Anda di halaman 1dari 44

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian


1. Lokasi dan Keadaan Keraton Kasepuhan Cirebon
Keraton Kasepuhan merupakan salah satu kompleks keraton yang
terdapat di wilayah Kota Cirebon. Kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon
secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Kasepuhan,
Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Kompleks
Keraton Kasepuhan Cirebon berada di sebelah Selatan dari pusat pemerintahan
Kota Cirebon, berjarak kurang lebih sekitar 5 km, tepatnya terletak pada
koordinat 060 45’ 559’’ Lintang Selatan, 1080 34’ 244’’ Bujur Timur. Adapun
batas-batas wilayah Keraton Kasepuhan adalah sebagai berikut.
Sisi Utara Keraton Kasepuhan berbatasan dengan wilayah Kelurahan
Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, yang dibatasi oleh Jalan
Pulasaren sekarang, dahulu sebagai pembatas antara wilayah Kesultanan
Kasepuhan dengan Kesultanan Kanoman.
Sisi Selatan wilayah Keraton Kasepuhan Cirebon berbatasan dengan
Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, yang dibatasi oleh Sungai
Krian. Dahulu sungai ini digunakan untuk jalur masuknya pedagang dari Cina
dan Timur Tengah, untuk memasuki wilayah Kesultanan Cirebon. Hingga saat
ini masih terdapat bangunan berupa pelabuhan yang dahulu digunakan untuk
memfilter barang yang masuk ke wilayah Keraton Kasepuhan. Saat ini dikenal
dengan situs Lawang Sanga. Hal ini tidak lepas dari bentuk fisik bangunan
yang terdiri dari 9 pintu yang masih berdiri kokoh di tengah pemukiman warga
saat ini.
Bagian Barat kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon berbatasan
dengan Kelurahan Pulasaren, Kecamatan Lemahwungkuk, yang dibatasi oleh
Jalan Pegajahan. Sedangkan sisi sebelah Timur Keraton Kasepuhan adalah
Kampung Mandalangan, yang masih termasuk ke dalam wilayah administratif
Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.
commit to user

44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

Luas wilayah Keraton Kasepuhan adalah 25 Hektar (Ha), yang terdiri


dari lima lingkungan utama dalam Kompleks Keraton Kasepuhan, yaitu Masjid
Agung Sang Cipta Rasa, Alun-alun Keraton Kasepuhan, Pasar Gede
Kasepuhan, kompleks bangunan Kesultanan Kasepuhan Cirebon, dan Kawasan
Keputren atau Kolam Keluarga Kerajaan yang berada di belakang Kompleks
Keraton. Kompleks Keraton Cirebon dikelilingi oleh benteng berupa tembok
yang terdiri dari bata merah atau oleh masyarakat sekitar disebut dengan Kuta
Kosod. Keraton ini merupakan Keraton yang memiliki area paling luas diantara
dua keraton lain yang berada di Cirebon, yakni Keraton Kanoman dan
Kacirebonan.
Pengelolaan Keraton Kasepuhan terdiri dari struktur organisasi
tradisional dan modern, yang keduanya hingga saat ini masih dipertahankan.
Secara tradisional, Sultan Sepuh mempunyai perangkat-perangkat tradisional,
yang terdiri dari Juru Pelihara, Juru Kunci, beberapa Lurah, Ngabei, dan
Kepala Lurah. Khusus di area Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Kompleks
Makam Sunan Gunung Jati terdapat struktur pengelolaannnya sendiri. Di
Masjid Agung terdapat Kaum yang terdiri dari Penghulu dan Khalifah.
Sedangkan di Makam Sunan Gunung Jati pengelolaannya dipimpin oleh
Jeneng, yang dibantu oleh empat Bekel Sepuh. Kemudian di bawahnya
berturut-turut terdapat delapan Bekel Anom dan Sepuh, serta Juru Mudi (Hasil
wawancara dengan PRA Arif Natadiningrat, tanggal 5 Februari 2015).
Pengelolaan Keraton lebih modern telah terbentuk Badan Pengelola
Keraton Kasepuhan. Begitu pula dengan situs-situ bersejarah yang ada di
sekitarnya, seperti Makam Sunan Gunung Jati, dan Gua Sunyaragi. Hal ini
terjadi karena tuntutan saat ini, dimana Keraton kini bukan lagi sebagai pusat
pemerintahan tetapi sebagai objek wisata budaya yang harus dilestarikan,
sehingga pembentukan badan pengelola bertujuan untuk melayani dari
kebutuhan tersebut. Badan Pengelola Keraton Kasepuhan diketuai langsung
oleh Sultan Sepuh yang tengah memerintah saat ini, dibantu oleh staff dari
masing-masing bagian yang ada di Keraton, seperti bagian naskah, humas,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

museum, dan staff pengurus (Hasil wawancara dengan PRA Arif


Natadiningrat, tanggal 5 Februari 2015).
Secara fungsional, kini Keraton Kasepuhan difungsikan sebagai
tempat menerima tamu dan upacara adat (Hasil wawancara dengan Rafan S.
Hasyim, tanggal 25 Januari 2015). Adapun upacara adat yang dilakukan di
Keraton Kasepuhan diantaranya adalah Grebeg Syawal, Maleman, Isra’ Mi’raj,
Panjang Jimat, Malam 1 Suro, Matur Bhakti, dan Membuka Baceman Ikan.

2. Lokasi dan Keadaan SMA N 8 Cirebon


SMA Negeri 8 Cirebon beralamat di Jalan Pronggol Pegambiran
dengan Kode Pos 45113. Sekolah ini secara administratf termasuk ke dalam
Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Berjarak
sekitar 300 meter dari area Keraton Kasepuhan Cirebon.
Sekolah yang memiliki 673 Siswa dan 57 Guru ini, di sebelah barat
berbatasan dengan kantor stasiun televisi Cirebon Tv (CiTv), di sebelah Timur
dan Utara sekolah adalah pemukiman penduduk. Sedangkan di sebelah selatan
bersebrangan dengan SMP Negeri 17 Cirebon yang dibatasi oleh Jalan raya
Pegambiran.
Fasilitas yang dimiliki SMA N 8 Cirebon terdiri dari ruang kelas,
laboratorium, perpustakaan, ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang tata
usaha, unit kesehatan sekolah, kantin, toilet, lapangan parkir, ruang
ekstrakulikuler, aula, lapangan upacara, dan lapangan basket yang menjadi titik
tengah gedung SMA N 8 Cirebon.
SMA N 8 Cirebon terdiri dari 9 kelas, baik kelas X, XI, dan XII,
dengan jumlah kelas program Matematika dan Ilmu Alam 4 kelas, dan Ilmu-
ilmu Sosial 5 kelas. Selain akademik, SMAN 8 Cirebon juga memfasilitasi
siswanya dengan berbagai kegiatan ekstrakulikuler, diantaranya adalah
Pramuka, Paskibra, Remaja Masjid, Jurnalistik, Bengkel Delapan, Voli,
Basket, Bulutangkis, Futsal, dan Organisasi Intra Sekolah serta Majelis
Perwusyawaratan Kelas.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

B. Hasil Penelitian
1. Sejarah Terbentuknya Keraton Kasepuhan Cirebon
Penyebaran Islam di Jawa Barat tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan Kota Cirebon, yang menjadi sentral bagi masuk dan
berkembangnya Islam di Jawa Barat pada masa-masa awal. Hal ini tidak lepas
dari sejarah berdirinya Kota Cirebon yang memiliki Keraton Kasepuhan
sebagai pusat penyebaran agama Islam oleh Sunan Gunung Jati.
Secara geografis, Cirebon terletak di pesisir utara Jawa, atau di tepi
pantai sebelah timur Ibu Kota Kerajaan Sunda, Pakuan Padjajaran. Pada masa
pemerintahan Pangeran Cakrabuwana, masyarakat Cirebon mempunyai mata
pencaharian menangkap udang dan membuat terasi. Cirebon memiliki muara-
muara sungai yang berperan penting bagi pelabuhan yang dijadikannya sebagai
tempat menjalankan kegiatan pelayaran dan perdagangan lokal, regional,
bahkan internasional.
Pada tahun 1513, Tome Pires menceritakan bahwa Pelabuhan Cirebon
disinggahi tiga atau empat buah kapal untuk berlabuh. Dari pelabuhan ini
diekspor beras, jenis-jenis makanan, dan kayu dalam jumlah banyak sebagai
bahan membuat kapal. Cirebon sebagai kota pelabuhan berlangsung sejak
lama, yakni sejak Cirebon menjadi vassal Kerajaan Sunda (Lubis, 2011).
Keberadaan pelabuhan tersebut menjadikan Cirebon sebagai kota yang ramai
dikunjungi dan memiliki potensi untuk dapat mendirikan sebuah pemerintahan.
Pangeran Cakrabuwana yang merupakan Putra Mahkota dari Kerajaan
Padjajaran, mendirikan Keraton Kasepuhan pada abad ke-15 atau sekitar tahun
1430. Keraton tersebut kemudian diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu
Pakungwati. Hal ini membuat pada awal berdirinya Keraton Kasepuhan disebut
dengan nama Dalem Agung Pakungwati. Ratu Ayu Pakungwati kemudian
menikah dengan sepupunya, Syekh Syarif Hidayatullah, putra Ratu Mas
Larasantang yang merupakan adik dari Pangeran Cakrabuwana. Syekh Syarif
Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati tinggal dan menetap di Dalem Agung
Pakungwati.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, mendirikan Masjid


Agung Sang Cipta Rasa di sebelah barat Dalem Agung Pakungwati. Pada masa
ini, Sunan Gunung Jati lebih banyak melakukan pembangunan infrastruktur
seperti jalan raya dan pelabuhan. Sejak saat itu, Cirebon merupakan pusat
pengembangan agama Islam di Jawa Barat (Hasil wawancara dengan Rafan S.
Hasyim, tanggal 25 Januari 2015).
Pada abad ke-16 Sunan Gunung Jati wafat, sehingga Pangeran Mas
Mochamad Arifin yang merupakan cicit dari Sunan Gunung Jati naik tahta
menggantikannya. Pangeran Mas Mochamad Arifin bergelar Panembahan
Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati,
yang cantik rupawan, berbudi luhur, bertubuh kokoh, serta dapat mendampingi
suami, baik dalam bidang islamiyah, pembina negara, maupun sebagai
pengayom yang menyayangi rakyatnya. Pada tahun 1451 Saka atau taun 1529
Masehi Pangeran Mas Mochammad Arifin mendirikan Keraton baru di sebelah
barat daya Dalem Agung Pakungwati. Keraton ini juga dinamai Keraton
Pakungwati.
Pada tahun 1549 Masjid Agung Sang Cipta Rasa mengalami
kebakaran, Ratu Ayu Pakungwati yang sudah lanjut usia turut memadamkan
api. Saat itu api dapat dipadamkan, namun Ratu Ayu Pakungwati kemudian
wafat. Semenjak itu nama atau sebutan Pakungwati dimulyakan, sehingga tidak
dipakai lagi menjadi nama keraton.
Pada masa Pangeran Mas Zainal Arifin yang bergelar Panembahan
Ratu I, Keraton Pakungwati disebut menjadi Keraton Kasepuhan, dan berdiri
pula Keraton Kanoman. Keraton Kasepuhan diartikan sebagai tempat tinggal
saudara sepuh atau saudara yang lebih tua. Sultannya bergelar Sultan Sepuh.
Sedangkan Kanoman berarti tempat tinggal anom atau yang lebih muda,
dengan gelar Sultan Anom (Hasil wawancara dengan PRA Arif Natadiningrat,
tanggal 5 Februari 2015). Dalam perkembangannya, Keraton Kasepuhan
memiliki peranan penting bagi peradaban Kota Cirebon hingga saat ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

Dalam kitab Carita Purwaka Caruban Nagari diceritakan bahwa


“Cirebon oleh wali yang Sembilan disebut juga puser jagat atau puser bumi,
ialah Negara yang terletak di tengah-tengah Pulau Jawa, dalam pengertian
sebagai pusat penyiaran agama Islam bagi Jawa Barat, yang pada waktu itu
disebut sebagai Tanah Sunda” (Atja, 1986: 29).

2. Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon


Tumbuhnya budaya visual modern di tanah air pada hakikatnya tidak
lepas dari budaya tradisional yang masih melekat hingga saat ini. Arsitektur
merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dalam perkembangan desain
modern Indonesia (Sachari, 2007). Kegiatan desain yang dihasilkan merupakan
wujud yang paling nyata secara visual yang mempresentasikan zamannya.
Selama berabad-abad di berbagai daerah di Indonesia telah
berkembang arsitektur daerah yang masing-masing memiliki ciri-ciri
kedaerahan. Arsitektur daerah ini sering disebut arsitektur tradisional karena
secara turun temurun dilimpahkan dari generasi ke generasi. Perbedaan-
perbedaan antara arsitektur daerah ini disebabkan karena adanya perbedaan
adat, pandangan hidup dan agama dari masyarakat daerah, mungkin juga
karena perbedaan geografi.
Budihardjo (1983) mengungkapkan bahwa, “arsitektur adalah
pengejawantahan (manifestasi) dari kebudayaan manusia, dengan kata lain
arsitektur selalu dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya” (hlm. 108). Hal
ini seperti yang tercermin dalam arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon.
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam yang berdiri pada abad ke-XV
atau sekitar tahun 1430. Istana Dalem Agung Pakungwati sebagai bangunan
yang menjadi cikal bakal berdirinya Keraton Kasepuhan saat ini.
Ketika Islam diterima oleh masyarakat Tatar Sunda sebagai agama
baru, pengaruhnya tidak hanya sebatas pada proses ritual keagamaan saja.
Islam telah mempengaruhi seluruh unsur kebudayaan, termasuk seni bangunan.
Pada awal perkembangannya, pengaruh Islam terhadap seni bangunan tidak
mengakibatkan pengaruh kebudayaan pra-Islam menghilang. Dalam beberapa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

kasus, seni bangunan pada masa Islam masih menunjukkan pengaruh


kebudayaan pra-Islam. Hal ini terlihat pada arsitektur Keraton kasepuhan
Cirebon, yaitu terdapat banyak bangunan yang dipengaruhi oleh kebudayaan
pra-Islam, khususnya Hindu.
Berikut merupakan deskripsi dari bangunan yang berada di kompleks
Keraton Kasepuhan Cirebon saat ini, yaitu:
a. Alun-alun
Alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon bernama Sangkala Buwana,
memiliki luas 7400 m2. Alun-alun Sangkala Buwana berbentuk persegi,
pada bagian tengah Alun-alun tumbuh sepasang beringin Jenggot, namun
semenjak tahun 1930 beringin itu sudah tidak ada lagi. Tanggal 6 November
1988 Alun-alun dipugar dengan menyesuaikan pola keindahan tata kota oleh
Pemerintah Daerah Kota Cirebon dengan seijin Sultan Sepuh Kasepuhan.
Pada masa Panembahan, Alun-alun berfungsi untuk rapat akbar atau apel
besar, baris-berbaris para prajurit, latihan perang juga pentas seni, dan
perayaan negara. Untuk saat ini, Alun-alun difungsikan sebagai pusat pesta
rakyat yang diadakan oleh pihak Keraton Kasepuhan Cirebon.

b. Masjid Agung
Masjid Agung Keraton Kasepuhan Cirebon terletak di sebelah barat
alun-alun yang dibangun pada tahun 1422 Saka atau 1500 Masehi oleh Wali
Sanga. Masjid tersebut diberi nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa,
merupakan salah satu masjid yang dibangun pada masa awal penyebaran
agama Islam di Tatar Sunda. Masjid ini terdiri dari dua ruangan, yaitu
beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama terdapat
sembilan pintu. Jumlah ini melambangkan Wali Songo. “Masyarakat
Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat terlihat pada
arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak,
Majapahit, dan Cirebon. Arsitektur masjid ini adalah Raden Sepat” (Lubis,
2011: 207), dan Sunan Kalijaga sebagai pemimpin pembangunan masjid ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu I, Masjid Agung Sang


Cipta Rasa dilengkapi dua serambi, masing-masing bernama Prabayaksa
(Selatan) dan Pamandangan (Timur). Pada masa Panembaan Ratu II
dibangun juga sebuah serambi di sisi timur masjid. Demikian pula pada
masa pemerintahan Sultan Sepuh I, sebuah serambi dibangun lagi di sisi
timur masjid. Jadi, sampai saat ini terdapat tiga buah serambi di sisi Timur
Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Seluruh dinding berwarna jingga kemerahan kecuali pada bagian-
bagian berukir, mihrab, dan bagian dinding sebelah timur yang diberi warna
putih. Sementara itu, dinding sebelah utara dan selatan diberi hiasan
tambahan berupa tegel porselen yang berwarna biru. Di atas pintu bagian
tengah pada dinding utara dan selatan terdapat hiasan tumpal bergerigi
berukuran 6 cm, sedangkan ujung selatan dan utara dinding atas bagian
barat terdapat hiasan berupa pelipit rata yang mengecil ke atas.
Agar sirkulasi udara berjalan dengan baik, pada setiap dinding
dibuat lubang angin berbentuk belah ketupat bergerigi yanng berjumlah 44
buah. Ketika didirikan, atap masjid dibuat meruncing ke atas dan bahanya
memakai ijuk. Pada masa Panembahan Ratu I (1568-1649) bentuk atap ini
diubah menjadi limasan bertingkat tiga yang mengecil ke atas dan ijuknya
diganti dengan sirap kayu jati.

c. Panca Ratna dan Panca Niti


Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat
dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Panca Ratna, sedangkan
pendopo sebelah timur disebut Panca Niti. Panca Ratna merupakan
bangunan tanpa dinding yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran 8 x
8 m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang empat soko guru di atas lantai
yang lebih tinggi dan 12 tiang pendukung di permukaan lantai yang lebih
rendah. Atap dari bahan genteng, pada puncaknya terdapat memolo.
Panca Ratna merupakan tempat berkumpulnya para Punggawa
Keraton, Lurah atau pada zaman sekarang disebut Pamong Praja. Panca
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

Ratna juga berfungsi sebagai tempat saba atau menghadap para Panggada
desa atau kampung yang diterima oleh Demang atau Wedana Keraton. Para
Panggada tersebut, setiap hari sabtu pertama setiap bulanya diharuskan
bermain sodor berkuda yaitu semacam perang rider, permainan itu disebut
sabton. Sultan sangat suka sekali melihat permainan ini, biasanya melihat
dari Siti Inggil dengan para pengiringnya.

Gambar 4. 1 : Bangunan Panca Niti (Kanan) dan Panca Ratna (Kiri)


Sumber : Dokumen Pribadi
Panca Niti berada di Sebelah timur jalan menuju Keraton.
Bangunan ini berukuran 8 x 8 m, berlantai tegel. Bangunan ini terbuka
tanpa dinding. Tiang-tiang berjumlah 16 buah mendukung atap sirap.
Adapun fungsi bangunan ini adalah:
a) Tempat Perwira yang sedang melatih perang kepada Prajurit
b) Tempat istirahat setelah berbaris
c) Tempat Jaksa yang akan menuntut hukuman mati Terdakwa kepada
Hakim, dan apakah Terdakwa tersebut mendapatkan grasi dari Sultan
d) Tempat Petugas yang mengatur keramaian atau pementasan yang
dilakukan negara.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

d. Kali Sipadu dan Kreteg Pangrawit


Kali Sipadu berupa sungai kecil yang berada tepat di sebelah
selatan Panca Ratna dan Panca Niti, membentang dari barat ke timur. Kali
Sipadu berfungsi sebagai pembatas antara masyarakat umum dan penghuni
Baluarti Keraton Kasepuhan, adapun secara fisik berfungsi sebagai benteng
pertahanan dan sarana transportasi, selain itu dipercaya juga sebagai
pembawa keberkahan. Semakin banyak sungai yang mengitari keraton,
maka semakin baik.

e. Lapangan Giyanti
Lapangan Giyanti merupakan halaman pertama yang ditemui
setelah melewati Jembatan Pangrawit, terletak di sebelah barat jalan utama
menuju area tempat tinggal Sultan. Lapangan Giyanti dibangun oleh
Pangeran Arya Carbon Kararangen atau Pangeran Giyanti, sehingga
lapangan ini dinamai dengan lapangan Giyanti sesuai dengan nama
pembuatnya. Lapangan Giyanti berfungsi sebagai tempat berkumpul prajurit
kerajaan, namun sekarang digunakan untuk lapangan parkir bagi tamu
Sultan.

f. Siti Inggil
Siti Inggil didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan
Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Pada pelataran depan
Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai.
Bangunan Siti Inggil merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada
tahun 1800-an. Pada bagian tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-
piring dan porselen-porselen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina,
dengan tahun pembuatan 1745 M.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

Gambar 4. 2: Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon


Sumber: Dokumen Pribadi
Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya
arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan
di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Gapura Adi berupa pintu
gerbang berbentuk bentar berukuran 3,70 x 1,30 x 5 m menggunakan bahan
bata merah, berada di utara siti inggil. Gapura Banteng berupa pintu gerbang
dengan bentuk bentar berukuran 4,5 x 9 m. Pintu ini lebih besar dan tinggi
daripada Gapura Adi yang berada di bagian depan Siti Inggil. Tembok
bagian Utara kompleks Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah Selatan
sudah pernah mengalami pemugaran/ renovasi. Siti Inggil mengalami
pemugaran oleh Dinas Heid Keunde Belanda tahun 1934-1938 namun tidak
merubah bentuk aslinya.

g. Pengada dan Kemandungan


Pengada dan Kemandungan berada di sebelah selatan Siti Inggil.
Pangada merupakan bangunan tanpa dinding yang menghadap ke Barat.
Pangada berukuran 17 x 9,5 m. Sebelah selatan Pangada terdapat pintu
gerbang yang bernama Gerbang Pangada, berdaun pintu kayu seroja yang
dijaga dua orang laskar bertombak. Gerbang ini memiliki ukuran panjang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

dasar 5 x 6,5 m. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan batu


dan daun pintunya dari kayu.
Sebelah timur Pangada terdapat Gerbang Bentar yang dahulu dijaga
oleh dua orang memakai lonceng, sehingga gerbang ini diberi nama
Gerbang Lonceng. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda apabila akan ada
yang memasuki keraton ketika lonceng Penjaga berbunyi. Namun sekarang
hanya sebagai simbol saja, karena baik penjaga maupun loncengnya sudah
tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Ukuran panjang dasar gerbang
lonceng tersebut adalah 3,10 x 5 x 3 m.
Gerbang lonceng berbentuk kori agung atau gapura beratap
menggunakan bahan bata. Di area ini juga dilengkapi dengan sumur
kemandungan yang berada di selatan bangunan, berfungsi untuk mencuci
senjata perang pada setiap tanggal 1-10 Muharram. Untuk saat ini, Gedung
Kemandungan sudah tidak difungsikan lagi, karena senjata sudah
dipindahkan ke Gedung Museum.

h. Langgar Agung
Langgar Agung merupakan salah satu bangunan penting di area
Keraton Kasepuhan Cirebon. Langgar Agung berfungsi sebagai tempat
beribadah atau Mushalah bagi orang-orang yang tinggal di area Keraton
Kasepuhan Cirebon, baik shalat wajib lima waktu, Shalat Tarawih, Shalat
Idul Fitri, maupun Shalat Idul Adha.
Langgar Agung menghadap ke arah timur, memiliki bangunan
utama dengan ukuran 66 x 6 m, teras 8 x 2,5 m. Bangunan ini berbentuk “T”
terbalik karena teras depan lebih besar dari bangunan utama. Bagian teras
berdinding kayu setengah dari permukaan lantai, kemudian setengah bagian
atas diberi terali kayu. Dinding bangunan utama merupakan dinding
tembok. Mihrab berbentuk melengkung berukuran 6 x 3 x 3 m, yang di
dalamnya terdapat mimbar terbuat dari kayu berukuran 0,90 x 0,70 x 2 m.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

Gambar 4.4 : Langgar Agung Keraton Kasepuhan Cirebon


Sumber : Dokumen Pribadi
Selain sebagai tempat ibadah, Langgar Agung sampai saat ini
masih dipergunakan untuk pelaksanaan Selamatan Bubur Slabuk pada
tanggal 10 Muharam, Selamatan Apem pada tanggal 15 syawal, Muludan
pada tanggal 12 Rabiul Awal (ba’da salat isya s/d selesai), Selamatan
Lebaran pada tanggal 1 syawal dan penyembelihan hewan qurban pada
tanggal 8 Dzulhijjah oleh pihak keraton.

i. Taman Bunderan Dewan Daru


Taman Bunderan Dewan Daru merupakan pusat berkumpulnya
wisatawan ketika berkunjung ke Keraton Kasepuhan Cirebon. Untuk
memasuki area Taman Bunderan Dewa Daru, terlebih dahulu melewati
sebuah gerbang bernama Pintu Gledegan. Dahulu pintu ini dijaga oleh dua
penjaga bertombak, apabila ada yang ingin masuk akan diperiksa dengan
suara menggelegar seperti petir, maka gerbang ini dinamai Pintu Gledegan
yang berarti bersuara keras seperti petir. Pintu Gledegan kini berdaun pintu
teralis dan besi, berukuran 4 x 6,5 x 4 m.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

Gambar 4. 5 : Taman Dewan Daru


Sumber : Dokumen Pribadi

j. Museum Benda Kuno


Museum Beda Kuno digunakan sebagai tempat penyimpanan
senjata perang, namun pada tahun 1974-1975 museum ini dipugar oleh
Departemen P & K Dinas Purbakala Kota Cirebon, sehingga beralih fungsi
menjadi tempat penyimpanan barang-barang antik peninggalan sejarah,
seperti barang kerajinan dari dalam dan luar negeri, alat upacra adat, dan
senjata sebagai koleksi. Berikut benda-benda yang terdapat dalam Museum
Benda Kuno:
1) Seperangkat Gamelan Degung persembahan dari Ki Gede Kawungcaang
Banten pada tahun 1426, karena putrinya Dewi Kawung Anten menikah
dengan Sunan Gunung Jati. Degung ini merupakan duplikat dari Degung
Pusaka Padjajaran.
2) Seperangkat Gamelan berlaras slendro dan Wayang Purwa dari Cirebon
tahun 1748 yang dinamai Si Ketuyung, merupakan peninggalan Sultan
Sepuh IV.
3) Empat buah rebana peninggalan Sunan Kalijaga tahun 1412 dan Genta
(bel) yang dinamai bergawang. Rebana ini digunakan saat Sunan Gunung
Jati dinobatkan sebagai Sultan Auliya Negara Cirebon oleh Dewan Wali

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

Sanga, menguasai wilayah Cirebon, Kuningan, Indramayu, Majalengka


pada tahun 1429.
4) Seperangkat Gamelan Sekaten tahun 1495, persembahan dari Sultan
Demak ke-III, Sultan Trenggono saat pernikahan Ratu Mas Nyawa (Adik
Sultan Trenggono) dengan Bratakelana, putra dari Sunan Gunung Jati.
Selanjutnya Gamelan ini digunakan sebagai alat propaganda untuk
memikat orang-orang Hindu masuk Islam. Hingga saat ini, Gamelan
Sekaten dibunyikan setiap Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha di Siti
Inggil oleh Abdi Dalem Keraton.
5) Peralatan upacara adat, seperti dua buah Jantungan, dua buah
Manggaran, dan dua buah Nagan terbuat dari perak yang digunakan
untuk acara Grebeg Mulud, busana Putra Putri Sultan Sepuh, Pakaian
Sepasang Pengantin Raja dan Ratu.
6) Senjata berupa Kujang, Cundrik Pedang, Mata Tombak, dua buah
meriam tahun 1423, 48 buah tombak dwisula, 7 buah trisula, dan 40 buah
catur sula.
7) Peralatan pertanian masa Kesultanan Cirebon, seperti Ani-ani untuk
memotong padi, empat buah Kerang Buntet dari Banten.
8) Benda-benda dari Eropa, seperti satu set Meja Kursi Hitam tahun 1845,
Gelas minum VOC tahun 1745, Standar Lilin Kristal dari Perancis tahun
1738, 24 buah baju perang terbuat dari logam atau disebut dengan Baju
Kere, Bedil Dobel Loop, meriam dan Pedang dari Portugis tahun 1527.
9) Benda-benda dari Cina, seperti tempat tinta tahun 1697, miniatur
lumbung padi yang terbuat dari uang logam Cina, tiga buah peti kayu
berukir, barang-barang yang terbuat dari keramik, Pagoda Graken,
Mangkok Besar dan Kendi Keramik dari Mongolia masa Dinasti Ming.
10) Benda-benda dari Timur Tengah, seperti Bedil Berlidi (pengocok
mesiu) dan tiga buah peti dari Mesir pada masa Gunung Jati.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

k. Museum Kereta
Museum Kereta di Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan tempat
menyimpan kereta pusaka, yang diberi nama Kereta Singa Barong. Kereta
Singa Barong merupakan kendaraan Sultan yang digunakan untuk upacara
suci, yaitu untuk upacara Kirab keliling kota Cirebon setiap tanggal 1
Muharam dengan ditarik oleh 4 ekor kerbau, tetapi sejak tahun 1942 kereta
ini sudah tidak dipergunakan kembali.

Gambar 4. 6 : Kereta Singa Barong


Sumber : Dokumen Pribadi

l. Tugu Manunggal
Bangunan Tugu Manunggal berupa batu pendek berukuran kurang
lebih 50 cm, berbahan dasar batu karang. Terletak di Sebelah selatan Taman
Dewan Daru dengan dikelilingi 8 buah pot bunga. Tugu manunggal berada
diantara Taman Dewan Daru dan Kuncung yang merupakan serambi untuk
memasuki area utama Keraton Kasepuhan Cirebon.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60

Gambar 4. 7: Tugu Manunggal


Sumber : Dokumen Pribadi

m. Lunjuk dan Sri Manganti


Lunjuk terletak di sebelah barat Tugu Manunggal, dan pisisinya
mengadap tugu tersebut. Saat ini Lunjuk digunakan sebagai tempat kerja
Pengelola Keraton Kasepuhan Cirebon. Bangunan ini mengadap ke arah
Timur berukuran 10 x 7 m. Lunjuk berbentuk bujur sangkar, dengan bentuk
joglo, dan atap genteng yang didukung dengan 4 tiang soko guru, 12 tiang
tengah dan 12 tiang luar. Langit-langit dipenuhi ukiran yang berwarna putih
dan coklat.

n. Kuncung dan Kutagara Wadasan


Kuncung merupakan bangunan yang menjadi ikon dalam bangunan
Keraton Kasepuhan Cirebon. Kuncung berfungsi sebagai tempat parkir
kendaraan Sultan, dibangun pada tahun 1678 oleh Sultan Sepuh I. Kuncung
bergapura putih dengan motif khas Cirebon, yakni mega mendung dan
wadasan. Gapura ini disebut Gapura Kutagara Wadasan, dengan ukuran 2,5
x 2,5 x 2,5 m. Wadasan berukuran lebar 2,5 m dan tinggi kurang lebih 2,5
m..

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61

Gambar 4. 8 : Kuncung dan Kutagara Wadasan


Sumber : Dokumen Pribadi

o. Jinem Pangrawit
Jinem Pangrawit merupakan serambi bagian depan bangunan
utama Keraton Kasepuhan Cirebon. Lantai marmer, dinding tembok
berwarna putih dan dihiasi keramik Eropa. Atap didukung 4 tiang sokoguru
kayu dengan umpak beton. Jinem Pangrawit berfungsi untuk tempat tugas
Pangeran Patih atau Wakil Sultan menerima tamu.

Gambar 4. 9 : Jinem Pangrawit


Sumber : Dokumen Pribadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62

p. Gajah Nguling
Gajah Nguling merupakan serambi bagian depan pada Istana
Sultan, tepatnya setelah melewati Jinem Pangrawit. Gajah Nguling
merupakan bangunan tanpa dinding berbentuk persegi panjang, terdapat
enam tiang bulat bergaya tuscan setinggi 3 m ber cat putih. Gajah Nguling
dibangun oleh Sultan Sepuh IX pada tahun 1845, fungsinya sebagai
penghubung Jinem Pangrawit dan Bangsal Pringgandani. Bangunan Gajah
Nguling berlantai tegel dengan langit-langit berwarna hijau. Ruangan ini
tidak memanjang lurus tapi menyerong (membengkok) dan kemudian
menyatu dengan Bangsal Pringgandani.

q. Bangsal Pringgandani dan Bangsal Prabayaksa


Bangsal Pringgandani memiliki 4 tiang utama, berbentuk segi
empat berwarna hijau. Setelah melewati Bangsal Pringgandani, terdapat
Bangsal Prabayaksa yang merupakan ruangan terbesar di Keraton
Kasepuhan Cirebon. Bangsal Prabayaksa menghadap langsung ke arah
singgasana Sultan. Bangsal Prabayaksa dibangun pada tahun 1682 oleh
Sultan Sepuh I, yang berfungsi untuk tempat sidang para mentri negara
Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pada Bangsal Prabayaksa terdapat meja dan kursi bercat kuning
gading dibuat tahun 1738, lampu kristal dari Prancis tahun 1738, dan lampu
storlop prasman dari VOC tahun 1745. Pada bagian tembok bangsal
terpasang tegel-tegel proselen berwarna biru dan coklat dari VOC, pada
tegel coklat gambarnya mengandung cerita dari injil, juga piring-piring
keramik Cina dari dinasti Han Boe Tjle tahun 1424. Pada dinding bangsal
juga terpasang 3 buah lukisan dari Belanda dan 1 buah dari Jerman tahun
1745.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63

Gambar 4. 10 : Bangsal Prabayaksa


Sumber : Dokumen Pribadi

r. Bangsal Agung Panembahan


Bangsal Agung Panembahan terletak satu meter lebih tinggi dari
Bangsal Prabayaksa, berfungsi sebagai singgasana Sultan. Di dalam Bangsal
Agung Panembahan terdapat kursi singgasana dengan meja, dibelakang
singgasana terdapat tempat tidur yang disebut ranjang kencana untuk
istirahat siang Sultan. Sebelah kanan dan kiri singgasana terdapat meja dan
kursi untuk Permaisuri dan Putra Mahkota bila berkenan hadir.

Gambar 4. 12 : Bangsal Agung Panembahan


Sumber : Dokumen Pribadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64

. Lantai pada Bangsal Agung Panembahan masih asli tahun 1529,


sedangkan lantai Bangsal Prabayaksa dan Pringgandani sudah diganti
tahun 1934, dan Jinem Pangrawit tahun 1997. Bangsal Agung
Panembahan kini dipergunakan untuk tempat sesaji pada acara Panjang
Jimat (selamatan maulud), yang mengerjakan kaum Masjid Agung dan
disaksikan oleh Sultan, Raden Ayu, dan kerabat keraton. Tepatnya pada
ba’da isya tanggal 12 rabiul awal, setelah selesai diiringi menuju Langgar
Agung.

3. Makna Simbolik dan Filosofis Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon


Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan keraton yang berasal dari
Kerajaan Islam, akan tetapi bentuk bangunannya cenderung terpengaruh oleh
budaya Hindu-Budha, dan hanya sebagian kecil saja yang berasal dari Agama
Islam (Hasil Wawancara dengan Ahmad Jazuli, tanggal 25 Januari 2015).
Makna simbolik dan filosofis yang terkandung dalam arsitektur Keraton
Kasepuhan Cirebon terdapat pada tata letak dan orientasi bangunan keraton,
serta ornamen yang diterapkan dalam bentuk arsitektur pada bangunan
Keraton.
Keraton Kasepuhan Cirebon bergaya bangunan gajah nguling, yang
berarti menyempit diluar dan melebar di dalam (Hasil wawancara dengan
Rafan S. Hasyim, tanggal 25 Januari 2015). Hal tersebut seperti nampak pada
lampiran I berupa peta lokasi Keraton Kasepuhan Cirebon, menunjukkan
bagian belakang keraton berukuran dua kali lebih besar daripada bagian depan
keraton.
Orientasi bangunan Keraton Kasepuhan meggunakan arah Utara-
Selatan, yaitu semakin ke arah Selatan, bangunan akan semakin sakral (Hasil
wawancara dengan Rd. Hafid Permadi, tanggal 12 Januari 2015 ). Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Oktikasari (2008), bahwa saat ini ruang Keraton
dibagi menjadi tiga zona berdasarkan tingkat kesucian dan keprivasian, yaitu
semakin ke arah selatan atau ke arah dalam, maka tingkat kesucian atau
kesakralanya semakin tinggi, begitupun sebaliknya. Berikut dijelaskan lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65

rinci mengenai makna simbolik dan filosofis arsitekur Keraton Kasepuhan


Cirebon.

a. Tata Letak Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon


Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa
Barat, sebagai pusat pengembangan dan penyebaran Islam untuk wilayah
Jawa Barat dan sekitarnya. Adapun pusat kegiatannya berlokasi di Keraton
Pakungwati (sebelum berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan).
Meskipun Kesultanan Cirebon berlandaskan Agama Islam, akan tetapi
pengaruh Hindu-Budha masih sangat berperan didalam kehidupan
masyarakatnya. Seperti yang disampaikan oleh Adeng (1998), pada masa
Kesultanan Cirebon, raja atau sultan dipercaya sebagai titisan Dewa atau
Tuhan yang berfungsi sebagai penghubung antara alam dunia dengan alam
gaib. Raja digambarkan sebagai tokoh penguasa alam manusia, dalam hal
ini Kesultanan Cirebon. Konsep ini dipercaya agar keselarasan dan
keseimbangan antara alam manusia dengan alam semesta terjaga (Hasil
wawancara dengan Rd. Hafid Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Keraton sebagai pusat, terletak pada sumbu linier Barat Daya dan
Timur, yaitu diantara Gunung Ciremai dan Laut Jawa. Menurut Oktikasari
(2008), Keraton Kasepuhan Cirebon dijadikan sebagai tempat tinggal
penguasa alam manusia, yaitu raja dan ratu, dan gunung sebagai tempat
bersemayamnya para Dewa atau Tuhan. Hal ini terlihat dari posisi keraton
yang berada pada arah Timur Laut dari Gunung Ciremai, yang merupakan
arah paling suci dan terbaik untuk mengerjakan kebajikan. Selanjutnya
dikatakan juga bahwa arah mata angin ini dijaga oleh Dewa Isana,
perpaduan Dewa Kuvera (Dewa Kemakmuran) yang menjaga arah Utara,
dan Dewa Indra (rajanya para Dewa, penguasa kahyangan) yang menjaga
arah Timur, sehingga arah ini sebagai hal yang sakral dan memberi
kemakmuran bagi penghuninya (Hasil wawancara dengan Rd. Hafid
Permadi, tanggal 12 Januari 2015).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66

Konsep tentang arah mata angin juga diterapkan untuk orientasi


bangunan keraton, seperti yang ditunjukan pada bangunan Jinem Pangrawit
yang berorientasi ke Utara. Pada arah ini terletak kompleks pemakaman
Gunung Jati dan Gunung Sembung, tempat bersemayamnya para raja dan
sultan-sultan Cirebon. Orientasi bangunan ini lebih memiliki makna bahwa
manusia harus selalu ingat kepada sang pencipta, dan kita mempunyai
waktu yang terbatas untuk tinggal di bumi ini (Hasil wawancara dengan Rd.
Hafid Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Tata letak yang memiliki makna terhadap arsitektur Keraton
Kasepuhan Cirebon berikutnya adalah penempatan elemen air. Salah
satunya disimbolkan dengan sungai. Sungai yang secara fisik berfungsi
sebagai benteng pertahanan dan sarana transportasi, tetapi sungai juga
dipercaya sebagai pembawa keberkahan. Semakin banyak sungai yang
mengitari keraton, maka semakin baik. Hal ini sesuai dengan kepercayaan
Hindu-Budha, bahwa air sebagai tempat yang sangat disenangi oleh Hyang
dan Dewata (Oktikasari, 2008). Dalam tata letak Keraton Kasepuhan, dapat
terlihat bahwa posisi sungai juga menjadi pertimbangan penting dalam
bangunan kraton.
Keraton Kasepuhan Cirebon berada di antara sungai Sipadu (Utara)
dan sungai Kesunean (Selatan), yang memiliki makna sebagai penyelaras
kehidupan bumi diantara kelahiran manusia di Selatan, menuju kekehidupan
fana dan tempat Para Dewa atau Sang Pencipta di Utara. Konsep ini juga
diperkuat dengan menempatkan pintu masuk menuju keraton, dimana pintu
masuk utama berada di sisi sungai Kesunean (Selatan), dimana kesunean
berarti kembali suci.
Penerapan konsep air ini tidak terbatas pada posisi keraton terhadap
sungai saja, tetapi juga pada penempatan elemen air disetiap sudut kraton.
Dalam hal ini penempatan elemen air tidak hanya berdasarkan kepercayaan
Hindu-Budha, tetapi juga berdasarkan kepercayaan Islam. Banyaknya
penggunaan unsur air, baik yang berupa kolam maupun hanya sebagai
simbol pada setiap sudut kraton, berasal dari konsep taman-taman surga,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67

seperti yang digambarkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an (Hasil wawancara


dengan Rd. Hafid Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Tata letak Keraton Kasepuhan berguna berguna untuk menjaga
keselarasan kehidupan manusia di dunia. Pada umumnya makna yang ter-
kandung memberi gambaran, bahwa manusia merupakan bagian dari alam
semesta, dan agar selalu bersikap bijaksana saat menjalankan kehidupannya
(Hasil wawancara dengan PRA Arif Natadiningrat, tanggal 5 Februari
2015).

b. Sistem Penamaan Bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon


Bangunan yang terdapat dalam Kompleks Keraton Kasepuhan
Cirebon memiliki nama yang disesuaikan dengan fungsinya. Berikut
merupakan deskripsi dari arti nama bangunan yang terdapat dalam
Kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon.
Alun-alun berasal dari bahasa Cirebon, yakni alon-alon, yang
dalam bahasa Indonesia berarti pelan-pelan. Memiliki makna bawa ketika
masuk ke Istana Raja atau Keraton harus dengan kesabaran dan sopan
santun terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya (Hasil wawancara Rd. M.
Hafid Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Bangunan yang penting dalam Kompleks Keraton Kasepuhan
adalah Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Nama Masjid Agung Sang Cipta
Rasa berasal dari bahasa Cirebon, yakni kata Sang berarti keagungan, Cipta
berarti dibangun, dan Rasa berarti digunakan. Jadi Sang Cipta Rasa
memiliki makna bahwa bangunan besar tersebut digunakan untuk tempat
ibadah dan pusat kegiatan keagamaan.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa terdiri dari dua ruangan, yaitu
beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama terdapat
sembilan pintu. Jumlah ini melambangkan Wali Songo. “Masyarakat
Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat terlihat pada
arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68

Majapahit, dan Cirebon. Arsitektur masjid ini adalah Raden Sepat” (Lubis,
2011: 207), dan Sunan Kalijaga sebagai pemimpin pembangunan masjid ini.
Bangunan inti Masjid Agung Sang Cipta Rasa berbentuk persegi
dan pejal dengan kedua sisinya tegak lurus ke arah kiblat. Dinding hanya
terdapat di bangunan inti yang memiliki simbol sebagai penyekat antara
dunia sakral dengan dunia profan (Lubis, 2011). Dengan demikian dinding
Masjid Agung tidak difungsikan sebagai penyangga atap, melainkan sebagai
alat penyekat ruangan.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki pintu berjumlah sembilan
buah yang melambangkan sembilan Wali di Pulau Jawa. Para Wali
melewati pintu masing-masing ketika akan memasuki Masjid Agung Sang
Cipta Rasa. Pintu-pintu disisi utara dan selatan dibuat lebih pendek dan
sempit dibandingkan dengan pintu yang ada di sebelah timur. Selain lebih
tinggi, daun pintunya diberi ukiran penuh. Pintu masuk tersebut dibuat
pendek sebagai simbol kerendahan hati manusia di hadapan Tuan Yang
Maha Kuasa (Hasil wawancara dengan PRA Arif Natadiningrat, tanggal 5
Februari 2015).
Pada masa Panembahan Ratu I (1568-1649) bentuk atap ini diubah
menjadi limasan bertingkat tiga yang mengecil ke atas dan ijuknya diganti
dengan sirap kayu jati. Model atap tumpang bertingkat tiga tersebut
berkaitan dengan tiga aspek dalam agama Islam, yakni keimanan,
keislaman, dan keikhsanan (Hasil wawancara dengan Rd. M. Hafid
Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Mihrab dibuat dari batu putih berukir dengan motif bunga teratai
sebagai bentuk adaptasi dari ragam hias arsitektur Hindu. Sementara
mimbar diukir dengan hiasan sulur-suluran dan pada bagian kaki terdapat
hiasan menyerupai kepala Macan, yang merupakan simbol kerajaan
Padjajaran atau pada kejayaan masa pemerintahan Prabu Siliwangi, zaman
sebelum Kesultanan Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
Pada bagian kanan dan kiri gerbang menuju area Keraton
Kasepuhan Cirebon terdapat dua bangunan berbentuk bersegi yang bernama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69

Panca Ratna dan Panca Niti. Panca Ratna terdiri dari dua kata Panca dan
Ratna, Panca berarti lima, dan Ratna berarti sengsem atau suka. Panca yang
dimaksudkan di sini adalah lima panca indra atau getaran yang lima, yaitu:
pangucap (mulut), pangirup (hidung), pangrungu (telinga), pandeleng
(mata), dan napsu. Juga panca diartikan dengan jalannya. Jadi hal ini
diartikan ketika memasuki keraton harus memiliki niat baik (Hasil
wawancara dengan Rd. M. Hafid Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Sebelah timur Panca Ratna terdapat bangunan tanpa dinding
bernama Panca Niti. Panca Niti terdiri dari dua kata yakni Panca dan Niti.
Panca berarti jalan, sedangkan Niti berasal dari kata mata atau Raja atau
atasan, namun yang dimaksud di sini adalah atasan. Jadi Panca Niti yang
dimaksud adalah jalan untuk menemui Sultan.
Menurut tata letak bangunan Keraton Kasepuhan, posisi sungai
juga merupakan salah satu aspek yang dipertimbangkan. Keraton berada
diantara Kali Sipadu (Utara) dan Sungai Kesunean (Selatan), yang memiliki
makna sebagai penyelaras kehidupan bumi diantara kelahiran manusia di
Selatan, menuju kehidupan fana, dan tempat para Dewa atau Sang Pencipta
di Utara. Konsep ini juga diperkuat dengan menempatkan pintu masuk
menuju keraton, dimana pintu masuk utama berada di sisi sungai Kesunean
(selatan), dimana Kesunean berarti kembali suci.
Setelah melakukan pelaporan di Panca Niti, untuk memasuki area
Keraton Kasepuhan Cirebon harus melewati Kreteg Pangrawit yang berada
di atas Kali Sipadu. Kali Sipadu merupakan sungai kecil yang mengelilingi
keraton sebagai benteng pertahanan. Dalam hal ini Kreteg berarti perasaan,
sedangkan Pangrawit berarti kecil/ lembut/ halus/ baik. Berarti orang yang
melintasi jembatan ini diharapkan memiliki maksud baik setelah melakukan
pemeriksaan di Panca Ratna dan Panca Niti.
Salah satu banguan yang mencolok di area Keraton adalah
keberadaan Siti Inggil sebagai lambang kekuasaan Raja atau Sultan (Hasil
wawancara dengan Rd. M. Hafid Permadi, tanggal 12 Januari 2015).
Bangunan yang terbuat dari batu bata merah ini terletak di sebelah Timur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70

Lapangan Giyanti, berbentuk podium. Siti Inggil berasal dari kata Siti dan
Inggil. Siti berarti tanah dan Inggil berarti tinggi. Hal ini disebabkan karena
bangunannya yang dibuat lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan lain
yang ada di sekitarnya.
Siti Inggil dikelilingi oleh tembok bata merah yang disebut Candi
Bentar (Candi: tumpukan; Bentar: bata). Sesuai dengan namanya bangunan
ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman
Majapahit. Dalam hal ini, Candi Bentar diartikan sebagai bentuk gunungan
yang merupakan simbol dari Mahameru atau tempat tinggal para Dewa.
Setiap pilar di atasnya terdapat Candi Laras atau sesuai, selain dibangun
untuk kepetingan unsur keindahan yakni mempercantik tampilan Candi, juga
berarti peraturan harus ditegakkan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku di Kesultanan Cirebon.
Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya
arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan
di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Pada kaki Gapura Banteng,
terdapat gambar banteng, ini melambangkan kekuatan dan keberaian
daripada aparatur negara.
Pada bagian bawah Gapura Banteng juga terdapat Candra Sengkala
dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun
1451 saka atau 1529 M, yang merupakan tahun pembuatan gapura tersebut.
Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang
memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di
tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang
melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya
berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan
ini merupakan tempat Sultan melihat latihan para prajurit kerajaan atau
melihat pelaksanaan hukuman.
Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima
dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun Islam.
Bangunan ini tempat para pengawal pribadi Sultan. Bangunan di sebelah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
71

kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang
melambangkan dua kalimat syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasihat
Sultan atau Penghulu.
Pada bagian belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring
yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan
disebelah Mande Pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan
tempat pengiring tetabuhan atau gamelan. Di bangunan inilah sampai
sekarang masih digunakan untuk memainkan Gamelan Sekaten (Gong
Sekati). Gamelan Sekaten hanya dimainkan 2 kali dalam setahun yaitu pada
saat Idul Fitri dan Idul Adha.
Pada kompleks Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon terdapat
tugu batu, Lingga dan Yoni sebagai lambang dari kesuburan. Lingga
merupakan simbol untuk laki-laki, sedangkan Yoni merupakan simbol untuk
perempuan. Bentuk bangunan ini sama seperti Lingga dan Yoni pada
bangunan peninggalan kerajaan yang bercorak Hindu. Hal ini tidak lepas
dari proses pembangunan yang masih terpengaruh kepercayaan yang telah
berkembang di masyarakat sebelumnya.
Dalam kompleks Siti Inggil, selain bangunan terdapat pula Pohon
Tanjung yaitu lambang nanjung dalam bertahta. Hal ini diperkuat dengan
pepatah “nanjung ratu waskhita swalaning para nala,” yang berarti Raja
harus mengetahui penderitaan rakyatnya. Diharapkan melalui Siti Inggil,
Sultan dapat melihat bagaimana keadaan rakyatnya, begitu pula dengan
rakyat, dapat melihat rajanya melalui Siti Inggil.
Selain pohon Tanjung, di Siti Inggil terdapat Pohon Sawo Kecik,
dalam bahasa Cirebon kecik berarti becik atau baik, artinya diharapkan
manusia itu berkelakuan baik dan benar. Hal ini sejalan dengan nasihat yang
dianut oleh leluhur Kesultanan Cirebon yang berbunyi satyane ewa jayatin
artinya kebenaran adalah keunggulan. Dengan keberadaan dua pohon
tersebut, seorang Sultan dapat mengetahui keadaan rakyatnya dan mampu
memberikan keadilan serta kehidupan yang layak bagi rakyatnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72

Pada bagian belakang Siti Inggil terdapat bangunan bernama


Pangada atau kubeng, dalam bahasa Cirebon berarti sekeliling atau
stelincup. Dalam hal ini Pangada berfungsi sebagai tempat berkumpulnya
lima unsur aparat yang ada di lingkungan keraton, yaitu Demang Dalem,
Camat Dalem, Lurah Dalem, Laskar Dalem, dan Kaum Dalem. Dalam hal
ini Pangada dijadikan sebagai tempat kerja dari kelima unsur aparat keraton
tersebut. Bagian depan bangunan Pangada ditanami Pohon Kepel. Kepel
berarti Genggam, yang dimaksud di sini adalah lima orang petugas saling
menggenggam atau bersatu, artinya bertanggungawab bersama dalam
menjalankan tugas.
Memasuki Gerbang Pangada, akan sampai ke halaman yang
bernama Kemandungan. Kemandungan berarti andalan atau cagaran yang
dahulu berfungsi untuk menyimpan senjata perang. Halaman Kemandungan
bersebrangan dengan Langgar Agung. Langgar Agung berfunggsi sebagai
tempat Ibadah bagi masyarakat Keraton Kasepuhan Cirebon. Pada bagian
depan Langgar Agung terdapat cungkup untuk tempat bedug. Bedug
tersebut diberi nama Sang Magiri, yang artinya bila bedug dipukul sebagai
isyarat untuk memperingatkan masuknya waktu shalat.
Setelah melewati halaman Kemandungan, akan sampai di Taman
Dewan Daru, yang merupkan ikon dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Taman
Dewan Daru memiliki luas 20 m2, dengan bentuk bundar. Nama Dewan
Daru berasal dari bahasa Cirebon, terdiri dari kata Dewan dan Daru. Dewan
berasal dari kata Dewa yang memiliki makna untuk menghargai keberadaan
makhluk di luar manusia, dan Daru berarti Cahaya. Jadi keberadaan Taman
Dewa Daru menuntun agar menjadi manusia yang dapat menerangi sesama
mereka yang masih hidup dalam rasa kegelapan.
Bentuk Taman Dewan Daru yang bundar memiliki arti bahwa
setiap orang yang telah berada di area ini berarti telah menyapakati untuk
mematuhi peraturan yang berlaku di dalam lingkungan keraton. Selain itu
sepakat juga berarti dalam suatu pemerintahan harus ada sebuah
kesepakatan bersama demi kemajuan dari Kesultanan Cirebon.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73

Di dalam taman ini terdapat beberapa unsur khas dari Kesultanan


Cirebon, yaitu:
1) Nandi (patung lembu kecil), yang merupakan lambang kepercayaan
agama Hindu sebagai bentuk toleransi terhadap kepercayaan yang telah
berkembang sebelumnya.
2) Pohon Soka sebagai lambang suka, yang hendak menjelaskan bahwa
manusia hidup harus bersuka hati dan dalam keadaan bahagia karena
bersyukur
3) Dua buah patung Macan Putih yang merupakan lambang Kerajaan
Padjajaran. Hal ini tidak lepas dari pendiri Keraton Kasepuhan yang
merupakan keturunan dari Kerajaan Padjajaran.
4) Meja dan bangku batu, sama seperti yang berada di halaman depan Siti
Inggil. Meja dan Bangku batu ini dibangun pada tahun 1800-an untuk
memenuhi unsur estetika dari Taman Dewan Daru.
5) Dua buah meriam persembahan dari Prabu Kabunangka Pakuan,
Padjajaran. Meriam ini dinamai Ki Santoma dan Nyi Santomi.
Pada sekitar area Taman Dewan Daru terdapat beberapa bangunan
Keraton yang mengelilinginya. Salah satunya pada sebelah timur Taman
Dewan Daru terdapat Museum Kereta. Museum ini tempat menyimpan
kereta pusaka Kesultanan Cirebon yang bernama Kereta Singa Barong.
Kereta Singa Barong dibuat pada tahun 1549, merupakan perwujudan tiga
binatang menjadi satu.
Belalai gajah melambangkan persahabatan dengan India yang
beragama Hindu. Kepala naga melambangkan persahabatan dengan Cina
yang beragama Buddha. Sayap dan badan diambil dari Buraq,
melambangkan persahabatan dengan Mesir yang beragama Islam. Trisula
(Tri: tiga; Sula: tajam) pada belalai melambangkan tajamnya alam pikiran
manusia yaitu cipta, rasa, dan karsa.
Kereta Singa Barong memiliki motif mega mendung dan wadasan
yang merupakan ciri khas dari Kota Cirebon. Motif mega mendung dan
wadasan terdapat di beberapa bagian badan kereta. Adapun makna Filosofi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
74

yang ada pada Kereta Singa Barong membuktikan bahwa di Keraton


Kasepuhan Cirebon terdapat akulturasi budaya adalah sebagai berikut:
1) Simbol Kereta Singa Barong mengambil metafora tiga format
kebudayaan, yakni Mesir, Cina, dan India, yang diabadikan juga pada
kereta kencana di lingkungan dalam Keraton Kasepuhan Cirebon,
setidaknya menegaskan bahwa adanya akulturasi budaya.
2) Kereta Singa Barong merupakan gabungan dari hewan Naga, Gajah, dan
Garuda. Naga adalah produk budaya Cina. Sedangkan Gajah (liman) dan
Garuda adalah produk budaya India dan Arab. Belalai gajah memegang
sebuah senjata trisula. Trisula mempunyai arti filosofi cipta, rasa dan
karsa.
3) Gajah bermakna kekuatan. Garuda bermakna kecepatan dan ketepatan.
Naga bermakna kelincahan, kecerdikan, dan kreativitas. Simbol-simbol
ini mengandung arti, seyogianya seorang pemimpin harus memiliki
kecerdikan, kelincahan, dan kreativitas seperti naga, kekuatan seperti
gajah, dan kecepatan laksana garuda.
Selain Museum Kereta, pada sisi Selatan Taman Dewan Daru
terdapat bangunan yang bernama Tugu Manunggal. Tugu Manunggal
merupakan lambang kepercayaan Islam menyembah kepada Allah yang satu
dzat sifatnya. Tugu ini dinamai Tugu Manunggal karena hanya terdapat
tunggal atau satu di area Keraton Kasepuhan Cirebon, yang melambangkan
bahwa Tuhan hanya satu.
Sebelah Barat Taman Dewan Daru terdapat bangunan berbentuk
bujur sangkar yang bernama Lunjuk. Lunjuk memiliki arti petunjuk,
fungsinya untuk pelayan kerajaan menjamu tamu yang hendak menghadap
Sultan. Jadi ketika seseorang hendak bertemu Sultan, maka harus melapor
terlebih dahulu kepada petugas keraton. Dalam proses menunggu keputusan
dari petugas yang berada di Lunjuk untuk bertemu Sultan, orang yang akan
bertemu Sultan menunggu di bangunan tanpa dinding yang bernama Sri
Manganti.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75

Sri Manganti berasal dari bahasa Cirebon yang terdiri dari dua kata,
yakni Sri dan Manganti. Sri artinya Raja, dan Manganti artinya menunggu.
Jadi tempat ini digunakan untuk menunggu keputusan apakah dapat bertemu
Sultan atau tidak. Setelah melalui berbagai proses untuk dapat menemui
Sultan, maka sampailah pada area utama Keraton Kasepuhan Cirebon. Pada
bagian depan area utama ini terdapat bangunan yang bernama Kuncung.
Dalam bahasa Cirebon kuncung berarti poni, karena letaknya yang di depan
bangunan utama dan menjorok ke depan, seperti poni pada rambut maka
disebut kuncung.
Setelah melewati Kuncung, akan sampai pada area yang bernama
Jinem Pangrawit. Dalam bahasa Cirebon Jinem berasal dari kata kejineman
yang berarti tempat tugas, sedangkan Pangrawit berasal dari kata rawit yang
berarti kecil atau halus atau bagus. Jinem Pangrawit berfungsi untuk tempat
tugas Pangeran Patih atau Wakil Sultan menerima tamu. Jinem Pangrawit
menghadap ke arah utara, yang berorientasi pada kompleks pemakaman
Gunung Jati atau Gunung Sembung, tempat bersemayamnya Sultan-sultan
Cirebon. Orientasi bangunan ini memiliki makna bahwa manusia harus
selalu ingat kepada sang pencipta, dan kita mempunyai waktu yang terbatas
untuk tinggal di bumi ini (Hasil wawancara dengan Rd. Hafid Permadi,
tanggal 12 Januari 2015).
Bagian utama dari area Keraton Kasepuhan Cirebon terdiri dari
Bangsal Pringgandani, Bangsal Prabayaksa, dan Bangsal Agung
Panembahan. Bangsal Pringgandani merupakan tempat pisowan atau
pertemuan para Bupati di lingkungan Karesidenan Cirebon, seperti Cirebon,
Kuningan, Indramayu, dan Majalengka, dengan Sultan. Sedangkan
Prabayaksa berasal dari kata Praba dan Yaksa yang berarti sayap dan besar.
Dalam hal ini ruangan Bangsal Prabayaksa mengandung arti bahwa Sultan
berada di singgasana yang letaknya lebih tinggi harus dapat melindungi
rakyatnya dengan kedua tangannya yang besar (memiliki kekuasaan),
seperti induk ayam melindungi anaknya dengan kedua sayapnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76

Pada tembok Pangsal Prabayaksa terdapat 4 buah relief karya


Pangeran Arya Carbon Kararangen, yang dibuat pada tahun 1710 (adik
Sultan Sepuh II). Relief ini diberi nama Dandang Gulung Manuk Kaduwong
Kembang Kanigaran. Dalam relief ini terdapat tiga unsur lambang
kenegaraan, yaitu, sulur kodong, manuk kaduwong, dan kembang
kanigaran. Motif daun yang memanjang dan fleksibel pada relief ini disebut
dandang gulung, oleh masyarakat Cirebon disebut sulur godong. Sulur
godong merupakan perwujudan dari dedaunan hijau yang mampu
meneduhkan masyarakat Cirebon yang tinggal di daerah pantai. Motif ini
juga mengandung arti filosofis bahwa Sultan dalam memegang tampuk
kenegaraan harus welas asih pada rakyatnya, dan dapat menyatu dengan
rakyatnya (Hasil Wawancara dengan PRA Arif Natadiningrat, tanggal 12
Februari 2015).
Unsur kenegaraan selanjutnya dalam relief dandang gulung manuk
kaduwong kembang kanigaran adalah manuk kaduwong, berupa dua ekor
burung berwarna putih yang menghadap ke bawah. Keberadaan manuk
kaduwong dalam relief ini menggambarkan kebijaksanaan dari seorang
Sultan terhadap rakyatnnya. Dalam mengambil keputusan Sultan harus
melihat ke bawah, karena semua keputusan harus berdasarkan kepentingan
rakyatnya. Unsur kenegaraan yang terakhir dalam relief dandang gulung
manuk kaduwong kembang kanigaran adalah bunga teratai. Oleh
masyarakat Cirebon, kembang kanigaran merupakan perwujudan dari bunga
teratai, yang memiliki arti bahwa manusia Cirebon dapat hidup dan
berkembang meski dengan topangan sumber daya alam (air) yang sedikit.
Keberadaan kembang kanigaran sebagai bunga khas Kesultanan Kasepuhan
dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Buddha yang telah ada sebelumnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77

Pada bagian belakang Kursi Raja terdapat kain dengan 9 warna yang
melambangkan keberadaan sembilan Wali dalam penyebaran Islam di
Jawa. Kursi singgasana dan meja Sultan berkaki gambar ular yang
melambangkan dahulu ucapan Sultan merupakan hukum, sehingga rakyat
harus patuh terhadap perintah Sultan.

c. Ornamen dalam Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon


Motif Mega Mendung merupakan karya seni yang identik dan
bahkan menjadi ikon batik di pesisir Cirebon. Motif ini memiliki kekhasan
yang tidak dijumpai di daerah lain. Kekhasan tersebut terlihat dari bentuk
awan. Kekhasan Mega Mendung atau awan-awanan tidak saja pada
motifnya yang berupa gambar menyerupai awan dengan warna-warna
tegas seperti biru dan merah, tetapi juga pada nilai-nilai filosofi yang
terkandung pada motifnya.
Keberadaan mega mendung erat kaitannya dengan sejarah
lahirnya Cirebon. Made Casta (2009) menuturkan bahwa sejarah motif
mega mendung dimulai ketika Pelabuhan Muara Jati atau Cirebon menjadi
tempat persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Saat itu
terjadi asimilasi dan akulturasi dari beragam budaya yang menghasilkan
banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon.
Pernikahan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati merupakan
latar belakang masuknya budaya dan tradisi Tiongkok atau tradisi Cina ke
keraton. Pada saat itu keraton menjadi pusat kosmologi sehingga ide atau
gagasan, pernak-pernik tradisi dan budaya Cina yang masuk bersama Putri
Ong Tien menjadi pusat perhatian para seniman di Cirebon.
Made Casta (2009) menuturkan bahwa pernik-pernik Cina yang
dibawa Putri Ong Tien sebagai persembahan kepada Sunan Gunung Jati,
menjadi inspirasi seniman. Keramik Cina, porselen, atau kain sutera dari
zaman Dinasti Ming dan Ching yang memiliki banyak motif, menginspirasi
Seniman di Cirebon. Banyak terdapat gambar simbol kebudayaan Cina,
seperti burung hong atau phoenix, liong atau naga, kupu-kupu, kilin, banji
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78

atau kisi-kisi hiasan yang dibuat dari kayu atau porselen. Gambar-gambar
tersebut merupakan salah satu simbol kehidupan abadi yang kemudian
menjadi akrab dengan masyarakat Cirebon, kemudian menuangkannya
dalam karya arsitektur. Salah satunya adalah motif Mega Mendung pada
arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon.
Made Casta (2009) berpendapat bahwa tentunya dengan sentuhan
khas Cirebon, sehingga motif ini menjadi tidak sama persis. Pada Mega
Mendung, garis-garis awan motif Cina berupa bulatan atau lingkaran,
sedangkan Mega Mendung Cirebon cenderung lonjong, lancip, dan
berbentuk segitiga. Ini yang membedakan motif awan Cina dan Cirebon.
Komarudin (2009) berpendapat meski Mega Mendung terpengaruhi Cina,
dalam penuangannya berbeda. Mega Mendung Cirebon sarat akan makna
religius dan filosofi. Garis-garis gambarnya merupakan simbol perjalanan
hidup manusia dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga
sampai mati. Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung yang
semuanya menyimbolkan kebesaran Illahi.
Made Casta (2009) berpendapat bahwa motif itu menggambarkan
percampuran Islam, Cina, dan India. Dalam motif mega mendung
menyimpan pesan-pesan agamis melalui simbol yang menjadi motif karya
seni termasuk pada arsitektur keraton. Pada motif Mega Mendung, selain
perjalanan manusia juga terdapat pesan terkait dengan kepemimpinan yang
bersifat mengayomi (Hasil wawancara dengan PRA Arif Natadiningrat,
tanggal 5 Februari 2015). Motif tersebut juga menjadi lambang keluasan
dan kesuburan. Komarudin (2009) mengemukakan bahwa bentuk awan
merupakan simbol dunia yang luas, bebas, dan di luar segala kesanggupan
manusia. Selain itu, juga terdapat nuansa sufisme dibalik motif itu.
Penerapan unsur Mega Mendung juga diduga karena adanya
pengaruh Hindu (Hasil wawancara dengan Ahmad Jazuli, tanggal 5
Februari 2015). Penerapan unsur awan pada motif-motif hiasan Cirebon
berfungsi sebagai pelengkap dalam menggambarkan alam para Dewa.
Selain itu, motif awan yang digabungkan dengan hujan (air) dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79

kepercayaan China merupakan perlambangan kesuburan manusia. Motif


awan ini berbentuk horizontal meruncing dibagian sisi kanan dan kirinya.
Wadasan adalah istilah Cirebon untuk menyebut motif karang,
hal ini dikarenakan bentuk arsitektur yang terdiri dari susunan batu-batu
cadas yang keras atau karang. Secara geografis, sangat memungkinkan
daerah Cirebon pada masa lalu merupakan gudang batu cadas. Bagi
masyarakat Cirebon, wadasan bermakna bahwa manusia dalam menjalani
hidup harus mempunyai pondasi yang kuat (Hasil wawancara dengan Rafan
S. Hasyim, tanggal 25 Januari 2015). Adapun istilah untuk menyebut motif
karang adalah Gunungan, hal ini dikarenakan bentuknya yang menyerupai
gunungan.
Menurut Primawan (2009), motif gunungan memiliki makna suci
yang mengarah pada gambaran kehidupan di alam baka, yaitu sebuah
kehidupan yang kekal abadi. Motif Gunungan merupakan motif Indonesia
asli yang keberadaannya terus bertahan walaupun penetrasi Hindu dan
Islam di Indonesia bersifat intensif. Pada saat berlangsungnya pengaruh
Hindu, motif Gunungan ini digambarkan sebagai Gunung Meru yang
merupakan tempat bersemayamnya para dewa.
Penempatan motif mega mendung dan wadasan pada gerbang
Jinem Pangrawit diduga berhubungan dengan makna yang diwakilkan
gerbang tersebut. Jinem Pangrawit berarti tempat orang yang bermaksud
baik, jadi gerbang ini merupakan batas bagian dalam tempat kebaikan
dengan bagian luar yang belum tentu baik (Hasil wawancara dengan PRA
Arif Natadiningrat, tanggal 5 Februari 2015). Motif Wadasan pada
bangunan dimaksudkan sebagai penanda bahwa dibalik gerbang tersebut
adalah dunia yang bersih dari sifat kotor atau suci. Dunia yang levelnya
lebih tinggi dari dunia luar yang banyak tercampur sifat kotor.
Motif wadasan pada Keraton Kasepuhan Cirebon terlihat jauh
lebih banyak dibandingkan dengan motif mega mendung. Motif ini terdapat
pada beberapa tempat di Keraton Kasepuhan Cirebon. Motif Wadasan
terdapat pada gerbang utama bangunan yang merupakan titik perpindahan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
80

dari area luar menuju area dalam. Keraton merupakan tempat tinggal sultan,
karena itulah mengapa motif Wadasan ditempatkan pada tempat ini.
Motif Wadasan yang terdapat pada singgasana Sultan. Masih ada
hubungannya dengan makna motif ini pada gerbang Jinem Pangrawit, pada
singgasana ini pun sebagai simbol hubungan langsung antara sultan dengan
Tuhan. Uniknya, ternyata motif-motif tersebut bukanlah merupakan tema
yang menjadi motif di keseluruhan bagian keraton, melainkan hanya
terletak di tempat-tempat tertentu yang mempunyai nilai sakral.
Motif Wadasan pada kepurbakalaan Islam di Cirebon berfungsi
sebagai unsur simbolik dan dekoratif. Fungsi simbolik pada motif ini
ditunjukkan oleh letak motif pada bagian utama benda-benda sakral.
Misalnya, motif hias Wadasan ini terlihat pada makam-makam keluarga
sultan yang bagian utamanya berupa nisan. Selain itu, motif hias Wadasan
juga terdapat pada kereta-kereta kerajaan yang bagian utamanya adalah
badan kereta. Sedangkan pada kain batik milik kerajaan, bagian utamanya
adalah motif Batik Wadasan itu sendiri. Contoh lainnya, motif hias
Wadasan ini terdapat pada Taman Gua Sunyaragi milik keluarga kerajaan
yang bagian utamanya berupa bukit-bukit buatan (Hasil wawancara dengan
Rafan S. Hasyim, tanggal 25 Januari 2015).
Motif hias Wadasan sebelum abad ke-18 dapat dikatakan
berfungsi sebagai simbol status kebangsawanan. Fungsi dekoratif motif
hias Wadasan selain melekat pada fungsi simboliknya, juga ditunjukkan
oleh letak motif tersebut pada bagian pelengkap benda-benda sakral (Johan,
1986). Dalam konteks benda yang ditempati, selain sebagai unsur
keindahan, motif Wadasan juga mempunyai kegunaan lain, yaitu
menggambarkan objek yang sesuai dengan konteksnya. Beberapa
contohnya yaitu pada Kereta Singa Barong, motif hias Wadasan hadir
untuk menggambarkan bukit karang. Pada hiasan dinding, motif hias
Wadasan berperan untuk menggambarkan tempat berpijak makhluk hidup
yang digambarkan di atasnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81

Menurut Primawan (2009), setelah abad ke-18, motif hias


Wadasan mengalami pergeseran fungsi, yaitu dari simbol status
kebangsawanan menjadi bukan. Hal ini dapat diartikan bahwa motif hias
Wadasan hanya berfungsi sebagai unsur dekoratif. Pergeseran ini
ditunjukkan dengan adanya beberapa benda purbakala di Cirebon yang
mengalami kesinambungan pembuatannya hingga masa kini. Batik-batik
keraton setelah abad ke-18 mulai digambar oleh pembatik di luar keraton.
Dengan begitu, motif hias Wadasan menjadi dikenal masyarakat awam,
sehingga konsumen motif batik ini pun meluas. Apabila dahulu hanya
menjadi konsumsi keraton, maka saat ini sudah menjadi milik publik.

4. Makna Simbolik dan Filosofis Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon


sebagai Media Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri 8 Cirebon
Mata Pelajaran Sejarah memiliki kedudukan yang sentral dalam
pembentukan karakter bangsa. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat
bahwa salah satu prinsip pembelajaran Sejarah adalah berbasis nilai (value-
based), dimana guru dalam menyampaikan materi pembelajaran tidak hanya
terfokus pada fakta-fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi semata,
melainkan memfokuskan pada etika di balik pembelajaran, sehingga siswa
dapat mengembangkan kebajikan dan nilai-nilai sosial yang akan tercermin
dalam kehidupan sehari-hari (NCSS, 2000).
Peristiwa-peristiwa masa lampau menunjukkan proses perjuangan
manusia untuk mencapai perikehidupan kemanusiaan yang lebih sempurna,
dan sebagai ilmu yang berusaha mewariskan pengetahuan tentang masa lalu
sejarah dituntut untuk bisa bermakna bagi kehidupan manusia (Sartini, 2011).
Ungkapan senada dari Susanto (2014) bahwa sejarah merupakan suatu proses
perjuangan manusia dalam mencapai gambaran tentang segala aktivitasnya
yang disusun secara ilmiah dengan memperhatikan urutan waktu, diberi
tafsiran dan analisis kritis sehingga mudah dimengerti dan dipahami.
Proses pembelajaran sejarah bukan hanya bertujuan untuk mengetahui
peristiwa sejarah secara utuh, melainkan untuk memahami makna nilai-nilai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
82

karakter dalam materi pembelajaran sejarah untuk kepentingan hidup masa kini
dan yang akan datang. Menurut Wardani (2013), dalam materi pembelajaran
sejarah terkandung nilai-nilai luhur, misalnya:
1. Nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme dan pantang menyerah yang
mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik.
2. Ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis
multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai macam kurikulum
yang kesemuannya menunjukkan keseriusanya untuk memaksimalkan mata
pelajaran sejarah dalam pembentukan karakter bangsa. Baik dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maupun dalam Kurikulum 2013,
menempatkan sejarah bukan hanya untuk tujuan kognitif tetapi juga pada ranah
afektif dan psikomotor.
Proses pembelajaran sejarah menggunakan KTSP, dimana setiap
sekolah memiliki kewenangan dalam menggembangkan kurikulum sesuai
dengan kondisi satuan pendidikan, potensi, dan karakteristik daerah, serta
sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik. Pengembangan KTSP
dilakukan oleh Guru, Kepala Sekolah, serta Komite Sekolah dan Dewan
Pendidikan. KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh
sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan
sandar isi sesuai dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006, serta panduan
penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Dalam penyusunan RPP dan
proses kegiatan belajar mengajar, guru dapat mengembangkan nilai-nilai
karakter dengan menggunakan kearifan lokal yang berada di daerah.
Proses pembelajaran dalam Kurikulum 2013 lebih menekankan pada
kemandirian belajar siswa. Dimana siswa dituntut untuk dapat mengeksplorasi
pengetahuan yang ada di dirinya maupun lingkungan sekitarnya. Dari sisi
bobot pelajaran yang digunakanpun telah diatur dalam kurikulum ini, dimana
pada tingkat Sekolah Dasar ranah kognitif lebih tendah dibanding ranah afektif.
Pada tingkat Sekolah Menengah Atas lebih menekankan pada ranah kognitif

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
83

dibandingkan dengan afektif. Hal ini disesuaikan dengan perkembangan


peserta didik.
SMA Negeri 8 Cirebon telah menggunakan KTSP dan Kurikulum
2013, dimana tuntutan yang diajukan oleh kedua kurikulum tersebut saling
berkaitan, yakni pada KTSP guru dapat mengembangkan nilai-nilai karakter
dengan menggunakan kearifan lokal yang berada di daerah, dan pada
Kurikulum 2013 menuntut untuk kemandirian belajar siswa dengan
menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri siswa maupun dalam
lingkungan sekitarnya. Dalam pelaksanaannya, salah satu kearifan lokal yang
digunakan oleh Guru dalam pembelajaran adalah Keraton Kasepuhan Cirebon.
Mengingat letak keraton yang tidak jauh dari sekolah dan dominasi siswa yang
berasal dari Kota Cirebon sendiri. Selain itu, Susanto (2014) menjelaskan
materi pembelajaran sejarah dalam pembelajaran di sekolah mencakup, antara
lain:
1) Pengantar ilmu sejarah.
2) Kehidupan awal masyarakat di Nusantara.
3) Perkembangan tradisi dan kepercayaam Hidu-Buddha dalam bidang politik,
sosial, maupun ekonomi di Nusantara.
4) Perkembangan agama dan tradisi Islam di Nusantara dalam bidang pollitik,
sosial, maupun ekonomi.
5) Masuk dan berkembangnya pengaruh Barat dan perubahan masyarakat pada
masa kolonial di Nusantara
6) Lahir dan berkembangnya kesadaran bangsa, serta perkembangan gerakan
kebangsaan Indonesia.
7) Masuknya kekuasaan Jepang ke Nusantara dan perkembangan Nusantara
pada masa kependudukan Jepang.
8) Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan perkembangan awal
pasca proklamasi kemerdekaan.
9) Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa awal Indonesia.
10) Perkembangan kehidupan pada masa Orde Baru.
11) Berakhirnya era Orde Baru dan lahirnya era Reformasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
84

Keraton Kasepuhan Cirebon dapat dijadikan sebagai media


pembelajaran dalam materi perkembangan agama dan tradisi Islam di
Nusantara dalam bidang politik, sosial, maupun ekonomi. Arsitektur Keraton
Kasepuhan Cirebon mampu menjelaskan bagaimana kondisi kehidupan sosial
masyarakat saat itu. Keraton Kasepuhan Cirebon memiliki nilai-nilai luhur
yang diajarkan oleh para pendahulu, yang tercantum dalam makna simbolik
dan filosofisnya dapat digunakan sebagai bentuk pengembangan nilai-nilai
karakter dalam pembelajaran Sejarah.

a. Pemanfaatan Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai Media


Pembelajaran Sejarah di SMAN 8 Cirebon dalam KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan kebebasan bagi
setiap sekolah untuk menggembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi
satuan pendidikan, potensi, dan karakteristik daerah, serta sosial budaya
masyarakat setempat dan peserta didik. Guru Sejarah SMA N 8 Cirebon
menggunakan Keraton Kasepuhan Cirebon yang merupakan salah satu
kearifan lokal di Cirebon sebagai media dalam pembelajaran sejarah.
Pembelajaran sejarah di kelas dimulai dengan guru memberikan
ulasan mengenai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Dalam
proses pembelajaran, guru senantiasa menghubungkan antara materi yang
diterangkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, dalam hal ini
adalah keberadaan Keraton Kasepuhan Cirebon. Pada akhir pelajaran guru
memberikan tugas kepada siswa untuk melakukan pengamatan terhadap
Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai bukti masuk dan berkembangnya Islam
di Cirebon. Siswa dibagi menjadi 5 kelompok yang masing-masing
beraggotakan 5 orang siswa. Setiap kelompok pada setiap kelas
mendapatkan tema yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan materi.
Laporan ini dikumpulkan ketika materi selesai sebagai syarat mengikuti
ulangan harian (Hasil wawancara dengan Murni Nurhati, tanggal 9 Januari
2015).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
85

Dengan adanya penugasan terhadap Keraton Kasepuhan Cirebon,


proses pembelajaran lebih menarik, kontekstual, dan inovatif. Hal ini tidak
lepas dari pengalaman langsung yang dimiliki oleh siswa. Adapun tujuan
penggunaan Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai Media Pembelajaran
Sejarah di SMA N 8 Cirebon adalah:
1) Memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang makna simbolik
dan filosofis arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon berdasarkan bukti-
bukti peninggalan yang masih dapat ditemukan, dapat dilihat dan diamati
secara langsung.
2) Meningkatkan proses pembelajaran sejarah agar lebih menarik,
kontekstual dan inovatif.
3) Mengembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, terutama
pemerintah setempat dalam rangka menambah wawasan dan
memperkaya materi ajar sejarah.
4) Memberikan pengalaman riil kepada peserta didik dalam proses
pembelajaran.
5) Memupuk kesadaran lingkungan bagi peserta didik.
6) Menumbuhkan rasa kecintaan peserta didik terhadap kearifan lokal yang
terdapat di sekitarnya.

b. Pemanfaatan Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai Media


Pembelajaran Sejarah di SMAN 8 Cirebon dalam Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 menuntut siswa dalam kemandirian belajar, maka
salah satu jenis metode pembelajaran sejarah yang digunakan oleh Guru
Sejarah di SMA N 8 Cirebon adalah dengan metode ceramah dan out of
class history teaching, yakni menerapkan metode ceramah dalam
pembelajaran sejarah baik menggunakan metode di dalam maupun di luar
kelas. Metode ini dilakukan dengan membawa siswa melihat objek-objek
konkrit yang sesungguhnya di luar ruangan atau kelas, sehingga siswa bisa
merasakan atau berempati dengan memaksimalkan kemampuan panca
inderanya, termasuk dalam hal ini adalah mengembangkan kemampuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
86

imajinasinya. Dengan begitu, peserta didik diharapkan mampu mengeksplor


pengetahuan yang telah dimiliki (Hasil wawancara dengan Murni Nurhati,
tanggal 9 Januari 2015).
Dalam pelaksanaannya, metode ceramah dan out of class history
teaching dapat dikombinasikan dengan menerapkan metode inquiry-
discovery. Inquiry artinya adalah mencari, maksudnya adalah peserta didik
diarahkan untuk mencari kemudian menemukan (discovery). Siswa
melakukan observasi langsung terhadap Keraton Kasepuhan Cirebon,
kemudian membuat laporan atau hasil observasi, selanjutnya guru
membahas bersama-sama mengenai hasil observasi tersebut. Dengan
metode ini peserta didik cenderung lebih aktif, sementara guru menjadi
fasilitator untuk membantu permasalahan-permasalahan peserta didik dalam
upaya mencapai tujuan pembelajaran (Hasil wawancara dengan Murni
Nurhati, tanggal 9 Januari 2015).
Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai salah situs peninggalan
sejarah yang sangat penting di Cirebon dapat dijadikan sebagai media yang
dapat mengantarkan tercapainya pembelajaran sejarah. Dengan
menempatkan media Keraton Kasepuhan Cirebon sebagai media autentik di
mana peserta didik dapat dibawa langsung untuk melihat ke situs tersebut.
Selanjutnya peserta didik diminta untuk mempraktikkan metode inquiry-
discovery dengan cara melakukan wawancara dan penelusuran informasi
dengan Badan Pengelola Keraton Kasepuhan maupun masyarakat di sekitar
Keraton Kasepuhan Cirebon.
Mengingat banyaknya keterbatasan ketika melakukan observasi
langsung, sehingga pembelajaran harus banyak dilakukan di ruang kelas,
maka pembelajaran sejarah juga dapat diwujudkan dalam bentuk rekaman.
Dalam bentuk rekaman di sini adalah berupa foto-foto yang memuat situs-
situs sejarah seperti Keraton Kasepuhan Cirebon misalnya. Foto-foto atau
rekaman itu memperlihatkan gambar secara rinci mengenai Keraton
Kasepuhan Cirebon (Hasil wawancara dengan Murni Nurhati, tanggal 9
Januari 2015). Berawal dari media dalam bentuk rekaman ini peserta didik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
87

selanjutnya diminta untuk menelusuri lebih jauh informasi atau rekaman


sejarah yang terkait dengan Keraton Kasepuhan Cirebon baik melalui media
cetak maupun elektronik.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai