Di Susun Oleh:
1. Rahmadi (21521039)
2. Siti Nurhaliza (215210
Dosen Pengampu:
2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .........................................................................................................i
Daftar Isi ...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................2
C. Tujuan Pembelajaran ...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Manusia Antarbudaya .............................................................3
B. Batasan dan Peranan Manusia Antarbudaya..............................................4
C. Konflik Antar Bangsa dan Kesalahpahaman Budaya................................5
D. Cara-Cara Untuk Mengatasi Konflik Antarbangsa Dan Kesalahpahaman
Antarbudaya...............................................................................................6
BAB III PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam hidup kesehariannya tidak akan lepas dari kebudayaan, karena
manusia adalah pencipta dan pengguna kebudayaan itu sendiri. Manusia hidup karena
adanya kebudayaan, sementara itu kebudayaan akan terus hidup dan berkembang
manakala manusia mau melestarikan kebudayaan dan bukan merusaknya. Dengan
demikian manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena
dalam kehidupannya tak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan,
setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan, bahkan kadangkala
disadari atau tidak manusia merusak kebudayaan.
Menurt Gudyskunts dan Kim, manusia antarbudaya adalah orang yang telah
mencapai tingkat dalam proses antarbudaya yang kognisi, afeksi dan prilakunya tidak
terbatas tetapi terus berkembang melewati prameter-prameter psikologi suatu budaya1.
Menurut pendapat saya sendiri manusia antar budaya merupakan manusia yang
memahami budaya manusia yang lainnya, sehingga dia bisa beradaptasi dengan
budaya baru tanpa adannya menimbulkan suatu masalah terhadap suatu budaya.
1
Dyah Gandasari., dkk. Komunikasi Lintas Budaya, (Jakarta: Yayasan Kita Menulis, 2021), hlm. 101.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu manusia antarbudaya?
2. Bagaimana batasan dan peranan manusia antarbudaya?
3. Bagaimana konflik antar bangsa dan kesalahpahaman budaya dan cara-cara untuk
mengatasi konflik antarbangsa dan kesalahpahaman antarbudaya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui manusia antarbudaya.
2. Untuk mengetahui batasan dan peranan manusia antarbudaya.
3. Untuk mengetahui konflik antar bangsa dan kesalahpahaman budaya dan cara-
cara untuk mengatasi konflik antarbangsa dan kesalahpahaman antarbudaya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2. Mampu beradaptasi dengan budaya yang lain tanpa harus meninggalkan
budayanya.
3. Menghormati semua budaya.
4. Memahami apa yang orang-orang dari budaya lain pikirkan, rasakan dan
percaya.
5. Menghargai perbedaan-perbedaan budaya.4
B. Batasan dan Peranan Manusia Antarbudaya
Dengan menjadi manusia antarbudaya tidak berarti bahwa kita lalu kehilangan
identitas kita sebagai bangsa dan budaya tertentu. Tidak pula berarti bahwa kita secara
harfiah “berbuat seperti orang Roma jika berada di Roma”. Tetapi kita berprilaku
dengan cara-cara yang dapat diterima budaya orang lain juga diterima budaya kita
sendiri. Kita dapat menjadi manusia antarbudaya, sementara kita pun menjadi
4
Paul S. Adler. Beyond Cultural Identity: Reflection on Cultural and Multicultural Man. Dalam L. Samovar &
R. Porter, ed., Intercultural Communication: A Reader. Ed. Ke-3, (Belmont: Widsworth, 1982), hlm. 389-391
4
manusia Indonesia dan menganut suatu agama. Bila kita tidak minum-minuman keras
dan tidak makan daging babi karena alasan agama, kita dapat menyatakan sikap kita
kepada orang dari agama atau budaya lain yang menawari kita minuman dan makanan
itu. Orang itu pun, bila seorang manusia antarbudaya, tentu akan menghargai
kepercayaan kita. Sebaliknya, kita pun jangan memaksakannya untuk memakan-
makanan daerah kita yang kitahidangkan padanya, semata-mata karena lidah kita
merasakannya lezat. Itulah sikap manusia antarbudaya sejati.5
5
Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya (Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-
Orang yang Berbeda Budaya), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 232-233.
5
Sebenarnya tidak semua orang Amerika demikian. Di Amerika pun terdapat
orang-orang shaleh yang tak menganut cinta bebas atau seks bebas, tak minum-
minuman keras, tak merokok dan bahkan tak mempunyai acara-acara tv yang porno.
Dinegara itu bahkan terdapat pula masyarakat Amish yang masih tradisional. Mereka
tinggal di beberapa negara bagian, dengan konsentri terbesar di Lancaster,
Pennsylvania. Amish adalah masyarakat petani yang mandiri. Kaum wanitanya bisa
mengenakan baju hitam, syal dan krudung, sedangkan kaum lelakinya bertopi dan
memelihara jenggot tabu bagi mereka untuk menggunakan alat-alat elektronik seperti
radio, tv, telepon, mobil dan sebagainya. Mereka pun tidak individualistic, tetapi
justru hidup bergotong royong. Misalnya bila seseorang membangun rumah, maka
masyarakat pun membantu membangun rumah itu.6
Konflik dapat terjadi antara anggota kelompok yang sama, yang dikenal
sebagai konflik intragroup, atau dapat terjadi konflik antara satu orang atau lebih dari
anggota kelompok dengan anggota kelompok dengan anggota kelompok lain yang
melibatkan kekerasan, perselisihan antarpersonal dan ketegangan psikologis yang
dikenal sebagai konflik antarkelompok7. Konflik sudah menjadi bagian dari manusia
setiap kelompok dalam kehidupan selalu memiliki benih benih pertentangan antara
individu yang lainnya. Menurut Pritt dan Rubbin menyatakan bahwa konflik berarti
presepsi mengenai perbedaan kepentingan Recived Divergence of Interest atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat tercapai secara
simultan. Maka dapat disimpulkan bahwa konflik adalah adanya gesekan,
ketidaksepakatan atau perselisihan mengenai perbedaan kepentingan. Terdapat pola
konflik yang terbagi kedalam tiga bentuk yaitu:
1. Konflik Latent
6
Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat. Loc. Cit. hal. 235.
7
Allo Liliweri. Prasangka, Konflik dan Komunikasi Antarbudaya Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2018), hlm.
425.
6
Ia memiliki sifat tersembunyi dan perlu di angkat kepermukaan
untuk diberitahukan ke khayalak publik agar dapat ditangani atau
diselesaikan secara efektif.
2. Konflik Terbuka
Konflik terbuka ini adalah konflik yang terjadi sudah lama hingga
berakar dalam sehingga perlu tindakan untuk mengatasi konflik ini sampai
ke akar-akarnya dan berbagai macam efek yang ditimbulkannya.
3. Konflik Permukaan
8
Simon Fisher. Manajemen Konflik Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. (Jakarta: British Council,
2001), hlm. 57.
7
jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.9
1. Melalui Pendidikan
2. Melalui Demokrasi
9
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grofindo Persada, 2006), hlm. 91.
10
Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat. Loc. Cit. hal. 238.
8
Menghargai setiap hak dan martabat manusia tanpa
harus memasukkan unsur-unsur yang dapat menimbulkan
perbandingan bahkan perbedaan.
b. Collaboration (Kerjasama)
c. Empowerment (Wewenang)
BAB III
PENUTUP
9
A. Kesimpulan
Kita dapat menjadi manusia antarbudaya, sementara kita pun menjadi manusia
Indonesia dan menganut suatu agama. Bila kita tidak minum-minuman keras dan
tidak makan daging babi karena alasan agama, kita dapat menyatakan sikap kita
kepada orang dari agama atau budaya lain yang menawari kita minuman dan makanan
itu. Orang itu pun, bila seorang manusia antarbudaya, tentu akan menghargai
kepercayaan kita.
DAFTAR PUSTAKA
10
Adler, P. S. (1982). Beyond Cultural Identity: Reflection on Cultural and Multicultural Man.
Dalam L. Samovar & R. Porter, ed., Intercultural Communication: A Reader. Ed. Ke-
3. Belmont: Widsworth.
Dyah Gandasari., d. (2021). Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Yayasan Kita Menulis.
Fisher, S. ( 2001). Manajemen Konflik Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta:
British Council.
Liliweri, A. (2018). Prasangka, Konflik dan Komunikasi Antarbudaya Edisi Kedua. Jakarta:
Kencana.
Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grofindo Persada.
Soemardjan, S. (1964). Setangkai Bunga Sosial. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
11