Budaya Memberi Dan Gratifikasi
Budaya Memberi Dan Gratifikasi
Disusun oleh:
Silvil Ulya Putri
(202120032)
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi
kesempatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berupa makalah
ini. makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan tugas
perkuliahan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak
yang telah memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Makalah ini merupakan salah satu upaya untuk menambah ilmu dan wawasan
tentang penjelasan yang mengenai Masyarakat Memandang Gratifikasi Dalam Tindak Pidana
Korupsi. Dan kami harap makalah ini akan memberi banyak manfaat bagi para mahasiswa
maupun untuk bagi pembaca.
Susunan makalah ini sudah dibuat dengan sebaik-baiknya, namun tentu masih
banyak kekurangannya. Oleh karena itu jika ada kritik atau saran apapun yang sifatnya
membangun bagi kami, dengan senang hati akan kami terima.
Penulis
2
DAFTAR ISI
COVER JUDUL ...........................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................................4
1.2 Tujuan Penelitian............................................................................................................7
1.3 Manfaat Penelitian..........................................................................................................8
BAB II RUMUSAN MASALAH.................................................................................................9
2.1 Hak Konstitusional Tersangka Korupsi Tindak Pidana Korupsi...................................9
2.2 Perlindungan Pelaku Tindak Pidana Korupsi...............................................................10
2.3 Pelaku Tindak Pidana Korupsi.....................................................................................10
BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................................13
A. Pengertian Gratifikasi...................................................................................................13
B. Gratifikasi Dalam Pandangan Masyarakat...................................................................14
BAB IV PENUTUP.....................................................................................................................16
4.1 Kesimpulan...................................................................................................................16
4.2 Saran.............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................17
3
BAB I
PENDAHULUAN
2. Manfaat Teoritis
a. Tulisan ini diharapkan dapat berguna pula sebagai bahan untuk pengembangan
wawasan dan kajian yang akan lebih lanjut di masa datang, terutama bagi yang
8
ingin memperdalam masalah penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam
tindak pidana korupsi.
b. Tulisan ini dapat bermanfaat untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat
sebagai salah satu kewajiban pada akhir perkuliahan sosiologi hukum pidana di
Indonesia.
9
BAB II
RUMUSAN MASALAH
10
negara-negara juga akan lebih dapat berjanji bahwa untuk dapat pula pada suatu hal yang
sudah pasti untuk lebih dapat memberikan akan suatu jaminan yang sangat berguna dan
juga rencana untuk dapat melakukan sesuatu yang sangat berhubungan dengan pemulihan
terhadap seseorang yang hak-haknya telah dilanggar dalam kaitannya dengan pelaksanaan
tugas institusi negara atau dengan seorang penegak hukum (I Gusti Agung Ayu Dike
Widhiyaastuti, 2018).
11
Pertama, yang mana untuk setiap orang yang dalam hal ini tentu saja telah memenuhi
syarat sebagaimana yang telah dimaksud pada suatu pasal-pasal dalam Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 yang dalam hal ini adalah yang mengenai suatu perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tersebut.
Kedua, adalah untuk setiap orang yang dalam hal ini sudah tentu telah memenuhi
Pasal 11 dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang dalam hal ini adalah yang
mengenai akan suatu Komisi Pemberantasan Tinak Pidana Korupsi, sebagaimana yang
dalam hal ini juga yang telah diuraikan tersebut di atas. Di luar akan suatu ketentuan yang
ada dalam Pasal 11 tersebut adalah yang mengenai suatu hal yang berhubungan dengan
suatu kewenangan Penyidik Polri dan Penyidik Kejaksaan.
Menurut Teori hukum progresif menurut Prof. Satjipto Rahardjo, juga telah
menegaskan bahwa hukum adalah yang dalam hal ini sangat berguna untuk manusia itu
sendiri menjalankan kehidupannya dengan baik dan juga benar, serta yang dalam hal ini
juga yang dalam hal ini tentu bukan yang sebaliknya. Selanjutnya itu juga yang telah
disebutkan bahwa “Hukum itu bukan hanya bangunan atas suatu peraturan, melainkan juga
yang dalam hal ini adalah yang mengenai suatu isi dari bangunan itu sendiri seperti ide,
kultur, dan juga dengan cita-cita”.
Oleh karena itu, yang mengenai suatu pemikiran hukum yang sudah pasti dalam hal
ini juga sangat perlu kembali pada filosofis pada dasarnya, yaitu hukum untuk manusia
yang sepenuhnya tersebut. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan
juga dengan titik orientasi hukum. Hukum yang dalam hal ini juga yang telah bertugas
melayani manusia atau bukan sebaliknya. Dengan demikian, hukum itu bukan merupakan
suatu lembaga ataupun suatu institusi yang dapat lepas dari pada suatu kepentingan
manusia dari manusia itu sendiri.
Sementara itu pula, yang mengenai suatu mutu hukum yang dalam hal ini jelas-jelas
ditentukan oleh kemampuannya untuk dapat mengabdi pada kesejahteraan manusia
seutuhnya. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” akan suatu hukum yang
dinamakan dengan suatu Hukum yang Pro-Keadilan dan juga dengan Hukum yang Pro-
Rakyat. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum
progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan (I Gusti Agung Ayu Dike
Widhiyaastuti, 2018).
Akan tetapi, pada kenyataannya yang mengenai suatu kreativitas akan suatu pelaku
hukum juga mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku
12
hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif
dan juga terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu akan suatu perubahan
peraturan (changing the law). Peraturan buruk itu juga yang tidak harus menjadi
penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat
dan pencari keadilan itu sendiri.
Oleh karena itu, bagi mereka yang dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali
terhadap suatu peraturan-peraturan yang telah berlaku dan juga yang telah direncanakan.
Untuk itu agar hukum yang telah dirasakan akan berbagai macam manfaatnya, maka
dibutuhkan jasa bagi para pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam
kepentingan-kepentingan dalam bidang sosial yang memang harus dilayaninya dengan baik
dan juga benar. Berdasarkan teori ini, keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat
proses logis formal.
Sementara itu, yang berhubungan dengan suatu keadilan yang dalam hal ini justru
diperoleh lewat suatu lembaga ataupun lewat suatu institusi, karenanya untuk suatu
argumen-argumen yang lebih dari pada logis formal dapat “dicari” sesudah adanya suatu
keadilan yang dapat ditemukan untuk dapat membingkai suatu hal yang secara yuridis-
formal keputusan yang juga telah diyakini adil tersebut. Oleh karena itu mengenai konsep
hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang
berada di luar dirinya tersebut.
Dalam masalah penegakan akan suatu hukum, terdapat 2 (dua) macam tipe dari pada
suatu penegakan hukum progresif yang dalam hal ini adalah yang mengenai suatu dimensi
dan faktor manusia mengenai suatu pelaku dalam penegakan hukum progresifnya tersebut.
Idealnya, mereka yang dalam hal ini juga terdiri dari generasi baru profesional hukum yang
memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif serta kebutuhan akan
semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritis pada
suatu hukum di Indonesia
13
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gratifikasi
Arti gratifikasi menurut Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU Tipikor) adalah dengan “Pemberian dalam
arti luas”, yakni yang dalam hal ini meliputi pemberian akan uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman yang tentu tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas pada
sebuah penginapan, perjalanan akan wisata, pengobatan yang dalam hal ini juga yang
cuma-cuma, dan juga dengan beberapa fasilitas yang lainnya pula tersebut (I Gusti Agung
Ayu Dike Widhiyaastuti, 2018).
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik, yang antara lain adalah:
1. Kriminalisasi
Pengertian akan suatu hal yang sangat berhubungan dengan tindak kriminalisasi
dalam ilmu dari pada suatu hal yang sangat berhubungan dengan suatu tindakan
kriminologi bahwa kriminalisasi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan
perilaku individu-individu yang cenderung untuk dapat menjadi pelaku kejahatan dan
menjadi penjahat. Pengertian kriminalisasi dalam hukum adalah proses yang
memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi
kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat (Putri Hernie Panie,
2023).
Suatu perbuatan dinyatakan sebagai suatu pelanggaran hukum pidana hanya
oleh suatu peraturan dari pada suatu perundang-undangan, sebagaimana dimaksudkan
oleh asas legalitas yang secara doktriner diturunkan dari adagium nulla poena sine
lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali yang dalam
perkembangannya tersebut yang kemudian, dapat "diringkas" menjadi adagium nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege punalí, mengandung empat makna sebagai satu
kebulatan pengertian, yaitu:
a. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada undang-
undang yang telah mengatur sebelumnya (nullum crimen, nulla poena sine lege
14
praevia). Dalam pernyataan ini terkandung pengertian yang dapat dinayatakan
bahwa untuk suatu norma hukum pidana tersebut tidak boleh berlaku surut atau
retroaktif;
b. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada noma
hukum tertulis atau undang-undang (nullum crimen, ulapoena sine lege scripta).
Dalam pernyataan ini terkandung pengertian bahwa norma hukum pidana harus
tertulis, demikian pula pidananya. Artinya, baik perbuatan yang dilarang maupun
pidana yang telah diancamkan terhadap perbuatan yang dilarang itu harus tegas
dituliskan dalam undang-undang;
c. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada aturan
tertulis atau undang-undang yang jelas rumusannya (nullum crimen, nulla poena
sine lege certa). Dalam pernyataan ini terkandung akan suatu pengertian bukan
hanya larangan untuk memberlakukan hukum tidak tertulis dalam hukum pidana
dan dalam menjatuhkan pidana tetapi juga larangan yang dalam hal ini akan
menjatuhkan pidana jika rumusan norma dalam hukum tertulisnya (undang-
undang) itu tidak jelas;
d. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada hukum
tertulis yang ketat (nullum crimen, nulla poena sine legestricta). Dalam pernyataan
ini juga yang terkandung pengertian bahwa ketentuan yang terdapat dalam undang-
undang pidana harus ditafsirkan secara ketat. Dari sini pula lahir pemahaman yang
telah diterima di kalangan hukum bahwa dalam hukum pidana dilarang
menggunakan analogi.
2. Dekriminalisasi.
Pengertian dekriminalisasi adalah dengan jalan penggolongan suatu perbuatan
yang pada mulanya dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian dianggap
sebagai perilaku biasa. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pengertian diatas
tidak memenuhi syarat sebagai perbuatan tindak pidana, sebagaimana syarat dalam
asas legalitas.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penerimaan atau pemberian akan gratifikasi dinyatakan sebagai suatu perbuatan
kriminal atau melanggar hukum pidana sebagaimana dalam undang-undang tindak pidana
korupsi, sekaligus membatasi gratifikasi mana yang bukan melanggar hukum pidana,
dengan maksud dan tujuan sebagai salah satu upaya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia.
Namun demikian, yang dalam hal ini mengenai masyarakat memandang pemberian
atau penerimaan gratifikasi merupakan salah satu sumber pencederaian dari pada suatu
kebiasaan masyarakat yang saling tolong menolong ataupun dapat melakukan suatu hal
yang berhubungan dengan bantu membantu. Selain itu bahwa masyarakat justru
berkehendak melestarikan akan suatu kebiasaan saling tolong atau bantu tersebut karena
diyakini kebiasaan itu merupakan suatu hal yang baik.
Realitas dalam masyarakat bahwa pernyataan dekriminalisasi terhadap suatu
perbuatan pemberian atau penerimaan gratifikasi sama nilainya dalam pencederaian
kebiasaan baik yang telah berjalan, karena sesuatu yang diberikan atau diterima harus
melalui proses pemeriksaan atau penilaian oleh KPK. Hasil akhir dari penetapan
gratifikasi itu tidak menjadi urgen dalam masyarakat, tetapi proses pemeriksaan
merupakan suatu perlakuan yang tidak beretika..
4.2 Saran
Pemberantasan tindak pidana korupsi melalui upaya pengkriminalan pemberian atau
penerimaan gratifikasi patut untuk dipertimbangkan kembali dalam Rancangan Undang-
Undang atau RKUHP, mengingat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi masih
terdapat banyak cara atau metode lain.
Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam RKUHP tentang suatu hal yang
berhubungan dengan pemberian atau penerimaan gratifikasi yang dalam hal ini juga
hendaknya tidak mencederai kebiasaan akan suatu masyarakat dalam hal tolong menolong
atau bantu membantu.
17
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, N. K. (2023). Pentingnya Pendidikan Anti Korupsi Dalam Menumbuhkan Budaya Anti
Korupsi. Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis, Volume 3 Nomor 1, Januari 2023, 1 - 7.
MahiNiamah, S. (2021, November 28). Pentingnya Pendidikan Anti Korupsi . Retrieved from
Kompasiana:
https://www.kompasiana.com/shifara32321/61a2d6a006310e18964ea172/pentingnya-
pendidikan-anti-korupsi
Putri Hernie Panie, G. K. (2023). Sosialisasi Peran Pendidikan Anti Korupsi Dalam
Mewujudkan Pembangunan Nasional Bebas Korupsi Di SD Gmit Kolhua Kota
Kupang. JURNAL PEMIMPIN - PENGABDIAN MASYARAKAT ILMU | E-ISSN :
2808-5132, Volume 3 Nomor 1 –Januari 2023 , 13 - 17 .
Retna Febri Arifiati, D. A. (2022). Peranan Pendidikan Anti Korupsi Dalam Pencegahan
Tindak Korupsi Pungutan Liar. JURNAL EMPATHY Pengabdian Kepada
Masyarakat, Vol. 3, No.2, December 2022,
https://jurnalempathy.com/index.php/jurnalempathy, 122 - 130.
Ridwan. (2012). Peran Lembaga Pendidikan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012, 547 - 556.
18
19