Anda di halaman 1dari 36

PAPER

Masalah Hubungan Kerja Internal

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perilaku Organisasi

Dosen Pengampu : Dr. Dra. Ratna Widiastuti, M.T

Disusun Oleh :

● Aditya Permana (2253008)

● Daniel Butarbutar (2253010)

● Elma Kania (2253009)

FAKULTAS BISNIS

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG

TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Dalam suatu organisasi setiap orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan masing
masing, bersaing untuk mencapai kepentingannya masing-masing dalam organisasi tersebut. Hal
ini juga ditandai dengan perbedaan yang ada mengenai segala macam sifat dalam anggota
organisasi, untuk itu seorang karyawan maupun manajer dituntut untuk cerdas mengetahui macam
- macam karakter bawahan maupun rekan kerjanya, sehingga bisa berinterkasi dengan baik dan
menjadi menjadi manajer yang mampu mengetahui arah pemikiran seluruh karyawan yang
bekerja.

Di berbagai perusahaan pada umumnya banyak sekali fenomena yang terjadi seperti
karyawan yang baru masuk dan keluar silih berganti, banyak nya keluhan dari karyawan, banyak
juga karyawan yang mudah tersinggung ketika di kritik sehingga mengakibatkan ketidakpuasan
dalam bekerja. Dengan adanya keluhan ini sangat bisa menjadi faktor turunnya produktivitas
perusahaan, yang mana dapat diawali dari konflik antar karyawan dengan atasan maupun dengan
karyawan lain nya. Dalam hal ini sangat wajar jika dalam suatu perusahaan adanya konflik. Tetapi
jika di biarkan, masalah ini akan berdampak negatif bagi karyawan maupun perusahan.

Konflik merupakan sebuah aspek yang akan selalu ada dimanapun manusia berada atau
elemen yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri karena konflik tercipta dari
perilaku manusia. Konflik dalam pengertian yang lebih luas adalah sebuah proses yang dimulai
ketika salah satu pihak memandang pihak lainnya telah mempengaruhi secara negatif atau akan
berpengaruh secara negatif terhadap segala sesuatu hal yang dipedulikan oleh pihak pertama.
Terdapat kisaran yang luas mengenai pengalaman orang yang terlibat dalam konflik di dalam
organisasi seperti ketidaksesuaian tujuan, perbedaan atas interpretasi kenyataan, ketidaksepakatan
yang berdasarkan pada ekspektasi atas perilaku, dan sebagainya.
BAB II

KAJIAN TEORI

1. Hubungan dan Komunikasi dalam Internal Organisasi

Suatu perusahaan dasarnya adalah suatu organisasi yang pada dasarnya memiliki pimpinan
dan bawahan yang bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan, yang dimana dalam prosesnya,
dalam perusahaan ini akan terjadi komunikasi 2 arah, secara Horizontal maupun vertikal sehingga
hubungan mutualisme pun dapat terjalin. Dalam penjelasan Komunikasi internal Lawrence D.
Brennan dalam Effendy (2006:122) berpendapat bahwa pertukaran gagasan diantara para
pimpinan dan karyawan dalam suatu perusahaan yang menyebabkan terwujudnya tujuan,
perusahaan tersebut lengkap dengan struktur yang khas dan pertukaran gagasan secara horizontal
dan vertikal di dalam perusahaan atau jawatan yang menyebabkan pekerjaan berlangsung.
Sedangkan menurut Yulianita, ia berpendapat bahwa, komunikasi internal yaitu komunikasi yang
terjadi di antara orang-orang yang berada dalam suatu perusahaan. Komunikasi Personal adalah
komunikasi dua orang yang dimana dijelaskan sebagai berikut:

● Komunikasi tatap muka (face to face communication) Komunikasi persona tatap


muka berlangsung secara 2 arah sambil saling menatap sehingga terjadi kontak
pribadi (personal contact).

● Komunikasi bermedia (mediated communication) Komunikasi persona bermedia


adalah komunikasi dengan menggunakan alat, umpamanya telepon atau
memorandum. Karena melalui alat, maka antara kedua orang tersebut tidak terjadi
kontak pribadi.

Satu dari tujuan komunikasi internal adalah membantu orang untuk secara memadai
melakukan pekerjaan mereka.
1.1 Hubungan dan Komunikasi Vertikal

Dalam hubungan internal perusahaan, Komunikasi vertikal bisa disebut juga komunikasi
ke bawah dan komunikasi ke atas. Adapun pengertian dari komunikasi ke atas dan komunikasi ke
bawah sebagai berikut.

A. Komunikasi ke bawah

Davis dalam (Pace dan Faules, 2010: 184) menyatakan komunikasi ke bawah dalam sebuah
organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari jabatan berotoritas tinggi kepada mereka yang
berotoritas lebih rendah. Biasanya kita beranggapan bahwa informasi bergerak dari manajemen
kepada para pegawai; namun, dalam organisasi kebanyakan hubungan ada pada internal kelompok
manajemen. Ada lima jenis informasi yang biasa dikomunikasikan dari atasan kepada bawahan
(Katz & Kahn, 1966 dalam Pace dan Faules, 2010: 186):

(1). Informasi mengenai bagaimana melakukan pekerjaan, (2). Informasi mengenai dasar
pemikiran untuk melakukan pekerjaan, (3). Informasi mengenai kebijakan dan praktik-praktik
organisasi, (4). Informasi mengenai kinerja pegawai, dan (5). Informasi untuk mengembangkan
rasa memiliki tugas (sense of mission). Para pegawai di seluruh tingkat organisasi merasa perlu
diberi informasi. Manajemen puncak hidup dalam dunia informasi. Kualitas dan kuantitas
informasi harus tinggi agar dapat membuat keputusan yang bermanfaat dan cermat. Manajemen
puncak harus memiliki informasi dari semua unit dalam organisasi, dan harus memperoleh
informasi untuk semua unit. Aliran informasi dari manajemen puncak yang turun ke tingkat
operatif merupakan aktivitas yang berkesinambungan dan sulit. Pemilihan cara menyediakan
informasi mencakup tidak hanya pengeluaran sumber daya langsung moneter tetapi juga sumber
daya psikis dan emosional. Fungsi komunikasi dari atas kebawah adalah untuk : instruksi
(perintah), briefing (pengarahan), melakukan penilaian, penanaman ideologi, pemberian
penghargaan, melakukan teguran, pemberian insentif dan tunjangan.

B. Komunikasi ke atas

Komunikasi ke atas dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari tingkat
yang lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (penyelia). Semua pegawai dalam sebuah
organisasi, kecuali mungkin mereka yang menduduki posisi puncak, mungkin berkomunikasi ke
atas yaitu, setiap bawahan dapat mempunyai alasan yang baik atau meminta informasi dari atau
memberi informasi kepada seseorang yang otoritasnya lebih tinggi dari pada dia. Suatu
permohonan atau komentar yang diarahkan kepada individu yang otoritasnya lebih besar, lebih
tinggi, atau lebih luas merupakan esensi komunikasi ke atas. Komunikasi ke atas penting karena
beberapa alasan. Kebanyakan analisis dan penelitian dalam komunikasi ke atas menyatakan bahwa
penyelia dan manajer harus menerima informasi dari bawahan mereka yang:

i. Memberitahukan apa yang dilakukan bawahan – pekerjaan mereka,


prestasi, kemajuan, dan rencana-rencana untuk waktu mendatang.

ii. Menjelaskan persoalan-persoalan kerja yang belum dipecahkan bawahan


yang mungkin memerlukan beberapa macam bantuan.

iii. Memberikan saran atau gagasan untuk perbaikan dalam unit-unit mereka
atau dalam organisasi sebagai suatu keseluruhan.

iv. Mengungkapkan bagaimana pikiran dan perasaan bawahan tentang


pekerjaan mereka, rekan kerja mereka dan organisasi, sehingga hubungan
timbal balik tetap positif.

1.2. Hubungan dan Komunikasi Horizontal

Komunikasi horizontal terdiri dari penyampaian informasi di antara rekan- rekan sejawat
dalam unit kerja yang sama. Unit kerja meliputi individu-individu yang ditempatkan pada tingkat
otoritas yang sama dalam organisasi dan mempunyai atasan yang sama. Jadi, di universitas, unit
kerja dapat berubah sesuai jurusan. Jurusan komunikasi, jurusan perilaku organisasi, dan jurusan
ilmu pengajaran semuanya meliputi dosen-dosen yang dipimpin oleh seorang ketua jurusan.
Komunikasi diantara dosen-dosen dalam sebuah jurusan disebut komunikasi horizontal.
Komunikasi dosen yang satu dengan dosen yang lainnya disebut komunikasi lintas saluran, yaitu
informasi yang diberikan melewati batas-batas fungsional atas batasan unit kerja, dan diantara
orang-orang yang satu sama lainnya tidak saling menjadi atasan dan bawahan. Tujuan komunikasi
horizontal dikelompokan sebagai berikut sebagai berikut:

a. Koordinasi dalam penugasan kerja.


b. Sharing info tentang rencana, kegiatan dan keberlangsungan tugas.

c. bekerja sama dalam memecahkan masalah.

d. Untuk menumbuhkan hubungan positif dan saling support satu sama lain.

Pace dan Faules (2010:185) berpendapat bahwa dalam komunikasi horizontal hambatan
yang terjadi saling mempengaruhi dari komunikasi ke atas dan komunikasi ke bawah.
Ketidakpercayaan diantara rekan-rekan kerja, perhatian yang tinggi pada mobilitas ke atas, dan
persaingan dalam sumber daya dapat mengganggu komunikasi pegawai yang sama tingkatnya
dalam organisasi dengan sesamanya.

2. Konflik

Dalam perjalanan suatu organisasi mencapai tujuannya, prosesnya tidak selalu berjalan
mulus, kadangkala terjadi suatu permasalahan yang menghambat jalannya organisasi,
penyebabnya berasal dari external maupun internal organisasi. Jika permasalahan berasal dari
eksternal maka organisasi, dapat melakukan langkah problem solving atau adaptasi dalam decision
makingnya, sedangkan dalam kasus permasalahan internal, hal tersebut bisa jadi karena konflik
yang melibatkan manusia-manusia dalam organisasi tersebut. Konflik merupakan sebuah proses
yang dimulai ketika salah satu pihak memandang pihak lainnya telah mempengaruhi secara
negatif atau akan berpengaruh secara negatif terhadap segala sesuatu hal yang dipedulikan
oleh pihak pertama, Luthans, F. berpendapat (dalam wahyudi, 2017) bahwa perilaku konflik
dimaksud adalah perbedaan kepentingan/ minat, perilaku kerja, perbedaan sifat individu, dan
perbedaan tanggung jawab dalam aktivitas organisasi. Pendapat yang hampir sama
dikemukakan oleh Walton, R. E. yang menyatakan bahwa konflik organisasi adalah perbedaan
ide atau inisiatif antara bawahan dengan bawahan, manajer dengan manajer dalam
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan (coordinated activities).

2.1. Jenis Konflik

Dalam memahami konflik yang terjadi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi tipe
dari ketidaksepakatan, dan alasan dari konflik tersebut. Berikut adalah pengertian dari berbagai
macam konflik :
a. Konflik Tugas adalah konflik tentang kandungan dan tujuan dari pekerjaan.

b. Konflik Hubungan adalah konflik yang didasarkan pada hubungan interpersonal.


Hasil studi menunjukan sedikitnya dalam penetapan pekerjaan, hampir selalu
mengalami kegagalan fungsi, karena gesekan dan permusuhan interpersonal sangat
melekat dalam konflik hubungan yang meningkatkan bentrokan kepribadian dan
menurunkan saling pengertian bersama, yang mana menghambat penyelesaian dari tugas
organisasi.

c. Konflik Proses, adalah Konflik mengenai bagaimana pekerjaan akan diselesaikan

2,2. Penyebab Konflik

Penyebab Konflik Konflik didalam organisasi dapat disebabkan faktor-faktor sebagai


berikut:

A. Faktor Manusia

Faktor manusia, Timbul karena ciri-ciri individual, antara lain egoistis, temperamental,
sikap fanatik, dan sikap otoriter. Menurut Robbins (2015) jika bekerja dengan seseorang
yang memiliki tingkah laku positif hal tersebut akan mempengaruhi dan menginspirasi untuk
melakukan yang terbaik dan jika bergabung dengan sebuah tim yang tidak bersemangat maka akan
mengeringkan motivasi dan terpengaruh dengan iklim tersebut.

B. Faktor organisasi

Hal tersebut terjadi, jika sumberdaya baik berupa uang, material atau sarana lainnya
terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan
potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.Sumber daya menurut
Barney (dalam Robbins, 1994 ) meliputi semua asset seperti, proses organisasi, atribut, informasi,
dan pengetahuan. Sumber daya organisasi dapat menyusun dan mengimplementasikan strategi
yang meningkatkan efisiensi dan efektivitias.
C. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi

Setiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan
bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut, padahal
dalam proses suatu organisasi (skala kecil atau pun sudah dalam skala perusahaan) mencapai
tujuannya, sumber daya manusia didalamnya walau memiliki motif, tujuan pribadi yang berbeda-
beda, harus memiliki suatu kesadaran dimana mereka harus memprioritaskan tujuan organisasi
atau perusahaan terlebih dahulu sehingga mampu menjalankan atau menerapkan manajemen yang
efektif, efisien, dan produktif.

D. Interdependensi tugas

Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari
kelompok lainnya. Menurut Robbins (2015) keterlibatan menjadi sebuah fokus utama untuk
kebanyakan organisasi karena kebanyakan survei mengindikasikan bahwa sedikit pekerja yang
memiliki keterlibatan yang tinggi terhadap pekerjaannya.

E. Masalah Status

Konflik dapat terjadi karena suatu unit atau departemen mencoba memperbaiki dan
meningkatkan status, sedangkan unit atau departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu
yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi. Robbins (2015) status merupakan
suatu posisi yang didefinisikan secara sosial peringkat yang diberikan kepada kelompok atau
para anggota kelompok oleh orang lain. Penting bagi para anggota kelompok untuk meyakini
hierarki status tersebut adil. Hal yang dianggap sebagai ketidakadilan akan menciptakan
ketidakseimbangan yang mana menginspirasi bermacam-macam tipe perilaku yang korektif.

F. Hambatan komunikasi

Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan


kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit atau departemen. Menurut Anwar
(2015) hal yang paling penting adalah kemampuan komunikasi yang dimiliki oleh setiap
individu karena itu merupakan faktor penentu kesuksesan setiap individu maupun organisasi
untuk bertahan dalam persaingan bisnis. Menurut Covey dalam (Chaerul Anwar, 2015) untuk
membangun komunikasi yang efektif diperlukan lima dasar penting yaitu usaha untuk benar-
benar mengerti orang lain, kemampuan untuk memenuhi komitmen, kemampuan untuk
menjelaskan harapan, kemauan untuk meminta maaf secara tulus jika melakukan
kesalahan, dan kemampuan memperlihatkan integritas.

Contoh Konflik masalah internal:

PT Golden Castle ( atau PT. A, jika mau di samarkan), bergerak dalam bidang konveksi
atau textil, mengalami konflik antara perusahaan dengan karyawan. Konflik ini terjadi yang
disebabkan oleh adanya miss-communication antara atasan dengan karyawan. Adanya perubahan
kebijakan dalam perusahaan mengenai penghitungan gaji atau upah kerja karyawan , namun pihak
perusahaan belum memberitahukan para karyawan, sehingga karyawan merasa diperlakukan
semena-mena oleh pihak perusahaan. Berdasarkan kajian teori kelompok yang kami bahas, faktor
yang berterima dari permasalahan tersebut adalah, Faktor manusia yang dimana berfokus pada
hubungan dan komunikasi vertikal antara karyawan dan atasan yang membuat kebijakan dan
memiliki kewajiban untuk memberi upah. Dalam permasalahan tersebut ada miskomunikasi
karena hambatan komunikasi antara kedua belah pihak.

Kasus 2

PT YOUNG MACHINE, bergerak dalam bidang konveksi atau textil, mengalami konflik
antara perusahaan dengan karyawan. Konflik ini terjadi disebabkan oleh adanya miss
communication antara atasan dengan karyawan. Adanya perubahan kebijakan dalam perusahaan
mengenai penghitungan gaji atau upah kerja karyawan , namun pihak perusahaan belum
memberitahukan para karyawan, sehingga karyawan merasa diperlakukan semena-mena oleh
pihak perusahaan. Para karyawan mengambil tindakan yaitu dengan mendemo perusahaan, Namun
tindakan ini berujung pada PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan. Perubahan
kebijakan dalam perusahaan ditengarai karena turunnya jumlah produktivitas perusahaan.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Hubungan Karyawan Internal

Status sebagian besar karyawan tidaklah tetap secara permanen di dalam sebuah organisasi.
Para karyawan secara konstan bergerak ke atas, secara lateral ke dalam dan keluar dari organisasi.
Dalam rangka memastikan bahwa para karyawan dengan keahlian, pengalaman dan dedikasi yang
tepat selalu ada dan tersedia pada semua lapisan, upaya- upaya dibutuhkan guna memelihara
hubungan karyawan internal yang baik. Program hubungan karyawan yang tertata dan
terimplementasi dengan baik sangat menguntungkan bagi organisasi dan internalnya. Hubungan
karyawan internal (internal employee relations) terdiri atas aktivitas-aktivitas manajemen sumber
daya manusia yang berhubungan dengan perpindahan para karyawan di dalam organisasi.
Aktivitas-aktivitas manajemen sumber daya manusia memasukkan tindakan-tindakan promosi,
transfer, demosi, pengunduran diri, pemecatan, pemberhentian, dan pensiun Tindakan disiplin dan
disipliner juga merupakan aspek krusial dari hubungan karyawan internal.

B. Tindakan Disipliner

Disiplin (discipline) adalah prosedur yang mengoreksi atau menghukum bawahan karena
melanggar peraturan atau prosedur. Disiplin merupakan bentuk pengendalian diri karyawan dan
pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesungguhan tim kerja di dalam sebuah
organisasi. Tindakan disipliner (disciplinary action) menuntut suatu hukuman terhadap karyawan
yang gagal memenuhi standar-standar yang ditentukan. Tindakan disipliner yang dilaksanakan
tidak benar adalah destruktif bagi karyawan dan organisasi. Dengan demikian, tindakan disipliner
haruslah tidak diterapkan secara serampangan.

Aspek hubungan internal karyawan yang perlu, tetapi sering berat, adalah penerapan tindakan
disipliner. Tindakan disipliner tidak selalu menjadi jawaban awal manajemen terhadap suatu
masalah. Normalnya, terdapat beberapa cara positif memastikan para karyawan mematuhi
kebijakan-kebijakan perusahaan yang perlu untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
Bagaimanapun, para manajer mestilah melaksanakan tindakan disipliner pada saat kebijakan-
kebijakan perusahaan dilanggar. Kebijakan- kebijakan disipliner memberikan organisasi
kesempatan yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan organisasional, dan dengan demikian,
menguntungkan perusahaan dan karyawan. Tidak hanya terdapat kebutuhan untuk kebijakan
seperti itu, tetapi suatu proses haruslah juga ada untuk membantu para karyawan dalam
pertimbangan tindakan-tindakan disiplin. Karena tindakan disiplin merupakan interaksi antara
manusia, prosesnya kadang kala bias dan emosional dan oleh karena itu tindakan-tindakan seperti
itu tidak selalu dibenarkan Tindakan-tindakan yang tidak dapat dibenarkan adalah tidak adil bagi
karyawan yang terlibat, counterproductive, dan telah menyebabkan kehilangan status bebas serikat
pekerja pada beberapa perusahaan. Hal ini juga memicu pemogokan liar (wildcat strike), walk-out
dan perlambatan pekerjaan pada perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja.
Bahkan meskipun para karyawan tidak bereaksi secara terang-terangan terhadap tindakan-
tindakan disiplin yang tidak dapat dibenarkan, moral kerja karyawan kemungkinan merosot, yang
dapat secara negatif mempengaruhi perusahaan.

Pertama, terdapat disiplin manajerial (managerial discipline), di mana segala sesuatu tergantung
pada pemimpin, dari permulaan hingga akhir. Terdapat sekelompok orang yang dapat menjawab
seseorang yang akan mengarahkan apa harus mereka lakukan. Hanya melalui arahan individual
lah kelompok tersebut membuahkan kinerja yang berharga. Segala sesuatu tergantung pada
pemimpin.

Kedua, terdapat disiplin tim (team discipline), di mana kesempurnaan kinerja bermuara dari saling
ketergantungan satu sama lain, dan saling ketergantungan ini berasal dari suatu komitmen oleh
setiap anggota terhadap keseluruhan organisasi kegagalan satu orang akan menjadi kejatuhan
semua orang. Hal ini biasanya dijumpai dalam kelompok-kelompok kerja yang relatif kecil.

Ketiga, terdapat disiplin diri (self discipline) di mana pelaksana tunggal seperuhnya tergantung
pada pelatihan, ketangkasan, dan kendali diri.

Tindakan disipliner dapat pula membantu karyawan supaya menjadi lebih produktif, dengan
demikian menguntungkannya dalam jangka panjang. Sebagai misal, jika seorang karyawan
didisiplinkan karena kegagalan memantau kualitas keluarannya dan kualitas ditingkatkan setelah
tindakan disiplin hal ini akan berfaedah dalam pengembangan karyawan yang bersangkutan.
Karena kinerja yang meningkat individu mungkin memperoleh promosi atau kenaikan gaji
Karyawan diingatkan mengenai apa yang diharapkan dan memenuhi persyaratan-persyaratan
tersebut dengan lebih baik. Tindakan disipliner yang elektif dapat mendorong individu untuk
meningkatkan kinerja yang pada akhirnya menghasilkan pencapaian pada individu tersebut.

Sebab-sebab masalah disiplin karyawan:

Terdapat dua sumber masalah disiplin karyawan: sumber-sumber organisasional dan sumber-
sumber individu (karyawan). Dalam banyak kejadian, praktik-praktik sumber daya manusia yang
menyedihkan memberikan kontribusi pada masalah- masalah disiplin. Sebagai contoh, orang-
orang dengan riwayat kinerja bermasalah atau tidak dapat diterima kemungkinan diangkat oleh
perusahaan apabila referensi tidak dicek atau diverifikasi. Penempatan karyawan-karyawan secara
ceroboh di dalam pekerjaan- pekerjaan yang tidak sesuai bagi mereka dapat menimbulkan
program- program pelatihan yang serampangan dan tidak memadai dapat menyebabkan
inefisiensi-inefisiensi, perasaan tidak puas dan frustasi, dan risiko-risiko keselamatan kerja
semuanya berpotensi melahirkan insiden-insiden disipliner. Penyedia bisa menyumbangkan
permasalahan disiplin melalui penerapan peraturan-peraturan yang favoritisme, dan kegagalan
mengkomunikasikan standar-standar dan ekspektasi- ekspektasi kinerja yang memadai.
Kendatipun sebagian besar karyawan bersedia tunduk kepada kebijakan-kebijakan dan peraturan-
peraturan kerja yang mereka anggap masuk akal dan adil, mereka akan mempertanyakan dan
mengují kebijakan-kebijakan yang tampaknya berat sebelah dan tidak masuk akal.

Disiplin yang keliru:

Beberapa kekeliruan yang terjadi dalam proses disiplin dalam latar pekerjaan meliputi:

a) Disiplin punitif (punitive discipline). Disiplin punitif, kadang kala disebut juga
disiplin negatif, adalah disiplin melalui ketakutan. Disiplin punitif kerap melibatkan
ancaman- ancaman, pelecehan-pelecehan, intimidasi, dan gertakan- gertakan. Dewasa ini
disiplin punitif mulai jarang diterapkan, sebagian karena perlindungan dari serikat pekerja
dan adopsi teknik-teknik hubungan manusia.

b) Umpan balik negatif (negative feedback). Beberapa penyelia memberikan umpan


balik kepada para karyawan hanya pada saat terjadi kinerja yang tidak memuaskan dan
gagal memberikan pengukuhan positif pada saat kinerjanya meningkat atau pada saat suatu
tugas diselesaikan dengan baik. Umpan balik hendaknya positif dan juga negatif,
tergantung pada tingkat kinerja karyawan.

c) Intervensi terlambat (late intervention). Bentuk disiplin ini terjadi pada saat
penyelia membiarkan permasalahan berlarut-larut hingga mencapai tingkat serius.
Permasalahannya mungkin kecil pada permulaannya, namun ketidakpedulian penyelia
terhadap situasi menyebabkan kinerja yang tidak memuaskan itu menjadi suau kebiasaan
dan menjadi sulit diubah.

d) Definisi yang tidak memadai (inadequate definition). Selama sesi konseling untuk
meralat permasalahan kinerja, penyelia mungkin menyatakan kepada karyawan bahwa dia
"tidak kooperatif," "tidak loyal, atau tidak bisa menjadi "pemain tim. Menggarisbawahi
masalah-masalah kinerja dalam istilah-istilah yang samar-samar dan mendua seperti itu
hanya akan membingungkan dan menjengkelkan karyawan.

e) Menunjuk karyawan, bukan perilaku, Kinerja yang tidak memuaskan dapat


menyebabkan karyawan itu dicap malas atau tidak gesit oleh penyelia. Cap seperti itu
mengandung dua masalah pokok. Pertama, karyawan mungkin membawa cap tersebut ke
pekerjaan-pekerjaan dan unit-unit kerja lainnya dan akhirnya cap tersebut menjadi
kenyataan. Kedua, deskripsi-deskripsi seperti itu terpusat pada karyawan dan bukan pada
tindakan yang tidak memuaskan yang sebenarnya harus mendapat perhatian.

f) Tanggung jawab yang salah tempat. Penyelia kerap menyadari bahwa mereka
sendiri pun kerap menyumbang pada masalah-masalah kinerja karyawannya. Manakala
keseluruhan tanggung jawab pengubahan perilaku jatuh ke pundak karyawan dan tidak
terjadi perubahan, maka penyelia menjatuhkan tindakan disiplin lebih keras.Namun, tanpa
perubahan perilaku kepenyeliaan, perubahan perilaku karyawan kecil kemungkinannya
terjadi.

Disiplin preventif:

Dari semua pendekatan terhadap disiplin, disiplin preventif (preventive discipline) yang
paling digemari. Melalui disiplin preventif, para karyawan dikelola dalam suatu cara yang
mencegah perilaku-perilaku terkena tindakan disiplin. Dalam upaya menciptakan
lingkungan kerja yang menunjang pendekatan disiplin preventif, manajer- manajer perlu
mengikuti hal-hal berikut:

a) Menyelaraskan karyawan dengan pekerjaannya melalui seleksi, pengujian, dan


prosedur-prosedur penempatan yang efektif.

b) Mengorientasikan karyawan secara benar kepada pekerjaan dan memberikan


pelatihan yang diperlukan.

c) Menjelaskan perilaku karyawan yang tepat.

d) Memberikan umpan balik yang positif dan konstruktif kepada para karyawan
tentang kinerja

e) Memungkinkan para karyawan mengutarakan masalah-masalah mereka kepada


manajemen melalui teknik-teknik seperti kebijakan pintu terbuka dan pertemuan-
pertemuan kelompok manajemen-karyawan.

Kegunaan disiplin di dalam organisasi:

Organisasi dapat mengambil beberapa pendekatan terhadap disiplin. Terdapat empat


perspektif dasar menyangkut disiplin (lihat Tabel 2). Disiplin retributif (retributive
discipline) terutama berusaha menghukum orang yang berbuat salah. Disiplin korektif
(corrective discipline) berupaya membantu karyawan mengoreksi perilaku yang tidak
tepat. Perspektif hak-hak individu (individual rights perspective) berupaya melindungi

hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner, sedangkan perspektif


utilitarian (utilitarian perspective) terfokus pada penggunaan disiplin hanya pada saat
konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.

Tindakan-tindakan disipliner dapat terentang mulai dari pembicaraan-pembicaraan informal dan


konseling dengan seorang karyawan, meminta karyawan berpartisipasi dalam program bantuan
karyawan formal untuk membenahi masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan
alkohol, hingga melakukan skors atas karyawan. Bentuk disiplin yang paling keras adalah
pemberhentian karyawan. Terdapat sejumlah faktor yang menentukan (1) bagaimana seorang
manajer memutuskan apakah seorang karyawan bersalah karena pelanggaran yang dapat dihukum,
dan (2) tingkat hukuman seperti apa yang akan diberikan, jika memang ada.

C. Proses Tindakan Disipliner

Proses tindakan disipliner adalah dinamik dan berkelanjutan. Karena tindakan- tindakan seseorang
dapat mempengaruhi yang lainnya dalam kelompok kerja, penerapan tindakan disipliner yang
tepat membantu perkembangan dari perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh anggota-anggota
kelompok. Sebaliknya, pelaksanaan tindakan disiplin yang tidak tepat dapat memiliki efek yang
merusak pada anggota-anggota kelompok lainnya.

Perubahan-perubahan lingkungan internal perusahaan dapat pula mengubah proses disipliner.


Melalui pengembangan organisasional, perusahaan dapat mengubah kulturnya.
Proses tindakan disipliner berhubungan luas dengan pelanggaran peraturan-peraturan. Peraturan
adalah pedoman khusus bagi perilaku pada pekerjaan. Sebagai contoh, peraturan perusahaan
mungkin melarang merokok di daerah-daerah tertentu, dan mengharuskan topi proyek dipakai di
daerah-daerah berbahaya untuk alasan keselamatan kerja.

Setelah manajemen menyusun peraturan-peraturan, manajemen sebaiknya mengkomunikasikan


peraturan-peraturan tersebut kepada para karyawan.

Sepanjang perilaku karyawan tidak berbeda dari praktik- praktik yang dapat diterima, tidak ada
perlunya tindakan-tindakan disipliner. Tetapi pada saat perilaku seorang karyawan melanggar
suatu aturan, tindakan korektif mungkin diperlukan. Tujuan tindakan ini adalah mengubah tipe
perilaku yang dapat memiliki dampak negatif terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasional
tidak sekadar menghukum pelanggar.

Pendekatan-pendekatan tindakan disipliner:

Beberapa konsep mengenai pelaksanaan tindakan disipliner telah dikembangkan. Terdapat


tiga konsep dalam pelaksanaan tindakan disipliner: aturan tungku panas (hot stove rule), tindakan
disiplin progresif (progressive discipline), dan tindakan disiplin positif (positive discipline).
Pendekatan-pendekatan aturan tungku panas dan tindakan disiplin progresif terfokus pada perilaku
masa lalu. Sedangkan pendekatan disiplin positif berorientasi ke masa yang akan datang karena
bekerja sama dengan para karyawan untuk memecahkan masalah-masalah sehingga masalah itu
tidak timbul lagi.

A. Aturan tungku panas

Sebuah pendekatan untuk melaksanakan tindakan disipliner disebut sebagai aturan tungku panas
(hot stove rule). Menurut pendekatan ini, tindakan disipliner haruslah memiliki konsekuensi yang
analog dengan menyentuh sebuah tungku panas:

1) Membakar dengan segera. Jika tindakan disipliner akan diambil, tindakan itu mestilah
terjadi dengan segera sehingga individu memahami alasan tindakan tersebut. Dengan berlalunya
waktu, orang memiliki tendensi meyakinkan mereka sendir bahwa dirinya tidak salah yang
cenderung sebagian menghapuskan efek-efek disipliner yang terdahulu.
2) Memberi peringatan. Hal ini juga sangat penting untuk memberi peringatan sebelumnya
bahwa hukuman akan mengikuti perilaku yang tidak dapat diterima. Pada saat individu-individu
bergerak semakin dekat dengan suatu tungku panas, mereka diperingatkan oleh panasnya tungku
tersebut bahwa mereka akan terbakar jika mereka menyentuhnya, dan oleh karena itu mempunyai
kesempatan menghindari terbakar jika mereka memilih demikian.

3) Memberikan hukuman yang konsisten. Tindakan disipliner haruslah juga konsisten dalam
mana setiap orang yang melakukan tindakan yang sama akan dihukum sesuai dengan hukum yang
berlaku. Seperti pada tungku panas, setiap orang yang menyentuhnya dengan tingkat tekanan yang
sama, dan pada periode waktu yang sama, akan terbakar pada tingkat yang sama pula. Disiplin
yang konsisten berarti:

a. Setiap karyawan yang terkena disiplin harus menerimanya/menjalaninya.

b. Setiap karyawan yang melakukan pelanggaran yang sama akan mendanat ganjaran disiplin
yang sama.

c. Disiplin diberlakukan dalam cara yang sepadan kepada segenap karyawan.

4) Membakar tanpa membeda-bedakan. Tindakan disipliner haruslah tidak membeda


bedakan. Tungku panas membakar setiap orang yang menyentuhnya- tanpa memilih-milih.
Penyelia menitik beratkan pada perilaku yang tidak memuaskan, bukan pada karyawannya sebagai
pribadi yang buruk. Cara paling efektif mencapai tujuan ini adalah melakukan konseling korektif.
Penyelia lebih menekankan bagaimana masalah disiplin tersebut dapat dipecahkan. Penyelia
mengambil tindakan disiplin dalam lingkungan yang suportif, memusatkan pada perbaikan kinerja
daripada penjatuhan hukuman. Meskipun pendekatan tungku panas memiliki beberapa kelebihan,
pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Jika keadaan yang mengitari semua situasi
disipliner adalah sama, tidak akan ada masalah dengan pendekatan ini.

Meskipun begitu, situasi- situasi sering sungguh berbeda, dan banyak variabel yang mungkin ada
dalam setap kasus disipliner individu. Sebagai contoh, apakah organisasi menghukum karyawan
yang loyal dan telah bekerja selama dua puluh tahun sama dengan individu yang baru bekerja
selama enam minggu? Dengan demikian, penyelia sering menjumpai bahwa ia tidak dapat benar-
benar konsisten dan impersonal dalam mengambil tindakan disipliner. Karena situasi berbeda-
beda, tindakan disipliner progresif mungkin lebih realistik-dan lebih menguntungkan bagi
karyawan dan organisasi.

b) Tindakan disiplin progresif

Tindakan disiplin progresif (progressive discipline) dimaksudkan untuk memastikan bahwa


dijatuhkan hukuman minimal yang tepat terhadap pelanggaran.

Tujuan rancangan ini adalah membentuk program disiplin yang berkembang mulai dari hukuman
yang ringan hingga yang sangat keras. Disiplin progresif dirancang untuk memotivasi karyawan
agar mengoreksi kekeliruannya secara sukarela. Penggunaan tindakan jawaban serangkaian
pertanyaan mengenai kerasnya pelanggaran. Manajer mestilah mengajukan pertanyaan-pertanyaan
ini secara berurutan untuk menentukan tindakan meliputi jawaban.
c) Tindakan disiplin positif

Dalam banyak situasi, hukuman tidaklah memotivasi karyawan mengubah suatu perlaku.
Namun, hukuman hanya mengajar seseorang agar takut atau membenci pemberi hukuman yakni,
penyelia. Penekanan pada hukuman ini dapat mendorong para karyawan untuk menipu penyelia
mereka daripada mengoreksi tindakan- tindakannya. Tindakan disipliner positif dimaksudkan
untuk menutupi kelemahan tadi, yang mendorong para karyawan memantau perilaku-perilaku
mereka sendin dan memikul tanggungjawab atas konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan
mereka. Disiplin positif bertumpukan pada konsep bahwa para karyawan mesti memikul tanggung
jawab atas tingkah laku pribadi mereka dan persyaratan- persyaratan pekerjaan. Prasyarat yang
perlu bagi disiplin positif adalah pengkomunikasian persyaratan- persyaratan pekerjaan dan
peraturan-peraturan kepada para karyawan. Setiap orang mesti mengetahui, pada saat diangkat jadi
pegawai dan seterusnya, apa yang diharapkan oleh penyelia dan manajemen, Standar-standar
kinerja hendaklah wajar, dapat dicapai dengan upaya yang masuk akal, dan konsisten dari satu
pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Penyelia seyogyanya mengkomunikasikan jenis perilaku
karyawan yang diharapkan daripada sekadar membeberkan daftar larangan yang berlimpah
Tindakan disiplin positif tindakan ini juga menggunakan serentetan langkah yang akan
meningkatkan urgensi dan kerasnya hukuman sampai ke langkah terakhir, yakni pemecatan.
Sungguhpun begitu, disiplin positif mengganti hukuman yang digunakan dalam disiplin progresif
dengan sesi- sesi konseling antara karyawan dan penyelia. Sesi-sesi ini dimaksudkan agar
karyawan belajar dari kekeliruan-kekeliruan dan memulai rencana untuk membuat suatu
perubahan positif dalam perilakunya. Alih-alih menimpakan kesalahan pada karyawan, penyelia
menekankan pemecahan masalah kolaboratif.

D. Pelaksanaan dan Pengelolaan Tindakan Disipliner

Tindakan disipliner bukanlah tugas supervisi yang menyenangkan. Banyak manajer yang
mendapati bahwa tugas tersebut sangat sulit.

Prinsip-prinsip baku disiplin:


Beberapa prinsip baku disiplin hendaknya berlaku bagi semua pelanggaran peraturan, baik
pelanggaran besar maupun pelanggaran ringan. Prinsip-prinsip berikut menggambarkan elemen
yang sangat penting dari sistem disiplin yang efektif, antara lain:

a) Prosedur dan kebijakan yang pasti

Merupakan tanggung jawab jajaran manajemen puncak untuk menaruh perhatian serius pada
kebutuhan untuk mencapai kondisi disiplin yang sehat di seluruh organisasi. Manajemen puncak
harus memutuskan jenis perilaku apa yang diharapkannya dari para karyawan dan bagaimana
mencapainya. Tujuannya adalah untuk menciptakan bentuk disiplin yang konstruktif dan positif
melalui kepemimpinan yang sehat dan pelatihan yang memadai bagi segenap karyawan.

Prosedur-prosedur disiplin hendaknya mengikuti serangkaian tindakan yang sudah ditetapkan


daripada berlainan dari hari ke hari dari satu penyelia ke penyelia yang lainnya. Konsistensi
tindakan seyogyanya ditegakkan di seluruh organisasi. Sistem disiplin patut dirancang secara
cermat baik oleh manajemen saja ataupun upaya manajemen dan perwakilan-perwakilan serikat
pekerja.

b) Tanggungjawab penyeliaan

Penyelia-penyelia biasanya bertanggung jawab untuk memulai tindakan disipliner. Sebagian besar
organisasi tergantung pada penyelia-penyelia guna mengevaluasi bawahan-bawahan dan
mengambil tindakan pertama pada saat muncul masalah- masalah. Penyelia biasanya mempunyai
otoritas mengeluarkan peringatan- peringatan verbal dan teguran –teguran lisan. Jika dibutuhkan
teguran tertulis, penyelia biasanya mempersiapkan teguran dengan mengkonsultasikannya kepada
manajemen jenjang berikutnya. Jika terdapat perjanjian kerja, penyelia juga harus
mengkonsultasikannya dengan departemen sumber daya manusia guna memastikan bahwa teguran
tertulis adalah konsisten dengan prosedur-prosedur yang dibakukan dalam perjanjian kerja.

c) Komunikasi peraturan-peraturan

Para karyawan hendaknya mengetahui peraturan-peraturan perusahaan dari standar-standar serta


konsekuensi-konsekuensi pelanggaran terhadapnya. Setiap karyawan dan penyelia hendaknya
memahami secara penuh kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur disiplin. Karyawan-
karyawan yang melanggar suatu peraturan atau tidak memenuhi kriteria kinerja hendaknya diberi
peluang mengoreksi perilaku mereka. Karyawan harusnya mengetahui dan memahami peraturan
sebelum bertanggung jawab atasnya. Karyawan biasanya diberitahu tentang peraturan perusahaan
melalui buku manual perusahaan dan program- program orientasi karyawan baru. Untuk
pelanggaran pertama, seseorang diberikan kesempatan dan diperingati tentang konsekuensi dari
tindakannya namun tidak dihukum. Pengecualiaan tentunya berlaku jika kesalahan yang dilakukan
adalah pelanggaran yang dikenakan hukuman seperti minum bir di tempat kerja, mencuri barang
perusahaan, dan secara sengaja merusak barang-barang perusahaan.

d) Tanggungjawab pemaparan bukti

Seseorang haruslah dianggap tidak bersalah sampai terbukti bahwa orang tersebut benar-benar
salah. Perusahaan harus membuktikan bahwa karyawan nyata bersalah sebelum menjatuhkan
hukuman. Para manajer hendaknya mengumpulkan sejumlah bukti yang meyakinkan untuk
menjustifikasi disiplin. Bukti ini hendaknya didokumentasikan secara cermat sehingga sulit
dipertentangkan. Sebagai contoh, kartu kehadiran (time card) yang digunakan untuk
mendokumentasikan keterlambatan. Para karyawan harus diberi kesempatan untuk menyangkal
bukti tersebut dan memberikan dokumentasi untuk pembelaan diri.

e) Perlakuan yang konsisten

Peraturan serta hukuman haruslah diberlakukan secara tidak berat sebelah dan tanpa diskriminasi.
Pemberlakuan disiplin yang tidak merata tidak hanya dapat merusak afektivitas dari sistem
disiplin, namun juga dapat menciptakan perasaan di kalangan karyawan bahwa terdapat
favoritisme dan diskriminasi. Konsistensi perlakuan adalah salah satu prinsip yang penting dan
kerap diabaikan. Manajemen hendaknya tidak menghukum seseorang karena suatu pelanggaran
dan tidak menggubris pelanggaran yang sama yang dilakukan orang lain. Jenis konsistensi seperti
ini bisa terjadi karena penyelia di departemen-departemen yang berbeda mempunyai tolak ukur
yang berbeda dan mempunyai batasan toleransi yang berbeda pula. Penting bagi karyawan
meyakini bahwa disiplin diterapkan secara konsisten, dapat diperkirakan dan tanpa diskriminasi
atau favoritism. Jika tidak, mereka kemungkinan akan menentang keputusan-keputusan disiplin.
f) Pertimbangan atas situasi

Pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perusahaan serta pelanggaran lainnya harusnya


mempertimbangkan berbagai faktor. Situasi dalam setiap kasus patut senantiasa dipetimbangkan
dan juga fakta-fakta yang menggambarkan pelanggaran.

E. Pemecatan

Pemecatan (termination) adalah istilah luas yang meliputi pemisahan permanen seseorang dan
organisasi karena berbagai alasan. Sebagian besar manajer menemukan bahwa pemecatan
karyawan tidak mengenakkan dan cenderung menghindarinya. Pemecatan karyawan perlu dalam
menjawab lima macam permasalahan:

● kinerja pekerjaan yang kurang baik karena ketidakmampuan, kelalaian, perubahan


persyaratan kerja, atau tidak adanya perhatian terhadap pekerjaan.

● pelanggaran peraturan perusahaan, termasuk ketidakhadiran (absenteeism) dan


ketergantungan pada obat-obat terlarang.

● kekerasan atau perkelahian antar pekerja.

● pembangkangan terhadap perintah.

● perilaku pribadi yang tidak dapat dibenarkan seperti pelecehan seks dan ketidakjujuran.

Pemecatan terjadi hanya jika situasi ini terdokumentasi dengan baik, dan jika pelatihan atau
konseling gagal mengoreksi permasalahan, Pemecatan juga harus mengikuti persyaratan hukum.
Para manajer haruslah mempelajari guna mengidentifikasi situasi-situasi di mana tidak terdapat
kecocokan antara karyawan dengan pekerjaan yang tidak dapat dikoreksi melalui pelatihan yang
akan datang. Staf sumber daya manusia dapat membantu para manajer dalam menandai situasi-
situasi tersebut.

Semua organisasi haruslah memiliki kebijakan pemecatan tertulis. Kebijakan ini haruslah
menyatakan bahwa manajer memiliki bukti atau mendokumentasikan kasus untuk pemecatan
(termination) dengan alasan bisnis yang nyata. Dan lagi, kebijakan haruslah menentukan, secara
tertulis, pengaturan pembayaran gaji bagi karyawan yang dipecat. Kebijakan juga harus
menentukan siapa yang akan memberikan referensi kepada karyawan yang dipecat dan mereka
haruslah bersepakat tentang apa yang disebutkan dalam referensi tersebut.

Dalam memecat karyawan, manajer haruslah mengikuti hal-hal sebagai berikut:

● Secara jelas mendaftar kekurangan kinerja yang ada.

● Secara jelas menentukan kondisi-kondisi bagi pemecatan.

● Bersikap sensitif terhadap situasi pribadi karyawan

● Jika dimungkinkan, menawarkan pensiun secara lebih dini.

Membatasi jumlah waktu karyawan dapat tetap bekerja di dalam organisasi. Pemecatan adalah
hukuman paling keras yang dapat ditimpakan organisasi kepada seorang karyawan. Oleh
karenanya, terminasi haruslah merupakan tindakan disipliner yang paling dipertimbangkan secara
hat-hati. Pengalaman dipecat adalah traumatik pada karyawan, terlepas dari posisi mereka di dalam
organisasi. Perasaan gagal, takut, kecewa dan marah dapat terjadi. Hal ini juga merupakan soal
yang sulit bagi orang yang membuat keputusan terminasi. Mengetahui bahwa pemecatan dapat
mempengaruhi tidak hanya karyawan tetapi juga keseluruhan satu keluarga meningkatkan trauma
tersebut. Tidak mengetahui bagaimana karyawan yang dipecat akan bereaksi juga menciptakan
kegelisahan yang amat sangat bagi manajer yang harus melakukan pemecatan. Pemecatan adalah
bentuk disiplin yang sangat serius, dan oleh karenanya mestilah selalu dipertimbangkan secara
hati-hati dan tepat. Selain itu, dalam lingkungan bisnis dewasa ini perusahaan perlu sama
perhatiannya dengan proses pemecatan sebagaimana halnya pada proses pengangkatan. Terlepas
dari kemiripan dalam pemberhentian karyawan pada berbagai jenjang, terdapat perbedaan nyata
berkenaan dengan para karyawan non manajerial, eksekutif, manajer, dan profesional., yaitu
sebagai berikut:

● Pemecatan Karyawan Non Manajerial

Individu-individu dalam kategori karyawan non manajerial bukanlah individu-individu


manajer ataupun yang terlatih secara profesional seperti akuntan atau insinyur. Mereka
tersebut umumnya termasuk karyawan- karyawan juru ketik, sopir truk, pekerja-pekerja
pabrik, dan pelayan. Jika perusahaan memiliki serikat pekerja, prosedur pemecatan
biasanya ditentukan secara jelas dalam perjanjian manajemen karyawan. Sebagai contoh,
mabuk-mabukan pada pekerjaan dapat diidentifikasikan sebagai suatu alasan pemecatan
langsung. Absensi yang berlebihan, di lain pihak, mungkin memerlukan tiga peringatan
tertulis sebelum tindakan pemberhentian dapat diambil.

Jika perusahaan bebas serikat pekerja, para karyawan tersebut pada umumnya dapat
dipecat secara lebih mudah. Riwayat pemecatan yang tidak berdasar di dalam sebuah
perusahaan, bagaimanapun, dapat memberikan

suatu kesempatan bagi pembentukan serikat pekerja. Di dalam banyak organisasi yang
bebas serikat pekerja, pelanggaran-pelanggaran atas pemecatan yang berdasar dimasukkan
dalam buku pegangan karyawan perusahaan. Kadang-kadang, terutama dalam organisasi
yang lebih kecil, proses pemecatan adalah informal, dengan di awal bekerja
memberitahukan kepada para karyawan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang
menyebabkan terminasi. Terlepas dari ukuran organisasi para karyawan haruslah
diberitahu oleh perwakilan manajemen tindakan-tindakan yang dapat memicu
pemberhentian.

● Pemecatan Eksekutif

Pemecatan eksekutif mestilah dipandang dari perspektif yang berbeda. Para eksekutif
biasanya tidak memiliki prosedur banding formal. Keputusan untuk memberhentikan
seorang eksekutif kemungkinan telah disetujui oleh direktur utama di dalam sebuah
organisasi Selain itu, alasan-alasan pemecatan mungkin tidak sejelas pada karyawan
jenjang yang lebih rendah. Beberapa alasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ekonomi-Kondisi dunia usaha kadang kala dapat memaksa suatu langkah


perampingan jumlah eksekutif.

2. Reorganisasi-Dalam rangka meningkatkan efisiensi perusahan mungkin


melakukan reorganisasi yang mengakibatkan pengurangan beberapa posisi
eksekutif.
3. Perbedaan filosofi-Perbedaan dalam filosofi pelaksanaan bisnis dapat
merebak antara seorang eksekutif dan pejabat kunci perusahaan lainnya.
Untuk mempertahankan konsistensi filosofi manajemen, eksekutif mungkin
terpaksa diganti.

4. Penurunan produktivitas. Eksekutif mungkin telah mampu bekerja secara


memuaskan di masa lalu, karena berbagai sebab dia tidak dapat lagi
menyelesaikan tugas-tugasnya sebagaimana yang diharapkan.

Daftar di atas tidak mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan aktivitas ilegal atau
tindakan-tindakan yang diambil yang tidak dalam kepentingan terbaik perusahaan. Di
bawah situasi seperti hal tersebut, perusahaan tidak memiliki kewajiban moral untuk
memberhentikan eksekutif.

Meskipun suatu organisasi mungkin menghasilkan keuntungan positif dan


memberhentikan eksekutif, terminasi tersebut juga melahirkan situasi potensial yang
berbahaya bagi perusahaan. Banyak perusahaan yang risau karena membuat citra publik
negatif yang mencerminkan ketidakpekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan karyawannya.
Mereka takut reputasi seperti hal tersebut akan menghambat upaya-upaya mereka untuk
merekrut manajer- manajer yang berkualitas tinggi. Di samping itu, memberhentikan
eksekutif kadang-kadang mengundang pernyataan-penyataan publik yang merusak
reputasi perusahaan.

● Pemecatan Manajer Madya dan Manajer Jenjang yang Lebih Rendah serta Profesional

Di masa lalu, kelompok karyawan yang paling rentan dan mungkin paling diabaikan
berkenaan dengan pemecatan adalah manajer madya dan manajer jenjang yang lebih
rendah serta profesional, yang pada umumnya bukan anggota-anggota serikat pekerja dan
karenanya tidak dilindungi oleh perjanjan manajemen-karyawan. Mereka juga mungkin
tidak memiliki pengaruh politis yang dimiliki oleh seorang eksekutif yang diberhentikan
Permberhentian dapat didasarkan pada sesuatu yang sederhana seperti sikap atau perasaan
seorang personalia langsungnya. Beberapa perusahaan mulai memberikan jasa penempatan
keluar bagi individu-individu ini.
F. Pengunduran diri

Bahkan pada saat suatu organisasi sungguh-sungguh berniat membuat lingkungannya tempat yang
baik untuk bekerja, para karyawan masih akan mengundurkan diri (resign) atau minta berhenti
(quit) yang disebabkan oleh karyawan tidak melihat kesempatan promosi yang berlangsung dalam
jangka waktu yang lama. Sejumlah perputaran karyawan adalah sehat bagi organisasi dan sering
diperlukan dalam upaya memberikan kepada kalangan karyawan kesempatan meraih tujuan karir.
Tetapi, apabila perputaran karyawan menjadi terlalu berlebihan, sesuatu harus dilakukan. Para
karyawan yang paling bermutu sering merupakan orang yang mengundurkan diri karena mereka
merasa tidak mobile. Di lain pihak, para karyawan yang berprestasi rendah kelihatannya tidak
pernah meninggalkan perusahaan. Jika jumlah yang berlebihan karyawan perusahaan yang
bermutu meninggalkan perusahaan, mestilah dicari kiat untuk menghambat kecenderungan
tersebut.

a) Menganalisis Pengunduran Diri

Alasan paling sering untuk pengunduran diri adalah untuk mendapatkan gaji dan/atau
tunjangan yang lebih baik. Bagaimanapun, sebagian besar perusahaan melaksanakan
survei gaji, atau jika tidak, mengetahui berapa yang dibayarkan oleh pesaing. Riset
menunjukkan bahwa jika para karyawan menyebutkan gaji sebagai alasan pengunduran
diri, sering mereka juga memiliki alasan lainnya yang lebih dalam untuk memutuskan
meninggalkan perusahaan. Penyebabnya mungkin manajer departemen tidak mampu untuk
bekerja sama, atau kultur perusahaan yang menahan para karyawan yang kreatif atau tidak
memiliki kebebasan berpendapatan dan menuangkan kreativitas karyawan.

Jika perusahaan ingin menentukan alasan-alasan sebenarmya individu- individu


memutuskan untuk keluar, perusahaan dapat menyelenggarakan wawancara keluar (exit
interview) dan kuesioner pasca keluar (postexit questionnaire). Manajemen percaya bahwa
wawancara keluar dapat mengurangi perputaran karyawan dengan mengumpulkan
informasi mengenal permasalahan-permasalahan yang dijumpai karyawan di tempat
kerjanya. Tetapi wawancara keluar yang dimodifikasi dapatjuga dilaksanakan ketika
seorang karyawan meninggalkan posisi apa saja untuk alasan apapun pensiun muda,
transfer, atau bahkan pemberhentian. Spesialis sumber daya manusia dapat mengadakan
wawancara seperti itu tanpa mengancam karyawan yang diberhentikan. Wawancara keluar
lazimnya merupakan hubungan terakhir yang dimiliki karyawan dengan perusahaan.
Wawancara keluar mendorong karyawan untuk mengutarakan alasan-alasan keluar secara
terbuka dan bebas. Spesialis sumber daya manusia biasanya bertugas melaksanakan
wawancara tersebut. Seorang karyawan biasanya kemungkinan tidak menanggapi dengan
bebas selama wawancara dengan bagian personalia disebabkan karena dia memerlukan
surat rekomendasi dan personalia di kemudian hari. Wawancara keluar menyangkut hal-
hal sebagai berikut:

1) Pembentukan hubungan baik

2) Tujuan wawancara

3) Sikap terhadap pekerjaan yang lama

4) Meneliti alasan-alasan keluar

5) Perbandingan pekerjaan lama dan baru

6) Perubahan-perubahan yang disarankan

7) Kesimpulan

Kuesioner pasca keluar dikirimkan kepada mantan karyawan beberapa minggu setelah
mereka meninggalkan perusahaan. Biasanya, mereka telah mulai bekerja pada perusahaan
yang baru. Kuesioner tersebut terstruktur bentuknya agar menarik keluar alasan sebenarnya
karyawan meninggalkan perusahaan. Ruang kosong yang mencukupi juga disediakan
sehingga mantan karyawan dapat mengungkapkan perasaan-perasaan mereka, persepsi
pekerjaan, dan organisasi. Salah satu kekuatan pendekatan ini adalah bahwa individu tidak
lagi bersama perusahaan dan dapat menjawab secara lebih bebas terhadap pertanyaan-
pertanyaan kuesioner. Kelemahannya adalah pewawancara tidak ada untuk menafsirkan
dan meneliti alasan-alasan perpindahan sebenarnya.

b) Pemberitahuan Pengunduran Diri


Sebagian besar perusahaan akan meminta maklumat pengunduran diri (notice of
resignation) dari karyawan paling tidak dua minggu sebelumnya. Kendatipun demikian,
pemberitahuan satu bulan sebelumnya sangat diinginkan dari karyawan profesional dan
manajerial yang keluar dari perusahaan. Jika maklumat atau pemberitahuan tersebut
diinginkan perusahaan, kebijakan haruslah disampaikan secara jelas kepada semua
karyawan. Apabila mereka menghendaki karyawan yang keluar memberikan
pemberitahuan sebelumnya perusahaan mempunyai kewajiban tertentu. Sebagai contoh,
anggap bahwa seorang karyawan memberikan maklumat- lantas diberhentikan segera.
Cerita tindakan ini akan menyebar secara cepat kepada karyawan lainnya. Belakangan, jika
mereka memutuskan akan mengundurkan diri, mereka kemungkinan tidak akan
memberikan pemberitahuan sebelumnya.

Bagaimanapun, membolehkan seorang karyawan untuk tetap pada pekerjaannya begitu


maklumat pengunduran dini telah diserahkan dapat menciptakan beberapa masalah. Jika
terpendam perasaan yang jelek antara karyawan dengan personalia ataupun perusahaan,
karyawan tersebut dapat menjadi kekuatan yang mengacau. Secara selektif, perusahaan
mungkin ingin menggaji karyawan untuk waktu pemberitahuan dan memintanya keluar
secepatnya.

G. Demosi sebagai Alternatif Pemberhentian

Pemberhentian kerap merupakan solusi yang digunakan jika seseorang tidak mampu
melaksanakan pekerjaannya. Demosi (demotion) adalah perpindahan karyawan dan satu pekenaan
ke posisi lainnya yang lebih rendah gaji, tanggung jawab, dan/atau jenjang organisasionalnya.
Kadang-kadang demosi digunakan sebagai alternatif untuk pemecatan, terutama jika menyangkut
karyawan yang telah lama berdinas. Karyawan mungkin telah kerja secara memuaskan selama
beberapa tahun, tetapi produktivitasnya lantas mulai merosot karena berbagai sebab.
Kemungkinan karyawan hanya tidak mampu lagi secara fisik untuk melaksanakan pekerjaan atau
tidak ingin bekerja sesuai dengan jam kerja yang panjang seperti yang disyaratkan oleh pekerjaan.
Demosi adalah proses memindahkan seorang karyawan ke jenjang yang kewajiban dan tanggung
jawabnya lebih rendah yang biasanya menyebabkan suatu pengurangan dalam gaji.
Demosi dapat berlangsung karena alasan-alasan di luar kendali para karyawan. Perubahan-
perubahan organisasional utama seperti reorganisasi, merger perusahaan, atau lesunya bisnis dapat
berakibat perampingan pekerjaan- pekerjaan sehingga memaksa beberapa karyawan untuk
menerima posisi yang lebih rendah. Dalam hal ini, karyawan- karyawan eksekutif maupun lapisan
bawah dapat di demosikan. Selain itu, praktik burmping (penggantian karyawan) serikat pekerja
biasanya mengakibatkan karyawan yang tidak senior di demosikan ke pekerjaan dengan gaji yang
lebih rendah. Dalam kasus ini, cacat yang menyertai demosi mungkin menjadi kecil. Meskipun
para karyawan tidak diragukan lagi akan menderita kegelisahan dan frustasi karena di demosikan,
mereka mungkin dapat merasionalisasikan situasi ini dengan menganggap "hanya sekadar tempat
yang salah pada waktu yang salah; hal ini dapat terjadi pada siapapun”.

Dalam situasi lainnya, para karyawan mungkin di demosikan karena ketidakmampuan


melaksanakan pekerjaan mereka sesuai dengan tolak ukur yang dapat diterima oleh perusahaan.
Emosi sering meninggi jika seseorang di demosikan. Orang yang di demosikan dapat merasa
dikhianati, kehilangan respek terhadap kerabat kerjanya, malu. marah, dan kecewa. Produktivitas
karyawan mungkin juga menurun lebih jauh. Jika demosi dipandang sebagai suatu devaluasi
seorang karyawan, kerusakan psikologis dapat menjadi signifikan. Karena alasan-alasan ini
demosi haruslah digunakan secara berhati- hati.

Salah satu cara mengurangi trauma yang berkaitan dengan demosi adalah membuat masa
percobaan, di mana karyawan yang dipindahkan diperbolehkan untuk mencoba pekerjaan baru.
Jika karyawan tersebut tidak berhasil, individu tidak akan memandang perpindahannya kembali
ke pekerjaan lama secara negatif.

Jika demosi dipilih dibandingkan pemberhentian, upaya-upaya mestilah dilakukan untuk


melindungi harga diri karyawan. Orang tersebut mungkin ditanya bagaimana dia akan menangani
pengumuman demosi. Citra positif nilai karyawan bagi perusahaan haruslah diperhitungkan.

Penanganan demosi dalam organisasi yang memiliki serikat pekerja biasanya dinyatakan secara
jelas dalam perjanjian manajemen-karyawan. Jika keputusan diambil untuk mendemosi seorang
karyawan karena kinerja yang tidak memuaskan, serikat pekerja haruslah diberitahu keinginan
tersebut dan diberikan alasan-alasan spesifik untuk demosi. Sering demosi akan ditantang dan
dibawa ke prosedur keluhan formal. Dokumentasi perlu untuk demosi yang akan ditegakkan.
Demosi sering kurang merusak bagi karyawan. Bagi organisasi, kebalikannya mungkin benar jika
demosi menciptakan penyakit yang tak hilang-hilang dan karyawan yang sakit hati.

Banyak manajer dan spesialis sumber daya manusia setuju bahwa demosi bukanlah cara yang
efektif untuk menangani masalah-masalah disipliner.

Demosi tidak akan memperbaiki perilaku karyawan yang mempunyai riwayat yang
panjang akan kebiasaan buruk seperti ketidakhadiran kronik, pembangkangan terhadap perintah,
atau mabuk-mabukan di tempat kerja. Malahan, masalah-masalah tersebut sebagian besar
kemungkinan diselesaikan melalui konseling personalia dan pendekatan korektif terhadap disiplin
karyawan. Karena demosi dapat menyebabkan karyawan-karyawan menderita, beberapa
perusahaan menghindari demosi dengan membiarkan karyawan-karyawan yang bersangkutan
tetap dalam posisi mereka. Meskipun para karyawan dapat memandang pendekatan ini situasi
lainnya, para karyawan mungkin penerima- penerima penyimpangan yang agak lumrah dari
manajemen sumber daya manusia: promosi-demosi. Di sini, para karyawan ditendang dan
pekerjaan dengan status yang lebih tinggi yang sedikit otoritas atau tanggung jawab. Demosi dan
promosi adalah cara yang lazim dalam menghadapi karyawan loyal dengan masa dinas lama yang
telah menjadi usang (obsolete), atau tidak dapat dilatih lagi dalam pekerjaan. Pendekatan yang
lebih bermakna dan adil adalah dengan menahan karyawan tersebut pada pekerjaannya saat ini,
namun menugaskan suatu porsi tanggung jawab dan otoritas kepada individu atau individu-
individu lainnya.

H. Transfer

Transfer adalah perpindahan karyawan dari satu pekerjaan ke posisi lainnya dimana
jenjang organisasionalnya relatif sama. Transfer secara tidak langsung menunjukkan bahwa
seseorang sedang dipromosikan atau di demosikan. Terdapat kebijakan dan prosedur-prosedur
transfer spesifik yang telah disusun untuk merespon beberapa sebab transfer, yakni:

• Karyawan dengan riwayat kinerja yang buruk yang tidak ingin lagi dipertahankan oleh
kepala departemennya.
• Karena praktik personalia tidak sempurna, kemungkinan ketidakcocokan pekerjaan
terjadi.

• Seorang karyawan dapat menjadi tidak puas dengan sebuah pekerjaan karena satu atau
berbagai alasan.

• Beberapa organisasi terkadang memulai transfer untuk pengembangan karyawan yang


lebih lanjut, terutama dalam jenjang manajemen dan staf.

• Perusahaan sering menjumpai perlunya reorganisasi.

• Membuat posisi-posisi tersedia dalam saluran-saluran promosi utama.

• Memuaskan keinginan-keinginan pribadi karyawan.

Transfer juga merupakan alat yang efektif dalam menghadapi bentrokan kepribadian.
Permintaan untuk transfer akan dianalisis terlebih dahulu dari sudut kepentingan terbaik
perusahaan atau individu. Manajemen harus dapat merumuskan kebijakan yang jelas
mengenai transfer. Kebijakan tersebut memungkinkan para karyawan mengetahui
sebelumnya kapan permintaan transfer kemungkinan akan disetujui dan apa kemungkinan
percabangannya. Pendekatan transfer dapat memecahkan dua jenis permasalahan
penyusunan staf: kelebihan suplai pada beberapa departemen atau pekerjaan disaat terdapat
permintaan terhadap pegawai dari departemen atau pekerjaan yang lainnya, dan
kekurangan dalam kinerja individu.

I. Promosi

Promosi terjadi saat karyawan berpindah dari suatu pekerjaan ke posisi lainnya yang lebih
tinggi jenjang organisasionalnya. Pada umumnya karyawan yang mendapat promosi akan
mengalami kenaikan gaji, tunjangan, dan atau insentif. Promosi melayani beberapa tujuan dan
memberikan manfaat kepada perusahaan dan karyawan, seperti:
• Promosi memungkinkan perusahaan untuk mendayagunakan keahlian-keahlian dan
kemampuan karyawan setinggi mungkin.

• Promosi sering diberikan guna mengimbali karyawan berkinerja menonjol.

• Kesempatan untuk promosi dan tingkat kepuasan kerja yang tinggi berkorelasi secara
signifikan.

Bagi kalangan karyawan, promosi adalah penghargaan organisasional yang sangat dicari. Karena
efektivitas organisasional dan kepuasan kerja pribadi dipengaruhi oleh cara promosi dilakukan,
penting bagi organisasi untuk mengumpulkan data yang sehat dan terandalkan guna membuat
keputusan-keputusan promosional. Beberapa kriteria yang dapat dipakai oleh organisasi, yaitu:

• Senioritas, diartikan sebagai lamanya masa dinas karyawan.

• Kinerja dan kemampupromosian, terjadi karena kelemahan dalam pengunaan


senioritas sebagai kriteria promosi sehingga banyak organisasi yang menempatkan
pentingnya kinerja (performance) dan kemampupromosian (promotability) pada saat
memindahkan karyawan ke dalam pekerjaan dengan tanggung jawab yang lebih besar.

Kriteria rasional seperti senioritas, kinerja, dan promotability dapat tersisih oleh faktor-faktor yang
tidak resmi, seperti:

• Karakteristik pribadi

Peraturan perundang-undangan biasanya melarang segala bentuk diskriminasi dalam


semua ketentuan dan kondisi pekerjaan berdasarkan usia, ras, warna kulit, agama, dan jenis
kelamin.

• Nepotisme

Menunjukkan favoritisme atau perlindungan terhadap sanak keluarga. Nepotisme adalah


legal apabila tidak berdampak merugikan bagi kelas karyawan yang dilindungi.

• Faktor sosial
Keanggotaan dalam politik tertentu merupakan faktor kuat untuk mendapat promosi di
dalam beberapa organisasi, terutama pada lapisan manajemen yang lebih tinggi.

• Persahabatan

Ikatan informal antara pengambil keputusan dan kandidat promosional dapat menjadi
faktor signifikan dalam memutuskan siapa yang akan mendapatkan promosi dan siapa yang
tidak.

J. Pensiun dan Pensiun Muda

Karyawan yang telah berdinas dalam jangka waktu yang lama akan meninggalkan perusahaan atau
pekerjaannya karena pensiun. Rencana pensiun (retirement plans) dapat didasarkan pada umur
tertentu atau jumlah tahun kerja tertentu, ataupun keduanya. Pensiunan akan mendapat tunjangan
pensiun setiap bulan untuk sisa hidup mereka. Adapun pensiunan muda yakni seorang karyawan
yang melakukan pensiun dini. Tunjangan pensiun dini atau pensiun muda kerap dikurangi untuk
setiap tahun tanggal pensiun yang dimajukan. Dari sudut pandang organisasi, karyawan yang
pensiun muda memiliki aspek positif dan negatif. Sudut pandang positifnya adalah organisasi
dapat menggunakan pensiun muda untuk mengurangi tingkat senioritas yang tinggi, sehingga
mengurangi biaya gaji dan tunjangan atau untuk membuka kesempatan promosi dengan
menurunkan jumlah karyawan manajerial yang jenjangnya tinggi. Sedangkan dari sudut pandang
negatif, karyawan yang berharga mungkin mengambil keuntungan dari pilihan pensiun muda dan
meninggalkan perusahaan. Selain itu, pensiun muda seringkali lebih mahal bagi perusahaan
daripada pensiun yang normal. Pensiun muda kerap kali mengambil keputusan dengan
pemberitahuan singkat, sehingga mengakibatkan kekacauan dalam operasi perusahaan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi keputusan untuk pensiun dibagi dalam empat kategori, yaitu:

• Perbedaan-perbedaan individu (riwayat kerja, status perkawinan, status demografis,


status kesehatan, dan sikap-sikap terhadap pensiun);

• Struktur-struktur peluang dalam jalur-jalur karir (kemerosotan kinerja yang berkaitan


dengan usia, diskriminasi terhadap karyawan-karyawan tua, jenis industri, pekerjaan
pasar tenaga kerja sekunder dan primer);
• Faktor-faktor organisasional (imbalan-imbalan finansial, program konseling pensiun
muda, dan keluwesan dalam mengelola karyawan-karyawan tua); serta

• Lingkungan eksternal (ketidakpastian trend ekonomi, keselamatan sosial, pertumbuhan


ekonomi, dan program-program pemerintah untuk membantu karyawan-karyawan
tua).

Adapun dampak yang ditimbulkan dari adanya pensiun bagi organisasi dan orang- orang yang
pensiun adalah sebagai berikut:

• Dampak atas individu-individu

Pada tahun 1970-an, pensiun dianggap sebagai kejadian yang menekan dan merusak
kesehatan fisik, merusak mental individu, serta memacu individu menarik diri dari
aktivitas-aktivitas yang mereka ikuti sebelumnya.

• Dampak atas organisasi

Pensiun memungkinkan karyawan-karyawan baru dengan keahlian-keahlian mutakhir untuk


memasuki organisasi dan menggantikan karyawan-karyawan tua yang keahliannya mungkin
ketinggalan zaman. Proses ini mendorong inovasi dan pemikiran baru di dalam organisasi. Pensiun
juga memotivasi karyawan-karyawan karena karyawan-karyawan tua cenderung lebih tinggi
dalam hierarki organisasional dan kepergian mereka membuka pintu kesempatan-kesempatan
promosi. Karyawan-karyawan baru biasanya juga lebih murah dibandingkan karyawan-karyawan
tua karena gaji-gaji mereka yang lebih rendah.
BAB IV

KESIMPULAN

Suatu organisasi atau bahkan perusahaan, masalah berupa konflik lumrah terjadi, dan pada
penyelesaiannya, ada yang berhasil menyelesaikannya dengan damai dan membuat orang-orang
yang terlibat mengerti satu sama lain, serta dapat ber rekonsiliasi mencapai keputusan bersama
yang diterima semua pihak, ataupun jika dalam konklusi penyelesaiannya dengan cara tidak damai
dengan merugikan salah satu pihak (melakukan pemecatan, pemberhentian secara tidak hormat,
dll). Apapun hasil dari penyelesaian dari konflik yang terjadi, organisasi atau perusahaan selalu
dapat mengambil hikmah dari konflik internal yang terjadi. Bagi perusahaan wajib melakukan
tindakan preventif untuk mencegah konflik dan evaluasi tindakan untuk masa depan.

Langkah untuk menyelesaikan masalah internal kerja :

1. Tindakan preventif

• Memberitahukan apa yang dilakukan bawahan – pekerjaan mereka,


prestasi, kemajuan, dan rencana-rencana untuk waktu mendatang.

• Menjelaskan persoalan-persoalan kerja yang belum dipecahkan


bawahan yang mungkin memerlukan beberapa macam bantuan.

• Mengungkapkan bagaimana pikiran dan perasaan bawahan tentang


pekerjaan mereka, rekan kerja mereka dan organisasi, sehingga
hubungan timbal balik tetap positif.

2. Evaluasi Tindakan

● Memberikan saran atau gagasan untuk perbaikan dalam unit-unit


mereka atau dalam organisasi sebagai suatu keseluruhan.

Dalam organisasi, pemahaman, teamwork, dan komitmen antar karyawan di seluruh level
dan antar level wajib dijaga dan dijalin, kebutuhan untuk membangun jaringan komunikasi antara
manajer dan atau antar karyawan harus selalu kondusif, dan di semua level wajib dapat melakukan
komunikasi secara efektif. Aspek positif dari seluruh level karyawan ini sangat dipengaruhi oleh
komunikasi interaktif yang efektif di seluruh organisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Effendy, O. U. (2006). Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Pace R., W., & F., F. D. (2010). Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja
Perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Stephen P. Robbins. Alih Bahasa Oleh Jusuf Udaya, Lic., Ec.1994. Teori Organisasi: Struktur,
Desain Dan Aplikasi, Jakarta: Arcan

Stephen, Robbins (2015), Perilaku Organisasi, Penerbit Salemba Empat, Jakarta

Wahyudi. 2017. Manajemen Konflik Dan Stress Dalam Organisasi. Bandung : Cv Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai