Anda di halaman 1dari 33

ADANYA GARIS KEMISKINAN

TERHADAP KEHIDUPAN
MASYARAKAT SAMPAI SAAT INI

(Ujian Akhir Semester Pendidikan Pancasila)

Disusun oleh :

WAHYU AZIZ SAPUTRA


NPM : 2316021031

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji serta Syukur saya panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, yang
berkat rahmat serta karunianya saya dapat menyelesaikan makalah Etika dan
Kearifan Lokal ini dengan tepat waktu. Adapun tema yang saya angkat pada
kesempatan kali ini adalah “Adanya Garis Kemiskinan Terhadap Kehidupan
Masyarakat Sampai Saat Ini”.

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada bapak Drs. Ismono Hadi,
M.Si. selaku dosen pengampuh mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah
membimbing saya dalam pembuatan makalah ini. Saya juga mengucapkan
terima kasih kepada pihak- pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Sebagai penyusun, saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari


sempurna, baik dari penyusunan serta tata Bahasa. Oleh karena itu, keterbatasan
waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa
saya harapkan semoga makalah ini dapat bagi penulis pada khususnya dan pihak
lain pada umumnya.

Bandar Lampung, 5 Desember


2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................3

BAB I...................................................................................................................................4

PENDAHULUAN..............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang......................................................................................................4
1.2 Tujuan Penulisan...................................................................................................6

BAB II.................................................................................................................................7

TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................7
2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan....................................................7
2.2 Definisi dan Konsep Kemiskinan...............................................................................7
2.3 Penyebab Kemiskinan................................................................................................8
2.4 Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga.....................................................................9
2.5 Kerangka Konsep Penelitian......................................................................................9
2.6 Pemetaan Kemiskinan..............................................................................................10

BAB III..............................................................................................................................12

PEMBAHASAN...............................................................................................................12
3.1 Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan.......................................................................12
3.2 Faktor-Faktor Keluar Dari Kemiskinan...................................................................14
3.3 Kemsikinan dan Mobilitas Pekerja..........................................................................17
3.4 Ragam Pemikiran Tentang Kemiskinan...................................................................18
3.5 Upaya Pemerintah....................................................................................................20
3.6 Solusi Alternatif.......................................................................................................23

BAB IV..............................................................................................................................25

PENUTUP.........................................................................................................................25
4.1 Kesimpulan...............................................................................................................25
4.2 Saran.........................................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................30

LAMPIRAN......................................................................................................................32

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah
tanggamengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara
lingkungan penduduknya kurang memberikan peluang untuk meningkatkan
kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk keluar dari kerentanan
(Cahyat, 2007: 4).Menurut Adisasmita (2006: 144) indikator kemiskinan
masyarakat desa yaitu: (1) kurang kesempatan memperoleh pendidikan, (2)
memiliki lahan dan modal pertanian yang terbatas, (3) tidak adanya kesempatan
menikmati investasi di sektor pertanian, (4) tidak terpenuhinya salah satu
kebutuhan dasar (pangan, papan, perumahan, (5) menggunakan cara-cara pertanian
tradisional, (6) kurangnya produktivitas usaha, (7) tidak adanya tabungan, (8)
kesehatan yang kurang terjamin, (9) tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial,
(10) terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa, (11) tidak
memiliki akses untuk memperoleh air bersih, dan yang terakhir (12) tidak adanya
partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.

Adapun yang menjadi konsep kemiskinan ada tiga yaitu :


1. Kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang
kongkret, ukuran ini lazimnya berorentasi pada kebutuhan hidup dasar
minimum anggota masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang
berlainan. Karena ukurannya dipastikan, konsep kemiskinan ini mengenal garis
batas kemiskinan. Pernah ada gagasan yang ingin memasukkan kebutuhan dasar
kultur seperti pendidikan, keamanan, rekreasi dan sebagainya, disamping
kebutuhan fisik. Konsep dan ukuran kemiskinan itu berbeda- beda di setiap
daerah, contohnya kebutuhan masyarakat pedesaan berbeda dengan kebutuhan
masyarakat perkotaan, dan begitu pula antara masyarakat desa pertanian dan
4
desa nelayan. Meskipun demikian konsep ini sangat populer.
2. Kemiskinan relatif dirumuskan dengan demensi tempat dan waktu.
Asumsinya adalah kemiskinan di suatu daerah berbeda dengan daerah lainya,
dan kemiskinan pada waktu tertentu berbeda dengan waktu yang lain, konsep
kemiskinan ini lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan anggota
masyarakat tertentu, dengan berorentasi pada derajat kekayaan hidup. Konsep
ini juga telah memperoleh banyak keritikan, terutama karena sangat sulit
menentukan bagaimana hidup yang layak itu. Ukuran kelayakan juga beragam
dan terus berubah- ubah. Apa yang dianggap layak dalam komunitas tertentu
boleh jadi tidak layak bagi komunitas lainnya.

3. Kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan kelompok kemiskinan itu


sendiri. Konsep ini tidak mengenal dan tidak memperhitungkan. Kelompok
menurut ukuran kita berbeda di bawah kemiskinan, boleh jadi tidak
menganggap dirinya semacam itu dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena
itu konsep kemiskinan ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk
memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau starategi yang efektif untuk
penanggulangannya.
( Sunyoto, 2006: 126 ).

Kemiskinan merupakan permasalahan kronis yang kerap ditemui pada


banyak negara, khususnya negara berkembang. Berbagai strategi telah diterapkan
di beberapa negara dalam upaya pengentasan kemiskinan seperti program Bantuan
Tunai Langsung di India, pemotongan pajak produk pertanian di China, serta
dorongan untuk melakukan transformasi struktur ekonomi dari sektor pertanian
menuju sektor manufaktur sebagaimana terjadi di Afrika. Namun demikian,
penyelesaian masalah kemiskinan bukan hal yang sederhana, terbukti hingga saat
ini masalah kemiskinan masih menghantui pemerintah di berbagai negara. Sektor
apa yang harus tumbuh lebih cepat, mengapa dan bagaimana cara berinvestasi
terbaik di sektor tersebut agar dapat memaksimalkan dampak pengentasan

5
kemiskinan merupakan topik perdebatan para pembuat kebijakan di berbagai
negara (Christiaensen & Martin, 2018).

Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, permasalahan


kemiskinan di Indonesia tidak hanya sebagai bagian dari pembangunan ekonomi,
tetapi juga merupakan tantangan di bidang demografi. Hal ini tentu saja tidak lepas
dari fakta masih terdapat 25,95 juta penduduk Indonesia yang tergolong dalam
kriteria miskin (BPS, 2018). Angka ini setara dengan jumlah seluruh penduduk
benua Australia bahkan lima kali lebih besar dari jumlah penduduk Singapura
(World Bank, 2018). Di sisi lain, program pengentasan kemiskinan yang
dicanangkan pemerintah seperti stabilisasi harga, pemberian bantuan tunai
masyarakat dan penyaluran dana desa dipandang belum efektif mengurangi
kemiskinan di Indonesia.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis dan
memahami dampak dan upaya mencegah kemiskinan yang terjadi samapai saat ini.
Mampu menerapkan etika lingkungan dengan keadaan lingkungan sekitar agar
menjadi lebih baik lagi. Fokus pada berbagai macam upaya dan penanganan
sampah dari pihak pemerintah dan masyarakat. Makalah ini bertujuan untuk
memberikan wawasan serta gambaran mendalam bagaimana upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk mengurangi sampah dan bisa mendaur ulang menjadi benda
yang bermanfaat, serta menjaga kebersihan di lingkungan sekitar.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan


Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan PDB/PNB tanpa memandang
apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau
apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999: 7). Pertumbuhan
ekonomi dikatakan meningkat bila terjadi peningkatan produksi barang dan jasa.
Pertumbuhan ekonomi selalu dinyatakan dalam persentase yang merupakan perhitungan
dari perubahan pendapatan nasional pada satu tahun tertentu dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.

Menurut Jhingan (2012:67) proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua


faktor yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi terkait dengan sumber
alamnya, sumber daya manusia, usaha, teknologi dan sebagainya. Sementara faktor non
ekonomi dapat meliputi lembaga sosial, kondisi politik, dan nilai-nilai moral.

Pertumbuhan ekonomi sering dikaitkan dengan peningkatan ketimpangan


distribusi pendapatan. Hubungan antara ketimpangan dan pertumbuhan di beberapa
negara menunjukkan perbedaan. Laju pertumbuhan yang tinggi tidak akan selalu
memperburuk distribusi pendapatan. Di lain pihak, laju pertumbuhan yang rendah tidak
selalu berkaitan dengan perbaikan distribusi pendapatan (Todaro dan Smith, 2006: 259-
260). Pengukuran distribusi pendapatan yang paling sering digunakan adalah dengan
membagi populasi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan pendapatan dan
mengurutkannya dimulai dari kelompok dengan pendapatan terendah (Van den Berg,
2005:490).

2.2 Definisi dan Konsep Kemiskinan


Secara garis besar, kemiskinan dapat dipilah menjadi dua aspek, yaitu aspek
primer dan aspek sekunder. Aspek primer berupa miskin aset (harta), organisasi sosial
politik, pengetahuan, dan keterampilan. Sementara aspek sekunder berupa miskin
7
terhadap jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi (Arsyad, 2010: 299).
Menurut Nugroho dan Dahuri (2012), kemiskinan merupakan suatu kondisi absolut atau
relatif di suatu wilayah di mana seseorang atau kelompok masyarakat tidak mampu
mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai tata nilai atau norma yang berlaku. Jika dipandang
dari aspek ekonomi, kemiskinan menunjuk pada gap antara lemahnya purchasing power
dan keinginan dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Secara konsep, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan


kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang
besifat mutlak yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik, atau batas kemiskinan.
Sementara kemiskinan relatif, memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang
dipengaruhi ukuran-ukuran lain yang berhubungan dengan proporsi atau distribusi
(Nugroho dan Dahuri, 2012: 184). Seseorang atau keluarga dapat dikatakan miskin atau
hidup dalam kemiskinan jika pendapatan mereka atau akses mereka terhadap barang dan
jasa relatif rendah dibandingkan kebanyakan orang dalam perekonomian. Selain itu,
kemiskinan dapat dilihat sebagai tingkat absolut dari pendapatan atau standar hidup (Van
den Berg, 2005: 509).

2.3 Penyebab Kemiskinan


Menurut Arsyad (2010:300), kemiskinan dapat terjadi karena anggota
masyarakat tidak atau belum berpartisipasi dalam proses perubahan yang disebabkan
ketidakmampuan dalam kepemilikan faktor produksi atau kualitas yang kurang memadai.
Sementara menurut Sen dalam Todaro dan Smith (2006: 23), kemiskinan bukan suatu
kondisi kekurangan suatu komoditi ataupun masalah kepuasan dari komoditi tersebut
namun kemiskinan lebih cenderung merupakan kondisi masyarakat yang kurang dapat
memaksimalkan fungsi dan mengambil manfaat dari komoditi tersebut. Menurut Dowling
dan Valenzuela (2010:252-253), masyarakat menjadi miskin disebabkan oleh rendahnya
modal manusia, seperti pendidikan, pelatihan, atau kemampuan membangun. Mereka
juga memiliki modal fisik dalam jumlah yang sangat kecil. Lebih lanjut, jika mereka
memiliki modal manusia dan fisik yang baik, mungkin mereka tidak memiliki
kesempatan bekerja karena adanya diskriminasi.

8
2.4 Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga
Kemiskinan dapat dilihat secara makro maupun mikro. Dalam hal makro,
kemiskinan dilihat secara agregat dan luas sementara, pendekatan mikro diperlukan untuk
mengetahui pasti kondisi kemiskinan, seperti siapa yang miskin dan bagaimana
karakteristik mereka. Pendekatan pada level rumah tangga merupakan contoh pendekatan
mikro. Menurut Anderson, dkk. (2006), rumah tangga sebagai unit analisis layak
dilakukan di negara sedang berkembang.

Menurut Haughton dan Khandker (2012: 157) penyebab-penyebab utama, atau


paling tidak berhubungan dengan kemiskinan mencakup tiga karakteristik yaitu
karakteristik wilayah, masyarakat, serta rumah tangga dan individu. Karakteristik
wilayah, mencakup kerentanan terhadap banjir atau topan, keterpencilan, kualitas
pemerintah, serta hak miliki dan pelaksanaannya. Sementara karakteristik masyarakat,
mencakup ketersediaan infrastruktur (jalan, air, listrik) dan layanan (kesehatan,
pendidikan), kedekatan dengan pasar, dan hubungan sosial. Lebih lanjut, karakteristik
rumah tangga dan individu dilihat dari aspek demografi (seperti, jumlah anggota rumah
tangga, struktur usia, rasio ketergantungan, dan gender kepala rumah tangga), aspek
ekonomi (seperti, status pekerjaan, jam kerja, dan harta benda yang dimiliki), serta aspek
sosial (seperti, status kesehatan dan nutrisi, pendidikan, dan tempat tinggal).

2.5 Kerangka Konsep Penelitian


Pemetaan kemiskinan digunakan untuk mengelompokan provinsi-provinsi di
Indonesia berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinannya. Hal ini
dilakukan agar dapat diketahui kondisi ekonomi dan kemiskinan yang terjadi pada setiap
provinsi. Sementara, mengingat begitu kompleknya masalah kemiskinan, faktor
penyebabnya dapat dilihat dari berbagai aspek. Penentu kemiskinan dapat dilihat secara
makro maupun mikro. Level rumah tangga digunakan karena lebih mudah diamati dan
mampu memberikan gambaran mengenai pola kemiskinan pada unit mikro. Karakteristik
yang diamati mencakup beberapa aspek, yaitu aspek demografi, ekonomi, sosial, akses
teknologi informasi dan komunikasi, serta lokasional.
9
Indikator ukuran dan struktur rumah tangga dalam aspek demografi merupakan
hal penting karena mampu menunjukkan korelasi yang tepat antara kemiskinan dan
susunan rumah tangga (Haughton dan Khandker, 2012: 161). Untuk melihat pola
kemiskinan dari aspek demografi digunakan variabel gender kepala rumah tangga, usia
kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga. Sementara, Aspek ekonomi dalam
penelitian ini menggunakan variabel status pekerjaan kepala rumah tangga dan akses
terhadap kredit usaha untuk mengetahui pola kemiskinan tersebut. Variabel pendidikan
digunakan untuk melihat pola kemiskinan dari aspek sosial. Kemudian, akses terhadap
teknologi informasi dan komunikasi dilihat dari kepemilikan telepon seluler/HP dan
untuk mengetahui pengaruh lokasi tempat tinggal digunakan variabel lokasional yang
membandingkan daerah perdesaan dan perkotaan.

Dari uraian di atas, maka dapat disusun hipotesis untuk penelitian ini adalah
gender kepala rumah tangga, usia kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga,
status pekerjaan kepala rumah tangga, akses terhadap kredit usaha, pendidikan kepala
rumah tangga, kepemilikan hp, dan lokasi tempat tinggal berpengaruh terhadap
probabilitas miskin rumah tangga di Indonesia.

2.6 Pemetaan Kemiskinan


Berdasarkan pemetaan kemiskinan pada tahun 2007 dapat diketahui bahwa
provinsi-provinsi yang termasuk dalam kuadran I adalah Provinsi Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,
Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sementara, pada pemetaan kemiskinan tahun 2012
provinsi-provinsi yang termasuk dalam kuadran I adalah provinsi Bengkulu, Lampung,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi
Barat, Maluku, dan Papua Barat. Provinsi-Provinsi tersebut merupakan provinsi dengan
pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional. Pada kuadran
ini, dapat diketahui bahwa ternyata daerah-daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh tingkat kemiskinan yang rendah. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah ini kurang

10
memberikan kontribusi terhadap kelompok- kelompok miskin di daerah tersebut.

Hal ini dapat disebabkan oleh ketimpangan yang terjadi di daerah-daerah


tersebut cukup tinggi. Provinsi-provinsi dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata
dan tingkat kemiskinan di atas rata-rata masuk dalam kuadran II. Provinsi-provinsi
tersebut adalah Provinsi Aceh, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, dan Papua merupakan provinsi-provinsi yang termasuk dalam
kuadran II pada tahun 2007. Sementara, provinsi Aceh, Sumatera Selatan, DI
Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi-
provinsi yang termasuk dalam kuadran II pada tahun 2012. Kondisi perekonomian di
daerah-daerah dalam kuadran II ini masih sangat kurang dan tentu saja tidak dapat
membantu menurunkan tingkat kemiskinan. Daerah-daerah pada kuadran II ini
merupakan daerah yang kondisinya sangat memprihatinkan dan memerlukan perhatian
serius pemerintah dalam pembangunannya.

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan


Kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh negara,
terutama di negara-negara berkembang dan tertinggal. Masalah kemiskinan bersifat
multidimensional yang disebabkan oleh banyak faktor yang tidak hanya menjadi domain
bidang ekonomi saja, tetapi juga politik, sosial, budaya dan sistem sosial lainnya
(Suharto, 2005). Menurut Kartasasmita (1996), konsep kemiskinan berdasarkan pola
waktu, yaitu: (a) kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun Daerah seperti itu pada
umumnya merupakan daerah-daerah yang kritis sumber daya alamnya, atau daerahnya
yang terisolasi (persistent poverty) (b) kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi
secara keseluruhan (cyclical poverty); (c) kemiskinan musiman seperti dijumpai pada
kasus nelayan dan petani tanaman pangan (seasonal poverty); (d) kemiskinan karena
terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan
menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (accidental poverty).

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, dapat diketahui bahwa


kemiskinan disebabkan oleh berbagai faktor yaitu: status sebagai anak bungsu, tempat
tinggal dekat dengan orang tua dan merawat orang tua, tidak ada usaha sampingan, gaji
rendah, waktu kerja yang lama, tidak berminat terhadap pekerjaan yang digeluti, tingkat
pendidikan rendah, status ekonomi orang tua rendah, tidak gigih dan tidak terampil.
Faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut secara umum dapat dididentifikasi sebagian
besar berasal dari faktor internal individu tersebut.

Menurut Chamsyah (2008) penyebab kemiskinan adalah berupa hubungan-


hubungan kompleks antara individu yang hidup dengan daya lemah dalam suatu tradisi
12
keluarga, masyarakat dalam ruang struktur sosial (negara) yang rumit dan menganut
sistem modern dalam cara produksinya. Individu sebagai penyebab kemiskinan
menempati posisi pertama dalam kondisi kurang kesejahteraan ini. Keluarga sebagai
penyebab lain hanya institusi sosial terkecil yang terlemahkan oleh struktur sosial yang
merupakan penyebab struktural kemiskinan. Penyebab-penyebab tersebut menjadi acuhan
dalam menanggulangi masalah kemiskinan. Kemiskinan dapat menunjuk pada kondisi
individu, kelompok, maupun situasi kolektif masyarakat. Sebuah bangsa atau negara
secara keseluruhan bisa pula dikategorikan miskin. Guna menghindari stigma, negara-
negara ini tidak dinamakan lagi sebagai negara miskin (poor country) atau negara
terbelakang (underdeveloped country), melainkan disebut sebagai negara berkembang
(developing country).

Menurut Munkner dan Walter (2001), kemiskinan ditimbulkan oleh faktor-faktor


penyebab dan dimensi-dimensi yang berbeda-beda. Hal ini tergantung apakah kelompok
yang miskin tinggal di perdesaan atau di perkotaan, dan apakah mereka hidup dalam
struktur keluarga kecil, keluarga inti atau seorang diri. Beberapa sudut pandang tentang
penyebab kemiskinan, yaitu : (a) apabila rendahnya sumber daya dan persyaratan-
persyaratan perdagangan yang tidak menguntungkan dipandang sebagai penyebab utama
kemiskinan, maka peningkatan produktivitas, akses ke pasar, harga yang wajar untuk
produk-produk yang dihasilkan oleh kaum miskin merupakan langkah yang tepat dalam
memberantas kemiskinan; (b) apabila buruknya kondisi lingkungan alam dipandang
sebagai penyebab krusial dari meluasnya kemiskinan, maka penggunaan sumber daya
alam yang lebih bijaksana dan praktik-praktik yang berorientasi ekologis merupakan
jalan keluarnya; (c) apabila rendahnya tingkat pengetahuan dan akses kepada informasi,
pendidikan, pelatihan dan bimbingan sebagai penyebab kemiskinan, maka pengembangan
sumber daya manusia menjadi cara untuk mengatasi kemiskinan.

Menurut Chambers dalam Nasikun (2001), kemiskinan dapat dibagi dalam


empat bentuk, yaitu: Pertama, kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis
kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan,
dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kedua, kemiskinan relatif:
kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau
seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. Ketiga,
13
kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang
disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
Keempat, kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses
terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik
yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi kerap menyebabkan suburnya
kemiskinan.
Penyebab kemiskinan menurut Suharto (2005) yaitu:
(a) Faktor Individual, terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan
psikologis individu yang miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan,
atau kemampuan dari individu yang miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupan;
(b) Faktor Sosial, kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi
miskin. Misalnya, diskiriminasi berdasarkan usia, gender, etnis yang menyebabkan
seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan
ekonomi keluarga individu yang miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan
antar generasi;
(c) Faktor Kultural, Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor
ini secara khusus sering menunjuk pada konsep kemiskinan kultural atau budaya
kemiskinan yang menghubungkan budaya kemiskinan dengan kebiasaan hidup.
Penelitian Oscar Lewis di Amerika Latin menemukan bahwa orang miskin memiliki
sub-kultur atau kebiasaan tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan
(Suharto, 2008b). Sikap-sikap “negatif” seperti malas, fatalisme atau menyerah pada
nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha, dan kurang menghormati etos kerja, misalnya,
sering ditemukan pada orang-orang miskin;
(d) Faktor Struktural, berkaitan dengan struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif
dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang
menjadi miskin. Sebagai contoh, sistem ekonomi neolibiralisme yang diterapkan di
Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja sektor informal
terjerat oleh, pajak dan iklim investasi lebih menguntungkan orang kaya dan
pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan.

3.2 Faktor-Faktor Keluar Dari Kemiskinan


14
Berdasarkan UU 13 tahun 2003, Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan
atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan
daerah. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan: (a) memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; (b) mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah; (c) memberikan perlindungan kepada tenaga kerja
dalam mewujudkan kesejahteraan; (d) meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan
keluarganya. Upaya pembangunan ketenagakerjaan merupakan salah satu unsur penting
dalam mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat secara mandiri melalui
pemberdayaan dan perluasan lapangan pekerjaan.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang


Kesejahteraan Sosial, disebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bertujuan: (a) meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan
kelangsungan hidup; (b) memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian;
(c) meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah
kesejahteraan sosial; (d) meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab
sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan
berkelanjutan; (e) meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan (f)
meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Tanggung
jawab penyelenggaraan sosial adalah pemerintah dan pemerintah daerah.

Salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial adalah melalui upaya
penanggulangan kemiskinan. Menurut UU 11 tahun 2009, disebutkan bahwa
penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang
dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak
mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk:
(a) meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan
berusaha masyarakat miskin; (b) memperkuat peran masyarakat miskin dalam
15
pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak dasar; (c) mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan
sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan
seluasluasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara
berkelanjutan; dan (d) memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan
rentan.
Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk: (a) penyuluhan dan
bimbingan sosial; (b) pelayanan sosial; (c) penyediaan akses kesempatan kerja dan
berusaha; (d) penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar; (e) penyediaan akses
pelayanan pendidikan dasar; (f) penyediaan akses pelayanan perumahan dan
permukiman; dan/atau (g) penyediaan akses pelatihan, modal usaha, dan pemasaran hasil
usaha.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan berhasil bila tidak
didukung oleh komponen pembangunan lainnya, baik itu pihak swasta maupun
masyarakat, terlebih lagi dari individu itu sendiri. Untuk terbebas dari lingkaran
kemiskinan diperlukan kesungguhan dan kemauan yang kuat dari individu tersebut serta
dukungan terencana dari berbagai pihak, terutama dalam akses pemberdayaan secara
mandiri maupun melalui keterlibatan pihak lain. Berdasarkan hasilt wawancara
responden di lapangan, diketahui bahwa kemiskinan dapat diatasi dengan adanya jaringan
atau kenalan yang membuka akses dalam lapangan pekerjaan, punya cita-cita untuk
memperbaiki kehidupan yang lebih baik, belajar agama yang dapat memberikan
memotivasi untuk terus berusaha, bantuan beasiswa bagi anak-anak dari keluarga miskin,
mandiri dalam berusaha, bantuan finansial atau modal usaha dan pendidikan murah.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa upaya yang dilakukan
untuk keluar dari kemiskinan tidak hanya dapat dilakukan oleh individu tersebut, tetapi
diperlukan peran dari pemerintah dan swasta, seperti pemberian beasiswa, penyediaan
pendidikan murah dan bantuan finansial dari perusahaan. Berbagai upaya yang dilakukan
untuk keluar dari kemiskinan ternyata tidak serta merta didasarkan pada faktor-faktor
penyebab kemiskinan. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan responden yang
menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab kemiskinan lebih didominasi oleh
karakteristik individu itu sendiri, sedangkan upaya yang dilakukan untuk keluar dari
kemiskinan diperlukan peran dari pihak ketiga dan juga dari individu itu sendiri. Sebagai
16
contoh, faktor anak bungsu, bertempat tinggal bersama orang tua, merawat orang tua,
ekonomi orang tua yang tidak mendukung, merupakan penyebab kemiskinan yang tidak
bisa diatasi dengan menyelesaikan faktor- faktor penyebab tersebut. Berdasarkan hasil
temuan lapangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan
tidak perlu terjebak pada faktor-faktor penyebab saja yang bisa jadi bersifat khusus atau
kasus tertentu, namun didasarkan pada pemberdayaan dan pengembangan potensi
sumberdaya yang tersedia.

3.3 Kemsikinan dan Mobilitas Pekerja


Terjadinya transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian menuju sektor non-
pertanian pada dekade 1980an hingga tahun 1990 menandai adanya mobilitas tenaga
kerja lintas sektor yang secara umum berpengaruh terhadap kondisi ketenagakerjaan di
Indonesia (Vibriyanti, 2013). Selanjutnya, Hampshire (2002) serta Narayan dan Singh
(2015) mengemukakan bahwa kemiskinan dan mobilitas pekerja memiliki keterkaitan,
khususnya dalam hal status ekonomi. Para pekerja yang memutuskan melakukan
mobilitas baik antarwilayah maupun antarsektor, memiliki peluang lebih besar untuk
keluar dari status kemiskinan, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Fakta ini
selaras dengan pernyataan Sihaloho dkk. (2016) bahwa kemiskinan yang dialami oleh
pekerja di pedesaan telah mendorong mereka untuk melakukan mobilitas sebagai salah
satu strategi meningkatkan kualitas hidup. Sependapat dengan hal tersebut, Christiaensen
dan Todo (2014) serta Imai dkk. (2017) menyatakan bahwa mobilitas pekerja dari sektor
pertanian menuju industri merupakan kunci dari upaya mempercepat pengentasan
kemiskinan.

Di Indonesia, jumlah penduduk miskin di pedesaan menunjukkan tren


penurunan seiring dengan semakin besarnya proporsi penduduk di perkotaan. Situasi ini
diduga akibat pergerakan pekerja dari sektor pertanian di perdesaan menuju sektor
modern di perkotaan dalam rangka melepaskan diri dari kemiskinan. Peluang kerja yang
terbuka serta tawaran upah tinggi telah mendorong penduduk miskin bergerak dari sektor
pertanian di pedesaan menuju sektor industri dan jasa di perkotaan. Penurunan
kemiskinan di pedesaan diperkirakan juga disebabkan adanya remitansi yang mengalir

17
dari para migran ke daerah asal (Hagen-Zanker dkk., 2017). Sebagian besar remitansi
digunakan untuk kebutuhan produktif dibandingkan kebutuhan konsumtif (Primawati,
2011) sehingga dalam jangka panjang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga
(Gumilang, 2009).

Kemiskinan dan mobilitas penduduk merupakan dua konsep penting yang saling
berkaitan dalam ekonomi pembangunan dan perubahan demografi (Thurlow dkk., 2019).
Temuan Gurgand (2006) menyatakan bahwa penurunan kemiskinan yang signifikan di
China merupakan dampak pertumbuhan ekonomi dan kebijakan pemerintah yang tepat.

Kebijakan yang dianggap murah dan efektif mengurangi kemiskinan adalah memberikan
fasilitas bagi penduduk untuk melakukan migrasi. Sementara itu, temuan di Pakistan
menunjukkan bahwa keputusan migrasi telah mengurangi kemungkinan kemiskinan
sebesar 0,18 poin pada rumah tangga pedesaan (Kousar dkk., 2016). Selanjutnya, dalam
tataran perpindahan sektoral, McCulloch dkk. (2007) mengemukakan bahwa pergerakan
pekerja menuju sektor nonpertanian dapat menjadi batu loncatan (stepping stone) keluar
dari kemiskinan.

3.4 Ragam Pemikiran Tentang Kemiskinan


Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu
keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau
sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang
atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan
hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada
tingkat kebutuhan- kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada
tingkat pemenuhan kebutuhan- kebutuhan sosial (pendidikan, berkomunikasi dan
berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang
mendasar (makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal ataurumah, kesehatan dan
sebagainya). Kemiskinan, masih menurut Suparlan (1994), dengan demikian terserap ke
dalam dan mempengaruhi hamper keseluruhan aspek-aspek kehidupan manusia.

Kemiskinan yang diderita oleh sekelompok orang bahkan sebuah masyarakat,

18
menghasilkan suatu keadaan dimana warga masyarakat yang bersangkutan merasa tidak
miskin bila berada dan hidup diantara sesamanya. Karena berbagai kegiatan yang
dilakukan dalam kehidupan para warga kelompok tersebut dirasakan sebagai suatu hal
yang biasa (sebagai fenomena biasa dalam kehidupan keseharian mereka). Pada kondisi
seperti itu tidak ada yang diacu untuk pamer, sehingga diantara mereka tidak ada
perasaan saling berbeda, yang dapat menimbulkan perasaan malu. Dalam keadaan
demikian, maka kemiskinan terwujud dalam berbagai cara-cara mereka memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka untuk dapat hidup.

Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada dalam kondisi miskin seperti itu,


berkembang suatu pedoman bagi kehidupan mereka yang diyakini kebenaran dan
kegunaannya yang dilandasi oleh kemiskinan yang mereka derita bersama. Pedoman atau
kiat-kiat untuk menghadapi fenomena miskin seperti itu kemudian melahirkan model-
model adaptasi mereka menghadapi kemiskinan.

Pada era gencarnya prmbangunan di tahun 1970- 1980, sebuah seminar ilmiah
yang diadakan oleh Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial
(HIPIS), diadakan di Malang tanggal 13-17 November 1979, dengan tema dan hasil yang
monumental sampai saat ini, yaitu ‘Kemiskinan Struktural’ (Soemardjan, 1980), dimana
dalam pendapatnya dinyatakan bahwa kemiskinan struktural tidak menunjuk pada
individual yang miskin karena malas bekerja atau tidak mendapatkan penghasilan, tetapi
lebih banyak karena struktur sosial masyarakat yang ada telah membatasi hak-hak mereka
untuk mendapatkan / menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia untuk
mereka.

Pada kondisi seperti itu kelompok masyarakat yang berada pada kondisi seperti
itu pada umumnya memiliki kesadaran akan nasibnya yang berbeda dengan
kelompok/golongan lainnya. Dalam kelompok miskin secara struktur ini, masih menurut
Soemardjan, ada para petani yang tidak bertanah atau mempunyai garapan yang sangat
kecil, sehingga tidak mencukupi untuk pemenuhan hidupnya. Juga golongan mereka yang
tidak terdidik dan terlatih yang disebut ‘unskilled labores’ yang terhambat untuk
memasuki pasar kerja, golongan miskin itu juga meliputi para pengusaha tanpa modal
dan tanpa fasilitas dari pemerintah, atau golongan ekonomi lemah. Pembicaraan tentang

19
kemiskinan penduduk perkotaan, diungkap oleh Gavin Jones (dalam Dorodjatun, 1986),
yang menyatakan bahwa sebagai akibat dari migrasi penduduk pedesaan ke kota
(khususnya kota-kota di Jawa), telah menambah jumlah penduduk miskin yang ada
karena dua hal yaitu : karena penambahan secara alamiah (lebih banyak kelahiran dari
pada kematian); dan karena adanya migrasi orang desa ke kota yang terus bertambah
(untuk mencari pekerjaan). Gavin Jones bahkan berteori bahwa bagaimanapun orang-
orang desa yang bermigrasi membandingkan bahwa ada peluang atau kesempatan kerja
yang lebih besar dan lebih panjang dikota, walau harus tinggal diperkampungan.

Apa yang dinyatakan Gavin Jones, sebenarnya ditunjang oleh temuan dua
peneliti lainnya. Peneliti pertama, Graeme Hugo (1986) yang memfokuskan migrasi
sirkuler penduduk sekitaran Jakarta antara lain penduduk kabupaten yang berdekatan
dengan Jakarta, seperti Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi. Perkembangan industri dan
pembangunan kota di Jakarta sangat menarik minat para penduduk di desa-desa
kabupaten tadi untuk pindah dan menetap di Jakarta. Dan secara umum para migrant
dalam teori yang dikemukakan oleh Graeme Hugo, besarnya angka/jumlah migrant
sangat tergantung pada jarak daerah asal dan kota tujuan, sarana transportasi yang
tersedia, dan kondisi perkembangan kota tujuan. Sehingga ia kemudian mengklasifikasi
model migrasi ke kota yang ada yaitu : ‘pindah, merantau, dan pulang balik’.

Temuan kedua merupakan penguatan teori Graeme Hugo yang dilakukan Lea
Jellinek (1986), dalam tulisannya ‘sistem pondok dan migrasi sirkuler’, khususnya pada
migran penduduk desa ke kota Jakarta. Jellinek menganalogikan ‘pondok’ sebagai sebuah
rumah sederhana tempat menginap di pedesaan. Di Jakarta para migrant mengartikan dan
memfungsikan ‘pondok’ bukan saja sebagai tempat menginap, tetapi juga menjadi tempat
usaha dan kegiatan kehidupan lainnya. Karena itu dalam temuan penelitiannya, ratusan
pondok-pondok yang tersebar di seluruh kota menjadi berbagai pangkalan, tempat usaha
kecil berjalan, dan ada ribuan pengusaha dengan modal kecil hidup (umumnya para
migrant sirkuler) dalam ‘sistem pondok’ dengan sistem ‘tauke’ yang terstruktur dan kuat.
Pondok juga menampung pendatang baru dari desa-desa yang sama, dan menyediakan
lapangan kerja sehingga selalu menarik minat bagi berlangsungnya proses ‘migran
sirkuler’.

20
3.5 Upaya Pemerintah
Dalam sistem kapitalistik Indonesia, penetapan pajak pendapatan/penghasilan
merupakan solusi untuk mengurangi terjadinya ketimpangan. Dengan mengurangi
pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi, sebaliknya subsidi akan membantu
penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam
pemberiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif
(semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah
digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan.

Namun kenyataanya tidaklah demikian. Pajak tidak hanya dibebankan pada


orang kaya tetapi semua komponen masyarakat tanpa pandang kaya atau miskin semua
dikenai pajak. Inilah yang menyebabkan permasalahan kemiskinan tak kunjung selesai.
Seperti inilah sistem atau cara pengenaan pajak kepada para wajib pajak yang terjadi
dalam sistem kapitalis di Indonesia saat ini;
1. Pajak progresif (progressive tax)
Yaitu pajak yang dikenakan semakin berat kepada mereka yang berpendapatan
semakin tinggi. Contoh : pajak pendapatan, pajak rumah tangga dan sebagainya
2. Pajak degresif (degressive tax)
Yaitu pajak yang dikenakan semakin berat kepada mereka yang pendapatannya
semakin kecil. Contoh : pajak penjualan, pajak tontonan dan sebagainya.
3. Pajak proposional (proposional tax)
Yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan pembebanan (persentase) yang sama
terhadap semua tingkat pendapatan.

Secara lebih rinci langkah-langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah
kemiskinan adalah sebagai berikut :
A. Pembangunan Sektor Pertanian
Sektor pertanian memiliki peranan penting di dalam pembangunan karena sektor
tersebut memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pendapatan masayrakat
dipedesaan berarti akan mengurangi jumlah masyarakat miskin. Terutama sekali
teknologi disektor pertanian.
Menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan
kemajuan teknologi sehingga menjadi leading sector (rural – led development) proses
21
ini akan mendukung pertumbuhan seimbang dengan syarat, kemampuan mencapai
tingkat pertumbuhan output pertanian yang tinggi serta dengan menciptakan pola
permintaan yang kondusif pada pertumbuhan.
B. Pembangunan Sumber Daya manusia
Sumberdaya manusia merupakan investasi insani yang memerlukan biaya yang
cukup besar, diperlukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan masyrakat secara umum, maka dari itu peningkatan lembaga
pendidikan, kesehatan dan gizi merupakan langka yang baik untuk diterapkan oleh
pemerintah. Bila dikaitkan pada sektor pertanian, akan lebih berkembang jika
kebijakan pemerintah bisa menitikberatkan pada transfer sumber daya dari pertanian
ke industri melalui mekanisme pasar.
C. Redistribusi Pendapatan
Redistibusi Pendapatan secara lebih baik Negara akan ikut bertanggungjawab
terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan kepentingan umum daripada
kepentingan kelompok, atau golongan lebih-lebih kepentingan perorangan. Dengan
demikian, sektor publik yang digunakan untuk kemaslahatan umat jangan sampai jatuh
ke tangan orang yang mempunyai visi kepentingan kelompok, golongan dan
kepentingan pribadi.
D. Pembangunan Infrastruktur
Negara akan menyediakan fasilitas-fasilitas publik yang berhubungan dengan
masalah optimalisasi distribusi pendapatan. Seperti sekolah, rumah sakit, lapangan
kerja, perumahan, jalan, jembatan dan lain sebagainya.
Namun terdapat 5 (lima) permasalahan dalam pengentasan kemiskinan yaitu :
1. Lemahnya instusi pengelola program pengentasan kemiskinan
2. Kebijakan penggunaan data basis keluarga miskin belum secara operasional
dipergunakan sebagai intervensi program pengentasan kemiskinan
3. Belum ada mekanisme dan sistem pencatatan dan pelaporan program pengentasan
kemiskinan
4. Dukungan anggaran operasional pengentasan kemiskinan yang masih terbatas

Harus ada sinergisitas antara program pengentasan kemiskinan yang


diprogramkan oleh pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota. Selama ini program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah pusat tidak

22
maksimal diterapkan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, karena
tidak disiapkannya infrastruktur pendukung untuk program tersebut.

3.6 Solusi Alternatif


Program pemerintah yang dijalankan saat ini dinilai sudah baik secara konsep.
Namun belum bisa dinilai secara menyeluruh karena hanya sebagian kecil saja yang
terealisasi. Sementara kemiskinan juga masih dan semakin menjamur. Memang, tidak
bisa disinggung lagi bahwa solusi kehidupan secara menyeluruh dan sempurna termasuk
permasalahan kemisikinan, hanyalah kembali pada aturan-aturan sang pembuat
kehidupan yakni Allah SWT. Islam memberikan solusi yang selalu tepat. Tidak hanya
secara konsep, tetapi juga dalam prakteknya sudah terbukti memberikan hasil yang
gemilang terutama dalam mensejahterahkan rakyatnya.
Inti penyebab kemiskinan di Indonesia dari dulu hingga kini adalah penyebab
struktural. Ketidakmerataannya distribusi pendapatan yang dilakukan pemerintah secara
struktural yang menyebabkan kemiskinan ini terjadi berangsur- angsur. Program Islam
untuk redistribusi kekayaan terdiri dari tiga bagian. Pertama, sebagaimana dibahas
sebelumnya, ajaran Islam mengarahkan untuk memberikan pembelajaran atau
pemberdayaan kepada para penganggur untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa
memberi penghidupan bagi mereka,serta untuk memberikan upah yang adil bagi orang-
orang yang sudah bekerja. Kedua, ajaran Islam menekankan pembayaran zakat untuk
redistribusi pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin yang karena
ketidakmampuan atau cacat (secara fisik atau mental, atau faktor eksternal yang diluar
kemampuan mereka, misalnya pengangguran), tak mampu untuk memperoleh kehidupan
standar yang terhormat dengan tangan mereka sendiri. Ketiga, pembagian harta warisan
dari orang yang telah meninggal kepada beberapa orang sesuai aturan Islam sehingga
menguatkankan dan mempercepat distribusi kekayaan dalam masyarakat.

Konsep Islam tentang keadilan distribusi kekayaan, juga konsep keadilan


ekonomi tidak mengharuskan semua orang mendapat upah dalam jumlah yang sama
tanpa memperdulikan kontribusinya bagi masyarakat. Islam mentoleransi adanya
perbedaan dalam pendapatan karena setiap orang memiliki karakter, kemampuan dan

23
pelayanan kepada masyarakat yang sama. Namun perlu dicatat bahwa jaminan terhadap
standar hidup yang manusiawi bagi semua anggota masyarakat melalui pengaturan zakat.
Pada kenyataannya, apabila ajaran Islam mengenai halal dan haram dalam memperoleh
kekayaan diikuti, prinsip keadilan bagi pekerja dan konsumen diterapkan, pengawasan
terhadap redistribusi pendapatan dan kekayaan serta hukum Islam tentang harta waris
ditegakkan, maka tidak akan terdapat ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan
dalam masyarakat Muslim.

Di sini letak perbedaan sistem ekonomi syariah dan konvensional. Sistem


ekonomi syariah tidak bertujuan mengumpulkan harta sebanyak- banyaknya. Tapi,
bagaimana kehidupan lebih baik bisa dicapai bersama tanpa memandang suku ataupun
RAS. Ekonomi syariah mempunyai prinsip sinergi (ta'awun). Prinsip ini memungkinkan
orang yang lebih dulu sukses itu membantu sesamanya. Kerja sama ini memungkinkan
umat Islam maju. Selain itu, ekonomi syariah memiliki sistem bagi hasil. Sistem ini
memungkinkan kerugian dan keuntungan ditanggung pemodal dan peminjam. Besarnya
tanggungan diatur dalam akad yang sudah disetujui bersama. Sistem bagi hasil misalnya
bank sebagai pemodal tidak hanya menagih pinjaman modal. Pihak bank juga harus
membantu peminjam dalam memajukan usahanya. Sebaliknya pihak peminjam juga
harus bekerja keras memajukan usahanya supaya bisa cepat mengembalikan pinjaman.
Oleh karena itu ekonomi syariah dinilai cocok untuk program pengentasan kemiskinan.
Hal ini karena masyarakat miskin tidak dipandang sebagai pihak yang malas. Namun,
pihak yang tidak mendapat akses untuk kehidupan yang lebih baik.

24
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kemiskinan berawal dari faktor ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang
menjadi sebab utama keluarnya bangsa indonesia dari falsafah pancasila. Esensi dari
falsafah pancasila telah disalahgunakan. Kita bisa lihat seperti kepercayaan kepada Tuhan
YME, yang diharuskan oleh agama telah berubah menjadi sumber konflik di tengah
tengah kehidupan masyarakat. Lalu nilai-nilai kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan,
sudah jauh dilanggar oleh bangsa ini, yang mengakibatkan keadilan sosial menjadi jauh
dari kenyataan. Fenomena tersebut dapat dilihat dari aktifitas sehari-hari yang terjadi di
lingkungan kita antara lain, menjamurnya pasar-pasar modern (mall, swalayan dll) yang
membuat tergusurnya pasar tradisional sebagai tempat dan sumber penghidupan
masyarakat kecil. Pemberdayaan ekonomi rakyat menjadi suatu upaya yang mutlak harus
dilakukan. Kemampuan “tahan banting” terhadap krisis telah terbukti. Mengingat relatif
sulitnya mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi yang diharapkan dari investasi usaha-
usaha besar maka pemerintah daerah diharapkan untuk lebih memberdayakan ekonomi
rakyat yang merupakan potensi yang tersembunyi termasuk di dalamnya UKM dan sektor
informal untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Sektor ekonomi rakyat
telah terbukti mampu bertahan di saat krisis, oleh karena itu pemerintah jangan
menganggap remeh akan keberadaan sektor ekonomi rakyat, tapi justru harus
diberdayakan sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional. Karena semua
konsep atau solusi yang ada dalam Islam bersumber dari Dzat Yang Maha Kuasa atas
segala-galanya. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan solusi terbaik bagi
kemaslahatan makhluk- Nya, yakni manusia sebagai pemimpin yang mampu
menegakkan prinsip syari’ah secara kaffah.

Setiap orang memiliki hak untuk bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidup dan
keluarganya. Terbatasnya lapangan kerja yang tersedia dan semakin meningkatnya angka
kerja merupakan maslah utama dalam sektor ketenagakerjaan. Ketidaktersediaan
lapangan pekerjaan bagi setiap angkatan kerja menyebabkan angka pengangguran

25
meningkat, hal ini semakin diperparah bila terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan
banyaknya perusahaan yang berhenti beroperasi. Masuknya Indonesia dalam kesepakatan
MEA yang membuka persaingan tenaga kerja secara bebas dengan negara-negara Asia
Tenggara semakin menambah beratnya tantangan dunia ketenagakerjaan pada masa kini.
Terkait dengan hal tersebut diperlukan sumberdaya yang tidak hanya terdidik tetapi juga
terlatih sehingga mampu bersaing dengan tenaga kerja asing dan berdaya dalam keluar
dari kemiskinan.

Secara konseptual, faktor-faktor penyebab kemiskinan yaitu rendahnya kualitas


sumberdaya manusia (rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan), motivasi yang
rendah, pandangan dalam hubungan kekeluargaan (cara pandang yang mengganggap
orang tua sebagai beban), terbatasnya pilihan lapangan kerja yang memadai (gaji yang
rendah dan waktu kerja yang banyak), dan tidak kreatif. Selanjutnya faktor-faktor yang
keluar dari kemiskinan, secara konseptual yaitu berinvestasi atau menabung, taat
beragama (tidak putus asa, memiliki harapan untuk berubah), membangun jaringan, dan
dukungan dari pemerintah dan swasta. Kemiskinan merupakan permasalahan yang
multidimensi yang tidak dapat diselesaikan secara parsial saja. Oleh karena itu upaya
penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah
daerah beserta semua komponen pembangunan yang didasarkan pada pemberdayaan dan
potensi sumberdaya yang tersedia.

Kemiskinan pada masyarakat disebabkan kurangnya akses masyarakat pada


sumber kehidupan. Keterbatasan tersebut disebabkan tidak saja masyarakat kurang
pengetahuan dan ketrampilan tetapi juga disebabkan oleh struktur yang membentuk
mereka untuk tidak mempunyai akses. Sehubungan dengan itu, program pemberdayaan
menjadi cara untuk mengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan pada masyarakat
dilakukan tidak saja dari porgram pemerintah tetapi juga melalui asosiasi lokal yang
dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Keduanya memiliki link dan trust pada
pelaksanaannya agar terjalin networking yang lebih luas. Sehubungna dengan itu, modal
sosial yang dimiliki oleh masayrakat baik yang berasal dari pemerintah maupun yang
berasal dari masyarakat memiliki kontribusi untuk pengentasan kemiskinan pada
masyarakat. Kemampuan kelompok-kelompok untuk bekerjasama dan menumbuhkan

26
kepercayaan baik di antara anggota-anggotanya maupun dengan pihak luar merupakan
kekuatan yang besar untuk bekerjasama dan menumbuhkan kepercayaan pihak lain. Jika
warga saling bekerja sama dan saling percaya yang didasarkan pada nilai-nilai universal
yang ada, maka tidak akan ada sikap saling curiga, saling jegal, saling menindas dan
sebagainya, sehingga ketimpangan-ketimpangan antara kelompok yang miskin akan
diminimalkan. Di pihak lain kelompok yang kuat akan mempunyai modal yang layak
dipercaya dan akan memudahkan jaringan kerja sama dengan pihak luar.

Kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat miskin melalui program


pemberdayaan masyarakat miskin secara efektf dan efisien mengintegrasikan program
pemberdayaan daerah serta kemitraan masyarakat dengan perusahaan-perusahaan di
lingkungan sekitar, dinas-dinas terkait, perguruan tinggi , LSM, dan kelompok peduli
lainnya sehingga terbentuknya kemitraan sangat membantu meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin dengan adanya
program-program pendampingan. Produktivitas masyarakat yang secara akumulasi akan
dimanfaatkan oleh masyarakat secara maksimal yang berdasarkan pada norma dan nilai,
asosiasi antar manusia menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai
ekonomi yang besar dan terukur. Pemberdayaan masyarakat miskin berproses dengan
dari terbentuknya komunitas dalam membangun masyarakat mandiri yang dibentuk dari
tinggi rendahnya partisipasi dan tingkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan
sekitar. Hal ini seiring dengan proses kesadaran masyarakat untuk dapat mensejahterakan
anggota masyarakat lainnya. Hal di atas berimplikasi pada pengelolaan program-program
pengentasan kemiskinan di masa yang akan datang. Pelaku penggerak pemberdayaan
masyarakat miskin akan sangat berpengaruh pada program karena hanya terfokus pada
fasilitas yang sudah disiapkan oleh pemerintah. Masyarakat yang mempunyai
kepercayaan yang tinggi cenderung dapat bekerja sama, bergotong- royong, merasa aman
untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaan- perbedaan. Sebaliknya, masyarakat
yang memilik kepercayaan rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain.

27
4.2 Saran
Beberapa saran dan masukan secara pribadi:
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan
Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan dengan perbaikan
infrastruktur dan modal manusia. Perbaikan dibidang pendidikan dan kesehatan akan
membantu menciptakan sumber daya manusia yang baik yang berguna untuk
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.
2. Peningkatan program keluarga berencana
Meskipun telah berhasil menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk, namun
sosialisasi keluarga berencana harus terus dilakukan dan ditingkatkan. Hal ini
dilakukan untuk dapat mengubah pola pikir beberapa masyarakat yang keliru,
sehingga menyebabkan mereka cenderung memiliki jumlah anggota rumah tangga
yang banyak.
3. Peningkatan status dan pemberdayaan wanita
Menambah program-program peningkatan status dan pemberdayaan wanita khususnya
mereka yang tergolong miskin dan yang menjadi kepala keluarga. Program tersebut
dapat berbentuk perbaikan pendidikan, motivasi, pelatihan keterampilan dan kerja, dan
sebagainya.
4. Peningkatan program pembangunan khususnya di desa
Masih tingginya konsentrasi penduduk miskin di desa memerlukan perhatian khusus
dari pemerintah. Sehingga, untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia,
pembangunan desa menjadi sangat penting. Perbaikan infrastruktur seperti, jalan,
listrik, dan fasilitas umum di daerah perdesaan dapat membantu mengurangi beban
kemiskinan yang mereka tanggung.
5. Peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan
Perbaikan kualitas dapat dilakukan dengan memperbaiki kualitas pengajar dan proses
belajar. Penyuluhan cara mengajar yang efektif sangat diperlukan dalam hal ini.
Sementara peningkatan kuantitas dilakukan dengan menambah jumlah sekolah dan
tenaga pengajar khususnya di daerah-daerah tertinggal. Peningkatan pendidikan usia
dewasa juga diperlukan untuk membantu perbaikan pengetahuan dan pola pikir.

Pemerintah diharapakan dapat memberikan akses jaringan seluas mungkin

28
terutama keterlibatan komunitas lokal untuk pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan
dengan berbagai upaya partisipatif terhadap pelaku program yaitu masyarakat umum.
Tetapi hal ini harus mendapat pengawasan dari pihak terkait yaitu penyelenggara
program pemberdayaan dan stakeholders yang menangani bidang pemberdayaan agar
kegiatan ini dapat berjalan sesuai dengan harapan. Memberikan tanggung jawab
sepenuhnya kepada pelaksana pemberdayaan pemerintahan sehingga pemanfaatan dana
akan tepat sasaran, karena masyarakatlah yang tahu akan kebutuhannya di lapangan, baik
bentuk material infrastruktur maupun suprastruktur serta memberikan perluasan fasilitas
bantuan yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin dalam mengelola dirinya sendiri
menuju ke arah yang lebih baik, misalnya penambahan kesempatan kerja, memperluas
sarana pendidikan dan pelatihan. Tahap monitoring dan evaluasi sangat diperlukan demi
terciptanya situasi yang kondusif pada lingkungan sekitar sehingga tercipta masyarakat
yang maju berdasarkan tahapan evaluasi dan monitoring yang berkelanjutan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincon. 1999. Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi Universitas Gajah


Mada. Yogyakarta

Parwoto. 2001. Kemiskinan. Bappenas. Jakarta

Rosyidi, Suherman. 2006. Pengantar Teori Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Todaro, P. Michael. 2000. Economic Development. New York University

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. [KBJI] Klasifikasi Baku Jenis Pekerjaan Indonesia.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.

Chamsyah B. 2008. Reinventing Pembangunan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat


Indonesia.

Jakarta: Trisakti University Press.

Djojohadikusumo S. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Pertumbuhan dan


Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Munker H. H dan T. Walter. 2001. Sektor Informal Sumber Pendapatan Bagi Kaum
Miskin, dalam Menggempur Akar-Akar Kemiskinan. Jakarta : Yakoma-PGI.

Nasikun. 2001. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, Diktat Kuliah Program
Magister Administrasi Publik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Suharto, Edi, 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat: Kajian


Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika
Aditama.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 39.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan


Sosial. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4967.
30
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5587.

Working Paper No.2012/78.

Remi, Sutyastie Soemitro dan Prijono Tjiptoherijanto. 2002.

Kemiskinan Ketidakmerataan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Andersson, Magnus,dkk. 2006. Determinants of Poverty in Lao PDR. Working Paper


223.

Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah.


Edisi pertama. Yogyakarta: BPFE.

Berg, Hendrik Van den. 2005. Economic Growth and Development. Singapura: McGraw-
Hill.

BPS. 2012. Data Strategis BPS 2012, (online),


(http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/data_strategis/index3.php?pub=Data
persen20Strategis persen20BPS persen202012, diakses 20 April 2014). 2012. Statistik
Indonesia

(http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/si_2012/index3.php?pub=Statistik
persen20Indonesia persen202012, diakses 20 April 2014). 2014. Kemiskinan,(online),
(http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=1&id_subyek=23, diakses 10 April
2014)

Chaudhry, Imran Sharif, dkk. 2009. The Impact of Socioeconomic and Demographic
Variables on Poverty: A Village Study. The Labore Journal of Economics, 14(1): 39- 68.

Ennin, C.C, dkk. 2010. Trend Analysis of Determinants of Poverty in Ghana: Logit
Approach. Research Journal of Mathematics and Statistics, 3(1): 20-27.

Geda, Alemayehu, dkk. 2005. Determinants of Poverty in Kenya: A Household Level


Analysis. Economics Working Paper. Paper200544.

Jhingan, M.L. 1983. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan oleh D.


Guritno.

2012. Jakarta: Rajawali Press.

Khalid, Umer, dkk. 2005. Determinants of Poverty in Pakistan: A Multinomial Logit


31
Approach. The Labore Journal of Economics, 10(1): 65-81.

Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan.

Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Sciences, 3(4): 190-196.

LAMPIRAN

32
33

Anda mungkin juga menyukai