan
budayanya.
3. Menghormati semua budaya.
4. Memahami apa yang orang-orang dari budaya lain pikirkan, rasakan dan
percaya.
5. Menghargai perbedaan-perbedaan budaya.4
B. Batasan dan Peranan Manusia Antarbudaya

Perkembangan jaringan komunikasi dan meningkatnya jumlah orang yang


berunjung dan menetap di suatu negara lain, baik untuk sementara ataupun
selamanya, telah menumbuhkan kesadaran akan perlunya memahami budaya orang
lain. Budaya asing telah menjadi suatu bagian yang penting dalam lingkungan
komunikasi mereka. Keberhasilan seorang diplomat, pegawai militer, pengusaha,
mahasiswa dan sebagainya di suatu negara asing antara lain ditentukan oleh
kemampuan mereka dalam mengatasi masalah-masalah budaya secara efektif inilah,
baik dalam konteks nasional (hubungan antarmanusia yang berbeda budaya dalam
siuatu negara) ataupun terlebih lagi dalam konteks internasional (hubungan
antarmanusia yang berbeda budaya dan negara), dapat disebut manusia-manusia
antarbudaya.

Senada dengan pendapat Adler Walsh (1973), mengemukakan “menjadi


manusia universal tidaklah berarti seberapa banyak manusia itu tahu tapi seberapa
dalam dan luas intelektualitas yang ia miliki dan bagaimana menghubungkannya
dengan masalah-masalah penting yang universal. Ia tidak menghilangkan perbedaan-
perbedaan budaya, alih-alih ia berusaha memelihara apapun yang paling valid dan
bernilai dalam setiap budaya”. Menurut Walsh, ciri-ciri manusia universal adalah
bahwa ia menghormati semua budaya, memahami apa yang orang-orang dari budaya
lain pikirkan, rasakan, percaya dan menghargai perbedaan-perbedaan budaya.

Dengan menjadi manusia antarbudaya tidak berarti bahwa kita lalu kehilangan
identitas kita sebagai bangsa dan budaya tertentu. Tidak pula berarti bahwa kita secara
harfiah “berbuat seperti orang Roma jika berada di Roma”. Tetapi kita berprilaku
dengan cara-cara yang dapat diterima budaya orang lain juga diterima budaya kita
sendiri. Kita dapat menjadi manusia antarbudaya, sementara kita pun menjadi
4
Paul S. Adler. Beyond Cultural Identity: Reflection on Cultural and Multicultural Man. Dalam L. Samovar &
R. Porter, ed., Intercultural Communication: A Reader. Ed. Ke-3, (Belmont: Widsworth, 1982), hlm. 389-391

4
manusia Indonesia dan menganut suatu agama. Bila kita tidak minum-minuman keras
dan tidak makan daging babi karena alasan agama, kita dapat menyatakan sikap kita
kepada orang dari agama atau budaya lain yang menawari kita minuman dan makanan
itu. Orang itu pun, bila seorang manusia antarbudaya, tentu akan menghargai
kepercayaan kita. Sebaliknya, kita pun jangan memaksakannya untuk memakan-
makanan daerah kita yang kitahidangkan padanya, semata-mata karena lidah kita
merasakannya lezat. Itulah sikap manusia antarbudaya sejati.5

C. Konflik Antar Bangsa dan Kesalahpahaman Budaya

Sejarah telah menunjukkan bahwa sebagian konflik dan peperangan


antarbangsa disebabkan karena pemimpin bangsa yang satu tidak memahami dan
menghargai budaya bangsa yang lain. Mereka etnosentrik (merasa budaya bangsanya
sendiri lebih baik daripada budaya bangsa lain) dan punya prasangka atau steorotip
terhadap bangsa lain. Misalnya, Hitler dan pasukannya melakukan invasi ke negara-
negara lain disekitarnya karena, disamping alasan-alasan lain, ia pun percaya bahwa
bangsa jerman adalah bangsa paling mulia dan karena itu bangsa jerman berhak
menguasai negara-negara lain. Amerika mengebom atom Hiroshima dan Nagasaki
pada zaman perang dunia II itu bukan saja karena saat itu para pemipin bangsa
Amerika sangat membenci bangsa Jepang sebab kalau hanya ingin menaklukkan
musuh, mestinya Amerika pun mengebom Jerman.

Harus diakui bahwa saat ini masih terdapat bangsa-bangsa etnosentrik


demikian. contoh yang jelas adalah kaum kulit putih yang menindas kaum kulit hitam
di Afrika Selatan dan bangsa Yahudi yang menindas bangsa Arab di Palestina. Kedua
bangsa itu merasa lebih mulia daripada bangsa-bangsa yang mereka kuasai. Dalam
taraf rendah, konflik antar bangsa merupakan kesalahpahaman antara individu-
individu yang berlainan bangsa. Sumber konflik sterotip antarbangsakita pun, bahkan
tanpa disadari bisa jadi mempunyai sterotip-sterotip terhadap bangsa-bangsa lain.
Sterotip-sterotip yang kita miliki tentang orang-orang Amerika misalnya bahwa
mereka itu penganut cinta bebas, seks bebas, materialistik, individualistik dan
sebagainya.

5
Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya (Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-
Orang yang Berbeda Budaya), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 232-233.

5
Sebenarnya tidak semua orang Amerika demikian. Di Amerika pun terdapat
orang-orang shaleh yang tak menganut cinta bebas atau seks bebas, tak minum-
minuman keras, tak merokok dan bahkan tak mempunyai acara-acara tv yang porno.
Dinegara itu bahkan terdapat pula masyarakat Amish yang masih tradisional. Mereka
tinggal di beberapa negara bagian, dengan konsentri terbesar di Lancaster,
Pennsylvania. Amish adalah masyarakat petani yang mandiri. Kaum wanitanya bisa
mengenakan baju hitam, syal dan krudung, sedangkan kaum lelakinya bertopi dan
memelihara jenggot tabu bagi mereka untuk menggunakan alat-alat elektronik seperti
radio, tv, telepon, mobil dan sebagainya. Mereka pun tidak individualistic, tetapi
justru hidup bergotong royong. Misalnya bila seseorang membangun rumah, maka
masyarakat pun membantu membangun rumah itu.6

D. Cara-Cara Untuk Mengatasi Konflik Antarbangsa dan Kesalahpahaman


Antarbudaya

Konflik dapat terjadi antara anggota kelompok yang sama, yang dikenal
sebagai konflik intragroup, atau dapat terjadi konflik antara satu orang atau lebih dari
anggota kelompok dengan anggota kelompok dengan anggota kelompok lain yang
melibatkan kekerasan, perselisihan antarpersonal dan ketegangan psikologis yang
dikenal sebagai konflik antarkelompok7. Konflik sudah menjadi bagian dari manusia
setiap kelompok dalam kehidupan selalu memiliki benih benih pertentangan antara
individu yang lainnya. Menurut Pritt dan Rubbin menyatakan bahwa konflik berarti
presepsi mengenai perbedaan kepentingan Recived Divergence of Interest atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat tercapai secara
simultan. Maka dapat disimpulkan bahwa konflik adalah adanya gesekan,
ketidaksepakatan atau perselisihan mengenai perbedaan kepentingan. Terdapat pola
konflik yang terbagi kedalam tiga bentuk yaitu:

1. Konflik Latent

6
Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat. Loc. Cit. hal. 235.
7
Allo Liliweri. Prasangka, Konflik dan Komunikasi Antarbudaya Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2018), hlm.
425.

6
Ia memiliki sifat tersembunyi dan perlu di angkat kepermukaan
untuk diberitahukan ke khayalak publik agar dapat ditangani atau
diselesaikan secara efektif.

2. Konflik Terbuka

Konflik terbuka ini adalah konflik yang terjadi sudah lama hingga
berakar dalam sehingga perlu tindakan untuk mengatasi konflik ini sampai
ke akar-akarnya dan berbagai macam efek yang ditimbulkannya.

3. Konflik Permukaan

Konflik permukaan ini merupakan konflik muncul hanya karena


kesalahpahaman kecil yang dapat diatasi dengan komunikasi kedua belah
pihak agar dapat terselesaikan8

Kemudian, terdapat faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara lain


yaitu:

1. Adanya perbedaan individu yang meliputi perbadaan pendirian dan


perasaan, karena setiap manusia unik dan mempunyai perbedaan pendirian
perasaan satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan ini akan
menjadi satu faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial seorang individu tidak selalu sejalan dengan individu atau
kelompoknya.
2. Perbedaan latar belakang kebudayan sehingga membentuk pribadi-pribadi
yang berbeda-beda, individu lebih sedikit banyak akan terpengaruh oleh
pola pemikiran dan pendirian kelompoknya dan itu akan menghasilkan
suatu perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, individu memiliki
latar perasaan, pendirian dan latar belakang budaya yang berbeda. Ketika
dalam waktu yang bersamaan setiap individu dan kelompok memiliki
kepentingan yang berbeda.
4. Adanya perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam lingkup
masyarakat. Perubahan adalah suatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi

8
Simon Fisher. Manajemen Konflik Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. (Jakarta: British Council,
2001), hlm. 57.

7
jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.9

Berikut adalah cara-cara untuk mengatasi konflik antarbangsa dan


kesalahpahaman antarbudaya, yakni:

1. Melalui Pendidikan

Konflik antarbudaya disebabkan antara lain tidak adanya atau


kurangnya pemahaman dan penghargaan atas budaya bangsa lain, maka
salah satu usaha untuk menanggulangi konflik tersebut adalah dengan
mendidik manusia-manusia antarbudaya. Melalui pendidikan ini kita dapat
menciptakan generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh
perspektif nasional, rasial, etnik dan tutorial. Kita harus mengganti cara-
cara berpikir dengan pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan
realitas-realitas dan tuntunan-tuntunan internasional.10

2. Melalui Demokrasi

Perbedaan budaya yang sering menjadi penghalang hubungan


antarbangsa didunia bukanlah sebuah permasalahan yang harus terjadi.
Dimana kesepahaman budaya yang telah ada sejak dulu tidak pernah
diperhatikan lagi oleh kita sendiri. Saat ini, perbedaan tersebut telah
menjadi permasalahan yang kompleks antarbudaya yang ada didunia.
Salah satu solusi yang berperan sebagai pemersatu tanpa harus
bertentangan dengan kebudayaan adalah demokrasi.

Mariane Farine yang merupakan dosen di Howard University,


Washington DC, mengatakan bahwa terdapat tiga unsur yang harus
diperhatikan didalam penggunaan sistem demokrasi, yakni:

a. Human Dignity (Martabat Manusia)

9
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grofindo Persada, 2006), hlm. 91.
10
Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat. Loc. Cit. hal. 238.

8
Menghargai setiap hak dan martabat manusia tanpa
harus memasukkan unsur-unsur yang dapat menimbulkan
perbandingan bahkan perbedaan.

b. Collaboration (Kerjasama)

Dengan lebih menonjolkan sifat kerjasama atau


kebersamaan antarbudaya.

c. Empowerment (Wewenang)

Meniadakan kekuasaan yang dapat memengaruhi


kewenangan dalam sistem demokrasi.

Dari ketiga hal tersebut, menurutnya pencapaian demokrasi yang


menjadi alat pemersatu budaya akan dapat terlaksana dengan baik tanpa
harus mempermasalahkan budaya dan agama. Yang terpenting dalam hal
ini yaitu jangan pernah mendahulukan ke-egoisan. Berperilaku dengan
cara-cara yang dapat diterima budaya orang lain, tetapi juga diterima
budaya kita sendiri.

BAB III
PENUTUP

9
A. Kesimpulan

Manusia antarbudaya dapat disebut orang-orang yang dapat mengatasi


masalah-masalah budaya secara efektif, baik dalam konteks nasional ataupun terlebih
lagi dalam konteks internasional. Menurut Walsh dalam buku komunikasi
antarbudaya mengungkapkan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri manusia antarbudaya,
yaitu:

1. Mengetahui budaya lain selain budaya sendiri.


2. Mampu beradaptasi dengan budaya yang lain tanpa harus meninggalkan
budayanya.
3. Menghormati semua budaya.
4. Memahami apa yang orang-orang dari budaya lain pikirkan, rasakan dan
percaya.
5. Menghargai perbedaan-perbedaan budaya.

Kita dapat menjadi manusia antarbudaya, sementara kita pun menjadi manusia
Indonesia dan menganut suatu agama. Bila kita tidak minum-minuman keras dan
tidak makan daging babi karena alasan agama, kita dapat menyatakan sikap kita
kepada orang dari agama atau budaya lain yang menawari kita minuman dan makanan
itu. Orang itu pun, bila seorang manusia antarbudaya, tentu akan menghargai
kepercayaan kita.

Setiap orang pasti mendambakan kedamaian dan kebahagiaan, namun hanya


prasangka dan etnosentrisme-lah yang membuat orang-orang merasa dan berprilaku
seolah-olah mereka lebih baik dari pada orang lainnya. Sejarah telah menunjukkan
bahwa sebagian konflik dan peperangan antar bangsa disebabkan karena pemimpin
bangsa yang satu tidak memahami dan menghargai budaya bangsa lain.

DAFTAR PUSTAKA

10
Adler, P. S. (1982). Beyond Cultural Identity: Reflection on Cultural and Multicultural Man.
Dalam L. Samovar & R. Porter, ed., Intercultural Communication: A Reader. Ed. Ke-
3. Belmont: Widsworth.

Deddy Mulyana, J. R. (2006). Komunikasi Antarbudaya (Panduan Berkomunikasi Dengan


Orang-Orang yang Berbeda Budaya). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Dyah Gandasari., d. (2021). Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Yayasan Kita Menulis.

Fisher, S. ( 2001). Manajemen Konflik Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta:
British Council.

Kim, W. B. (1984). Communication With Strangers: Aproach to Intercultural


Communication. Reading : Addison-Wesley.

Liliweri, A. (2018). Prasangka, Konflik dan Komunikasi Antarbudaya Edisi Kedua. Jakarta:
Kencana.

Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grofindo Persada.

Soemardjan, S. (1964). Setangkai Bunga Sosial. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.

11

Anda mungkin juga menyukai