Anda di halaman 1dari 13

Penolakan Bias Gender Tokoh-tokoh Perempuan dalam

Kumpulan Cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam


karya Sasti Gotama: Kajian Feminisme
Dhiva Elza Khairunissa
Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta, Jl.
Rawamngun Muka Raya No.11, RT.11/RW.14,
Dhivaelzakh22@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender
yang dialami oleh tokoh perempuan dalam Kumpulan Cerpen Mengapa Tuhan
Menciptakan Kucing Hitam karya Sasti Gotama. Terdapat 3 judul dalam cerpen ini yang
digunakan sebagai data yang akan dianalisis dalam kajian feminisme, yakni Segala
Sesuatu Yang Tak Pernah Terjadi, Rahasia Keempat, dan Tawa Luisa. Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dengan
menggunakan studi kepustakaan atau library research. Penelitian ini menunjukkan
bahwa cerita-cerita yang ada di dalam kumpulan cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan
Kucing Hitam karya Sasti Gotama merupakan gambaran nyata praktik patriarki yang
masih sangat mendominasi di masyarakat sehingga timbul ketimpangan yang merugikan
dan memberatkan kaum perempuan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang
dapat ditemukan dalam cerpen ini berupa; 1) Stereotip; 2) Kekerasan (Violence); 3)
Beban ganda (Double burden); 4) Subordinasi.

Kata kunci : kajian, feminisme, cerpen, kajian feminisme

PENDAHULUAN

Kajian ini membahas penolakan bias gender yang dialami oleh tokoh-
tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing
Hitam karya Sasti Gotama dengan menggunakan pendekatan feminisme. Bias
gender merupakan pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu
jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya sebagai akibat pengaturan dan
kepercayaan sosial maupun budaya yang lebih berpihak kepada jenis kelamin
tertentu. Pada pembahasan artikel ini keberpihakan lebih kepada laki-laki
daripada perempuan yang kemudian memunculkan ketidakadilan gender yang
dialami oleh perempuan seperti stereotype, kekerasan, dan kehilangan hak atas
diri sendiri.

Penulis tertarik mengkaji judul tersebut karena peneliti memilih 3 judul


cerita dalam kumpulan cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam karya
Sasti Gotama untuk dikaji adalah karena sang penulis menyuarakan kritiknya
mengenai persoalan praktik patriarki yang masih kental dalam kehidupan
bermasyarakat. Fokus cerita dalam cerita ini mengenai ketidakadilan yang
dialami oleh perempuan. Dan alasan peneliti memilih mengkaji dengan
menggunakan pendekatan feminisme karena mempu membantu dalam
mengungkapkan berbagai macam gejala feminsme dan ketidakadilan yang
dialami oleh tokoh perempuan dalam cerpen ini.

Kajian ini penting dilakukan karena akan mengangkat isu ketidakadilan


gender yang dialami perempuan yang dimana membuat posisi perempuan
dibuat tak berdaya dan ruang gerak yang terbatas. Pendekatan yang cocok
digunakan untuk kajian ini adalah pendekatan feminisme yang dimana
membahas kesadaran atas ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan diskriminasi yang
dialami oleh perempuan yang berlangsung dalam tatanan masyarakat.

Manfaat dari kajian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman si


peneliti sendiri dan memberikan pengetahuan bagi khalayak umum mengenai
apa yang dibahas dalam artikel ini. Sebagai referensi atau tinjauan Pustaka bagi
penelitian-penelitian selanjutnya yang juga ingin membahas ketidakadilan
gender yang dialami tokoh perempuan dalam suatu karya sastra dengan
menggunakan pendekatan feminisme.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk ketidakadilan


gender yang dialami oleh tokoh perempuan dalam Kumpulan Cerpen Mengapa Tuhan
Menciptakan Kucing Hitam karya Sasti Gotama. penulis dalam kajian ini ingin
menunjukkan bahwa cerita-cerita yang ada di dalam kumpulan cerpen Mengapa Tuhan
Menciptakan Kucing Hitam karya Sasti Gotama merupakan gambaran nyata praktik
patriarki yang masih sangat mendominasi di masyarakat sehingga timbul ketimpangan
yang merugikan dan memberatkan kaum perempuan.

LANDASAN TEORI

Karya sastra Sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) yang berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi. Dalam perkembangan
penggunaannya, kata sastra kerap kali ditambahkan dengan imbuhan “su-“ menjadi
susastra yang berarti hasil ciptaan yang baik dan indah. Karya sastra merupakan refleksi
pengarang dari kehidupan realita. Karya sastra sebagai ilmu yang memberikan kegunaan
dan hiburan, juga sebagai salah satu aspek penting dalam menunjang pembentukan dan
pertumbuhan kebudayaan. Amir (2010) mengungkapkan beberapa fungsi sastra yakni
fungsi hiburan, pendidikan, keindahan, moral, dan religius. Karya sastra dapat
memberikan efek perasaan senang dan gembira bagi para penikmatnya, namun juga
tidak melupakan aspek-aspek kebermanfaatan dalam nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Karya sastra menggunakan bahasa sebagai media penyampaian gagasan yang
sebelumnya terlahir dalam bentuk kreativitas imajinasi pengarangnya. Menurut Danamo
(Sitinjak, 2018), karya sastra ada untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dan mampu
memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan
pernyataan tersebut, bahwa karya sastra juga berfungsi sebagai media untuk
menyampaikan nilai dan amanat tertentu bagi para pembaca

Cerpen merupakan suatu karya sastra yang termasuk ke dalam jenis prosa fiksi
yang cukup populer di kalangan masyarakat. Cerpen adalah suatu karya sastra yang
merupakan hasil interpretasi pengarang yang menjadi suatu kebulatan ide yang
kemudian dituangkan ke dalam cerita yang pendek, singkat, padat, dan padu. Terdapat
pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji cerpen, seperti
pendekatan struktural, semiotika, intertekstual dan sebagainya. Adapun pendekatan
postrukturalisme yang saat ini marak digunakan oleh para peneliti dalam mengkaji suatu
karya prosa dalam hal ini cerpen adalah pendekatan feminisme
Feminisme merupakan suatu kesadaran terhadap ketidakadilan gender yang
dialami oleh kaum perempuan, baik dalam lingkup keluarga ataupun lingkup
masyarakat. Feminisme berasal dari kata “femme” (woman) yang berarti perempuan
(tunggal) yang berjuang demi memperjuangkan hak-hak kaum perempuan sebagai kelas
sosial (Syurpoati dan Soebachman, 2012:115). Menurut Moeliono (dalam Sugihastuti,
2010:18) feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. keberadaan feminisme dianggap
sebagai yang menjembatani kaum perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan dan
persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki. feminisme bertujuan untuk
menaikkan derajat dan menyetarakan kedudukan perempuan dalam berbagai aspek di
kehidupan. Makna yang terkandung dalam feminisme lebih luas daripada emansipasi.
Emansipasi lebih mengarah pada istilah yang menuntut persamaan hak dalam aspek
kehidupan bermasyarakat. Yang ditekankan dalam emansipasi hanya persoalan
mengenai partisipasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak disertai
dengan persoalan ketidakadilan gender, sedangkan apa yang dipersoalkan dalam
feminisme adalah hak serta kepentingan perempuan yang selama ini mengalami
ketidakadilan. Dalam pandangan feminisme, perempuan memiliki aktivitas serta inisiatif
dalam rangka memperjuangkan hak dan keadilan melalui sebuah gerakan.

Dominasi patriarki yang dianggap oleh feminisme sebagai penyebab munculnya


ketidakdilan gender yang dialami kaum perempuan. Menurut Fakih (2010: 78) pada
umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan
terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, misalnya institusi
rumah tangga, perkawinan, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk
mengakhiri apa yang disebut dengan kodrat. Dengan adanya kekeliruan dalam anggapan
tersebut maka feminisme tidak hanya kurang mendapat perhatian dari kalangan
perempuan saja, bahkan umumnya ditolak oleh masyarakat. Gerakan feminisme
berawal dari asumsi dan kesadaran perempuan bahwa kaumnya pada dasarnya
mengalami penindasan dan tindak eksploitasi lainnya. Kemudian dari kesadaran itulah
muncul upaya-upaya yang dilakukan untuk mengakhiri penindasan dan
pengeksploitasian tersebut.
Konsep gender adalah karakteristik yang unik bagi perempuan dan laki-laki yang
dibangun secara sosial dan budaya oleh masyarakat. Misalnya seorang perempuan
dikenal karena kepribadiannya yang lembut, cantik, keibuan, dan emosional. Sementara
itu, laki-laki dianggap sebagai mahluk yang kuat, maskulin, kuat dan rasional. Ciri-ciri itu
sendiri adalah sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada seorang laki-laki yang
memiliki sifat Lembut, keibuan dan emosional, sementara itu ada juga perempuan yang
rasional, kuat, dan tangguh. Perubahan dari ciri-ciri sifat tersebut dapat berubah dari
waktu ke waktu, dan terkadang terjadi dari satu tempat ke tempat lain, tergantung
kontruksi yang diinginkan oleh sistem sosial dan budaya masyarakatnya. Misalnya, pada
suatu zaman tertentu seorang perempuan lebih kuat dari laki-laki, lalu pada zaman
selanjutnya laki-laki yang lebih kuat daripada perempuan. Atau, perubahan ini mungkin
datang dari kelas sosial tertentu kemudian berdampak pada kelas sosial lainnya. Segala
hal yang dapat dipertukarkan antar sifat perempuan maupun laki-laki, baik dari segi
waktu, tempat, kelas sosial itulah yang kemudian disebut dengan konsep gender.

Bias gender adalah pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah
satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya sebagai akibat pengaturan dan
kepercayaan sosia maupun budaya yang lebih berpihak pada jenis kelamin tentu.
Munculnya perilaku bias gender disebabkan oleh ketidakadilan gender (Gender
Inequality). Faktor ini akibatkan karena sistem dan struktur sosial yang ada
menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan.
Pandangan feminis berpendapat bahwa munculnya konsep ini disebabkan karena
gender dan konsep ditafsirkan dengan cara yang sama oleh sistem dan struktur
masyarakat itu sendiri. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender berupa subordinasi,
marginalisasi, stereotip, kekerasan (violence), dan beban kerja akan lebih lama atau
berlipat ganda (double burden).

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif.
Bentuk penelitian ini adalah kualitatif karena data yang dihasilkan berupa kalimat-
kalimat yang dikutip dalam cerpen. Adapun bentuk penelitian kualitatif adalah suatu
bentuk penelitian yang dapat memperjelas setiap unsur yang terdapat dalam data
disertai dengan pembahasan dan penjelasan secara rinci bukan yang berbentuk angka-
angka, dan data yang kumpulkan juga berupa kata-kata, gambar, dan sebagainya
(Moleong, 2001: 6).

Adapun teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian
kepustakaan atau library research. Yang di dimana penelitian dilakukan dengan studi
pustaka yakni dengan mengumpulkan beberapa karya sastra yang kemudian peneliti
coba menganalisis serta mengkajinya. Karya sastra yang akan dikaji pada penelitian ini
adalah Kumpulan Cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam karya Sasti
Gotama. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
feminisme.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Kumpulan Cerpen Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam karya Sasti
Gotama ditemukan data-data yang merupakan bentuk-bentuk dari ketidakadilan
gender seperti stereotipe, subordinasi, kekerasan (violence), dan beban ganda
(double burden).

1. Stereotip

Stereotip atau suatu pelabelan baik negatif maupun positif merupakan


pemberian citra baku/cap/label kepada seseorang atau kelompok yang
didasarkan pada suatu asusmsi yang salah atau keliru. Stereotip pada umumnnya
seringkali digunakan sebagai suatu pembenaran atas tindakan yang dilakukan
oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Stereotip atau pelabelan ini juga
menunjukan adanya ketimpangan atau ketidakseimbangan dalam hubungan
kekuasaan yang bertujuan untuk menaklukan dan menguasai pihak lain.
Stereotip terhadap perempuan yang dialami oleh tokoh perempuan dalam
cerpen Rahasia Keempat adalah ketika perempuan mengalami pelecehan
seksual, yang disalahkan adalah pihak perempuan karena dianggap sebagai pihak
yang menggoda. Stigma negatif terhadap perempuan yang mengalami pelecehan
seksual yang menimpa tokoh perempuan dalam cerpen ini. Tokoh perempuan
dalam cerpen ini yang tidak disebutkan namanya adalah seorang murid yang
dilecehkan oleh gurunya sendiri.

“Guru Yunus, pengajar aljabar, adalah pria yang menyusup benih ke rahimku.
Siang itu ia memanggilku ke ruangannya dengan dalih memberi nasihat karena
aku tak memperhatikan pelajaran di kelas. Aku tak punya pilihan. Jika
mengadukannya, aku takut bernasib sama dengan Nusrat yang dibakar hidup-
hidup setelah mengadukan telah dilecehkan, walaupun setiap hari kau
berpakaian seperti limbah cucian, tetap saja kau akan disalahkan sebagai pihak
yang menggoda. Maka kupilih jalan terbaik saat itu. Ini akan menjadi rahasia
keempat. Namun, tentu saja, tak seperti nenekku, aku akan diam dan
menyimpannya rapat-rapat.” – Rahasia Keempat (Hal. 56)

Perempuan yang berstatus sebagai korban dari pelecehan seksual malah


menerima risiko penilaian dan pandangan yang macam-macam dari orang lain.
Bahkan sedikit saja kita lengah atau mencoba menyuarakan hal tersebut, orang-
orang akan berlomba-lomba saling menggunjingkan. Dalam cerpen ini
disebutkan bahwa temannya sang tokoh perempuan dibakar hidup-hidup setelah
mengadu bahwa ia telah dilecehkan. Hal ini selaras dengan pandangan bahwa
lahirnya perempuan itu merupakan sebuah risiko. Sudah risiko menjadi seorang
perempuan sebagai objek kesalahan dan keburukan yang disebabkan oleh
cobaan dan godaan. Sehingga beberapa dari perempuan yang menjadi korban
pelecehan seksual memilih untuk bungkam mulutnya rapat-rapat karena takut
jika mereka membuka suara, mereka akan dihukum dan disalahkan selayaknya
orang yang berbuat kesalahan.

Selain stereotip yang menimpa kaum perempuan korban pelecehan seksual,


adapula stereotip yang menimpa kaum perempuan dalam ranah domestik, yakni
stereotip perempuan sebagai seorang istri. Diperlihatkan bahwa pihak
perempuan ketika berada pada kondisi perpisahan mengalami kerugian dalam
hal ini yaitu perpisahan sepasang suami istri.
“Tuhan, sebuah perpisahan tak pernah mudah bagi perempuan. Orang-orang
akan memandang hina dan menyalahkannya. Ia akan dianggap perempuan
jalang yang tak sudi menghadap tuhannya.” – Segala Sesuatu Yang Tak Pernah
Terjadi (Hal. 46)

Orang-orang hanya menilai berdasarkan cara pandang yang telah tertanam


mengenai perbedaan gender tanpa mengetahui kebenarannya. Bahwa
perempuan haruslah patuh terhadap suami, apapun yang dilakukan oleh suami
perempuan harus dapat menerimanya, walau yang dilakukan suami itu adalah
suatu tindak kekerasan dan penindasan. Yang dialami oleh tokoh perempuan
dalam cerpen ini adalah kesulitan yang dialami oleh perempuan ketika terjadinya
perceraian. Setelah bercerai dan menjadi janda, perempuan akan mendapat
stigma negatif dalam lingkungan masyarakat. Hal ini tentu saja semakin
memberatkan kaum perempuan yang sebab pandangan inilah kaum perempuan
sulit keluar dari posisi dan kedudukan perempuan yang semakin lemah dan
tertindas di masyarakat.

2. Kekerasan (Violence)

Kekerasan (violence) merupakan suatu tindakan kekerasan, baik fisik maupun


non-fisik, yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah lembaga
keluarga, masyarakat atau organisasi negara terhadap jenis kelamin lainnya.
Dalam hal ini peran gender membedakan karakter perempuan dan laki-laki.
Permpuan dianggap feminin dan pria dianggap maskulin. Karakter ini kemudian
diekspresikan dalam sifat-sifat psikologis, seperti laki-laki yang terlihat tangguh,
berani, dan kuat. Sebaliknya, wanita dipandang sebagai mahluk yang lemah
lembut, patuh, dan emosional. Adanya perbedaan tersebut sebenarnya tidak
salah. Namun, ternyata dengan adanya pembedaan kepribadian tersebut
berujung pada tindakan kekerasan. Mengingat perempuan-lah yang dianggap
lebih lemah, hal ini kemudian dijadikan sebagai alasan untuk diperlakukan
sewenang-wenang, seperti tindakan kekerasan.
“Di beberapa kesempatan lelaki abdi negara itu berubah menjadi putting beliung
yang membanting dan menghantamkan Lakshita ke tembok, sisi meja, dan
sandaran dipan. Mulutnya menyemburkan ribuan cacian, dan itu membuat hati
Lakshita robek dan luka dalam.” – Segala Sesuatu Yang Tak Pernah Terjadi (Hal.
46)

Salah satu kutipan ini menunjukkan bahwa sang tokoh perempuan yakni Lakshita
mendapati kekerasan domestik yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Kekerasan
domestik adalah tindak kekerasan yang dilakukan dalam rumah yang berupa
memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas tertentu
terhadap orang-orang yang berada dalam satu rumah, seperti pasangan suami
istri, anak, dan orang tua. Yang dialami oleh Lakshita adalah kekerasan fisik dan
kekerasan emosional. Bentuk kekerasan fisik yang didapati oleh tokoh Lakshita
dalam cerpen ini adalah suamimya membanting dan menghantamkan dirinya ke
tembok, sisi meja, dam bahkan sandaran dipan. Adapula bentuk kekerasan
emosional yang didapatinya berupa cacian yang terlontar dari mulut sang suami
kepada dirinya. Hal tersebut menyebabkan luka fisik dan luka batin pada
Lakshita. Luka yang dialami tokoh Lakshita bukan hanya sekadar luka yang dapat
dijangkau oleh indra manusia, tapi juga luka yang menyebabkan bagian dalam
dirinya hancur berkeping-keping karena kekerasan yang dilakukan oleh suaminya
sendiri. Kondisi ini semakin ironis dimana banyak pihak istri yang tidak mau
melaporkan perilaku kekerasan yang dilakukan suaminya. Faktor yang
menyebabkan istri itidak mau melaporkan tindak kekerasan adalah adanya rasa
malu dari korban, karena menganggap hal ini merupakan aib keluarga, sehingga
harus menyimpannya rapat-rapat dan orang lain tidak boleh tahu. Selain itu,
muncul rasa takut karena diancam oleh pelaku, juga terdapat berbagai tekanan
akibat ketergantungan finansial dan psikologis korban kepada pelaku, sehingga
kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga masih sulit terdeteksi. Faktor
tersebut juga diperkuat dengan adanya pandangan di masyarakat bahwa
persoalan dalam rumah tangga merupakan persoalan yang bersifat privasi,
sehingga tidak ada yang boleh mencampuri. Masyarakat enggan melihat bahwa
persoalan ini merupakan tanggung jawab bersama, terutama untuk melindungi
korban.

3. Beban ganda (Double burden)


Beban ganda (double burden) artinya bahwa salah satu jenis kelamin menerima
lebih banyak beban pekerjaan yang harus dilakukan daripada jenis kelamin
lainnya. Dalam kasus ini adalah perempuan yang menerima lebih banyak beban
pekerjaan dibandingankan laki-laki. Peran reproduksi perempuan sering
dianggap dengan peran statis dan permanen. Meskipun kini sudah banyak
perempuan yang bekerja di sektor publik, namun tidak dibersamai dengan
berkurangnya beban pekerjaan perempuan di wilayah domestik. Upaya yang
dimaksimalkan adalah dengan mempekerjakan pembantu atau asisten rumah
tangga yang dapat meringkankan sebagian beban pekerjaan. Tetapi, tanggung
jawab masih tetap dipikul oleh perempuan. Akibatnya, mereka memikul beban
yang berlipat ganda.

“Sebetulnya Lakshita hampir terlambat masuk kerja. Hari ini waktunya dinas
pagi pukul tujuh tepat. Namun, ia tahu akibat menolak permintaanaan Barata.
Ia baru saja merasakannya tadi malam saat merasakan tubuhnya sedikit penat
kala Barata meminta jatah. Dan seperti biasa ia akan melakukan sandiwara dan
memasang topeng pada tempatnya setelah beberapa hantaman mendarat di
lengan dasn melepaskannya. Suaminya selalu tahu-walau ia mengaku tak sadar-
tempat-tempat terbaik mendaratkan hantaman sehingga lebam-lebam itu tak
pernah terlihat oleh orang lain. Tanpa membantah Lakshita menyiapkan wajan
dan menyalakan kompor gas dan mengucuri penggorengan dengan minyak
kelapa” – Segala Sesuatu Yang Tak Pernah Terjadi (Hal. 46)

Dapat terlihat juga pada kutipan dalam cerpen ini di mana tokoh perempuan
mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya serta memegang peran
ganda. Pada kutipan ini sebelumnya sang suami meminta untuk dibuatkan
makanan, padahal istrinya yakni Lakshita harus berangkat kerja karena ada dinas
pagi. Namun jika Lakshita menolak permintaan suaminya, maka ia akan
mendapati kekerasan fisik lagi yang nantinya memunculkan lebam di beberapa
bagian tubuhnya.
4. Subordinasi

Subordinasi gender didefinisikan sebagai penomorduaan gender baik terjadi


pada laki-laki maupun perempuan. Namun, umumnya kasus yang terjadi banyak
sekali yang menima perempuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa suboordinasi
perempuan adalah penomorduaan perempuan, yang artinya kedudukan, peran,
dan fungsi perempuan di bawah laki-laki. Dalam kutipan dialog cerpen dibawah
ini terlihat bahwa suami yang menikah lagi tanpa persetujuan dari istri. Luisa
berpikir bahwa dirinya juga memiliki hak atas keputusan suaminya untuk
menikah lagi. Ketika memutuskan untuk menikah, maka semua hal yang
berhubungan dengan pernikahan harus mendapati persetujuan dari kedua belah
pihak, agar tidak merugikan salah satu pihak. Dalam pernikahan, masing-masing
pasangan suami istri menjadi satu kesatuan agar menjadi bagian yang utuh. Hak
untuk memutuskan sesuatu dan hak keadilan bersifat timbal balik, yang artinya
masing-masing pihak berhak atas segala sesuatu yang berasal dari pihak luar.
Namun hal ini tidak berlaku pada tokoh suami yang menganggap bahwa dirinya
berhak menikah lagi tanpa ada keharusan izin kepada istri. Hal tersebut
disebabkan sang suami yang meletakkan kedudukan Luisa sebagai seorang istri
sebagai pihak kedua dan menempatkan dirinya sendiri sebagai pemimpin dengan
segala otoritasnya.

“Luisa bertanya-tanya, jadi menurut suaminya, ia tak akan menderita dengan


keputusannya itu? Kenapa ia juga tak bertanya dulu kepadanya sebelum
memutuskan menikah lagi? Suaminya menjawab, tak ada keharusan bagi suami
untuk meminta izin saat ingin menikah lagi. Itu hak suami. Apalagi Luisa belum
bisa memberikan keturunan setelah tujuh tahun berumah tangga. Lagi pula,
asalkan adil dan Luisa tak tersakiti, toh tak mengapa, lanjut suaminya." – Tawa
Luisa (Hal. 91)

Perbuatan tokoh suami yang sewenang-wenang kepada Luisa menunjukkan


bahwa lelaki memegang kekuasaan mutlak di dalam rumah tangga. Pemahaman
bahwa laki-laki boleh bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, sedangkan
tidak ada ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan dirinya sendiri kecuali
jika diizinkan oleh suami. Hubungan suami istri bukanlah hubungan atasan
dengan bawahan atau majikan dan buruh atau orang nomor pertama dan orang
nomor kedua. Hubungan suami istri adalah hubungan antara pribadi-pribadi
yang merdeka yang bersatu dalam wadah dan menjadi satu kesatuan yang utuh,
berlandaskan rasa kasih sayang, rasa saling membutuhkan, saling melengkapi
dan saling berkomitmen untuk bertanggung jawab dalam berumah tangga, di
lingkungan masyarakat, dan dihadapan Tuhan.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengkajian kumpulan cerpen


Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam karya Sasti Gotama dapat
ditemukan kesimpulan bahwa bias gender merupakan pandangan dan sikap yang
lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya
sebagai akibat pengaturan sosial dan budaya yang lebih berpihak kepada jenis
kelamin tertentu. Adanya bias gender mengakibatkan ketidakadilan yang
menimpa kaum perempuan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami
kaum perempuan yang dapat ditemukan dalam cerpen ini berupa; 1) Stereotip;
2) Kekerasan (Violence); 3) Beban ganda (Double burden); 4) Subordinasi. Cerpen
ini menunjukkan bahwa praktik patriarki di kehidupan bermasyarakat masih
sangat mendominasi sehingga memberatkan dan merugikan kaum perempuan.
Hal tersebut membatasi hak dan kebebasan perempuan dalam mengekspresikan
dirinya sebagai pribadi yang merdeka. Masyarakat dan budaya yang justru
menempatkan perempuan di nomor dua setelah laki-laki yang membuat posisi
dan kedudukan kaum perempuan semakin lemah di masyarakat.

Daftar Pustaka

Afandi, A. (2019). Bentuk-bentuk Perilaku Bias Gender. Lentera, 1-18.


Gotama, S. (2020). Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam. Yogyakarta: DIVA press.
Karwati, L. (2020). Menolak Subordinasi Gender Berdasarkan Pentingnya Peran
Perempuan dalam Pembangunan Nasional Menjelang Bonus Demografi 2035.
Jurnal Cendekiawan Ilmiah PLS, 5(2), 122-130.
Kusuma, D., & Nuryanto, T. (2019). Feminisme dalam Cerpen Rambutnya Juminten Karya
Ratna Indaswari Ibrahim. Indonesian Language Education and Literature, 240-
256.
Murdianto. (2018). Stereotip, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis
Madura dan Tionghoa di Indonesia. Qalamuna, 10(2), 137-160.
Puspita, Y. (2019). Stereotip Terhadap Perempuan dalam Novel-novel Karya Abidah El
Khalieqy: Tinjauan Sastra Feminis. Ksatra, 1(1), 29-42.
Rahminawati, N. (2002). Isu Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan (Bias Gender). Mimbar,
272-283.
Setiyono, J. (2015). Kajian Feminisme dalam Cerpen Lelaki Ke-1000 di Ranjangku Karya
Emha Ainun Najib. Jurnal Edutama, 14-20.
Syafe'i, I. (2015). Subordinasi Perempuan dan Implikasinya Terhadap Rumah Tangga.
Jurnal Studi Keislaman, 15(1), 143-166.

Anda mungkin juga menyukai