Budaya Memberi Dan Gratifikasi-1
Budaya Memberi Dan Gratifikasi-1
Disusun oleh:
Silvil Ulya Putri
(202120032)
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2024
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
RUMUSAN MASALAH
5
2.2 Perlindungan Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Abad ke-13 yang telah silam, Raja John di Inggris yang pada saat itu masih juga akan
memimpin negaranya sendiri, dengan menggunakan sistem monarki yang lebih absolut juga
telah bertindak akan kelewat pada batas atas tanah milik orang-orang yang dalam hal ini
adalah yang lebih berpengaruh, termasuk masalah-masalah yang lainnya, sehingga terjadi
suatu hal yang sangat berhubungan dengan suatu perselisihan. Para baron (bangsawan) juga
pada saat itu akan lebih banyak untuk menuntut Raja John itu sendiri untuk memberikan
hak-hak tertentu.
Hak-hak tertentu tersebut yang pada saat itu pula mengharuskan dari pada suatu
kerajaan untuk dapat membatalkan akan beberapa hak dan juga dengan lebih dapat
menghargai akan prosedur yang telah dibuatnya tersebut. Prosdural yang legal serta
keinginan raja yang pada saat itu juga telah dibatasi oleh hukum. Dari berbagai peristiwa
itu, maka lahirlah Magna Carta (Piagam Perjanjian). Yang mana Magna Carta (Piagam
Perjanjian) ini dijadikan sebagai suatu simbol dan juga dengan berbagai seruan melawan
penindasan yang dilakukan Raja John tersebut.
Seruan melawan penindasan ini yang selanjutnya juga dapat dipahami sebagai suatu
perlindungan atas suatu kebebasan yang dalam hal ini akan terancam. Magna Carta tersebut
yang tentu saja merupakan langkah awal dalam proses sejarah panjang menuju pada suatu
proses pembuatan hukum yang lebih konstitusional. Setelahnya, lahir berbagai undang-
undang seperti persamaan atas hak dan hukum (Habeas Corpus Act), undang-undang ini
juga yang telah mengatur tentang kebebasan (Bill of Rights), dan yang lain-lain.
6
ada dalam Pasal 11 tersebut adalah yang mengenai suatu hal yang berhubungan dengan
suatu kewenangan Penyidik Polri dan Penyidik Kejaksaan.
Oleh karena itu, yang mengenai suatu pemikiran hukum yang sudah pasti dalam hal
ini juga sangat perlu kembali pada filosofis pada dasarnya, yaitu hukum untuk manusia
yang sepenuhnya tersebut. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan
juga dengan titik orientasi hukum. Hukum yang dalam hal ini juga yang telah bertugas
melayani manusia atau bukan sebaliknya. Dengan demikian, hukum itu bukan merupakan
suatu lembaga ataupun suatu institusi yang dapat lepas dari pada suatu kepentingan
manusia dari manusia itu sendiri.
Sementara itu pula, yang mengenai suatu mutu hukum yang dalam hal ini jelas-jelas
ditentukan oleh kemampuannya untuk dapat mengabdi pada kesejahteraan manusia
seutuhnya. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” akan suatu hukum yang
dinamakan dengan suatu Hukum yang Pro-Keadilan dan juga dengan Hukum yang Pro-
Rakyat. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum
progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan (I Gusti Agung Ayu Dike
Widhiyaastuti, 2018).
Akan tetapi, pada kenyataannya yang mengenai suatu kreativitas akan suatu pelaku
hukum juga mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku
hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif
dan juga terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu akan suatu perubahan
peraturan (changing the law). Peraturan buruk itu juga yang tidak harus menjadi
penghalang bagi para pelaku hukum progresif menghadirkan keadilan untuk rakyat dan
pencari keadilan itu sendiri.
7
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gratifikasi
Arti gratifikasi menurut Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU Tipikor) adalah dengan “Pemberian dalam
arti luas”, yakni yang dalam hal ini meliputi pemberian akan uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman yang tentu tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas pada
sebuah penginapan, perjalanan akan wisata, pengobatan yang cuma-cuma, dan juga
dengan beberapa fasilitas yang lainnya pula tersebut (I Gusti Agung Ayu Dike
Widhiyaastuti, 2018).
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik, yang antara lain adalah:
1. Kriminalisasi
Pengertian akan suatu hal yang sangat berhubungan dengan tindak kriminalisasi
dalam ilmu dari pada suatu hal yang sangat berhubungan dengan suatu tindakan
kriminologi bahwa kriminalisasi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan
perilaku individu-individu yang cenderung untuk dapat menjadi pelaku kejahatan dan
menjadi penjahat. Pengertian kriminalisasi dalam hukum adalah proses yang
memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi
kemudian digolongkan sebagai pidana oleh masyarakat (Putri Hernie Panie, 2023).
Suatu perbuatan dinyatakan sebagai suatu pelanggaran hukum pidana hanya
oleh suatu peraturan dari pada suatu perundang-undangan, sebagaimana dimaksudkan
oleh asas legalitas yang secara doktriner diturunkan dari adagium nulla poena sine
lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali yang dalam
perkembangannya tersebut yang kemudian, dapat "diringkas" menjadi adagium nullum
8
delictum, nulla poena sine praevia lege punalí, mengandung empat makna sebagai satu
kebulatan pengertian, yaitu:
a. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada undang-
undang yang telah mengatur sebelumnya (nullum crimen, nulla poena sine lege
praevia). Dalam pernyataan ini terkandung pengertian yang dapat dinayatakan
bahwa untuk suatu norma hukum pidana tersebut tidak boleh berlaku surut atau
retroaktif;
b. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada noma
hukum tertulis atau undang-undang (nullum crimen, ulapoena sine lege scripta).
Dalam pernyataan ini terkandung pengertian bahwa norma hukum pidana harus
tertulis, demikian pula pidananya. Artinya, baik perbuatan yang dilarang maupun
pidana yang telah diancamkan terhadap perbuatan yang dilarang itu harus tegas
dituliskan dalam undang-undang;
c. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada aturan
tertulis atau undang-undang yang jelas rumusannya (nullum crimen, nulla poena
sine lege certa). Dalam pernyataan ini terkandung akan suatu pengertian bukan
hanya larangan untuk memberlakukan hukum tidak tertulis dalam hukum pidana
dan dalam menjatuhkan pidana tetapi juga larangan yang dalam hal ini akan
menjatuhkan pidana jika rumusan norma dalam hukum tertulisnya (undang-
undang) itu tidak jelas;
d. Tidak ada perbuatan pidana dan karenanya tidak ada pidana jika tidak ada hukum
tertulis yang ketat (nullum crimen, nulla poena sine legestricta). Dalam pernyataan
ini juga yang terkandung pengertian bahwa ketentuan yang terdapat dalam undang-
undang pidana harus ditafsirkan secara ketat. Dari sini pula lahir pemahaman yang
telah diterima di kalangan hukum bahwa dalam hukum pidana dilarang
menggunakan analogi.
2. Dekriminalisasi.
Pengertian dekriminalisasi adalah dengan jalan penggolongan suatu perbuatan
yang pada mulanya dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian dianggap
sebagai perilaku biasa. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pengertian diatas
tidak memenuhi syarat sebagai perbuatan tindak pidana, sebagaimana syarat dalam
asas legalitas.
9
B. Gratifikasi Dalam Pandangan Masyarakat
Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab Pendahuluan bahwa pemberian atau
penerimaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang merupakan kebiasaan yang
baik dan juga dengan terlestarikannya suatu budaya yang secara turun temurun hingga saat
ini, meskipun hal tersebut mulai tergerus terutama di wilayah perkotaan, yang mana
semakin tergerus oleh zaman ketika pemberian atau penerimaan gratifikasi tersebut telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang juga dianggap sebagai proses suap dalam
undang-undang tipikor.
Masyarakat memaknai pemberian atau penerimaan gratifikasi yaitu tidak
membedakan orang berikut yang mana statusnya, namun dalam undang-undang tindak
pidana korupsi yang dalam hal ini juga dapat membatasi gratifikasi yang dianggap suap
hanya pada orang-orang tertentu yakni pegawai negeri atau penyelenggara. Dalam
masyarakat yang terdiri dari kumpulan orang-orang dengan tidak membedakan gratifikasi
diberikan kepada siapa dan atau sebaliknya, namun gratifikasi diartikan mutlak sebagai
pelaksanaan kebiasaan saling tolong atau bantu membantu.
Ketika seseorang menjalankan kebiasaan yang menurutnya baik akan suatu
(pemberian atau penerimaan), maka akan menjadi kontroversial ketika kebiasaan yang
baik itu menjadi suatu pelanggaran hukum. Masyarakat juga telah menganggap bahwa
untuk proses pembatasan gratifikasi itu juga yang membutakan mata batin dari pada
masyarakat untuk dapat saling menolong ataupun membantu, meskipun gratifikasi ini juga
tidak untuk semua orang.
Karena bagaimana mungkin memisahkan pemberian atau penerimaan gratifikasi.
Pemberian atau penerimaan gratifikasi dengan keluarga ataupun mengenai sahabat atau
apapun hubungan pemberi dan penerima, akan tetapi dirasakan cukup mencederai
kekerabatan saling menolong. Dari pembahasannya yang dalam hal ini cukup singkat di
atas, menjadi suatu masalah yang blunder di tengah-tengah masyarakat dan kriminalisasi
gratifikasi tersebut menjadi sumber pencipta ketidak harmonisan di tengah-tengah
kebiasaan yang baik.
Pemberian atau penerimaan gratifikasi yang semula bukan merupakan perbuatan
pidana, namun dalam Undang-Undang Tipikor hal itu dikriminalisasi menjadi suatu
perbuatan melanggar hukum ataupun yang telah dianggap perbuatan pidana, yang
kemudian diatur 2 (dua) pasal, yaitu:
a. Pasal 12B, yang dalam hal ini juga yang telah mengatur tentang ketentuan dari pada
pidana korupsi.
10
b. Gratifikasi yang dianggap suap dalam Pasal 12B, namun untuk gratfikasi bukan
merupakan tindak pidana dinyatakan dalam Pasal 12C, yaitu mengatur tentang
pelaporan dan tempus delicty gratifikasi.
c. UU KPK No. 30 Tahun 2002, mengatur Tata Cara Pelaporan dan juga Penentuan
Status Gratifikasi,
11
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penerimaan atau pemberian akan gratifikasi dinyatakan sebagai suatu perbuatan
kriminal atau melanggar hukum pidana sebagaimana dalam undang-undang tindak pidana
korupsi, sekaligus membatasi gratifikasi mana yang bukan melanggar hukum pidana,
dengan maksud dan tujuan sebagai salah satu upaya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia.
Namun demikian, yang dalam hal ini mengenai masyarakat memandang pemberian
atau penerimaan gratifikasi merupakan salah satu sumber pencederaian dari pada suatu
kebiasaan masyarakat yang saling tolong menolong ataupun dapat melakukan suatu hal
yang berhubungan dengan bantu membantu. Selain itu bahwa masyarakat justru
berkehendak melestarikan akan suatu kebiasaan saling tolong atau bantu tersebut karena
diyakini kebiasaan itu merupakan suatu hal yang baik.
Realitas dalam masyarakat bahwa pernyataan dekriminalisasi terhadap suatu
perbuatan pemberian atau penerimaan gratifikasi sama nilainya dalam pencederaian
kebiasaan baik yang telah berjalan, karena sesuatu yang diberikan atau diterima harus
melalui proses pemeriksaan atau penilaian oleh KPK. Hasil akhir dari penetapan
gratifikasi itu tidak menjadi urgen dalam masyarakat, tetapi proses pemeriksaan
merupakan suatu perlakuan yang tidak beretika..
4.2 Saran
Pemberantasan tindak pidana korupsi melalui upaya pengkriminalan pemberian atau
penerimaan gratifikasi patut untuk dipertimbangkan kembali dalam Rancangan Undang-
Undang atau RKUHP, mengingat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi masih
terdapat banyak cara atau metode lain.
Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam RKUHP tentang suatu hal yang
berhubungan dengan pemberian atau penerimaan gratifikasi yang dalam hal ini juga
hendaknya tidak mencederai kebiasaan akan suatu masyarakat dalam hal tolong menolong
atau bantu membantu.
12
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, N. K. (2023). Pentingnya Pendidikan Anti Korupsi Dalam Menumbuhkan Budaya Anti
Korupsi. Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis, Volume 3 Nomor 1, Januari 2023, 1 - 7.
MahiNiamah, S. (2021, November 28). Pentingnya Pendidikan Anti Korupsi . Retrieved from
Kompasiana:
https://www.kompasiana.com/shifara32321/61a2d6a006310e18964ea172/pentingnya-
pendidikan-anti-korupsi
Putri Hernie Panie, G. K. (2023). Sosialisasi Peran Pendidikan Anti Korupsi Dalam
Mewujudkan Pembangunan Nasional Bebas Korupsi Di SD Gmit Kolhua Kota
Kupang. JURNAL PEMIMPIN - PENGABDIAN MASYARAKAT ILMU | E-ISSN :
2808-5132, Volume 3 Nomor 1 –Januari 2023 , 13 - 17 .
Retna Febri Arifiati, D. A. (2022). Peranan Pendidikan Anti Korupsi Dalam Pencegahan
Tindak Korupsi Pungutan Liar. JURNAL EMPATHY Pengabdian Kepada
Masyarakat, Vol. 3, No.2, December 2022,
https://jurnalempathy.com/index.php/jurnalempathy, 122 - 130.
Ridwan. (2012). Peran Lembaga Pendidikan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012, 547 - 556.
13
14