Anda di halaman 1dari 19

MASYARAKAT MEMANDANG GRATIFIKASI DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

Disusun oleh:
Silvil Ulya Putri

(202120032)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi
kesempatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berupa makalah
ini. makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan tugas
perkuliahan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak
yang telah memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Makalah ini merupakan salah satu upaya untuk menambah ilmu dan wawasan
tentang penjelasan yang mengenai Masyarakat Memandang Gratifikasi Dalam Tindak Pidana
Korupsi. Dan kami harap makalah ini akan memberi banyak manfaat bagi para mahasiswa
maupun untuk bagi pembaca.
Susunan makalah ini sudah dibuat dengan sebaik-baiknya, namun tentu masih
banyak kekurangannya. Oleh karena itu jika ada kritik atau saran apapun yang sifatnya
membangun bagi kami, dengan senang hati akan kami terima.

Kudus, Desember 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI
COVER JUDUL ...........................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................................4
1.2 Tujuan Penelitian............................................................................................................7
1.3 Manfaat Penelitian..........................................................................................................8
BAB II RUMUSAN MASALAH.................................................................................................9
2.1 Hak Konstitusional Tersangka Korupsi Tindak Pidana Korupsi...................................9
2.2 Perlindungan Pelaku Tindak Pidana Korupsi...............................................................10
2.3 Pelaku Tindak Pidana Korupsi.....................................................................................10
BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................................13
A. Pengertian Gratifikasi...................................................................................................13
B. Gratifikasi Dalam Pandangan Masyarakat...................................................................14
BAB IV PENUTUP.....................................................................................................................16
4.1 Kesimpulan...................................................................................................................16
4.2 Saran.............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya bangsa Indonesia, yang mana sejak dari dahulu kala secara turun temurun
telah berjalan suatu kebiasaan tolong menolong atau saling membantu dalam kehidupan
masyarakat yang dilakukan melalui banyak cara dan juga dengan suatu strategi, yang
diantaranya adalah dapat dilakukan dengan cara memberi dan juga yang menerima
sesuatu, namun tidak terbatas dalam hal materil tentunya. Ditolong untuk tidak karena ada
permintaan untuk dapat ditolong atau dibantu bukan karena adanya suatu permintaan
untuk dibantu (Cyprianus Anto Saptowalyono, 2022).
Akan tetapi karena hal ini yang juga didasarkan dengan adanya kesadaran dari pada
individu yang dalam hal ini akan juga hidup bergaul atau berinteraksi bahwa hidup tidak
dapat sendiri melainkan hidup ditengah-tengah masyarakat yang lainnya. Kesadaran untuk
saling menolong atau dengan cara membantu yang termasuk merupakan kebiasaan yang
diikuti dari yang dilakukan oleh para masyarakat sebelumnya, dan hal itu merupakan suatu
hal yang lebih baik (Dewi, 2023).
Hal ini juga yang tolong menolong atau saling bantu-membantu, yang dalam hal ini
dengan demikian menjadi suatu ataupun beberapa ciri yang sangat khas terutama bagi
bangsa Indonesia itu sendiri tentunya, yang kemudian dapat pula untuk dilestarikan secara
turun temurun. Ciri yang termasuk khas itu untuk mulai tergerus seiring dengan
perkembangan dari segala sektor atau bidang terutama bagi masyarakat yang ada di
wilayah perkotaan tersebut, namun untuk bagi masyarakat yang ada di wilayah pedesaan
dan yang masih saja dapat ditemukan dengan yang lebih konkrit tersebut (Gregorius
Widiartana, 2020).
Bahkan untuk perihal tolong-menolong atau saling bantu ini, bukan saja hanya
diartikan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan suatu hal yang berhubungan dengan
kebiasaan, namun secara filosoif dapat dinyatakan bahwa ‘meminta tetapi ditolak
merupakan hal yang sakit, dan juga yang lebih sakit apabila diberi, akan tetapi hal tersebut
justru dapat ditolak’. Sementara untuk perihal ‘Meminta tapi ditolak’ yang tentu
merupakan hal yang umum terjadi, namun justru akan semakin ‘diberi tapi ditolak’
merupakan hal yang jarang terjadi (MahiNiamah, 2021).
Sementara itu, menurut Logan Siagain yang juga telah mengatakan bahwa dengan
4
pemberian memang sudah menjadi suatu kesatuan dalam suatu suku-suku bangsa yang
tentunya ada dan juga yang tentu saja berdomisili di Indonesia. Logan Siagian juga telah
menuturkan bahwa ada pepatah dalam bahasa Batak yang mengatakan bahwa untuk
“hansit mulak manjalo, hansitan mulak en mangalean”, terjemahan langsungya adalah
bahwa “Sakit ditolak (ketika kita) juga akan meminta, akan tetapi justru akan lebih sakit
ataupun juga ditolak (ketika kita) memberi.” Pemberian yang ditolak tidak jarang justu
akan menjadi suatu masalah besar, bahkan tidak jarang juga dapat untuk berujung pada
perkelahian berdarah, dan masalah itu juga yang terbawa hingga pada keturunan dari pada
pihak-pihak yang terkait dalam aktivitas atau kegiatan ini (I Gusti Agung Ayu Dike
Widhiyaastuti, 2018).
Sementara, untuk permintaan atau pertolongan tidak terbatas dalam hal-hal besar,
namun hanya juga untuk sekedar kehadiran dari pada seseorangpun yang tentu saja dalam
suatu acara atau kegiatan ataupun aktivitas dari pada orang lain adalah yang merupakan
sebagai salah satu bentuk tolong menolong ataupun bantu membantu dalam pengertian
yang lebih luas. Di sektor swasta yang ada di Negara Amerika Serikat saja tersebut, dapat
dinyatakan bahwa mengenai suatu budaya akan dapat untuk memberikan uang akan
strategi atau cara yang sudah menjadi suatu hukum yang juga tidak tertulis (Putri Hernie
Panie, 2023).
Meskipun dengan adanya suatu hal yang dalam hal ini berhubungan dengan suatu
pemberian ataupun yang tidak memberi tidak diancam dengan suatu tindakan pidana.
Sedangkan budaya dari negara-negara yang ada di Asia Timur tersebut sangatlah berbeda
dengan budaya yang ada di Negara Amerika Serikat, selain itu untuk Negara Jepang dan
Korea Selatan itu sendiri saja untuk dapat diketahui bersama pula, mengenai
masyarakatnya juga akan berlaku bahwa dapat untuk melakukan suatu penolakan atas
pemberian yang bukan haknya (Putri Hernie Panie, 2023).
Sementara itu, perihal yang mengenai budaya (Negara Amerika dan juga dengan
Negara-negara yang ada di Asia Timur) sama-sama dapat untuk dikatakan bahwa justru
akan memiliki suatu perasaan yang dalam hal ini justru akan lebih ‘bangga’ lagi dari pada
suatu keadaan yang sebelumnya tersebut pula, di Negara Amerika Serikat mempunyai
peraasaan yang dalam hal ini justru lebih bangga dengan strategi ataupun dengan cara
yang dapat diterima dengan baik, karena dapat pula untuk dianggap sebagai suatu
pelayananan yang diberikan cukup memuaskan (Retna Febri Arifiati, 2022).
Sedangkan untuk Negara-Negara yang sekarang berada di Benua Asia bagian Timur
bangga karena menolak yang tentu saja bukan haknya tersebut pula (Ridwan, 2012).
5
Tampaknya akan lebih cukup dapat beralasan dengan adagium yang akan lebih dapat
berkembang ‘tidak boleh menolak pada suatu hal yang dalam hal ini akan mendapatkan
suatu hal yang berhubungan dengan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa tersebut,
sedangkan untuk perihal pemberi adalah perpanjangan tangan Tuhan’.
Hal ini semakin memperkuat bahwa akan budaya bangsa yang ada di Indonesia yang
dalam hal ini adalah dengan adanya suatu budaya untuk dapat saling tolong-menolong
tersebut. Disisi lain, kebiasaan-kebiasaan untuk saling dapat memberi dalam budaya
bangsa yang ada di Indonesia, baik karena kebiasaan-kebiasaan yang tentu saja dapat
muncul pula dari dalam adat istiadat bahkan dalam ruang lingkup keagamaan menjadi
alasan pembenar untuk tetap pula atas berlakunya saling memberi, meskipun berhubungan
dengan suatu pelayanan publik yang memiliki kepentingan lain selain itu yang ada pada
suatu kebiasaan budaya bangsa.
Dalam buku Pedoman akan suatu hal yang berhubungan dengan Pengendalian
Gratifikasi yang dapat pula untuk diterbitkan KPK, sejak pada tahun 2015 bahwa
gratifikasi dianggap sebagai akar dari pada suatu tindak pidana yang biasa disebut dengan
tindak pidana korupsi, oleh karena itu perihal akan suatu praktik dari pada suatu hal yang
dalam hal ini biasa disebut pula dengan gratifikasi harus cepat pula untuk diberantas
(Pedoman Pengendalian Gratifikasi).
Namun Syed Hussei Alatas memotret bahwa pemberian hadiah tersebut dalam
bukunya Korupsi, Sifat, Sebab dan juga dengan fungsi yang menurutnya, praktik
pemberian akan suatu hal yang berhubungan dengan gratifikasi ataupun hadiah tidak serta
merta dapat dipandang sebagai faktor penyebab korupsi. Hal seperti itu telah hidup yang
lebih dari pada kata cukup lama, tidak saja di Indonesia dan negara-negara Asia namun
juga pada suatu negara-negara barat.
Akan tetapi, pada suatu praktik yang bersumber dari pranata yang dalam hal ini adalah
yang lebih dari pada sifat tradisional tersebut kemudian akan ditunggangi kepentingan di
luar dari pada suatu aspek hubungan emosional pribadi dan sosial kemasyarakatan. Dalam
buku Sosiologi Korupsi, Alatas menulis: “hal menarik yang diperbuat di sini adalah
perbedaan antara kesewenang-wenangan dan praktek yang lebih dari pada kata layak itu
sendiri dari pranata tradisional pemberian hadiah (I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti,
2018).
Apabila pembedaan ini sudah diperbuat, tidak sulit membayangkan bagaimana korupsi
menjalar. Akan tetapi, kita harus mengkaji makna kebiasaan dari pada suatu hal yang
berhubungan dengan pemberian sebagai suatu sumber kesewenang-wenangan dalam
6
jaringan yang dalam hal ini lebih bersifat akan kausal korupsi, mengingat fakta bahwa
praktek-praktek lain yang dalam hal ini telah disetujui oleh masyarakat yang tentu sudah
dijangkiti oleh korupsi (Alatas, 1983: 56) dalam (I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti,
2018).
Demikian juga dengan pernyataan Thamrin Amal Tamagola (2009) yang dalam hal
ini juga telah memandang hadiah sebagai sesuatu yang pula tidak saja lumrah dalam setiap
kehidupan masyarakat, akan tetapi juga dapat berperan sangat penting sebagai suatu hal
yang memiliki suatu kohesi sosial dalam suatu masyarakat maupun antar-masyarakat atau
marga ataupun pada puak bahkan antar bangsa. Senada dengan itu, Kastorius Sinaga
(2009) juga telah memberikan perspektif sosiologis mengenai suatu hal yang berhubungan
dengan suatu gratifikasi yang mengungkapkan bahwa adanya suatu konsepsi gratifikasi
bersifat lebih dari pada luas dan elementer di dalam kehidupan kemasyarakatan (Putri
Hernie Panie, 2023).
Apabila dengan memberi dan menerima hadiah ditempatkan dalam konteks yang
dalam hal ini juga hubungan sosial maka praktek-praktek tersebut bersifat netral. Akan
tetapi, jika terdapat hubungan dari pada suatu kekuasaan, makna gratifikasi menjadi tidak
netral lagi. Merujuk pada data Global Corruption Barometer (GCB) Tahun 2013 yang
telah dirilis Transparency International, untuk itu pula akan mendapatkan pelayanan
publik 71 % responden yang telah mengatakan mengeluarkan “uang pelicin” agar dapat
mengakses pelayanan dari publik.
Semetara itu pula, yang mengenai suatu hal yang berhubungan dengan suatu
pelayanan di sektor publik sebagai perihal gratifikasi yang membebani pihak swasta,
meskipun gratifikasi itu tidak akan selalu datang lebih dahulu dari pelayan publik, namun
berkaitan erat dengan kepentingan pihak swasta, yang pada akhirnya terjadi saling untuk
dapat memberi dan saling menguntungkan. Gratifikasi itupun dijadikan sebagai biaya
tambahan dalam proses produksi atau pekerjaan yang pada muaranya adalah yang
berimplikasi pada tanggungan konsumen sebagai pengguna akhir (I Gusti Agung Ayu
Dike Widhiyaastuti, 2018).
Pemahaman akan suatu ragam tentang gratifikasi yang diidentikkan sebagai suatu
yang a-moral, bahkan menyamakan gratifikasi dengan suap. Oleh sebab itu praktik
gratifikasi juga dalam hal ini harus diberantas, meskipun tidak pula untuk sepenuhnya
dapat diterima oleh masyarakat karena pemberian dan juga dengan penerimaan dianggap
sebagai norma baik bahkan dilestarikan. Pemberian atau pula dengan suatu penerimaan
sesuatu antar pihak sebagai pemberi dan penerima menjadi suatu ‘masalah’ ketika
7
perbuatan pada suatu pemberian dan penerimaan itu dinyatakan suatu perbuatan
melanggar akan suatu tindakan hukum pidana.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari pada suatu penulisan mengenai artikel yang berbentuk makalah ini, antara
lain adalah:
1. Menganalisis pentingnya masyarakat memandang gratifikasi dalam tindak pidana
korupsi.
2. Menyusun strategi mengurangi tingkat korupsi sebagai implementasi dari pada
pentingnya masyarakat memandang gratifikasi dalam tindak pidana korupsi.
3. Mengidentifikasi pentingnya masyarakat memandang gratifikasi dalam tindak pidana
korupsi.

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang lebih dari pada sekedar informasi
akan pengetahuan yang antara lain dapat dibagi 2, yaitu manfaat pratis dan juga dengan
manfaat teoritis tersebut.
1. Manfaat praktis
a. Tulisan ini bermanfaat bagi Penyidik tindak pidana korupsi dalam menetapkan
tersangka sesuai dengan hukum acara pidana dan ketentuan peraturan perundang-
undangan terkait dengan tindak pidana korupsi gratifikasi.
b. Tulisan ini bermanfaat bagi masyarakat dalam arti luas, terutama bagi tersangka
guna mengetahui lebih jauh mengenai proses dan juga dengan prosedur penetapan
tersangka tindak pidana korupsi dalam rangka mencegah terjadinya kesewenang-
wenangan aparat penegak hukum.
c. Tulisan ini dapat bermanfaat bagi Hakim dalam memeriksa penetapan tersangka
dalam tindak pidana korupsi gratifikasi
d. Tulisan ini dapat bermanfaat bagi peneliti sendiri dalam rangka mengembangkan
ilmu pengetahuan.

2. Manfaat Teoritis
a. Tulisan ini diharapkan dapat berguna pula sebagai bahan untuk pengembangan
wawasan dan kajian yang akan lebih lanjut di masa datang, terutama bagi yang

8
ingin memperdalam masalah penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam
tindak pidana korupsi.
b. Tulisan ini dapat bermanfaat untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat
sebagai salah satu kewajiban pada akhir perkuliahan sosiologi hukum pidana di
Indonesia.

9
BAB II

RUMUSAN MASALAH

2.1 Hak Konstitusional Tersangka Korupsi Tindak Pidana Korupsi


Perbuatan memberi dan juga untuk dapat menerima sebagaimana diuraikan di atas
yang dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum pidana, yakni memberi atau menerima;
uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fsilitas lainnya, maka rumusan
masalah yang diangkat adalah sebagaimana “Sejauhmana Masyarakat Memandang
Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi?”.
Mengingat ini dibatasi pada pembahasan putusan praperadilan mengenai penetapan
tersangka dalam tindak pidana korupsi ditinjau dari sisi yuridis, maka dalam tinjauan akan
suatu kajian pustaka pada sub bab kerangka teoriini memuat teori-teori, azas hukum,
prinsip-prinsip, aturan-aturan, pendapat-pendapat, proposisi dan yang lain-lainnya, yang
mana hasil yang relevan tersebut sebagai landasan penelitian (I Gusti Agung Ayu Dike
Widhiyaastuti, 2018).
Hak konstitusional setiap orang bagi setiap orang berhak atas suatu hal yang dalam
hal ini sangat berkaitan dan juga berhubungan dengan adanya suatu pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Negara Republik Indonesia
juga telah meratifikasi adanya suatu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik (Internatioal Covenant on Civil and Political Right) melalui Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005).
Suatu hal yang berhubungan dengan adanya kovenan Internasional tentang Hak-
Hak Sipil dan Politik (Internatioal Covenant on Civil and Political Right) melalui Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005) yang dalam hal ini merupakan salah satu instrumen
internasional yang telah berisi mengenai pengukuhan akan suatu pokok-pokok dari pada
suatu hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri.
Sementara itu, mengenai suatu akan hak dari pada pelaku dari tindak pidana korupsi
tersebut adalah yang mengenai suatu ketentuan yang telah diratifikasi melalui kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Internatioal Covenant on Civil and
Political Right) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005) tersebut, yang mana untuk

10
negara-negara juga akan lebih dapat berjanji bahwa untuk dapat pula pada suatu hal yang
sudah pasti untuk lebih dapat memberikan akan suatu jaminan yang sangat berguna dan
juga rencana untuk dapat melakukan sesuatu yang sangat berhubungan dengan pemulihan
terhadap seseorang yang hak-haknya telah dilanggar dalam kaitannya dengan pelaksanaan
tugas institusi negara atau dengan seorang penegak hukum (I Gusti Agung Ayu Dike
Widhiyaastuti, 2018).

2.2 Perlindungan Pelaku Tindak Pidana Korupsi


Abad ke-13 yang telah silam, Raja John di Inggris yang pada saat itu masih juga akan
memimpin negaranya sendiri, dengan menggunakan sistem monarki yang lebih absolut juga
telah bertindak akan kelewat pada batas atas tanah milik orang-orang yang dalam hal ini
adalah yang lebih berpengaruh, termasuk masalah-masalah yang lainnya, sehingga terjadi
suatu hal yang sangat berhubungan dengan suatu perselisihan. Para baron (bangsawan) juga
pada saat itu akan lebih banyak untuk menuntut Raja John itu sendiri untuk memberikan
hak-hak tertentu.
Hak-hak tertentu tersebut yang pada saat itu pula mengharuskan dari pada suatu
kerajaan untuk dapat membatalkan akan beberapa hak dan juga dengan lebih dapat
menghargai akan prosedur yang telah dibuatnya tersebut. Prosdural yang legal serta
keinginan raja yang pada saat itu juga telah dibatasi oleh hukum. Dari berbagai peristiwa
itu, maka lahirlah Magna Carta (Piagam Perjanjian). Yang mana Magna Carta (Piagam
Perjanjian) ini dijadikan sebagai suatu simbol dan juga dengan berbagai seruan melawan
penindasan yang dilakukan Raja John tersebut.
Seruan melawan penindasan ini yang selanjutnya juga dapat dipahami sebagai suatu
perlindungan atas suatu kebebasan yang dalam hal ini akan terancam. Magna Carta tersebut
yang tentu saja merupakan langkah awal dalam proses sejarah panjang menuju pada suatu
proses pembuatan hukum yang lebih konstitusional. Setelahnya, lahir berbagai undang-
undang seperti persamaan atas hak dan juga dengan dimuka hukum (Habeas Corpus Act),
undang-undang ini juga yang telah mengatur tentang kebebasan (Bill of Rights), dan yang
lain-lain.

2.3 Pelaku Tindak Pidana Korupsi


Bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang masuk dalam lingkup kewenangan KPK
antara lain adalah, sebagai berikut :

11
Pertama, yang mana untuk setiap orang yang dalam hal ini tentu saja telah memenuhi
syarat sebagaimana yang telah dimaksud pada suatu pasal-pasal dalam Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 yang dalam hal ini adalah yang mengenai suatu perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tersebut.
Kedua, adalah untuk setiap orang yang dalam hal ini sudah tentu telah memenuhi
Pasal 11 dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang dalam hal ini adalah yang
mengenai akan suatu Komisi Pemberantasan Tinak Pidana Korupsi, sebagaimana yang
dalam hal ini juga yang telah diuraikan tersebut di atas. Di luar akan suatu ketentuan yang
ada dalam Pasal 11 tersebut adalah yang mengenai suatu hal yang berhubungan dengan
suatu kewenangan Penyidik Polri dan Penyidik Kejaksaan.
Menurut Teori hukum progresif menurut Prof. Satjipto Rahardjo, juga telah
menegaskan bahwa hukum adalah yang dalam hal ini sangat berguna untuk manusia itu
sendiri menjalankan kehidupannya dengan baik dan juga benar, serta yang dalam hal ini
juga yang dalam hal ini tentu bukan yang sebaliknya. Selanjutnya itu juga yang telah
disebutkan bahwa “Hukum itu bukan hanya bangunan atas suatu peraturan, melainkan juga
yang dalam hal ini adalah yang mengenai suatu isi dari bangunan itu sendiri seperti ide,
kultur, dan juga dengan cita-cita”.
Oleh karena itu, yang mengenai suatu pemikiran hukum yang sudah pasti dalam hal
ini juga sangat perlu kembali pada filosofis pada dasarnya, yaitu hukum untuk manusia
yang sepenuhnya tersebut. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan
juga dengan titik orientasi hukum. Hukum yang dalam hal ini juga yang telah bertugas
melayani manusia atau bukan sebaliknya. Dengan demikian, hukum itu bukan merupakan
suatu lembaga ataupun suatu institusi yang dapat lepas dari pada suatu kepentingan
manusia dari manusia itu sendiri.
Sementara itu pula, yang mengenai suatu mutu hukum yang dalam hal ini jelas-jelas
ditentukan oleh kemampuannya untuk dapat mengabdi pada kesejahteraan manusia
seutuhnya. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” akan suatu hukum yang
dinamakan dengan suatu Hukum yang Pro-Keadilan dan juga dengan Hukum yang Pro-
Rakyat. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum
progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan (I Gusti Agung Ayu Dike
Widhiyaastuti, 2018).
Akan tetapi, pada kenyataannya yang mengenai suatu kreativitas akan suatu pelaku
hukum juga mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku
12
hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif
dan juga terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu akan suatu perubahan
peraturan (changing the law). Peraturan buruk itu juga yang tidak harus menjadi
penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat
dan pencari keadilan itu sendiri.
Oleh karena itu, bagi mereka yang dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali
terhadap suatu peraturan-peraturan yang telah berlaku dan juga yang telah direncanakan.
Untuk itu agar hukum yang telah dirasakan akan berbagai macam manfaatnya, maka
dibutuhkan jasa bagi para pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam
kepentingan-kepentingan dalam bidang sosial yang memang harus dilayaninya dengan baik
dan juga benar. Berdasarkan teori ini, keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat
proses logis formal.
Sementara itu, yang berhubungan dengan suatu keadilan yang dalam hal ini justru
diperoleh lewat suatu lembaga ataupun lewat suatu institusi, karenanya untuk suatu
argumen-argumen yang lebih dari pada logis formal dapat “dicari” sesudah adanya suatu
keadilan yang dapat ditemukan untuk dapat membingkai suatu hal yang secara yuridis-
formal keputusan yang juga telah diyakini adil tersebut. Oleh karena itu mengenai konsep
hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang
berada di luar dirinya tersebut.
Dalam masalah penegakan akan suatu hukum, terdapat 2 (dua) macam tipe dari pada
suatu penegakan hukum progresif yang dalam hal ini adalah yang mengenai suatu dimensi
dan faktor manusia mengenai suatu pelaku dalam penegakan hukum progresifnya tersebut.
Idealnya, mereka yang dalam hal ini juga terdiri dari generasi baru profesional hukum yang
memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif serta kebutuhan akan
semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritis pada
suatu hukum di Indonesia

13
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gratifikasi
Arti gratifikasi menurut Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU Tipikor) adalah dengan “Pemberian dalam
arti luas”, yakni yang dalam hal ini meliputi pemberian akan uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman yang tentu tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas pada
sebuah penginapan, perjalanan akan wisata, pengobatan yang dalam hal ini juga yang
cuma-cuma, dan juga dengan beberapa fasilitas yang lainnya pula tersebut (I Gusti Agung
Ayu Dike Widhiyaastuti, 2018).
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik, yang antara lain adalah:
1. Kriminalisasi
Pengertian akan suatu hal yang sangat berhubungan dengan tindak kriminalisasi
dalam ilmu dari pada suatu hal yang sangat berhubungan dengan suatu tindakan
kriminologi bahwa kriminalisasi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan
perilaku individu-individu yang cenderung untuk dapat menjadi pelaku kejahatan dan
menjadi penjahat. Pengertian kriminalisasi dalam hukum adalah proses yang
memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi
kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat (Putri Hernie Panie,
2023).
Suatu perbuatan dinyatakan sebagai suatu pelanggaran hukum pidana hanya
oleh suatu peraturan dari pada suatu perundang-undangan, sebagaimana dimaksudkan
oleh asas legalitas yang secara doktriner diturunkan dari adagium nulla poena sine
lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali yang dalam
perkembangannya tersebut yang kemudian, dapat "diringkas" menjadi adagium nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege punalí, mengandung empat makna sebagai satu
kebulatan pengertian, yaitu:
a. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada undang-
undang yang telah mengatur sebelumnya (nullum crimen, nulla poena sine lege

14
praevia). Dalam pernyataan ini terkandung pengertian yang dapat dinayatakan
bahwa untuk suatu norma hukum pidana tersebut tidak boleh berlaku surut atau
retroaktif;
b. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada noma
hukum tertulis atau undang-undang (nullum crimen, ulapoena sine lege scripta).
Dalam pernyataan ini terkandung pengertian bahwa norma hukum pidana harus
tertulis, demikian pula pidananya. Artinya, baik perbuatan yang dilarang maupun
pidana yang telah diancamkan terhadap perbuatan yang dilarang itu harus tegas
dituliskan dalam undang-undang;
c. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada aturan
tertulis atau undang-undang yang jelas rumusannya (nullum crimen, nulla poena
sine lege certa). Dalam pernyataan ini terkandung akan suatu pengertian bukan
hanya larangan untuk memberlakukan hukum tidak tertulis dalam hukum pidana
dan dalam menjatuhkan pidana tetapi juga larangan yang dalam hal ini akan
menjatuhkan pidana jika rumusan norma dalam hukum tertulisnya (undang-
undang) itu tidak jelas;
d. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada hukum
tertulis yang ketat (nullum crimen, nulla poena sine legestricta). Dalam pernyataan
ini juga yang terkandung pengertian bahwa ketentuan yang terdapat dalam undang-
undang pidana harus ditafsirkan secara ketat. Dari sini pula lahir pemahaman yang
telah diterima di kalangan hukum bahwa dalam hukum pidana dilarang
menggunakan analogi.
2. Dekriminalisasi.
Pengertian dekriminalisasi adalah dengan jalan penggolongan suatu perbuatan
yang pada mulanya dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian dianggap
sebagai perilaku biasa. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pengertian diatas
tidak memenuhi syarat sebagai perbuatan tindak pidana, sebagaimana syarat dalam
asas legalitas.

B. Gratifikasi Dalam Pandangan Masyarakat


Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab Pendahuluan bahwa pemberian atau
penerimaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang merupakan kebiasaan yang
baik dan juga dengan terlestarikannya suatu budaya yang secara turun temurun hingga saat
ini, meskipun hal tersebut mulai tergerus terutama di wilayah perkotaan, yang mana
15
semakin tergerus oleh zaman ketika pemberian atau penerimaan gratifikasi tersebut telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang juga dianggap sebagai proses suap dalam
undang-undang tipikor.
Masyarakat memaknai pemberian atau penerimaan gratifikasi yaitu tidak
membedakan orang berikut yang mana statusnya, namun dalam undang-undang tindak
pidana korupsi yang dalam hal ini juga dapat membatasi gratifikasi yang dianggap suap
hanya pada orang-orang tertentu yakni pegawai negeri atau penyelenggara. Dalam
masyarakat yang terdiri dari kumpulan orang-orang dengan tidak membedakan gratifikasi
diberikan kepada siapa dan atau sebaliknya, namun gratifikasi diartikan mutlak sebagai
pelaksanaan kebiasaan saling tolong atau bantu membantu.
Ketika seseorang menjalankan kebiasaan yang menurutnya baik akan suatu
(pemberian atau penerimaan), maka akan menjadi kontroversial ketika kebiasaan yang
baik itu menjadi suatu pelanggaran hukum. Masyarakat juga telah menganggap bahwa
untuk proses pembatasan gratifikasi itu juga yang membutakan mata batin dari pada
masyarakat untuk dapat saling menolong ataupun membantu, meskipun gratifikasi ini juga
tidak untuk semua orang.
Karena bagaimana mungkin memisahkan pemberian atau penerimaan gratifikasi.
Pemberian atau penerimaan gratifikasi dengan keluarga ataupun mengenai sahabat atau
apapun hubungan pemberi dan penerima, akan tetapi dirasakan cukup mencederai
kekerabatan saling menolong. Dari pembahasannya yang dalam hal ini cukup singkat di
atas, menjadi suatu masalah yang blunder di tengah-tengah masyarakat dan kriminalisasi
gratifikasi tersebut menjadi sumber pencipta ketidak harmonisan di tengah-tengah
kebiasaan yang baik.
Pemberian atau penerimaan gratifikasi yang semula bukan merupakan perbuatan
pidana, namun dalam Undang-Undang Tipikor hal itu dikriminalisasi menjadi suatu
perbuatan melanggar hukum ataupun yang telah dianggap perbuatan pidana, yang
kemudian diatur 2 (dua) pasal, yaitu:
a. Pasal 12B, yang dalam hal ini juga yang telah mengatur tentang ketentuan dari pada
pidana korupsi.
b. Gratifikasi yang dianggap suap dalam Pasal 12B, namun untuk gratfikasi bukan
merupakan tindak pidana dinyatakan dalam Pasal 12C, yaitu mengatur tentang
pelaporan dan tempus delicty gratifikasi.
c. UU KPK No. 30 Tahun 2002, mengatur Tata Cara Pelaporan dan juga Penentuan
Status Gratifikasi,
16
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penerimaan atau pemberian akan gratifikasi dinyatakan sebagai suatu perbuatan
kriminal atau melanggar hukum pidana sebagaimana dalam undang-undang tindak pidana
korupsi, sekaligus membatasi gratifikasi mana yang bukan melanggar hukum pidana,
dengan maksud dan tujuan sebagai salah satu upaya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia.
Namun demikian, yang dalam hal ini mengenai masyarakat memandang pemberian
atau penerimaan gratifikasi merupakan salah satu sumber pencederaian dari pada suatu
kebiasaan masyarakat yang saling tolong menolong ataupun dapat melakukan suatu hal
yang berhubungan dengan bantu membantu. Selain itu bahwa masyarakat justru
berkehendak melestarikan akan suatu kebiasaan saling tolong atau bantu tersebut karena
diyakini kebiasaan itu merupakan suatu hal yang baik.
Realitas dalam masyarakat bahwa pernyataan dekriminalisasi terhadap suatu
perbuatan pemberian atau penerimaan gratifikasi sama nilainya dalam pencederaian
kebiasaan baik yang telah berjalan, karena sesuatu yang diberikan atau diterima harus
melalui proses pemeriksaan atau penilaian oleh KPK. Hasil akhir dari penetapan
gratifikasi itu tidak menjadi urgen dalam masyarakat, tetapi proses pemeriksaan
merupakan suatu perlakuan yang tidak beretika..

4.2 Saran
Pemberantasan tindak pidana korupsi melalui upaya pengkriminalan pemberian atau
penerimaan gratifikasi patut untuk dipertimbangkan kembali dalam Rancangan Undang-
Undang atau RKUHP, mengingat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi masih
terdapat banyak cara atau metode lain.
Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam RKUHP tentang suatu hal yang
berhubungan dengan pemberian atau penerimaan gratifikasi yang dalam hal ini juga
hendaknya tidak mencederai kebiasaan akan suatu masyarakat dalam hal tolong menolong
atau bantu membantu.

17
DAFTAR PUSTAKA

Cyprianus Anto Saptowalyono, S. R. (2022, Agustus 1). Upaya Meningkatkan Budaya


Antikorupsi Belum Capai Target. Retrieved from Kompas.id:
https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/08/01/upaya-meningkatkan-budaya-
antikorupsi-belum-capai-target-bahan-gabungan-dengan-mbak-ana

Dewi, N. K. (2023). Pentingnya Pendidikan Anti Korupsi Dalam Menumbuhkan Budaya Anti
Korupsi. Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis, Volume 3 Nomor 1, Januari 2023, 1 - 7.

Gregorius Widiartana. (2020). Urgensi Pendidikan Antikorupsi Terhadap Pencegahan


Korupsi dalam Pendidikan Dasar. Jurnal Hukum Mimbar Justitia, Vol. 6 No. 2 ±
Desember 2020, 173-189.

I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, I. G. (2018). Meningkatkan Kesadaran Generasi


Muda Untuk Berperilaku Anti Koruptif Melalui Pendidikan Anti Korupsi. A c t a C o
m i t a s ( 2 0 1 8 ) 1, 17 - 25.

MahiNiamah, S. (2021, November 28). Pentingnya Pendidikan Anti Korupsi . Retrieved from
Kompasiana:
https://www.kompasiana.com/shifara32321/61a2d6a006310e18964ea172/pentingnya-
pendidikan-anti-korupsi

Putri Hernie Panie, G. K. (2023). Sosialisasi Peran Pendidikan Anti Korupsi Dalam
Mewujudkan Pembangunan Nasional Bebas Korupsi Di SD Gmit Kolhua Kota
Kupang. JURNAL PEMIMPIN - PENGABDIAN MASYARAKAT ILMU | E-ISSN :
2808-5132, Volume 3 Nomor 1 –Januari 2023 , 13 - 17 .

Retna Febri Arifiati, D. A. (2022). Peranan Pendidikan Anti Korupsi Dalam Pencegahan
Tindak Korupsi Pungutan Liar. JURNAL EMPATHY Pengabdian Kepada
Masyarakat, Vol. 3, No.2, December 2022,
https://jurnalempathy.com/index.php/jurnalempathy, 122 - 130.

Ridwan. (2012). Peran Lembaga Pendidikan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012, 547 - 556.

18
19

Anda mungkin juga menyukai