Anda di halaman 1dari 20

1.

NO MISTAKE WILL BE MADE BY SAYING THAT WITHOUT GOOD


INTERNAL COMMUNICATION
Komunikasi internal merupakan komunikasi yang terjadi dalam lingkungan kantor atau
organisasi. Komunikasi ini bisa terjadi antara karyawan dengan karyawan, karyawan dengan
atasan, dan atasan dengan atasan. Komunikasi ini terjadi karena terdapat sebuah struktur dalam
organisasi. Tujuannya untuk meningkatkan kinerja SDM dalam organisasi. Biasanya terjadi
proses pertukaran informasi diantara batang-batang struktur organisasi. Kualitas komunikasi
ditentukan dari frekuensi dan intensitasnya. Akan selalu ada konflik dan atau hal yang dianggap
tidak sesuai dalam sebuah organisasi.
Komunikasi internal adalah pertukaran gagasan diantara para administrator dan pegawai
dalam suatu organisasi atau instansi yang menyebabkan terwujudnya organisasi tersebut lengkap
dengan strukuturya yang khas dan pertukaran gagasan secara horizontal dan vertikal dalam suatu
organisasi yang menyebabkan pekerjaan berlansung (operasi manajemen).
Komunikasi akan berhasil dengan baik apabila timbul saling pengertian. Komunikasi
yang baik dimaksudkan adanya jalinan pengertian antara pihak yang satu ke pihak yang lain,
sehingga apa yang dikomunikasikan dapat dimengerti, dipikirkan dan dilaksanakan. Tanpa
adanya komunikasi yang baik pekerjaan akan menjadi simpang siur dan kacau balau sehingga
tujuan organisasi kemungkinan besar tidak akan tercapai. Jadi dengan komunikasi maka
seseorang akan menerima berita dan informasi sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran atau
perasaan sehingga orang lain dapat mengerti. Komunikasi internal dalam organisasi terdiri dari 2
bentuk yakni komunikasi internal dan komunikasi vertical.
a. Komunikasi vertical
Komunikasi vertikal yakni komunikasi dari atas ke bawah (downward
communication) dan dari bawah ke atas (upward communication),adalah komunikasi dari
pimpinan kepada bawahan dan dari bawahan kepada pimpinan secara timbal balik (two-
way traffic communication). Dalam komunikasi vertikal, pimpinan memberikan
instruksi-instruksi, petunjuk-petunjuk, informasi-informasi, dan lain-lain kepada
bawahannya. Bawahan memberikan laporan-laporan, saran-saran, pengaduan-pengaduan,
dan lain-lain kepada pimpinan.
b. Komunikasi horizontal
Komunikasi horizontal yaitu komunikasi antara sesama seperti dari karyawan kepada
karyawan, manajer kepada manajer. Berbeda dengan komunikasi vertikal yang sifatnya
lebih formal, komunikasi horizontal seringkali berlangsung tidak formal. Mereka

1
berkomunikasi satu sama lain bukan pada waktu sedang bekerja, melainkan pada saat
istirahat, sedang rekreasi, atau pada waktu pulang kerja.
Bagi seorang manajer, komunikasi yang efektif merupakan kebutuhan penting. Dengan
komunikasi yang efektif, manajer dapat menjalankan fungsi-fungsi manajemen yaitu
merencanakan, mengorganisasikan, dan memimpin serta mengendalikan organisasi. Manajer
mencurahkan sebagian besar dari waktunya untuk berkomunikasi. Dengan komunikasi yang
efektif akan meminimalisir terjadinya miss communication antara pihak yang berkomunikasi.
Informasi yang jelas dapat membantu karyawan maupun manajer dalam melaksanakan tugas
masing-masing secara maksimal. Apabila tugas dapat dijalankan dengan baik secara maksimal,
hal ini berdampak positif karena menguntungkan perusahaan. Dengan komunikasi yang jelas,
pekerjaan dapat dilakukan dengan maksimal. Dalam sebuah perusahaan, peran komunikasi
terbagi menjadi 3 jenis.
1. Peran antar pribadi (Interpersonal role). Manajer sebagai pemimpin organisasi yang
berinteraksi dengan bawahan, pelanggan, dan rekan kerja. Beberapa hasil penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa manajer menggunakan sekitar 45% dari waktu kontak
untuk bawahan, sekitar 45% dengan orang di luar organisasi, dan hanya sekitar 10%
dengan atasan.
2. Peran informasi (Informational role). Manajer mencari informasi dari rekan, bawahan,
dan kontak-kontak pribadi lain tentang segala hal yang mungkin mempengaruhi
pekerjaan dan tanggung jawab mereka.
3. Peran keputusan. Keputusan yang diambil manajer dibuat secara pribadi, tetapi akan
didasarkan pada informasi yang telah dikomunikasikan kepada manajer. Manajer harus
mengkomunikasikan keputusan-keputusan tersebut kepada orang lain.
2. ORGANIZATIONAL COMMUNICATION AND CONFLICT MANAGEMENT
LITERATURE REVIEW
Kabanoff (1986) berpendapat bahwa konflik adalah hasil hubungan yang tidak sesuai
atau tidak sesuai antara anggota kelompok atau diad. Menurut Roloff (1987), Konflik organisasi
terjadi ketika anggota terlibat dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan rekan kerja di jaringan
mereka, anggota dari anggota lainnya. kolektivitas, atau individu yang tidak terafiliasi yang
memanfaatkan layanan atau produk dari organisasi. Hellreigel, Slocum, & Woodman (1992)
mendefinisikan konflik sebagai situasi dimana tujuan, sikap, emosi dan perilaku yang tidak
sesuai menyebabkan perselisihan atau pertentangan antara dua partai atau lebih. Steers & Black
(1994) mendefinisikan Konflik sebagai proses dimana individu atau kelompok bereaksi terhadap
entitas lain yang telah frustrasi atau akan membuat frustrasi rencana, sasaran, kepercayaan, atau
aktivitas mereka.

2
Menurut Rahim (2002) mengkonseptualisasikan konflik sebagai "proses interaktif yang
dimanifestasikan dalam ketidakcocokan, ketidaksepakatan atau disonansi di dalam atau di antara
entitas sosial (yaitu individu, kelompok, organisasi, dll.)". Menurut Rahim, konflik mungkin
terjadi ketika:
1. Pihak diminta untuk terlibat dalam aktivitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau
kepentingannya.
2. Suatu pesta memegang preferensi perilaku, kepuasan yang tidak sesuai dengan
pelaksanaan preferensi orang lain.
3. Suatu pihak menginginkan beberapa sumber yang diinginkan bersama yang kekurangan
pasokan, sehingga keinginan setiap orang mungkin tidak dipenuhi sepenuhnya.
4. Suatu pihak memiliki sikap, nilai, keterampilan, dan tujuan yang penting dalam
mengarahkan tingkah lakunya namun dianggap eksklusif terhadap sikap, nilai,
keterampilan, dan tujuan yang dipegang oleh pihak lain.
5. Dua pihak memiliki preferensi perilaku eksklusif sebagian mengenai mereka tindakan
bersama
6. Dua pihak saling bergantung dalam kinerja fungsi atau kegiatan.
Berdasarkan analisis terhadap studi penelitian yang dilakukan mengenai hubungan antara
strategi pengelolaan konflik dan beberapa aspek efektivitas organisasi, dapat disimpulkan bahwa
strategi atau perilaku pemecahan masalah dapat dipandang sebagai cara paling efektif dalam
mengelola konflik dalam organisasi, dan Hal itu bisa ditambah dengan penggunaan perilaku
smoothing. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk mendorong para manajer untuk
meningkatkan pemanfaatan kedua strategi atau metode pengelolaan konflik ini, terutama dalam
konteks skenario peningkatan pendidikan, keterampilan dan cakrawala pemahaman karyawan
industri. Namun, temuan penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku yang memaksa agak
kontraproduktif dalam pengelolaan konflik organisasi. Mengingat kemunculan demokrasi
industri, para manajer masa kini tidak dapat lagi mengabaikan kebutuhan dan aspirasi bawahan
mereka, atau mengabaikan saran dan sudut pandang terakhir mengenai berbagai masalah
organisasi. Sebenarnya, karyawan bawahan memiliki kemampuan yang diperlukan untuk
memahami dan menganalisis seluk-beluk yang terkait dengan situasi kerja, dan juga terlibat
dalam pengambilan keputusan organisasi. Dengan demikian, para manajer harus melakukan
pengurangan penggunaan perilaku memaksa dalam menyelesaikan atau mengelola konflik
dengan bawahan mereka.
Pada akhirnya, harus ditunjukkan bahwa saran di atas dibuat mengenai Efektivitas relatif
atau efektivitas strategi pengelolaan konflik mungkin memiliki relevansi praktis yang sangat
besar dengan situasi dan kondisi industri. Namun, masih ada kebutuhan penting untuk

3
melakukan studi penelitian menyeluruh di seluruh industri, terutama dalam konteks India,
dengan tujuan untuk mendapatkan temuan penelitian yang memiliki validitas yang lebih besar
serta penerapan umum pada lingkungan industri India. Selain itu, kita seharusnya tidak
menyadari fakta bahwa ada juga beberapa variabel situasional seperti pendidikan dan
keterampilan karyawan, kondisi ekonomi, iklim organisasi, norma sosial, dan lain-lain yang
berperan penting dalam pemilihan manajemen konflik. strategi serta konsekuensi petugas mereka
terhadap berbagai aspek efektivitas organisasi. Oleh karena itu, para manajer harus mencoba
untuk memahami dan menganalisis variabel situasional sebelum memilih gaya pengelolaan
konflik yang sesuai untuk digunakan dalam situasi tertentu. Meski berbeda menonjol pendekatan
kontingensi terhadap manajemen konflik telah menganalisis berbagai variabel situasional yang
berbeda yang mempengaruhi pilihan strategi pengelolaan konflik serta potensi hasil atau
dampaknya, ada kebutuhan khusus untuk melakukan studi penelitian empiris mengenai
keefektifan atau efektivitas strategi pengelolaan konflik dalam konteks berbagai organisasi juga.
sebagai variabel psiko-sosial.
3. KONSEP KUNCI KOMUNIKASI ORGANISASI
Goldhaber (1986) menyatakan definisi komunikasi organisasi: “organizational
communication is the process of creating and exchanging messages within a network of
independent relationship to cope with environmental uncertainty”. Dengan kata lain
komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling tukar menukar pesan dalam satu
jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang
tidak pasti.
Dari definisi tersebut terdapat 7 konsep kunci, yaitu proses, pesan, jaringan,
ketergantungan satu sama lain, hubungan, lingkungan dan ketidakpastian. Berikut ini
merupakan konsep kunci komunikasi organisasi (Muhammad: 2005)
a. Proses
Suatu organisasi adalah suatu sistem terbuka yang dinamis yang menciptakan dan
saling menukar pesan diantara anggotanya. Karena gejala menciptakan dan menukar
informasi ini berjalan terus menerus dan tidak ada hentinya, maka dikatakan sebagai
suatu proses.
b. Pesan
Yang dimaksudkan dengan pesan adalah susunan simbol yang penuh arti tentang
objek, kejadian yang dihasilkan oleh interaksi dengan orang lain. Untuk
berkomunikasi, seseorang harus sanggup menyusun suatu gambaran mental, memberi
nama pada gambaran tersebut dan mengembangkan suatu perasaan terhadapnya.

4
Komunikasi tersebut efektif jika pesan yang dikirimkan itu diartikan sama dengan apa
yang dimaksudkan oleh si pengirim.
c. Jaringan
Organisasi terdiri dari satu seri orang yang tiap-tiapnya menduduki posisi atau peranan
tertentu dalam organisasi. Ciptaan dan pertukaran pesan dari orang-orang ini
sesamanya terjadi melewati suatu set jalan kecil yang dinamakan jaringan komunikasi.
Suatu jaringan komunikasi ini mungkin mencakup hanya 2 orang, beberapa orang atau
bahkan seluruh organisasi. Hakikat dan luas jaringan ini dipengaruhi banyak faktor,
antara lain: hubungan peranan, arah dan arus pesan, hakikat seri dan arus pesan, dan isi
dari pesan.
d. Ketergantungan
Keadaan saling tergantung satu bagian dengan bagian yang lain dalam satu organisasi
telah menjadi sifat suatu organisasi yang merupakan suatu sistem terbuka. Bila suatu
bagian dari organisasi mengalami gangguan maka akan berpengaruh pada bagian yang
lainnya dan mungkin juga pada seluruh sistem organisasi. Begitu pula halnya dengan
jaringan komunikasi dalam suatu organisasi perlu dukungan untuk saling melengkapi
agar organisasi dapat berjalan dengan baik.
e. Hubungan
Karena organisasi merupakan suatu system terbuka, system kehidupan sosial maka
untuk berfungsinya bagian-bagian itu terletak pada tangan manusia. Dengan kata lain
jaringan melalui mana jalannya pesan dalam suatu organisasi dihubungkan oleh
manusia. Oleh karena itu hubungan manusia dalam organisasi yang memfokuskan
kepada tingkah laku komunikasi dari orang yang terlibat dalam suatu hubungan perlu
dipelajari. Hubungan manusia dalam organisasi berkisar mulai dari yang sederhana
yaitu hubungan diantara dua orang atau dyadic sampai pada hubungan yang kompleks,
yaitu hubungan dalam kelompok-kelompok kecil, maupun besar, dalam organisasi.
f. Lingkungan
Lingkungan adalah semua totalitas secara fisik dan faktor sosial yang diperhitungkan
dalam pembauatan keputusan mengenai individu dalam suatu sistem. Lingkungan ini
dapat dibedakan menjadi lingkungan internal (karyawan, staf, golongan fungsional dari
organisasi dan komponen organisasi lainnya seperti tujuan, produk, dsb) dan
lingkungan eksternal (pelanggan, pesaing dan teknologi).
g. Ketidakpastian
Ketidakpastian merupakan perbedaan informasi yang tersedia dengan informasi yang
diharapkan. Untuk mengurangi faktor ketidakpastian ini organisasi menciptakan dan

5
menukar pesan diantara anggota, melakukan suatu penelitian serta pengembangan
organisasi. Ketidakpastian dalam suatu organisasi juga disebabkan terlalu banyak
informasi yang diterima daripada sesungguhnya yang diperlukan untuk menghadapi
lingkungan mereka. Oleh karena itu salah satu tugas utama komunikasi organisasi
adalah menentukan dengan tepat banyaknya informasi yang diperlukan untuk
mengurangi ketidakpastian tanpa informasi yang berlebihan.

4. MANAJEMEN KONFLIK DALAM ORGANISASI


Manajemen konflik merupakan pendekatan yang diciptakan oleh pemimpin organisasi
dalam mengoptimalkan konflik melalui proses identifikasi, klasifikasi, analisis penyebab, serta
penyelesaian masalah (Lina, 2010). Dengan penerapan manajemen konflik yang baik dan tepat
diharapkan dapat mengatasi masalah yang muncul dalam organisasi dan selanjutnya
diharapkan memberikan dampak positif pada peningkatan kinerja karyawan.
Robbins (1996) menyatakan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi
akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas
pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sedangkan Luthans
(1981) menyatakan konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling
bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik
sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan
permusuhan.
Konflik tidak selalu harus dihindari karena akibatnya tidak selalu negatif. Berbagai
konflik yang ringan dan dapat dikendalikan dengan baik berakibat positif dan memberikan
manfaat bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi. Konflik dapat dikatakan sebagai
pembelajaran bagi anggota organisasi dalam mengelola organisasi.

6
5. JENIS-JENIS KONFLIK
Menurut Stoner dan Wankel (1993) terdapat lima jenis konflik, yaitu:
a. Konflik Intrapersonal.
Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila
pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi
sekaligus. Kalau konflik dibiarkan maka akan menimbulkan keadaan yang tidak
menyenangkan. Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu:
 Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua
pilihan yang sama-sama menarik.
 Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua
pilihan yang sama menyulitkan.
 Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu
hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
b. Konflik Interpersonal.
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena
pertentangan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang
berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan
suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini
akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak
akan memengaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.
c. Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok.
Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk
mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.
Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok
kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia
berada.
d. Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama.
Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasiorganisasi.
Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja – manajemen merupakan dua macam
bidang konflik antar kelompok.
e. Konflik antara organisasi
Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain
dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan.
Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya

7
pengembangan produkproduk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan
pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.

6. PENANGANAN KONFLIK
Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui kemampuan diri
sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Spiegel (dalam Juanita) menjelaskan
ada lima tindakan dalam penanganan konflik:
a. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kepentingan sendiri lebih diutamakan di atas kepentingan
pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi membutuhkan
pengambilan keputusan dengan cepat. Tentu saja situasi menang–kalah (win-win
solution) akan terjadi dalam tindakan ini.
b. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menginginkan untuk menghindari konflik
baik secara fisik ataupun psikologis. Menghindari konflik dapat dilakukan jika masing-
masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana ataupun membekukan konflik
untuk sementara.
c. Akomodasi
Yaitu jika salah satu pihak mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri
agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik tersebut. Tindakan ini sering
disebut sebagai self sacrifying behaviour. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan
hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.
d. Kompromi
Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa menjaga hubungan
baik sangat penting. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian
kepentingannya untuk mendapatkan win-win solution.
e. Berkolaborasi
Menciptakan win-win solution dengan saling bekerja sama.

7. PONDY’S MODEL
Model merupakan kerangka teoritis secara luas dan rumit yang saling berjalin atas suatu
fenomena dan berguna untuk menyederhanakan interaksi konsep yang rumit. Dalam model
digunakan teori-teori yang memiliki kesamaan maupun perbedaan dan kemudian dikelompokkan
sehingga mampu menjelaskan peristiwa yang ada (dalam hal ini adalah konflik). Louis A. Pondy
menawarkan tiga jenis model yang mampu menjelaskan konflik organisasi yakni model

8
Bargaining (tawar-menawar), model Birokratik, dan model Sistem. Ketiga model yang
ditawarkan ini memiliki dimensi penjelasan dan penggunaan teori yang berbeda dalam
menjelaskan konflik. Dalam masing-masing model ini konflik diperlakukan sebagai rangkaian
episode, kemudian setiap episode masuk dalam latensi, perasaan, persepsi, manifestasi, hingga
akibatnya.
a. Model Bargaining
Model ini didesain untuk menjelaskan konflik yang muncul akibat persaingan antara
kelompok-kelompok kepentingan dalam memperebutkan sumber daya yang langka.
Model ini secara khusus menganalisis hubungan pekerja-manajemen, proses penyusunan
penganggaran, dan konflik staf-pekerja. Parameter utama guna mengukur konflik-konflik
potensial diantara sejumlah kelompok kepentingan adalah dengan mengidentifikasi
perbedaan antara tuntutan pihak yang bersaing dengan sumber daya yang tersedia.
Resolusi konflik jenis ini adalah pengurangan tuntutan kelompok atau peningkatan
sumber daya yang tersedia. Dalam konteks penyusunan anggaran, model ini menjelaskan
bahwa konflik dipicu oleh persaingan antardepartemen dalam memperebutkan dana
organisasi.
b. Model Birokratik
Model ini diterapkan guna menjelaskan konflik atasan-bawahan atau, secara umum,
konflik di sepanjang garis vertikal dalam hirarki organisasi. Model ini utamanya bicara
seputar masalah yang muncul akibat upaya lembaga untuk mengendalikan perilaku dan
reaksi pihak-pihak yang dikendalikan tersebut atas organisasi. Konflik vertikal biasanya
muncul akibat atasan berusaha mengendalikan perilaku bawahan dan bawahan berupaya
melawan kendali tersebut. Pola hubungan yang mengandung otoritas ditentukan lewat
adanya seperangkat kegiatan bawahan di mana mereka (bawahan) harus mengalah pada
legitimasi atasan untuk mengatur. Potensi konflik terjadi tatkala atasan dan bawahan
punya harapan berbeda seputar wilayah unik (turf) masing-masing. Bawahan lebih suka
menganggap konflik telah terjadi tatkala atasan berupaya menerapkan kendali atas
kegiatan yang oleh bawah dianggap berada di luar kewenangan atasan. Di sisi lain, atasan
menganggap konflik terjadi tatkala upayanya untuk mengendalikan tersebut mengalami
perlawanan dari bawahan. Atasan cenderung memandang perlawanan bawahan sebagai
wujud ketidaksukaan (dislike) mereka atas penerapan kekuasaannya secara pribadi.
Dengan demikian, reaksi birokratis atas perlawanan bawahan merupakan substitusi
(pengganti) aturan impersonal dengan kendali personal. Bawahan juga memandang
upaya atasan mengatur sebagai pengurangan atas otonomi mereka. Ini terutama terjadi di
dalam organisasi skala besar yang banyak melakukan delegasi wewenang. Kepentingan

9
antara atasan dan bawahan menjadi sedemikian berbeda sehingga sasaran, kepentingan,
atau klop-nya kebutuhan atasan-bawahan menjadi lebih sedikit kemungkinannya.
c. Model Sistem
Model ini bicara tentang konflik lateral, atau konflik antar pihak yang punya fungsi
berbeda. Analisis atas masalah koordinasi dibicarakan secara khusus oleh model ini.
Konflik dalam model ini juga dapat terjadi antara orang dengan level hirarki yang sama.
Jika model bargaining bicara tentang masalah persaingan, model birokratik bicara soal
masalah kendali, maka model sistem bicara tentang masalah koordinasi. Misalnya, dua
individu yang masing-masingnya bekerja pada posisi sama dalam organisasi dan
memainkan peran formal yang juga sama, tatkala turun perintah untuk melakukan suatu
pekerjaan, maka masing-masing cenderung menganggap bahwa pekerjaan tersebut
merupakan bagian dari tugas dan wewenangnya, dan kala satu orang mengerjakan, orang
lainnya menganggap sebagai pelanggaran atas turf -nya.
Konflik bisa lebih mudah dipahami jika dianggap sebagai proses yang dinamis. Konflik
hubungan antara dua atau lebih individu dalam suatu organisasi dapat dianalisis sebagai urutan
episode konflik. Setiap episode konflik dimulai dengan kondisi yang ditandai oleh potensi
konflik tertentu. Para pihak dalam hubungan tersebut mungkin tidak menyadari adanya dasar
konflik, dan mereka mungkin tidak saling menyukai satu sama lain. Bergantung pada sejumlah
faktor, perilaku mereka mungkin menunjukkan berbagai sifat konflik. Setiap episode atau
pertemuan meninggalkan akibat yang mempengaruhi jalannya episode berikutnya. Seluruh
hubungan kemudian dapat ditandai dengan aspek kondisi, pengaruh, persepsi, dan perilaku stabil
tertentu. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh tren dalam karakteristik ini.
Louis A. Pondy mengidentifikasi empat jenis konflik, yaitu: (1) Latent Conflict;
(2)Perceived Conflict; (3) Felt Conflict; (4) Manifest Conflict dan After Konflik (5).[8] kelima
jenis konflik ini berada dalam satu alur proses mulai dari (1) hingga yang terakhir (5).
a. Latent Conflict
Latent Conflict adalah konflik yang didasarkan atas tiga sumber yaitu : (1) persaingan
memperebutkan sumberdaya yang langka; (2) kehendak untuk otonom atau berdiri
sendiri, dan (3) perbedaan sasaran-sasaran yang dikendaki oleh masing-masing unit
dalam organisasi.
Persaingan membentuk dasar konflik tatkala tuntutan untuk memperoleh sumberdaya
melebihi sumberdaya yang tersedia di dalam organisasi. Kebutuhan untuk otonom
terjelma menjadi konflik tatkala salah satu pihak berupaya menerapkan kendali atas
sejumlah kegiatan yang oleh pihak lain diakui sebagai otonominya. Perbedaan sasaran

10
menjadi sumber konflik tatkala dua pihak harus bekerja sama dalam sejumlah kegiatan,
tetapi tidak bisa meraih kesepakatan seputar tindakan apa yang harus diambil.
Dari Latent Conflict inilah kemudian muncul Model Konflik Peran. Model ini
memperlakukan organisasi selaku kumpulan seperangkat peran, yang masing-masing
peran dipegang oleh seseorang serta orang yang memberikan peran tersebut kepadanya.
Konflik muncul tatkala pemegang peran menerima tuntutan peran yang dianggap
bertentangan dengan peran yang sebelumnya ia perankan. Model ini juga menganggap
pemegang peran selaku penerima pasif ketimbang partisipan aktif dalam hubungan.
Model konflik peran menentukan hubungan konseptual, perangkat peran, yang berguna
dalam menganalisis 3 bentuk Latent Conflict.
b. Perceived Conflict
Konflik pun kerap kali terjadi kendati tidak satupun kondisi latent conflict dapat
diidentifikasi. Kondisi latent conflict bisa terjadi tanpa satupun peserta konflik
merasakan bahwa kondisi laten tersebut telah terjadi. Dalam kasus konflik tetap terjadi
tatkala tidak satupun latent conflict ada, dijelaskan melalui Model Semantik Konflik.
Menurut model ini, konflik merupakan hasil dari kesalahpahaman pihak satu dengan
pihak lain seputar posisi aktual. Dengan demikian, konflik bisa diselesaikan dengan
saling membangun pemahaman dan meningkatkan komunikasi antar pihak. Model
Semantik Konflik ini menjadi dasar bagi teknik-teknik manajemen yang luas dipakai
dengan tujuan meningkatkan hubungan interpersonal.
Namun, sejumlah latent conflict yang gagal dimasukkan ke dalam level kesadaran tiap-
tiap entitas dalam organisasi juga patut diberi penjelasan. Dua mekanisme penting yang
menyekat persepsi seputar konflik adalah Mekanisme Supresi dan Mekanisme Fokus
Perhatian. Individu cenderung memblok konflik-konflik yang sedikit mengancam
kesadarannya. Konflik baru menjadi ancaman besar, dan baru disadari, kala konflik-
konflik tersebut bersangkutan dengan nilai inti yang dianut individu secara pribadi.
Mekanisme Supresi bisa diterapkan pada konflik-konflik yang berhubungan dengan
pribadi/personal tinimbang nilai-nilai keorganisasian. Mekanisme Fokus Perhatian,
sebaliknya, berhubungan dengan perilaku keorganisasian tinimbang nilai-nilai pribadi.

c. Felt Conflict
Terdapat perbedaan penting antara konflik yang dianggap ada (perceived conflict)
dengan konflik yang dirasakan ada (felt conflict). Si A mungkin sadar bahwa B dan A
berada dalam kondisi saling tidak setuju yang serius atas satu kebijakan yang sama, dan
ini merupakan felt conflict. Namun, ketika felt conflict tersebut tidak membuat Si A

11
tegang atau gelisah, dan kondisi ini tidak punya dampak seputar perasaan Si A terhadap
Si B. Kondisi ini merupakan bentuk perceived conflict. Personalisasi konflik adalah
mekanisme yang menyebabkan pemikir-pemikir organisasi menekankan pada sifat
disfungsi konflik. Ada dua penjelasan umum bagi personalisasi konflik ini.
Pertama, penjelasan bahwa tuntutan atas efisiensi organisasi dan perkembangan
individu tidak konsisten dan menciptakan kegelisahan di dalam diri individu.
Kegelisahan dihasilkan dari krisis identitas yang berasal dari lingkungan eksternalnya
(organisasi). Individu butuh pelepasan kegelisahan ini dalam rangka memelihara
kesimbangan internalnya sendiri. Ketiga jenis latent conflict menyediakan alasan
pembenar guna menggantikan kegelisahan ini dan si individu mengarahkannya pada
sasaran yang cocok. Dari titik ini berkembang Model Ketegangan (Tension Model).
Kedua, pejelasan bahwa konflik menjadi bersifat pribadi kala seluruh kepribadian
individu terlibat di dalam hubungan. Rasa permusuhan adalah umum dalam hubungan-
hubungan yang intim (akrab) yang mencirikan lembaga-lembaga seperti gereja,
perguruan tinggi, dan keluarga. Guna menghilangkan permusuhan yang terakumulasi,
lembaga secara keseluruhan membutuhkan insitusi pengaman guna melepaskan ‘hawa
permusuhan’ ini seperti kegiatan atletik hingga pemberian sanksi.
d. Manifest Conflict
Model ini dimaksudkan guna menjelaskan bagi sejumlah perilaku konflik yang telah
bersifat nyata. Wujud konflik yang paling nyata adalah penyerangan terbuka,
perkelahian, perang mulut, kendati kekerasan fisik dan verbal biasanya diharamkan oleh
norma organisasi. Manifest conflict dalam bentuk penyerangan terbukan dan
perkelahian umum terjadi dalam kerusuhan penjara, revolusi politik, atau kisruh buruh
yang ekstrim, tetapi dalam konteks organisasi umum bentuk-bentuk ini adalah jarang.

e. Conflict Aftermath
Setiap episode konflik hanyalah salah satu rangkaian episode seperti itu yang
merupakan hubungan antara peserta organisasi. Jika konflik benar-benar diputuskan
untuk memuaskan semua peserta, dasar untuk hubungan yang lebih kooperatif dapat
diletakkan; atau peserta, dalam dorongan mereka untuk hubungan yang lebih teratur
mungkin berfokus pada konflik laten yang sebelumnya tidak dirasakan dan ditangani.
Di sisi lain, jika konflik hanya ditekan tapi tidak terselesaikan, kondisi konflik laten
mungkin akan diperparah dan meledak dalam bentuk yang lebih serius sampai mereka

12
diperbaiki atau sampai hubungan tersebut terlarut. Warisan episode konflik ini disebut
conflict aftermath.
Namun, organisasi bukanlah sistem tertutup. Lingkungan di mana ia tertanam bisa
menjadi lebih baik dan meringankan kondisi konflik laten, misalnya dengan
menyediakan lebih banyak sumber daya bagi organisasi. Tapi lingkungan yang lebih
jahat bisa memicu krisis baru. Perkembangan setiap episode konflik ditentukan oleh
kombinasi efek yang kompleks dari episode sebelumnya dan lingkungan lingkungan.
Gagasan utama pandangan dinamika konflik ini dirangkum dalam gambar berikut.

AFTERMATH OF
PRECEDING CONFLICT
EPISODE

ENVIRONMENTAL
LATENT
EFFECTS
CONFLICT

ORGANIZATIONAL SUPPRESSION AND


AND EXTRA FELT PRECEIVED
ATTENTION-FOCUS
ORGANIZATIONAL CONFLICT CONFLICT
MECHANISMS
TENSIONS

STRATEGIC MANIFEST AVAILABILITY OF


CONSIDERATION CONFLICT CONFLICT RESOLUTIONS
MECHANISMS

AFTERMATH CONFLICT

Gambar 1. Episode Konflik versi Pondy

13
DAFTAR PUSTAKA

A .F. Stoner & C.Wankel. 1993. Manajemen. Terj. Wilhelmus W. Bakowaton, Jakarta:
Intermedia

Arni Muhammad. 2005. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara

Goldhaber, Geral M. 1986. Organizational Communication. Iowa Wm: Brown Publisher Ig.

Juanita. Memanajemeni Konflik dalam Organisasi.


http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmjuanita3.pdf, diakses 10 April 2010

Lina Nur Hidayati. Komunikasi organisasi dan manajemen konflik. Jurnal Ilmu Komunikasi, (1),


2010

Louis R. Pondy. 1967. Organizational Conflict: Concepts and Models. Source: Administrative
Science Quarterly, Vol. 12, No. 2 (Sep., 1967), pp. 296-320. Published by: Johnson
Graduate School of Management, Cornell University. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/2391553

Luthans F. 1981. Organizational Behavior, Singapore: Mc Graw Hill Robbins, SP. 1996.
Organizational Behaviour,

Prentice Hall: Siding R. Wayne Pace dan Don F. Faules, Deddy Mulyana, (Ed.) 2005.
Komunikasi Organisasi (Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan), cet.4. Bandung:
Remaja Rosdakarya

Wursanto. 2005. Dasar-dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta: Penerbit Andi

14
Organizational Communication Climate and Conflict Management:
Communications Management in an Oil and Gas Company

Shahrina Md Nordin, Subarna Sivapalan, Ena Bhattacharyya, Hezlina Hashim


Wan Fatimah Wan Ahmad, Azrai Abdullah
Universiti Teknologi PETRONAS, Tronoh, Perak, Malaysia
( 2014 )

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengeksplorasi hubungan antara komunikasi
organisasi iklim dan konflik komunikasi di perusahaan minyak dan gas bumi.

Latar Belakang
Organisasi dengan lingkungan yang mendukung mendorong partisipasi pekerja,
pertukaran informasi yang bebas dan terbuka, dan resolusi konflik yang konstruktif. Dalam
organisasi dengan iklim yang defensif, karyawan mempertahankan pandangan mereka terhadap
diri mereka sendiri, membuat hanya pernyataan yang dijaga dan mengalami penurunan moral.
Dengan demikian komunikasi yang efektif penting untuk pembentukan iklim komunikasi
kolaboratif. Namun, pengelolaan kontroversi dan pemikiran yang berbeda sebagai bagian dari
iklim komunikasi merupakan tugas penting yang harus dicapai dalam sebuah organisasi.
Konflik adalah "interaksi orang-orang yang saling bergantung yang merasakan oposisi
terhadap tujuan, tujuan dan nilai, dan siapa yang melihat pihak lain berpotensi mengganggu
realisasi tujuan ini" (Miller, 2006: 194). Oleh karena itu dasar dari konflik terletak pada persepsi
ketidakcocokan mengenai berbagai isu dalam organisasi, perilaku anggota organisasi yang saling
tergantung, dan peran interaksi yang memungkinkan ekspresi ketidakcocokan. Ini menyoroti
pentingnya komunikasi dalam studi konflik.
Studi ini diteliti dalam perusahaan minyak dan gas dengan lingkungan kerja yang sangat
berbahaya. Karyawan di pabrik gas bekerja dengan aman sebagai prioritas pekerjaan mereka.
Kegagalan dalam komunikasi efektif bisa berakibat fatal. Sebagai insinyur dilatih untuk
berorientasi pada tugas dan sangat teknis, melatih keterampilan orang-orang seperti keterampilan
komunikasi, dapat menjadi tantangan terutama saat mengelola konflik di antara karyawan, dan di
seluruh departemen, untuk mempertahankan iklim yang mendukung. Karena organisasi terdiri
dari berbagai tingkatan dan keahlian kerja, maka analisis akan dilakukan sehubungan dengan
berbagai tingkat personil yaitu Manajemen, Eksekutif, Non-Eksekutif, dan Staf Teknis.

15
Dasar Teori
Berdasarkan studi empiris terdapat dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Studi menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara iklim komunikasi dalam organisasi
dengan tingkat komitmen karyawan terhadap organisasi (Trombetta dan Rogers, 1988). Welsch
dan LaVan (1981) berpendapat bahwa kualitas informasi, akurasi dan arus komunikasi semuanya
terkait dengan komitmen.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada kepercayaan yang meningkat pada manajemen
ketika kedua pihak, manajemen puncak dan karyawannya, terbuka terhadap pandangan dalam
pengambilan keputusan (Mishra & Morrissey, 1990; McCauley & Kuhnert, 1992; Meznor &
Nigh, 1995). Studi menunjukkan bahwa komunikasi terbuka meningkatkan produktivitas dan
juga profitabilitas terhadap sebuah organisasi (Rosenberg & Rosestein, 1980). Komunikasi
positif memperkuat identifikasi yang berfungsi meningkatkan diri karyawan dalam organisasi
(Ale Smidts et.al, 2000).
Studi juga menunjukkan bahwa bekerja dalam sebuah organisasi memerlukan kerja tim dan
konflik tidak bisa dihindari karena ini adalah fenomena sosial (Pondy, 1967). Ma, Lee dan Yu
(2008) mengembangkan model ganda dalam gaya manajemen konflik yang berfokus pada diri
sendiri atau perhatian orang lain. Kedua dimensi ini selanjutnya dibagi menjadi penghindaran,
akomodatif, bersaing, kolaboratif dan kompromi - gaya yang berbeda yang diadopsi oleh
individu dalam menangani konflik.
(Millar, Rogers dan Bavelas, 1984) menyatakan bahwa konflik di dalam organisasi dapat
dilihat dari dua perspektif yang berbeda karena dapat dipandang sebagai normatif atau dinamis.
Model normatif melihat konflik sebagai hal negatif dan memerlukan perhatian untuk
menyelesaikan sementara model dinamis melihat konflik sebagai sesuatu yang positif dan
sebenarnya menguntungkan bagi organisasi.
Jameson (1999) berpendapat bahwa apakah konflik dianggap negatif atau positif tergantung
pada sifat dan atribut, tujuan dan strategi dalam menangani konflik. Ada berbagai cara dalam
mengelola konflik yang disarankan dalam literatur.
Keterbukaan komunikasi dalam iklim seperti itu merupakan komponen kunci dalam
mengurangi dampak konflik kepercayaan yang merugikan (Lewicki and Bunker, 1995). Oleh
karena itu komunikasi dipandang penting untuk membangun kepercayaan dalam sebuah
organisasi (Atkinson and Butcher, 2003; Aubert dan Kelsey, 2003) yang mengakibatkan konflik
yang berkurang dan iklim organisasi yang positif. Studi ini mengkaji dampak strategi konflik
komunikasi yang digunakan oleh personil perusahaan minyak dan gas pada keseluruhan iklim
komunikasi organisasi.

16
Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Penelitian dilakukan di sebuah perusahaan minyak dan gas di Malaysia. Kuesioner dibagi
menjadi tiga bagian yaitu iklim komunikasi organisasi, manajemen konflik dan demografi. Fokus
instrumen ini sejalan dengan tujuan penelitian ini yang juga berusaha mengeksplorasi hubungan
antara strategi konflik komunikasi dan iklim komunikasi dalam sebuah organisasi. Keandalan
instrumen ini mapan dan telah konsisten tinggi seperti yang dilaporkan dalam banyak penelitian
lain dalam literatur. Wilson dan Waltman (1988) melaporkan koefisien alpha mulai dari 0,70
sampai 0,93 untuk subskala. Validitas konten yang ditetapkan menegaskan strategi komunikasi
yang digunakan untuk mengelola konflik organisasi yang termasuk dalam kuesioner sudah
memadai Ini berisi 30 item dan responden menunjukkan skala Likert 5 poin pada frekuensi
menggunakan strategi tertentu. Skala sub meliputi: strategi non-konfrontasi, strategi berorientasi
solusi (yang mengandung kolaborasi dan kompromi) dan strategi pengendalian. Bagian
demografi mendorong tanggapan pada latar belakang responden misalnya posisi, jenis kelamin,
usia dan departemen mereka.
Hasil
Temuan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Perilaku komunikasi dalam menyelesaikan konflik
Temuan menunjukkan bahwa lebih dari biasanya, staf akan mencoba menyeimbangkan
antara menggunakan konfrontasi dan kompromi dalam strategi untuk menyelesaikan
konflik. Para staf tidak terlalu kuat dalam mengadopsi konfrontasi atau kompromi
sebagai strategi yang berorientasi pada solusi dan terkadang menyarankan solusi yang
menggabungkan berbagai sudut pandang, mengintegrasikan argumen ke solusi baru,
menawarkan solusi kreatif saat mendiskusikan ketidaksepakatan dan bekerja sama untuk
menciptakan solusi untuk ketidaksepakatan.
Organisasi umumnya tidak sering menerapkan strategi pengendalian penggunaan yang
tinggi dalam menyelesaikan konflik. Namun mereka menyuarakan pendapat mereka saat
bertengkar dengan staf lain dan terkadang mereka memberikan pendapat dengan tegas.
Temuan ini juga menunjukkan bahwa personil organisasi sangat jarang memilih untuk
mendominasi argumen sampai orang lain memahami posisi mereka, berdebat dengan
tegas mengenai sudut pandang mereka, menegaskan pendirian mereka dapat diterima
selama perselisihan dengan atasan atau berdiri teguh dalam mengekspresikan sudut
pandang mereka selama perselisihan dengan orang lain.

17
2. Iklim komunikasi organisasi di tingkat organisasi
Tingkat komunikasi deskriptif dan evaluatif yang cukup tinggi menunjukkan bahwa
personil umumnya dianggap selalu memeriksa dan memahami apa yang diartikulasikan
oleh rekan sejawat mereka. Iklim seperti itu ada di dalam organisasi karena kebanyakan
responden sering secara lisan menggambarkan perasaan yang anggota lain coba
ungkapkan dan katakan kembali untuk klarifikasi apa yang orang lain katakan sebelum
membuat poin mereka sendiri. Tenaga kerja memiliki kecenderungan dalam
menggunakan orientasi masalah daripada kontrol.
Orang-orang dalam organisasi dianggap sangat sering berbagi perasaan dengan cara yang
jelas dan tidak mengancam, memberikan dukungan dan dorongan dalam sebuah diskusi
untuk mengeksplorasi sebuah isu secara mendalam, membantu mengeksplorasi sebuah
isu secara mendalam tanpa mencoba mendorong gagasan dan gagasan mereka. jelas
dimuka apa harapan mereka. Perilaku komunikasi seperti empati dapat menciptakan
siklus dukungan di antara staf dalam organisasi. Netralitas di sisi lain menunjukkan
ketidakpedulian terhadap perasaan orang lain.
Berkomunikasi sementara, adalah perilaku pendukung lainnya, yang menunjukkan
keterbukaan dan kesediaan untuk menerima gagasan orang lain. Kombinasi komunikasi
sementara, menggambarkan keprihatinan, dengan menggunakan orientasi masalah dalam
pengambilan keputusan, spontanitas dalam pemecahan masalah dengan motif asli,
mengungkapkan empati, dan menekankan kesetaraan menciptakan iklim komunikasi
yang mendukung dalam organisasi.
Dalam manajemen puncak, keseluruhan iklim bersifat defensif daripada mendukung
dimana item yang berada di bawah skala evaluatif, terkontrol, strategi, netral, bukan
empati, superior dan pasti. Iklim evaluatif yang dirasakan oleh eksekutif manajemen
menunjukkan bahwa orang-orang di organisasi mereka hampir jarang secara lisan
menggambarkan perasaan orang lain yang mencoba untuk mengungkapkannya,
mengajukan kembali klarifikasi sebelum membuat poin mereka, katakan dengan jelas di
muka apa harapan mereka dan berikan umpan balik yang obyektif tanpa evaluatif. Iklim
komunikasi dikendalikan di mana orang-orang dalam organisasi terlihat hampir jarang
meminta orang lain untuk mengulangi apa yang mereka katakan untuk pemahaman yang
lebih baik dan jarang menghadapi ketidaksepakatan secara langsung untuk memahami
perbedaan mendasar. Iklim juga dipandang sebagai sesuatu yang pasti daripada
sementara karena orang-orang dianggap jarang memberi kesempatan kepada orang lain
untuk berbicara untuk berkontribusi dalam sebuah diskusi, membantu mengeksplorasi

18
sebuah isu secara mendalam tanpa mendorong gagasan mereka dan mencoba untuk
menghadapi ketidaksepakatan secara langsung untuk memahami perbedaan mendasar.
3. Dampak strategi konflik komunikasi organisasi terhadap komunikasi iklim
organisasi
  Temuan ini menunjukkan korelasi positif antara strategi komunikasi dalam
menyelesaikan konflik dan keseluruhan iklim komunikasi dalam organisasi. Dapat
diartikan bahwa semakin tinggi penggunaan strategi nonkonfrontasi, semakin mendukung
iklim komunikasi organisasi. Oleh karena itu, strategi komunikasi saat ini yang diadaptasi
oleh anggota organisasi ini dalam menyelesaikan konflik tampaknya sesuai dan sesuai
karena temuan tersebut mengindikasikan tingkat iklim positif yang cukup tinggi.
3.1. Non-Eksekutif Teknis
Analisis yang lebih dalam telah dilakukan dan ditemukan hasil yang berbeda
mengenai hubungan antara strategi dalam menyelesaikan konflik dan dampaknya
terhadap iklim komunikasi yang melibatkan non-eksekutif teknis di pabrik
perusahaan minyak dan gas. Temuan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara strategi non-konfrontasi dan iklim komunikasi organisasi yang
dirasakan. Namun ada hubungan positif antara strategi konfrontasi dan pengendalian
dalam menjaga iklim komunikasi yang mendukung secara keseluruhan. Kompromi
hanya akan bekerja untuk mempertahankan iklim kerja deskriptif, bukan evaluatif dan
mempertahankan tingkat empati yang tinggi dalam organisasi
3.2. Non-teknis non-eksekutif
Dalam analisis deskriptif, level non-teknis non-eksekutif jarang ditemukan
menggunakan pendekatan kontrol dalam menyelesaikan konflik. Kelompok staf ini
secara bergantian menggunakan non-konfrontasi, konfrontasi dan kompromi, yang
memiliki tingkat dampak dalam menjaga iklim komunikasi yang mendukung.
3.3. Tingkat Eksekutif
Serupa dengan kelompok non-eksekutif teknis, tidak ada hubungan yang signifikan
antara strategi nonkonfrontasional dan iklim komunikasi. Analisis deskriptif juga
menunjukkan bahwa para eksekutif jarang menggunakan pendekatan non-konfrontatif
dalam menyelesaikan konflik. Mereka secara bergantian menggunakan strategi
konfrontasi, kompromi atau kontrol dalam menyelesaikan konflik, yang memiliki
hubungan kuat dalam menjaga iklim yang mendukung.
3.4. Tingkat Manajemen
Temuan menunjukkan bahwa ada sedikit strategi yang memiliki dampak signifikan
terhadap keseluruhan iklim komunikasi sebagaimana dirasakan oleh tingkat

19
manajemen. Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi non konfrontasi atau
kontrol dan iklim komunikasi. Namun ada hubungan positif yang kuat antara
konfrontasi dan iklim komunikasi organisasi seperti yang dirasakan oleh manajemen
puncak perusahaan. Berbeda dengan para eksekutif yang merasakan pendekatan
terpadu dalam mengelola konflik melalui kompromi, strategi konfrontasi dan
pengendalian akan memiliki dampak dalam mempertahankan iklim komunikasi yang
mendukung, namun pendekatan manajemen hanya terbatas pada konfrontasi dan
kompromi. Ada juga hubungan yang kuat antara kompromi dan semua variabel di
bawah iklim komunikasi kecuali untuk unsur provisionalisme. Tim manajemen
organisasi sangat jarang menggunakan strategi nonkonfrontasi dan kontrol, yang
temuannya menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki dampak pada iklim
komunikasi. Namun mereka terkadang menggunakan strategi kompromi atau
konfrontatif sebagai cara untuk menyelesaikan konflik yang memiliki hubungan
positif langsung dengan iklim komunikasi.
Simpulan
Studi ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa manajemen konflik juga terkait dengan
peran yang dimainkan personil dalam organisasi. Manajemen, eksekutif dan eksekutif teknis
-non-eksekutif merasa bahwa dengan menerapkan strategi non-konfrontatif tidak akan membantu
mempertahankan iklim yang mendukung. Di sisi lain, nonteknis non-eksekutif merasa bahwa
dengan mengadopsi strategi non-konfrontasi dalam mengelola konflik dapat membantu menjaga
iklim yang mendukung. Ini juga bisa disebabkan oleh peran mereka dalam organisasi yang
sangat mendukung atasan dan juga staf teknis. Strategi non-konfrontasi dianggap tidak
berdampak pada iklim seperti yang terlihat oleh tiga sub-kelompok manajemen, eksekutif dan
non-eksekutif teknis. Strategi berbeda yang diadopsi oleh berbagai kelompok personil sesuai
dengan peran dan situasi mereka di tempat kerja, menunjukkan bahwa konflik dalam konteks
yang berbeda perlu diperiksa lebih lanjut kapan, dengan siapa dan pada tujuan apa gaya
manajemen konflik yang berbeda digunakan untuk meningkatkan iklim komunikasi yang
mendukung di tempat kerja.
Keterbatasan
Penelitian ini menggunakan hanya berfokus pada keseluruhan jaringan komunikasi,
bukan pada komunikasi vertikal atau horizontal. Sehingga bagaimanapun juga tidak dapat
mengabaikan pentingnya perspektif iklim komunikasi organisasi lainnya.

20

Anda mungkin juga menyukai