Proposal
Proposal
id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN
44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47
B. Hasil Penelitian
1. Sejarah Terbentuknya Keraton Kasepuhan Cirebon
Penyebaran Islam di Jawa Barat tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan Kota Cirebon, yang menjadi sentral bagi masuk dan
berkembangnya Islam di Jawa Barat pada masa-masa awal. Hal ini tidak lepas
dari sejarah berdirinya Kota Cirebon yang memiliki Keraton Kasepuhan
sebagai pusat penyebaran agama Islam oleh Sunan Gunung Jati.
Secara geografis, Cirebon terletak di pesisir utara Jawa, atau di tepi
pantai sebelah timur Ibu Kota Kerajaan Sunda, Pakuan Padjajaran. Pada masa
pemerintahan Pangeran Cakrabuwana, masyarakat Cirebon mempunyai mata
pencaharian menangkap udang dan membuat terasi. Cirebon memiliki muara-
muara sungai yang berperan penting bagi pelabuhan yang dijadikannya sebagai
tempat menjalankan kegiatan pelayaran dan perdagangan lokal, regional,
bahkan internasional.
Pada tahun 1513, Tome Pires menceritakan bahwa Pelabuhan Cirebon
disinggahi tiga atau empat buah kapal untuk berlabuh. Dari pelabuhan ini
diekspor beras, jenis-jenis makanan, dan kayu dalam jumlah banyak sebagai
bahan membuat kapal. Cirebon sebagai kota pelabuhan berlangsung sejak
lama, yakni sejak Cirebon menjadi vassal Kerajaan Sunda (Lubis, 2011).
Keberadaan pelabuhan tersebut menjadikan Cirebon sebagai kota yang ramai
dikunjungi dan memiliki potensi untuk dapat mendirikan sebuah pemerintahan.
Pangeran Cakrabuwana yang merupakan Putra Mahkota dari Kerajaan
Padjajaran, mendirikan Keraton Kasepuhan pada abad ke-15 atau sekitar tahun
1430. Keraton tersebut kemudian diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu
Pakungwati. Hal ini membuat pada awal berdirinya Keraton Kasepuhan disebut
dengan nama Dalem Agung Pakungwati. Ratu Ayu Pakungwati kemudian
menikah dengan sepupunya, Syekh Syarif Hidayatullah, putra Ratu Mas
Larasantang yang merupakan adik dari Pangeran Cakrabuwana. Syekh Syarif
Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati tinggal dan menetap di Dalem Agung
Pakungwati.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49
b. Masjid Agung
Masjid Agung Keraton Kasepuhan Cirebon terletak di sebelah barat
alun-alun yang dibangun pada tahun 1422 Saka atau 1500 Masehi oleh Wali
Sanga. Masjid tersebut diberi nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa,
merupakan salah satu masjid yang dibangun pada masa awal penyebaran
agama Islam di Tatar Sunda. Masjid ini terdiri dari dua ruangan, yaitu
beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama terdapat
sembilan pintu. Jumlah ini melambangkan Wali Songo. “Masyarakat
Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat terlihat pada
arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak,
Majapahit, dan Cirebon. Arsitektur masjid ini adalah Raden Sepat” (Lubis,
2011: 207), dan Sunan Kalijaga sebagai pemimpin pembangunan masjid ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51
Ratna juga berfungsi sebagai tempat saba atau menghadap para Panggada
desa atau kampung yang diterima oleh Demang atau Wedana Keraton. Para
Panggada tersebut, setiap hari sabtu pertama setiap bulanya diharuskan
bermain sodor berkuda yaitu semacam perang rider, permainan itu disebut
sabton. Sultan sangat suka sekali melihat permainan ini, biasanya melihat
dari Siti Inggil dengan para pengiringnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53
e. Lapangan Giyanti
Lapangan Giyanti merupakan halaman pertama yang ditemui
setelah melewati Jembatan Pangrawit, terletak di sebelah barat jalan utama
menuju area tempat tinggal Sultan. Lapangan Giyanti dibangun oleh
Pangeran Arya Carbon Kararangen atau Pangeran Giyanti, sehingga
lapangan ini dinamai dengan lapangan Giyanti sesuai dengan nama
pembuatnya. Lapangan Giyanti berfungsi sebagai tempat berkumpul prajurit
kerajaan, namun sekarang digunakan untuk lapangan parkir bagi tamu
Sultan.
f. Siti Inggil
Siti Inggil didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan
Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Pada pelataran depan
Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai.
Bangunan Siti Inggil merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada
tahun 1800-an. Pada bagian tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-
piring dan porselen-porselen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina,
dengan tahun pembuatan 1745 M.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55
h. Langgar Agung
Langgar Agung merupakan salah satu bangunan penting di area
Keraton Kasepuhan Cirebon. Langgar Agung berfungsi sebagai tempat
beribadah atau Mushalah bagi orang-orang yang tinggal di area Keraton
Kasepuhan Cirebon, baik shalat wajib lima waktu, Shalat Tarawih, Shalat
Idul Fitri, maupun Shalat Idul Adha.
Langgar Agung menghadap ke arah timur, memiliki bangunan
utama dengan ukuran 66 x 6 m, teras 8 x 2,5 m. Bangunan ini berbentuk “T”
terbalik karena teras depan lebih besar dari bangunan utama. Bagian teras
berdinding kayu setengah dari permukaan lantai, kemudian setengah bagian
atas diberi terali kayu. Dinding bangunan utama merupakan dinding
tembok. Mihrab berbentuk melengkung berukuran 6 x 3 x 3 m, yang di
dalamnya terdapat mimbar terbuat dari kayu berukuran 0,90 x 0,70 x 2 m.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59
k. Museum Kereta
Museum Kereta di Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan tempat
menyimpan kereta pusaka, yang diberi nama Kereta Singa Barong. Kereta
Singa Barong merupakan kendaraan Sultan yang digunakan untuk upacara
suci, yaitu untuk upacara Kirab keliling kota Cirebon setiap tanggal 1
Muharam dengan ditarik oleh 4 ekor kerbau, tetapi sejak tahun 1942 kereta
ini sudah tidak dipergunakan kembali.
l. Tugu Manunggal
Bangunan Tugu Manunggal berupa batu pendek berukuran kurang
lebih 50 cm, berbahan dasar batu karang. Terletak di Sebelah selatan Taman
Dewan Daru dengan dikelilingi 8 buah pot bunga. Tugu manunggal berada
diantara Taman Dewan Daru dan Kuncung yang merupakan serambi untuk
memasuki area utama Keraton Kasepuhan Cirebon.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61
o. Jinem Pangrawit
Jinem Pangrawit merupakan serambi bagian depan bangunan
utama Keraton Kasepuhan Cirebon. Lantai marmer, dinding tembok
berwarna putih dan dihiasi keramik Eropa. Atap didukung 4 tiang sokoguru
kayu dengan umpak beton. Jinem Pangrawit berfungsi untuk tempat tugas
Pangeran Patih atau Wakil Sultan menerima tamu.
p. Gajah Nguling
Gajah Nguling merupakan serambi bagian depan pada Istana
Sultan, tepatnya setelah melewati Jinem Pangrawit. Gajah Nguling
merupakan bangunan tanpa dinding berbentuk persegi panjang, terdapat
enam tiang bulat bergaya tuscan setinggi 3 m ber cat putih. Gajah Nguling
dibangun oleh Sultan Sepuh IX pada tahun 1845, fungsinya sebagai
penghubung Jinem Pangrawit dan Bangsal Pringgandani. Bangunan Gajah
Nguling berlantai tegel dengan langit-langit berwarna hijau. Ruangan ini
tidak memanjang lurus tapi menyerong (membengkok) dan kemudian
menyatu dengan Bangsal Pringgandani.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68
Majapahit, dan Cirebon. Arsitektur masjid ini adalah Raden Sepat” (Lubis,
2011: 207), dan Sunan Kalijaga sebagai pemimpin pembangunan masjid ini.
Bangunan inti Masjid Agung Sang Cipta Rasa berbentuk persegi
dan pejal dengan kedua sisinya tegak lurus ke arah kiblat. Dinding hanya
terdapat di bangunan inti yang memiliki simbol sebagai penyekat antara
dunia sakral dengan dunia profan (Lubis, 2011). Dengan demikian dinding
Masjid Agung tidak difungsikan sebagai penyangga atap, melainkan sebagai
alat penyekat ruangan.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki pintu berjumlah sembilan
buah yang melambangkan sembilan Wali di Pulau Jawa. Para Wali
melewati pintu masing-masing ketika akan memasuki Masjid Agung Sang
Cipta Rasa. Pintu-pintu disisi utara dan selatan dibuat lebih pendek dan
sempit dibandingkan dengan pintu yang ada di sebelah timur. Selain lebih
tinggi, daun pintunya diberi ukiran penuh. Pintu masuk tersebut dibuat
pendek sebagai simbol kerendahan hati manusia di hadapan Tuan Yang
Maha Kuasa (Hasil wawancara dengan PRA Arif Natadiningrat, tanggal 5
Februari 2015).
Pada masa Panembahan Ratu I (1568-1649) bentuk atap ini diubah
menjadi limasan bertingkat tiga yang mengecil ke atas dan ijuknya diganti
dengan sirap kayu jati. Model atap tumpang bertingkat tiga tersebut
berkaitan dengan tiga aspek dalam agama Islam, yakni keimanan,
keislaman, dan keikhsanan (Hasil wawancara dengan Rd. M. Hafid
Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Mihrab dibuat dari batu putih berukir dengan motif bunga teratai
sebagai bentuk adaptasi dari ragam hias arsitektur Hindu. Sementara
mimbar diukir dengan hiasan sulur-suluran dan pada bagian kaki terdapat
hiasan menyerupai kepala Macan, yang merupakan simbol kerajaan
Padjajaran atau pada kejayaan masa pemerintahan Prabu Siliwangi, zaman
sebelum Kesultanan Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
Pada bagian kanan dan kiri gerbang menuju area Keraton
Kasepuhan Cirebon terdapat dua bangunan berbentuk bersegi yang bernama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69
Panca Ratna dan Panca Niti. Panca Ratna terdiri dari dua kata Panca dan
Ratna, Panca berarti lima, dan Ratna berarti sengsem atau suka. Panca yang
dimaksudkan di sini adalah lima panca indra atau getaran yang lima, yaitu:
pangucap (mulut), pangirup (hidung), pangrungu (telinga), pandeleng
(mata), dan napsu. Juga panca diartikan dengan jalannya. Jadi hal ini
diartikan ketika memasuki keraton harus memiliki niat baik (Hasil
wawancara dengan Rd. M. Hafid Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Sebelah timur Panca Ratna terdapat bangunan tanpa dinding
bernama Panca Niti. Panca Niti terdiri dari dua kata yakni Panca dan Niti.
Panca berarti jalan, sedangkan Niti berasal dari kata mata atau Raja atau
atasan, namun yang dimaksud di sini adalah atasan. Jadi Panca Niti yang
dimaksud adalah jalan untuk menemui Sultan.
Menurut tata letak bangunan Keraton Kasepuhan, posisi sungai
juga merupakan salah satu aspek yang dipertimbangkan. Keraton berada
diantara Kali Sipadu (Utara) dan Sungai Kesunean (Selatan), yang memiliki
makna sebagai penyelaras kehidupan bumi diantara kelahiran manusia di
Selatan, menuju kehidupan fana, dan tempat para Dewa atau Sang Pencipta
di Utara. Konsep ini juga diperkuat dengan menempatkan pintu masuk
menuju keraton, dimana pintu masuk utama berada di sisi sungai Kesunean
(selatan), dimana Kesunean berarti kembali suci.
Setelah melakukan pelaporan di Panca Niti, untuk memasuki area
Keraton Kasepuhan Cirebon harus melewati Kreteg Pangrawit yang berada
di atas Kali Sipadu. Kali Sipadu merupakan sungai kecil yang mengelilingi
keraton sebagai benteng pertahanan. Dalam hal ini Kreteg berarti perasaan,
sedangkan Pangrawit berarti kecil/ lembut/ halus/ baik. Berarti orang yang
melintasi jembatan ini diharapkan memiliki maksud baik setelah melakukan
pemeriksaan di Panca Ratna dan Panca Niti.
Salah satu banguan yang mencolok di area Keraton adalah
keberadaan Siti Inggil sebagai lambang kekuasaan Raja atau Sultan (Hasil
wawancara dengan Rd. M. Hafid Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Bangunan yang terbuat dari batu bata merah ini terletak di sebelah Timur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70
Lapangan Giyanti, berbentuk podium. Siti Inggil berasal dari kata Siti dan
Inggil. Siti berarti tanah dan Inggil berarti tinggi. Hal ini disebabkan karena
bangunannya yang dibuat lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan lain
yang ada di sekitarnya.
Siti Inggil dikelilingi oleh tembok bata merah yang disebut Candi
Bentar (Candi: tumpukan; Bentar: bata). Sesuai dengan namanya bangunan
ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman
Majapahit. Dalam hal ini, Candi Bentar diartikan sebagai bentuk gunungan
yang merupakan simbol dari Mahameru atau tempat tinggal para Dewa.
Setiap pilar di atasnya terdapat Candi Laras atau sesuai, selain dibangun
untuk kepetingan unsur keindahan yakni mempercantik tampilan Candi, juga
berarti peraturan harus ditegakkan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku di Kesultanan Cirebon.
Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya
arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan
di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Pada kaki Gapura Banteng,
terdapat gambar banteng, ini melambangkan kekuatan dan keberaian
daripada aparatur negara.
Pada bagian bawah Gapura Banteng juga terdapat Candra Sengkala
dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun
1451 saka atau 1529 M, yang merupakan tahun pembuatan gapura tersebut.
Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang
memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di
tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang
melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya
berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan
ini merupakan tempat Sultan melihat latihan para prajurit kerajaan atau
melihat pelaksanaan hukuman.
Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima
dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun Islam.
Bangunan ini tempat para pengawal pribadi Sultan. Bangunan di sebelah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
71
kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang
melambangkan dua kalimat syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasihat
Sultan atau Penghulu.
Pada bagian belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring
yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan
disebelah Mande Pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan
tempat pengiring tetabuhan atau gamelan. Di bangunan inilah sampai
sekarang masih digunakan untuk memainkan Gamelan Sekaten (Gong
Sekati). Gamelan Sekaten hanya dimainkan 2 kali dalam setahun yaitu pada
saat Idul Fitri dan Idul Adha.
Pada kompleks Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon terdapat
tugu batu, Lingga dan Yoni sebagai lambang dari kesuburan. Lingga
merupakan simbol untuk laki-laki, sedangkan Yoni merupakan simbol untuk
perempuan. Bentuk bangunan ini sama seperti Lingga dan Yoni pada
bangunan peninggalan kerajaan yang bercorak Hindu. Hal ini tidak lepas
dari proses pembangunan yang masih terpengaruh kepercayaan yang telah
berkembang di masyarakat sebelumnya.
Dalam kompleks Siti Inggil, selain bangunan terdapat pula Pohon
Tanjung yaitu lambang nanjung dalam bertahta. Hal ini diperkuat dengan
pepatah “nanjung ratu waskhita swalaning para nala,” yang berarti Raja
harus mengetahui penderitaan rakyatnya. Diharapkan melalui Siti Inggil,
Sultan dapat melihat bagaimana keadaan rakyatnya, begitu pula dengan
rakyat, dapat melihat rajanya melalui Siti Inggil.
Selain pohon Tanjung, di Siti Inggil terdapat Pohon Sawo Kecik,
dalam bahasa Cirebon kecik berarti becik atau baik, artinya diharapkan
manusia itu berkelakuan baik dan benar. Hal ini sejalan dengan nasihat yang
dianut oleh leluhur Kesultanan Cirebon yang berbunyi satyane ewa jayatin
artinya kebenaran adalah keunggulan. Dengan keberadaan dua pohon
tersebut, seorang Sultan dapat mengetahui keadaan rakyatnya dan mampu
memberikan keadilan serta kehidupan yang layak bagi rakyatnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75
Sri Manganti berasal dari bahasa Cirebon yang terdiri dari dua kata,
yakni Sri dan Manganti. Sri artinya Raja, dan Manganti artinya menunggu.
Jadi tempat ini digunakan untuk menunggu keputusan apakah dapat bertemu
Sultan atau tidak. Setelah melalui berbagai proses untuk dapat menemui
Sultan, maka sampailah pada area utama Keraton Kasepuhan Cirebon. Pada
bagian depan area utama ini terdapat bangunan yang bernama Kuncung.
Dalam bahasa Cirebon kuncung berarti poni, karena letaknya yang di depan
bangunan utama dan menjorok ke depan, seperti poni pada rambut maka
disebut kuncung.
Setelah melewati Kuncung, akan sampai pada area yang bernama
Jinem Pangrawit. Dalam bahasa Cirebon Jinem berasal dari kata kejineman
yang berarti tempat tugas, sedangkan Pangrawit berasal dari kata rawit yang
berarti kecil atau halus atau bagus. Jinem Pangrawit berfungsi untuk tempat
tugas Pangeran Patih atau Wakil Sultan menerima tamu. Jinem Pangrawit
menghadap ke arah utara, yang berorientasi pada kompleks pemakaman
Gunung Jati atau Gunung Sembung, tempat bersemayamnya Sultan-sultan
Cirebon. Orientasi bangunan ini memiliki makna bahwa manusia harus
selalu ingat kepada sang pencipta, dan kita mempunyai waktu yang terbatas
untuk tinggal di bumi ini (Hasil wawancara dengan Rd. Hafid Permadi,
tanggal 12 Januari 2015).
Bagian utama dari area Keraton Kasepuhan Cirebon terdiri dari
Bangsal Pringgandani, Bangsal Prabayaksa, dan Bangsal Agung
Panembahan. Bangsal Pringgandani merupakan tempat pisowan atau
pertemuan para Bupati di lingkungan Karesidenan Cirebon, seperti Cirebon,
Kuningan, Indramayu, dan Majalengka, dengan Sultan. Sedangkan
Prabayaksa berasal dari kata Praba dan Yaksa yang berarti sayap dan besar.
Dalam hal ini ruangan Bangsal Prabayaksa mengandung arti bahwa Sultan
berada di singgasana yang letaknya lebih tinggi harus dapat melindungi
rakyatnya dengan kedua tangannya yang besar (memiliki kekuasaan),
seperti induk ayam melindungi anaknya dengan kedua sayapnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77
Pada bagian belakang Kursi Raja terdapat kain dengan 9 warna yang
melambangkan keberadaan sembilan Wali dalam penyebaran Islam di
Jawa. Kursi singgasana dan meja Sultan berkaki gambar ular yang
melambangkan dahulu ucapan Sultan merupakan hukum, sehingga rakyat
harus patuh terhadap perintah Sultan.
atau kisi-kisi hiasan yang dibuat dari kayu atau porselen. Gambar-gambar
tersebut merupakan salah satu simbol kehidupan abadi yang kemudian
menjadi akrab dengan masyarakat Cirebon, kemudian menuangkannya
dalam karya arsitektur. Salah satunya adalah motif Mega Mendung pada
arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon.
Made Casta (2009) berpendapat bahwa tentunya dengan sentuhan
khas Cirebon, sehingga motif ini menjadi tidak sama persis. Pada Mega
Mendung, garis-garis awan motif Cina berupa bulatan atau lingkaran,
sedangkan Mega Mendung Cirebon cenderung lonjong, lancip, dan
berbentuk segitiga. Ini yang membedakan motif awan Cina dan Cirebon.
Komarudin (2009) berpendapat meski Mega Mendung terpengaruhi Cina,
dalam penuangannya berbeda. Mega Mendung Cirebon sarat akan makna
religius dan filosofi. Garis-garis gambarnya merupakan simbol perjalanan
hidup manusia dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga
sampai mati. Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung yang
semuanya menyimbolkan kebesaran Illahi.
Made Casta (2009) berpendapat bahwa motif itu menggambarkan
percampuran Islam, Cina, dan India. Dalam motif mega mendung
menyimpan pesan-pesan agamis melalui simbol yang menjadi motif karya
seni termasuk pada arsitektur keraton. Pada motif Mega Mendung, selain
perjalanan manusia juga terdapat pesan terkait dengan kepemimpinan yang
bersifat mengayomi (Hasil wawancara dengan PRA Arif Natadiningrat,
tanggal 5 Februari 2015). Motif tersebut juga menjadi lambang keluasan
dan kesuburan. Komarudin (2009) mengemukakan bahwa bentuk awan
merupakan simbol dunia yang luas, bebas, dan di luar segala kesanggupan
manusia. Selain itu, juga terdapat nuansa sufisme dibalik motif itu.
Penerapan unsur Mega Mendung juga diduga karena adanya
pengaruh Hindu (Hasil wawancara dengan Ahmad Jazuli, tanggal 5
Februari 2015). Penerapan unsur awan pada motif-motif hiasan Cirebon
berfungsi sebagai pelengkap dalam menggambarkan alam para Dewa.
Selain itu, motif awan yang digabungkan dengan hujan (air) dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79
dari area luar menuju area dalam. Keraton merupakan tempat tinggal sultan,
karena itulah mengapa motif Wadasan ditempatkan pada tempat ini.
Motif Wadasan yang terdapat pada singgasana Sultan. Masih ada
hubungannya dengan makna motif ini pada gerbang Jinem Pangrawit, pada
singgasana ini pun sebagai simbol hubungan langsung antara sultan dengan
Tuhan. Uniknya, ternyata motif-motif tersebut bukanlah merupakan tema
yang menjadi motif di keseluruhan bagian keraton, melainkan hanya
terletak di tempat-tempat tertentu yang mempunyai nilai sakral.
Motif Wadasan pada kepurbakalaan Islam di Cirebon berfungsi
sebagai unsur simbolik dan dekoratif. Fungsi simbolik pada motif ini
ditunjukkan oleh letak motif pada bagian utama benda-benda sakral.
Misalnya, motif hias Wadasan ini terlihat pada makam-makam keluarga
sultan yang bagian utamanya berupa nisan. Selain itu, motif hias Wadasan
juga terdapat pada kereta-kereta kerajaan yang bagian utamanya adalah
badan kereta. Sedangkan pada kain batik milik kerajaan, bagian utamanya
adalah motif Batik Wadasan itu sendiri. Contoh lainnya, motif hias
Wadasan ini terdapat pada Taman Gua Sunyaragi milik keluarga kerajaan
yang bagian utamanya berupa bukit-bukit buatan (Hasil wawancara dengan
Rafan S. Hasyim, tanggal 25 Januari 2015).
Motif hias Wadasan sebelum abad ke-18 dapat dikatakan
berfungsi sebagai simbol status kebangsawanan. Fungsi dekoratif motif
hias Wadasan selain melekat pada fungsi simboliknya, juga ditunjukkan
oleh letak motif tersebut pada bagian pelengkap benda-benda sakral (Johan,
1986). Dalam konteks benda yang ditempati, selain sebagai unsur
keindahan, motif Wadasan juga mempunyai kegunaan lain, yaitu
menggambarkan objek yang sesuai dengan konteksnya. Beberapa
contohnya yaitu pada Kereta Singa Barong, motif hias Wadasan hadir
untuk menggambarkan bukit karang. Pada hiasan dinding, motif hias
Wadasan berperan untuk menggambarkan tempat berpijak makhluk hidup
yang digambarkan di atasnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81
karakter dalam materi pembelajaran sejarah untuk kepentingan hidup masa kini
dan yang akan datang. Menurut Wardani (2013), dalam materi pembelajaran
sejarah terkandung nilai-nilai luhur, misalnya:
1. Nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme dan pantang menyerah yang
mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik.
2. Ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis
multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai macam kurikulum
yang kesemuannya menunjukkan keseriusanya untuk memaksimalkan mata
pelajaran sejarah dalam pembentukan karakter bangsa. Baik dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maupun dalam Kurikulum 2013,
menempatkan sejarah bukan hanya untuk tujuan kognitif tetapi juga pada ranah
afektif dan psikomotor.
Proses pembelajaran sejarah menggunakan KTSP, dimana setiap
sekolah memiliki kewenangan dalam menggembangkan kurikulum sesuai
dengan kondisi satuan pendidikan, potensi, dan karakteristik daerah, serta
sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik. Pengembangan KTSP
dilakukan oleh Guru, Kepala Sekolah, serta Komite Sekolah dan Dewan
Pendidikan. KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh
sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan
sandar isi sesuai dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006, serta panduan
penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Dalam penyusunan RPP dan
proses kegiatan belajar mengajar, guru dapat mengembangkan nilai-nilai
karakter dengan menggunakan kearifan lokal yang berada di daerah.
Proses pembelajaran dalam Kurikulum 2013 lebih menekankan pada
kemandirian belajar siswa. Dimana siswa dituntut untuk dapat mengeksplorasi
pengetahuan yang ada di dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Dari sisi
bobot pelajaran yang digunakanpun telah diatur dalam kurikulum ini, dimana
pada tingkat Sekolah Dasar ranah kognitif lebih tendah dibanding ranah afektif.
Pada tingkat Sekolah Menengah Atas lebih menekankan pada ranah kognitif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
83
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
85
commit to user